Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I

TENTANG DIABETES INSIPIDIUS

DISUSUN OLEH :
ANDRE ALFIANOR WAHID (1140970120043)
MOH IMPRON (1140970120061)
MUHAMMAD NORRAHMAN HAKIKI (1140970120063)
NAHDHEA KHAIRUNISA (1140970120064)
NORAFIFAH HANDAYANI (1140970120078)

AKPER KESDAM VI/ TANJUNGPURA BANJARMASIN


TAHUN AJARAN 2020/2021

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DIABETES INSIPIDUS
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian Diabetes Insipidus
Diabetes Insipidus adalah suatu penyakit yang ditandai oleh penurunan produksi,
sekresi dan fungsi dari ADH. Istilah diabetes insipidus digambarkan sebagai kualitas dan
kuantitas urin yang encer dan tawar (dull and tasteless). Tanpa ADH, rearbsorbsi air dan
pengkonsentrasian urin oleh renal collecting tubulus tidak dapat dilakukan. (Corwin,
2000)
Diabetes insipidus adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan polidipsi dan
poliuri. Dua mekanisme yang mendasari adalah gangguan pelepasan ADH oleh
hipotalamus atau hipofisis (sentral) dan gangguan respons terhadap ADH oleh ginjal
(nefrogenik) (Kusmana, 2016).
Diabetes Insipidus (DI) adalah penyakit yang sangat kompleks dan langka. Kata
"Diabetes Insipidus" adalah gabungan dua kata "Diabetes" dan "Insipidus". Diabetes
adalah kata asal Yunani yang berarti "siphon" dan Insipidus adalah kata asal Latin yang
berarti "tanpa rasa" . DI sebenarnya adalah ketidakmampuan tubuh untuk
mempertahankan air karena patofisiologi produksi hormon antidiuretik (ADH) dan
penyakit lainnya. ADH diproduksi oleh syaraf supraoptik dan nukleus paraventrikular
yang terletak di hipotalamus. Setelah produksi ADH mengalir deras sepanjang saluran
hipotiroid- hypophyseal dan disimpan di hipofisis posterior, yang mana tepat di stimulus
dari osmoreseptor, dilepaskan dari lokasi penyimpanannya Produksi. (Abbas, dkk.,
2016).

2. Klasifikasi Diabetes Insipidus


Menurut National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse. 2008
klasifikasi diabetes insipidus sebagai berikut:
a. Diabetes insipidus sentral (neurogenik)
Merupakan bentuk tersering dari diabetes insipidus dan biasanya berakibat
fatal. Diabetes insipidus sentral merupakan manifestasi dari kerusakan hipofisis yang
berakibat terganggunya sintesis dan penyimpanan ADH. Hal ini bisa disebabkan oleh
kerusakan nucleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang
mensistesis ADH. Selain itu, diabetes insipidus sentral (DIS) juga timbul karena
gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus supraoptiko
hipofisealis dan akson hipofisis posterior di mana ADH disimpan untuk sewaktu-
waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan.
Penanganan pada keadaan DI sentral adalah dengan pemberian sintetik ADH
(desmopressin) yang tersedia dalam bentuk injeksi, nasal spray, maupun pil. Selama
mengkonsumsi desmopressin, pasien harus minum hanya jika haus. Mekanisme obat
ini yaitu menghambat ekskresi air sehingga ginjal mengekskresikan sedikit urin dan
kurang peka terhadap perubahan keseimbangan cairan dalam tubuh.

b. Diabetes Insipidus Nefrogenik


Keadaan ini terjadi bila ginjal kurang peka terhadap ADH. Hal ini dapat di
sebabkan oleh konsumsi obat seperti lithium, atau proses kronik ginjal seperti
penyakit ginjal polikistik, gagal ginjal, blok parsial ureter, sickle cell disease, dan
kelainan genetik, maupun idiopatik. Pada keadaan ini, terapi desmopressin tidak akan
berpengaruh. Penderita diterapi dengan hydrochlorothiazide (HCTZ) atau
indomethacin. HCTZ kadang dikombinasikan dengan amiloride. Saat mengkonsumsi
obat ini, pasien hanya boleh minum jika haus untuk mengatasi terjadinya volume
overload.

