Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH HIV/AIDS

“Tinjauan Agama Tentang HIV/AIDS dan Long Term Care”

Dosen Pembimbing: Jaka Pradika, M.Kep., Ners

Disusun Oleh :

Kelompok 5

Dony Azie P. I1031141010 Luthfi Ummami I1031141033


Ersa Karolin I1031141015 Ficcy Yulianti Sari I1031141036
Irma Agustina I1031141022 Rangga Hariyanto I1031141045
Ayu Mayangsari I1031141026 Lidya Yuniarsih I1031141059
Atrasina Azzyati I1031141027 Febby Hardianti I1031141065
Sultana Zakaria I1031141029

PROGRAM STUDI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2017
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Tinjauan Agama Tentang HIV/AIDS dan Long Term
Care”.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua


pihak yang telah membantu, memberikan bimbingan, serta memberikan motivasi
kepada kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, maka pada
kesempatan ini penulis dengan rasa hormat menyampaikan terimakasih kepada:

1. Jaka Pradika, M. Kep., Ners Selaku dosen pembimbing Mata Kuliah


Keperawatan HIV/AIDS yang memberikan masukan-masukan dan
membimbing kami, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
2. Teman-teman mahasiswa/mahasiswi Fakultas Kedokteran UNTAN
Program Studi Ilmu Keperawatan yang ikut membantu serta mendukung,
sehingga makalah ini terselaikan dengan baik.

Penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar makalah ini lebih
baik lagi. Semoga makalah ini dapat menjadi sarana belajar dan bermanfaat bagi
masyarakat pada khususnya bagi pembaca.

Pontianak, Oktober 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................3
1.3 Tujuan Penulisan............................................................4
1.4 Manfaat Penulisan..........................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................5
2.1 Definisi...........................................................................5
2.2 Epidemologi...................................................................6
2.3 Etiologi...........................................................................6
2.4 Klasifikasi.......................................................................8
2.5 Manifestasi.....................................................................9
2.6 Patofisiologi....................................................................10
2.7 Pathway..........................................................................13
2.8 Penatalaksanaan..............................................................14
BAB 3 TINJAUAN AGAMA TERHADAP HIV/AIDS...........15
3.1 Aspek Agama Pada ODHA............................................15
3.1.1 Peran Agama...........................................................17
3.1.2 Sikap Masyarakat....................................................17
3.1.3 HIV/AIDS Dalam Perspektif Agama......................18
3.1.4 Pencegahan..............................................................25
3.1.5 Penanggulangan......................................................26
3.2 Long Term Care............................................................27
3.2.1 Definisi....................................................................27
3.2.2 Tujuan Long Term Care..........................................29
3.2.3 Peran Perawat..........................................................29
3.2.4 Jenis dan Sumber Long Term Care.........................32
3.2.5 Kondisi Pasient Memeprlukan Long Term Care.....33
3.2.6 Long Term Care Pada Pasien HIV/AIDS...............34
3.2.7 Tantangan Pelaksanaan Long Term Care................37
BAB 4 PENUTUP........................................................................39
4.1 Kesimpulan.....................................................................39
4.2 Saran...............................................................................39
DAFTAR PUSTAKA...................................................................40
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu penyakit yang belum ada
obatnya adalah HIV/AIDS. Virus Human
Immunodefeciency (Virus HIV) adalah
retrovirus yang mempunyai kemampuan
menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu
untuk membentuk virus DNA dan
menginfeksi tubuh dalam periode inkubasi
yang panjang. HIV dapat menyebabkan
kerusakan pada sistem imun, hal ini terjadi
karena virus HIV menggunakan DNA dari
CD4 + dan limfosit untuk mereplikasi diri.
Dalam proses tersebut, virus menghancurkan
CD4 + dan limfosit sehingga terjadi
penurunan sistem kekebalan tubuh pada
penderita HIV/AIDS (Nursalam &
Kurniawati, 2007).
Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS), yaitu kumpulan gejala penyakit yang
disebabkan retrovirus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh sehingga menurunkan
kekebalan (lmunitas) tubuh seseorang.
Penyakit AIDS ini disebabkan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) (Wirawan,
2016).
Ketika individu sudah tidak lagi memiliki
sistem kekebalan tubuh maka semua penyakit
dapat dengan mudah masuk kedalam tubuh,
karena sistem kekebalan tubuhnya menjadi
sangat lemah, penyakit yang tadinya tidak
berbahaya akan menjadi sangat berbahaya
1
bahkan dapát penderita baru sebanyak 2 juta penderita. Dan
menimbulkan di akhir tahun 2014 sebanyak 1,2 orang
kematian. meninggal karena AIDS. Pada tahun 2014
Dampak AIDS terdapat 35 juta penderita. Penderita terbanyak
tidak hanya berada di wilayah Afrika sebanyak 24,7 juta
terkait dengan penderita. Sedangkan di Asia tercatat 4,8 juta
masalah medis, penderita HIV/AIDS.
tetapi juga
psikologis,
sosial dan
ekonomi
(Wirawan,
2016).
Prevalensi
HIV/AIDS di
seluruh dunia
terus
mengalami
peningkatan.
Berdasarkan
United Nations
Programme on
HIV/AIDS
(UNAIDS)
Global
Statistics
(2015), bahwa
prevalensi
HIV/AIDS di
dunia mencapai
36,9 juta
penderita. Pada
akhir tahun
2014 tercatat
2
Indonesia merupakan salah satu dari negara di Asia yang memiliki
kerentanan HIV akibat dampak perubahan ekonomi dan kehidupan sosial.
Penularan HIV umumnya terjadi akibat perilaku manusia, sehingga
menempatkan individu dalam situasi yang rentan terhadap infeksi (Kemenkes
RI, 2013). Dalam waktu tiap 25 menit di Indonesia, terdapat satu orang baru
terinfeksi HIV. Satu dari setiap lima orang yang terinfeksi di bawah usia 25
tahun. Proyeksi Kementerian Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa tanpa
percepatan program penanggulangan HIV, lebih dari setengah juta orang di
Indonesia akan positif HIV (Unicef Indonesia, 2012).
Berdasarkan data Profil Kesehatan RI, jumlah kasus HIV positif pada
tahun 2012 sebanyak 21.511 kasus, meningkat 34,9% pada tahun 2013
(29.037 kasus), serta pada tahun 2014 meningkat lagi 12,36% (32.711 kasus),
dan tahun 2015 sebanyak 30.935 kasus dengan penurunan 5,42%. Presentase
kumulatif infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-24 tahun
4.871 kasus (17%), umur 25- 49 tahun 21.810 (69%) dan kelompok umur
diatas 50 tahun 2.002 kasus (7%). Laporan kasus AIDS yang didapatkan
sampai tahun 2015, terjadi peningkatan 7.8% pada tahun 2013, dan terjadi
penurunan pada tahun berikutnya. Kasus AIDS pada tahun 2012 (10.659
kasus), meningkat 7,8% pada tahun 2013 (11.493 kasus), menurun 31,4%
pada tahun 2014 (7.875 kasus) dan pada tahun 2015 terjadi penurunan lagi
22,7% (6.081 kasus). Dengan kelompok umur 20-29 tahun 27,9% kasus, 30-
39 tahun 37,3% kasus, 40-49 tahun 18,8% kasus dan diatas 60 tahun 2%
kasus (Kemenkes RI, dalam Wirawan, 2016).
Berdasarkan data Ditjen PP & PL Kemenkes RI tahun 2014 dalam
Armiyati (2015), kasus HIV dan AIDS di Kalbar sangat mengkhawatirkan
yaitu dengan jumlah kasus 4.135 orang untuk HIV dan 1.699 orang untuk
AIDS. Dengan angka tersebut, prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk
Kalbar menempati urutan ke- 4 Nasional di bawah Daerah Khusus Ibu Kota
(DKI) Jakarta yaitu 77,82. Hal tersebut didukung pula data dari Profil
Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2012 yang menyatakan bahwa
kota dengan kasus HIV/AIDS tertinggi di Kalimantan Barat adalah Kota
Pontianak dengan jumlah 251 kasus. Data menunjukkan bahwa kasus HIV
pada laki-laki sebanyak 122 kasus dan perempuan 76 kasus, sedangkan kasus
AIDS pada laki-laki sebanyak 35 kasus dan perempuan 18 kasus.
Penyakit HIV/AIDS antara 80-90% penyebabnya adalah berzina dalam
pengertiannya yang luas yang menurut pandangan agama merupakan
perbuatan keji yang diharamkan dan dikutuk oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak hanya pelakunya yang dikenai sanksi hukuman yang berat, tetapi
seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan perzinahan yang dapat menularkan
dan menyebabkan penyakit HIV/AIDS (Bahruddin, 2010). Menyadari betapa
bahayanya virus HIV/AIDS tersebut, maka ada kewajiban kolektif
(kewajiban) bagi semua pihak untuk mengusahakan pencegahan tertularnya
virus HIV/AIDS ini melalui berbagai cara untuk memungkinkan penularan
tersebut, dengan melibatkan peran tokoh agama. Sehingga tinjauan atau
pandangan agama terhadap ODHA sangat penting untuk menghindari
penyebab yang dapat menimbulkan orang-orang dari penyakit HIV/AIDS ini.
Perawatan pada pasien HIV/AIDS yang diberikan dengan pendekatan secara
komprehensif, mencakup pengobatan sakit, pengobatan gejala,
konsultasi dan pengobatan untuk mengatasi masalah kejiwaan dan psikologis,
dukungan dalam mengatasi stigma dan diskriminasi atau penolakan dari
keluarga, rujukan pada layanan sosial, layanan kesehatan primer, perawatan
rohani dan konsultasi, perawatan akhir-kehidupan, dan dukungan dukacita
bagi keluarga. Di samping pengobatan penyakit HIV dan infeksi
oportunistik/opportunistic Infections (OI), perawatan juga termasuk dalam
pelayanan pencegahan dan promosi. Pelayanan ini dapat diberikan sebagai
bagian dari perawatan berkelanjutan oleh sistem layanan kesehatan atau
melalui layanan dari organisasi sosial di masyarakat (Nursalam, 2007).
Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud untuk melakukan
penyusunan makalah mengenai Tinjauan Agama tentang HIV/AIDS dan
Long Term Care pada pasien HIV/AIDS.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana tinjauan agama tentang HIV/AIDS dan Long Term Care ?

