Anda di halaman 1dari 4

1.

9 BAB II KAJIAN PUSTAKA Pengertian Anak Tunarungu Anak tunarungu merupakan anak yang
mempunyai gangguan pada pendengarannya sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan
sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali, tetapi dipercayai bahwa tidak ada
satupun manusia yang tidak bisa mendengar sama sekali. Walaupun sangat sedikit, masih ada
sisa-sisa pendengaran yang masih bisa dioptimalkan pada anak tunarungu tersebut. Berkenaan
dengan tunarungu, terutama tentang pengertian tunarungu terdapat beberapa pengertian
sesuai dengan pandangan dan kepentingan masing-masing. Menurut Andreas Dwidjosumarto
(dalam Sutjihati Somantri, 1996: 74) mengemukakan bahwa: seseorang yang tidak atau kurang
mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua
kategori, yaitu tuli (deaf) atau kurang dengar (hard of hearing). Tuli adalah anak yang indera
pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak
berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah anak yang indera pendengarannya mengalami
kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa
menggunakan alat bantu dengar (hearing aids). Istilah tunarungu diambil dari kata “tuna” dan
“rungu”, tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan tunarungu
apabila 10 tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Apabila dilihat
secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya. Pada saat
berkomunikasi barulah diketahui bahwa anak tersebut mengalami tunarunguan. Murni Winarsih
(2007: 22) mengemukakan bahwa tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan
kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang
dengar. Orang tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat
proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu
dengar dimana batas pendengaran yang dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan proses
informasi bahasa melalui pendengaran. Tin Suharmini (2009: 35) mengemukakan tunarungu
dapat diartikan sebagai keadaan dari seorang individu yang mengalami kerusakan pada indera
pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa menangkap berbagai rangsang suara, atau
rangsang lain melalui pendengaran. Beberapa pengertian dan definisi tunarungu di atas
merupakan definisi yang termasuk kompleks, sehingga dapat disimpulkan bahwa anak
tunarungu adalah anak yang memiliki gangguan dalam pendengarannya, baik secara
keseluruhan ataupun masih memiliki sisa pendengaran. Meskipun anak tunarungu sudah
diberikan alat bantu dengar, tetap saja anak tunarungu masih memerlukan pelayanan
pendidikan khusus. 11 2. Karakteristik Anak Tunarungu Karakteristik anak tunarungu dari segi
fisik tidak memiliki karakteristik yang khas, karena secara fisik anak tunarungu tidak mengalami
gangguan yang terlihat. Sebagai dampak ketunarunguannya, anak tunarungu memiliki
karakteristik yang khas dari segi yang berbeda. Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1995:
35-39) mendeskripsikan karakteristik ketunarunguan dilihat dari segi: intelegensi, bahasa dan
bicara, emosi, dan sosial. a. Karakteristik dari segi intelegensi Intelegensi anak tunarungu tidak
berbeda dengan anak normal yaitu tinggi, rata-rata dan rendah. Pada umumnya anak tunarungu
memiliki entelegensi normal dan rata-rata. Prestasi anak tunarungu seringkali lebih rendah
daripada prestasi anak normal karena dipengaruhi oleh kemampuan anak tunarungu dalam
mengerti pelajaran yang diverbalkan. Namun untuk pelajaran yang tidak diverbalkan, anak
tunarungu memiliki perkembangan yang sama cepatnya dengan anak normal. Prestasi anak
tunarungu yang rendah bukan disebabkan karena intelegensinya rendah namun karena anak
tunarungu tidak dapat memaksimalkan intelegensi yang dimiliki. Aspek intelegensi yang
bersumber pada verbal seringkali rendah, namun aspek intelegensi yang bersumber pada
penglihatan dan motorik akan berkembang dengan cepat. 12 b. Karakteristik dari segi bahasa
dan bicara Kemampuan anak tunarungu dalam berbahasa dan berbicara berbeda dengan anak
normal pada umumnya karena kemampuan tersebut sangat erat kaitannya dengan kemampuan
mendengar. Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, maka anak tunarungu
mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Bahasa merupakan alat dan sarana utama
seseorang dalam berkomunikasi. Alat komunikasi terdiri dan membaca, menulis dan berbicara,
sehingga anak tunarungu akan tertinggal dalam tiga aspek penting ini. Anak tunarungu
memerlukan penanganan khusus dan lingkungan berbahasa intensif yang dapat meningkatkan
kemampuan berbahasanya. Kemampuan berbicara anak tunarungu juga dipengaruhi oleh
kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh anak tunarungu. Kemampuan berbicara pada anak
tunarungu akan berkembang dengan sendirinya namun memerlukan upaya terus menerus serta
latihan dan bimbingan secara profesional. Dengan cara yang demikianpun banyak dari mereka
yang belum bisa berbicara seperti anak normal baik suara, irama dan tekanan suara terdengar
monoton berbeda dengan anak normal. c. Karakteristik dari segi emosi dan sosial
Ketunarunguan dapat menyebabkan keterasingan dengan lingkungan. Keterasingan tersebut
akan menimbulkan beberapa efek negatif seperti: egosentrisme yang melebihi anak normal,
mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas, ketergantungan terhadap orang
lain, perhatian mereka lebih sukar dialihkan, umumnya memiliki 13 sifat yang polos dan tanpa
banyak masalah, dan lebih mudah marah dan cepat tersinggung. 1) Egosentrisme yang melebihi
anak normal Sifat ini disebabkan oleh anak tunarungu memiliki dunia yang kecil akibat interaksi
dengan lingkungan sekitar yang sempit. Karena mengalami gangguan dalam pendengaran, anak
tunarungu hanya melihat dunia sekitar dengan penglihatan. Penglihatan hanya melihat apa yang
di depannya saja, sedangkan pendengaran dapat mendengar sekeliling lingkungan. Karena anak
tunarungu mempelajari sekitarnya dengan menggunakan penglihatannya, maka aka timbul sifat
ingin tahu yang besar, seolah-olah mereka haus untuk melihat, dan hal itu semakin
membesarkan egosentrismenya. 2) Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas
Perasaan takut yang menghinggapi anak tunarungu seringkali disebabkan oleh kurangnya
penguasaan terhadap lingkungan yang berhubungan dengan kemampuan berbahasanya yang
rendah. Keadaan menjadi tidak jelas karena anak tunarungu tidak mampu menyatukan dan
menguasai situasi yang baik. 3) Ketergantungan terhadap orang lain Sikap ketergantungan
terhadap orang lain atau terhadap apa yang sudah dikenalnya dengan baik, merupakan
gambaran bahwa mereka sudah putus asa dan selalu mencari bantuan serta bersandar pada
orang lain. 14 4) Perhatian mereka lebih sukar dialihkan Sempitnya kemampuan berbahasa pada
anak tunarungu menyebabkan sempitnya alam fikirannya. Alam fikirannya selamanya terpaku
pada hal-hal yang konkret. Jika sudah berkonsentrasi kepada suatu hal, maka anak tunarungu
akan sulit dialihkan perhatiannya ke hal-hal lain yang belum dimengerti atau belum dialaminya.
Anak tunarungu lebih miskin akan fantasi. 5) Umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan
tanpa banyak masalah Anak tunarungu tidak bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik.
Anak tunarungu akan jujur dan apa adanya dalam mengungkapkan perasaannya. Perasaan anak
tunarungu biasanya dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa. 6) Lebih mudah marah dan
cepat tersinggung Karena banyak merasakan kekecewaan akibat tidak bisa dengan mudah
mengekspresikan perasaannya, anak tunarungu akan mengungkapkannya dengan kemarahan.
Semakin luas bahasa yang mereka miliki semakin mudah mereka mengerti perkataan orang lain,
namun semakin sempit bahasa yang mereka miliki akan semakin sulit untuk mengerti perkataan
orang lain sehingga anak tunarungu mengungkapkannya dengan kejengkelan dan kemarahan.
Berdasarkan karakteristik anak tunarungu dari beberapa aspek yang sudah dibahas diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa sebagai dampak dari 15 ketunarunguannya tersebut hal yang menjadi
perhatian adalah kemampuan berkomunikasi anak tunarungu yang rendah. Intelegensi anak
tunarungu umumnya berada pada tingkatan rata-rata atau bahkan tinggi, namun prestasi anak
tunarungu terkadang lebih rendah karena pengaruh kemampuan berbahasanya yang rendah.
Maka dalam pembelajaran di sekolah anak tunarungu harus mendapatkan penanganan dengan
menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik yang dimiliki. Anak tunarungu akan
berkonsentrasi dan cepat memahami kejadian yang sudah dialaminya dan bersifat konkret
bukan hanya hal yang diverbalkan. Anak tunarungu membutuhkan metode yang tepat untuk
meningkatkan kemampuan berbahasanya yaitu metode yang dapat menampilkan kekonkretan
sesuai dengan apa yang sudah dialaminya. Metode pembelajaran untuk anak tunarungu
haruslah yang kaya akan bahasa konkret dan tidak membiarkan anak untuk berfantasi mengenai
hal yang belum diketahui. 3. Klasifikasi Anak Tunarungu Klasifikasi mutlak diperlukan untuk
layanan pendidikan khusus. Hal ini sangat menentukan dalam pemilihan alat bantu mendengar
yang sesuai dengan sisa pendengarannya dan menunjang lajunya pembelajaran yang efektif.
