Anda di halaman 1dari 26

Dosen Pengampu : Sitti Masriwati,S.Kep.,Ns.,M.

Kes

“PENATALAKSANAAN HIV/AIDS DENGAN TERAPI ARV”


TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN HIV/AIDS

DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
AYU DEVAYANTI (P202102008)
ORPA PUSPITASARI (P202102009)
NOFIATRI ILYAS (P202102007)
ANGGI INTAN LESTARI (P202102006)

KELAS : TI KEPERAWATAN (NONREG)

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
MANDALA WALUYA KENDARI
T. 2021/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.tugas ini disusun untuk memenuhi
laporan praktik laboratorium mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS.. Hambatan yang kami hadapi
dalam penyusunan tugas ini adalah kurangnya waktu penyusunan karena banyaknya tugas pada
mata kuliah ini.

Selesainya tugas ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dari banyak pihak.Dalam
penyusunan tugas ini penulis juga memberikan kesempatan kepada pembaca, kiranya berkenan
memberikan kritikan dan saran yang bersifat membangun dengan maksud meningkatkan
pengetahuan penulis agar lebih baik dalam Menyusun tugas yang selanjutnya.

Kendari, 08 November 2021

Penyusun

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR..................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG.................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH............................................................... 1
C. TUJUAN PENULISAN................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................ 3

A. PENGERTIAN HIV/AIDS............................................................ 3
B. ETIOLOGI HIV/AIDS.....................................................................3
C. PATOFISIOLOGI HIV/AIDS..........................................................4
D. CARA PENULARAN HIV/AIDS...................................................5
E. MASA INKUBASI HIV/ AIDS.......................................................6
F. MANIFESTASI KLINIS HIV /AIDS............................................ 6
G. TERAPI ARV..................................................................................8
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 17

A. KESIMPULAN.............................................................................. 17
B. SARAN............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia
dan banyak negara di seluruh dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari
HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan krisis secara bersamaan, menyebabkan
krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi dan juga krisis
kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi.
Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respon dari masyarakat dan
memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi
HIV.
Paradigma baru yang menjadi tujuan Global adalah Zero AIDS – related
death. Hal ini dapat tercapai bila pasien datang di layanan HIV dan mendapat
terapi ARV secepatnya. Salah satu tujuan pembangunan Milenium (MDGs)
yaitu tujuan keenam adalah memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit
menular lain. Tujuan dari indikator ini adalah mengurangi infeksi HIV hingga
separuhnya, termasuk melakukan tindakan pengobatan ARV.
Penemuan obat antiretroviral (ARV) pada tahun 1996 mendorong
suatu revolusi dalam perawatan ODHA di negara maju. Meskipun belum
mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek
samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun secara dramatis terapi
ARV dapat mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi
oportunistik menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas
hidup ODHA, dan meningkatkan harapan masyarakat, sehingga pada saat ini
HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan
tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di masksud dengan HIV AIDS?
2. Apa yang menjadi etiologi penyakit HIV/AIDS?
3. Bagaimana Patofisiologi penyakit HIV/AIDS?
4. Bagaimana Cara Penularan penyakit HIV/AIDS?
5. Bagaimana Pencegahan Penyakit HIV/AIDS?

1
6. Bagaimana Proses Terapi AVR?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar mampu mengetahui apa yang di maksud dengan HIV/AIDS
2. Agar mampu mengetatahui apa yang menjadi etiologi penyakit
HIV/AIDS
3. Mengetahui bagaimana patofisiologi penyakit HIV/AIDS
4. Mengetahui cara penularan penyakit HIV/AIDS
5. Mengetahui proses pencegahan penyakit HIV/AIDS
6. Mengetahui Proses Terapi AVR

