DISUSUN OLEH :
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi kekuatan dan kesempatan
kepada kami, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan waktu yang di harapkan
walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana, dimana makalah ini membahas
tentang “HIV/AIDS” dan kiranya makalah ini dapat meningkatkan pengetahuan kita
khususnya tentang bagaimana dan apa bahaya dari penyakit HIV/AIDS.
Kami sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih sangat minim,
sehingga saran dari dosen pengajar serta kritikan dari semua pihak masih kami harapkan
demi perbaikan laporan ini. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit ini pertama sekali timbul di Afrika, Haiti dan America Serikat
pada tahun 1978. Pada tahun 1979 Amerika serikat melaporkan kasus- kasus
sarkoma kaposi dan penyakit- penyakit infeksi yang jarang terjadi di Eropa.
Pada tahun 1981 Amerika Serikat melaporkan kasus–kasus sarkoma
kaposi dan penyakit infeksi yang jarang terdapat dikalangan homoseksual.
Hal ini menimbulkan dugaan yang kuat bahwa transmisi penyakit ini terjadi
melalui hubungan seksual.
Pada tahun 1982, CD–USA (Centers for Disease Control) Amerika
Serikat untuk pertama sekali membuat definisi AIDS. Sejak saat itulah
survailans AIDS dimulai.
Pada tahun 1982–1983 mulai diketahui adanya transmisi diluar jalur
hubungan seksual, yaitu melalui transfusi darah, penggunaan jarum suntik
secara bersama–sama oleh penyalahguna narkotik suntik. Pada tahun ini juga,
ilmuwan yang menemukan virus HIV pertama kali adalah Barre-Sinoussi dan
Luc Montagnier dari Pasteur institut, Paris menemukan penyebab penyakit
ini adalah LAV (Lymphadenophaty Associated Virus). Kedua ilmuwan ini
mendapatkan Nobel Kedokteran yang mengkaitkan HPV dengan kanker
rahim. Komite Nobel mengatakan penemuan kedua warga Perancis itu
membantu para ilmuwan dalam memahami biologi dari virus yang
mengancam dunia.
Lebih dari 25 juta orang meninggal akibat HIV/AIDS sejak tahun 1981
dan diseluruh dunia tercatat 33 juta orang yang mengidap virus HIV. Temuan
Sinoussi dan Montagnier antara lain mendorong metode diagnosa pasien
maupun dalam memeriksa darah, yang membatasi penyebaran wabah
HIV/AIDS. Walau masih belum ditemukan obat untuk HIV, dalam beberapa
tahun belakangan penyakit itu tidak lagi menjadi hukuman mati langsung bagi
1
penderitanya. Pengobatan saat ini sudah berhasil memperpanjang masa hidup
pengidap HIV sampai puluhan tahun.
Penyakit kelamin Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS)
merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh retrovirus HIV yang
sistem kekebalan/ pertahan tubuh.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu
kelompok virus tertentu yang ditularkan dari manusia yang terinfeksi ke
individu yang sehat. Virus ini tidak dapat ditularkan oleh gigitan serangga
seperti gigitan nyamuk. Setelah seseorang terinfeksi virus HIV, maka dapat
melemahkan sistem kekebalan tubuh. HIV menyerang limfosit CD4 dari
sistem kekebalan tubuh. Hal ini menyebabkan kerusakan besar pada tingkat
kekuatan kekebalan tubuh manusia. Ketika kekebalan tubuh menjadi lemah,
sangat mudah untuk terinfeksi penyakit lain dan dapat menyebabkan kanker
yang menyerang tubuh.
3
Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat
lagi menjalankan fungsinya dalam memerangi infeksi dan penyakit- penyakit.
Orang yang kekebalan tubuhnya defisien (Immunodeficient) menjadi lebih
rentan terhadap berbagai ragam infeksi, yang sebagian besar jarang
menjangkiti orang yang tidak mengalami defisiensi kekebalan. Penyakit-
penyakit yang berkaitan dengan defisiensi kekebalan yang parah dikenal
sebagai “infeksi oportunistik” karena infeksi-infeksi tersebut memanfaatkan
sistem kekebalan tubuh yang melemah.
2.2.Etiologi
Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di
Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus
(LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi
(HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama
virus dirubah menjadi HIV.
Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti
(core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun
atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid), enzim reverce transcriptase dan
beberapa jenis protein. Karena informasi genetik virus ini berupa RNA, maka
virus ini harus mentransfer informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi
DNA sebelum diterjemahkan menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini
HIV memerlukan enzim reverse transcriptase. Bagian selubung terdiri atas
lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Glikoprotein yang lebih besar
dinamakan gp 120, adalah komponen yang menspesifikasi sel yang diinfeksi.
gp 120 ini terutama akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu reseptor
yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel
langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel kripta dan
sel-sel enterokromafin). Glikoprotein yang besar ini adalah target utama dari
respon imun terhadap berbagai sel yang terinfeksi. Glikoprotein yang lebih
kecil, dinamai gp 41 atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja
sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor sel
lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu
membentuk sinsitium.
Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka
HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air
mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai desinfektan
seperti eter, aseton, alkohol, iodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif
resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah,
5
saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga
ditemukan dalam sel monosit, makrofag dan sel jaringan otak.
2.3.Gejala HIV/AIDS
Gejala HIV sangat luas spektrumnya, karena itu ada beberapa macam
klasifikasi sebagai berikut:
a. Stadium awal infeksi HIV
b. Stadium tanpa gejala
c. Stadium ARC (AIDS related complex)
d. Stadium AIDS
e. Stadium gangguan susunan saraf pusat
Masa Inkubasi
6
penderita dapat menularkan naamun secara laboratorium hasil tes HIV-nya
negatif.
Fase akut akan diikuti fase kronik asimptomatik yang lamanya bisa
bertahun-tahun (5-7 tahun). Virus yang ada didalam tubuh secara pelan-
pelan terus menyerang sistem pertahanan tubuhnya. Walaupun tidak ada
gejala, kita tetap dapat mengisolasi virus dari darah pasien dan ini berarti
bahwa selama fase ini pasien juga infeksius. Tidak diketahui secara pasti
apa yang terjadi pada HIV pada fase ini. Mungkin terjadi replikasi lambat
pada sel-sel tertentu dan laten pada sel-sel lainnya. Tetapi jelas bahwa
aktivitas HIV terjadi dan ini dibuktikan dengan menurunnya fungsi sistem
imun dari waktu ke waktu. Mungkin sampai jumlah virus tertentu tubuh
masih dapat mengantisipasi sistem imun.
Stadium ARC (AIDS Related Complex) adalah bila terjadi 2 atau lebih
gejala klinis yang berlangsung lebih dari 3 bulan, antara lain :
d. Stadium AIDS
8
1. Penilaian ODHA terhadap dirinya sendiri
Informan selalu berusaha untuk mengendalikan keinginan dan dorongan dalam
dirinya. Kelima informan perempuan punya keinginan yang sama, yaitu ingin
menjadi isteri yang baik bagi suami dan anak-anaknya. Kondisi sebagai ODHA
memang menjadikan mereka memiliki keterbatasan dalam pencapaian keinginan
dan dorongan dirinya. Keterbatasan ini menjadikan mereka fokus kepada
kehidupan yang ada sekarang, terutama terkait dengan menjalani kehidupan
bersama keluarga. Satu informan laki-laki, pengendalian keinginan dan dorongan
lebih diarahkan kepada pernyataan dirinya terkait dengan ketidakinginan untuk
mencoba lagi atau bahkan terjerumus kedalam penyalahgunaan NAPZA. Selain itu
juga, informan senantiasa mencoba menjalani kehidupannya dengan baik
dilingkungan keluarga dan tempat tinggalnya. Keyakinan ini didasari karena
adanya penerimaan dari pihak keluarga dan lingkungan tempat tinggal informan
dan senantiasa memberikan dukungan dan tidak mencap negatif dan diskriminasi.
Pengendalian suasana hati informan mencakup pengungkapan perasaan bahagia,
cemas dan kemarahan, dicurahkan secara sewajarnya sebagaimana orang lain pada
umumnya. Suasana hati bahagia terkait dengan penerimaan informan dengan status
ODHA yang disandangnya. Keenam informan menyatakan kehidupannya sekarang
bersama suami, anakdan keluarga, menjadikan mereka dapat hidup tenang dan
mencurahkan segala kemampuan yang ada untuk kebahagian keluarganya.
