Disusun Oleh :
Kelompok 5
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Tinjauan Agama Tentang HIV/AIDS dan Long Term
Care”.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar makalah ini lebih
baik lagi. Semoga makalah ini dapat menjadi sarana belajar dan bermanfaat bagi
masyarakat pada khususnya bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................3
1.3 Tujuan Penulisan............................................................4
1.4 Manfaat Penulisan..........................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................5
2.1 Definisi...........................................................................5
2.2 Epidemologi...................................................................6
2.3 Etiologi...........................................................................6
2.4 Klasifikasi.......................................................................8
2.5 Manifestasi.....................................................................9
2.6 Patofisiologi....................................................................10
2.7 Pathway..........................................................................13
2.8 Penatalaksanaan..............................................................14
BAB 3 TINJAUAN AGAMA TERHADAP HIV/AIDS...........15
3.1 Aspek Agama Pada ODHA............................................15
3.1.1 Peran Agama...........................................................17
3.1.2 Sikap Masyarakat....................................................17
3.1.3 HIV/AIDS Dalam Perspektif Agama......................18
3.1.4 Pencegahan..............................................................25
3.1.5 Penanggulangan......................................................26
3.2 Long Term Care............................................................27
3.2.1 Definisi....................................................................27
3.2.2 Tujuan Long Term Care..........................................29
3.2.3 Peran Perawat..........................................................29
3.2.4 Jenis dan Sumber Long Term Care.........................32
3.2.5 Kondisi Pasient Memeprlukan Long Term Care.....33
3.2.6 Long Term Care Pada Pasien HIV/AIDS...............34
3.2.7 Tantangan Pelaksanaan Long Term Care................37
BAB 4 PENUTUP........................................................................39
4.1 Kesimpulan.....................................................................39
4.2 Saran...............................................................................39
DAFTAR PUSTAKA...................................................................40
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu penyakit yang belum ada
obatnya adalah HIV/AIDS. Virus Human
Immunodefeciency (Virus HIV) adalah
retrovirus yang mempunyai kemampuan
menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu
untuk membentuk virus DNA dan
menginfeksi tubuh dalam periode inkubasi
yang panjang. HIV dapat menyebabkan
kerusakan pada sistem imun, hal ini terjadi
karena virus HIV menggunakan DNA dari
CD4 + dan limfosit untuk mereplikasi diri.
Dalam proses tersebut, virus menghancurkan
CD4 + dan limfosit sehingga terjadi
penurunan sistem kekebalan tubuh pada
penderita HIV/AIDS (Nursalam &
Kurniawati, 2007).
Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS), yaitu kumpulan gejala penyakit yang
disebabkan retrovirus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh sehingga menurunkan
kekebalan (lmunitas) tubuh seseorang.
Penyakit AIDS ini disebabkan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) (Wirawan,
2016).
Ketika individu sudah tidak lagi memiliki
sistem kekebalan tubuh maka semua penyakit
dapat dengan mudah masuk kedalam tubuh,
karena sistem kekebalan tubuhnya menjadi
sangat lemah, penyakit yang tadinya tidak
berbahaya akan menjadi sangat berbahaya
1
bahkan dapát penderita baru sebanyak 2 juta penderita. Dan
menimbulkan di akhir tahun 2014 sebanyak 1,2 orang
kematian. meninggal karena AIDS. Pada tahun 2014
Dampak AIDS terdapat 35 juta penderita. Penderita terbanyak
tidak hanya berada di wilayah Afrika sebanyak 24,7 juta
terkait dengan penderita. Sedangkan di Asia tercatat 4,8 juta
masalah medis, penderita HIV/AIDS.
tetapi juga
psikologis,
sosial dan
ekonomi
(Wirawan,
2016).
Prevalensi
HIV/AIDS di
seluruh dunia
terus
mengalami
peningkatan.
Berdasarkan
United Nations
Programme on
HIV/AIDS
(UNAIDS)
Global
Statistics
(2015), bahwa
prevalensi
HIV/AIDS di
dunia mencapai
36,9 juta
penderita. Pada
akhir tahun
2014 tercatat
2
Indonesia merupakan salah satu dari negara di Asia yang memiliki
kerentanan HIV akibat dampak perubahan ekonomi dan kehidupan sosial.
Penularan HIV umumnya terjadi akibat perilaku manusia, sehingga
menempatkan individu dalam situasi yang rentan terhadap infeksi (Kemenkes
RI, 2013). Dalam waktu tiap 25 menit di Indonesia, terdapat satu orang baru
terinfeksi HIV. Satu dari setiap lima orang yang terinfeksi di bawah usia 25
tahun. Proyeksi Kementerian Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa tanpa
percepatan program penanggulangan HIV, lebih dari setengah juta orang di
Indonesia akan positif HIV (Unicef Indonesia, 2012).
Berdasarkan data Profil Kesehatan RI, jumlah kasus HIV positif pada
tahun 2012 sebanyak 21.511 kasus, meningkat 34,9% pada tahun 2013
(29.037 kasus), serta pada tahun 2014 meningkat lagi 12,36% (32.711 kasus),
dan tahun 2015 sebanyak 30.935 kasus dengan penurunan 5,42%. Presentase
kumulatif infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-24 tahun
4.871 kasus (17%), umur 25- 49 tahun 21.810 (69%) dan kelompok umur
diatas 50 tahun 2.002 kasus (7%). Laporan kasus AIDS yang didapatkan
sampai tahun 2015, terjadi peningkatan 7.8% pada tahun 2013, dan terjadi
penurunan pada tahun berikutnya. Kasus AIDS pada tahun 2012 (10.659
kasus), meningkat 7,8% pada tahun 2013 (11.493 kasus), menurun 31,4%
pada tahun 2014 (7.875 kasus) dan pada tahun 2015 terjadi penurunan lagi
22,7% (6.081 kasus). Dengan kelompok umur 20-29 tahun 27,9% kasus, 30-
39 tahun 37,3% kasus, 40-49 tahun 18,8% kasus dan diatas 60 tahun 2%
kasus (Kemenkes RI, dalam Wirawan, 2016).
