Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Insipidus (DI) merupakan suatu penyakit yang jarang
ditemukan. Penyakit ini diakibatkan oleh berbagai penyebab yang dapat
mengganggu mekanisme neurophypophyseal-renal reflex sehingga
mengakibatkan kegagalan tubuh dalam mengkonversi air. Kebanyakan
kasus-kasus yang pernah ditemui merupakan kasus idiopatik yang dapat
bermanifestasi pada berbagai tingkatan umur dan jenis kelamin.
Terdapat 4 jenis diabetes insipidus yaitu diabetes insipidus sentral,
nefrogenik, dipsogenik, dan gestasional. Pada diabetes insipidus sentral
terletak di hipofisis, sedangkan pada diabetes insipidus nefrogenik kelainan
dikarenakan ginjal tidak memberikan respon terhadap hormon antidiuretik
sehingga ginjal terus menerus mengeluarkan sejumlah besar air kemih yang
encer. Diabetes insipidus bisa merupakan penyakit keturunan Gen yang
menyebabkan penyakit ini bersifat dominan dan dibawa oleh kromosom X.
Wanita yang membawa gen ini bisa mewariskan penyakit ini kepada
anak laki-lakinya. Penyebab lain dari diabetes insipidus nefrogenik adalah
obat-obat tertentu.
Diabetes insipidus ditandai dengan gejala khas yaitu poliuria dan
polidipsia. Jika penyebabnya genetik, gejala biasanya timbul segera setelah
lahir. Bayi tidak dapat menyatakan rasa hausnya, sehingga mereka bisa
mengalami dehidrasi. Bayi bisa mengalami demam tinggi yang disertai
dengan muntah dan kejang-kejang. Jika tidak segera terdiagnosis dan diobati
bisa terjadi kerusakan otak, sehingga bayi mengalami keterbelakangan
mental. Dehidrasi yang sering berulang juga akan menghambat
perkembangan fisik.

1.2 Tujuan
A. Tujuan Umum

1
Untuk mengetahui konsep dasar Asuhan Keperawatan pada Diabetes
Insipidus.
B. Tujuan Khusus
1. Menjelaskan tentang Definisi Diabetes Insipidus.
2. Menjelaskan tentang Anatomi Fisiologi
3. Menjelaskan tentang Etiologi Diabetes Insipidus.
4. Menjelaskan tentang Manifestasi Klinis Diabetes Insipidus.
5. Menjelaskan tentang Klasifikasi Diabetes Insipidus.
6. Menjelaskan tentang Patofisiologi Diabetes Insipidus.
7. Menjelaskan tentang Komplikasi Diabetes Insipidus.
8. Menjelaskan tentang Pemeriksaan Penunjang Diabetes Insipidus.
9. Menjelaskan tentang Penatalaksanaan Diabetes Insipidus.
10. Menjelaskan tentang Asuhan Keperawatan Diabetes Insipidus.

BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

2
Diabetes insipidus adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan
polidipsi dan poliuri. Dua mekanisme yang mendasari adalah gangguan
pelepasan ADH oleh hipotalamus atau hipofisis (sentral) dan gangguan
respons terhadap ADH oleh ginjal (nefrogenik) (Kusmana, 2016).
Diabetes Insipidus (DI) adalah penyakit yang sangat kompleks dan
langka. Kata "Diabetes Insipidus" adalah gabungan dua kata "Diabetes" dan
"Insipidus". Diabetes adalah kata asal Yunani yang berarti "siphon" dan
Insipidus adalah kata asal Latin yang berarti "tanpa rasa" . Diabetes
Insipidus sebenarnya adalah ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan
air karena patofisiologi produksi hormon antidiuretik (ADH) dan penyakit
lainnya. ADH diproduksi oleh syaraf supraoptik dan nukleus paraventrikular
yang terletak di hipotalamus. Setelah produksi ADH mengalir deras
sepanjang saluran hipotiroid-hypophyseal dan disimpan di hipofisis posterior,
yang mana tepat di stimulus dari osmoreseptor, dilepaskan dari lokasi
penyimpanannya Produksi. (Abbas, dkk., 2016).
Menurut NIDDK, Diabetes insipidus adalah kelainan langka yang
terjadi saat ginjal seseorang mengeluarkan sejumlah besar urine yang tidak
normal yang tidak sedap dan encer. Pada kebanyakan orang, ginjal
mengeluarkan sekitar 1 sampai 2 liter air kencing sehari. Pada orang dengan
diabetes insipidus, ginjal bisa mengeluarkan 3 sampai 20 liter air kencing
sehari. Akibatnya, penderita diabetes insipidus mungkin merasa perlu minum
sejumlah besar cairan.