c. Diabetes Insipidus Dipsogenik


Kelainan ini disebabkan oleh kerusakan dalam mekanisme haus di
hipotalamus. Defek ini mengakibatkan peningkatan rasa haus yang abnormal sehingga
terjadi supresi sekresi ADH dan peningkatan output urin. Desmopressin tidak boleh
digunakan untuk penanganan diabetes insipidus dipsogenik karena akan menurunkan
output urin tetapi tidak menekan rasa haus. Akibatnya, input air akan terus bertambah
sehingga terjadi volume overload yang berakibat intoksikasi air (suatu kondisi dimana
konsentrasi Na dalam darah rendah/hiponatremia) dan dapat berefek fatal pada otak.
Belum ditemukan pengobatan yang tepat untuk diabetes insipidus dipsogenik.

d. Diabetes Insipidus Gestasional


Diabetes insipidus gestasional terjadi hanya saat hamil jika enzim yang dibuat
plasenta merusak ADH ibu. Kebanyakan kasus diabetes insipidus pada kehamilan
membaik diterapi dengan desmopressin. Pada kasus dimana terdapat abnormalitas
dari mekanisme haus, desmopresin tidak boleh digunakan sebagai terapi.
3. Etiologi Diabetes Insipidus
a. Diabetes insipidus sentral disebabkan kondisi-kondisi yang mengganggu
pembuatan, penyimpanan, dan pelepasan ADH. Angka kejadian sama antara laki-
laki dan perempuan, dapat terjadi pada seluruh rentang usia, dengan onset
terutama pada usia 10-20 tahun.
Penyebab diabetes insipidus sentral dibagi menjadi dua kategori (tabel 1):
1) Didapat
 Kerusakan regio hipotalamoneurohipofiseal karena trauma kepala, operasi,
atau tumor. Kerusakan bagian proksimal (30-40% kasus pasca-operasi
trauma kepala) menghancurkan lebih banyak neuron dibandingkan
kerusakan bagian distal (50-60% kasus).
 Idiopatik. Sebanyak 50% kasus diabetes insipidus sentral dilaporkan
sebagai kasus idiopatik; sering disebabkan lesi intrakranial yang lambat
pertumbuhannya. Beberapa otopsi kasus juga menunjukkan atrofi
neurohipofisis, nukleus supraoptik, atau paraventrikuler. Laporan lain
mencatat antibodi bersirkulasi yang melawan neuron hipotalamus penghasil
ADH, sehingga ada dugaan peranan autoimun. Kasus idiopatik memerlukan
pengkajian lebih cermat.
 Kelainan vaskular. Contoh: aneurisma dan sindrom Sheehan.
 Racun kimia, antara lain racun ular.

2) Diturunkan
Bersifat genetik. Beberapa jenis resesif autosomal dan x-linked. Diabetes
insipidus nefrogenik disebabkan adanya gangguan struktur atau fungsi ginjal,
baik permanen maupun sementara, akibat penyakit ginjal (penyebab tersering),
obatobatan, atau kondisi lain yang menurunkan sensitivitas ginjal terhadap
ADH. Secara patofisiologi, kerusakan ginjal dapat berupa: Gangguan
pembentukan dan/ atau pemeliharaan gradien osmotik kortikomedular yang
mengatur tekanan osmosis air dari duktus kolektikus menuju interstisial.
Gangguan penyesuaian osmosis antara isi tubulus dan medula di interstisial
karena aliran cepat di tubulus akibat kerusakan komponen proksimal dan/atau
distal sistem ADH-CAMP.
Penyebab diabetes insipidus nefrogenik dibagi menjadi dua kategori (tabel 2):
1) Didapat
 Penyakit ginjal. Penyakit ginjal yang menyebabkan gagal ginjal kronis
akan mengganggu kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasi urin.10-12
 Obat, terutama lithium.14 Sekitar 55% pengguna lithium jangka panjang
mengalami gangguan mengkonsentrasi urin.15,16 Obat lain seperti
gentamisin dan furosemid.
 Gangguan elektrolit. Pada hipokalemia terjadi gangguan dalam hal
menciptakan dan mempertahankan gradien osmotik di medula. Selain itu,
terjadi resistensi terhadap efek hidro-osmotik ADH di duktus kolektikus.
Pada hiperkalsemia terjadi kalsifikasi dan fibrosis yang menyebabkan
gangguan anatomis ginjal, sehingga mengganggu mekanisme konsentrasi
urin.
 Kondisi lain. Kehamilan, mieloma multipel, sickle cell anemia,
kekurangan protein, amiloidosis, dan sindroma Sjorgen dapat
menyebabkan diabetes insipidus nefrogenik.

