Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Vasopresin atau Arginen Vaso Previn (APV) adalah Anti Diuretik Hormon (ADH) yang bekerja melalui
reseptor-reseptor tubuli distal dari ginjal untuk menghemat air dan mengonsentrasi urin dengan menambah
aliran osmotik dari lumina-lumina ke intestinum medular yang membuat kontraksi otot polos. Dengan demikian
ADH memelihara konstannya osmolaritas (konsentrasi larutan) dan volume dalam tubuh ( Syaifuddin, 2009).
ADH berfungsi sebagai homeostasis tubuh ketika terjadi dehidrasi, bila cairan ekstrasel terlalu pekat,
maka cairan ditarik dengan proses osmosis keluar dari sel osmoreseptor sehingga mengurangi ukuran sel dan
menimbulkan sinyal saraf dalam hipotalamus untuk menyekresi ADH. Begitu pula sebaliknya, bila cairan
ekstrasel terlalu encer, air bergerak melalui osmosis dengan arah berlawanan masuk kedalam sel. Keadaan ini
akan menurunkan sinyal saraf untuk menurunkan sekresi ADH( Syaifuddin, 2009).
Fungsi ADH dalam tubuh berkaitan erat dengan tingkat hidrasi dalam tubuh, maka jika seseorang
mengalami gangguan pada sekresi vasopresinnya akan menimbulkan dehidrasi pada penderita. Gangguan
sekresi APV diantaranya adalah diabetes insipidus, penyakit ini berbeda dengan diabetes melitus karna pada
penyakit diabetes melitus adalah sekresi hormon insulin yang mengalami gangguan. Walaupun penyakit ini
belum banyak dikenal oleh masyarakat luas, tetapi penyakit ini dapat timbul akibat cedera kepala atau infeksi.
Makalah ini akan membahas tentang diabetes insipidus.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari diabetes insipidus?
2. Apa klasifikasi diabetes insipidus?
3. Apa etiologi diabetes insipidus?
4. Bagaimana patofisiologi dari diabetes insipidus?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari diabetes insipidus?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari diabetes insipidus?
7. Bagaimana komplikasi dari diabetes insipidus?
8. Bagaimana penatalaksanaan dari diabetes insipidus?
9. Bagaimana pathways diabetes insipidus?
10. Bagaimana Asuhan Keperawatan dari diabetes insipidus?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan yang sesuai kepada pasien dengan diabetes
insipidus
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui apa definisi dari diabetes insipidus
b. Untuk mengetahui apa klasifikasi diabetes insipidus
c. Untuk mengetahui apa etiologi diabetes insipidus
d. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari diabetes insipidus
e. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis dari diabetes insipidus
f. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan diagnostik dari diabetes insipidus
g. Untuk mengetahui bagaimana komplikasi dari diabetes insipidus
h. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari diabetes insipidus
i. Untuk mengetahui bagaimana pathways diabetes insipidus
j. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan dari diabetes insipidus
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Diabetes Insipidus


Diabetes insipidus adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan polidipsi dan poliuri. Dua
mekanisme yang mendasari adalah gangguan pelepasan ADH oleh hipotalamus atau hipofisis (sentral) dan
gangguan respons terhadap ADH oleh ginjal (nefrogenik) (Kusmana, 2016).
Diabetes Insipidus (DI) adalah penyakit yang sangat kompleks dan langka. Kata "Diabetes
Insipidus" adalah gabungan dua kata "Diabetes" dan "Insipidus". Diabetes adalah kata asal Yunani yang
berarti "siphon" dan Insipidus adalah kata asal Latin yang berarti "tanpa rasa" . DI sebenarnya adalah
ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan air karena patofisiologi produksi hormon antidiuretik
(ADH) dan penyakit lainnya. ADH diproduksi oleh syaraf supraoptik dan nukleus paraventrikular yang
terletak di hipotalamus. Setelah produksi ADH mengalir deras sepanjang saluran hipotiroid-hypophyseal
dan disimpan di hipofisis posterior, yang mana tepat di stimulus dari osmoreseptor, dilepaskan dari lokasi
penyimpanannya Produksi. (Abbas, dkk., 2016).
Menurut NIDDK, Diabetes insipidus adalah kelainan langka yang terjadi saat ginjal seseorang
mengeluarkan sejumlah besar urine yang tidak normal yang tidak sedap dan encer. Pada kebanyakan orang,
ginjal mengeluarkan sekitar 1 sampai 2 liter air kencing sehari. Pada orang dengan diabetes insipidus, ginjal
bisa mengeluarkan 3 sampai 20 liter air kencing sehari. Akibatnya, penderita diabetes insipidus mungkin
merasa perlu minum sejumlah besar cairan.