2.2 Anatomi Fisiologi

3
Hipotalamus merupakan pusat pengaturan endokrin pada tingkat
yang paling tinggi yang mengintegrasikan aktifitas system saraf.
Hipotalamus bekerja sebagai organ endokrin dengan mensintesis
hormone yang ditransportasikan sepanjang akson di infudibulum
kemudian dilepaskan kedalam sirkulasi di neurohipofisis. Termasuk
ADH dan oksitosin. Hipotalamus mengandung pusat otonom yang
secara langsung mengontrol saraf sel-sel endokrin di medulla adrenalis.
Apabila saraf simpatis diaktifkan maka medulla adrenlis melepaskan
hormone ke sirkulasi darah.

2.3 Etiologi
Menurut Kusmana (2016) penyebab dan faktor resiko dari diabetes insipidus,
yaitu sebagai berikut.
1. Diabetes Insipidus Sentral
Diabetes insipidus sentral disebabkan kondisi-kondisi yang mengganggu
pembuatan, penyimpanan, dan pelepasan ADH. Angka kejadian sama antara
laki-laki dan perempuan, dapat terjadi pada seluruh rentang usia, dengan onset
terutama pada usia 10-20 tahun. Penyebab diabetes insipidus sentral dibagi
menjadi dua kategori:
a. Kerusakan region hipotalamoneurohipofiseal karena trauma kepala,
operasi, atau tumor. Kerusakan bagian proksimal (30-40% kasus pasca-
operasi trauma kepala) menghancurkan lebih banyak neuron dibandingkan
kerusakan bagian distal (50-60% kasus).

4
b. Idiopatik. Sebanyak 50% kasus diabetes insipidus sentral dilaporkan
sebagai kasus idiopatik; sering disebabkan lesi intrakranial yang lambat
pertumbuhannya. Beberapa otopsi kasus juga menunjukkan atrofi
neurohipofisis, nukleus supraoptik, atau paraventrikuler. Laporan lain
mencatat antibodi bersirkulasi yang melawan neuron hipotalamus
penghasil ADH, sehingga ada dugaan peranan autoimun. Kasus idiopatik
memerlukan pengkajian lebih cermat.
c. Kelainan vascular. Contoh: aneurisma dan sindrom Sheehan.
2. Diabetes Insipidus Nefrogenik
Diabetes insipidus nefrogenik disebabkan adanya gangguan struktur atau
fungsi ginjal, baik permanen maupun sementara, akibat penyakit ginjal
(penyebab tersering), obat-obatan, atau kondisi lain yang menurunkan
sensitivitas ginjal terhadap ADH. Penyebab diabetes insipidus nefrogenik
dibagi menjadi dua kategori:
a. Penyakit ginjal yang menyebabkan gagal ginjal kronis akan mengganggu
kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasi urin.
b. Obat, terutama lithium. Sekitar 55% pengguna lithium jangka panjang
mengalami gangguan mengkonsentrasi urin. Obat lain seperti gentamisin
dan furosemid.
c. Gangguan elektrolit. Pada hipokalemia terjadi gangguan dalam hal
menciptakan dan mempertahankan gradien osmotik di medula. Selain itu,
terjadi resistensi terhadap efek hidro-osmotik ADH di duktus kolektikus.
Pada hiperkalsemia terjadi kalsifikasi dan fibrosis yang menyebabkan
gangguan anatomis ginjal sehingga mengganggu mekanisme konsentrasi
urin.
d. Kondisi lain. Kehamilan, mieloma multipel, sickle cell anemia,
kekurangan protein, amiloidosis, dan sindroma Sjorgen dapat
menyebabkan diabetes insipidus nefrogenik.