Ungkapan kebahagian mereka curahkan kepada keluarga, suami dan anak secara
wajar. Kesedihan dan kecemasan muncul dalam diri informan terkait dengan
kondisi dan masa depan dirinya, kondisi dan masa depan keluarga, suami dan
anaknya. Perasaan kemarahan yang dialami informan, adalah terkait dengan latar
belakang dirinya tertular virus HIV. Satu informan (EN), menyatakan masih tidak
bisa menerima dirinya tertular virus HIV dari suaminya yang tidak terbuka dan
berbohong kepada dirinya tentang kehidupannya sebagai penyalahguna NAPZA.
Selain itu juga, informan masih mengungkapkan kemarahan pada dirinya karena
telah salah memilih pasangan hidup sehingga akhirnya berstatus ODHA. Penilaian
kondisi fisik informan, secara keseluruhan sangat baik. Hal ini ditandai dengan
kepatuhan seluruh informan dalam merawat diri, menjalani pengobatan melalui
konsumsi obat antiretroviral, segera mengambil obat ARV di rumah sakit ketika
sudah habis dan juga rutin memeriksakan kondisi fisik dan CD4 mereka ke rumah
9
sakit secara berkala setiap enam bulan sekali. Kesemuanya ini mereka jalani, karena
mendapatkan dampingan dari ibu-ibu Warga Peduli AIDS (WPA) di kelurahan
kebon pisang ditempat mereka tinggal. Semua informan menyadari tanpa
perawatan diri, teratur dan patuh minum obat ARV, dan rutin periksa ke rumah
sakit, kondisi mereka akan lemah dan semakin memperparah kondisi fisiknya. Oleh
karena itu, mereka senantiasa menjaga dan merawat kondisi fisik melalui aktivitas
pola hidup sehat, menjaga makanan dan menghindari perilaku berisiko lainnya
10
menambah beban ibunya. Informan EN sekarang tinggal bersama suami keduanya.
Sang suami masih merahasiakan status ODHA informan kepada keluarganya. Hal
ini dikarenakan untuk menjaga perasaan keluarganya, dan berjanji untuk
mengungkapkan semuanya apabila keluarga suami dipandang telah siap menerima.
hal yang berbeda, yaitu keluarga mantan suami informan EN yang pertama, justru
sampai sekarang masih berkomunikasi dengan informan EN dan senantiasa
memberikan dukungan dan motivasi untuk tetap menjalani hidup dengan baik.
Lingkungan tetangga informan sebagian besar mengetahui status ODHA informan,
tetapi tetap mau menerima kehadiran mereka tanpa perlakuan stigma dan
diskriminasi. Dua informan, yaitu informan Da dan informan MS, tidak
mengungkapkan status ODHA kepada lingkungan tetangga tempat tinggalnya.
Alasan kedua informan tersebut, adalah masih mengalami ketakutan apabila
masyarakat mengetahui status ODHA, mereka mendapatkan perlakuan buruk dari
lingkungan tetangganya. Informan MS dan juga informan EN yang sehari-hari
bekerja, juga tidak mengungkapkan status ODHAnya dilingkungan tempat bekerja.
11
terbuka kepada lingkungan tetangga dan masyarakat sekitarnya. Pandangan
informan WG terkait dengan citra dirinya, menyatakan bahwa dia adalah orang
yang kecewa dan menyesal atas apa yang telah terjadi pada dirinya. Hal ini terkait
dengan kondisi informan yang pernah mengalami koma dan kemungkinan kecil
untuk dapat bertahan hidup. Akan tetapi, karena kondisi fisiknya yang kuat,
menjadikan informan WG, dinilai oleh keluarganya sebagai “manusia seribu
nyawa”, karena seringkali terlepas dari kondisi kritis dan hampir mengalami
kematian. Keinginan informan WG adalah “saya ingin menjadi orang yang berguna
bagi masyarakat”. informan bahagia karena masyarakat dilingkungannya sangat
baik, tidak menilai negatif dan tidak mendiskriminasi informan. Kenyataan ini
didasari kepada sikap dan perilaku informan WG sebelum mengalami kasus
penyalahgunaan NAPZA dan berstatus ODHA. Informan WG, dulunya dinilai
tetangga dan masyarakat adalah pribadi yang baik, jujur, dan suka menolong orang
lain. Setiap ada rezeki dari hasil pekerjaannya, informan WG selalu berbagi dengan
tetangga terutama kepada mereka yang membutuhkan. Kondisi ini yang
menjadikan tetangga dan masyarakat sekitar, tetap mau menerima dan bahkan
memberikan dorongan dan semangat kepada informan WG, walaupun sekarang
berstatus ODHA.