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HIV/AIDS
1. Pengertian HIV dan AIDS
HIV (human immunedeficiency virus) merupakan virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh rentan terhadap berbagai
penyakit . Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) dapat diartikan
sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya
kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV, khususnya menyerang
limfosit T serta menurunnya jumlah CD4 yang bertugas melawan infeksi.
AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. Sindrom muncul akibat
berkurangnya zat kekebalan tubuh (CD4) yang terjadi sekitar 5 – 10 tahun
setelah terinfeksi virus HIV telah menjadi AIDS dengan ditandai jumlah CD4
kurang dari 200 sel per µL darah sebagai kriteria ambang batas. Penderita
AIDS digolongkan menjadi 2 yaitu AIDS penderita yang belum menunjukan
gejala klinis tetapi telah terinfeksi virus HIV dan menunjukan gejala klinis.
2. Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu
HTL II, LAV, RAV. Yang nama ilmiahnya disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang berupa angent viral yang dikenal dengan
retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap
limfosit T.
Virus HIV pertama kali diisolasi oleh montagnier et all di Prancis
tahun 1983 dengan nama limphadnopathy associated virus (LAV), sedangkan
Gllo di Amerika Serikat mengisolasi virus HIV – 2, yang kemudian pada
tahun 1986 atas kesepakatan internasional diberi nama virus HIV. Virus HIV
digolongkan menjadi 2 tipe yaitu virus yang menyerang dan menghindari
mekanisme pertahanan tubuh dengan melakukan perlawanan dan
melumpuhkannya.
Jenis virus HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2, tetapi sebagian besar kasus di
seluruh dunia pada tahun 1992 disebabkan oleh virus HIV-1, meskipun
endemik virus HIV-2 jarang dijumpai di Amerika Serikat. Retrovirus
memiliki genom yang mengkode reverse transcriptase yang memungkinkan

3
DNA diterjemahkan RNA, maka virus dapat membuat salinan DNA dari
genomnya sendiri dalam sel pejamu.
3. Patofisiologi

Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala
tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3
– 6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk.
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala).
Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8 – 10 tahun. Tetapi
ada sekelompok orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, sekitar 2
tahun, dan ada pula yang lambat (non - progressor).
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakan gejala – gejala akibat infeksi opurtunistik seperti berat badan
menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare,
tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan akhirnya pasien menunjukan gejala
klinik yang makin berat, pasien masuk dalam tahap AIDS. Manifestasi dari
awal kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur
folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoit.
Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan
diperedaran darah tepi.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10
partikel setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan
seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi
kehancuran limfosit CD4 yang tinggi. Limfosit CD4 merupakan target utama
infeksi HIV. Virus HIV di dalam sel limfosit dapat berkembang atau
melakukan replikasi menggunakan enzim reserve transcriptase seperti
retrovirus yang lain dapat tetap hidup lama dalam sel dalam keadaan inaktif.
Virus HIV yang inaktif dalam sel tubuh pengidap HIV dianggap infeksius
karena setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama penderita hidup.

4
4. Cara Penularan
Cara penularan HIV sampai saat ini diketahui melalui hubungan
seksual (homoseksual maupun heteroseksual) serta secara non seksual
seperti melalui kontak dengan darah/produk darah, parenteral dan
transplasenta. Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang Sel
limposit T sebagai sasarannya. Vehikulum yang dapat membawa virus HIV
keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain melalui berbagai cairan
tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan
vagina atau servik dan darah penderita. Cara penularan yang diketahui
melalui:
a. Transmisi seksual
Penularan HIV melalui hubungan seksual baik
heteroseksual maupun homoseksual merupakan penularan yang
sering terjadi.
1. Transmisi virus HIV pada homoseksual
Cara hubungan seksual anogenital merupakan perilaku seksual
dengan risiko tinggi bagi penularan HIV. Khususnya bagi mitra seks
yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV.
Hal ini disebabkan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah
mengalami perlukaan pada saat berhubungan seksual secara
anogenital. Di Amerika Serikat lebih dari 50 % pria homoseksual di
daerah urban tertular HIV melalui hubungan seks anogenital tanpa
pelindung.