2.4 Manifestasi Klinis


1. Poliuria : haluaran urin harian dalam jumlah yang sangat banyak dengan
urin yang sangat encer, berat jenis urin 1,001 sampai 1,005. Biasanya
mempunyai awitan yang mendadak, tetapi mungkin secara tersamar
pada orang dewasa.

5
2. Polidipsia : rasanya sangat kehausan , 4 sampai 40 liter cairan setiap hari
terutama sangat membutuhkan air yang dingin.
3. Tidur terganggu karena poliuria dan nokturia
4. Penggantian air yang tidak cukup dapat menyebabkan :
a. Hiperosmolalitas dan gangguan SSP (disorientasi, koma dan
hipertermia)
b. Hipovolemia, hipotensi, takikardia, mukosa kering dan turgor kulit
buruk. 5.
5. Dehidrasi
Bila tidak mendapat cairan yang adekuat akan terjadi dehidrasi.
Komplikasi dari dehidrasi, bisa mengalami demam tinggi yang disertai
dengan muntah dan kejang-kejang. Jika tidak segera terdiagnosis dan
diobati, bisa terjadi kerusakan otak. Dehidrasi yang sering berulang juga
akan menghambat perkembangan fisik. Gejala lain :
a. Penurunan berat badan
b. Bola mata cekung
c. Hipotensi
d. Tidak berkeringat atau keringat sedikit, sehingga kulit kering dan
pucat
e. Anoreksia

2.5 Klasifikasi Diabetes Insipidus


Klasifikasi Diabetes Insipidus menurut Buku Ajar Patofisiologi Kedokteran,
2007. Jakarta:EGC
1. Diabetes insipidus sentral (neurogenik)
Merupakan bentuk tersering dari diabetes insipidus dan biasanya
berakibat fatal. Diabetes insipidus sentral merupakan manifestasi dari
kerusakan hipofisis yang berakibat terganggunya sintesis dan
penyimpanan ADH. Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan nucleus
supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang mensistesis
ADH. Selain itu, diabetes insipidus sentral (DIS) juga timbul karena
gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus

6
supraoptiko hipofisealis dan akson hipofisis posterior di mana ADH
disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika
dibutuhkan.
Penanganan pada keadaan DI sentral adalah dengan pemberian
sintetik ADH (desmopressin) yang tersedia dalam bentuk injeksi, nasal
spray, maupun pil. Selama mengkonsumsi desmopressin, pasien harus
minum hanya jika haus. Mekanisme obat ini yaitu menghambat ekskresi
air sehingga ginjal mengekskresikan sedikit urin dan kurang peka
terhadap perubahan keseimbangan cairan dalam tubuh.
2. Diabetes Insipidus Nefrogenik
Keadaan ini terjadi bila ginjal kurang peka terhadap ADH. Hal ini
dapat di sebabkan oleh konsumsi obat seperti lithium, atau proses kronik
ginjal seperti penyakit ginjal polikistik, gagal ginjal, blok parsial ureter,
sickle cell disease, dan kelainan genetik, maupun idiopatik. Pada keadaan
ini, terapi desmopressin tidak akan berpengaruh. Penderita diterapi
dengan hydrochlorothiazide (HCTZ) atau indomethacin. HCTZ kadang
dikombinasikan dengan amiloride. Saat mengkonsumsi obat ini, pasien
hanya boleh minum jika haus untuk mengatasi terjadinya volume
overload.
3. Diabetes Insipidus Dipsogenik
Kelainan ini disebabkan oleh kerusakan dalam mekanisme haus di
hipotalamus. Defek ini mengakibatkan peningkatan rasa haus yang
abnormal sehingga terjadi supresi sekresi ADH dan peningkatan output
urin. Desmopressin tidak boleh digunakan untuk penanganan diabetes
insipidus dipsogenik karena akan menurunkan output urin tetapi tidak
menekan rasa haus. Akibatnya, input air akan terus bertambah sehingga
terjadi volume overload yang berakibat intoksikasi air (suatu kondisi
dimana konsentrasi Na dalam darah rendah/hiponatremia) dan dapat
berefek fatal pada otak. Belum ditemukan pengobatan yang tepat untuk
diabetes insipidus dipsogenik.
4. Diabetes insipidus gestasional

7
Diabetes insipidus gestasional terjadi hanya saat hamil jika enzim
yang dibuat plasenta merusak ADH ibu. Kebanyakan kasus diabetes
insipidus pada kehamilan membaik diterapi dengan desmopressin. Pada
kasus dimana terdapat abnormalitas dari mekanisme haus, desmopresin
tidak boleh digunakan sebagai terapi.