Dalam menentukan ketunarunguan dan pemilihan alat bantu dengar serta layanan khusus akan
menghasilkan akselerasi secara optimal dalam mempersepsi bunyi bahasa dan wicara. 16
Menurut Boothroyd (dalam Murni Winarsih, 2007:23) klasifikasi ketunarunguan adalah sebagai
berikut. a. Kelompok I : kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau ketunarunguan ringan;
daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal. b. Kelompok II: kehilangan 31-60,
moderate hearing losses atau ketunarunguan atau ketunarunguan sedang; daya tangkap
terhadap suara cakapan manusia hanya sebagian. c. Kelompok III: kehilangan 61-90 dB, severe
hearing losses atau ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak
ada. d. Kelompok IV: kehilangan 91-120 dB, profound hearing losses atau ketunarunguan sangat
berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali. e. Kelompok V:
kehilangan lebih dari 120 dB, total hearing losses atau ketunarunguan total; daya tangkap
terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali. Selanjutnya Uden (dalam Murni
Winarsih, 2007:26) membagi klasifikasi ketunarunguan menjadi tiga, yakni berdasar saat
terjadinya ketunarunguan, berdasarkan tempat kerusakan pada organ pendengarannya, dan
berdasar pada taraf penguasaan bahasa. 1. Berdasarkan sifat terjadinya a. Ketunarunguan
bawaan, artinya ketika lahir anak sudah mengalami/menyandang tunarungu dan indera
pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi. b. Ketunarunguan setelah lahir, artinya terjadinya
tunarungu setelah anak lahir diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit. 2. Berdasarkan
tempat kerusakan a. Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat
bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga disebut Tuli Konduktif. b. Kerusakan pada
telinga bagian dalam sehingga tidak dapat mendengar bunyi/suara, disebut Tuli Sensoris. 3.
Berdasarkan taraf penguasaan bahasa a. Tuli pra bahasa (prelingually deaf) adalah mereka yang
menjadi tuli sebelum dikuasainya suatu bahasa (usia 1,6 tahun) artinya anak menyamakan tanda
(signal) tertentu seperti mengamati, menunjuk, meraih dan sebagainya namun belum
membentuk system lambang. 17 b. Tuli purna bahasa (post lingually deaf) adalah mereka yang
menjadi tuli setelah menguasai bahasa, yaitu telah menerapkan dan memahami system
lambang yang berlaku di lingkungan. Klasifikasi dalam dunia pendidikan diperlukan untuk
menentukan bagaimana intervensi yang akan dilakukan lembaga terkait. Ada banyak jenis
klasifikasi termasuk yang sudah dipaparkan di atas. Klasifikasi di atas merupakan jenis klasifikasi
yang membagi tunarungu menjadi beberapa kelompok sesuai dengan kehilangan
pendengarannya dan tempat terjadi kerusakan. Klasifikasi memudahkan untuk menentukan dan
memfokuskan subjek dalam penelitian ini. Subjek dalam penelitian ini termasuk dalam klasifikasi
ketunarunguan bawaan, ketika lahir anak sudah mengalami ketunarunguan sehingga intervensi
yang lambat mempengaruhi kemampuan berbahasa anak tunarungu. B. Membaca Pemahaman
1. Pengertian Membaca Sri Utari Subyakto (1988:145) mengungkapkan bahwa membaca adalah
suatu aktivitas yang rumit atau kompleks karena bergantung pada keterampilan berbahasa
pelajar, dan pada tingkat penalarannya. Menurut Marrow (dalam Sri Utari Subyakto, 1988:145)
tujuan orang membaca adalah: a) untuk mengerti atau memahami isi/pesan yang terkandung
dalam satu bacaan seefisien mungkin, dan b) untuk mencari informasi yang kognitif intelektual
serta referensial dan factual, afektif dan emosional. 18 Mulyono Abdurrahman (2003: 200)
mengungkapkan membaca merupakan aktifitas kompleks yang mencakup fisik dan mental.
Aktifitas fisik yang terkait dengan membaca adalah gerak mata dan ketajaman penglihatan.
Aktivitas mental mencakup ingatan dan pemahaman. Shodig (1996: 121-122) memaparkan
dalam kegiatan membaca paling tidak terdapat empat unsur yang terdapat di dalamnya yaitu: a)
memahami kata, termasuk mengenal, mengingat kata yang dibaca dan mengenal berbagai
penuntun konteks, b) mengintepretasikan atau menganalisis bahan tertulis, c) mengaplikasikan
informasi hasil baca, dan d) memahami wacana tertulis yang meliputi pemahaman harfiah,
pengorganisasian, penginterpretasian, penyimpulan dan evaluasi, berfikir kreatif fan produktif.

Anda mungkin juga menyukai