4. Harapan ODHA
ODHA mengungkapkan harapannya bagi diri sendiri, bagi keluarga, saudara-
saudaranya, lingkungan tetangga, masyarakat, pekerjaan, dan pelayanan yang
tersedia. Kelima informan perempuan berharap dirinya masih dapat hidup lebih
lama dan bahagia bersama suami dan anak-anaknya, selalu berada pada kondisi
fisik yang sehat, mampu menjaga dan merawat dirinya sebaik mungkin, optimis
menjalani kehidupan, dan berharap cukup mereka saja dan yang sudah berstatus
ODHA lainnya yang merasakan kehidupan seperti ini, serta jangan ada lagi ODHA-
ODHA baru. Informan juga berharap pihak keluarga dan saudara tetap memberikan
dukungan, penerimaan dan semangat dalam menjalani kehidupan mereka. Informan
MS dan informan EN berharap kelak dapat mengungkapkan kondisi sebenarnya
kepada keluarganya. Informan ingin nantinya, setelah pihak keluarga mengetahui,
tetap menerima dan memperlakukan informan seperti saat ini yang masih belum
tahu status ODHA informan. Seluruh informan menginginkan kehidupan sebagai
12
ODHA berjalan tanpa adanya stigma dan diskriminasi dari lingkungan sekitarnya
baik dari tetangga, kelompok sebaya, lingkungan pekerjaan dan sebagainya.
Informan memerlukan penerimaan dari masyarakat terhadap status mereka, dan
dapat menjalani kehidupannya sebagai ODHA tanpa stigma dan diskriminasi.
Harapan informan terkait dengan proses pengobatan, bahwa meskipun mereka
mendapatkan obat ARV dan pelayanan kesehatan terkait HIV/AIDS diperoleh
secara gratis, namun perlu ada peningkatan dukungan terkait dengan akses
informan dalam menjangkau dan memanfaatkan sumber pelayanan tersebut.
Informan berharap pemerintah juga memberikan bantuan akses pelayanan berupa
bantuan biaya transport, gratis biaya pendaftaran, biaya pemeriksaan CD4, dan
periksa laboratorium.
13
hasil studi pada tahun 2016 tentang peran keluarga terhadap kehidupan ODHA
didapatkan bahwa keluarga sangat berperan penting dalam membantu memulihkan
kondisi ekonomi ODHA. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa keluarga
masih berperan penting dalam membantu ODHA dari segi finansial. Kondisi
ekonomi ODHA dipengaruhi oleh produktivitas yang menurun. Produktivitas
ODHA menurun karena kondisi fisik mereka menjadi cepat lelah, mudah sakit
sehingga sering tidak masuk kerja bahkan sampai berhenti bekerja. Mereka yang
putus kerja atau kehilangan pekerjaan karena statusnya masih jarang ditemukan.
Menurunnya kondisi fisik ODHA yang mempengaruhi status pekerjaan karena
tidak cukup produktif untuk melaksanakan pekerjaannya. Hal yang sama juga
diungkapkan oleh ketua yayasan yang sudah lama mendampingi ODHA bahwa
jarang ditemukan bahwa ODHA berhenti karena status HIV-nya melainkan mundur
karena kondisi fisiknya. Sebuah studi pada tahun 2014 menyebutkan ODHA sering
jatuh sakit. Mereka bisa demam yang tak kunjung hilang hingga mereka harus
berbaring lama di tempat tidur. Dengan ini produktivitas ODHA tentu akan turun,
mereka tidak bekerja dan tidak bisa membiayai hidupnya.18 Dari hasil penelitian
ini didapatkan bahwa seorang informan berhenti dari pekerjaannya karena kondisi
fisiknya yang menurun. Apabila dibandingkan dengan penelitian di tahun 2014,
didapatkan hasil yang sama, karena kebanyakan dari ODHA berhenti kerja karena
kondisi fisiknya yang menurun, bukan karena status HIV-nya.