2. Transmisi virus HIV pada heteroseksual


Penularan heteroseksual dapat terjadi dari laki – laki ke
perempuan atau sebaliknya. Di Negara Afrika penderita HIV/AIDS
mendapat infeksi melalui hubungan heteroseksual tanpa kondom.
Transmisi dari laki – laki pengidap HIV/AIDS ke perempuan
pasangannya lebih sering terjadi dibandingkan dengan perempuan
pengidap HIV ke pria pasangannya.[22],[23]
b. Transmisi non seksual
1. Transmisi Parenteral
Transmisi ini terjadi akibat

5
penggunaan jarum suntik dan alat tusuk
lainnya (alat tindik) yang tidak steril atau
telah terkontaminasi seperti pada
penyalagunaan narkotika suntik yang
menggunakan jarum suntik secara bersama
– sama. Risiko tertular transmisi secara
parenteral kurang dari 1 % dapat terjadi
pada penggunaan jarum suntik yang
terkontaminasi kontak dengan kulit yang
lecet, sekret atau bahan yang terinfeksi.
2. Transmisi Transplasenta
Penularan dari ibu yang mengidap HIV positif kepada janin yang
dikandungnya. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan
waktu menyusui.
3. Transmisi melalui darah atau produk darah
4. Transplantasi organ dan jaringan tubuh yang terinfeksi HIV
Transplantasi organ potensial meningkatkan HIV/AIDS yang telah
dicangkokan pada orang yang sehat, maka virus HIV akan menyebar
keseluruh tubuh.
5. Masa Inkubasi
Masa inkubasi penyakit ini bervariasi, waktu dari penularan hingga
berkembang atau terdeteksinya antibodi biasanya satu sampai tiga bulan.
Penularan virus HIV hingga terdiagnosa sebagai AIDS sekitar kurang lebih
satu tahun hingga 15 tahun atau bahkan lebih. Median masa inkubasi pada
anak-anak yang terinfeksi lebih pendek dari orang dewasa.
Masa inkubasi pada orang dewasa berkisar tiga bulan sampai
terbentuknya antibodi anti HIV. Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat
maupun bertahun – tahun tergantung tingkat kerentanan individu terhadap
penyakit, fungsi imun dan infeksi lain. Khusus pada bayi dibawah umur satu
tahun, diketahui bahwa viremia sudah dapat dideteksi pada bulan – bulan awal
kehidupan dan tetap terdeteksi hingga usia satu tahun. Manifestasi klinis
infeksi oppurtunistik sudah dapat dilihat ketika usia dua bulan.
6. Manifestasi Klinis HIV/ AIDS
Menurut kriteria WHO klasifikasi gejala klinis HIV/AIDS untuk

6
penderita dewasa dibagi menjadi 2 yaitu gejala mayor dan minor.
a. Gejala Mayor
Gejala awal yang ditemukan adalah demam, keluhan nyeri sendi,
pembesaran kelenjar getah bening dan gejala hampir sama dengan
influensa atau mononukleus. Stadium tanpa gejala pada orang yang
terinfeksi HIV penderita terlihat sehat namun sebagai sumber penularan.
b. Gejala Minor (Stadium AIDS)
Di saat infeksi HIV menjadi AIDS (bervariasi 1-5 tahun dari pertama
penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi Opurtunistik, yang
paling umum adalah Pneumocytis Carini (PCC), Pneumonia Interstisial
yang disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk meningitis,
kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial dan atipilkal.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Prosedur laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang
berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut
dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan
pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensifitas yang tinggi (99%),
sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan
spesifitas tinggi (≥ 99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga
3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV
yang dilakukan dalam masa jendela menunjukan hasil “negatif”maka perlu
dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang beresiko.
8. Pencegahan HIV/AIDS
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau obat yang efektif untuk
mencegah atau menyembuhkan AIDS/Infeksi HIV, sehingga untuk
menghindari terinfeksi HIV dan menekan penyebarannya cara yang utama
adalah perubahan perilaku.
Cara pencegahan penularan HIV yang paling efektif adalah dengan
memutus rantai penularan. Penularan dikaitkan dengan cara – cara penularan
HIV.

a. Pencegahan penularan melalui hubungan

7
seksual
b. Pencegahan penularan melalui darah

1. Tranfusi darah

2. Alat suntik dan alat lain yang dapat melukai


kulit

3. Pencegahan penularan dari ibu ke anak


Saat ini Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar,
yang semuanya menuju pada paradigma Zero new infection, Zero AIDS-
related death dan Zero Discrimination. Empat pilar tersebut adalah
Pencegahan (prevention); yang meliputi pencegahan penularan HIV melalui
transmisi seksual dan alatsuntik, pencegahan di lembaga pemasyarakatan
dan rumah tahanan, pencegahan HIV dari ibu ke bayi (Prevention Mother
to Child Transmission, PMTCT), pencegahan di kalangan pelanggan penjaja
seks, dan lain-lain.

1. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); yang meliputi penguatan


dan pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan
infeksi oportunistik, pengobatan antiretroviral dan dukungan serta
pendidikan dan pelatihan bagi ODHA. Program PDP terutama ditujukan
untuk menurunkan angka kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang
berhubungan dengan AIDS, dan meningkatkan kualitas hidup orang
terinfeksi HIV (berbagai stadium). Pencapaian tujuan tersebut dapat
dilakukan antara lain dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV).
2. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio-ekonomi.
3. Penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment)
yang meliputi program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah
dengan penguatan kelembagaan dan manajemen, manajemen program
serta penyelarasan kebijakan dan lain-lain.
B. Terapi AVR
1. Definisi ARV
Antiretroviral (ARV) adalah obat yang
menghambat replikasi Human Immnodeficiency
Virus (HIV). Terapi dengan ARV adalah strategi
yang secara klinis paling berhasil hingga saat ini.

8
2. Penggolongan ARV
a. Ada tiga golongan utama ARV, yaitu :
Penghambat masuknya virus yaitu bekerja
dengan cara berikatan dengan subunit GP41
selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus
ke target sel dihambat. Satu – satunya obat
penghambat fusi ini adalah enfuvirtid.
b. Penghambat reverse trancriptase Inhibitor (RTI),
terdiri dari 3 bagian , yaitu :

1. Analog nukleosida (NRTI), NRTI diubah secara intraseluler dalam 3


tahap penambahan atau 3 gugus fosfat dan selanjutnya berkompetisi
dengan natural nukleotida menghambat RT sehingga perubahan RNA
menjadi DNA terhambat. Selain itu, NRTI juga menghentikan
pemanjangan DNA.
2. Analog nukleotida (NtRTI), mekanisme kerjanya pada penghambatan
replikasi HIV sama dengan NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan
proses fosforilasi.
3. Non nukleosida (NNRTI), mekanisme kerjanya tidak melalui tahapan
fosforilasi intraseluler tetapi berikatan langsung dengan reseptor pada
RT dan tidak berkompetisi dengan nukleotida natural. Aktivitas
antiviral terhadap HIV – 2 tidak kuat.[12]
c. Protease inhibitor (PI), berikatan secara
reversible dengan enzim protease yang
mengkatalisa pembentukan protein yang
dibutuhkan untuk proses akhir pematangan virus.
Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan
tidak mampu menginfeksi sel lain.
3. Tujuan Terapi AVR
Adapun tujuan dari terapi ARV sebagai berikut :

a. Mengurangi laju penularan HIV dimasyarakat

b. Memulihkan dan/atau memelihara fungsi imunologis


(stabilisasi/peningkatan sel CD4)
c. Menurunkan komplikasi akibat HIV

9
d. Menekan replikasi virus secara maksimal dan
secara terus – menerus

e. Menurunkan angka kesakitan dan kematian


yang berhubungan dengan HIV
4. Manfaat Terapi AVR

Manfaat terapi antiretroviral adalah sebagai


berikut :

a. Menurunkan morbiditas dan mortalitas

b. Pasien yang ARV tetap produktif

c. Memulihkan sistem kekebalan tubuh sehingga kebutuhan profilaksis


infeksi oportunistik berkurang atau tidak perlu lagi.

d. Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak


terdeteksi, namun ODHA dengan viral load tidak terdeteksi, namun harus
dipandang tetap menular.

e. Mengurangi biaya rawat inap dan terjadinya


yatim piatu
f. Mendorong ODHA untuk meminta tes HIV atau mengungkapkan status
HIV – nya secara sukarela.
5. Dosis AVR
Tidak semua obat ARV yang ada beredar di Indonesia. Adapun beberapa obat
ARV yang beredar di Indonesia :

Tabel 2.1 Obat ARV yang Beredar Di


Indonesia (Nama Dagang, Golongan, Sediaan, dan
Dosis per hari)

Nama
Nama Sediaan Dosis
Dagang
Generik
Duviral Tablet, 2
kandungan: x
zidovudin 1
300 mg,
lamivudin t

10
150 mg a
b
l
e
t

K
Stavir S >60 kg :
a
Zerit t 2x40mg
p
a
s <60
v
u kg:2x30mg
i
l
u
d
:
i
n
3
0
m
g
.

