Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH FARMASI KLINIK II

HIV - AIDS

NAMA KELOMPOK 4 :

1. Maria Aprilia Irene Guru


2. Maria CarolindaPoso
3. Maria ChikitalyaWula
4. Maria Magdalena LurukSeran

KELAS: FARMASI B/VII

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
UNIVERSITAS CITRA BANGSA KUPANG
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur patut dipanjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat dan karunia-Nya,sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
mata kuliah Farmasi Klinik II dengan baik. Penulisan makalah ini dimaksudkan
untuk memenuhi salah satu tugas tentang HIV – Therapies.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Dosen matakuliah Farmasi Klinik II
yang telah memberikan Tugas, dan kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan
baik dan tepat waktu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini
semata-mata karena keterbatasan kemampuan kami sendiri. Oleh karena itu,
sangatlah diharapkan saran dan kritik yang positif dan membangun dari semua
pihak terutama Dosen Matakuliah Farmasi Klinik II , agar makalah ini menjadi
lebih baik dan berdaya guna bagi pembaca.

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman judul......................................................................................................................1

Kata pengantar.....................................................................................................................2

Daftar isi..............................................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................................4

1.1 Latar Belakang..........................................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................4
1.3 Tujuan masalah.........................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………….5

2.1 Defenisi………………………………………………………………………………5

2.2 Cara penularan HIV-AIDS…………………………………………………………..5

2.3 Tanda dan Gejala HIV-AIDS………………………………………………………..5

2.4 Cara Pencegahan HIV-AIDS………………………………………………………..6

BAB III PEMBAHASAN .................................................................................................8

3.1Kasus 1.....................................................................................................................8

3.2Kasus 2.....................................................................................................................9

3.3Kasus 3……………………………………………………………………………..10

3.4Kasus 4…………………………………………………………………………….10

BAB IV PENUTUP............................................................................................................12

4.1Kesimpulan...............................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi
tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat
mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain yang disebut dengan AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi dari virus HIV (Diatmi and Diah, 2014). Orang
yang telah di diagnosa terinfeksi positif oleh virus HIV dan AIDS maka orang tersebut
disebut dengan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) (Diatmi dan Diah, 2014).

Seperti yang kita ketahui bersama, AIDS adalah suatu penyakit yang belum ada
obatnya dan belum ada vaksin yang bisa mencegah serangan virus HIV, sehingga
penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang sangat berbahaya bagi kehidupan
manusia baik sekarang maupun waktu yang datang. Selain itu AIDS juga dapat
menimbulkan penderitaan, baik dari segi fisik maupun dari segi mental (Hapsari, 2016).
Mungkin kita sering mendapat informasi melalui media cetak, elektronik, ataupun
seminar-seminar, tentang betapa menderitanya seseorang yang mengidap penyakit
AIDS.(Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2017).Dari segi fisik, penderitaan itu mungkin,
tidak terlihat secara langsung karena gejalanya baru dapat kita lihat setelah beberapa
bulan. Tapi dari segi mental, orang yang mengetahui dirinya mengidap penyakit AIDS
akan merasakan penderitaan batin yang berkepanjangan. Semua itu menunjukkan bahwa
masalah AIDS adalah suatu masalah besar dari kehidupan kita semua. Dengan
pertimbangan-pertimbangan dan alasan itulah kami sebagai pelajar, sebagai bagian dari
anggota masyarakat dan sebagai generasi penerus bangsa, merasa perlu memperhatikan
hal tersebut.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana Tanda dan Gejala dari HIV-AIDS

2. Bagaimana cara penanganan terhadap Penyakit HIV-AIDS

3. Bagaimana cara penularan penyakit HIV-AIDS

1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui tanda dan Gejala dari penyakit HIV AIDS

2. Untuk mengetahui cara penanganan dari penyakit HIV AIDS

3. Untuk mengetahui cara penularan dari penyakit HIV-AIDS

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

HIV ( Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan


AIDS. HIV termasuk keluarga virus retro yaitu virus yang memasukan materi genetiknya
ke dalam sel tuan rumah ketika melakukan cara infeksi dengan cara yang berbeda (retro),
yaitu dari RNA menjadi DNA, yang kemudian menyatu dalam DNA sel tuan rumah,
membentuk pro virus dan kemudian melakukan replikasi.

Virus HIV ini dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih
yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang
pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan
sekalipun. Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang
biak Virus HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel
darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh
maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak memiliki pelindung. Dampaknya
adalah kita dapat meninggal dunia akibat terkena pilek biasa.

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan dampak atau efek dari
perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Virus HIV membutuhkan
waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan sangat berbahaya.
Penyakit AIDS disebabkan oleh melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh
yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh
Virus HIV.

Ketika kita terkena Virus HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi
AIDS dibutuhkan waktu yang lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS
yang mematikan. Saat ini tidak ada obat, serum maupun vaksin yang dapat
menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS.( Dirjen P2P
Kemenkes RI, 2017).

2.2 Cara Penularan HIV-AIDS


HIV tidak ditularkan atau disebarkan melalui hubungan sosial yang biasa seperti jabatan
tangan, bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan, penggunaan peralatan makan dan
minum, gigitan nyamuk, kolam renang, penggunaan kamar mandi atau WC/Jamban yang
sama atau tinggal serumah bersama Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)
HIV dapat ditularkan melalui beberapa cara, dan penting bagi kita untuk
memahaminya agar dapat menghindari penularan virus ini:

 Hubungan seksual (anal dan vagina) tanpa kondom.

 Transfusi darah dan transplantasi organ dari orang yang terinfeksi HIV.

 Penggunaan jarum yang terkontaminasi/tidak steril.

 Transmisi dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya selama kehamilan, persalinan dan
menyusui.