2. Masalah Sosial
Sebagian ODHA Cenderung Menarik Diri dari Masyarakat dan Belum
Terbuka pada Orang Lain Setelah menjadi ODHA, tidak semua informan dapat
kembali lagi masyarakat, kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk bergaul
sebatas komunitas sesama ODHA, yang dianggap lebih mengerti akan kondisi
penyakitnya. Selain bergabung dengan komunitas sesama ODHA, ada juga
informan yang masih menarik diri dari masyarakat dan hanya berinteraksi sebatas
melalui sosial media. Tidak semua informan menarik diri dari masyarakat, ada
beberapa dari mereka yang mengungkapkan masih aktif pada kegiatan masyarakat
misalnya kerja bakti, kumpul-kumpul banjar, namun dengan catatan orang lain
tidak tahu akan status HIV dari ODHA tersebut. Sebuah penelitian di Semarang
menyebutkan bahwa ODHA menarik diri dari lingkungan karena adanya rasa
14
cemas akan sitgma dan diskriminasi. Stigma dan diskriminasi yang melekat pada
masyrakat juga membuat ODHA semakin menarik diri dari lingkungan keluarga,
lingkungan pertemanan dan lingkungan sekitarnya.17 Pada penelitian ini sebagaian
dari informan memang tidak terlibat banyak dalam masyarakat karena adanya rasa
cemas akan stigma dan diskriminasi akan kondisinya. Meskipun begitu, masih ada
beberapa informan yang masih terlibat dalam kegiatan kerja bakti maupun kegiatan
banjar dengan catatan mereka tidak membuka status HIV-nya. Rasa Khawatir akan
Stigma dan Diskriminasi menjadi Alasan di Balik Ketidakterbukaan ODHA akan
Status HIV-nya Kebanyakan dari ODHA hanya menceritakan kondisinya sebatas
pada teman sesama ODHA, pasangan atau keluarga. Ada kepentingan lain dibalik
ketidakterbukaan ODHA akan status HIV-nya misalkan untuk menjaga kondisi
kesehatan baik fisik maupun psikisnya. Adanya stigma dan diskriminasi ditakutkan
dapat mempengaruhi kondisi fisik dan psikis dari ODHA. Selain untuk menjaga
kondisi fisik dan psikisnya, ODHA yang berkeluarga memilih untuk menutup status
HIV-nya demi kepentingan anggota keluarga seperti anak dari ODHA tersebut.
Selain dari alasan fisik dan psikologis, ada juga informan yang mengungkapkan
untuk menutupi statusnya demi kepentingan finansial seperti asuransi kesehatan.
Sebuah penelitian di Tanzania menyebutkan bahwa ODHA merasa takut, merasa
khawatir mendapatkan stigma dari pasangan bahkan dari keluarga ODHA sendiri.
Disebutkan juga bahwa kekhawatiran ODHA juga sampai menyebabkan ODHA
takut untuk mengakses ARV apabila bertemu dengan orang yang dikenalnya.15
Sedangkan penelitian di Iran menyebutkan bahwa mereka malu dan takut
dikucilkan dari keluarga, diperlakukan berbeda di masyarakat.5 Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di Tanzania dan Iran, hasil yang didapatkan pada
penelitian ini kurang lebih sama. Alasan dibalik ketidakterbukaan ODHA akan
statusnya adalah rasa khawatir akan stigma dan diskriminasi kepada dirinya.