Berdasarkan data Ditjen PP & PL Kemenkes RI tahun 2014 dalam
Armiyati (2015), kasus HIV dan AIDS di Kalbar sangat mengkhawatirkan
yaitu dengan jumlah kasus 4.135 orang untuk HIV dan 1.699 orang untuk
AIDS. Dengan angka tersebut, prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk
Kalbar menempati urutan ke- 4 Nasional di bawah Daerah Khusus Ibu Kota
(DKI) Jakarta yaitu 77,82. Hal tersebut didukung pula data dari Profil
Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2012 yang menyatakan bahwa
kota dengan kasus HIV/AIDS tertinggi di Kalimantan Barat adalah Kota
Pontianak dengan jumlah 251 kasus. Data menunjukkan bahwa kasus HIV
pada laki-laki sebanyak 122 kasus dan perempuan 76 kasus, sedangkan kasus
AIDS pada laki-laki sebanyak 35 kasus dan perempuan 18 kasus.
Penyakit HIV/AIDS antara 80-90% penyebabnya adalah berzina dalam
pengertiannya yang luas yang menurut pandangan agama merupakan
perbuatan keji yang diharamkan dan dikutuk oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak hanya pelakunya yang dikenai sanksi hukuman yang berat, tetapi
seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan perzinahan yang dapat menularkan
dan menyebabkan penyakit HIV/AIDS (Bahruddin, 2010). Menyadari betapa
bahayanya virus HIV/AIDS tersebut, maka ada kewajiban kolektif
(kewajiban) bagi semua pihak untuk mengusahakan pencegahan tertularnya
virus HIV/AIDS ini melalui berbagai cara untuk memungkinkan penularan
tersebut, dengan melibatkan peran tokoh agama. Sehingga tinjauan atau
pandangan agama terhadap ODHA sangat penting untuk menghindari
penyebab yang dapat menimbulkan orang-orang dari penyakit HIV/AIDS ini.
Perawatan pada pasien HIV/AIDS yang diberikan dengan pendekatan secara
komprehensif, mencakup pengobatan sakit, pengobatan gejala,
konsultasi dan pengobatan untuk mengatasi masalah kejiwaan dan psikologis,
dukungan dalam mengatasi stigma dan diskriminasi atau penolakan dari
keluarga, rujukan pada layanan sosial, layanan kesehatan primer, perawatan
rohani dan konsultasi, perawatan akhir-kehidupan, dan dukungan dukacita
bagi keluarga. Di samping pengobatan penyakit HIV dan infeksi
oportunistik/opportunistic Infections (OI), perawatan juga termasuk dalam
pelayanan pencegahan dan promosi. Pelayanan ini dapat diberikan sebagai
bagian dari perawatan berkelanjutan oleh sistem layanan kesehatan atau
melalui layanan dari organisasi sosial di masyarakat (Nursalam, 2007).
Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud untuk melakukan
penyusunan makalah mengenai Tinjauan Agama tentang HIV/AIDS dan
Long Term Care pada pasien HIV/AIDS.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana tinjauan agama tentang HIV/AIDS dan Long Term Care ?
5
2.2. Epidemologi
Diseluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV
yang meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah
infeksi baru HIV pada tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta
dewasa dan 240.000 anak berusia < 15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS
sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak berusia
<15 tahun. Di Indonesia, HIV/AIDS pertama kali di temukan di provinsi bali
pada tahun 1987. Hingga saat ini HIV/AIDS sudah menyebar di 386
kabupaten/kota di seluruh provinsi Indonesia. Berbagai upaya
penanggulangan sudah dilakukan oleh pemerintah bekerja sama dengan
berbagai lembaga di dalam negeri dan luar negeri (Kemenkes Ri 2015).
2.3. Etiologi
AIDS disebabkan oleh HIV. HIV adalah virus sitopatik yang
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus
Lentivirus. HIV termasuk virus Ribonucleic Acid (RNA) dengan berat
molekul 9,7 kb (kilobases). Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop
yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp4.
Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17.
Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. Didalam inti
terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse
transcriptase. Bagian envelope yang terdiri atas glikoprotein, ternyata
mempunyai peran yang penting pada terjadinya infeksi oleh karena
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor spesifik CD4 dari sel Host.
Molekul RNA dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu membran
selubung yang mengandung protein (Harisson, 2009).
Jenis virus RNA dalam proses replikasinya harus membuat sebuah
salinan Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dari RNA yang ada di dalam virus.
Gen DNA tersebut yang memungkinkan virus untuk bereplikasi. Seperti
halnya virus yang lain, HIV hanya dapat bereplikasi di dalam sel induk. Di
dalam inti virus juga terdapat enzim-enzim yang digunakan untuk membuat
salinan RNA, yang diperlukan untuk replikasi HIV yakni antara lain:
reverse
transcriptase, integrase, dan protease. RNA diliputi oleh kapsul berbentuk
kerucut terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus. Dikenal dua tipe HIV
yaitu HIV -1 yang ditemukan pada tahun 1983 dan HIV-2 yang ditemukan
pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat. Epidemi HIV secara
global terutama disebabkan oleh HIV-1, sedangkan HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa
yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat (JW, 1997).
HIV-1 dan HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama tetapi
mempunyai perbedaan struktur genom. HIV-1 punya gen vpu tapi tidak
punya vpx, sedangkan HIV-2 sebaliknya (Wainberg MA et al, 2011).
Perbedaan struktur genom ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai
peranan dalam menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit
diantara kedua tipe HIV. Karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan, maka
penelitian-penelitian klinis dan laboratoris lebih sering sering dilakukan
terhadap HIV-1 (Sterling et al, 2001).
Jumlah limfosit T penting untuk menentukan progresifitas penyakit
infeksi HIV ke AIDS. Sel T yang terinfeksi tidak akan berfungsi lagi dan
akhirnya mati. Infeksi HIV ditandai dengan adanya penurunan drastis sel T
dari darah tepi (Wainberg MA et al, 2011).
Penularan virus ditularkan melalui :
a. Hubungan seksual (anal, oral , vaginal) yang tidak terlindungi
(tanpa kondom) dengan orang yang telah terinfeksi HIV.
b. Jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan dipakai bergantian.
c. Mendapatkan transfusi darah yang mengandung virus HIV.
d. Ibu penderita HIV positif kepada bayinya ketika dalam kandungan
, saat melahirkan atau melalui air susu ibu/ASI.
2.4. Klasifikasi
Klasifikasi HIV/AIDS pada orang dewasa menurut Centers for Disease
Control (CDC) dibagi atas empat tahap, yaitu:
2.4.1. Infeksi HIV akut
Tahap ini disebut juga sebagai infeksi primer HIV. Keluhan muncul
setelah 2-4 minggu terinfeksi. Keluhan yang muncul berupa demam, ruam
merah pada kulit, nyeri telan, badan lesu, dan limfadenopati. Pada tahap ini,
diagnosis jarang dapat ditegakkan karena keluhan menyerupai banyak
penyakit lainnya dan hasil tes serologi standar masih negatif.