1.3. Tujuan Masalah


1.3.1. Tujuan Masalah Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS dan
mengetahui lebih detail lagi mengenai tinjauan agama tentang HIV/AIDS
dan long term care.
1.3.2. Tujuan Masalah Khusus
a) Untuk mengetahui bagaimana penyakit HIV/AIDS
b) Untuk mengetahui tinjuan agama mengenai penyakit HIV/AIDS

1.4. Manfaat Penulisan


1.4.1 Mahasiswa
a) Sebagai sarana pembelajaran untuk mengetahui tinjauan agama tentang
HIV/AIDS dan long term care.
b) Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang tinjauan agama
tentang HIV/AIDS dan long term care.
1.4.2 Masyarakat
a) Sebagai pengetahuan masyarakat mengenai tinjauan agama tentang
HIV/AIDS dan long term care.
1.4.3 Instansi
a) Dapat menambah referensi atau bahan pembelajaran mengenai tinjauan
agama tentang HIV/AIDS dan long term care.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi

Human Immunodeficiency virus ( HIV ) adalah sejenis virus yang


menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunya
kekebalan tubuh manusia (Kemenkes RI 2015). HIV merupakan retrovirus
bersifat limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan
tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut
limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus
Lentivirus. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi
lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam
tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa
infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS (Rosella, 2013).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan
gejala penyakit yang timbul karena turunya kekebalan tubuh yang disebabkan
HIV. Akibat menurunya kekebalan tubuh maka orang tersebut sangat mudah
terkena penyakit infeksi ( infeksi oportunistik) yang sering berakibat fatal.
Virus ini merupakan kelompok retrovirus yang memiliki enzim reverse
transcriptase untuk mengkodekan RNA yang dimilikinya menjadi DNA rantai
ganda sehingga terintegrasi pada sel genom host ( Dapkes RI dalam Yusri
2012).
AIDS adalah infeksi oportunistik yang menyebabkan penurunan sistem
imun yang di sebabkan oleh virus HIV. HIV bersifat limfotropik khas yang
menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau
merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit
pembawa faktor T4 (Handoko, 2012).

5
2.2. Epidemologi
Diseluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV
yang meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah
infeksi baru HIV pada tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta
dewasa dan 240.000 anak berusia < 15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS
sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak berusia
<15 tahun. Di Indonesia, HIV/AIDS pertama kali di temukan di provinsi bali
pada tahun 1987. Hingga saat ini HIV/AIDS sudah menyebar di 386
kabupaten/kota di seluruh provinsi Indonesia. Berbagai upaya
penanggulangan sudah dilakukan oleh pemerintah bekerja sama dengan
berbagai lembaga di dalam negeri dan luar negeri (Kemenkes Ri 2015).
2.3. Etiologi
AIDS disebabkan oleh HIV. HIV adalah virus sitopatik yang
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus
Lentivirus. HIV termasuk virus Ribonucleic Acid (RNA) dengan berat
molekul 9,7 kb (kilobases). Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop
yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp4.
Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17.
Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. Didalam inti
terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse
transcriptase. Bagian envelope yang terdiri atas glikoprotein, ternyata
mempunyai peran yang penting pada terjadinya infeksi oleh karena
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor spesifik CD4 dari sel Host.
Molekul RNA dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu membran
selubung yang mengandung protein (Harisson, 2009).
Jenis virus RNA dalam proses replikasinya harus membuat sebuah
salinan Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dari RNA yang ada di dalam virus.
Gen DNA tersebut yang memungkinkan virus untuk bereplikasi. Seperti
halnya virus yang lain, HIV hanya dapat bereplikasi di dalam sel induk. Di
dalam inti virus juga terdapat enzim-enzim yang digunakan untuk membuat
salinan RNA, yang diperlukan untuk replikasi HIV yakni antara lain:
reverse
transcriptase, integrase, dan protease. RNA diliputi oleh kapsul berbentuk
kerucut terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus. Dikenal dua tipe HIV
yaitu HIV -1 yang ditemukan pada tahun 1983 dan HIV-2 yang ditemukan
pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat. Epidemi HIV secara
global terutama disebabkan oleh HIV-1, sedangkan HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa
yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat (JW, 1997).
HIV-1 dan HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama tetapi
mempunyai perbedaan struktur genom. HIV-1 punya gen vpu tapi tidak
punya vpx, sedangkan HIV-2 sebaliknya (Wainberg MA et al, 2011).
Perbedaan struktur genom ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai
peranan dalam menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit
diantara kedua tipe HIV. Karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan, maka
penelitian-penelitian klinis dan laboratoris lebih sering sering dilakukan
terhadap HIV-1 (Sterling et al, 2001).
Jumlah limfosit T penting untuk menentukan progresifitas penyakit
infeksi HIV ke AIDS. Sel T yang terinfeksi tidak akan berfungsi lagi dan
akhirnya mati. Infeksi HIV ditandai dengan adanya penurunan drastis sel T
dari darah tepi (Wainberg MA et al, 2011).
Penularan virus ditularkan melalui :
a. Hubungan seksual (anal, oral , vaginal) yang tidak terlindungi
(tanpa kondom) dengan orang yang telah terinfeksi HIV.
b. Jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan dipakai bergantian.
c. Mendapatkan transfusi darah yang mengandung virus HIV.
d. Ibu penderita HIV positif kepada bayinya ketika dalam kandungan
, saat melahirkan atau melalui air susu ibu/ASI.
2.4. Klasifikasi
Klasifikasi HIV/AIDS pada orang dewasa menurut Centers for Disease
Control (CDC) dibagi atas empat tahap, yaitu:
2.4.1. Infeksi HIV akut
Tahap ini disebut juga sebagai infeksi primer HIV. Keluhan muncul
setelah 2-4 minggu terinfeksi. Keluhan yang muncul berupa demam, ruam
merah pada kulit, nyeri telan, badan lesu, dan limfadenopati. Pada tahap ini,
diagnosis jarang dapat ditegakkan karena keluhan menyerupai banyak
penyakit lainnya dan hasil tes serologi standar masih negatif.
2.4.2. Infeksi Seropositif HIV Asimtomatis
Pada tahap ini, tes serologi sudah menunjukkan hasil positif tetapi
gejala asimtomatis. Pada orang dewasa, fase ini berlangsung lama dan
penderita bisa tidak mengalami keluhan apapun selama sepuluh tahun atau
lebih.
2.4.3. Persisten Generalized Lymphadenopathy (PGL)
Pada fase ini ditemukan pembesaran kelenjar limfe sedikitnya di dua
tempat selain limfonodi inguinal. Pembesaran ini terjadi karena jaringan
limfe berfungsi sebagai tempat penampungan utama HIV. PGL terjadi pada
sepertiga orang yang terinfeksi HIV asimtomatis.
2.4.4. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, yang tidak mendapat
pengobatan, akan berkembang menjadi AIDS. Progresivitas infeksi HIV
bergantung pada karakteristik virus dan hospes. Usia kurang dari lima tahun
atau lebih dari 40 tahun, infeksi yang menyertai, dan faktor genetik
merupakan faktor penyebab peningkatan progresivitas. Bersamaan dengan
progresifitas dan penurunan sistem imun, penderita HIV lebih rentan
terhadap infeksi. Beberapa penderita mengalami gejala konstitusional,
seperti demam dan penurunan berat badan, yang tidak jelas penyebabnya.
Beberapa penderita lain mengalami diare kronis dengan penurunan berat
badan. Penderita yang mengalami infeksi oportunistik dan tidak mendapat
pengobatan anti retrovirus biasanya akan meninggal kurang dari dua tahun
kemudian.
2.5. Manifestasi
Manifestasi klinis Menurut Rosella (2013), pada stadium AIDS dibagi antara
lain :
a) Gejala utama/mayor
- Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan
- Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus
- Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 bulan
b) Gejala minor
- Batuk kronis selama lebih dari 1 bulan
- Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur candida
albican
- Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap diseluruh tubuh.
Dapat juga timbul gejala letih dan lesu yang muncul setelah
melakukan aktifitas tertentu dan memburuk setelah beberapa waktu.
Kelelahan fisik yang luar biasa sering diakibatkan adanya penurunan
fungsi system tubuh, seperti gangguan fungsi paru, jantung,saraf
ataupun otot.
Rosella (2013) menambahkan manifestasi klinis utama dari penderita
AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu :
a) Manifestasi tumor
- Sarcoma Kaposi
Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat
jarang menjadi sebab kematian primer
- Limfoma ganas
Timbul setelah terjadi sarcoma Kaposi dan menyerang saraf serta
dapat bertahan kurang lebih 1 tahun
b) Manifestasi oportunistik
- Manifestasi pada paru
 Pneumoni pneumocystis ( PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS
merupakan infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk
kering, sakit bernafas dalam dan demam
- Cytomegalovirus (CMV)
 Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada
paru-paru tetapi dapat meneyebabkan pneumocystis. CMV
merupakan 30% peneybab kematian pada AIDS
- Mycobacterium avilum
 Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan
sulit disembuhkan
- Mycobacterium tuberculosis
 Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan
cepat menyebar ke organ lain diluar paru
c) Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10%
kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya timbul
pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah enefalitis,
meningitis, demensia, mielopati, dan neurpati perifer.