2) Diturunkan
 Mutasi gen yang mengkode reseptor ADH tipe-2 (reseptor V2 atau
AVPR2) pada kromosom Xq28 adalah bentuk paling sering.
 Mutasi gen aquaporin-2 (AQP2) pada kromosom 12q13 (1% kasus)
menyebabkan peningkatan kanal air yang diekspresikan di duktus
kolektikus ginjal. (Kusmana, 2016)
Tabel 1. Etiologi diabetes insipidus central

Didapat

Kerusakan pada regio hipotalamo-neurohipofiseal

1. Trauma kepala
a. Pendengaran intrakranial
b. Edema serebri
2. Pasca-operasi kepala
a. ipotalamus
b. Pituitari
3. Tumor
a. Primer
a) Kraniofaringoma
b) Gioma hipotalamus
c) Adenoma pituitari
d) Disgerminoma
e) Meningioma
b. Hematolohi
a) Limfoma
b) Leukimia
c. Metastase
a) Mammae
b) Paru
4. Infeksi
a. Meningitis TB
b. Meningitis viral
c. Abses serebri
d. Toksoplasosis
e. Ensefalitis
5. Granuloma
a. Sarkoidosis
b. Histositosis
6. Inflamasi
a. Lupus eritematosus sistemik
b. Skleroderma
c. Penyakit wegener
7. Pasca-radioterapi

Idiopatik

Kelainan vaskular

1. Aneurisma
2. Ensefalopati hipoksik
3. Trombosis
Racun kimia

1. Racun ular
2. Tetrodotoksin
Diturunkan

Genetik

1. Sindrom Wolfram
Tabel 2. Etiologi diabetes insipidus nefrogenik
Didapat

Penyakit ginjal

1. Gagal ginjal kronis


2. Penyakit medula ginjal kronis
3. Pielonefritis
4. Uropati obstruktif
5. Penyakit ginjal polikistik
6. Transplatasi ginjal
7. Asidosis tubulus renal
Obat

1. Amfoterisin B
2. Aminolikosida
3. Cisplatin
4. Cidofavir
5. Demeklosiklin
6. Didanosin
7. Ifosfamid
8. Kolkisin
9. Lithium
10. Metoksifluran
11. Ofloksasin
12. Orlistat
Gangguan elektrolit

1. Hipokalemia
2. Kehamilan
3. Kelaparan protein
4. Mieloma multipel
5. Sicklecell disease
6. Sindrom Sjorgen
Diturunkan

Genetik

Mutasi gen pengkode reseptor ADH tipe 2 (AVPR2)