2.4.2. Infeksi Seropositif HIV Asimtomatis
Pada tahap ini, tes serologi sudah menunjukkan hasil positif tetapi
gejala asimtomatis. Pada orang dewasa, fase ini berlangsung lama dan
penderita bisa tidak mengalami keluhan apapun selama sepuluh tahun atau
lebih.
2.4.3. Persisten Generalized Lymphadenopathy (PGL)
Pada fase ini ditemukan pembesaran kelenjar limfe sedikitnya di dua
tempat selain limfonodi inguinal. Pembesaran ini terjadi karena jaringan
limfe berfungsi sebagai tempat penampungan utama HIV. PGL terjadi pada
sepertiga orang yang terinfeksi HIV asimtomatis.
2.4.4. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, yang tidak mendapat
pengobatan, akan berkembang menjadi AIDS. Progresivitas infeksi HIV
bergantung pada karakteristik virus dan hospes. Usia kurang dari lima tahun
atau lebih dari 40 tahun, infeksi yang menyertai, dan faktor genetik
merupakan faktor penyebab peningkatan progresivitas. Bersamaan dengan
progresifitas dan penurunan sistem imun, penderita HIV lebih rentan
terhadap infeksi. Beberapa penderita mengalami gejala konstitusional,
seperti demam dan penurunan berat badan, yang tidak jelas penyebabnya.
Beberapa penderita lain mengalami diare kronis dengan penurunan berat
badan. Penderita yang mengalami infeksi oportunistik dan tidak mendapat
pengobatan anti retrovirus biasanya akan meninggal kurang dari dua tahun
kemudian.
2.5. Manifestasi
Manifestasi klinis Menurut Rosella (2013), pada stadium AIDS dibagi antara
lain :
a) Gejala utama/mayor
- Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan
- Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus
- Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 bulan
b) Gejala minor
- Batuk kronis selama lebih dari 1 bulan
- Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur candida
albican
- Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap diseluruh tubuh.
Dapat juga timbul gejala letih dan lesu yang muncul setelah
melakukan aktifitas tertentu dan memburuk setelah beberapa waktu.
Kelelahan fisik yang luar biasa sering diakibatkan adanya penurunan
fungsi system tubuh, seperti gangguan fungsi paru, jantung,saraf
ataupun otot.
Rosella (2013) menambahkan manifestasi klinis utama dari penderita
AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu :
a) Manifestasi tumor
- Sarcoma Kaposi
Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat
jarang menjadi sebab kematian primer
- Limfoma ganas
Timbul setelah terjadi sarcoma Kaposi dan menyerang saraf serta
dapat bertahan kurang lebih 1 tahun
b) Manifestasi oportunistik
- Manifestasi pada paru
Pneumoni pneumocystis ( PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS
merupakan infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk
kering, sakit bernafas dalam dan demam
- Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada
paru-paru tetapi dapat meneyebabkan pneumocystis. CMV
merupakan 30% peneybab kematian pada AIDS
- Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan
sulit disembuhkan
- Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan
cepat menyebar ke organ lain diluar paru
c) Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10%
kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya timbul
pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah enefalitis,
meningitis, demensia, mielopati, dan neurpati perifer.
2.6. Patofisiologi
Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu
singkat, virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya
terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih
yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel
yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya
menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus
yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang
disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD 4 adalah sebuah
marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia,
terutama sel-sel limfosit.Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut
sel CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi
mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya
limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu
menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV
menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan
sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong
melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat
memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa
bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%.
Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain
karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh
berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.
Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar
yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan
penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus
yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam
menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun
sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis.
Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan
terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B
(limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi
antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan
HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak
membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada
saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali
organisme dan sasaran baru yang harus diserang.
Setelah virus HIVmasuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6
bulan sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut “periode
jendela” (window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang
selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya
terhadap HIVtetap positif (fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun
kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap (merupakan
sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIVsampai menjadi
AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari
10 tahun setelah diketahui HIV positif.
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS
sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi
HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang
terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung
selama 8-10 tahun.
2.7. Pathway
2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama dari HIV/AIDS adalah terapi ARV. Panduan
ART WHO tahun 2013 merekomendasikan inisiasi ART dilakukan pada
setiap individu dengan HIV dan dengan jumlah CD4+ kurang dari sama
dengan 500 sel/mm3, pada stadium klinis apapun, dan memprioritaskan pasien
HIV yang sudah parah atau yang sudah terkomplikasi (stadium klinis 3 atau
4) atau pasien dengan jumlah CD4+ kurang dari sama dengan 350 sel/mm 3
(WHO, 2015)
Pada ibu hamil dan neonatus, pencegahan transmisi dari ibu ke anak
(PMTCT) merupakan pencegahan penularan HIV dari seorang wanita HIV
positif kepada anaknya selama kehailan, persalinan, atau sedang menyusui.
Standar internasional PMTCT menyatakan terdapat empat elemen PMTCT -
yang merupakan pencegahan primer HIV (Darmadi dan Ruslie, 2012)
2.8.1. Antepartum
Antenatal care bertujuan untuk memperbaiki kualitas kesehatan ibu dan
mencegah mortalitas, identifikasi perempuan dengan HIV positif,
meyakinkan perempuan dengan HIV positif untuk mengikuti program
PMTCT, mencegah transmisi dari ibu ke anaknya, menyediakan AZT
(Zidovudine) sejak usia kehamilan 14 minggu atau ART seumur hidup
sesegera mungkin.
Tes HIV harus dilakukan sebagai langkah pertama pada pelayanan
antenatal. Jika hasil tes negatif dan wanita yang diperiksa asimtomatik,
dianggap sebagai HIV negatif. Wanita dengan HIV negatif perlu disarankan
untuk tes ulang pada usia kehamilan 32 minggu untuk mendeteksi
serokonversi atau infeksi yang baru terjadi. Jika tes skrining positif dengan
ELISA (sensitivitas >99,5%), perlu dikonfirmasi lagi dengan Western blot
atau immunofluorescence assay (IFA), dimana keduanya memiliki
spesifisitas yang tinggi.
2.8.2. Antiretroviral (ARV)
Terapi ARV direkomendasikan kepada semua wanita hamil dengan
risiko transmisi perinatal tanpa memerhatikan jumlah CD4+ atau HIV RNA.