B. Klasifikasi Diabetes Insipidus


Klasifikasi Diabetes Insipidus menurut Buku Ajar Patofisiologi Kedokteran, 2007. Jakarta:EGC
1. Diabetes insipidus sentral (neurogenik)
Merupakan bentuk tersering dari diabetes insipidus dan biasanya berakibat fatal. Diabetes
insipidus sentral merupakan manifestasi dari kerusakan hipofisis yang berakibat terganggunya sintesis
dan penyimpanan ADH. Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan nucleus supraoptik, paraventrikular, dan
filiformis hipotalamus yang mensistesis ADH. Selain itu, diabetes insipidus sentral (DIS) juga timbul
karena gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus supraoptiko hipofisealis dan
akson hipofisis posterior di mana ADH disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi
jika dibutuhkan.
Penanganan pada keadaan DI sentral adalah dengan pemberian sintetik ADH (desmopressin)
yang tersedia dalam bentuk injeksi, nasal spray, maupun pil. Selama mengkonsumsi desmopressin,
pasien harus minum hanya jika haus. Mekanisme obat ini yaitu menghambat ekskresi air sehingga ginjal
mengekskresikan sedikit urin dan kurang peka terhadap perubahan keseimbangan cairan dalam tubuh.
2. Diabetes Insipidus Nefrogenik
Keadaan ini terjadi bila ginjal kurang peka terhadap ADH. Hal ini dapat di sebabkan oleh
konsumsi obat seperti lithium, atau proses kronik ginjal seperti penyakit ginjal polikistik, gagal ginjal,
blok parsial ureter, sickle cell disease, dan kelainan genetik, maupun idiopatik. Pada keadaan ini, terapi
desmopressin tidak akan berpengaruh. Penderita diterapi dengan hydrochlorothiazide (HCTZ) atau
indomethacin. HCTZ kadang dikombinasikan dengan amiloride. Saat mengkonsumsi obat ini, pasien
hanya boleh minum jika haus untuk mengatasi terjadinya volume overload.
3. Diabetes Insipidus Dipsogenik
Kelainan ini disebabkan oleh kerusakan dalam mekanisme haus di hipotalamus. Defek ini
mengakibatkan peningkatan rasa haus yang abnormal sehingga terjadi supresi sekresi ADH dan
peningkatan output urin. Desmopressin tidak boleh digunakan untuk penanganan diabetes insipidus
dipsogenik karena akan menurunkan output urin tetapi tidak menekan rasa haus. Akibatnya, input air
akan terus bertambah sehingga terjadi volume overload yang berakibat intoksikasi air (suatu kondisi
dimana konsentrasi Na dalam darah rendah/hiponatremia) dan dapat berefek fatal pada otak. Belum
ditemukan pengobatan yang tepat untuk diabetes insipidus dipsogenik.
4. Diabetes insipidus gestasional
Diabetes insipidus gestasional terjadi hanya saat hamil jika enzim yang dibuat plasenta merusak
ADH ibu. Kebanyakan kasus diabetes insipidus pada kehamilan membaik diterapi dengan desmopressin.
Pada kasus dimana terdapat abnormalitas dari mekanisme haus, desmopresin tidak boleh digunakan
sebagai terapi.

C. Etiologi Diabetes Insipidus


Diabetes insipidus sentral disebabkan kondisi-kondisi yang mengganggu pembuatan, penyimpanan,
dan pelepasan ADH. Angka kejadian sama antara laki-laki dan perempuan, dapat terjadi pada seluruh
rentang usia, dengan onset terutama pada usia 10-20 tahun. Penyebab diabetes insipidus sentral dibagi
menjadi dua kategori (Tabel 1):
1. Didapat
a. Kerusakan regio hipotalamoneurohipofiseal karena trauma kepala, operasi, atau tumor. Kerusakan
bagian proksimal (30-40% kasus pasca-operasi trauma kepala) menghancurkan lebih banyak
neuron dibandingkan kerusakan bagian distal (50-60% kasus).
b. Idiopatik. Sebanyak 50% kasus diabetes insipidus sentral dilaporkan sebagai kasus idiopatik;
sering disebabkan lesi intrakranial yang lambat pertumbuhannya. Beberapa otopsi kasus juga
menunjukkan atrofi neurohipofisis, nukleus supraoptik, atau paraventrikuler. Laporan lain
mencatat antibodi bersirkulasi yang melawan neuron hipotalamus penghasil ADH, sehingga ada
dugaan peranan autoimun. Kasus idiopatik memerlukan pengkajian lebih cermat.
c. Kelainan vaskular. Contoh: aneurisma dan sindrom Sheehan.
d. Racun kimia, antara lain racun ular.
2. Diturunkan
Bersifat genetik. Beberapa jenis resesif autosomal dan x-linked. Diabetes insipidus nefrogenik
disebabkan adanya gangguan struktur atau fungsi ginjal, baik permanen maupun sementara, akibat
penyakit ginjal (penyebab tersering), obatobatan, atau kondisi lain yang menurunkan sensitivitas ginjal
terhadap ADH. Secara patofisiologi, kerusakan ginjal dapat berupa: Gangguan pembentukan dan/ atau
pemeliharaan gradien osmotik kortikomedular yang mengatur tekanan osmosis air dari duktus kolektikus
menuju interstisial. Gangguan penyesuaian osmosis antara isi tubulus dan medula di interstisial karena
aliran cepat di tubulus akibat kerusakan komponen proksimal dan/atau distal sistem ADH-CAMP.
Penyebab diabetes insipidus nefrogenik dibagi menjadi dua kategori:
1. Didapat
a. Penyakit ginjal. Penyakit ginjal yang menyebabkan gagal ginjal kronis akan mengganggu
kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasi urin.10-12
b. Obat, terutama lithium.14 Sekitar 55% pengguna lithium jangka panjang mengalami gangguan
mengkonsentrasi urin.15,16 Obat lain seperti gentamisin dan furosemid.
c. Gangguan elektrolit. Pada hipokalemia terjadi gangguan dalam hal menciptakan dan
mempertahankan gradien osmotik di medula. Selain itu, terjadi resistensi terhadap efek hidro-
osmotik ADH di duktus kolektikus. Pada hiperkalsemia terjadi kalsifikasi dan fibrosis yang
menyebabkan gangguan anatomis ginjal, sehingga mengganggu mekanisme konsentrasi urin.
d. Kondisi lain. Kehamilan, mieloma multipel, sickle cell anemia, kekurangan protein,
amiloidosis, dan sindroma Sjorgen dapat menyebabkan diabetes insipidus nefrogenik.
2. Diturunkan
a. Mutasi gen yang mengkode reseptor ADH tipe-2 (reseptor V2 atau AVPR2) pada kromosom
Xq28 adalah bentuk paling sering.
b. Mutasi gen aquaporin-2 (AQP2) pada kromosom 12q13 (1% kasus) menyebabkan peningkatan
kanal air yang diekspresikan di duktus kolektikus ginjal.