Mutasi gen aquaporin 2 (AQP2) pada kromosom 12q 13


4. Patofisiologi Diabetes Insipidus
Vasopresin arginin merupakan suatu hormon antidiuretik yang dibuat di nucleus
supraoptik, paraventrikular , dan filiformis hipotalamus, bersama dengan pengikatnya
yaitu neurofisin II. Vasopresin kemudian diangkut dari badan sel neuron (tempat
pembuatannya), melalui akson menuju ke ujung saraf yang berada di kelenjar hipofisis
posterior, yang merupakan tempat penyimpanannya. Secara fisiologis, vasopressin dan
neurofisin yang tidak aktif akan disekresikan bila ada rangsang tertentu. Sekresi
vasopresin diatur oleh rangsang yang meningkat pada reseptor volume dan osmotic.
Peningkatan osmolalitas cairan ekstraseluler atau penurunan volume intravaskuler akan
merangsang sekresi vasopresin.
Vasopressin kemudian meningkatkan permeabilitas epitel duktus pengumpul
ginjal terhadap air melalui suatu mekanisme yang melibatkan pengaktifan adenolisin dan
peningkatan AMP siklik. Akibatnya, konsentrasi kemih meningkat dan osmolalitas
serum menurun. Osmolalitas serum biasanya dipertahankan konstan dengan batas yang
sempit antara 290 dan 296 mOsm/kg H2O. Gangguan dari fisiologi vasopressin ini dapat
menyebabkan pengumpulan air pada duktus pengumpul ginjal karena berkurang
permeabilitasnya, yang akan menyebabkan poliuria atau banyak kencing.
Selain itu, peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang pusat haus, dan
sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus. Ambang rangsang
osmotic pusat haus lebih tinggi dibandingkan ambang rangsang sekresi vasopresin.
Sehingga apabila osmolalitas plasma meningkat, maka tubuh terlebih dahulu akan
mengatasinya dengan mensekresi vasopresin yang apabila masih meningkat akan
merangsang pusat haus, yang akan berimplikasi orang tersebut minum banyak
(polidipsia). Secara patogenesis, diabetes insipidus dibagi menjadi 2 yaitu diabetes
insipidus sentral, dimana gangguannya pada vasopresin itu sendiri dan diabetes
insipidus nefrogenik, dimana gangguannya adalah karena tidak responsifnya tubulus
ginjal terhadap vasopresin. Diabetes insipidus sentral dapat disebabkan oleh kegagalan
pelepasan hormone antidiuretik ADH yang merupakan kegagalan sintesis atau
penyimpanan. Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan nucleus supraoptik,
paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang mensistesis ADH. Selain itu, DIS juga
timbul karena gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus
supraoptikohipofisealis dan aksin hipofisis posterior di mana ADH disimpan untuk
sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan. DIS dapat juga terjadi
karena tidak adanya sintesis ADH, atau sintesis ADH yang kuantitatif tidak mencukupi
kebutuhan, atau kuantitatif cukup tetapi
tidak berfungsi normal. Terakhir, ditemukan bahwa DIS dapat juga terjadi karena
terbentuknya antibody terhadap ADH.

5. Manifestasi Klinis Diabetes Insipidus


a. Poliuria : haluaran urin harian dalam jumlah yang sangat banyak dengan urin yang
sangat encer, berat jenis urin 1,001 sampai 1,005. Biasanya mempunyai awitan yang
mendadak, tetapi mungkin secara tersamar pada orang dewasa.
b. Polidipsia : rasanya sangat kehausan , 4 sampai 40 liter cairan setiap hari terutama
sangat membutuhkan air yang dingin.
c. Tidur terganggu karena poliuria dan nokturia
d. Penggantian air yang tidak cukup dapat menyebabkan :
1) Hiperosmolalitas dan gangguan SSP ( cepat marah, disorientasi, koma dan
hipertermia )
2) Hipovolemia, hipotensi, takikardia, mukosa kering dan turgor kulit buruk.
e. Dehidrasi
Bila tidak mendapat cairan yang adekuat akan terjadi dehidrasi. Komplikasi
dari dehidrasi, bayi bisa mengalami demam tinggi yang disertai dengan muntah dan
kejang-kejang. Jika tidak segera terdiagnosis dan diobati, bisa terjadi kerusakan
otak, sehingga bayi mengalami keterbelakangan mental. Dehidrasi yang sering
berulang juga akan menghambat perkembangan fisik.

Menurut Kusmana (2016) gejala dominan diabetes insipidus adalah poliuri dan
polidipsi. Volume urin pasien relatif menetap tiap individu, bervariasi antara 3-
20 liter/hari. Pada dewasa, gejala utama adalah rasa haus, karena usaha kompensasi
tubuh. Pasien ingin terus minum, terutama air dingin dalam jumlah banyak. Pada
bayi, anak-anak, dan lansia dengan mobilitas untuk minum terbatas, timbul
keluhan- keluhan lain. Pada bayi, sering rewel, gangguan pertumbuhan,
hipertermia, dan penurunan berat badan. Anak-anak sering mengompol, lemah,
lesu, dan gangguan pertumbuhan. Lemah, gangguan mental, dan kejang dapat
terjadi pada lansia.