Jika ibu belum mendapatkan regimen pengobatan, maka dilakukan Highly
Active Antiretroviral Therapy (HAART). Ketaatan dalam meminum obat
sanagat penting karena jika tidak, resistensi obat akan menurun.
Wanita hamil sebaiknya dibagi berdasarkan stadium klinis dan jumlah
CD4+. Kriteria pemberian pada wanita hamil: Wanita dengan CD4 lebih
dari 350 sel/mm3 dan tergolong dalam stadium 1 dan 2 sebaiknya
mendapatkan profilaksis antiretrovirus dengan AZT untuk mengurangi
transmisi ke bayinya. Wanita dengan CD4 350 sel/mm3 atau kurang dari
350 sel/mm3 dan tergolong stadium 3 dan 4 sebaiknya mendapat terapi
antiretrovirus seumur hidup.
BAB 3
TIJAUAN AGAMA DAN LONG TERM CARE TERHADAP HIV/AIDS
3.1. Aspek Agama Pada ODHA
Spiritualitas dan agama berperan penting pada Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA). Hasil penelitian mengenai pengaruh spiritualitas/agama terhadap
ODHA cenderung bervariasi. Terdapat studi yang menyatakan bahwa
spiritualitas atau agama berpengaruh dalam menurunnya perkembangan
penyakit (menurunnya jumlah CD4 atau viral load) Tingginya tingkat
spiritualitas/agama dapat dihubungkan dengan menurunnya distres
psikologis, nyeri, dan meningkatnya keinginan untuk hidup, aspek kognitif
dan fungsi sosial yang lebih baik semenjak terdiagnosa HIV (Szaflarski,
2013).
Namun, spiritualitas/agama dapat memperburuk hasil karena potensial
kepercayaan pada Tuhan dan penolakan terapi ARV serta pandangan bahwa
HIV merupakan hukuman dari Tuhan atas kebiasaan dan gaya hidup yang
penuh dosa. Hal ini sering dihubungkan dengan tingginya tingkat depresi,
kesendirian, dan memburuknya kepatuhan terhadap tindakan medis pada
ODHA (Szaflarski, 2013).
Mekanisme bagaimana spiritualitas/agama memengaruhi ODHA yakni
peran ganda spiritualitas/agama sebagai mekanisme koping dan stresor.
Kremer, et al dalam Szaflarski, (2013), menunjukkan bahwa spiritualitas
memengaruhi HIV dari sisi positif atau negatif dalam hidup ODHA. ODHA
dapat merasakan peningkatan spiritualitas dan menganggap bahwa ia sebagai
orang ‘terpilih’ untuk memiliki penyakit HIV dan mempersepsikan penyakit
tersebut sebagai titik positif dalam hidupnya. Sebaliknya, ODHA yang
merasakan penurunanan tingkat spiritualitas menganggap HIV sebagai
sesuatu yang negatif.
Beberapa studi menunjukkan dalam aspek kesehatan mental yang
mempertimbangkan tingginya tingkat depresi atau permasalahan kebiasaan
pada ODHA. Hidayat (2017), meneliti hubungan antara stigma kepercayaan
HIV, koping, dan spiritual. Koping yang berhubungan dengan stigma
16
sangatlah penting karena ODHA sering merendah diri dan memerlukan cara
untuk menangani distres dan ansietas yang disebabkan oleh faktor sosial
seperti prasangka dan diskriminasi. Kedamaian spiritual dianggap sebagai
koping umum yang dapat melindungi dampak negatif dari stres psikologis
(Szaflarski, 2013).
3.1.1. Peran Agama
Dalam perspektif religius, masalah HIV/ AIDS adalah suatu peringatan
pada setiap orang, bahwa ada krisis dalam penyelenggaraan kehidupan
bersama. Dalam situasi ini tidak pada tempatnya lembaga-lembaga agama
bersikukuh dengan kaca mata hitam-putihnya menuntut apa yang seharusnya
dilakukan atau tidak dilakukan oleh umat atau masyarakat. Dengan
menghakimi situasi masyarakat termasuk mengadili para ODHA, agama-
agama tidak bisa memberi peran apa pun ditengah ketidakadilan yang sangat
menyulitkan ini.
Banyak problem kemanusiaan yang terlambat ditanggapi agama-agama,
salah satunya adalah permasalahan HIV/ AIDS. Tidak ada cara lain bagi
institusi-institusi keagamaan selain memperbaharui wacana yang
dikembangkan agar lebih bisa menjadi berkat, rahmat dan memberi damai
dalam kehidupan. Agama sudah seharusnya menjadi ‘obat’ bagi masalah
kehidupan (termasuk masalah HIV/ AIDS), bukannya menjadi ‘racun’ yang
memperburuk masalah ( Aminah, 2010 )
3.1.2. Sikap Masyarakat
Sikap masyarakat berdampak pada segala aspek kehidupan ODHA
termasuk makna ajaran agama. Terdapat studi yang menemukan bahwa
keyakinan masyarakat ditempat tersebut memiliki pengaruh negatif yang
signifikan pada sikap dan perilaku orang-orang terhadap ODHA. Hal ini
dikarenakan ODHA dikaitkan dengan perilaku dan preferensi seksual
tertentu, atau penggunaan zat obat yang dilarang oleh gereja (Hidayat, Agung
dan Riri 2017).
ODHA mengukapkan bahwa dalam ajaran agama mereka (Islam dan
Kristen) terdapat larangan keras dan berakibat dosa terhadap larangan yang
keras dan berakibat dosa terhadap beberapa perilaku seperti berhubungan seks
secara bebas dan mengkibatkan mereka tertular HIV, namun masyarakat
lebih memaknai ajaran agama sebagai suatu pendorong yang kuat untuk
bersikap baik dan saling mengasihi termasuk kepada ODHA (Hidayat, Agung
dan Riri 2017).
Semua agama mendorong orang untuk berbelas kasih terhadap orang lain
tanpa membedakan ras, jenis kelamin, status sosial, penyakit dan perbedaan
yang ada. Meskipun beberapa dari pengikut agama mungkin memiliki
perasaan negative dan diskriminatif terhadap orang orang yang berbeda dari
keyakinan mereka (Hidayat, Agung dan Riri 2017).