2.6 Patofisiologi
Ada beberapa keadaan yang dapat mengakibatkan Diabetes Insipidus,
termasuk didalamnya tumor-tumor pada hipotalamus, tumor-tumor besar
hipofisis di sela tursika, trauma kepala, cedera operasi pada hipotalamus.
Gangguan sekresi vasopresin antara lain disebabkan oleh Diabetes
Insipidus dan sindrom gangguan ADH. Pada penderita Diabetes Insipidus,
gangguan ini dapat terjadi sekunder dari destruksi nucleus hipotalamik yaitu
tempat dimana vasopressin disintetis (Diabetes Insipidus Sentral) atau
sebagai akibat dari tidak responsifnya tubulus ginjal terhadap vasopresin
(Diabetes Insipidus nefrogenik).
Selain itu, peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang pusat haus,
dan sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus.
Ambang rangsang osmotic pusat haus lebih tinggi dibandingkan ambang
rangsang sekresi vasopresin. Sehingga apabila osmolalitas plasma
meningkat, maka tubuh terlebih dahulu akan mengatasinya dengan
mensekresi vasopresin yang apabila masih meningkat akan merangsang pusat
haus, yang akan berimplikasi orang tersebut minum banyak (polidipsia).
Diabetes Insipidus sentral (DIS) disebabkan oeh kegagalan pelepasan
hormone antideuretik (ADH) yang secara fisiologis dapat merupakan
kegagalan sintesis atau penyimpanan, selain itu DIS juga timbul karena
gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus
supraoptiko hipofisealis dan akson hipofisis posterior dimana ADH disimpan
untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan.
Istilah Diabetes Insipidus Nefrogenik (DIN) dipakai pada Diabetes
Insipidus yang tidak responsive terhadap ADH eksogen. Secara fisiologis
DIN dapat disebabkan oleh:

8
1. Kegagalan pembentukan dan pemeliharaan gradient osmotic dalam
medulla renalis.
2. Kegagalan utilisasi gradient pada kegagalan dimana ADH berada dalam
jumlah yang cukup dan berfungsi normal.
Kehilangan cairan yang banyak melalui ginjal ini dapat dikompensasikan
dengan minum banyak air. Penderita yang mengalami dehidrasi, berat badan
menurun, serta kulit dan membrane mukosa jadi kering. Karena meminum
banyak air untuk mempertahankan hidrasi tubuh, penderita akan mengeluh
perut terasa penuh dan anoreksia. Rasa haus dan BAK akan berlangsung terus
pada malam hari sehingga penderita akan merasa terganggu tidurnya karena
harus BAK pada malam hari.

2.7 Komplikasi
a. Dehidrasi berat dapat terjadi apabila jumah air yang diminum tidak
adekuat.
b. Ketidakseimbangan elektrolit, yaitu hiperatremia dan hipokalemia.
Keadaan ini dapat menyebabkan denyut jantung menjadi tidak teratur
dan dpat terjadi gagal jantung kongesti.
c. Hipertonik enselopati

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada Diabetes Insipidus adalah :
1. Hickey-Hare atau Carter-Robbins test.
Pemberian infuse larutan garam hipertonis secara cepat pada orang
normal akan menurunkan jumlah urin. Sedangkan pada diabetes insipidus
urin akan menetap atau bertambah. Pemberian pitresin akan menyebabkan
turunnya jumlah urin pada pasien DIS dan menetapnya jumlah urin pada
pasien DIN.
2. Fluid deprivation menurut Martin Golberg.
a. Sebelum pengujian dimulai, pasien diminta untuk mengosongkan
kandung kencingnya kemudian ditimbah berat badannya, diperiksa
volum dan berat jenis atau osmolalitas urin pertama. Pada saat ini
diambil sampel plasma untuk diukur osmolalitasnya.