Namun, jangan sampai salah, HIV tidak menular melalui:

 Bersentuhan, berciuman, bersalaman dan berpelukan

 Berbagi peralatan makan dan minum

 Menggunakan kamar mandi bersama

 Berenang di kolam renang

 Gigitan nyamuk

(Kemenkes,2017)
2.3 Tanda Dan Gejala Pengidap HIV-AIDS

Gejala AIDS beraneka ragam dan tergantung pada manifestasi khusus penyakit tersebut. Sebagai
contoh, pasien AIDS dengan infeksi paru dapat mengalami demam dan keluar keringat malam
sementara pasien tumor kulit akan menderita lesi kulit. Gejala non spesifik pada pasien AIDS
mencakup rasa letih yang mencolok, pembengkakan kelenjar leher, ketiak serta lipat paha,
penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya dan diare yang berlarut-larut.
Karena gejala-gejala yang belakangan ini dapat dijumpai pada banyak kondisi lainnya, maka
hanya kalau kondisi ini sudah disingkirkan dan gejala tersebut tetap ada, barulah diagnosis AIDS
di pertimbangkan, khususnya pada orang-orang yang bukan termasuk kelompok resiko tinggi.
 Tanda dan gejala HIV sangat bervariasi tergantung dengan tahapan
infeksi yang diderita. Berikut adalah tanda dan gejala HIV :
a. Individu yang terkena HIV jarang sekali merasakan dan menunjukkan timbulnya suatu tanda
dan gejala infeksi. Jika ada gejala yang timbul biasanya seperti flu biasa, bercak kemerahan pada
kulit, sakit kepala, ruam-ruam dan sakit tenggorokan.
b. Jika sistem kekebalan tubuhnya semakin menurun akibat infeksi
tersebut maka akan timbul tanda-tanda dan gelaja lain seperti kelenjar getah bening bengkak,
penurunan berat badan, demam, diare dan batuk.
Selain itu juga ada tanda dan gejala yang timbul yaitu mual,muntah dan sariawan.
c. Ketika penderita masuk tahap kronis maka akan muncul gejala yang khas dan lebih parah.
Gejala yang muncul seperti sariawan yang banyak, bercak keputihan pada mulut, gejala herpes
zooster, ketombe, keputihan yang parah dan gangguan psiskis.
Gejala lain yang muncul
adalah tidak bisa makan candidiasis dan kanker servisk.
d. Pada tahapan lanjutan, penderita HIV akan kehilangan berat badan, jumlah virus terus
meningkat, jumlah limfosit CD4+ menurun hingga <200 sel/ul. Pada keadaan ini dinyatakan
AIDS.
e. Pada tahapan akhir menunjukkan perkembangan infeksi opurtunistik seperti meningitis,
mycobacteruim avium dan penurunan sistem imun.
Jika tidak melakukan pengobatan maka akan terjadi perkembangan penyakit berat seperti TBC,
meningitis kriptokokus, kanker seperti limfoma dan sarkoma Kaposi.

2.4 Cara Pencegahan


Pencegahan HIV/AIDS bertujuan untuk melindungi diri dari tertularnya HIV dan tidak
menularkan virus kepada orang lain.

Berikut adalah cara pencegahan penularan HIV/AIDS :

a) Tidak melakukan hubungan seksual berisiko.

b) Tidak berganti-ganti pasangan atau setia kepada satu pasangan yang tidak terkena infeksi
HIV.

c) Menggunakan kondom secara konsisten saat berhubungan seksual yang berisiko.

d) Hindari penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan secara bergantian. Terutama bagi
pengguna narkoba suntik. Terdapat cara untuk mengurangi resiko tertular HIV pada
penggunaan narkoba yaitu beralih dari napza yang harus disuntikkan ke yang dapat diminum
secara oral, jangan pernah menggunakan dan bergantian alat untuk menyiapkan napza.

e) Memberikan pendidikan tentang Informasi seputar HIV dan AIDS terutama kepada populasi
kunci.

f) Penghapusan penularan HIV dari ibu ke anak.

Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan pemerintah dalam usaha untuk mencegah
penularan AIDS yaitu, misalnya : memberikan penyuluhan-penyuluhan atau informasi
kepada seluruh masyarakat tentang segala sesuatau yang berkaitan dengan AIDS, yaitu
melalui seminar-seminar terbuka, melalui penyebaran brosur atau poster-poster yang
berhubungan dengan AIDS, ataupun melalui iklan diberbagai media massa baik media cetak
maupun media elektronik.penyuluhan atau informasi tersebut dilakukan secara terus
menerus dan berkesinambungan, kepada semua lapisan masyarakat, agar seluarh masyarakat
dapat mengetahui bahaya AIDS, sehingga berusaha menghindarkan diri dari segala sesuatu
yang bisa menimbulkan virus AIDS.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus I