2.6. Patofisiologi
Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu
singkat, virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya
terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih
yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel
yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya
menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus
yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang
disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD 4 adalah sebuah
marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia,
terutama sel-sel limfosit.Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut
sel CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi
mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya
limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu
menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV
menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan
sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong
melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat
memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa
bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%.
Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain
karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh
berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.
Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar
yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan
penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus
yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam
menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun
sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis.
Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan
terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B
(limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi
antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan
HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak
membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada
saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali
organisme dan sasaran baru yang harus diserang.
Setelah virus HIVmasuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6
bulan sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut “periode
jendela” (window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang
selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya
terhadap HIVtetap positif (fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun
kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap (merupakan
sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIVsampai menjadi
AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari
10 tahun setelah diketahui HIV positif.
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS
sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi
HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang
terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung
selama 8-10 tahun.
2.7. Pathway
2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama dari HIV/AIDS adalah terapi ARV. Panduan
ART WHO tahun 2013 merekomendasikan inisiasi ART dilakukan pada
setiap individu dengan HIV dan dengan jumlah CD4+ kurang dari sama
dengan 500 sel/mm3, pada stadium klinis apapun, dan memprioritaskan pasien
HIV yang sudah parah atau yang sudah terkomplikasi (stadium klinis 3 atau
4) atau pasien dengan jumlah CD4+ kurang dari sama dengan 350 sel/mm 3
(WHO, 2015)
Pada ibu hamil dan neonatus, pencegahan transmisi dari ibu ke anak
(PMTCT) merupakan pencegahan penularan HIV dari seorang wanita HIV
positif kepada anaknya selama kehailan, persalinan, atau sedang menyusui.
Standar internasional PMTCT menyatakan terdapat empat elemen PMTCT -
yang merupakan pencegahan primer HIV (Darmadi dan Ruslie, 2012)
2.8.1. Antepartum
Antenatal care bertujuan untuk memperbaiki kualitas kesehatan ibu dan
mencegah mortalitas, identifikasi perempuan dengan HIV positif,
meyakinkan perempuan dengan HIV positif untuk mengikuti program
PMTCT, mencegah transmisi dari ibu ke anaknya, menyediakan AZT
(Zidovudine) sejak usia kehamilan 14 minggu atau ART seumur hidup
sesegera mungkin.
Tes HIV harus dilakukan sebagai langkah pertama pada pelayanan
antenatal. Jika hasil tes negatif dan wanita yang diperiksa asimtomatik,
dianggap sebagai HIV negatif. Wanita dengan HIV negatif perlu disarankan
untuk tes ulang pada usia kehamilan 32 minggu untuk mendeteksi
serokonversi atau infeksi yang baru terjadi. Jika tes skrining positif dengan
ELISA (sensitivitas >99,5%), perlu dikonfirmasi lagi dengan Western blot
atau immunofluorescence assay (IFA), dimana keduanya memiliki
spesifisitas yang tinggi.
2.8.2. Antiretroviral (ARV)
Terapi ARV direkomendasikan kepada semua wanita hamil dengan
risiko transmisi perinatal tanpa memerhatikan jumlah CD4+ atau HIV RNA.
Jika ibu belum mendapatkan regimen pengobatan, maka dilakukan Highly
Active Antiretroviral Therapy (HAART). Ketaatan dalam meminum obat
sanagat penting karena jika tidak, resistensi obat akan menurun.
Wanita hamil sebaiknya dibagi berdasarkan stadium klinis dan jumlah
CD4+. Kriteria pemberian pada wanita hamil: Wanita dengan CD4 lebih
dari 350 sel/mm3 dan tergolong dalam stadium 1 dan 2 sebaiknya
mendapatkan profilaksis antiretrovirus dengan AZT untuk mengurangi
transmisi ke bayinya. Wanita dengan CD4 350 sel/mm3 atau kurang dari
350 sel/mm3 dan tergolong stadium 3 dan 4 sebaiknya mendapat terapi
antiretrovirus seumur hidup.
BAB 3
TIJAUAN AGAMA DAN LONG TERM CARE TERHADAP HIV/AIDS
3.1. Aspek Agama Pada ODHA
Spiritualitas dan agama berperan penting pada Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA). Hasil penelitian mengenai pengaruh spiritualitas/agama terhadap
ODHA cenderung bervariasi. Terdapat studi yang menyatakan bahwa
spiritualitas atau agama berpengaruh dalam menurunnya perkembangan
penyakit (menurunnya jumlah CD4 atau viral load) Tingginya tingkat
spiritualitas/agama dapat dihubungkan dengan menurunnya distres
psikologis, nyeri, dan meningkatnya keinginan untuk hidup, aspek kognitif
dan fungsi sosial yang lebih baik semenjak terdiagnosa HIV (Szaflarski,
2013).
Namun, spiritualitas/agama dapat memperburuk hasil karena potensial
kepercayaan pada Tuhan dan penolakan terapi ARV serta pandangan bahwa
HIV merupakan hukuman dari Tuhan atas kebiasaan dan gaya hidup yang
penuh dosa. Hal ini sering dihubungkan dengan tingginya tingkat depresi,
kesendirian, dan memburuknya kepatuhan terhadap tindakan medis pada
ODHA (Szaflarski, 2013).
Mekanisme bagaimana spiritualitas/agama memengaruhi ODHA yakni
peran ganda spiritualitas/agama sebagai mekanisme koping dan stresor.
Kremer, et al dalam Szaflarski, (2013), menunjukkan bahwa spiritualitas
memengaruhi HIV dari sisi positif atau negatif dalam hidup ODHA. ODHA
dapat merasakan peningkatan spiritualitas dan menganggap bahwa ia sebagai
orang ‘terpilih’ untuk memiliki penyakit HIV dan mempersepsikan penyakit
tersebut sebagai titik positif dalam hidupnya. Sebaliknya, ODHA yang
merasakan penurunanan tingkat spiritualitas menganggap HIV sebagai
sesuatu yang negatif.
Beberapa studi menunjukkan dalam aspek kesehatan mental yang
mempertimbangkan tingginya tingkat depresi atau permasalahan kebiasaan
pada ODHA. Hidayat (2017), meneliti hubungan antara stigma kepercayaan
HIV, koping, dan spiritual. Koping yang berhubungan dengan stigma