9
b. Pasien diminta buang air kecil sesering mungkin paling sedikit setiap
jam.
c. Pasien ditimbang setiap jam bila diuresis lebih dari 300 ml/jam atau
setiap 3 jam bila dieresis kurang dari 300 ml/jam.
d. Setiap sampel urin sebaiknya diperiksa osmolalitasnya dalam keadaan
segar atau kalau hal ini tidak mungkin dilakukan semua sampel harus
disimpan dalam botol yang tertutup rapat serta disimpan dalam lemari
es.
e. Pengujian dihentikan setelah 16 jam atau berat badan menurun 3-4 %
tergantung mana yang terjadi lebih dahulu. Pengujian ini dilanjutkan
dengan :
1) Uji nikotin
a) Pasien diminta untuk merokok dan menghisap dalam-dalam
sebanyak 3 batang dalam waktu 15-20 menit.
b) Teruskan pengukuran volume, berat jenis dan osmolalitas setiap
sampel urine sampai osmolalitas/berat jenis urin menurun
dibandingkan dengan sebelum diberikan nikotin.
2) Uji Vasopresin
a) Berikan pitresin dalam minyak 5 m, intramuscular.
b) Ukur volume, berat jenis, dan osmolalitas urin pada dieresis
berikutnya atau 1 jam kemudian. 3.
3. Laboraturium: darah, urinalisis fisis dan kimia.
Jumlah urin biasanya didapatkan lebih dari 4-10 liter dan berat jenis
bervariasi dari 1,001-1,005 dengan urin yang encer. Pada keadaan normal,
osmolalitas plasma kurang dari 290 mOsml/l dan osmolalitas urin
osmolalitas urin 300-450 mOsmol/l. pada keadaan dehidrasi, berat jenis
urin bisa mencapai 1,010, osmolalitas plasma lebih dari 295 mOsmol/l
dan osmolalitas urin 50-150 mOsmol/l. urin pucat atau jernih dan kadar
natrium urin rendah. Pemeriksaan laboraturium menunjukkan kadar
natrium yang tinggi dalam darah. Fungsi ginjal lainnya tampak normal.

10
4. Tes deprivasi air diperlukan untuk pasien dengan diabetes insipidus
dengan defisiensi ADH parsial dan juga untuk membedakan diabetes
insipidus dengan polidipsia primer pada anak. Pemeriksaan harus
dilakukan pagi hari. Hitung berat badan anak dan periksa kadar
osmolalitas plasma urin setiap 2 jam. Pada keadaan normal, osmolalitas
akan naik (<300) namun output urin akan berkurang dengan berat jenis
yang baik (800-1200).
5. Radioimunoassay untuk vasopressin Kadar plasma yang selalu kurang
drai 0,5 pg/mL menunjukkan diabetes insipidus neurogenik berat. Kadar
AVP yang subnormal pada hiperosmolalitas yang menyertai menunjukkan
diabetes insipidus neurogenik parsial. Pemeriksaan ini berguna dalam
membedakan diabetes insipidus parsial dengan polidipsia primer.
6. Rontgen cranium Rontgen cranium dapat menunjukkan adanya bukti
tumor intrakranium seperti kalsifikasi, pembesaran slla tursunika, erosi
prosesus klinoid, atau makin melebarnya sutura.
7. MRI MRI diindikasikan pada pasien yang dicurigai menderita diabetes
insipidus. MRI untuk memeriksa hipotalamus, kelenjar hipofisis, dan
jaringan sekitarnya mungkin perlu untuk menentukan penyebab. Pada T1-
weighted (T1MI), kelenjar hipofisis posterior sehat akan menunjukkan
sinyal hiperintens, sedangkan pada penderita diabetes insipidus sentral
sinyal tidak ditemukan, kecuali pada anak-anak dengan penyebab
diturunkan yang jarang..