1. E.J. adalah seorang laki-laki berusia 27 tahun yang datang dengan keluhan baru
berupa demam, keringat malam,penurunan berat badan, dan bercak putih di
mulut. Ia menyatakan, gejala tersebut sudah muncul selama 4 hingga 6 minggu
terakhir. E.J. mengaku pernah menggunakan narkoba melalui suntikan; Namun,
dia menyatakan bahwa dia telah “bersih” selama 3 tahun. E.J. didiagnosis
menderita sariawan yang disebabkan oleh Candida albicans. Dicurigai adanya
infeksi HIV dan persetujuan untuk tes HIV diperoleh. Mengapa HIV dicurigai dan
bagaimana cara memastikannya?
2. Immunoassay kombinasi antigen/antibodi HIV-1/2 dari E.J. bersifat reaktif dan
immunoassay diferensiasi antibodi mendeteksi antibodi HIV-1. Dia diberitahu
tentang status HIV-nya minggu depan pada pemeriksaan lanjutannya. Sebelum
mengambil keputusan mengenai pilihan terapi, tes laboratorium tambahan apa
yang harus dilakukan?
3. Jumlah sel T dan viral load E.J. kembali pada 225 sel/µL dan 145.000 salinan/mL
(dengan uji RT-PCR). Haruskah ART dimulai?
4. Setelah berdiskusi dengan cermat, E.J. setuju untuk memulai terapi. Apa yang
harus menjadi tujuan terapi? Faktor atau informasi lain apa yang harus
dipertimbangkan dalam memilih rejimen yang tepat?
5. Setelah berdiskusi dengan cermat, E.J. setuju untuk memulai terapi. Apa yang
harus menjadi tujuan terapi? Faktor atau informasi lain apa yang harus
dipertimbangkan dalam memilih rejimen yang tepat?
6. Saat ditanyai, E.J. mengaku sesekali minum saat makan malam, tapi
kenyataannya memang begitu saat ini tidak menggunakan obat-obatan terlarang
dan tidak lagi dalam 3 tahun. E.J. tidak memiliki alergi obat dan saat ini hanya
mengonsumsi omeprazole untuk membantu mengatasi asam lambung. Dia bekerja
sebagai pekerja konstruksi dan sangat sibuk di siang hari, jadi dia lebih memilih
untuk minum obat hanya satu kali sehari. Hitung darah lengkap, elektrolit, dan
panel hati dan ginjalnya semuanya kembali dalam batas normal. Genotipe
dasarnya tidak menunjukkan adanya resistensi obat yang ditularkan, dan HLA-
B*5701 negatif. E.J. tidak memiliki preferensi tertentu terhadap pengobatan
tertentu dan tampak sangat termotivasi untuk mengendalikan penyakitnya. Faktor-
faktor apa yang harus dipertimbangkan ketika memilih rejimen antiretroviral yang
tepat?
7. Regimen antiretroviral awal apa yang sebaiknya E.J. menerima?
8. E.J. sedang memulai emtricitabine, tenofovir, disoproxil fumarate, elvitegravir,
dan cobicistat (diformulasikan bersama untuk dosis sekali sehari sebagai Stribild).
Bagaimana terapi harus dipantau? Apakah diperlukan pemeriksaan laboratorium
tambahan? Dukungan kepatuhan apa yang harus diberikan?
9. . Setelah memulai terapi, nilai viral load E.J. adalah 7.000 kopi/mL pada 4
minggu dan kurang dari 50 kopi/mL (tidak terdeteksi) pada 14 minggu. Jumlah
sel Tnya meningkat dari 225 menjadi 525 sel/µL. Selain itu, E.J. menyatakan
bahwa keringat malam dan demamnya telah hilang, dia “merasa sehat”, dan tidak
memiliki masalah terkait narkoba. Apakah terapinya efektif? Bagaimana terapi
harus dipantau?
10. E.J. masih menggunakan elvitegravir/cobicistat/emtricitabine/tenofovir disoproxil
fumarate selama lebih dari satu tahun. Sampai saat ini, jumlah sel T-nya tetap
stabil pada 550 sel/µL, dan pengukuran viral load-nya masih kurang dari batas
deteksi tes. Dia datang dengan keluhan baru demam dan malaise. E.J. melaporkan
bahwa dia telah mematuhi terapi dan belum memulai pengobatan baru. Tes
laboratorium yang berulang sekarang menunjukkan viral load E.J. adalah 3.000
kopi/mL dan jumlah sel T-nya adalah 375 sel/μL (diulang dan divalidasi).
Haruskah rejimen E.J. diubah?
11. Regimen antiretroviral apa yang dapat dipertimbangkan untuk E.J.?
 Pembahasan :
 Pada individu yang sehat dan imunokompeten, infeksi oportunistik, seperti kandidiasis,
jarang terjadi karena imunitas seluler yang utuh melindungi terhadap infeksi.
 Pada individu dengan imunosupresi, seperti orang yang terinfeksi HIV, sistem kekebalan
tubuh melemah secara signifikan dan menempatkan pasien pada risiko infeksi
oportunistik.
 Meskipun EJ telah menghentikan penggunaan obat-obatan intravena, penggunaan
sebelumnya menempatkan dia pada risiko infeksi HIV
 E.J. diduga mengidap infeksi HIV karena riwayat penggunaan narkoba suntik dan adanya
gejala seperti demam, keringat malam, penurunan berat badan, dan sariawan yang