6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Kusmana (2016) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam
diagnosis diabetes insipidus, yaitu sebagai berikut.
a. Pemeriksaan Fisik
Temuan dapat berupa pelvis penuh, nyeri pinggang, atau nyeri menjalar ke area
genitalia, juga pembesaran kandung kemih. Anemia ditemukan jika penyebabnya
keganasan atau gagal ginjal kronis. Tanda dehidrasi sering ditemukan pada pasien
bayi dan anak-anak. Inkontinensia urin akibat kerusakan buli-buli karena
overdistensi berkepanjangan sering pada kasus nefrogenik sejak lahir. Diabetes
insipidus gestasional berhubungan dengan oligohidramnion, preeklampsi, dan
disfungsi hepar.
b. Radiologi
1) IVP (IntraVenous Pyelography)
Pemeriksaan radiografi dari tractus urinarius dengan pemberian zat kontras
yang dimasukkan melalui vena sehingga dapat menunjukkan fungsi ginjal dan
dapat mengetahui apabila terdapat kelainan-kelainan secara radiologis.

Gambar 1

2) CT Scan

Gambar 2. Hidronefrosis berat pada


pasien diabtes insipidus pada
pemeriksaan CT Scan
3) MRI

MRI untuk memeriksa hipotalamus, kelenjar hipofisis, dan jaringan sekitarnya


mungkin perlu untuk menentukan penyebab. Pada T1-weighted (T1MI),
kelenjar hipofisis posterior sehat akan menunjukkan sinyal hiperintens,
sedangkan pada penderita diabetes insipidus sentral sinyal tidak ditemukan,
kecuali pada anak-anak dengan penyebab diturunkan yang jarang.

Gambar 3a

Gambar 3b

4) Pemeriksaan Laboratorium : darah, urinalisis fisis dan kimia.


Pertama dilakukan pengukuran volume urin selama 24 jam. Bila <3 liter,
bukan poliuria. Jika >3 liter, osmolalitas urin perlu diukur. Osmolalitas urin
>300 mOsm/kg meunjukkan kondisi diuresis zat terlarut yang disebabkan
diabetes
mellitus atau gagal ginjal kronis. Jika osmolalitas urin <300 mOsm/kg,
dilakukan water deprivation test.

5) Tes Deprivasi Cairan


Tes deprivasi cairan atau water deprivation test dilakukan sekitar pukul 8 pagi.
Pasien dilarang merokok 2 jam sebelum dan saat tes dilakukan.
1. Langkah persiapan awal:
a) Pasien diposisikan berbaring terlentang (duduk/berdiri hanya saat
berkemih dan pengukuran berat badan).
b) Pengambilan darah 7-10 mL untuk osmolalitas plasma.
c) Pasien diminta mengosongkan kandung kemih, volume urin dicatat, dan
diperiksa osmolalitasnya.
d) Timbang berat badan hingga pengukuran 0,1 kg beserta tanda vital pasien.
2. Hentikan cairan intravena (bila diberikan), pasien diposisikan setengah
duduk.
3. Setiap jam, ulangi langkah di atas hingga salah satu kondisi ini muncul:
a) Konsentrasi natrium plasma/osmolalitas plasma meningkat di atas batas
normal, atau
b) Osmolalitas urin meningkat di atas 300 mOsm/kg H20.
Bila konsentrasi natrium plasma/osmolalitas plasma meningkat di atas
batas normal muncul sebelum osmolalitas urin meningkat di atas 300
mOsm/kg H20, diabetes insipidus dipsogenik, sentral parsial, dan
nefrogenik parsial dapat disingkirkan. Selanjutnya, dilakukan tes
DDAVP (desaminod-arginine vasopressin atau desmopresin) untuk
menentukan diabetes insipidus sentral komplit atau nefrogenik komplit.
6) Tes DDAVP (Desamin D-Arginie Vasopressin atau Desmopresin
Tes ini untuk menentukan diabetes insipidus sentral komplit atau nefrogenik
komplit. Prosedur dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Injeksikan 2 mcg DDAVP subkutan
2. Pasien diminta mengosongkan kandung kemih pada 1 dan 2 jam setelah
injeksi dan kedua sampel diukur osmolalitasnya.
3. Jika osmolalitas sampel meningkat >50% diagnosis daibetes insipidus
sentral komplit
4. Jika osmolalitas sampel meningkat <50% diagnosis diabetes insipidus
nefrogenik