16
sangatlah penting karena ODHA sering merendah diri dan memerlukan cara
untuk menangani distres dan ansietas yang disebabkan oleh faktor sosial
seperti prasangka dan diskriminasi. Kedamaian spiritual dianggap sebagai
koping umum yang dapat melindungi dampak negatif dari stres psikologis
(Szaflarski, 2013).
3.1.1. Peran Agama
Dalam perspektif religius, masalah HIV/ AIDS adalah suatu peringatan
pada setiap orang, bahwa ada krisis dalam penyelenggaraan kehidupan
bersama. Dalam situasi ini tidak pada tempatnya lembaga-lembaga agama
bersikukuh dengan kaca mata hitam-putihnya menuntut apa yang seharusnya
dilakukan atau tidak dilakukan oleh umat atau masyarakat. Dengan
menghakimi situasi masyarakat termasuk mengadili para ODHA, agama-
agama tidak bisa memberi peran apa pun ditengah ketidakadilan yang sangat
menyulitkan ini.
Banyak problem kemanusiaan yang terlambat ditanggapi agama-agama,
salah satunya adalah permasalahan HIV/ AIDS. Tidak ada cara lain bagi
institusi-institusi keagamaan selain memperbaharui wacana yang
dikembangkan agar lebih bisa menjadi berkat, rahmat dan memberi damai
dalam kehidupan. Agama sudah seharusnya menjadi ‘obat’ bagi masalah
kehidupan (termasuk masalah HIV/ AIDS), bukannya menjadi ‘racun’ yang
memperburuk masalah ( Aminah, 2010 )
3.1.2. Sikap Masyarakat
Sikap masyarakat berdampak pada segala aspek kehidupan ODHA
termasuk makna ajaran agama. Terdapat studi yang menemukan bahwa
keyakinan masyarakat ditempat tersebut memiliki pengaruh negatif yang
signifikan pada sikap dan perilaku orang-orang terhadap ODHA. Hal ini
dikarenakan ODHA dikaitkan dengan perilaku dan preferensi seksual
tertentu, atau penggunaan zat obat yang dilarang oleh gereja (Hidayat, Agung
dan Riri 2017).
ODHA mengukapkan bahwa dalam ajaran agama mereka (Islam dan
Kristen) terdapat larangan keras dan berakibat dosa terhadap larangan yang
keras dan berakibat dosa terhadap beberapa perilaku seperti berhubungan seks
secara bebas dan mengkibatkan mereka tertular HIV, namun masyarakat
lebih memaknai ajaran agama sebagai suatu pendorong yang kuat untuk
bersikap baik dan saling mengasihi termasuk kepada ODHA (Hidayat, Agung
dan Riri 2017).
Semua agama mendorong orang untuk berbelas kasih terhadap orang lain
tanpa membedakan ras, jenis kelamin, status sosial, penyakit dan perbedaan
yang ada. Meskipun beberapa dari pengikut agama mungkin memiliki
perasaan negative dan diskriminatif terhadap orang orang yang berbeda dari
keyakinan mereka (Hidayat, Agung dan Riri 2017).
3.1.3. HIV/AIDS Dalam Perspektif Agama
A. Agama Islam
a) Sejarah yang ditutupi dari penyakit HIV/AIDS
Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT) adalah perilau
yang menyimpang tapi menurut ilmu psikologi disepakati bukan
sebagai penyakit melainkan stuktur otak yang berbeda dari manusia
umumnya. Tentunya bertentangan dengan ahli saraf dari poliandia
ini menurut Jamski knofski tahun 1948 memperkenalkan sebuah
teori bahwa otak manusia itu sifatnya fleksible. Berdasarkan apa
yang diterima informasi yang masuk kedalam otak manusia itulah
otak akan bersikap dan teori ini membantah teori sebelumnya yang
mengatakan bahwa otak itu cenderung baku (Hidayat, 2017).
Contohnya pada saat kita melihat sesuatu yang baik,mendengar
perkataan yang baik, dan diperlakukan dengan baik maka ribuan
saraf akan berespon baik itu yang dirasakannya. Semakin sering
dilihat maka respon kita itu akan disalurkan oleh ribuan saraf ke
tangan ke kaki dan ke imajinasi maka itu yang akan mempengaruhi
seluruh tubuhnya dalam kebaikan. Apa yang dilihatnya
disambungkan ke dalam hati maka semua perilakunya baik.namun
sebaliknya apabila sering melihat yang jelek, mendengar perkataan
yang kurang baik dan melakukan sesuatu yang tidak baik maka
saraf-sarafnya akam menyesuaikan seketika dan apabila terus-
menerus dilakukannya maka menjadi kepribadaian yang kurang
baik (Hidayat, Adi., 2017).
Jadi kita ketahui perilaku-perilaku penympangan LGBT itu
bukan normal. Itu disebabkan dari seseorang manusia tidak bisa
mengontrol fungsi-fungsi informasinya, menerima informasi yang
buruk itulah yang akan melahirkan suatu perilaku menyimpang
yaitu LGBT. Sedangkan penyakit HIV diawali dengan 2 orang
melakukan homoksexual, sperma yang tertampug di pusat kotoran
itu melahirkan suatu penyakit yaitu HIV (Hidayat, Adi., 2017).
b) Menurut bahaya HID/AIDS berita Islami masa kini
“Dan janganlah kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”
(Surah Al: Isra ayat 32). Apabila seseorang menjauhi zina dan
menjauhi sex maka akan menjadi prisai dari HIV/AIDS. HIV dapat
tertular melalui jarum suntik yang bergantian yang biasa digunakan
untuk narkoba sedangkan penyalahgunaan narkoba merupakan
perbuatan yang dilarang oleh agama menurut para ulama yang
didasarkan pada Al-Quran dan Hadis.
“Dan janganlah kamu menjatuhkan diri sendiri dalam
kebinasaan” (surah Al: Bakarah ayat 195). Pencegahan dengan
melakukan penyuluhan tentang bahaya penyakit HIV/AIDS.
Penyuluhan tersebut dapat dilakukan melalui ceramah agama,
khutbah, ataupun pengajian. “Serulah manusia kejalan Allah dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantulah pula dengan cara yang
baik” (surah An: Nahl ayat 25)
Meskipun penyakit HIV/AIDS berbahaya namun tidak lantas
kita menjauhi dan memusuhi orang dengan HIV/AIDS atau ODHA
dalam berbagai kasus ODHA kerap sekali mengalami diskriminasi,
ODHA selalu dianggap menular dan berbahaya padahal mereka
seharusnya diberi dukungan semangat terutama bagi orang yang
tekena HIV bukan karena keinginannya, terutama bayi yang terlahir
dengan ibu yang menderita HIV atau jarum suntik yang terkena
HIV apalagi sesama islam kita harus menyayangi sesama manusia
dan berbuat baik terhadap sesama
B. Agama Kristen
a) Teologi Penciptaan.
Kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama melukiskan bahwa
semua yang disebut sebagai makhluk hidup selalu berada dalam
suatu relasi : Relasi antara Tuhan dan manusia serta makhluk lain,
baik manusia dan non-manusia, relasi antara sesama makhluk hidup,
baik manusia dan non- manusia. "Relasi" tersebut merupakan
simpul yang menentukan kualitas kehidupan secara utuh (tubuh,
jiwa, roh, dan sosial) (Sahertian dalam Aminah 2010)
b) Teologi Penderitaan dan Kematian, Pengharapan dan Kebangkitan
Bagi pemahaman Kristiani, Allah adalah Allah pemelihara dan
penuh kasih setia. Oleh karena itu Ia tetap memelihara relasi dengan
makhluk-Nya. Hal itu dimanifestasikan melalui tindakan
keselamatan kepada manusia. Ia membuka jalan keselamatan bagi
manusia dan kemudian mendidik umatnya untuk kembali ke jalan
yang benar (bertobat). Berbagai upaya dilakukan yakni memanggil
dan mengutus utusan-utusan-Nya, para imam, para nabi dan para
hakim untuk mengoreksi, menegur dan mengasuh ciptaan-Nya.
Inilah kerangka dasar sikap Kristiani dalam menghadapi HIV/
AIDS yakni mengambil pola pelayanan Kristus. Bagaimana menjadi
"the caring/ healing community" bagi sesama yang sedang terpuruk
dalam belukar.
c) Gereja dalam kapasitas sebagai komunitas peduli dalam rangka
merespon epidemik HIV dan AIDS :
 Meminta perhatian gereja-gereja untuk mengembangkan suatu
iklim dan tempat yang penuh cinta kasih, penerimaan, dan
dukungan bagi mereka yang rentan atau yang telah terkena
HIV/ AIDS tanpa memandang latar belakang agama,suku,
status sosial maupun keberadaan personal seseorang.
 Meminta perhatian gereja untuk bersama-sama berefleksi pada
basis pemahaman teologinya dalam rangka merespons
tantangan HIV/ AIDS.
 Meminta perhatian gereja untuk bersama-sama berefleksi
masalah-masalah etik yang timbul karena pandemik ini,
bagaimana menginterpretasikannya ke dalam konteks lokal dan
menawarkan panduan bagi mereka yang menghadapi kesulitan
dalam menentukan pilihan.
 Meminta perhatian gereja supaya terlibat aktif dalam berbagai
diskusi di masyarakat mengenai isu-isu etik yang muncul
karena HIV/ AIDS, dan mendukung warga jemaatnya,
khususnya yang melayani dibidang kesehatan, yang
menghadapi kesulitan menentukan keputusan etis dalam hal
pencegahan dan perawatan.
d) Kesaksian gereja dalam hubungannya dengan masalah langsung
HIV/ AIDS:
 Meminta perhatian gereja-gereja untuk melayani sebaik
mungkin mereka yang hidup dengan HIV/ AIDS.
 Meminta perhatian gereja untuk memberikan perhatian khusus
bagi bayi dan anak-anak yang hidup dengan HIV/ AIDS dan
mencari jalan keluar dalam membangun lingkup yang
mendukung.
 Meminta perhatian gereja untuk membantu melindungi hak-
hak mereka yang hidup dengan HIV/ AIDS, mempelajari,
mengembangkan dan mempromosikan HAM dari ODHA.
Meminta perhatian gereja untuk memberikan informasi yang
akurat tentang HIV/ AIDS, mempromosikan kondisi yang
memungkinkan diskusi terbuka dalam rangka menanggulangi
penyebaran informasi yang salah yang bisa mengakibatkan
reaksi takut.
 Meminta perhatian gereja untuk meningkatkan advokasi dan
dukungan bagi upaya yang telah dilakukan pemerintah dan
fasilitas kesehatan untuk menemukan jalan keluar dari masalah
yang ada baik masalah sosial maupun medis.