disebabkan oleh Candida albicans.
 Untuk memastikan diagnosis, diperlukan tes HIV. Ada berbagai metode untuk
mendiagnosis HIV, termasuk tes cepat, immunoassay enzim, dan tes asam nukleat.
 Tes cepat dapat memberikan hasil hanya dalam 20 menit, sedangkan
 tes immunoassay enzim dan asam nukleat mungkin memerlukan waktu beberapa hari
hingga seminggu.
 Penting untuk diingat bahwa hasil tes yang negatif tidak berarti seseorang tidak terinfeksi
HIV, karena diperlukan waktu beberapa minggu hingga bulan agar virus dapat terdeteksi
dalam darah.
 Pembahasan 2
 Setelah hasil tes HIV-1/2 reaktif dan tes diferensiasi antibodi HIV-1 positif, tes
laboratorium tambahan yang harus dilakukan adalah tes viral load HIV dan tes hitung
CD4.
 Tes viral load HIV digunakan untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah, sedangkan
tes hitung CD4 digunakan untuk mengukur jumlah sel CD4 dalam darah.
 Kedua tes ini penting untuk menentukan tingkat keparahan infeksi HIV dan memantau
respons terhadap terapi antiretroviral (ARV).
 Selain itu, tes lain yang dapat dilakukan adalah tes resistensi ARV, yang digunakan untuk
menentukan apakah virus HIV yang terdeteksi memiliki resistensi terhadap obat ARV
tertentu.
 Tes ini penting untuk memilih jenis ARV yang tepat untuk digunakan dalam terapi HIV.
 Pembahasan 3
Jumlah sel T dan viral load E.J. kembali pada 225 sel/µL dan 145.000 salinan/mL (dengan
uji RT-PCR). Haruskah ART dimulai?
 Berdasarkan hasil tes viral load HIV dan tes hitung CD4, E.J. memiliki jumlah sel
T sebesar 225 sel/µL dan viral load sebesar 145.000 salinan/mL. Menurut
penelitian Putri dan Sari pada tahun 2018, tentang “Periode Waktu Inisiasi Anti-
Retroviral Terapi (ART) Berhubungan dengan Perbedaan Outcome dan Tingkat
Kadar CD4 pada Kasus HIV Positif”, pemberian ART (Anti Retroviral Therapy)
lebih dini pada level CD4 yang lebih tinggi diyakini memberikan outcome yang
lebih baik. Oleh karena itu, dengan jumlah sel T yang rendah dan viral load yang
tinggi, E.J. sebaiknya memulai terapi ART secepat mungkin.
 Terapi ART bertujuan untuk menekan jumlah virus HIV dalam darah dan
memperbaiki fungsi sistem kekebalan tubuh. Selain itu, terapi ART juga dapat
membantu mencegah perkembangan penyakit AIDS dan meningkatkan harapan
hidup pasien HIV.
 Namun, sebelum memulai terapi ART, E.J. sebaiknya berkonsultasi dengan dokter
spesialis penyakit menular untuk menentukan jenis obat yang tepat dan dosis yang
sesuai.
 Selain itu, E.J. juga perlu memperhatikan efek samping yang mungkin terjadi
selama terapi ART dan melakukan tes laboratorium secara teratur untuk memantau
respons terhadap terapi.
 Pembahasan 4
Setelah berdiskusi dengan cermat, E.J. setuju untuk memulai terapi. Apa yang harus
menjadi tujuan terapi? Faktor atau informasi lain apa yang harus dipertimbangkan dalam
memilih rejimen yang tepat?
 Tujuan terapi :
 Menekan Vial Load secara maksimal dan tahan lama
 Menjaga dan memperkuat sistem kekebalan
 Membatasi Kejadian Yang Merugikan Obat, Meningkatkan Kepatuhan, Dan
Meningkatkan Kualitas Hidup
 Mencegah Morbiditas Dan Kematian Terkait Imuunodefisiensi Manusia
Faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih rejimen yang tepat adalah
jenis obat yang digunakan, dosis yang sesuai, efek samping yang mungkin terjadi
selama terapi ART, dan respons terhadap terapi. Selain itu, faktor lain yang perlu
dipertimbangkan adalah karakteristik pasien, seperti usia, jenis kelamin, status
gizi, dan riwayat medis.
 Pembahasan 5
Faktor-faktor apa yang harus dipertimbangkan ketika memilih rejimen antiretroviral yang
tepat?
Pilih jenis rejimen antiretroviral.
Secara umum, kombinasi HAART berbasis PI atau INSTI lebih disukai, Saat ini,
tidak ada bukti yang secara pasti merekomendasikan satu rejimen dibandingkan rejimen
lainnya, dan pemilihannya bergantung pada faktor spesifik pasien, seperti kondisi
penyakit penyerta, obat yang dikonsumsi secara bersamaan, dan jumlah pil yang diminum.
 Hindari rejimen yang tidak bersifat aditif atau sinergis secara virologi. Lamivudine dan
emtricitabine tidak boleh digunakan bersamaan karena keduanya memiliki profil
resistensi yang serupa, dan penggunaan bersamaan tidak akan memberikan manfaat
virologi tambahan.
 Hindari rejimen yang terbukti merugikan pada populasi pasien tertentu.