2.9 Penatalaksanaan
Menurut Kusmana (2016) setiap klasifikasi memiliki penatalaksanaan yang
berbeda-beda dan dapat dijabarkan sebagai berikut.
1. Terapi cairan parenteral
Untuk mencegah dehidrasi, penderita harus selalu minum cairan dalam
jumlah yang cukup ketika mereka merasa haus karena penyakit diabetes
insipidus merupakan suatu kelainan dimana terdapat kekurangan hormon
antidiuretik yang menyebabkan rasa haus yang berlebihan dan pengeluaran

11
sejumlah besar air kemih yang sangat encer sehingga penderita bayi dan
anak-anak harus sering diberi minum
2. Diabetes Insipidus Sentral
Pada kasus ringan dapat ditangani dengan asupan air yang cukup. Faktor
pemberat (seperti glukokortikoid) dihindari. Bila asupan air tidak cukup dan
terjadi hipernatremia, segera berikan cairan intravena hipoosmolar. Hindari
pemberian cairan steril intravena tanpa dekstrosa karena menyebabkan
hemolisis. Untuk menghindari hiperglikemia, overload cairan, dan koreksi
hipernatremia yang terlalu cepat, penggantian cairan diberikan dengan dosis
maksimal 500-750 mL/jam.
a. DDAVP (Desaminod-Arginine Vasopressin Atau Desmopresin)
b. Penurunan ADH perlu mendapat terapi pengganti hormon ADH. DDAVP
adalah pilihan utama penanganan diabetes insipidus sentral. DDAVP
adalah analog ADH buatan, memiliki masa kerja panjang dan potensi
antidiuretik dua kali ADH. DDAVP tersedia dalam bentuk subkutan,
intravena, intranasal, dan oral.
c. Pemberian diawali pada malam hari untuk mengurangi gejala nokturia,
sedangkan pada pagi hingga sore hari sesuai kebutuhan dan saat
munculnya gejala. DDAVP lyophilisate dapat larut di bawah lidah,
sehingga memudahkan terapi anak dan sangat efektif.
d. Dosis awal DDAVP oral adalah 2x0,05 mg dapat ditingkatkan hingga
3x0,4 mg. Preparat nasal (100 mcg/mL) dapat dimulai dengan dosis 0,05-
0,1 mL tiap 12-24 jam, selanjutnya sesuai keparahan individu. Obat-
obatan selain DDAVP hanya digunakan bila respon tidak memuaskan atau
harga terlalu mahal.
e. Carbamazepine meningkatkan sensitivitas ginjal terhadap efek ADH. Pada
studi in vivo, carbamazepine menurunkan volume urin dan meningkatkan
osmolalitas urin dengan meningkatkan ekspresi aquaporin-2 pada duktus
kolektikus medula interna. Obat ini mempunyai risiko efek samping
ataksia, mual, muntah, dan mengantuk.
f. Chlorpropamide digunakan untuk diabetes insipidus ringan. Zat ini
meningkatkan potensi ADH yang bersirkulasi, sehingga mengurangi urin
hingga 50%. Chlorpropamide memiliki banyak efek samping, seperti

12
hipoglikemi, kerusakan hati, anemia aplastik, sehingga penggunaannya
perlu diawasi.
2. Diabetes Insipidus Nefrogenik
Diabetes insipidus nefrogenik tidak berespons terhadap ADH. Terapi berupa
koreksi hipokalemia dan hiperkalsemia atau menghentikan obat-obat yang
dapat menyebabkan diabetes insipidus nefrogenik. Diuretik thiazide dan
restriksi garam bertujuan untuk mengurangi laju segmen filtrasi menuju
segmen dilusi pada nefron. Pengurangan penyerapan klorida dan natrium
pada tubulus distal, akan meningkatkan penyerapan natrium dan air di
tubulus proksimal. NSAID membantu mengatasi poliuria pada diabetes
insipidus nefrogenik dengan meningkatkan regulasi aquaporin-2 dan Na-K-
2Cl co-transporter type-2 (NKCC2).
3. Diabetes Insipidus Gestasional
Pilihan pertama DDAVP karena tidak terdegradasi oleh vasopressinase yang
bersirkulasi.
4. Diabetes Insipidus Dipsogenik
Tidak ada terapi spesifik selain mengurangi jumlah asupan cairan. Jika
disebabkan oleh gangguan mental, terapi gangguan mental akan
menyembuhkan.