4
0

m
g

Lamivud
Heviral3T T
2 x 150 mg
C in (3TC) a
<50 kg :2/kg,
b
2x/hari
l
e
t

11
1
5
0

m
g
Lar.oral
10mg/ml
Vira Nevirap K 1x200 mg
mune in a selama 14
Nevir (NVP) p hari
al s Dilanjutkan
Zidovud u 2x200 mg
in l
(ZDV,
AZT) 1
Didanos 0
in (ddl) 0
m
g

T
a
b
l
e
t

Retrovir Zidovudin NsRTI


kunyah 1x300 mg,
Adovi AZT) : atau 2x250
Videx 1 (dosis

0 alternatif)

12
Didanosin >60 kg : 2 x
m 200 mg, atau
g 1 x 400 mg
<60 kg : 2 x
125 mg Atau
1 x 250 mg
Stocrin, Efavirens K 1x600 mg,
(EFV,EFZ) a malam
p
s
u
l

2
5
0

m
g

Nelfinafir
nelvex T 2x250mg
(NFV)

C. Kepatuhan Terapi AVR

Kepatuhan berobat berarti patuh mengikuti petunjuk penggunaan


medikasi, dan lebih dari itu mengadopsi perilaku terupetik dan
mempertahankannya. Kepatuhan dan komitmen terhadap terapi sangat
diperlukan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan kenyamanan dan toleransi
terhadap terapi. Hal ini penting karena diharapkan akan lebih meningkatkan
tingkat kepatuhan minum obat. Kepatuhan atau adhrennce harus selalu
dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi
ARV sering diakibatkan oleh ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi AVR.
Peningkatan kepatuhan berobat akan memberi dampak besar bagi
kesehatan dari pada terapi medik lainnya. Laporan WHO mengatakan akan

13
mudah dan murah melakukan intervensi kepatuhan berobat secara konsisten
dan hasilnya sangat efektif. Dalam terapi antiretroviral (ARV), kepatuhan
berobat merupakan kunci sukses terapi.
Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat
kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukan bahwa
untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal setidaknya 90 - 95 % dari
semua dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika
pasien sering lupa minum obat.
Sebelum mulai terapi, pasien harus memahami program terapi ARV
beserta konsekuensinya. Harus dibuat rencana pengobatan secara rinci
bersama pasien untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pasien untuk
berobat secara teratur dan terus – menerus. Penjelasan rinci tentang
pentingnya kepatuhan minum obat dan akibat dari kelalaian perlu dilakukan.
Banyak penelitian menunjukan bahwa dengan kelupaan hanya satu atau
dua dosis saja per minggu, menimbulkan dampak yang besar terhadap
keberhasilan pengobatan ARV.

Tabel 2.2. Presentase tingkat kepatuhan dengan


viral load tidak terdeteksi

V
T
i
i
r
n
a
g
l
k
a
L
t
o
a
K
d
e
p
T
a
i
t
d
u

14
a
h
k
a
n
T
e
r
d
e
t
e
k
s
i
Di atas 95 % 81 %
90 – 95 % 64 %
80 – 90 % 50 %
70 – 80 % 25 %
Di bawah 70 % 6%

Hasil penelitian yang ditujukan pada tabel 2.2


menunjukan bahwa walau dengan 95 %
kepatuhan, hanya 81 % orang mencapai
viral load yang tidak terdeteksi. Kepatuhan 95
% ini berarti pasien hanya lupa atau terlambat
memakai tiga dosis per bulan dengan jadwal dua
kali sehari.

D. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan ARV


Adapun faktor – faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan, antara lain :
1. Umur
Umur sebagai salah satu sifat karakteristik tentang orang yang cukup
penting karena cukup banyak penyakit yang ditemukan dengan berbagai
variasi frekuensi yang disebabkan oleh umur.
Berdasarkan laporan data statistik bahwa umur yang paling banyak
menggunakan ARV adalah golongan umur 20 – 29 tahun. Selain itu, umur

15
tersebut juga memiliki angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pada
dasarnya umur tersebut disebut dengan dewasa muda lebih sukar
mematuhi regimen pengobatan dari pada dewasa tua.
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu variabel deskriptif yang dapat
memberikan perbedaan angka/rate kejadian pada pria dan wanita.
Perbedaan insiden penyakit menurut jenis kelamin dapat timbul karena
bentuk anatomis, fisiologis dan sistem hormonal.
Data statistik sampai dengan Juli 2013 menunjukan bahwa di Propinsi
Papua perempuan lebih banyak menerima ARV (50,17 %) dibandingkan
dengan laki – laki (47,50%).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Wilayah Pegunungan Papua
bahwa perempuan yang menjalani pengobatan ARV menjaga rahasia
mengenai aturan obat mereka dengan cara yang cukup khusus. Pada laki –
laki kurang mendapat akses ke ARV dibanding perempuan, hal ini
menunjukan bahwa laki –laki sangat kuatir tentang potensi hilangnya
status sosial yang muncul lewat pengungkapan status.

3. Pekerjaan
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten
Mimika Propinsi Papua bahwa pekerjaan ada
hubungan dengan kepatuhan minum ARV, dan
dari faktor – faktor yang diteliti, pekerjaan
memiliki hubungan yang sangat bermakna yaitu
pasien HIV yang tidak bekerja mempunyai risiko
untuk tidak patuh minum obat ARV 0,08 kali
lebih rendah dibandingkan pasien HIV yang
bekerja.
4. Sikap Apatis Pasien
Adalah salah satu sikap apatis pasien yang
tidak mau menerima kenyataan bahwa dirinya
menderita suatu penyakit serta pemikiran, bahwa
penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan,
menyebabkan sikap apatis pasien tidak mengikuti

16
petunjuk pengobatan.
Sikap apatis pasien atau self-efficacy
merupakan hal yang paling penting sebagai
prediktor kepatuhan. Hal ini dibuktikan dengan
penelitian yang dilakukan di Brasil bahwa sikap
apatis pasien berpengaruh terhadap kepatuhan
terapi ARV (OR = 3.33, 95% CI 1.69-6.56)
artinya bahwa self efficacy kurang memiliki
risiko 3,33 kali untuk tidak patuh.
5. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
(overt behavior). Berdasarkan pengalaman dan
penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh
pengetahuan akan lebih langgeng dari pada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Penelitian yang dilakukan oleh Martoni
diperoleh hasil bahwa varibel pengetahuan
merupakan faktor paling dominan dengan nilai
(Wald = 6,833 ; OR = 9,003; Cl 95% = 1,733 -
46,770) artinya bahwa ODHA yang memiliki
pengetahuan rendah memiliki risiko 9.003 kali
untuk tidak patuh minum ARV.
6. Efek Samping ARV
Beberapa obat mempunyai efek samping
dimana pada beberapa penderita dapat
memberikan gejala yang berarti. Efek samping
yang timbul pada penggunaan obat antiretroviral
(ARV) dapat berupa gejala simtomatik yang
dapat dihilangkan dengan pemberian obat –
obatan sampai pada gejala toksitas yang
menyebabkan penggunaan obat harus dihentikan.
Efek samping yang timbul ini dapat menurunkan
kepatuhan penggunaan obat. Penelitian yang