Tabel 1. Etiologi diabetes insipidus central

Didapat

Kerusakan pada regio hipotalamo-neurohipofiseal

1. Trauma kepala
a. Pendengaran intrakranial
b. Edema serebri
2. Pasca-operasi kepala
a. Hipotalamus
b. Pituitari
3. Tumor
a. Primer
a) Kraniofaringoma
b) Gioma hipotalamus
c) Adenoma pituitari
d) Disgerminoma
e) Meningioma
b. Hematolohi
a) Limfoma
b) Leukimia
c. Metastase
a) Mammae
b) Paru
4. Infeksi
a. Meningitis TB
b. Meningitis viral
c. Abses serebri
d. Toksoplasosis
e. Ensefalitis
5. Granuloma
a. Sarkoidosis
b. Histositosis
6. Inflamasi
a. Lupus eritematosus sistemik
b. Skleroderma
c. Penyakit wegener
7. Pasca-radioterapi
Idiopatik

Kelainan vaskular

1. Aneurisma
2. Ensefalopati hipoksik
3. Trombosis
Racun kimia

1. Racun ular
2. Tetrodotoksin
Diturunkan

Genetik

1. Sindrom Wolfram

Tabel 2. Etiologi diabetes insipidus nefrogenik

Didapat

Penyakit ginjal
1. Gagal ginjal kronis
2. Penyakit medula ginjal kronis
3. Pielonefritis
4. Uropati obstruktif
5. Penyakit ginjal polikistik
6. Transplatasi ginjal
7. Asidosis tubulus renal
Obat
1. Amfoterisin B
2. Aminolikosida
3. Cisplatin
4. Cidofavir
5. Demeklosiklin
6. Didanosin
7. Ifosfamid
8. Kolkisin
9. Lithium
10. Metoksifluran
11. Ofloksasin
12. Orlistat
Gangguan elektrolit
1. Hipokalemia
2. Kehamilan
3. Kelaparan protein
4. Mieloma multipel
5. Sicklecell disease
6. Sindrom Sjorgen
Diturunkan
Genetik
Mutasi gen pengkode reseptor ADH tipe 2 (AVPR2)
Mutasi gen aquaporin 2 (AQP2) pada kromosom 12q 13
D. Patofisiologi Diabetes Insipidus
Vasopresin arginin merupakan suatu hormon antidiuretik yang dibuat di nucleus supraoptik,
paraventrikular , dan filiformis hipotalamus, bersama dengan pengikatnya yaitu neurofisin II. Vasopresin
kemudian diangkut dari badan sel neuron (tempat pembuatannya), melalui akson menuju ke ujung saraf
yang berada di kelenjar hipofisis posterior, yang merupakan tempat penyimpanannya. Secara fisiologis,
vasopressin dan neurofisin yang tidak aktif akan disekresikan bila ada rangsang tertentu. Sekresi vasopresin
diatur oleh rangsang yang meningkat pada reseptor volume dan osmotic. Peningkatan osmolalitas cairan
ekstraseluler atau penurunan volume intravaskuler akan merangsang sekresi vasopresin.
Vasopressin kemudian meningkatkan permeabilitas epitel duktus pengumpul ginjal terhadap air
melalui suatu mekanisme yang melibatkan pengaktifan adenolisin dan peningkatan AMP siklik. Akibatnya,
konsentrasi kemih meningkat dan osmolalitas serum menurun. Osmolalitas serum biasanya dipertahankan
konstan dengan batas yang sempit antara 290 dan 296 mOsm/kg H2O. Gangguan dari fisiologi vasopressin
ini dapat menyebabkan pengumpulan air pada duktus pengumpul ginjal karena berkurang permeabilitasnya,
yang akan menyebabkan poliuria atau banyak kencing.
Selain itu, peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang pusat haus, dan sebaliknya penurunan
osmolalitas plasma akan menekan pusat haus. Ambang rangsang osmotic pusat haus lebih tinggi
dibandingkan ambang rangsang sekresi vasopresin. Sehingga apabila osmolalitas plasma meningkat, maka
tubuh terlebih dahulu akan mengatasinya dengan mensekresi vasopresin yang apabila masih meningkat
akan merangsang pusat haus, yang akan berimplikasi orang tersebut minum banyak (polidipsia).
Secara patogenesis, diabetes insipidus dibagi menjadi 2 yaitu diabetes insipidus sentral, dimana
gangguannya pada vasopresin itu sendiri dan diabetes insipidus nefrogenik, dimana gangguannya adalah
karena tidak responsifnya tubulus ginjal terhadap vasopresin. Diabetes insipidus sentral dapat disebabkan
oleh kegagalan pelepasan hormone antidiuretik ADH yang merupakan kegagalan sintesis atau
penyimpanan. Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan nucleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis
hipotalamus yang mensistesis ADH. Selain itu, DIS juga timbul karena gangguan pengangkutan ADH
akibat kerusakan pada akson traktus supraoptikohipofisealis dan aksin hipofisis posterior di mana ADH
disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan. DIS dapat juga terjadi karena
tidak adanya sintesis ADH, atau sintesis ADH yang kuantitatif tidak mencukupi kebutuhan, atau kuantitatif
cukup tetapi tidak berfungsi normal. Terakhir, ditemukan bahwa DIS dapat juga terjadi karena terbentuknya
antibody terhadap ADH.