13
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Pengkajian.
a. Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat
kesadaran kualitatif atau GCS dan respon verbal klien.
b. Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:
1) Tekanan darah
2) Pulse rate
3) Respiratory rate
4) Suhu
c. Riwayat penyakit sebelumnya
Ditanyakan apakah sebelumnya klien pernah ada riwayat trauma
kepala, pembedahan kepala, pemakaian obat phenotoin, lithium
karbamat, infeksi kranial, riwayat keluarga menderita kerusakan
tubulus ginjal atau penyakit yang sama.
d. Pengkajian Pola Gordon
1) Persepsi kesehatan-penatalaksanaan kesehatan
a) Kaji pengetahuan klien mengenai penyakitnya.
b) Kaji upaya klien untuk mengatasi penyakitnya.
2) Pola nutrisi metabolik
a) Nafsu makan klien menurun.
b) Penurunan berat badan 20% dari berat badan ideal.
3) Pola eliminasi
a) Kaji frekuensi eliminasi urine klien
b) Kaji karakteristik urine klien
c) Klien mengalami poliuria (sering kencing)

14
d) Klien mengeluh sering kencing pada malam hari (nokturia).
4) Pola aktivitas dan latihan
a) Kaji rasa nyeri/nafas pendek saat aktivitas/latihan
b) Kaji keterbatasan aktivitas sehari-hari (keluhan lemah, letih sulit
bergerak)
c) Kaji penurunan kekuatan otot
1) Pola tidur dan istirahat
kaji pola tidur klien. Klien dengan diabetes insipidus mengalami
kencing terus menerus saat malam hari sehingga mengganggu pola
tidur/istirahat klien.
2) Pola kognitif/perceptual
kaji fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan
masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
3) Pola persepsi diri/konsep diri
a) Kaji/tanyakan perasaan klien tentang dirinya saat sedang
mengalami sakit.
b) Kaji dampak sakit terhadap klien
c) Kaji keinginan klien untuk berubah (mis : melakukan diet sehat
dan latihan).
4) Pola peran/hubungan
a) Kaji peengaruh sakit yang diderita klien terhadap pekerjaannya
b) Kaji keefektifan hubungan klien dengan orang terdekatnya.
5) Pola seksualitas/reproduksi
a) Kaji dampak sakit terhadap seksualitas.
b) Kaji perubahan perhatian terhadap aktivitas seksualitas.
6) Pola koping/toleransi stress
a) Kaji metode kopping yang digunakan klien untuk menghidari
stress
b) System pendukung dalam mengatasi stress
7) Pola nilai/kepercayaan
Klien tetap melaksanakan keagamaan dengan tetap sembahyang
tiap ada kesempatan.
2. Pemeriksaan Fisik.
a. Inspeksi
Klien tampak banyak minum, banyak buang air kecil, kulit kering dan
pucat, bayi sering menangis, tampak kurus karena penurunan berat
badan yang cepat, muntah, kegagalan pertumbuhan, membran mukosa
dan kulit kering.
b. Palpasi

15
Turgor kulit tidak elastis, membrane mukosa dan kulit kering,
takikardia, takipnea.
c. Auskultasi
Tekanan darah turun (hipotensi).

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Defisien volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
2. Hambatan eleminasi urine berhubungan dengan penyebab multiple
3. Defisien pengetahuan berhubungan dengan kurang sumber pengetahuan

16
3.3 Rencana Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional TTD
1. Defisien volume cairan Setelah diberikan asuhan NIC : Fluid management
berhubungan dengan keperawatan selama … x … Intervensi :
kehilangan cairan aktif jam diharapkan cairan 1. Pertahankan catatan
terpenuhi dengan kriteria hasil: intake dan output yang
akurat
NOC Label: Keseimbangan
2. Monitor status hidrasi
Cairan
1. Mempertahankan urin (kelembaban membrane
output sesuai dengan mukosa, nadi adekuat, TD
usia dan BB, BJ urin ortostatik)
normal 3. Monitor Vital sign
2. TTV dalam batas
4. Monitor masukan
normal.
makanan/cairan dan hitung
3. Tidak ada tanda-tanda
intake kalori harian
dehidrasi, elastisitas
4. turgor kuit baik, 5. Kolaborasikan
membrane mukosa pemberian cairan IV
lembab, tidak ada rasa 6. Dorong masukan oral