17
dilakukan di Vietnam diperoleh hasil bahwa
pengalaman atau riwayat efek samping obat
berpengaruh terhadap kepatuhan terapi ARV (p
<0,001) dengan nilai OR = 1,03(1,01–1,04).
7. Akses Memperoleh ARV
Obat ARV untuk dewasa dan anak masih
terbatas di Ibukota Propinsi saja, melihat
lemahnya sistem penyaluran obat ARV, sehingga
akses dan distribusi obat masih sering
bermasalah. Hal ini berdampak sering terjadi
kepanikan dari ODHA akan terjadinya putus
obat. Di sisi lain, melihat obat ARV sebagian
besar masih tersedia di tingkat Ibukota Propinsi,
hal ini sangat menyulitkan ODHA yang
bertempat tinggal di Kabupaten.
8. Lama Terapi
Lamanya penyakit tampaknya memberikan
efek negatif terhadap kepatuhan pasien makin
lama pasien mengidap penyakit, makin kecil
pasien tersebut patuh pada pengobatannya.[
Penelitian yang dilakukan di Kota Semarang
bahwa ada pengaruh lama pengobatan ARV
terhadap kepatuhan terapi ARV (nilai p = 0,007),
di mana pasien merasa jenuh dengan lamanya
pengobatan.
9. Sikap Tenaga Kesehatan
Empati dari petugas pelayanan kesehatan
memberikan kepuasan yang signifikan pada
pasien. Petugas harus memberikan waktu yang
cukup untuk memberikan pelayanan kepada
setiap pasien. Di lain sisi, hasil penelitian
kualitatif menunjukkan keengganan ODHA
untuk mengambil obat ARV terkait dengan
kemampuan berkomunikasi dengan petugas

18
kesehatan dan keramahan petugas di layanan
VCT.
10. Kesukuan Tenaga Kesehatan
Orang-orang pribumi amat membutuhkan tes
HIV, konseling dan pengobatan dibanding orang-
orang pendatang yang hidup di wilayah
pegunungan karena pengidap HIV lebih banyak
orang pribumi dibanding orang pendatang.
Namun, menurut banyak responden, orang-orang
pribumi cenderung lebih menyukai layanan
kesehatan yang diberikan oleh para pekerja
kesehatan yang berasal dari orang pribumi
dibanding layanan kesehatan dari pekerja
kesehatan yang berasal dari petugas kesehatan
pendatang.
11. Dukungan Keluarga
Salah satu cara untuk membantu pengelolaan
masalah yang membuat perasaan tertekan/stres
agar tidak membawa pengaruh negatif terhadap
kesehatan adalah adanya dukungan sosial.
Penelitian yang dilakukan oleh Mahardining
(2010) mengatakan bahwa ada hubungan
dukungan sosial dengan kepatuhan terapi ARV
dimana, dukungan dari anggota keluarga dan
teman terdekat merupakan salah satu dukungan
yang sangat diperlukan terhadap pelaksanaan
terapi ARV dan berpengaruh besar bagi
ODHA untuk memacu semangat hidupnya.
12. Pendekatan Keagamaan
Rakyat Indonesia adalah masyarakat yang
agamis, sehingga peran organisasi – organisasi
keagamaan sangat penting dalam upaya
memberdayakan masyarakat untuk melakukan
pencegahan. Penelitian yang dilakukan oleh

19
Rachmawati tentang kualitas hidup orang
dengan HIV/AIDS yang mengikuti terapi
antiretroviral (ARV) dikatakan bahwa kualitas
hidup ODHA secara spiritual adalah rendah
karena pada hasil penelitian menunjukan ODHA
kurang mengembangkan hubungan spiritualnya
dan kurang mendapatkan dukungan dari anggota
sesama iman artinya ODHA yang mengikuti
terapi ARV apabila mendapat dukungan dari
sesama iman (agama) dan dapat menjalin
hubungan baik secara spiritual dapat membantu
ODHA untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
13. Pengobatan alternatif
Penelitian tentang Traditional
Complementary and Alternative Medicine
(TCAM) and Antiretroviral Treatment Adherence
Among HIV Patients in Kwazulu- Natal, South
Africa bahwa pengobatan alternatif yang
digunakan antara lain akupunktur, akupresur,
perawatan chiropractic, terapi pijat,meditasi,
visualisasi, terapi sentuhan dan mikronutrien
(vitamin, mineral, dan multivitamin). Dalam
studi tersebut, Malangu (2007) ditemukan
diantara pasien terinfeksi HIV yang memakai
ART (n = 180) di Pretoria, Afrika Selatan 3,3%
pengobatan alternatif . Ada data yang
menunjukkan bahwa TCAM berdampak pada
kepatuhan ARV, meskipun ditemukan ada data
pada variabel sedikit tidak konsisten di seluruh
studi. Littlewood dan Vanable (2008) terakhir
penggunaan TCAM dan kepatuhan ART antara
ODHA dan hanya dua dari tujuh studi yang
diidentifikasi telah menemukan hubungan antara
penggunaan TCAM dan ketidakpatuhan ART.