Bila osmolalitas urin meningkat di atas 300 mOsm/kg H20 muncul sebelum
konsentrasi natrium plasma/osmolalitas plasma meningkat di atas batas
normal, diabetes insipidus sentral komplit dan nefrogenik komplit dapat
disingkirkan. Selanjutnya diagnostik untuk membedakan diabetes insipidus
sentral parsial, nefrogenik parsial, dan dipsogenik:

1. Mengukur kadar plasma ADH sampel dan dibandingkan dengan


osmolalitas plasma, osmolalitas urin, dan konsentrasi natrium plasma.
Dengan cara ini ketiga kemungkinan dapat dibedakan dengan pasti.
Kelemahan cara ini adalah sulit dilakukan di Indonesia dan membutuhkan
waktu lama.
2. Melihat osmolalitas urin saja. Bila osmolalitas urin >750 mOsm/kg
setelah penghentian cairan, mungkin pasien menderita diabetes insipidus
dipsogenik. Sedangkan bila berkisar 300-750 mOsm/kg atau tetap <750
mOsm/kg setelah pemberian DDAVP, ketiganya tidak dapat dibedakan.
3. Membandingkan osmolalitas urin dan plasma setelah injeksi DDAVP26.

7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Kusmana (2016) setiap klasifikasi memiliki penatalaksanaan yang berbeda-
beda dan dapat dijabarkan sebagai berikut.

a. Diabetes Insipidus Sentral


Pada kasus ringan dapat ditangani dengan asupan air yang cukup. Faktor pemberat
(seperti glukokortikoid) dihindari. Bila asupan air tidak cukup dan terjadi
hipernatremia, segera berikan cairan intravena hipoosmolar. Hindari pemberian
cairan steril intravena tanpa dekstrosa karena menyebabkan hemolisis. Untuk
menghindari hiperglikemia, overload cairan, dan koreksi hipernatremia yang
terlalu cepat, penggantian cairan diberikan dengan dosis maksimal 500-750
mL/jam.
1) DDAVP (Desaminod-Arginine Vasopressin Atau Desmopresin)
2) Penurunan ADH perlu mendapat terapi pengganti hormon ADH. DDAVP
adalah pilihan utama penanganan diabetes insipidus sentral. DDAVP adalah
analog ADH buatan, memiliki masa kerja panjang dan potensi antidiuretik dua
kali ADH. DDAVP tersedia dalam bentuk subkutan, intravena, intranasal, dan
oral.
Pemberian diawali pada malam hari untuk mengurangi
gejala nokturia, sedangkan pada pagi hingga sore hari sesuai kebutuhan dan
saat munculnya gejala. DDAVP lyophilisate dapat larut di bawah lidah,
sehingga memudahkan terapi anak dan sangat efektif. Dosis awal DDAVP
oral adalah 2x0,05 mg dapat ditingkatkan hingga 3x0,4 mg. Preparat nasal
(100 mcg/mL) dapat dimulai dengan dosis 0,05-0,1 mL tiap 12-24 jam,
selanjutnya sesuai keparahan individu. Obat-obatan selain DDAVP hanya
digunakan bila respon tidak memuaskan atau harga terlalu mahal.
3) Carbamazepine
Carbamazepine meningkatkan sensitivitas ginjal terhadap efek ADH. Pada
studi in vivo, carbamazepine menurunkan volume urin dan meningkatkan
osmolalitas urin dengan meningkatkan ekspresi aquaporin-2 pada
duktus kolektikus medula interna. Obat ini mempunyai risiko efek samping
ataksia, mual, muntah, dan mengantuk.
4) Chlorpropamide
Chlorpropamide digunakan untuk diabetes insipidus ringan. Zat ini
meningkatkan potensi ADH yang bersirkulasi, sehingga mengurangi urin
hingga 50%. Chlorpropamide memiliki banyak efek samping, seperti
hipoglikemi, kerusakan hati, anemia aplastik, sehingga penggunaannya perlu
diawasi.
b. Diabetes Insipidus Nefrogenik
Diabetes insipidus nefrogenik tidak berespons terhadap ADH. Terapi berupa
koreksi hipokalemia dan hiperkalsemia atau menghentikan obat-obat yang dapat
menyebabkan diabetes insipidus nefrogenik. Diuretik thiazide dan restriksi garam
bertujuan untuk mengurangi laju segmen filtrasi menuju segmen dilusi pada
nefron. Pengurangan penyerapan klorida dan natrium pada tubulus distal, akan
meningkatkan penyerapan natrium dan air di tubulus proksimal. NSAID
membantu mengatasi poliuria pada diabetes insipidus nefrogenik dengan
meningkatkan regulasi aquaporin-2 dan Na-K-2Cl co-transporter type-2
(NKCC2).
c. Diabetes Insipidus Gestasional
Pilihan pertama DDAVP karena tidak terdegradasi oleh vasopressinase yang
bersirkulasi.
d. Diabetes Insipidus Dipsogenik
Tidak ada terapi spesifik selain mengurangi jumlah asupan cairan. Jika
disebabkan oleh gangguan mental, terapi gangguan mental akan menyembuhkan.