Mereka takut mendaptkan perlakuan yang berbeda dari mayarakat. Seperti yang
dikeluhkan oleh dua orang informan yaitu takut anaknya dijauhi hingga takut
anaknya diperlakukan tidak manusiawi. Selain itu ada juga informan yang
mengatakan bahwa takut asuransi kesehatan yang dimilikinya tidak bisa membiayai
biaya kesehatannya nanti. Selama Status HIV tidak Diketahui, ODHA Belum
Merasakan Stigma dan Diskriminasi Status HIV merupakan hal pribadi yang tidak
15
gampang diungkapkan oleh ODHA kepada orang lain. Ini disebabkan karena
masyarakat yang terbilang masih awan akan HIV/AIDS dan akan memunculkan
respon negatif yang berlebihan yang berujung pada stigma dan diskriminasi pada
ODHA itu sendiri. Namun, selama ODHA tidak membuka statusnya, stigma dan
diskriminasi itu belum dirasakan oleh mereka. Sebuah penelitian di Iran
menyebutkan bahwa masyarakat juga memberikan perlakuan diskriminasi pada
ODHA seperti menjaga jarak dari ODHA bahkan mengalihkan padangan ketika
bertemu dengan ODHA. ODHA juga dilaporkan tidak bisa mendapatkan hak atas
pendidikan, kesehatan hingga pekerjaan.5 Bentuk perlakuan masyarakat terhadap
ODHA tentunya berbeda-beda, pada penelitian ini, beberapa informan menyatakan
belum pernah mendapatkan perlakuan yang berbeda (stigma dan diskriminasi) dari
masyarakat karena tidak membuka status HIV-nya. Berbeda dengan informan
lainnya yang membuka status HIV-nya, informan tersebut mendapatkan pengucilan
di dalam penjara hingga dipisahkan dari narapidana yang lain. Mereka yang pernah
membuka status HIV-nya pada orang lain terbukti mendapatkan perlakuan yang
berbeda misalnya dari keluarga ODHA sendiri. Sempat ada informan yang bercerita
bahwa dirinya harus dipindahkan ke desa setelah diketahui terkena HIV. Sebuah
penelitian yang juga dilakukan pada Yayasan Spirit Paramacitta di tahun 2014
menyatakan bahwa stigma dan diskriminasi juga muncul dari keluarga ODHA,
bentuknya seperti pengucilan kepada ODHA seperti membedakan tempat tinggal
ODHA bahkan membuang perabotan yang telah digunakan oleh ODHA. Keluarga
yang merawat masih memiliki rasa takut untuk kontak langsung dengan ODHA
seperti menggunakan sarung tangan dan masker. Stigma dan diskriminasi hingga
saat ini masih terlihat jelas adalah pada mereka yang meninggal karena AIDS,
jenazah ODHA mendapatkan perlakuan yang berbeda, seperti tidak dilakukannya
prosesi pemandian jenazah. Salah seorang informan pernah mendengar kabar
mengenai pembedaan perlakuan pada jenazah ODHA, namun suami informan yang
meninggal karena AIDS tidak mendapatkan perlakuan yang berebeda karena status
HIV suaminya dirahasiakan. Berita akan pembedaan perlakuan pada jenazah juga
pernah didengar oleh ketua yayasan. Dikatakan oleh informan tersebut bahwa
kejadian pembedaan dalam memperlakukan jenazah memang masih ada dan masih
terjadi.
16
3. Masalah Psikologis
Adanya Penolakan Setelah Mengetahui Status HIV-nya Secara umum respon
utama yang dimunculkan oleh ODHA saat mengetahui statusnya ada
penolakan/denial. Bentuk denial yang muncul yang terlihat dari pernyataan
informan adalah depresi, baik ringan sampai berat hingga adanya keinginan atau
pemikiran untuk bunuh diri Depresi yang muncul pada ODHA hingga sampai
melakukan tindakan bunuh diri memang pernah terjadi tidak hanya sebatas pada
pemikiranODHA. Salah satu informan pernah mendengar bahwa kasus ODHA
bunuh diri pernah terjadi di sebuah rumah sakit di Denpasar dan sempat dimuat
dalam surat kabar. Sebuah penelitian di China menyebutkan bahwa dampak
psikologis yang paling terlihat pada ODHA meliputi rasa cemas dan depresi. Mulai
dari pemikiran hingga percobaan bunuh diri muncul pada ODHA yang merasakan
depresi yang berat. Satu dari tiga ODHA didapatkan memiliki pemikiran untuk