17
haus yang berlebihan.
Skala penilaian NOC :
1. Tidak pernah
menujukan.
2. Jarang menunjukan
3. Kadang menunjukan
4. Sering menunjukan
5. Selalu menunjukan
5 Kurang pengetahuan NOC : Pengetahuan tentang NIC : Mengajarka proses
berhubungan dengan proses penyakit penyakit
Indicator :
kurang terpapar Intervensi :
1. Mendeskripsikan
1. Mengobservasi
informasi.
proses penyakit
kesiapan klien
Tujuan : setelah 2. Mendeskripsikan factor
untuk mendengar
dilakukan tindakan penyebab
3. Mendeskripsikan factor (mental,
keperawatan
resiko kemampuan untuk
diharapkan
4. Mendeskripsikan tanda
melihat,
penegtahuan pasien
dan gejala
mendengar,
menjadi adekuat. 5. Mendeskripsikan
kesiapan
komplikasi
emosional, bahasa
Skala penilaian NOC :
dan budaya)

18
1. Tidak pernah dilakukan 2. Menentukan
2. Jarang dilakukan
tingkat
3. Kadang dilakukan
4. Sering dilakukan pengetahuan klien
5. Selalu dilakukan
sebelumnya.
3. Menjelaskan
proses penyakit
(pengertian,
etiologi, tanda dan
gejala)
4. Diskusikan
perubahan gaya
hidup yang dapat
mencegah atau
mengontrol proses
penyakit.
5. Diskusikan tentang
terapi atau
perawatan.

19
20
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Diabetes Insipidus adalah suatu kelainan dimana terdapat kekurangan
hormon antidiuretik yang menyebabkan rasa haus yang berlebihan (polidipsi)
dan pengeluaran sejumlah besar air kemih yang sangat encer (poliuri).
Diabetes insipidus dapat timbul secara perlahan maupun secara tiba-tiba pada
segala usia. Seringkali satu-satunya gejala adalah rasa haus dan pengeluaran
air kemih yang berlebihan.
Gejala utama diabetes insipidus adalah poliuria dan polidipsia. Jumlah
produksi urin maupun cairan yang diminum per 24 jam sangat banyak. Selain
poliuria dan polidipsia, biasanya tidak terdapat gejala-gejala lain, kecuali
bahaya baru yang timbul akibat dehidrasi yang dan peningkatan konsentrasi
zat-zat terlarut yang timbul akibat gangguan rangsang haus

4.2 Saran
Jika penderita penyakit neurogenic diabetes insipidus, maka segeralah
berobat ke dokter atau rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan
yang intensif. Perawatan pasien diabetes insipidus menggunakan obat
sebagai pengganti hormon. Misal jika pasien mengalami buang air kecil
secara berlebihan dan berlangsung terus menerus, maka diberikan terapi obat
desmopressin sebagai pengganti vasopressin sehingga frekuensi buang air
kecil menjadi berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

21
Corwin, Eizabeth J. 2003. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Cotran, Robbin. 1996. Dasar Patologi Penyakit Edisi 5. Jakarta : EGC.
Johnson, Marion, dkk. 2000. IOWA Intervention Project Nursing Outcomes
Classifcation (NOC), Second edition. USA : Mosby.
Junadi, Purnawan, dkk. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 2. Jakarta : Media
Aesculapius Fakultas Kedoteran UI.
McCloskey, Joanne C. dkk. 1996. IOWA Intervention Project Nursing
Intervention Classifcation (NIC), Second edition. USA : Mosby.
Oswari, E. 1985. Penyakit dan Penangguangannya. Jakarta : PT Gramedia.
Talbot, Laura, dkk.1997. Pengkajian Keperawatan Kritis, Edisi 2. Jakarta : EGC.
Waspadji, Sarwono. 1996. Imu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FK UI

22

Anda mungkin juga menyukai