3.1.3. HIV/AIDS Dalam Perspektif Agama
A. Agama Islam
a) Sejarah yang ditutupi dari penyakit HIV/AIDS
Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT) adalah perilau
yang menyimpang tapi menurut ilmu psikologi disepakati bukan
sebagai penyakit melainkan stuktur otak yang berbeda dari manusia
umumnya. Tentunya bertentangan dengan ahli saraf dari poliandia
ini menurut Jamski knofski tahun 1948 memperkenalkan sebuah
teori bahwa otak manusia itu sifatnya fleksible. Berdasarkan apa
yang diterima informasi yang masuk kedalam otak manusia itulah
otak akan bersikap dan teori ini membantah teori sebelumnya yang
mengatakan bahwa otak itu cenderung baku (Hidayat, 2017).
Contohnya pada saat kita melihat sesuatu yang baik,mendengar
perkataan yang baik, dan diperlakukan dengan baik maka ribuan
saraf akan berespon baik itu yang dirasakannya. Semakin sering
dilihat maka respon kita itu akan disalurkan oleh ribuan saraf ke
tangan ke kaki dan ke imajinasi maka itu yang akan mempengaruhi
seluruh tubuhnya dalam kebaikan. Apa yang dilihatnya
disambungkan ke dalam hati maka semua perilakunya baik.namun
sebaliknya apabila sering melihat yang jelek, mendengar perkataan
yang kurang baik dan melakukan sesuatu yang tidak baik maka
saraf-sarafnya akam menyesuaikan seketika dan apabila terus-
menerus dilakukannya maka menjadi kepribadaian yang kurang
baik (Hidayat, Adi., 2017).
Jadi kita ketahui perilaku-perilaku penympangan LGBT itu
bukan normal. Itu disebabkan dari seseorang manusia tidak bisa
mengontrol fungsi-fungsi informasinya, menerima informasi yang
buruk itulah yang akan melahirkan suatu perilaku menyimpang
yaitu LGBT. Sedangkan penyakit HIV diawali dengan 2 orang
melakukan homoksexual, sperma yang tertampug di pusat kotoran
itu melahirkan suatu penyakit yaitu HIV (Hidayat, Adi., 2017).
b) Menurut bahaya HID/AIDS berita Islami masa kini
“Dan janganlah kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”
(Surah Al: Isra ayat 32). Apabila seseorang menjauhi zina dan
menjauhi sex maka akan menjadi prisai dari HIV/AIDS. HIV dapat
tertular melalui jarum suntik yang bergantian yang biasa digunakan
untuk narkoba sedangkan penyalahgunaan narkoba merupakan
perbuatan yang dilarang oleh agama menurut para ulama yang
didasarkan pada Al-Quran dan Hadis.
“Dan janganlah kamu menjatuhkan diri sendiri dalam
kebinasaan” (surah Al: Bakarah ayat 195). Pencegahan dengan
melakukan penyuluhan tentang bahaya penyakit HIV/AIDS.
Penyuluhan tersebut dapat dilakukan melalui ceramah agama,
khutbah, ataupun pengajian. “Serulah manusia kejalan Allah dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantulah pula dengan cara yang
baik” (surah An: Nahl ayat 25)
Meskipun penyakit HIV/AIDS berbahaya namun tidak lantas
kita menjauhi dan memusuhi orang dengan HIV/AIDS atau ODHA
dalam berbagai kasus ODHA kerap sekali mengalami diskriminasi,
ODHA selalu dianggap menular dan berbahaya padahal mereka
seharusnya diberi dukungan semangat terutama bagi orang yang
tekena HIV bukan karena keinginannya, terutama bayi yang terlahir
dengan ibu yang menderita HIV atau jarum suntik yang terkena
HIV apalagi sesama islam kita harus menyayangi sesama manusia
dan berbuat baik terhadap sesama
B. Agama Kristen
a) Teologi Penciptaan.
Kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama melukiskan bahwa
semua yang disebut sebagai makhluk hidup selalu berada dalam
suatu relasi : Relasi antara Tuhan dan manusia serta makhluk lain,
baik manusia dan non-manusia, relasi antara sesama makhluk hidup,
baik manusia dan non- manusia. "Relasi" tersebut merupakan
simpul yang menentukan kualitas kehidupan secara utuh (tubuh,
jiwa, roh, dan sosial) (Sahertian dalam Aminah 2010)
b) Teologi Penderitaan dan Kematian, Pengharapan dan Kebangkitan
Bagi pemahaman Kristiani, Allah adalah Allah pemelihara dan
penuh kasih setia. Oleh karena itu Ia tetap memelihara relasi dengan
makhluk-Nya. Hal itu dimanifestasikan melalui tindakan
keselamatan kepada manusia. Ia membuka jalan keselamatan bagi
manusia dan kemudian mendidik umatnya untuk kembali ke jalan
yang benar (bertobat). Berbagai upaya dilakukan yakni memanggil
dan mengutus utusan-utusan-Nya, para imam, para nabi dan para
hakim untuk mengoreksi, menegur dan mengasuh ciptaan-Nya.
Inilah kerangka dasar sikap Kristiani dalam menghadapi HIV/
AIDS yakni mengambil pola pelayanan Kristus. Bagaimana menjadi
"the caring/ healing community" bagi sesama yang sedang terpuruk
dalam belukar.
c) Gereja dalam kapasitas sebagai komunitas peduli dalam rangka
merespon epidemik HIV dan AIDS :
Meminta perhatian gereja-gereja untuk mengembangkan suatu
iklim dan tempat yang penuh cinta kasih, penerimaan, dan
dukungan bagi mereka yang rentan atau yang telah terkena
HIV/ AIDS tanpa memandang latar belakang agama,suku,
status sosial maupun keberadaan personal seseorang.
Meminta perhatian gereja untuk bersama-sama berefleksi pada
basis pemahaman teologinya dalam rangka merespons
tantangan HIV/ AIDS.
Meminta perhatian gereja untuk bersama-sama berefleksi
masalah-masalah etik yang timbul karena pandemik ini,
bagaimana menginterpretasikannya ke dalam konteks lokal dan
menawarkan panduan bagi mereka yang menghadapi kesulitan
dalam menentukan pilihan.
Meminta perhatian gereja supaya terlibat aktif dalam berbagai
diskusi di masyarakat mengenai isu-isu etik yang muncul
karena HIV/ AIDS, dan mendukung warga jemaatnya,
khususnya yang melayani dibidang kesehatan, yang
menghadapi kesulitan menentukan keputusan etis dalam hal
pencegahan dan perawatan.
d) Kesaksian gereja dalam hubungannya dengan masalah langsung
HIV/ AIDS:
Meminta perhatian gereja-gereja untuk melayani sebaik
mungkin mereka yang hidup dengan HIV/ AIDS.