 Gereja tidak boleh lagi tabu dalam memberikan informasi dan
edukasi tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi pada
kelompok umur dengan pendekatan dan metodologi yang
bertanggung jawab, sebab penyelamatan Allah secara holistik
menyangkut tubuh dan berbagai dimensinya, mental, rohani
dan sosial, bukan hanya rohani saja.
e) Kesaksian Gereja sehubungan dengan masalah yang
berkepanjangan dan faktor-faktor yang dapat memberikan
pengharapan.
 Meminta perhatian gereja-gereja untuk menyadari, mengakui
bahwa ada hubungan antara AIDS dan kemiskinan, dan
mengadvokasi upaya promosi keadilan dan pembangunan yang
berkelanjutan.
 Meminta perhatian gereja untuk memberi perhatian khusus
pada situasi yang dapat memperluas kerentanan terhadap AIDS
seperti isu pekerja migran, pengungsian darurat dalam jumlah
besar serta isu aktifitas seks komersial.
 Lebih khusus lagi, gereja-gereja perlu bekerja sama dengan
kelompok perempuan di mana selama ini mereka berjuang
untuk hak dan martabat mereka serta mengaktualisasikan
keterampilan mereka secara maksimal.
 Meminta perhatian gereja-gereja untuk membina dan
melibatkan kaum muda dan para pria dalam rangka
pencegahan penyebaran HIV/ AIDS
C. Agama Katolik
a) Upaya-Upaya Gereja Katolik
Gereja berpihak kepada para korban penyalahgunaan penderita
AIDS. Keberpihakan itu diwujudkan dalam berbagai bidang usaha
untuk menggapai permasalahan HIV/ AIDS dan narkoba secara
serius. Bidang yang diusahakan untuk menangani kasus-kasus HIV/
AIDS dan narkoba meliputi pencegahan, perawatan, pendampingan
psikologis sosial dan spiritual.
Strategi yang bisa dipikirkan adalah menyiapkan paroki atau
komunitas-komunitas umat beriman sebagai 'keluarga kedua'
dimana setiap orang dengan bebas datang dan memperoleh
kesegaran hidup manusiawi. Komunitas yang demikian dapat
mengubah orang menjadi lebih santun dan manusiawi ( Prapdi
dalam Aminah 2010 )
D. Agama Budha Darma
a) Buddha Dharma & HIV/AIDS Sila (Moralitas)
Ada atau tidak ada HIV/ AIDS di muka bumi ini, moralitas
(sila) adalah masalah manusia yang abadi. Dalam Buddha Dharma,
moralitas tidak dipandang sebagai tanggung jawab manusia
terhadap “Tuhan Pencipta”, melainkan sebagai tanggung jawab
terhadap diri sendiri.
Apabila diakui bahwa penularan HIV/ AIDS untuk sebagian
besar terjadi melalui perilaku yang tidak sesuai dengan sila
hubungan seksual tak terlindung dengan pasangan yang berganti-
ganti, dan penggunaan obat suntik dengan alat suntik yang tidak
steril maka dapat dipahami bahwa pengembangan dan peningkatan
sila di dalam diri individu berdasarkan kesadaran pribadi
merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi penularan HIV/
AIDS (Hupudio dalam Aminah 2010)
b) Pandangan Dan Langkah-Langkah Hindu Dalam Penanggulangan
Hiv/Aids Dan Narkoba (Dukuh Samiaga)
a. Upaya Hindu dalam Pencegahan HIV / AIDS
Agama Hindu yang sering disebut DHARMA (kewajiban
mulia) selalu menekankan umatnya untuk hidup dalam jalan
Dharma (jalan mulia) yang tidak keluar dari perintah Hyang
Widhi dan selalu mentaati larangan-larangan yang ada. Di
dalam Dharma Sastra (Hukum Hindu) ditentukan larangan-
larangan keras terhadap perilaku moral yang menyimpang,
tidak sesuai dengan jalan mulia Hyang Widhi.
Hindu menganggap seks itu adalah sesuatu yang murni
dan luhur sehingga tidak dibenarkan melakukannya di
sembarang tempat atau dengan sembarang orang yang bukan
pasangannya.
b. Perlakuan Umat terhadap Penderita
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa HIV/ AIDS
bukanlah penyakit kutukan tetapi semata-mata penyakit lahiriah
yang disebabkan terjadinya kontak langsung para penderita
melalui empat jalan tadi (seks, jarum suntik, transfusi darah,
lewat ibu melahirkan) sehingga masyarakat Hindu selalu
menerima penderita HIV/ AIDS sebagai masyarakat biasa yang
tidak merupakan momok yang menakutkan, yang diterima apa
adanya baik kekurangan maupun kelebihannya.
Jadi untuk penderita AIDS khususnya di masyarakat
Hindu (Bali) tidak terjadi diskriminatif, tetapi diterima sebagai
hamba Tuhan yang perlu dirawat dan dibesarkan semangatnya,
sehingga penderita bisa menapak kehidupannya dengan lebih
baik. Dan bagi penderita yang meninggal dunia, juga mendapat
perlakuan yang sama seperti layaknya bukan penderita.
3.1.4. Pencegahan
Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
diperuntukkan bagi seluruh umat manusia dan semesta alam (rahmatan lil
`alamin), salah satunya adalah mengenai etika dan moral (akhlak) yang
mengajarkan bagaimana bersikap dan berperilaku terhadap sesama
makhluk Tuhan, termasuk di dalamnya adalah bagaimana memperlakukan
orang yang hidup dengan HIV/ AIDS (ODHA). Mereka tidak boleh
didiskriminasi dalam hal apapun karena sama-sama memiliki derajat
sebagai manusia yang dimuliakan Tuhan. Sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur'an surat Al Isra/ I7:70: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan".
Namun ironisnya, hingga saat ini masih banyak kalangan agamawan
(dari Islam) yang meyakini bahwa fenomena HIV/ AIDS adalah penyakit
kutukan Tuhan atau identik dengan kaum Luth yang menyukai
homoseksual, sebagaimana yang dikisahkan Tuhan dalam Al-Qur'an surat
7/Al-A'raf : 80-84, surat 27/ An Naml: 56. Begitu juga norma masyarakat
masih banyak yang menganggap bahwa HIV/ AIDS adalah penyakit
menular seksual. Padahal bila dilihat dari cara penularannya HIV/ AIDS
sesungguhnya bukan merupakan penyakit seksual, karena orang yang tidak
melakukan hubungan seks dengan penderita HIV pun bisa tertular seperti
penularan melalui transfusi darah, jarum suntik, pisau cukur, dan
sebagainya. Pandangan tokoh agama dan masyarakat tersebut harus
diluruskan dengan informasi yang benar mengenai HIV/ AIDS supaya tidak
dianggap sebagai norma masyarakat. Jika tidak, maka akan berbahaya
karena terjebak pada lingkaran normatif yang tidak menguntungkan
ODHA.
Begitu juga pandangan mengenai kondom sebagai salah satu cara
pencegahan HIV/ AIDS hingga saat ini masih kontroversial karena
dikhawatirkan disalahgunakan oleh pasangan di luar nikah, dianggap
melegalisisir perzinahan dan sebagainya. Pandangan tersebut hendaknya
diubah dengan pendekatan solutif menggunakan kaidah fiqhiyyah yaitu
"memilih bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya untuk mencegah
yang lebih membahayakan". Dalam hal ini mensosialisasikan pemakaian
kondom sebagai salah satu cara pencegahan HIV/AIDS jauh lebih ringan
bahayanya dibandingkan dengan melarang kondom disosialisasikan
( Anshor dalam Aminah 2010 ).
3.1.5. Penanggulangan
HIV/AIDS telah mewabah tidak hanya di kalangan komunitas yang
dianggap resiko tinggi dan bukan orang-orang yang taat agama tetapi tanpa
pandang bulu menyerang siapapun. Persepsi masyarakat tidak lagi
dikaitkan dengan mitos dan hukuman/kutukan Tuhan. Sikap umat Islam
terhadap masalah ini melahirkan perdebatan yang disebabkan berbeda
dalam mendifinisikan HIV/AIDS maupun memahami korban. Perbedaan
sikap tersebut disebabkan antara lain oleh: (1) Memandang HIV/AIDS
semata-mata menjadi masalah medis. (2) HIV/AIDS sebagai masalah
penyimpangan seksual. (3) HIV/AIDS sebagai masalah penyimpangan
sosial. (4) HIV/AIDS sebagai masalah agama. (5) HIV/AIDS merupakan
masalah kapitalisme global.
Menurut pandangan yang representatif dari konservatif sebagaimana
dikemukakan ahli psikiater dan guru besar FKUI, Prof. Dr. dr. II.Dadang
Hawari5 bahwa upaya-upaya penanggulangan penyakit HIV/AIDS selama
ini, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun LSM lebih menekankan
kepada pendekatan sekuler dan medis semata, baik dalam upaya
pencegahan ataupun terapinya, termasuk tidak menyentuh akar
permasalahan penyebab utamanya. Akar masalah menurut pandangan ini
adalah penyakit mental dan perilaku. Karcnanya, integrasi medis dan moral
(agama) adalah pendekatan yang seharusnya diterapkan. Pendekatan model
ini, analisisnya tampak kurang tajam dan menyentuh empati semua pihak,
terkesan diskriminatif terhadap ODHA.
Narnun demikian pendapat ini sekurang-kurangnya menjadi motivasi
masyarakat khususnya muslim dalam mencegah perilaku beresiko terkena
HIV/AIDS. Berbeda halnya dengan pandangan progresif bahwa
penanggulangan HIV/AIDS melalui pendekatan multidimensional,
HIV/AIDS terkait juga dengan masalah sosial, budaya, politik, ekonomi
dan hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, kajian Islam tentang masalah
ini harus melalui pendekatan studi Islam kontcmporer, terpadu dengan
pendekatan sosial budaya. Mengingat sejumlah kasus penularan HIV tidak
hanya melalui seks bebas atau penggunaan jarum suntuk narkoba, tetapi
juga suami istri yang salah satunya adalah beresiko, bayi terinfeksi dari
ibunya, dan cara-cara lain yang tampak tidak terkait dengan masalah moral.
Dengan demikian nilai-nilai Islam menjadi bagian penting dalam upaya
pencegahan HIV/AIDS di masyarakat, misalnya dilandasi dengan prinsip-
prinsip keadilan, kesetaraan, empaty, demokrasi, khusunya dalam
melakukan advokasi terhadap ODHA.