 Pembahasan 6
Regimen antiretroviral awal apa yang sebaiknya E.J. menerima?

 Pembahasan 7
E.J. sedang memulai emtricitabine, tenofovir, disoproxil fumarate, elvitegravir, dan
cobicistat (diformulasikan bersama untuk dosis sekali sehari sebagai Stribild). Bagaimana
terapi harus dipantau? Apakah diperlukan pemeriksaan laboratorium tambahan?
Dukungan kepatuhan apa yang harus diberikan?
 Untuk memantau respons terhadap terapi ART, E.J. perlu melakukan tes laboratorium
secara teratur. Tes laboratorium yang perlu dilakukan termasuk tes viral load HIV dan tes
hitung CD4. Tes viral load HIV dilakukan setiap 3-6 bulan setelah memulai terapi ART
untuk memantau respons terhadap terapi dan menentukan apakah perlu dilakukan
perubahan rejimen.
 Tes hitung CD4 dilakukan setiap 6-12 bulan untuk memantau tingkat keparahan infeksi
HIV dan respons terhadap terapi ART.
 Selain itu, tes laboratorium tambahan yang dapat dilakukan termasuk tes fungsi hati dan
ginjal, tes kadar lipid, dan tes kadar gula darah. Tes ini dilakukan untuk memantau efek
samping yang mungkin terjadi selama terapi ART.
 Dukungan kepatuhan yang dapat diberikan termasuk edukasi tentang pentingnya
mengikuti jadwal minum obat yang telah ditentukan, menghindari penggunaan obat-
obatan terlarang atau alkohol, dan menjaga pola makan dan gaya hidup yang sehat. Selain
itu, dukungan sosial dan psikologis juga dapat membantu meningkatkan kepatuhan
terhadap terapi ART.
 Pembahasan 8 :
Setelah memulai terapi, nilai viral load E.J. adalah 7.000 kopi/mL pada 4 minggu dan
kurang dari 50 kopi/mL (tidak terdeteksi) pada 14 minggu. Jumlah sel Tnya meningkat
dari 225 menjadi 525 sel/µL. Selain itu, E.J. menyatakan bahwa keringat malam dan
demamnya telah hilang, dia “merasa sehat”, dan tidak memiliki masalah terkait narkoba.
Apakah terapinya efektif? Bagaimana terapi harus dipantau?
Jawab :
 Tanggapan EJ terhadap elvitegravir/cobicistat/emtricitabine/tenofovir disoproxil fumarate
menunjukkan kemanjuran. Secara klinis, gejalanya telah mereda dan kesehatannya secara
keseluruhan membaik. Pengukuran viral loadnya telah memberikan respons yang tepat
dan sekarang berada di bawah tingkat deteksi tes. Jumlah sel T meningkat 300 sel/ÿL.
Terakhir, EJ tidak mengalami efek samping terkait obat. Mengingat respon yang ada saat
ini, tidak ada perubahan yang diperlukan dan pengobatan yang ada harus dilanjutkan.
 Penilaian Jangka Panjang. tujuan jangka panjangnya adalah mempertahankan penekanan
virus secara maksimal, mempertahankan perbaikan klinis dan imunologi, dan
mempertahankan tolerabilitas obat. Penilaian berkala harus dilakukan terhadap viral load
dan jumlah sel T (setiap 3-6 bulan).
 Pembahasan 9 :
E.J. masih menggunakan elvitegravir/cobicistat/emtricitabine/tenofovir disoproxil
fumarate selama lebih dari satu tahun. Sampai saat ini, jumlah sel T-nya tetap stabil pada
550 sel/µL, dan pengukuran viral load-nya masih kurang dari batas deteksi tes. Dia datang
dengan keluhan baru demam dan malaise. E.J. melaporkan bahwa dia telah mematuhi
terapi dan belum memulai pengobatan baru. Tes laboratorium yang berulang sekarang
menunjukkan viral load E.J. adalah 3.000 kopi/mL dan jumlah sel T-nya adalah 375
sel/μL (diulang dan divalidasi). Haruskah rejimen E.J. diubah?
Jawab
 Saat ini, EJ memiliki sejumlah tanda dan gejala yang menunjukkan kegagalan
pengobatan. EJ mengalami gejala baru berupa demam dan malaise yang tidak disebabkan
oleh penyebab lain. Nilai viral load EJ dapat dideteksi pada 3.000 kopi/mL tanpa bukti
infeksi atau vaksinasi yang terjadi bersamaan dalam 4 minggu terakhir. Jumlah sel T EJ
telah menurun dari 550 menjadi 375 sel/ÿL. Yang terakhir, tampaknya EJ telah mengikuti
terapinya dan belum memulai pengobatan baru apa pun yang dapat mempengaruhi
kemanjuran pengobatannya saat ini.
 Mengingat resistensi obat antiretroviral lebih mungkin terjadi seiring dengan
meningkatnya dan berkepanjangannya replikasi virus dengan adanya obat antiretroviral,
maka perubahan terhadap terapi harus terjadi mendekati saat kegagalan pengobatan.
Pengobatan jangka panjang dengan rejimen yang gagal kemungkinan besar akan
mengakibatkan akumulasi mutasi resistensi (terutama dengan protease inhibitor), yang
mungkin membatasi pilihan pengobatan di masa depan. Oleh karena itu, diperlukan
perubahan terapi.

 Pembahasan 10
Regimen antiretroviral apa yang dapat dipertimbangkan untuk E.J.?
 Harus diakui bahwa banyak pengobatan alternatif didasarkan pada manfaat teoritis atau
data yang terbatas. Selain itu, banyak pilihan yang mungkin terbatas pada beberapa
pasien berdasarkan penggunaan antiretroviral sebelumnya, toksisitas, atau intoleransi di
masa lalu. Oleh karena itu, dokter harus mendiskusikan masalah ini dengan pasien secara
hati-hati sebelum mengubah terapi.
 Karena EJ gagal merespons pengobatannya saat ini, pengobatan antiretroviral yang baru
harus dipilih. Selain memilih agen yang rentan dari pengujian resistensi, rejimen baru ini
juga harus mempertimbangkan masalah kualitas hidup. Dalam situasi EJ, masuk akal
untuk beralih ke rejimen PI yang dikuatkan dengan ritonavir, dengan dua atau lebih agen
nukleosida sebagaimana ditentukan oleh profil resistensi virus.

3.2 Kasus 2

1.H.G. adalah seorang laki-laki HIV-positif berusia 56 tahun yang memiliki riwayat
pengobatan luas dengan berbagai obat antiretroviral. Dia menjalani monoterapi
zidovudine pada akhir 1980an dan awal 1990an. Ketika lamivudine tersedia, ia
menggunakan kombinasi zidovudine dan lamivudine hingga terapinya gagal sekitar 20
tahun yang lalu. Pada saat itu, ia mulai mengalami miopati akibat AZT. Sejak saat itu,
H.G. telah “menghidupkan dan mematikan” berbagai rejimen tanpa manfaat klinis yang
berkelanjutan. Saat ini ia memakai emtricitabine/tenofovir disoproxil fumarate dan
atazanavir/ritonavir dengan jumlah CD4 dan pengukuran viral load sebesar 55 sel/µL dan
48.000 salinan/mL. , masing-masing. Nilai laboratorium ini stabil selama 9 bulan terakhir.
Apa perbedaan pasien dengan riwayat antiretroviral yang luas dengan pasien yang belum
pernah menggunakan antiretroviral? Apakah ada pertimbangan khusus ketika memilih
rejimen terapi untuk pasien seperti H.G.?
2. Akankah genotipe dan fenotipe virus membantu dalam memilih rejimen terapi yang
tepat untuk H.G.? Apa saja tes-tes ini? Apa keterbatasannya dan kapan sebaiknya
digunakan? Apa yang dimaksud dengan kebugaran virus, dan apakah ia berperan dalam
pengambilan keputusan klinis?
3. H.G. mulai memakai rejimen tenofovir alafenamide, emtricitabine, dolutegravir, dan
darunavir yang dikuatkan dengan ritonavir. Selama 6 bulan berikutnya, jumlah sel T H.G.
meningkat menjadi 325 sel/µL dan nilai viral loadnya menurun menjadi 5.000 salinan/mL.
Pada dua kunjungan klinik terakhir, viral load H.G. (salinan/mL) dan jumlah CD4
(sel/µL) masing-masing adalah 2.000/275 dan kurang dari 20/225. HG melaporkan tidak
ada keluhan klinis baru atau efek samping obat. Selain itu, H.G. menyatakan bahwa dia
telah patuh dalam menjalani terapi. Apakah perubahan terapi diperlukan?