Meminta perhatian gereja untuk memberikan perhatian khusus
bagi bayi dan anak-anak yang hidup dengan HIV/ AIDS dan
mencari jalan keluar dalam membangun lingkup yang
mendukung.
Meminta perhatian gereja untuk membantu melindungi hak-
hak mereka yang hidup dengan HIV/ AIDS, mempelajari,
mengembangkan dan mempromosikan HAM dari ODHA.
Meminta perhatian gereja untuk memberikan informasi yang
akurat tentang HIV/ AIDS, mempromosikan kondisi yang
memungkinkan diskusi terbuka dalam rangka menanggulangi
penyebaran informasi yang salah yang bisa mengakibatkan
reaksi takut.
Meminta perhatian gereja untuk meningkatkan advokasi dan
dukungan bagi upaya yang telah dilakukan pemerintah dan
fasilitas kesehatan untuk menemukan jalan keluar dari masalah
yang ada baik masalah sosial maupun medis.
Gereja tidak boleh lagi tabu dalam memberikan informasi dan
edukasi tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi pada
kelompok umur dengan pendekatan dan metodologi yang
bertanggung jawab, sebab penyelamatan Allah secara holistik
menyangkut tubuh dan berbagai dimensinya, mental, rohani
dan sosial, bukan hanya rohani saja.
e) Kesaksian Gereja sehubungan dengan masalah yang
berkepanjangan dan faktor-faktor yang dapat memberikan
pengharapan.
Meminta perhatian gereja-gereja untuk menyadari, mengakui
bahwa ada hubungan antara AIDS dan kemiskinan, dan
mengadvokasi upaya promosi keadilan dan pembangunan yang
berkelanjutan.
Meminta perhatian gereja untuk memberi perhatian khusus
pada situasi yang dapat memperluas kerentanan terhadap AIDS
seperti isu pekerja migran, pengungsian darurat dalam jumlah
besar serta isu aktifitas seks komersial.
Lebih khusus lagi, gereja-gereja perlu bekerja sama dengan
kelompok perempuan di mana selama ini mereka berjuang
untuk hak dan martabat mereka serta mengaktualisasikan
keterampilan mereka secara maksimal.
Meminta perhatian gereja-gereja untuk membina dan
melibatkan kaum muda dan para pria dalam rangka
pencegahan penyebaran HIV/ AIDS
C. Agama Katolik
a) Upaya-Upaya Gereja Katolik
Gereja berpihak kepada para korban penyalahgunaan penderita
AIDS. Keberpihakan itu diwujudkan dalam berbagai bidang usaha
untuk menggapai permasalahan HIV/ AIDS dan narkoba secara
serius. Bidang yang diusahakan untuk menangani kasus-kasus HIV/
AIDS dan narkoba meliputi pencegahan, perawatan, pendampingan
psikologis sosial dan spiritual.
Strategi yang bisa dipikirkan adalah menyiapkan paroki atau
komunitas-komunitas umat beriman sebagai 'keluarga kedua'
dimana setiap orang dengan bebas datang dan memperoleh
kesegaran hidup manusiawi. Komunitas yang demikian dapat
mengubah orang menjadi lebih santun dan manusiawi ( Prapdi
dalam Aminah 2010 )
D. Agama Budha Darma
a) Buddha Dharma & HIV/AIDS Sila (Moralitas)
Ada atau tidak ada HIV/ AIDS di muka bumi ini, moralitas
(sila) adalah masalah manusia yang abadi. Dalam Buddha Dharma,
moralitas tidak dipandang sebagai tanggung jawab manusia
terhadap “Tuhan Pencipta”, melainkan sebagai tanggung jawab
terhadap diri sendiri.
Apabila diakui bahwa penularan HIV/ AIDS untuk sebagian
besar terjadi melalui perilaku yang tidak sesuai dengan sila
hubungan seksual tak terlindung dengan pasangan yang berganti-
ganti, dan penggunaan obat suntik dengan alat suntik yang tidak
steril maka dapat dipahami bahwa pengembangan dan peningkatan
sila di dalam diri individu berdasarkan kesadaran pribadi
merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi penularan HIV/
AIDS (Hupudio dalam Aminah 2010)
b) Pandangan Dan Langkah-Langkah Hindu Dalam Penanggulangan
Hiv/Aids Dan Narkoba (Dukuh Samiaga)
a. Upaya Hindu dalam Pencegahan HIV / AIDS
Agama Hindu yang sering disebut DHARMA (kewajiban
mulia) selalu menekankan umatnya untuk hidup dalam jalan
Dharma (jalan mulia) yang tidak keluar dari perintah Hyang
Widhi dan selalu mentaati larangan-larangan yang ada. Di
dalam Dharma Sastra (Hukum Hindu) ditentukan larangan-
larangan keras terhadap perilaku moral yang menyimpang,
tidak sesuai dengan jalan mulia Hyang Widhi.
Hindu menganggap seks itu adalah sesuatu yang murni
dan luhur sehingga tidak dibenarkan melakukannya di
sembarang tempat atau dengan sembarang orang yang bukan
pasangannya.
b. Perlakuan Umat terhadap Penderita
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa HIV/ AIDS
bukanlah penyakit kutukan tetapi semata-mata penyakit lahiriah
yang disebabkan terjadinya kontak langsung para penderita
melalui empat jalan tadi (seks, jarum suntik, transfusi darah,
lewat ibu melahirkan) sehingga masyarakat Hindu selalu
menerima penderita HIV/ AIDS sebagai masyarakat biasa yang
tidak merupakan momok yang menakutkan, yang diterima apa
adanya baik kekurangan maupun kelebihannya.
Jadi untuk penderita AIDS khususnya di masyarakat
Hindu (Bali) tidak terjadi diskriminatif, tetapi diterima sebagai
hamba Tuhan yang perlu dirawat dan dibesarkan semangatnya,
sehingga penderita bisa menapak kehidupannya dengan lebih
baik. Dan bagi penderita yang meninggal dunia, juga mendapat
perlakuan yang sama seperti layaknya bukan penderita.
3.1.4. Pencegahan
Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
diperuntukkan bagi seluruh umat manusia dan semesta alam (rahmatan lil
`alamin), salah satunya adalah mengenai etika dan moral (akhlak) yang
mengajarkan bagaimana bersikap dan berperilaku terhadap sesama
makhluk Tuhan, termasuk di dalamnya adalah bagaimana memperlakukan
orang yang hidup dengan HIV/ AIDS (ODHA). Mereka tidak boleh
didiskriminasi dalam hal apapun karena sama-sama memiliki derajat
sebagai manusia yang dimuliakan Tuhan. Sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur'an surat Al Isra/ I7:70: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan".