3.2. Long Term Care


3.2.1. Definisi
Perawatan jangka panjang mengacu pada rangkaian layanan medis dan
sosial yang dirancang untuk mendukung kebutuhan orang yang hidup
dengan masalah kesehatan kronis yang mempengaruhi kemampuan mereka
untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Layanan perawatan jangka panjang
termasuk layanan medis tradisional, layanan sosial, dan perumahan. Tujuan
perawatan jangka panjang jauh lebih rumit dan jauh lebih banyak sulit
diukur dari pada tujuan perawatan medis akut. Sedangkan yang utama
Tujuan perawatan akut adalah mengembalikan individu ke tingkat fungsi
sebelumnya, Perawatan jangka panjang bertujuan untuk mencegah
kemerosotan dan meningkatkan penyesuaian sosial ke tahap penurunan
(Harris,K., Sengupta, M., Park, Lee, E., Valverde, R., 2013).
Kebutuhan akan perawatan jangka panjang dipengaruhi oleh
perubahan kapasitas fungsional fisik, mental, dan / atau kognitif yang pada
gilirannya, selama kehidupan individu, dipengaruhi oleh lingkungan.
Banyak orang mendapatkan kembali kapasitas fungsional yang hilang,
sementara yang lain mengalami penurunan. Jenis perawatan yang
dibutuhkan dan durasi perawatan semacam itu seringkali sulit diprediksi
( WHO, 2000).
Perawatan jangka panjang atau kronis mencakup rentang layanan yang
jauh lebih luas daripada perawatan akut, menekankan layanan sosial dan
medis. Sementara perawatan akut biasanya terbatas pada penyedia khusus,
penyedia perawatan jangka panjang lebih luas. Mereka termasuk penyedia
obat tradisional seperti itu seperti dokter dan rumah sakit, pengasuh
masyarakat formal seperti rumahagen perawatan kesehatan, penyedia
fasilitas seperti panti jompo dan kehidupan yang dibantu fasilitas, dan
perawat informal seperti teman atau anggota keluarga. Perawatan jangka
panjang merupakan komponen dari pendekatan komprehensif, bersifat
holistik tercermin disetiap aspek perawatan secara menyeluruh dari klinis,
psikososial, dan sosial ekonomi (Harris,K., Sengupta, M., Park, Lee, E.,
Valverde, R., 2013).
Pelayanan LTC terdiri dari berbagai tipe pelayanan berdasarkan
kebutuhan individu, yaitu (Singh, 2016):
a. Perlayanan medis, keperawatan dan rehabilitasi
b. Pelayanan kesehatan mental dan pelayanan demensia
c. Social support
d. Supportive housing
e. Pelayanan hospice
Sistem pelayanan LTC yang ideal akan memuat 10 dimensi berikut
(Singh, 2016):
a. Pelayanan yang bervariasi
b. Pelayanan khusus individual
c. Pelayanan total yang terkoordinasi
d. Peningkatan fungsi independen pasien
e. Perawatan jangka panjang
f. Menggunakan teknologi baru
g. Menggunakan praktik evidence-based
h. Pendekatan holistik
i. Meningkatkan kualitas perawatan
j. Meningkatkan kualitas hidup pasien
3.2.2. Tujuan Long Term Care
Tujuan dari perawatan jangka panjang atau long term care (LTC)
adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga yang hidup
dengan HIV dan penyakit lainnya yang membutuhkan perawatan, secara
rinci tujuan utamanya adalah :
a) meningkatkan kapasitas keluarga untuk memberikan perawatan
b) mendukung peningkatan akses untuk mendapatkan perawatan
secara terus menerus
c) mengintegrasikan perawatan, dukungan, dan layanan pengobatan
yang ada
d) menganjurkan untuk perawatan yang berkelanjutan dan holistik
e) meningkatkan akses terhadap obat-obatan dan komoditas penting
dalam perawatan
f) meningkatkan kualitas pelayanan perawatan (Pratt JR., 2010).
3.2.3. Peran Perawat
A. Pelaksana perawatan
Sebagai pelaksana perawatan, perawat dapat bertindak sebagai
pemberi asuhan keperawatan pada pasien HIV/AIDS, memberikan
pendidikan kesehatan kepada pasien dan keluarganya, memberikan
advokasi serta melakukan peran kolaborasi dengan profesi lain yang
terlibat dalam perawatan pasien HIV/AIDS. Perawat juga dapat
melakukan fasilitasi terhadap semua kebutuhan pasien serta
melakukan modifikasi lingkungan untuk memberikan kenyamanan
kepada pasien HIV/AIDS.
Asuhan keperawatan pada aspek spiritual ditekankan pada
penerimaan pasien terhadap sakit yang dideritanya (Ronaldson dalam
Nursalam, 2007). Sehingga PHIV akan dapat menerima dengan ikhlas
terhadap sakit yang dialami dan mampu mengambil hikmah. Asuhan
keperawatan yang dapat diberikan menurut Nursalam (2007) adalah:
a) Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap
kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam
dukungan sosial. Orang bijak mengatakan “hidup tanpa
harapan, akan membuat orang putus asa dan bunuh diri”.
Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil
apapun kesembuhan, misalnya akan memberikan
ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.
b) Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan
mengajarkan kepada pasien untuk selalu berfikiran positif
terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik semua
cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang
Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan
diri kepada Sang Pencipta dengan jalan melakukan ibadah
secara terus menerus. Sehingga pasien diharapkan
memperoleh suatu ketenangan selama sakit.
c) Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan
ketabahan hati dalam menghadapi cobaan. Individu yang
mempunyai kepribadian yang kuat, akan tabah dalam
menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya
mempunyai keteguhan hati dalam menentukan
kehidupannya. Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada
PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan
memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau
pendapat orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan memberikan
cobaan kepada umatNYA, melebihi kemampuannya (QS :
Al. Baqarah 286)
B. Pengelolah
Sebagai pengelola perawatan, perawat dapat berperan sebagai
manajer kasus, maupun konsultan pasien HIV/AIDS dan keluarganya
(Nursalam, 2007).