E. Manifestasi Klinis Diabetes Insipidus


1. Poliuria : haluaran urin harian dalam jumlah yang sangat banyak dengan urin yang sangat encer, berat
jenis urin 1,001 sampai 1,005. Biasanya mempunyai awitan yang mendadak, tetapi mungkin secara
tersamar pada orang dewasa.
2. Polidipsia : rasanya sangat kehausan , 4 sampai 40 liter cairan setiap hari terutama sangat
membutuhkan air yang dingin.
3. Tidur terganggu karena poliuria dan nokturia
4. Penggantian air yang tidak cukup dapat menyebabkan :
a. Hiperosmolalitas dan gangguan SSP ( cepat marah, disorientasi, koma dan hipertermia )
b. Hipovolemia, hipotensi, takikardia, mukosa kering dan turgor kulit buruk.
5. Dehidrasi
Bila tidak mendapat cairan yang adekuat akan terjadi dehidrasi. Komplikasi dari dehidrasi, bayi
bisa mengalami demam tinggi yang disertai dengan muntah dan kejang-kejang. Jika tidak segera
terdiagnosis dan diobati, bisa terjadi kerusakan otak, sehingga bayi mengalami keterbelakangan
mental. Dehidrasi yang sering berulang juga akan menghambat perkembangan fisik.
Gejala lain :
1. Penurunan berat badan
2. Bola mata cekung
3. Hipotensi
4. Tidak berkeringat atau keringat sedikit, sehingga kulit kering dan pucat
5. Anoreksia
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada Diabetes Insipidus adalah :
1. Hickey-Hare atau Carter-Robbins test.
Pemberian infuse larutan garam hipertonis secara cepat pada orang normal akan menurunkan
jumlah urin. Sedangkan pada diabetes insipidus urin akan menetap atau bertambah. Pemberian pitresin
akan menyebabkan turunnya jumlah urin pada pasien DIS dan menetapnya jumlah urin pada pasien
DIN.
2. Fluid deprivation menurut Martin Golberg.
a. Sebelum pengujian dimulai, pasien diminta untuk mengosongkan kandung kencingnya kemudian
ditimbah berat badannya, diperiksa volum dan berat jenis atau osmolalitas urin pertama. Pada saat
ini diambil sampel plasma untuk diukur osmolalitasnya.
b. Pasien diminta buang air kecil sesering mungkin paling sedikit setiap jam
c. Pasien ditimbang setiap jam bila diuresis lebih dari 300 ml/jam atau setiap 3 jam bila dieresis
kurang dari 300 ml/jam.
d. Setiap sampel urin sebaiknya diperiksa osmolalitasnya dalam keadaan segar atau kalau hal ini tidak
mungkin dilakukan semua sampel harus disimpan dalam botol yang tertutup rapat serta disimpan
dalam lemari es.
e. Pengujian dihentikan setelah 16 jam atau berat badan menurun 3-4 % tergantung mana yang terjadi
lebih dahulu. Pengujian ini dilanjutkan dengan :
1) Uji nikotin
a) Pasien diminta untuk merokok dan menghisap dalam-dalam sebanyak 3 batang dalam waktu
15-20 menit.
b) Teruskan pengukuran volume, berat jenis dan osmolalitas setiap sampel urine sampai
osmolalitas/berat jenis urin menurun dibandingkan dengan sebelum diberikan nikotin.
2) Uji Vasopresin :
a) Berikan pitresin dalam minyak 5 m, intramuscular.
b) Ukur volume, berat jenis, dan osmolalitas urin pada dieresis berikutnya atau 1 jam
kemudian.
3. Laboraturium: darah, urinalisis fisis dan kimia.
Jumlah urin biasanya didapatkan lebih dari 4-10 liter dan berat jenis bervariasi dari 1,001-1,005
dengan urin yang encer. Pada keadaan normal, osmolalitas plasma kurang dari 290 mOsml/l dan
osmolalitas urin osmolalitas urin 300-450 mOsmol/l. pada keadaan dehidrasi, berat jenis urin bisa
mencapai 1,010, osmolalitas plasma lebih dari 295 mOsmol/l dan osmolalitas urin 50-150 mOsmol/l.
urin pucat atau jernih dan kadar natrium urin rendah. Pemeriksaan laboraturium menunjukkan kadar
natrium yang tinggi dalam darah. Fungsi ginjal lainnya tampak normal.
4. Tes deprivasi air diperlukan untuk pasien dengan diabetes insipidus dengan defisiensi ADH parsial dan
juga untuk membedakan diabetes insipidus dengan polidipsia primer pada anak. Pemeriksaan harus
dilakukan pagi hari. Hitung berat badan anak dan periksa kadar osmolalitas plasma urin setiap 2 jam.
Pada keadaan normal, osmolalitas akan naik (<300) namun output urin akan berkurang dengan berat
jenis yang baik (800-1200).
5. Radioimunoassay untuk vasopressin
Kadar plasma yang selalu kurang drai 0,5 pg/mL menunjukkan diabetes insipidus neurogenik
berat. Kadar AVP yang subnormal pada hiperosmolalitas yang menyertai menunjukkan diabetes
insipidus neurogenik parsial. Pemeriksaan ini berguna dalam membedakan diabetes insipidus parsial
dengan polidipsia primer.
6. Rontgen cranium
Rontgen cranium dapat menunjukkan adanya bukti tumor intrakranium seperti kalsifikasi,
pembesaran slla tursunika, erosi prosesus klinoid, atau makin melebarnya sutura.
7. MRI
MRI diindikasikan pada pasien yang dicurigai menderita diabetes insipidus. Gambaran MRI
dengan T1 dapat membedakan kelenjar pitutaria anterior dan posterior dengan isyarat hiperintense atau
disebut titik terang atau isyarat terang.