bunuh diri atau bahkan telah melakukan percobaan bunuh diri.10 Jika dibandingkan
dengan penelitian yang dilakukan di China tahun 2014, dampak psikologis yang
terlihat pada ODHA setelah mengetahui status HIV-nya seperti depresi juga terlihat
pada pernyataan informan. Pemikiran untuk bunuh diri juga dinyatakan beberapa
informan setelah mengetahi status HIV-nya, namun dikatakan tidak sampai
melakukan percobaan bunuh diri. Denial yang muncul tidaklah sama pada setiap
ODHA. Perbedaan ini terlihat pada ODHA yang mengatakan dirinya tidak beresiko
dan ODHA yang memiliki perilaku beresiko. ODHA yang mengatakan dirinya
tidak beresiko misalnya ibu rumah tangga memiliki kecenderungan mengalami
denial yang lebih berat dan lebih lama apabila dibandingan dengan ODHA yang
memang memiliki riwayat perilaku beresiko seperti mantan pemakai narkoba suntik
dan pekerja seks. Seorang informan yang merupakan ibu rumah tangga menyatakan
rasatidak terima dan membandingkan dirinya dengan ODHA yang berperilaku
beresikoari pengalaman seorang informan selaku ketua yayasan yang sudah
bertahun-tahun mendampingi ODHA, perbedaan riwayat perilaku dikatakan
mempengaruhi berat tidaknya denial yang dialami oleh ODHA. ODHA yang
menyatakan dirinya tidak beresiko akan memiliki masa denial yang lebih berat
dibandingkan dengan mereka yang berperilaku beresikoSebuah review yang
dilakukan di China menyebutkan bahwa ODHA yang HIV positif karena transfusi
darah maupun karena pemakai narkoba suntik pernah mengalami depresi
17
semasahidupnya. Yang membedakan adalah saat dilakukan penelitian, presentase
depresi yang menetap mereka yang HIV positif karena transfusi darah lebih banyak
dibandingkan pada mereka yang pernah menggunakan narkoba suntik.11 Dari
review yang dilakukan di China dapat disimpulkan bahwa ODHA yang HIV positif
akibat transfusi darah cenderung memiliki denial berupa gangguan depresi lebih
lama dan berat dibandingkan dengan mereka yang pernah menggunakan narkoba
suntik. Ini juga dibuktikan pada penelitian ini bahwa ODHA yang mengaku dirinya
tidak berperilaku beresiko masih merasakan denial yang menetap hingga saat ini,
sedangkan mereka yang mempunya riwayat perilaku beresiko seperti pemakai
narkoba suntik cenderung lebih menerima dan tidak terlalu memikirkan kondisi
penyakitnya. Upaya yang Dilakukan oleh ODHA untuk Keluar dari Masa Denial
Waktu yang diperlukan setiap ODHA untuk dapat menerima statusnya tidak semua
sama, ada yang bisa menerima status dengan cepat karena menyadari memang
perilakunya beresiko, ada pula ODHA yang memerlukan waktu lama untuk bisa
menerima status HIV-nya, terlebih pada mereka yang mengaku perilakunya tidak
beresiko seperti ibu rumah tangga. Beberapa dari informan memilih untuk
menyendiri dan mencari spiritual support untuk mengatasi masa denial-nya. Sebuah
penelitian yang dilakukan di Brazil menyatakan bahwa dukungan spiritual/agama
dapat memberikan dampak positif pada mereka yang merasa tidak berdaya dan
mengalami masa denial seperti ODHA. Disebutkan pula bahwa mereka yang
mencari dukungan spiritual mendapatkan kenyamanan, kekuatan, serta rasa
bersyukur untuk melawan penyakitnya. Dukungan spiritual juga dikaitkan
membaiknya kondisi fisik ODHA seperti meningkatnya CD4+ pasien dan
menurunnya viral load pada pasien.12 Seperti pada penelitian yang dilakukan di
Brazil tahun 2017, mencari dukungan spiritual juga dilakukan oleh ODHA sesuai
dengan kutipan pernyataan beberapa informan. Dukunganspiritual seperti berdoa
membantu sebagian informan keluar dari masa denial-nya. Selain dukungan
spiritual, ada pula beberapa informan yang mencari jalan keluar dari masa denial-
nya dengan mencari support dari teman sesama ODHA atau komunitas ODHA.