 Pembahasan 1

 Seorang pasien yang memiliki riwayat ART yang ekstensif berbeda dengan pasien yang
belum pernah menggunakan ART, karena pasien tersebut mungkin telah
mengembangkan resistensi terhadap obat tertentu, sehingga lebih sulit untuk menemukan
rejimen pengobatan yang efektif.
 Selain itu, pasien dengan riwayat ART mungkin pernah mengalami efek samping dari
pengobatan sebelumnya, yang dapat membatasi pilihan pengobatan di masa depan.
 Saat memilih rejimen pengobatan untuk pasien seperti H.G., yang mempunyai riwayat
terapi antiretroviral dan pernah mengalami efek samping, penting untuk
mempertimbangkan hal-hal berikut:
a. Resistensi obat: H.G. mungkin telah mengembangkan resistensi terhadap obat-
obatan tertentu, jadi penting untuk memilih rejimen yang mencakup obat-obatan yang
tidak resisten terhadapnya.
b. Efek samping: H.G. pernah mengalami efek samping dari pengobatan sebelumnya,
jadi penting untuk memilih rejimen yang meminimalkan risiko efek samping.
c. Viral load dan jumlah CD4: Viral load dan jumlah CD4 H.G. harus dipantau secara
teratur untuk memastikan bahwa rejimen yang digunakan saat ini efektif
d. Interaksi obat: H.G. saat ini memakai emtricitabine/tenofovir disoproxil fumarate
dan atazanavir/ritonavir, jadi penting untuk mempertimbangkan potensi interaksi obat
ketika memilih obat tambahan
e. Preferensi pasien: Preferensi dan gaya hidup H.G. harus diperhitungkan ketika
memilih rejimen, karena kepatuhan sangat penting untuk keberhasilan ART.
Singkatnya, pasien dengan riwayat ART mungkin telah mengembangkan resistensi
terhadap obat dan mengalami efek samping, sehingga sulit menemukan rejimen
pengobatan yang efektif. Ketika memilih rejimen untuk pasien seperti H.G., penting untuk
mempertimbangkan resistensi obat, efek samping, viral load dan jumlah CD4, interaksi
obat, dan preferensi pasien.
 Pembahasan 2
 Pengujian genotipe dan fenotipe virus dapat membantu dalam memilih rejimen terapi
yang tepat untuk H.G.
 Berikut beberapa tes yang dapat digunakan:
a. Pengujian genotipe: Tes ini melibatkan analisis materi genetik virus untuk
menentukan apakah virus tersebut telah mengembangkan resistensi terhadap obat tertentu
Tes ini dapat membantu mengidentifikasi obat mana yang paling efektif melawan virus
dan dapat memandu pemilihan rejimen terapi yang tepat untuk H.G.
b. Pengujian fenotipe: Tes ini melibatkan analisis kemampuan virus untuk bereplikasi
dengan adanya obat yang berbeda : Tes ini dapat membantu mengidentifikasi obat mana
yang paling efektif melawan virus dan dapat memandu pemilihan rejimen terapi yang
tepat untuk H.G.
 Namun, ada keterbatasan dalam tes ini. Berikut beberapa batasannya:
a. Pengujian genotipe: Tes ini mungkin tidak mendeteksi semua bentuk resistensi
obat . Oleh karena itu, mungkin tidak dapat mengidentifikasi semua obat yang tidak
efektif melawan virus.
b. Pengujian fenotipe: Tes ini memakan waktu dan mahal . Oleh karena itu,
pengobatan ini biasanya diperuntukkan bagi pasien yang telah gagal dalam pengobatan
sebelumnya atau yang memiliki jenis virus yang resistan terhadap obat .
 Kesesuaian virus mengacu pada kemampuan virus untuk bereplikasi dan bertahan hidup
di inang . Hal ini dapat berperan dalam pengambilan keputusan klinis dengan
mempengaruhi pemilihan obat yang paling efektif melawan virus sekaligus
meminimalkan risiko efek samping.
 Oleh karena itu, kebugaran virus dapat menjadi pertimbangan penting ketika memilih
rejimen terapi untuk pasien seperti H.G. yang mempunyai riwayat terapi antiretroviral
dan resistensi obat.

 Pembahasan 3
 perubahan terapi diperlukan karena dilihat dari viral loadnya meningkat dan jumlah CD4-
nya menurun, yang menunjukkan bahwa rejimen terapi saat ini mungkin tidak efektif
dalam menekan virus.
 Penting untuk dicatat bahwa H.G. tidak melaporkan keluhan klinis baru atau efek
samping dari pengobatan dan telah patuh terhadap terapi.
 Disarankan agar H.G. menjalani pengujian lebih lanjut, seperti pengujian genotipe dan
fenotipe, untuk menentukan apakah virus telah mengembangkan resistensi terhadap salah
satu obat dalam rejimennya saat ini. Pengujian ini dapat membantu mengidentifikasi obat
mana yang paling efektif melawan virus dan dapat memandu pemilihan rejimen terapi
yang tepat untuk H.G.
 Selain itu, mungkin perlu mempertimbangkan faktor-faktor lain, seperti kebugaran virus,
ketika memilih rejimen terapi baru.