G. Komplikasi Diabetes Insipidus


1. Hipertonik enselopati
2. Gagal tumbuh
3. Kejang terlalu cepat koreksi hipernatremia, sehingga edema serebral
4. Dehidrasi berat dapat terjadi apabila tidak tersedia air minum dalam jumlah besar

H. Penatalaksanaan Diabetes Insipidus


1. Terapi cairan parenteral
Untuk mencegah dehidrasi, penderita harus selalu minum cairan dalam jumlah yang cukup ketika
mereka merasa haus karena penyakit diabetes insipidus merupakan suatu kelainan dimana terdapat
kekurangan hormon antidiuretik yang menyebabkan rasa haus yang berlebihan dan pengeluaran
sejumlah besar air kemih yang sangat encer sehingga penderita bayi dan anak-anak harus sering diberi
minum.
2. Jika hanya kekurangan ADH, dapat diberikan obat Clorpropamide, clofibrate untuk merangsang sintesis
ADH di hipotalamus.
3. Jika berat diberikan ADH melalui semprotan hidung dan diberikan vasopressin atau desmopresin asetat
(dimodifikasi dari hormon antidiuretik). Pemberian beberapa kali sehari berguna untuk mempertahankan
pengeluaran air kemih yang normal. Terlalu banyak mengkonsumsi obat ini dapat menyebabkan
penimbunan cairan, pembengkakan dan gangguan lainnya.
4. Obat-obat tertentu dapat membantu, seperti diuretik tiazid (misalnya hidrochlorothiazid/HCT) dan obat-
obat anti peradangan non-steroid (misalnya indometacin atau tolmetin).
5. Pada DIS yang komplit, biasanya diperlukan terapi hormone pengganti (hormonal replacement) DDAVP
(1-desamino-8-d-arginine vasopressin) yang merupakan pilihan utama. Selain itu, bisa juga digunakan
terapi adjuvant yang mengatur keseimbangan air, seperti: Diuretik Tiazid, Klorpropamid, Klofibrat, dan
Karbamazepin.
I. Pathway

trauma kepala, tumor otak, infeksi sistem Penyakit ginjal, efek obat-obatan
syaraf pusat, kelainan konginental, (lithium), Hiperkalemia, mieloma
kelainan vaskuler, idiopatik, racun multipel, kekurangan protein, mutasi
kimia, sindrom wolfram gen pengkode reseptor ADH

Hipokalemia
Gangguan kelenjar
hipotalamus, Gangguan Gangguan
kelenjar ptuitari struktur/fungsi ginjal Resestensi terhadap otot
hidro-osmotik ADH di
duktus kolektikus
Pembuatan, penyimpanan, dan Ketidakmampuan
sekresi ADH (Vasopresin arginin) ginjal merespon ADH
Kehamilan
menurun (Vasopresin arginin)

Plasenta
menghasilkan
vasopressinal

Diabetes Insipidus
ADH terdegrdasi

Air tidak terarbsorbsi


Ekskresi cairan bebas
oleh ginjal secara
secara berlebihan
maksimal
Defisiensi
pengetahuan
Produksi urin
meningkat
Klien mengeluarkan Klien tidak tahu apa
urin secara terus yang terjadi
Poliuria menerus
Sering terbangun Resiko
Nocturia
Polidipsia ketika malam hari Hypernatremia

Rasa harus berlebihan Gangguan Gangguan pola tidur


ADH tdk
eliminasi urin
dilepaskan
Tubuh kompensasi
= minum air yang Menstimulus
osmoreseptor Konsentr.
cukup Kekurangan volume
Ion Na
cairan hipotalamus
Tubuh tidak
kompensasi = tidak
Dehidrasi hipertonik Osmolalitas plasma
ada pemasukan cairan
yang cukup
J.Asuhan Keperawatan diabetes insipidus

Kasus:
Ny. S 45 tahun masuk Rs.A dengan keluhan banyak kencing malam hari (nokturia), banyak minum 4-5
liter/hari. Keluarga mengatakan keluhan ini terjadi 2 tahun yang lalu tepatnya setelah NY.s mengalami
kecelakaan (tabrakan mobil) sewaktu terjadi tabrakan keluarga mengatakan kepalanya terbentur dan tidak
dibawa kerumah sakit karena saat itu kondisi pasien sadar dan tidak adanya luka, Ny.s hanya mengeluh
kepalanya pusing dan hanya diberi obat warung pusingnya hilang. 2 jam SMRS klien mengatakan badannya
lemas dan tak lama kemudian klien tidak sadarkan diri, tingkat kesadaran sopor. Di Rs dilakukan pemeriksaan
TTV: TD : 70/40 mmHg. HR : 120x/menit, suhu: 35,7 oC, RR: 24x/menit, akral
dingin, hasil CT-Scan : SOL pada hipofisis. Diagnose medis : diabetes insipidus.

Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
a. Identitas
 Nama: ny.s
 Umur: 40thn
 Suku: jawa
 Agama: islam
 Pendidikan: SMA
 Pekerjaan: IRT
 Alamat: JL. Imam binjol no.52
 No mr: 12041159

b. Kesadaran umum
Sopor
c. Tanda tanda vital
 Tekanan darah: 70/40 mmHg
 Frekuensi nadi : 120 x/menit
 Frekuensi napas : 24 x/menit
 Suhu : 35,7oC
d. Keluhan utama
banyak kencing malam hari (nokturia)
e. Riwayat penyakit sekarang
2 jam SMRS klien mengatakan badannya lemas dan tak lama kemudian klien tidak sadarkan diri
f. Riwayat penyakit sebelumnya
Dua tahun yang lalu NY.s mengalami kecelakaan (tabrakan mobil) sewaktu terjadi tabrakan keluarga
mengatakan kepalanya terbentur dan tidak dibawa kerumah sakit karena saat itu kondisi pasien sadar
dan tidak adanya luka, Ny.s hanya mengeluh kepalanya pusing dan hanya diberi obat warung
pusingnya hilang.
g. Pengkajian pola gordon
1. persepsi kesehatan-penatalaksanaan kesehatan
 Klien tidak mengatahui penyakit yang dideritanya
 Ketika merasa sakit kepala klien hanya meminum obat warung
2. pola nutrisi metabolik
 Nafsu makan klien menurun
 Berat badab klien menurun 20% dari berat badab ideal
 Klien mengatakan banyk minum 4-5 liter/hari
3. pola eliminasi
 Frekuensi kencing >6 kali dalam sehari
 Klien mengalami poliuria (sering kencing)
 Klien mengeluh sering kencing pada malam hari (nokturia)
4. pola aktivitas dan latihan
 Klien mengatakan badannya lemas
5. pola tidur dan istirahat
 Klien mengalami kencing terus menerus saat malam hari sehingga mengganggu pola
istirahat tidur
6.pola kognitif / perceptual
 Ketenggapan klien dalam menjawab pertanyaan cukup baik
7. pola presepsi diri/konsep diri
 Sakit klien berdampak pada tugas klien sebagai iburumah tangga
 Klien bersedia melakukan diet sehat demi kesembuhan penyakitnya
8.pola peran/hubungan
 Hubungan klien dengan keluarganyaselama sakit masih berjalan baik
9.pola seksualitas/reproduksi
 Sakit klien tidak berdampak pada seksualitas
10.pola koping/toleransi stres
 Saat stres klien mendekatkan diri kepada allah
 Keluarga selalu memberi dukungan ketika klien stres
11.pola nilai/kepercayaan
 Klien tetap melaksanakan keagamaan dengan tetap sembahyang
h. Pemeriksaan fisik
1. Pernafasan B1 (breath)
 Inspeksi : frekuensi napas 24x/menit,bentuk dada simetris, penggunaan otot bantu
pernapasan tidak tampak
 Palpasi : gerakan thoraks simetris
 Perkusi : sonor
 Auskultasi : suara nafas vesiuler
2. Kardiovaskuler B2 (blood)
 Inspeksi : (-) peningkatan JVP (-) tanda sianosis
 Palpasi : tidak ada nyeri tekan
 Perkusi : jantung pada batas kana di intercosta 6,atas intercosta 2, kiri intercosta 8,bawah
intercosta 4/5,
 Auskultasi : irama jantung normal, tidak ada bunyi jantung tambahan, TD : 70/40
mmHg
N : 120 x/menit
3. Persyarafan B3 (brain)
 Tingkat kesadaran sopor
 GCS : 6
 Mengeluh pusing
4. Perkemihan B4 (bladder)
 Adanya penurunan pembentukan hormon ADH jadi intensitas untuk berkemih semakin
banyak untuk tiap harinya
 Frekuensi BAK >6 kali/hari terutama pada malam hari (nokturia)
5. Pencernaan B5 (bowel)

 Pada penurunan pembentukan hormon ADH ini juga menyababkan Klien menjadi
dehidrasi jadi sistem pencernaan juga terganggu. Pada Px diare terjadinya peningkatan
bising usus dan peristaltik usus yang menyebabkan terganggunya absorbsi makanan
akibatnya gangguan metabolisme usus, sehingga menimbulkan gejala seperti rasa kram
perut, mual, muntah.
i. Pemeriksaan penunjang
 Hasil CT-Scan : SOL pada hipofisis