8. Komplikasi Diabetes Insipidus


a. Hipertonik enselopati
b. Gagal tumbuh
c. Kejang terlalu cepat koreksi hipernatremia, sehingga edema serebral
d. Dehidrasi berat dapat terjadi apabila jumlah air yang diminum tidak adekuat.
(Corwin, 2000)

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Dengan Diabetes Insipidus


1. Pengkajian Keperawatan
Merupakan tahap awal dari pendekatan proses keperawatan dan dilakukan
secara sistemik mencakup aspek bio, psiko, sosio dan spiritual. Langkah awal dari
pengkajian ini adalah pengumpulan data yang diperoleh dari hasil wawancara dari
klien atau keluarga, observasi pemeriksaan fisik, konsultasi dengan anggota tim
kesehatan lainnya dan meninjau kembali catatan medis ataupun catatan keperawatan.
Pengkajian fisik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Adapun lingkup pengkajian yang dilakukan pada pasien ileus paralitik adalah sebagai
berikut:
1. Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, alamat,
status perkawinan, suku bangsa
2. Primary Survey
a. Airway
Kaji jalan napas pasien, apakah ada sumbatan pada jalan napas, apakah ada
suara napas tambahan seperti stridor, gurgling dan lain-lain.
b. Breathing
Pada pengkajian breathing dilakukan dengan look, listen, feel yang dinilai
yaitu irama nafas apakah teratur atau tidak teratur atau pola nafas tidak efektif,
adakah hipoksemia berat , adakah retraksi otot interkosta, dispnea, sesak
nafas.
c. Circulation
Biasanya pada pasien Diabetes Insipidus ditemuka turgor kulit tampak buruk,
wajah tampak pucat, membran mukosa pucat dan kering. Selain itu kulit
tampak kering, tampak sering berkemih, dan pasien tampak gelisah.
d. Disability (kesadaran)
- Pemeriksaan Neurologis
- GCS
- Reflex Fisiologis
- Reflex Patologis
- Kekuatan Otot
e. Exposure
Tergantung keadaan pasien, pada beberapa pasien terjadi peningkatan suhu
tubuh ada juga yang tidak terjadi peningkatan suhu tubuh.
3. Secondary Survey

a. Riwayat kesehatan sekarang meliputi apa yang dirasakan klien saat pengkajian

b. Riwayat kesehatan masa lalu meliputi penyakit yang diderita, apakah


sebelumnya pernah sakit yang sama

c. Riwayat kesehatan keluarga meliputi apakah dari keluarga ada yang menderita
penyakit yang sama

d. Riwayat Psikososial dan Spritual meliputi pola interaksi, pola pertahanan diri,
pola kognitif, pola emosi dan hasil kepercayan klien.