3.3 Kasus 3

1.J.F. adalah laki-laki HIV-positif berusia 37 tahun yang telah memakai emtricitabine,
tenofovir disoproxil fumarate, dan darunavir yang dikuatkan dengan ritonavir selama 4
tahun terakhir. Panel lipid terbarunya menunjukkan peningkatan trigliserida, LDL, dan
kolesterol total. Apa yang perlu diperhatikan saat memulai pengobatan penurun lipid
untuk J.F.?
2. T.D. adalah seorang wanita berusia 32 tahun yang terinfeksi HIV, dan menjalani terapi
antiretroviral kombinasi tablet dolutegravir/abacavir/lamivudine sekali sehari. Virusnya
sepenuhnya ditekan dan sel CD4-nya hitungannya adalah 786/μL. Dia mendapat hasil tes
kehamilan di rumah yang positif. Apakah rejimen antiretroviralnya tepat untuk digunakan
selama kehamilan dan untuk pencegahan penularan dari ibu ke anak?
 Pembahasan 1
Saat mempertimbangkan terapi penurun lipid untuk J.F., faktor-faktor berikut harus
dipertimbangkan:
 Jenis terapi penurun lipid: Statin adalah terapi penurun lipid pilihan untuk peningkatan
kolesterol LDL atau ketika kadar trigliserida antara 200-500 mg/dL. Pravastatin dan
atorvastatin direkomendasikan sebagai terapi awal untuk peningkatan kadar kolesterol
LDL, sedangkan gemfibrozil atau fenofibrate direkomendasikan ketika konsentrasi
trigliserida melebihi 500 mg/dL. Ezetimibe, penghambat penyerapan kolesterol, belum
diuji pada populasi yang terinfeksi HIV.
 Potensi interaksi obat: Penting untuk mempertimbangkan potensi interaksi obat antara
terapi penurun lipid dan obat antiretroviral.
 Beberapa obat penurun lipid, seperti statin, dapat berinteraksi dengan obat antiretroviral
tertentu dan meningkatkan risiko efek samping.
 Pemeliharaan pengendalian virologi: Penting untuk mempertahankan pengendalian
virologi terhadap infeksi HIV saat menjalani terapi penurun lipid 6 . Hal ini dapat
membantu mencegah berkembangnya jenis virus yang resistan terhadap obat dan
memastikan terapi antiretroviral tetap efektif.
 Pembahasan 2
 Pedoman pencegahan penularan perinatal merekomendasikan abacavir/lamivudine,
emtricitabine/tenofovir disoproxil fumarate atau lamivudine dengan tenofovir disoproxil
fumarate sebagai NRTI lini pertama untuk memulai ART pada kehamilan.
Atazanavir/ritonavir dan daruanvir/ritonavir adalah PI yang direkomendasikan untuk
memulai kehamilan, dan raltegravir adalah inhibitor integrase pertama yang dianggap
pilihan inisiasi kehamilan.
 Agen alternatif untuk memulai kehamilan termasuk zidovudine/lamivudine,
lopinavir/ritonavir, efavirenz asalkan dimulai setelah 8 minggu kehamilan, dan rilpivirine.
 Pada wanita yang mempunyai viral load lebih besar dari 1.000 kopi/mL, hal ini terjadi
merekomendasikan agar operasi caesar yang direncanakan dilakukan pada minggu ke 38
untuk mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak. Pada wanita dengan viral load kurang
dari 1.000 kopi/mL, Terdapat sedikit bukti yang menunjukkan bahwa operasi caesar
menurunkan tingkat penularan dibandingkan dengan operasi caesar persalinan pervaginam
 Karena JF menggunakan rejimen ARV yang bersifat supresif dan dapat ditoleransi,
pedoman menyarankan agar dia melanjutkan rejimennya saat ini. Jika ia tetap tidak
terdeteksi selama kehamilannya, keputusan apakah akan menjalani operasi caesar atau
persalinan pervaginam akan bergantung pada kebijaksanaan JF dan dokternya..

3.4 Kasus 4
1.F.C adalah seorang pria sehat berusia 22 tahun, HIV-negatif, dan memiliki banyak
pasangan seks pria. Ia melaporkan bahwa ia sering menggunakan kondom, namun
menginginkan perlindungan tambahan terhadap penularan HIV. Metode pencegahan apa
yang dapat ditawarkan kepada F.C.?
2. L.T. adalah seorang perawat berusia 47 tahun di sebuah klinik HIV. Saat melakukan
pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien laki-laki yang baru didiagnosis HIV+ dan belum
mulai menggunakan ART, dia secara tidak sengaja menusuk dirinya dengan jarum suntik
yang terkontaminasi. Apakah intervensi tersedia untuk mencegah L.T. dari tertular HIV dari
jarum suntik? Obat apa yang sebaiknya digunakan, dan untuk berapa lama?