Mereka berkumpul dengan sesama ODHA untuk mendapatkan rasa lega, rasa yang
sama dan perasaan tidak sendiri setelah bercerita dengan ODHA yang lain. Sebuah
penelitian di Semarang tahun 2010 menyebutkan bahwa komunitas dukungan
18
sesama ODHA dapat membantu ODHA agar tidak merasa sendiri dan dikucilkan
dalam menghadapi masalah yang mereka hadapi. Komunitas ini juga bisa
membantu ODHA untuk bertemu dengan orang lain dan memperoleh teman serta
sebagai wadah untuk memperoleh sumberdaya ide dan informasi. Secara tidak
langsung juga komunitas ini membantu ODHA menumbuhkan kembali rasa
percaya dirinya dan rasa penerimaan dan pengertian terhadap kondisinya.13
Bertemu dan berkumpul dengan komunitas sesama ODHA menjadi stress reliever
pada masing-masing ODHA, mereka dapat berbincang mengenai kondisinya, tanpa
takut untuk mendapatkan perlakuan yang berbeda. Didapatkan pula pada hasil
wawancara bahwa perilaku seperti ini masih menjadi cara yang paling sering
dilakukan ODHA untuk mengatasi masalah psikologisnya, sesuai dengan hasil
studi lain pada ODHA. Perubahan Persepsi Terkait Status HIV Setelah Melewati
Masa Denial Setelah beberapa waktu, ODHA mulai keluar dari masa denial-nya
dan mulai bisa menerima kondisinya. ODHA mulai berpikir lebih luas, tidak
terfokus pada penyakitnya saja, mereka mulai membandingkan kondisi mereka
dengan penyakit lain. Beberapa informan menyatakan bahwa mereka merasa
beruntung menjadi ODHA apabiladibandingkan dengan orang yang mengidap
penyakit lain misalnya kanker.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Konsep diri ODHA secara keseluruhan menyangkut aspek fisik, etika dan
moral, diri pribadi (personal self), diri keluarga (family self) dan sosial
berada pada kategori kurang dan kurang sekali.
2. Masalah-masalah yang dialami ODHA bervariasi. Masalah-masalah yang
cukup menonjol adalah mudah lupa, badan terlalu kurus, warna kulit
kurang memuaskan, sukar mengendalikan dorongan seksual, belum
19
mengetahui bakat diri sendiri untuk jabatan dan pekerjaan apa, terlanjur
melakukan perbuatan yang salah atau melanggar nilai-nilai moral dan adat,
mengalami keadaan ekonomi/keuangan yang semakin sulit, keluarga
banyak mengeluh tentang keadaan keuangan, belum mampu merencanakan
masa depan dan cemas atau khawatir menghadapi sesuatu yang baru.
3.2. Saran
1. Penderita (odha), untuk terus meningkatkan pemahamannya dalam
menerima kondisi dan keadaan dirinya pada saat kini, bersikap realistik,
objektif dan tidak menunjukkan ketegangan emosional yang berlebihan
pasca terinfeksi HIV, berusaha mengembangkan konsep diri yang positif
dengan cara untuk lebih terbuka terhadap hambatan dan masalah yang
dialaminya kepada orang lain sehingga odha dapat menjalani kehidupan
selanjutnya dengan baik dan penuh tanggung jawab serta akan terwujud
kehidupan efektif sehari-hari (KES).
2. Konselor, untuk lebih memotivasi konselor agar terus meningkatkan
wawasan, pengetahuan dan keterampilan dalam pelayanan konseling yang
akan diberikan, terutama layanan konseling perorangan dan layanan
konseling kelompok.
3. Lentera Minangkabau Support Padang, untuk terus memberdayakan ODHA
agar dapat membantu mereka mengembangkan konsep diri yang positif
menuju pencapaian jati diri dan kemandirian yang optimal dan memberikan
pemahaman kepada keluarga dan masyarakat mengenai HIV/AIDS agar
tidak ada odha yang mengalami diskriminasi dan stigmatisasi melalui
penyuluhan.
4. Peneliti lanjutan, lebih memfokuskan pada aspek lain sepertihubungan
konsep diri dengan masalah yang dialami odha, penyesuaian diri, self
confidence, self esteem, ketercapaian tugas perkembangan, dan lain
sebagainya
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Sukmana N. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi III. Jakarta. Balai
Penerbit FKUI, 2001.
2. Lachlan, MC. Diagnosis Dan Penyakit Kelamin. Jakarta. Penerbit IDI, 1996.
3. Djauzi S. Penatalaksanaan Infeksi HIV. Jakarta. Yayasan Penerbit IDI. 1997.
4. M.D, Woodley, Michele & Alison Whelan, M.D. Pedoman Pengobatan.
Yogyakarta. Penerbit Yayasan Essentia Medica.
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi dan Analisis HIV AIDS; 2014.
21