DATA FOKUS

Data subjektif Data objektif


- Klien mengeluh banyak kencing pada - Minum 4-5 liter/hari
malam hari - Tidak sadarkan diri
- Klien mengatakan banyak minum - Tingkat kesadaran spoor koma
sehari 4-5 liter/hari - TTV :
- Keluarga klien mengatakan klien - 1. TD : 70/40 mmHg
pernah mengalami kecelakaan mobil 2 - 2. HR : 120 x/menit
tahun yang lalu - 3. Suhu : 35,7oC
- Keluarga klien mengatakan pada saat - 4. RR : 24 x/menit
kecelakaan kepala klien terbentur, - 5. Akral dingin
kondisi klien sadar dan tidak ada luka - Hasil CT-Scan : SOL pada hipofisis
- Klien mengeluh kepalanya pusing - Klien tampak lemah
- Klien mengatakan 2 jam SMRS
B. ANALISA DATA

Data Fokus Etiologi Problem


Ds :
- Klien mengeluh Syok hipovolemik Dehidrasi berat (syok
kepalanya pusing hipovolemik)
- Klien mengatakan
lemas 2 jam SMRS
Do :
- TTV :
 TD : 70/40 mmHg
 HR : 120x/menit
 Suhu : 35,7oC
 RR : 24x/menit
- Akral dingin
- Hasil CT-Scan : SOL
pada hipofisis

Ds :
- Klien mengeluh Gangguan eliminasi urin Ketidakmampuan tubulus
banyak kecing pada ginjal mengkonsentrasi urin
malam hari karena tidak terdapat ADH
- Klien mengatakan
banyak minum 4-5
liter/hari
- Keluarga klien
mengatakan klien
pernah mengalami
kecelakaan 2 tahun
yang lalu
Do :
- TTV :
 TD : 70/40 mmHg
 HR : 120x/menit
 Suhu : 35,7oC
 RR : 24x/menit
 Akral dingin
- Hasil CT-Scan : SOL
pada hipofisis
-

Ds :
- Klien mengeluh Deficit volume cairan dan Pengeluaran urin berlebih
banyak kecing pada elektrolit
malam hari
- Klien mengatakan
banyak minum 4-5
liter/hari
Do :
- minum 4-5 liter/hari
- TTV :
 TD : 70/40 mmHg
 HR : 120x/menit
 Suhu : 35,7oC
 RR : 24x/menit
- Akral dingin
Ds :
- Klien megatakan lemas Intoleransi aktivitas kelemahan
2 jam SMRS
Do :
- TTV :
 TD : 70/40 mmHg
 HR : 120x/menit
 Suhu : 35,7oC
 RR : 24x/menit
 Akral dingin
 Klien tampak lemah

DIAGNOSA KEPERAWATAN

NO Diagnosa Keperawatan
1. Syok hipovolemik b.d kehilangan cairan secara aktif
2. Gangguan eliminasi urin b.d ketidakmampuan tubulus ginjal
mengkonsentrasi urin karena tidak terdapat ADH
3. Deficit volume cairan dan elektrolit b.d pengeluaran urin berlebih
4. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan
INTERVENSI KEPERAWATAN

NO Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi keperawatan


1. Syok hipovolemik b.d Setelah diberikan askep - Pantau tanda vital setiap
kehilangan cairan secara jam,pantau tingkat kesadaran
diharapkan status cairan - Tentukan penyebab
aktif
membaik.dengan kriteria hasil: kehilangan cairan secara
 Tanda-tanda vital dalam aktif
- Pantau masukan dan haluaran
batas normal (N: 120-60 urin setiap jam
x/mnt, S; 36-37,50 c, - Timbang berat badan pasien
RR : < 40 x/mnt ) pada waktu yang sama setiap
hari
 Turgor elastik , membran - Pantau masukan per oral
mukosa bibir basah, mata setiap hari hingga 2600
ml/hari
tidak cowong, UUB tidak - Pertahankan terapi intravena
cekung. untuk penggantian cairan
 Cairan tubuh pasien adekuat
2. Gangguan eliminasi urin Setelah diberikan askep
- monitor dan kaji karakteristik
b.d ketidakmampuan
diharapkan gangguan eliminasi
tubulus ginjal urine meliputi frekuensi,
mengkonsentrasi urin urin teratasi, dengan kriteria hasil:
konsistensi, bau, volume dan
karena tidak terdapat ADH  Karakteristik urine warna.
meliputi warna, berat
- Batasi pemberian cairan sesuai
jenis, jumlah, kebutuhan.
baunormal/not - Catat waktu terakhir klien
eliminasi urin.
compromised - Instruksikan klien/keluarga
 Tidak terjadi nocturia/ not untuk mencatat output urine
klien
compromised
 Pola eliminasi normal/ not
compromised
3. Deficit volume cairan dan setelah dilakukan tindakan - Kaji dan Pantau TTV dan
elektrolit b.d pengeluaran catat adanya jika ada
keperawatan diharapkan
urin berlebih
kebutuhan cairan pasien perubahan
terpenuhi.dengan kriteria - Berikan cairan sesuai
hasil:
kebutuhan.
- Catat intake dan output cairan.
 Mempertahankan urin - Monitor dan Timbang berat
output sesuai dengan
usia dan BB, BJ urin badan setiap hari.
normal - Monitor status hidrasi (suhu
 TTV dalam batas normal.
tubuh, kelembaban membran
 Tidak ada tanda-tanda
dehidrasi, elastisitas mukosa, warna kulit).
turgor kulit baik,
membrane mukosa
lembab, tidak ada rasa
haus yang berlebihan.