20
Dari penelitian tersebut juga bahwa alasan utama
mengapa mereka menggunakan menggunakan
pengobatan alternatif karena ingin menghindari
efek samping (7,6%), merasa sakit atau sakit
(7,4%) dan merasa baik (6,4%).
14. Pengobatan Herbal
Penelitian untuk mengembangkan
efektivitas obat ARV dari bahan tumbuhan
sudah dilakukan di seluruh dunia. Di Amerika
Serikat diperkirakan 15 – 20 % masyarakat
menggunakan herbal selain resep dokter.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
HIV (human immunedeficiency virus)
merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh sehingga tubuh rentan terhadap berbagai
penyakit. AIDS disebabkan oleh virus yang
mempunyai beberapa nama yaitu HTL II, LAV,
RAV. Yang nama ilmiahnya disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang berupa angent
viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan
oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap
limfosit T. Dalam tubuh ODHA, partikel virus
bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu
kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan
tetap terinfeksi. Infeksi HIV tidak akan langsung
memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat
replikasi Human Immnodeficiency Virus (HIV). Terapi

21
dengan ARV adalah strategi yang secara klinis paling
berhasil hingga saat ini.
B. Saran
Masa depan bangsa ini harus segera
diselamatkan caranya adalah dengan mendidik dan
membimbing generasi muda secara intensif agar
mereka mampu menjadi motor penggerak kemajuan
dan mendorong perubahan kearah yang lebih
dinamis, progesif dan produktif. Dengan demikian
diharapkan kedepannya bangsa ini mampu bersaing
dengan negara lainya . Agar mencapai impian
tersebut remaja Indonesia harus tumbuh secara
positif dan kontruktif, serta sebisa mungkin
dijauhkan dari telibat kenakalan remaja. Inialah
tantangan riil yang kita hadapi sebagai guru dan
orang tua. Sudah sedemikian lama fenomena
maraknya kenakalan remaja ini dibiarkan begitu
saja, seolah hanya di tangani dengan asal-asalan.
Pemerintahan sebagai pemengang utama kebijakan
juga dapat menjalankan perannya, yaitu membuat
undang undang pendidikan, undang undang
teknologi komunikasi (yang mengatur tayangan
yang layak di akses di internet, televisi, dan media
massa), serta membangun aparat kepolisian yang
kuat. Dengan permasalahan remaja yang terkena
HIV DAN AIDS dikalangan masyarakat diakibatkan
pergaulan bebas remaja yang tidak terpantau,
dengan sebab itupenulis berharap ada pengawasan
dari orang yang bertanggung jawab.

DAFTAR PIUSTAKA

Djoerban, Z., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Cetakan Ke

22
II. HIV/AIDS Di Indonesia. 2006, Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UI.

UNICEF, Multiple Indicator Cluster Survey Kabupaten


Terpilih di Papua dan Papua Barat, in Temuan Kunci
Awal. 2012, Badan Pusat Statistik: Propinsi Papua &
Papua Barat.

Kemenkes, R.I. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia No.21 Tahun 2013 Tentang
Penanggulangan HIV/AIDS. 2013.

UNAIDS, World AIDS Day Report, Geneva ; . 2012,


Geneva: UNAIDS.

WHO, Global Up Date On HIV Treatment, in Result, Impact


and Opputunities 2013, WHO Report in Partnership
With Unicef and UNAIDS.

Kemekes, R., Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia


Dilapor s/d September 2014. 2014, Ditjen PP & PL
Kemenkes RI: Jakarta.

Dinkes, Laporan Komulatif Kasus HIV/AIDS, Dinkes,


Editor. 2012, Dinas Kesehatan Propinsi Papua:
Papua.

VCT, Data Kunjungan Pasien HIV/AIDS yang sedang terapi


antiretroviral (ARV). 2013, VCT RSUD Abepura:
Kota Jayapura.

AUSAID, Buku Pegangan Konselor HIV/AIDS. 2003,


Jakarta: Macfarlane Burnet Institute for Medical
Research and Public Health Limited

23

Anda mungkin juga menyukai