4. Pemeriksaan Fisik
Temuan dapat berupa wajah tampak pucat, mata cekung, turgor kulit menurun,
penurunan BB yg drastis, Membran mukosa pasien tampak pucat dan kering,
kulit pasien tampak kering pelvis penuh, nyeri pinggang, atau nyeri menjalar ke
area genitalia, juga pembesaran kandung kemih. Anemia ditemukan jika
penyebabnya keganasan atau gagal ginjal kronis.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
b. Resiko Ketidakseimbangan Elektrolit dibuktikan dengan faktor risiko
ketidakseimbangan cairan (dehidrasi)
3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan Intervensi


Keperawatan dan Kriteria Hasil Keperawatan
Hipovolemia berhubungan Setelah dilakukan asuhan Manajemen Hipovolemia :
dengan kehilangan cairan keperawatan selama 1x 2 jam Observasi
aktif diharapkan Status Cairan 1. Periksa tanda dan gejala
Membaik dengan kriteria hasil : hipovolemia (mis. Frekuensi
1. Turgor kulit meningkat (5) nadi meningkat, TD menurun,
2. Kekuatan nadi meningkat tekanan nadi menyempit, nadi
(5) teraba lemah, turgor kulit
3. Membran mukosa membaik menurun, membrane mukosa
(5) kering, haus, lemah)
4. Tekanan darah membaik(5) Terapeutik
5. Kadar Hb membaik (5)
1. Hitung kebutuhan cairan
6. Berat badan membaik (5)
2. Berikan asupan cairan oral
7. Keluhan haus cukup
Kolaborasi
menurun (4)
1. Kolaborasi pemberian IV
isotonis (mis. NaCl, RL)
Manajemen Cairan :

Observasi

1. Monitor status hidrasi (mis.


Frekuensi nadi, kekuatan
nadi, akral, pengisian
kapiler, kelembapan mukosa,
turgor kulit, tekanan darah)
2. Monitor berat badan
3. Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium (mis.
Hematokrit, Na, K, Cl, berat
jenis urine, BUN)
Terapeutik
1. Catat intake output dan
balance cairan 24 jam
2. Berikan asupan cairan,
sesuai kebutuhan
3. Berikan cairan intravena jika
perlu
Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian
diuretik

Resiko Ketidakseimbangan Setelah dilakukan asuhan Pemantauan Elektrolit:


Elektrolit dibuktikan dengan keperawatan selama 1x 2 jam Observasi
faktor risiko diharapkan Keseimbangan 1. Identifikasi kemungkinan
ketidakseimbangan cairan Elektrolit meningkat dengan penyebab ketidakseimbangan
(dehidrasi) kriteria hasil : elektrolit
1. Serum natrium meningkat 2. Monitor Kadar elektrolit
(5) serum

2. Serum kalium meningkat 3. Monitor kehilangan cairan,

(5) jika perlu

3. Serum klorida meningkat Manajemen Cairan:

(5) Observasi
4. Serum kalsium meningkat
1. Monitor status hidrasi (mis.
(5)
Frekuensi nadi, kekuatan
5. Serum magnesium
nadi, akral, pengisian kapiler,
meningkat (5)
kelembapan mukosa, turgor
6. Serum fosfor meningkat (5)
kulit, tekanan darah)
2. Monitor berat badan
3. Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium (mis.
Hematokrit, Na, K, Cl, berat
jenis urine, BUN)
Terapeutik :
1. Catat intake – output dan
hitung balans cairan 24 jam
2. Berikan asupan cairan sesuai
kebutuhan
3. Berikan cairan intravena
Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian
diuretik

4. Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan.

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas MW et al. 2016. Diabetes Insipidus: The Basic and Clinical Review . International
Journal of Research in Medical Sciences. Jan;4(1):5-11 : www.msjonline.org
Arita, M. (2009). Perawatan Pasien Penyakit Dalam (II; R. Handoko, ed.). Jogjakarta:
MITRA CENDIKIA Press.

Corwin, E. J. (2000). Buku Saku Patopisiologi (I:2001; P. Endah, ed.). Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Kusmana, F. (2016). Diabetes Insipidus – Diagnosis dan Terapi. 43(11), 825–830.

National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse. 2008. Diabetes


Insipidus. NIH Publication No. 08–4620 September 2008 :
https://www.niddk.nih.gov/health- information/kidney-disease/diabetes-insipidus
diakses pada 20 september 2019 pukul
13.15 wita
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. PPNI: Jakarta.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat PPNI:
Jakarta Selatan.

PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Denifisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Dewan Pengurus Pusat PPNI: Jakarta Selatan.

Anda mungkin juga menyukai