4. Intoleransi aktivitas b.d Setelah diberikan askep - Kaji respon emosi, sosial, dan
kelemahan diharapkan Mentoleransi aktivitas spiritual terhadap aktivitas

yang biasa dilakukan dengan - Evaluasi motivasi dan


keinginan pasien
kriteria hasil :
- Tentukan penyebab keletihan
 Peningkatan energi yang
(misalnya, karena perawatan,
kemampuan seseorang
nyeri, dan pengobatan)
untuk beraktivitas
- Pantau respon
 Peningkatan pengelolaan
kardiorespiratori terhadap
energi aktif untuk memulai
aktivitas (misalnya,
dan memelihara aktivitas
takikardia, distrimnia lain,
 Kemampuan untuk dispnea, diaforesis, pucat,
melakukan tugas-tugas tekanan hemodinamik, dan
fisik yang paling dasar dan frekuensi respirasi)
aktivitas perawatan pribadi - Pantau respon oksigen pasien
 Kemampuan untuk (misalnya, nadi, irama
melakukan aktivitas yang
dibutuhkan dan berfungsi jantung, dan frekuensi
dirumah atau komunitas respiarsi) terhadap aktivitas
perawatan diri.
- Ajarkan kepada klien dan
orang yang penting bagi klien
tentang teknik perawatan diri

- Ajarkan tentang pengaturan


aktivitas dan teknik
manajemen waktu
- Kolaborasikan dengan ahli
terapi okupasi, fisik dan/ atau
rekreasi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Diabetes insipidus merupakan kelainan pada lobus posterior hipofisis yang
disebabkan oleh defisiensi vasopressin yang merupakan hormone anti diuretic (ADH).
Kelainan ini ditandai oleh rasa haus yang sangat tinggi ( polidipsia ) dan pengeluaran
urin yang encer dengan jumlah yang besar. (Suzanne C, 2001). Diabetus insipidus
merupakan suatu penyakit langka yang jarang ditemukan. Menurut sebuah konsorsium
Europian Partner, menyatakan ini merupakan penyakit langka yang terdapat 1 : 2000
orang. Penyebab terjadinya Diabetes Insipidus antara lain : Defisiensi ADH ( diabetes
insipidus sentral) yang mungkin kongenital atau didapat, disebabkan oleh defek SSP,
trauma kepala, infeksi , tumor otak, atau idiopatik. Penurunan sensitivitas ginjal pada
ADH ( diabetes insipidus nefrogenik ) biasanya menyertai penyakit ginjal kronis , atau
supresi ADH sekunder akibat mengkonsumsi cairan berlebihan ( polidipsia).
Klasifikasi diabetes insipidus yaitu ada 4, DI sentral, DI nefrogenik, DI
dispogenik, DI gestasional. Adapun manifestasi klinis pada diabetes insipidus meliputi
polidipsia, poliuria, gangguan pola tidur akibat nokturia dan poliuria, anoreksia,
penurunan berat badan, dll. Pemeriksaan diagnostic untuk menegakkan diabetes
insipidus dapat menggunakan uji nikotin, uji vasopresin, laboraturium: darah, urinalis
fisis dan kimia, tes deprivasi air, MRI, dll. Penatalakasanaan secara kolaboratif yaitu
vasopressin sebagai obat pilihan untuk penderita diabetes insipidus dan penatalaksanaan
secara keperawatan dapat memantau status keseimbangan cairan dan elektrolit untuk
memonitor pasien yang beresiko terhadap dehidrasi. Asuhan Keperawatan terdiri dari
Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, dan intervensi.

1
B. Saran
Dengan adanya makalah ini mudah-mudahan kita mampu memahami dan
mengetahui asuhan keperawatan dan konsep/teori dari gangguan pada sistem Endokrin
mulai dari definisi, penyebaran penyakit, klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis, factor
resiko, pemeriksaan penunjang, penatalaksaandan komplikasi. Tentunya kita sebagai
seorang perawat harus mampu dan menguasai konsep/teori sebagai dasar untuk
melakukan asuhan keperawatan pada gangguan sistem Endokrin yang nantinya sebagai
bekal pada saat terjun langsung ke rumah sakit dan berhadap langsung dengan seorang
klien.

2
DAFTAR PUSTAKA

Abbas MW et al. 2016. Diabetes Insipidus: The Basic and Clinical Review . International
Journal of Research in Medical Sciences. Jan;4(1):5-11 : www.msjonline.org

Batticaca, Fransisca B.2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

Dr. Hasjim Effendi. 1981. Fisiologi Sistem Hormonal dan Reproduksi dan Patofisiologinya.
Bandung: Penerbit Alumni anggota IKAPI Bandung

Guyton, A. C. M. D. and Hall, J. E., 2007. Buku Ajar Patofisiologi Kedokteran.Jakarta :


EGC.

Kusuma, Felix. 2016.Diabetes Insipidus-Diagnosa Dan Terapi. Surabaya : CDK-246/ Vol.


43 no. 11 th. 2016

Mayer, dkk. 2012. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Penerbit EGC

National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse. 2008. Diabetes


Insipidus. NIH Publication No. 08–4620 September 2008 :
https://www.niddk.nih.gov/health-information/kidney-disease/diabetes-insipidus

Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta : MediAction.

Price Sylva and M. Wilsol Lorraine. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.

3
4

Anda mungkin juga menyukai