Namun ironisnya, hingga saat ini masih banyak kalangan agamawan
(dari Islam) yang meyakini bahwa fenomena HIV/ AIDS adalah penyakit
kutukan Tuhan atau identik dengan kaum Luth yang menyukai
homoseksual, sebagaimana yang dikisahkan Tuhan dalam Al-Qur'an surat
7/Al-A'raf : 80-84, surat 27/ An Naml: 56. Begitu juga norma masyarakat
masih banyak yang menganggap bahwa HIV/ AIDS adalah penyakit
menular seksual. Padahal bila dilihat dari cara penularannya HIV/ AIDS
sesungguhnya bukan merupakan penyakit seksual, karena orang yang tidak
melakukan hubungan seks dengan penderita HIV pun bisa tertular seperti
penularan melalui transfusi darah, jarum suntik, pisau cukur, dan
sebagainya. Pandangan tokoh agama dan masyarakat tersebut harus
diluruskan dengan informasi yang benar mengenai HIV/ AIDS supaya tidak
dianggap sebagai norma masyarakat. Jika tidak, maka akan berbahaya
karena terjebak pada lingkaran normatif yang tidak menguntungkan
ODHA.
Begitu juga pandangan mengenai kondom sebagai salah satu cara
pencegahan HIV/ AIDS hingga saat ini masih kontroversial karena
dikhawatirkan disalahgunakan oleh pasangan di luar nikah, dianggap
melegalisisir perzinahan dan sebagainya. Pandangan tersebut hendaknya
diubah dengan pendekatan solutif menggunakan kaidah fiqhiyyah yaitu
"memilih bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya untuk mencegah
yang lebih membahayakan". Dalam hal ini mensosialisasikan pemakaian
kondom sebagai salah satu cara pencegahan HIV/AIDS jauh lebih ringan
bahayanya dibandingkan dengan melarang kondom disosialisasikan
( Anshor dalam Aminah 2010 ).
3.1.5. Penanggulangan
HIV/AIDS telah mewabah tidak hanya di kalangan komunitas yang
dianggap resiko tinggi dan bukan orang-orang yang taat agama tetapi tanpa
pandang bulu menyerang siapapun. Persepsi masyarakat tidak lagi
dikaitkan dengan mitos dan hukuman/kutukan Tuhan. Sikap umat Islam
terhadap masalah ini melahirkan perdebatan yang disebabkan berbeda
dalam mendifinisikan HIV/AIDS maupun memahami korban. Perbedaan
sikap tersebut disebabkan antara lain oleh: (1) Memandang HIV/AIDS
semata-mata menjadi masalah medis. (2) HIV/AIDS sebagai masalah
penyimpangan seksual. (3) HIV/AIDS sebagai masalah penyimpangan
sosial. (4) HIV/AIDS sebagai masalah agama. (5) HIV/AIDS merupakan
masalah kapitalisme global.
Menurut pandangan yang representatif dari konservatif sebagaimana
dikemukakan ahli psikiater dan guru besar FKUI, Prof. Dr. dr. II.Dadang
Hawari5 bahwa upaya-upaya penanggulangan penyakit HIV/AIDS selama
ini, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun LSM lebih menekankan
kepada pendekatan sekuler dan medis semata, baik dalam upaya
pencegahan ataupun terapinya, termasuk tidak menyentuh akar
permasalahan penyebab utamanya. Akar masalah menurut pandangan ini
adalah penyakit mental dan perilaku. Karcnanya, integrasi medis dan moral
(agama) adalah pendekatan yang seharusnya diterapkan. Pendekatan model
ini, analisisnya tampak kurang tajam dan menyentuh empati semua pihak,
terkesan diskriminatif terhadap ODHA.
Narnun demikian pendapat ini sekurang-kurangnya menjadi motivasi
masyarakat khususnya muslim dalam mencegah perilaku beresiko terkena
HIV/AIDS. Berbeda halnya dengan pandangan progresif bahwa
penanggulangan HIV/AIDS melalui pendekatan multidimensional,
HIV/AIDS terkait juga dengan masalah sosial, budaya, politik, ekonomi
dan hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, kajian Islam tentang masalah
ini harus melalui pendekatan studi Islam kontcmporer, terpadu dengan
pendekatan sosial budaya. Mengingat sejumlah kasus penularan HIV tidak
hanya melalui seks bebas atau penggunaan jarum suntuk narkoba, tetapi
juga suami istri yang salah satunya adalah beresiko, bayi terinfeksi dari
ibunya, dan cara-cara lain yang tampak tidak terkait dengan masalah moral.
Dengan demikian nilai-nilai Islam menjadi bagian penting dalam upaya
pencegahan HIV/AIDS di masyarakat, misalnya dilandasi dengan prinsip-
prinsip keadilan, kesetaraan, empaty, demokrasi, khusunya dalam
melakukan advokasi terhadap ODHA.
39
Daftar Pustaka
Alhumair, Inshan Kamila. (2017) . Pengetahuan Dasar Tentang HIV/AIDS.
( Diakses tanggal 04 oktober 2017
https://siamik.upnjatim.ac.id/poliklinik/aid.pdf )
Aminah, Siti Mardiatul. (2010). Memperbarui Sikap Agama-agama Terhadap
Masalah HIV/AIDS. Diakses tanggal 20 oktober 2017
https://www.scribd.com/doc/45937183/Memperbaharui-Sikap-Agama-
Terhadap-HIV-AIDS
Aristiana, N., Baidi Bukhori., Hasyim Hasanah. (2015). Pelayanan Bimbingan
Dan Konseling Islam Dalam Meningkatkan Kesehatan Mental Pasien
Hiv/Aids Di Klinik Vct Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.
Jurnal Ilmu Dakwah. 35(2) ISSN 1693-8054. Diakses pada tanggal 4
okteber 2017.
http://journal.walisongo.ac.id/index.php/dakwah/article/view/1609/1279.
Armiyati, Y., Desy ,Ariana Rahayu., Siti Aisah. (2015). Manajemen Masalah
Psikososiospiritual Pasien HIV/AIDS Di Kota Semarang. The 2nd
University Research Coloquium. ISSN 2407-9189.
Baharuddin, M. (2010). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penderita HIV/AIDS
dan Upaya Pencegahannya. ASAS vol. 2(2).