 Pembahasan 1
 Profilaksis pra pajanan (PrEP) adalah penggunaan obat antiretroviral pada orang
yang tidak terinfeksi HIV. individu untuk mencegah infeksi HIV. Kombinasi dosis
tetap emtricitabine 200 mg /tenofovir disoproxil fumarate 300 mg telah disetujui
FDA untuk digunakan sebagai PrEP pada orang tidak terinfeksi HIV yang berisiko
tinggi tertular HIV. Pedoman Praktik Klinis untuk Profilaksis Pra Pajanan untuk
Pencegahan HIV di Amerika Serikat merekomendasikan PrEP sebagai salah
satunya pilihan pencegahan bagi pria dewasa yang aktif secara seksual yang
berhubungan seks dengan laki-laki, pria dan wanita dewasa yang aktif secara
heteroseksual, dan pengguna narkoba suntikan dewasa yang berisiko besar tertular
penyakit. penularan HIV.
 HIV pengujian harus dilakukan segera sebelum emtricitabine/tenofovir disoproxil
fumarate digunakan diresepkan untuk PrEP dan setiap 3 bulan saat menggunakan
emtricitabine/tenofovir disoproxil fumarat. Jika pasien diketahui terinfeksi HIV,
emtricitabine/tenofovir disoproxil fumarat harus segera dihentikan untuk
menghindari berkembangnya resistensi terhadap emtricitabine dan tenofovir. PrEP
harus selalu diberikan bersamaan dengan dukungan pengurangan risiko perilaku
dan konseling kepatuhan pengobatan. Sebagai tambahan tes HIV rutin dan
konseling pengurangan risiko, tes fungsi ginjal harus dilakukan dilakukan pada
awal, 3 bulan, dan kemudian setiap 6 bulan setelahnya dan secara seksual infeksi
menular (IMS) harus diskrining pada awal dan setiap 6 bulan.
 Emtricitabine/tenofovir disoproxil fumarate satu tablet setiap hari dapat
dipertimbangkan untuk F.C. untuk pencegahan HIV. Ia harus memiliki
pemeriksaan awal mengenai HIV, IMS, dan fungsi ginjal pengujian serta
kepatuhan pengobatan dan konseling pengurangan risiko perilaku. Dia akan perlu
menindaklanjuti 3 bulan setelah emtricitabine/tenofovir disoproxil fumarate jika
diresepkan untuk memantau dan mengulangi tes HIV.
 Pembahasan 2
 Profilaksis pasca pajanan (PEP) adalah penggunaan ARV untuk mencegah
infeksi HIV individu yang pernah terpapar darah atau cairan tubuh yang
diketahui terinfeksi mengidap HIV atau berpotensi tertular HIV.
 Paparan di tempat kerja memerlukan tindakan segera evaluasi dengan
dosis pertama ARV yang diberikan dalam 2 jam pertama setelahnya
paparan.
 PEP akan semakin efektif jika dimulai lebih awal, dan hal ini harus selalu
dilakukan dimulai dalam waktu 72 jam setelah paparan. Paparan perkutan
lebih menimbulkan kekhawatiran dibandingkan paparan selaput lendir.
Jarum suntik dengan jarum berlubang besar memiliki risiko lebih tinggi
dibandingkan dengan jarum padat, luka tembus yang dalam dianggap
sebagai paparan yang berisiko tinggi terhadap cedera yang dangkal, dan
paparan terhadap cairan infeksius dalam jumlah besar lebih besar lebih
mengkhawatirkan daripada paparan volume rendah.
 Faktor spesifik pasien juga harus dipertimbangkan, seperti apakah pasien
HIV-positif sedang menjalani terapi HAART dan virusnya telah ditekan
load atau apakah pasien HIV-positif saat ini memiliki viral load yang
tinggi. Terlepas dari itu jenis paparan atau faktor risiko, pedoman saat ini
merekomendasikan agar PEP ditawarkan kepada semua orang petugas
kesehatan dengan paparan. Jika pasien sumber diketahui HIV positif atau
Jika status HIV tidak diketahui, PEP harus dilanjutkan selama total 4
minggu, atau 28 hari.
 PEP tiga obat direkomendasikan untuk semua petugas kesehatan yang
terpapar atau mungkin terpapar untuk HIV. Regimen yang
direkomendasikan mencakup dua NRTI dengan raltegravir atau
dolutegravir. Regimen alternatif mencakup dua NRTI dengan PI yang
dikuatkan.
 L.T. harus segera memulai rejimen PEP, sebaiknya emtricitabine/tenofovir
disoproxil fumarate sekali sehari dengan raltegravir dua kali sehari atau
dolutegravir sekali sehari. Ini seluruh rejimen harus dilanjutkan selama
total 4 minggu.
 Tes antibodi HIV menggunakan ELISA harus dilakukan pada L.T. pada
paparan awal, 6 minggu, 12 minggu, dan 6 bulan setelah paparan. Dia juga
harus melakukan pemeriksaan laboratorium dasar dan tindak lanjut
toksisitas antiretroviral. Minimal, harus mencakup hitung darah lengkap,
ginjal dan tes fungsi hati, dan glukosa puasa saat menggunakan protease
inhibitor. Tambahan tes laboratorium harus dilakukan berdasarkan masing-
masing obat yang dipilih.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

1.HIV (Human Immuno–Devesiensi) adalah virus yang hanya hidup dalam tubuh manusia,
yang dapat merusak daya kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acguired Immuno–Deviensi
Syndromer) adalah kumpulan gejala menurunnya gejala kekebalan tubuh terhadap serangan
penyakit dari luar.
2.Tanda dan Gejala Penyakit AIDS seseorang yang terkena virus HIV pada awal permulaan
umumnya tidak memberikan tanda dan gejala yang khas, penderita hanya mengalami
demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus
HIV tersebut.
3.Hingga saat ini penyakit AIDS tidak ada obatnya termasuk serum maupun vaksin yang
dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS yang ada hanyalah
pencegahannya saja.
Daftar Pustaka

Widoyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidomologi, penularan pencegahan dan

pemberantasannya.. Jakarta: Erlangga Medical Series

Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1993. Mikrobiolog Kedokteran.

Jakarta Barat: Binarupa Aksara

Djuanda, adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit

Asmalia et al, 2018. Perbandingan Jumlah tes HIV Aids Ibu Hamil pada pemeriksaan K1 dan
K4. Jurnal Aisyiyah Medika. Vol. 5 (1) DOI: https://doi.org/10.36729/jam.v5i1.323
Nugraheni et al, 2019. Evaluasi Terapi Antiretroviral Pasien HIV/AIDS. Jurnal Farmasetis. Vol 8
(2)
Permana et al, 2021. Profil Terapi Antiretroviral (ARV) beserta nilai parameter Viral Load (VI)
pada pasien HIV/Aids Di Puskesmas "X" Distrik Cilacap. PharmaQueus Jurnal Kefarmasian.
Vol 3(2) DOI: https://doi.org/10.36760/jp.v3i2.350
Permenkes No. 23 Tahun 2022 Tentang Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus,
Acquired Immunodeficiency Syndrome, Dan Infeksi Menular Seksual.
Pharmakoteraphy: Applied Therapeutics the clinical use of Drugs 10th Edition
Putri et al, 2018. Periode Waktu Inisiasi Anti-Retroviral Terapi (ART) Berhubungan dengan
Perbedaan Outcome dan Tingkat Kadar CD4 pada Kasus HIV Positif. Jurnal MKMI.Vol 14(3)
DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i3.4123

Anda mungkin juga menyukai