Menurut Pratt JR (2010) berbagai intervensi dapat diberikan untuk


pasien HIV pada perawatan jangka panjang, termasuk didalamnya
perawatan secara umum, perawatan fisik, perawatan emosional, sosial dan
rohani pada pasien dan keluarga.
a) Perawatan secara umum
Intervensi yang dapat dilakukan:
 Penilaian holistik terhadap kebutuhan fisik, emosi,sosial,
dan spiritual dan keluarganya.
 Sistem rujukan untuk menghubungkan klien yang dapat
membantu mengatasi masalah yang telah teridentfikasi
b) Perawatan Fisik
Intervensi yang dapat dilakukan :
 Penilaian, pencegahan, dan pengobatan rasa sakit
 Penilaian,pencegahan dan pengobatan gejala lain
 Pengajaran kemampuan perawatan diri untuk mengelola
gejala efek samping di rumah dan mengetahui tanda-tanda
bahaya
 Pemperhatikan kebutuhan fisik dalam masa akhir
kehidupan
 Perawatan oleh pengasuh kelompok dukungan konsultasi
c) Perawatan Sosial
Intervensi yang dapat dilakukan :
 Bantuan dalam pengelolaan stigma dan diskriminasi
 Dukungan dengan isu-isu hukum seperti mempersiapkan
surat wasiat
 Bantuan terhadap kebutuhan keuangan, kebutahan gizi
perumahan dan pendidikan
d) Perawatan Rohani
Intervensi yang dapat dilakukan:
 Konsultasi spiitual
 Konsultasi harian untuk aktifitas ruhani
3.2.4. Jenis dan Sumber Long Term Care
Perawatan jangka panjang mungkin bersifat institusional atau berbasis
rumah, formal atau informal. Perawatan jangka panjang institusional atau
residensial didefinisikan sebagai penyediaan perawatan semacam itu
kepada tiga atau lebih orang yang tidak terkait di tempat yang sama.
Perawatan berbasis rumah dapat diberikan secara eksklusif di rumah
atau dikombinasikan dengan perawatan di masyarakat (seperti di pusat hari,
atau di bawah pengaturan yang dibuat untuk perawatan peristirahatan).
Istilahnya mencakup asuhan asuh. Perawatan berbasis rumah juga dapat
dipertimbangkan untuk mencakup perawatan yang diberikan kepada orang-
orang yang "rumah" berada di luar definisi konvensional (misalnya
keluarga keliling, orang-orang yang tinggal di tempat pembuangan sampah
atau di daerah kumuh).
Perawatan formal dapat didanai dan diatur secara publik, namun
layanan tersebut dapat disediakan oleh organisasi pemerintah, oleh LSM
(lokal, nasional, atau internasional), atau oleh sektor swasta. Biasanya
disediakan oleh profesional (dokter, perawat, pekerja sosial) dan organisasi
pelengkap, seperti pekerja perawatan pribadi (yang membantu mandi,
berpakaian, dll.). Penyembuh tradisional mungkin merupakan sumber
perawatan tambahan yang penting. Perawatan informal termasuk yang
diberikan oleh anggota keluarga inti dan keluarga besar, tetangga, teman,
dan relawan individual, serta bantuan yang diselenggarakan melalui
organisasi sukarela seperti badan keagamaan ( WHO, 2000).
3.2.5. Kondisi Pasient Memeprlukan Long Term Care
LTC dapat diberikan ke seseorang bila dalam keadaan berikut (Singh,
2016):
a) Memerlukan bantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (ADL)
Terdapat skala untuk mengukur ketergantungan (dependency)
seseorang. Skala ADL digunakan untuk menentukan apakah
seseorang memerlukan bantuan dalam melakukan enam aktivitas
dasar, seperti makan, mandi, berpakaian, menggunakan toilet,
mempertahankan kontinensia, dan mobilitas. Skala pengukuran
kedua yakni instrumental activities of daily living (IADL) yang
terdiri dari aktivitas yang diperlukan untuk kehidupan independen
seperti melakukan pekerjaan rumah, memasak, mencuci pakaian,
berbelanja, meminum obat, menggunakan telepon, mengatur
uang, dan bergerak di sekitar luar rumah (Lawton & Broody
dalam Singh, 2016)
b) Memerlukan perawatan berkelanjutan setelah hospitalisasi
Seringkali disebut subacute care, yaitu pelayanan untuk pasien
yang sedang menjalani perawatan setelah hospitalisasi akibat
penyakit berat, luka, atau bedah. Pasien seperti ini masih
menjalani masa pemulihan, namun berisiko mengalami
komplikasi dalam masa pemulihannya. Pasien juga mungkin
membutuhkan perawatan kompleks seperti pemberian makan
melalui selang atau terapi IV.
c) Memerlukan perawatan lingkungan khusus
Biasanya terjadi pada anak dan remaja yang memiliki disabilitas
fisik dan/atau mental. Banyak anak yang menderita kelainan sejak
lahir, seprti spina bifida dan epilepsi. Pasien dengan demensia
berat juga memerlukan lingkungan khusus.
Hal yang paling utama dalam memberikan fasilitas Long Term Care
(LTC) bagi pemberi perawatan adalah dalam menentukan bagaimana
perawat yang professional memberikan konsultasi secara rutin dan efektif.
LTC dalam memberikan perawatan berfokus pada manajemen penyakit
kronis dan promosi kesehatan. Strategi yang digunakan selama beberapa
dekade terakhir adalah dengan menggunaan kombinasi terapi antiretroviral
umumnya menghasilkan kontrol viremia HIV yang cepat dan berkelanjutan
dan peningkatan CD4+ T-cell yang terus meningkat. Dengan keefektifan
ART dalam perbaikan CD4+ T-cell, pengobatan tersebut memberikan
penekanan viral load HIV di bawah batas deteksi tes rutin (<50 Copies/mL)
pada semua pasien. Pada sebagian besar pasien, penekanan viral load akan
dikaitkan dengan peningkatan CD4+ T-cell perifer yang terus berlanjut ke
kisaran normal. Kemajuan ini telah sangat mengubah prognosis pasien
terinfeksi HIV, yang menyebabkan infeksi oportunistik menurun. LTC juga
memungkinkan ODHA berjuang melawan stigma, trauma, dan penolakan
yang ada pada dirinya dengan memebrikan dukungan dan stabilitas,
sehingga mereka dapat terlibat dan tetap dalam perawatan (Jelliman 2017).
3.2.6. Long Term Care Pada Pasien HIV/AIDS
Dengan maraknya penggunaan highly active antiretroviral therapy
(HAART), kondisi pasien AIDS berubah dari end-stage terminal illness
menjadi kondisi kronis. Dengan menurunnya angka mortalitas, prevalensi
HIV meningkat pada populasi manusia. Perawatan pada pasien HIV/AIDS
mirip dengan karakteristik pasien LTC (Singh, 2016)
Pasien HIV/AIDS rentan mengalami berbagai komorbiditas dan
gangguan kognitif. Penyakit hati dan kardiovaskuler seringkali dikaitkan
dengan penggunaan HAART jangka panjang. Pasien HIV/AODS juga
berisiko tinggi mengalami bermacam-macam jenis kanker, depresi,
demensia, dan penyakit Alzheimer (Cahill & Valadez, dalam Singh, 2016)
dan memiliki berisiko mengalami penurunan berat badan dan inkontinensia
urin (Shin, et al., dalam Singh, 2016) Banyak laporan bahwa lansia dengan
HIV/AIDS memiliki kemampuan fisik yang rendah dan tidak independen.
Faktor-faktor inilah yang mengindikasikan bahwa diperlukannya LTC bagi
pasien HIV/AIDS. Pasien HIV/AIDS memerlukan perawatan medis dan
dukungan sosial setiap waktunya (Singh, 2016).
HIV selain menyebabkan gangguan fisik, juga dapat menyebabkan
gangguan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pasien.
Stigma negatif dan diskriminatif dapat menghambat proses
penanganan penyakit HIV dan penyebaran epidemik HIV/AIDS. Stigma
tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan kualitas hidup seorang
pasien dengan HIV. Rendahnya kualitas hidup pasien HIV akan
mempengaruhi kesehatan dari pasien itu sendiri. Peningkatan kualitas
hidup tidak hanya dapat dilakukan melalui proses penyembuhan secara
fisik, hal yang paling utama adalah meningkatkan pemahaman pasien
tentang penyakitnya dan merubah orientasi pemikiran pasien dari
kesembuhan menjadi kearah penyerahan diri kepada Tuhan dan hubungan
dengan orang lain (hubungan sosial). Salah satu pendekatan yang sering
digunakan dalam pendampingan pasien yang telah lama mengidap
HIV/AIDS adalah melalui terapi spiritual. Terapi spiritual yang
dilakukan secara tidak langsung dapat meningkatkan makna spiritualitas
pasien tentang penyakitnya. Spiritualitas merupakan bagian dari kualitas
hidup berada dalam domain kapasitas diri atau being yang terdiri dari nilai-
nilai personal, standar personal dan kepercayaan. Terdapat empat hal
yang diakui sebagai kebutuhan spiritual yaitu proses mencari makna
baru dalam kehidupan, pengampunan, kebutuhan untuk dicintai, dan
pengharapan. Penemuan makna baru dalam kehidupan ini akan
memfasilitasi pasien HIV/AIDS untuk pengampunan terhadap dirinya
sendiri (Hidayanti, dkk., 2015).
Penyakit HIV/AIDS dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya
seperti meningkatkan ketergantungan pada orang lain, mental disorder
seperti depresi, cemas, putus asa, dan khawatir, serta berpengaruh pada
rusaknya kehidupan sosial seperti mengisolasikan diri dan mendapat
stigmatisasi. HIV/AIDS adalah ”medical illness” dan juga ”terminal
illness”. Lebih lanjut dijelaskan bahwa individu dengan HIV/AIDS
membutuhkan terapi dengan pendekatan bio-psiko-sosio-spiritual, artinya
melihat pasien tidak semata-mata dari segi organobiologik, psikologik,
psiko-sosial tetapi juga aspek spritual/kerohanian. Dengan demikian
jelaslah bahwa penderita HIV/AIDS memiliki masalah yang kompleks
(biopsiko-sosio-religius). Penderita HIV/AIDS dengan berbagai
masalahnya membutuhkan perawatan holistik. Perawatan holistik bagi
pasien penyakit terminal dalam dunia kedokteran dikenal dengan perawatan
paliatif. perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki
kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang
berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui
pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang
tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial
dan spiritual. dan juga untuk memenuhi kebutuhan pasien dengan
memadukan perawatan medis, dukungan social emosional, konseling, dan
perawatan spiritual. Dengan demikian artinya implementasi perawatan
paliatif membutuhkan keterlibatan berbagai profesi. Tim perawatan
kesehatan seharusnya meliputi dokter, perawat dan ahli terapis serta
kelompok profesional lainnya seperti pekerja sosial dan rohaniawan.
Mereka yang memiliki peningkatan spiritual memberikan efek positif
seperti berkurangnya rasa sakit, munculnya energi positif, hilangnya
psychological distress, hilangnya depresi, kesehatan mental yang lebih
baik, meningkatnya fungsi kognitif dan sosial, serta berkurangnya
perkembangan gejala HIV. Sementara mereka yang mengembangkan
respons spiritual yang negatif seperti marah kepada Tuhan, menganggap
penyakit sebagai hukuman, dan mengalami keputusasaan justru
mempercepat progresivitas penyakit HIV/AIDS. Efektivitas pendekatan
holistik dengan menyentuh aspek spiritual dalam merawat orang dengan
HIV/AIDS (Odha) mampu mengantarkan mereka menemukan kembali
harapan dan makna hidup, serta memperbaiki martabat yang mendapat
stigma dan dihantui perasaan bersalah terhadap diri sendiri atau keluarga,
dan meningkatkan ketrampilan untuk bertahan hidup. Dengan demikian
diketahui bahwa kebutuhan spiritualitas memberikan kontribusi yang maha
penting dalam perjalanan hidup orang dengan HIV/AIDS. Pemenuhan
kebutuhan rohani pasien HIV/AIDS dilakukan dalam bentuk konseling
Islam yang terintegrasi dalam pelayanan kesehatan melalui klinik VCT
HIV/AIDS (Hidayanti, dkk., 2015).
3.2.7. Tantangan Pelaksanaan Long Term Care
Tantangan dalam pelaksanaan long term care (perawatan jangka
panjang) adalah adanya perubahan budaya, serta pengembangan lahan
praktik dan pendidikan yang belum memadai. Dalam perawatan,
keterlibatan orang-orang di sekitar klien diperlukan dalam pengambilan
keputusan bagi tindakan perawatan klien. Dampak positif dari long term
care meliputi peningkatan kualitas pelayanan dan kepuasan klien,
penurunan biaya karena meningkatkan kesehatan, serta meningkatkan
kompetensi perawat(1). Pada long term care, praktisi perawat mampu
memberikan kualitas pelayanan yang tinggi, seperti mengelola penyakit
kronis, manajemen nyeri, serta mengurangi kunjungan ke rumah sakit.
Praktisi perawat mampu menilai kondisi akut, memberikan pelayanan
teratur, dan mengelola kondisi klien (manajemen kasus). Donald, et al
(2013) melaporkan adanya peningkatan status kesehatan dan kualitas hidup
dewasa lanjut, serta kepuasan keluarga pada long term care. Stollee, et al
(2006) dalam McAiney, et al (2008) dan Kaaslalainen, et al (2010),
menunjukkan bahwa praktisi perawat asuhan keperawatan pada jangka
panjang memiliki pengaruh positif, meningkatkan keterampilan dalam
mengindentifikasi masalah potensial, mengelola kondisi medis, dan
masalah psikososial. Fasilitas long term care berpotensi untuk
meningkatkan keuangan melalui pengurangan pembiayaan rumah sakit
dalam merujuk ke instalansi darurat (Kane, et al, 2003; Klassen, Lamont,
dan Krishan, 2009). Fasilitas untuk mengimplementasikan praktisi perawat
pada long term care termasuk mendapatkan dukungan dan komitmen untuk
kepemimpinan keperawatan, menghasilan pengetahuan dan komunikasi,
menyediakan pelayanan yang efektif dan efesien, serta membangun
interaksi interdisipliner.
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan

Human Immunodeficiency virus ( HIV ) adalah sejenis virus yang


menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunya
kekebalan tubuh manusia. Diseluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang
hidup dengan HIV yang meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia
<15 tahun. HIV/AID ini disebabkan hubungan seksual, pertukaran cairan dan
penggunaan jarum suntik yang secara bergantian. spiritualitas/agama dapat
memperburuk hasil karena potensial kepercayaan pada Tuhan dan penolakan
terapi ARV serta pandangan bahwa HIV merupakan hukuman dari Tuhan
atas kebiasaan dan gaya hidup yang penuh dosa akan tetapi menurut Hasil
penelitian mengenai pengaruh spiritualitas/agama terhadap ODHA cenderung
bervariasi dan Tingginya tingkat spiritualitas/agama dapat dihubungkan
dengan menurunnya distres psikologis, nyeri, dan meningkatnya keinginan
untuk hidup, aspek kognitif dan fungsi sosial yang lebih baik semenjak
terdiagnosa HIV. Terapi yang dapat digunakan pada pasien HIV adalah terapi
ARV dan juga menggunkan Long Term Care yang bertujuan satu diantaranya
adalah sebagai mendukung peningkatan akses untuk mendapatkan perawatan
secara terus menerus
4.2. Saran
4.2.1. Dalam mempelajari Tinjauan Agama Tentang HIV/AIDS dan Long Term
Care, seorang calon perawat atau tenaga kesehatan lainnya diharapkan
mengetahui mengenai HIV, aspek keyakinan agama pasien HIV,
mengetahui dan mampu melaksanakan Long Term Care sesuai dengan
prosedur keperawatan.
4.2.2. Kepada pembaca, jika menggunakan bahan ini sebagai acuan dalam
pembuatan makalah atau karya tulis yang berkaitan dengan judul makalah
ini, diharapkan kekurangan yang ada pada makalah ini dapat diperbaharui
dengan lebih baik

39
Daftar Pustaka
Alhumair, Inshan Kamila. (2017) . Pengetahuan Dasar Tentang HIV/AIDS.
( Diakses tanggal 04 oktober 2017
https://siamik.upnjatim.ac.id/poliklinik/aid.pdf )
Aminah, Siti Mardiatul. (2010). Memperbarui Sikap Agama-agama Terhadap
Masalah HIV/AIDS. Diakses tanggal 20 oktober 2017
https://www.scribd.com/doc/45937183/Memperbaharui-Sikap-Agama-
Terhadap-HIV-AIDS
Aristiana, N., Baidi Bukhori., Hasyim Hasanah. (2015). Pelayanan Bimbingan
Dan Konseling Islam Dalam Meningkatkan Kesehatan Mental Pasien
Hiv/Aids Di Klinik Vct Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.
Jurnal Ilmu Dakwah. 35(2) ISSN 1693-8054. Diakses pada tanggal 4
okteber 2017.
http://journal.walisongo.ac.id/index.php/dakwah/article/view/1609/1279.
Armiyati, Y., Desy ,Ariana Rahayu., Siti Aisah. (2015). Manajemen Masalah
Psikososiospiritual Pasien HIV/AIDS Di Kota Semarang. The 2nd
University Research Coloquium. ISSN 2407-9189.
Baharuddin, M. (2010). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penderita HIV/AIDS
dan Upaya Pencegahannya. ASAS vol. 2(2).
Berita Islami Masa kini. (2015). Bahaya HIV/AIDS. Https://youtu.be/0-
pzw0BKgac diakses pada tanggal 21 oktober 2017.
Canadian Nurses Association. Nurse Practitioners in Long-Term Care. Canada:
Canadian Nurses Association; 2013. hal. 1–5.
CH, Mufidah. (2012). Penanggulan HIV/AIDS Melalui Jejaring Antar Lembaga
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Jawa Timur Nomor 14
Tahun 2008. Tarbiyah Jurnal Pendidikan Islam.
Darmadi, Darmadi, dan Riska Habriel Ruslie (2012) Diagnosis dan Tatalaksana
Infeksi HIV pada Neonatus. Majalah Kedokteran Andalas vol. 36(1).
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat. (2012). Profil Kesehatan Provinsi
Kalimantan Barat. Diakses pada 11-09-2017.
Handoko, A. V., & Sofro, M. A. (2012). Hubungan Antara Hitung Sel CD4
Dengan Kejadian Retinitis Pada Pasien HIV Di RSUP Dr. Kariadi
Semarang. Doctoral Dissertation, Fakultas Kedokteran.
Harisson, KM. (2009). Life Expectancy Still Shorter For People With HIV.
Hidayanti,Ema dkk .(2016).Kontribusi Konseling Islam Dalam Mewujudkan
Palliative Care Bagi Pasien Hiv/Aids Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Semarang.RELIGIA, Vol. 19, No. 1, April 2016.Hal: 113-132
Hidayat, Adi. (2017). Sejarah yang ditutupi dari penyakit HIV/AIDS.
Www.youtube.com/watch?v=jbW2v Diakses pada tanggal 21 oktober
2017.
Hidayat, Uti Rusdian., Agung Waluyo dan Riri Maria. (2017). Sikap Masyarakat
Pada Odha Di Desa Serangkat Kabupaten Bengkayang Propinsi
Kalimantan Barat. Jurnal Vokasi Kesahatan vol 3(1). Hal 22-27. ISSN
2442-5478.
Infodatin. (2015). Situasi dan Analisis HIV AIDS. Pusat Data Dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI. Diakses tanggal 04 oktober 2017
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin
%20AIDS.pdf .
Jelliman P. & Lorna P. (2017). HIV Is Now A Manageable Long-Term Condition.
A Qualitative Study Exploring Views About Disitinguishing Features
From Multi-Proffesional HIV Specialists In North West England. Journal
Of Association Of Nurses In AIDS Care, Vol. 28, No. 1. Liverpool:
Elsevier Inc.
JW Mellors., A Munoz., JV Giorgi., JB Margolick., CJ Tassoni., P Gupta et al.
(19970. Plasma Viral Load And CD4+ Lymphocytes As Prognostic
Markers Of HIV-1 Infection. Ann Intern Med 126(12) :945-54.
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehat Lingkungan. (2013). Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta:
Depkes RI.
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehat Lingkungan. (2013). Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta:
Depkes RI.
Nursalam. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV. Jakarta:
Salemba Medika.
Pratt, J.R. (2010). Long Term Care: Managing Across The Continuum Third
Edition. Canada: Jones And Bartlett Publishers.
Rosella,M. (2013). Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Harapan Hidup 5
Tahun Pasien Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS) Di Rsup Dr. Kariadi Semarang.
Rossella, M & Sofro, M. A. U. (2013). Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
Terhadap Harapan Hidup 5 Tahun Pasien Human Immunodeficiency Virus
(HIV)/Acquired Immune Deficiency Syndrome (Aids) Di RSUP Dr.
Kariadi Semarang. Doctoral Dissertation, Faculty Of Medicine
Diponegoro University.
Silvestre JH, Bowers BJ, Gaard S. Improving the Quality of Long-Term Care.
Journal of Nursing Regulation [Internet]. Elsevier Masson SAS;
2015;6(2):52–6. Diambil dari: http://dx.doi.org/10.1016/S2155-
8256(15)30389-6
Singh, Douglas A. (2016). Effective Management of Long-Term Care Facilities
third edition. Burlington: Jones & Barlett Learning.
Sterling ,TR., Vlahov D., Astemborski J., Hoover DR., Margolick JB., Quinn TC.
(2001). Initial Plasma HIV-1 RNA Level And Progression To AIDS In
Women And Men. N Engl J Med. 344(10):720-5.
Syarif, A. (2012). Tarbiyatuna. Jurnal Pendidikan Islam.
Szaflarski, M. (2013). Spirituality and Religion Among HIV-Infected Individuals.
Curr HIV/AIDS Rep. 2013 10(4): 324 – 332. doi:10.1007/s11904-013-
0175-7.
UNAIDS. (2015). Epidemiology Global Statistics Fact Sheet HIV/AIDS 2015.
http://www.unaids.org/en/resources/documents/2015/20150714_factsheet.
UNAIDS. (2015). Epidemiology Global Statistics Fact Sheet HIV/AIDS 2015.
http://www.unaids.org/en/resources/documents/2015/20150714_factsheet.
Unicef Indonesia. (2012). Ringkasan Kajian Respon Terhadap HIV & AIDS.
Diakses dari: https://www.unicef.org/indonesia/id/A4_-
_B_Ringkasan_Kajian_HIV.pdf
Unicef Indonesia. (2012). Ringkasan Kajian Respon Terhadap HIV & AIDS.
Diakses dari: https://www.unicef.org/indonesia/id/A4_-
_B_Ringkasan_Kajian_HIV.pdf
Wainberg, MA., Zaharatos GJ., Brenner BG. (2011). Development Of
Antiretroviral Drug Resistance. N Engl J Med 365:637-46.
WHO (2015) Guideline on When to Start Aniretroviral Therapy and on Pre-
exposure Prophylaxis for HIV. Switzerland: World Health Organization
Wirawan, W. (2016). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Berisiko
Penyakit HIV/AIDS Pada Remaja di SMAN 6 Kecamatan Padang Selatan
Kota Padang Tahun 2016. Padang: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Andalas Padang.
World Health Organization . (2000). HOME-BASED LONG-TERM CARE.
WHO Study Group.
Http://Apps.Who.Int/Iris/Bitstream/10665/42343/1/WHO_TRS_898.Pdf
diakses tanggal 27 oktober 2017.
Yusri A, Sori M, Rasmaliah. 2012. Karakteristik Penderita AIDS dan Infeksi
Oportunistik Di Rumah Sakit umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan
tahun 2012. ( Diakses tanggal 04 oktober 2017
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=131358&val=4108 )

Anda mungkin juga menyukai