Berita Islami Masa kini. (2015). Bahaya HIV/AIDS. Https://youtu.be/0-
pzw0BKgac diakses pada tanggal 21 oktober 2017.
Canadian Nurses Association. Nurse Practitioners in Long-Term Care. Canada:
Canadian Nurses Association; 2013. hal. 1–5.
CH, Mufidah. (2012). Penanggulan HIV/AIDS Melalui Jejaring Antar Lembaga
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Jawa Timur Nomor 14
Tahun 2008. Tarbiyah Jurnal Pendidikan Islam.
Darmadi, Darmadi, dan Riska Habriel Ruslie (2012) Diagnosis dan Tatalaksana
Infeksi HIV pada Neonatus. Majalah Kedokteran Andalas vol. 36(1).
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat. (2012). Profil Kesehatan Provinsi
Kalimantan Barat. Diakses pada 11-09-2017.
Handoko, A. V., & Sofro, M. A. (2012). Hubungan Antara Hitung Sel CD4
Dengan Kejadian Retinitis Pada Pasien HIV Di RSUP Dr. Kariadi
Semarang. Doctoral Dissertation, Fakultas Kedokteran.
Harisson, KM. (2009). Life Expectancy Still Shorter For People With HIV.
Hidayanti,Ema dkk .(2016).Kontribusi Konseling Islam Dalam Mewujudkan
Palliative Care Bagi Pasien Hiv/Aids Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Semarang.RELIGIA, Vol. 19, No. 1, April 2016.Hal: 113-132
Hidayat, Adi. (2017). Sejarah yang ditutupi dari penyakit HIV/AIDS.
Www.youtube.com/watch?v=jbW2v Diakses pada tanggal 21 oktober
2017.
Hidayat, Uti Rusdian., Agung Waluyo dan Riri Maria. (2017). Sikap Masyarakat
Pada Odha Di Desa Serangkat Kabupaten Bengkayang Propinsi
Kalimantan Barat. Jurnal Vokasi Kesahatan vol 3(1). Hal 22-27. ISSN
2442-5478.
Infodatin. (2015). Situasi dan Analisis HIV AIDS. Pusat Data Dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI. Diakses tanggal 04 oktober 2017
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin
%20AIDS.pdf .
Jelliman P. & Lorna P. (2017). HIV Is Now A Manageable Long-Term Condition.
A Qualitative Study Exploring Views About Disitinguishing Features
From Multi-Proffesional HIV Specialists In North West England. Journal
Of Association Of Nurses In AIDS Care, Vol. 28, No. 1. Liverpool:
Elsevier Inc.
JW Mellors., A Munoz., JV Giorgi., JB Margolick., CJ Tassoni., P Gupta et al.
(19970. Plasma Viral Load And CD4+ Lymphocytes As Prognostic
Markers Of HIV-1 Infection. Ann Intern Med 126(12) :945-54.
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehat Lingkungan. (2013). Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta:
Depkes RI.
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehat Lingkungan. (2013). Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta:
Depkes RI.
Nursalam. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV. Jakarta:
Salemba Medika.
Pratt, J.R. (2010). Long Term Care: Managing Across The Continuum Third
Edition. Canada: Jones And Bartlett Publishers.
Rosella,M. (2013). Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Harapan Hidup 5
Tahun Pasien Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS) Di Rsup Dr. Kariadi Semarang.
Rossella, M & Sofro, M. A. U. (2013). Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
Terhadap Harapan Hidup 5 Tahun Pasien Human Immunodeficiency Virus
(HIV)/Acquired Immune Deficiency Syndrome (Aids) Di RSUP Dr.
Kariadi Semarang. Doctoral Dissertation, Faculty Of Medicine
Diponegoro University.
Silvestre JH, Bowers BJ, Gaard S. Improving the Quality of Long-Term Care.
Journal of Nursing Regulation [Internet]. Elsevier Masson SAS;
2015;6(2):52–6. Diambil dari: http://dx.doi.org/10.1016/S2155-
8256(15)30389-6
Singh, Douglas A. (2016). Effective Management of Long-Term Care Facilities
third edition. Burlington: Jones & Barlett Learning.
Sterling ,TR., Vlahov D., Astemborski J., Hoover DR., Margolick JB., Quinn TC.
(2001). Initial Plasma HIV-1 RNA Level And Progression To AIDS In
Women And Men. N Engl J Med. 344(10):720-5.
Syarif, A. (2012). Tarbiyatuna. Jurnal Pendidikan Islam.
Szaflarski, M. (2013). Spirituality and Religion Among HIV-Infected Individuals.
Curr HIV/AIDS Rep. 2013 10(4): 324 – 332. doi:10.1007/s11904-013-
0175-7.
UNAIDS. (2015). Epidemiology Global Statistics Fact Sheet HIV/AIDS 2015.
http://www.unaids.org/en/resources/documents/2015/20150714_factsheet.
UNAIDS. (2015). Epidemiology Global Statistics Fact Sheet HIV/AIDS 2015.
http://www.unaids.org/en/resources/documents/2015/20150714_factsheet.
Unicef Indonesia. (2012). Ringkasan Kajian Respon Terhadap HIV & AIDS.
Diakses dari: https://www.unicef.org/indonesia/id/A4_-
_B_Ringkasan_Kajian_HIV.pdf
Unicef Indonesia. (2012). Ringkasan Kajian Respon Terhadap HIV & AIDS.
Diakses dari: https://www.unicef.org/indonesia/id/A4_-
_B_Ringkasan_Kajian_HIV.pdf
Wainberg, MA., Zaharatos GJ., Brenner BG. (2011). Development Of
Antiretroviral Drug Resistance. N Engl J Med 365:637-46.
WHO (2015) Guideline on When to Start Aniretroviral Therapy and on Pre-
exposure Prophylaxis for HIV. Switzerland: World Health Organization
Wirawan, W. (2016). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Berisiko
Penyakit HIV/AIDS Pada Remaja di SMAN 6 Kecamatan Padang Selatan
Kota Padang Tahun 2016. Padang: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Andalas Padang.
World Health Organization . (2000). HOME-BASED LONG-TERM CARE.
WHO Study Group.
Http://Apps.Who.Int/Iris/Bitstream/10665/42343/1/WHO_TRS_898.Pdf
diakses tanggal 27 oktober 2017.
Yusri A, Sori M, Rasmaliah. 2012. Karakteristik Penderita AIDS dan Infeksi
Oportunistik Di Rumah Sakit umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan
tahun 2012. ( Diakses tanggal 04 oktober 2017
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=131358&val=4108 )