Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH KELOMPOK 1

“ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN AIDS


DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMENUHAN
KEBUTUHAN DASAR MANUSIA”
Dosen Pembimbing : Ari Damayanti W, S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun Oleh :
Ella Lutifiana (1709.14201.555)
Hamelda Yanti Jaga (1709.14201.565)
Majiyatul Hana (1709.14201.572)
Mersiana Malo (1709.14201.576)
Olivio Goncalves (1709.14201.582)
Ringan Aprianus (1709.14201.585)
Shella Ayu Wandira (1709.14201.587)
Shinta Choiriyah (1709.14201.588)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


STIKES WIDYAGAMA HUSADA MALANG
2019

i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan Anak dengan AIDS dan
Dampak dalam Pemenuhan KDM”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada ibu Ari Damayanti
W, S.Kep., Ners., M.Kep yang telah membimbing dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Asuhan Keperawatan
Anak dengan AIDS dan Dampak dalam Pemenuhan KDM ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Malang, 11 November 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………... i


KATA PENGANTAR ……………………………………………………… ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………...……… iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG ………………………………………..………… 1
1.2 TUJUAN …………………………………………………...…………… 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI HIV/AIDS ..…………………………………………………. 3
2.2 STRUKTUR HIV/AIDS ……………...………………………………… 3
2.3 PERJALANAN INFEKSI .……………………………………………… 5
2.4 ETIOLOGI HIV/AIDS ……………….…...……………………………. 8
2.5 MANIFESTASI KLINIS HIV/AIDS ………………………………...…. 9
2.6 DIAGNOSIS HIV/AIDS ………...……………………………………… 11
2.7 KOMPLIKASI HIV/AIDS ..……………………………………………. 13
2.8 PATOFISIOLOGI HIV/AIDS .…………………………………………. 15
2.9 PATHWAY HIV/AIDS ……………………...…………………………. 17
2.10 PERUBAHAN POLA FUNGSI KESEHATAN ……………………… 18
2.11 PEMERIKSAAN PENUNJANG HIV/AIDS …………………………. 20
2.12 PENATALAKSANAAN HIV/AIDS …………………………………. 21
2.13 ASUHAN KEPERAWATAN HIV/AIDS …………………………….. 23
BAB III PEMBAHASAN
3.1 PEMBERIAN ARV …………..………………………………………… 34
3.2 PENANGANAN STIGMA……………………………………………… 40
BAB IV PENUTUP
4.1 KESIMPULAN …………………………………………………………. 45
4.2 SARAN …………………………………………………………………. 45
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 46
LAMPIRAN JURNAL …………………………………………………… 47

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kasus HIV/AIDS pertama di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Menurut
UNAIDS, salah satu bagian dari WHO yang mengurus tentang AIDS
menyebutkan bahwa perkiraan jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS di
seluruh dunia sampai dengan akhir tahun 2010 mencapai 34 juta. Dilihat dari
tahun 1997 hingga tahun 2011 jumlah penderita HIV/AIDS mengalami
peningkatan hingga 21%. Pada tahun 2011, UNAIDS memperkirakan jumlah
penderita baru yang terinfeksi HIV/AIDS sebanyak 2,5 juta. Jumlah orang yang
meninggal karena alasan yang terkait AIDS pada tahun 2010 mencapai 1,8 juta,
menurun dibandingkan pada pertengahan tahun 2000 yang mencapai puncaknya
yaitu sebanyak 2,2 juta.
Di Indonesia, jumlah penderita HIV/AIDS terus meningkat dari tahun ke
tahun tetapi jumlah kasus baru yang terinfeksi HIV/AIDS relatif stabil bahkan
cenderung menurun. Menurut Laporan HIV-AIDS Triwulan II Tahun 2012,
didapatkan jumlah kasus baru HIV pada triwulan kedua (April-Juni 2012)
sebanyak 3.892 kasus dan jumlah kasus kumulatif HIV pada Januari 1987- Juni
2012 sebanyak 86.762 kasus. Sedangkan kasus baru AIDS pada triwulan kedua
(April-Juni 2012) sebanyak 1.673 kasus dan jumlah kasus kumulatif AIDS pada
Januari 1987- Juni 2012 sebanyak 32.103 kasus.
Presentase angka kejadian HIV AIDS meningkat setiap tahunnya,
Kemenkes membuat data jumlah infeksi HIV yang dilaporkan menurut tahun
sampai dengan maret 2017 sejumlah 242.699 yang mana dibagi dalam kelompok
umur. Untuk kelompok usia kurang dari 4 tahun sejumlah 5.866 sejak tahun 2010
sampai dengan 2017 , sedangkan untuk kelompok usia 5-14 tahun sejumlah 2,698
sejak tahun 2010 sampai dengan 2017. Dari jumlah tersebut menghasilkan
presentase yang berbeda-beda, untuk tahun 2017 jumlah presentasenya yaitu 1,9%
dengan kelompok usia kurang dari 4 tahun, sedangkan jumlah presentase 0,9 %
dengan kelompok usia 5 sampai 14 tahun.

1
Jumlah kematian AIDS dari tahun 1987-2017 pada kelompok usia kurag
dari 1 tahun yaitu 88, kelompok usia 1-4 tahun yaitu 292, kelompok usia 5-14
yaitu 162. Jumlah kematian AIDS di Indonesia pada Triwulan 4 tahun 2016
mengalami perubahan dikarenakan ada proses perubahan data bersama Provinsi
pada bulan Juli 2016, dimana data diatas tidak termasuk data kematian AIDS di
Provinsi Sumatra Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Selatan dan Papua Barat yang
tidak bisa dikategorikan berdasarkan kelompok umur.
1.2. Tujuan
a. Umum
Untuk mampu dan memahami asuhan keperawatan HIV/AIDS dan
dampak terhadap pemenuhan KDM
b. Khusus
1) Untuk mengetahui definisi HIV/AIDS
2) Untuk mengetahui struktur HIV/AIDS
3) Untuk mengetahui perjalanan infeksi HIV/AIDS
4) Untuk mengetahui etiologi HIV/AIDS
5) Untuk mengetahui manifestasi klinis HIV/AIDS
6) Untuk mengetahui diagnosa HIV/AIDS
7) Untuk mengetahui komplikasi HIV/AIDS
8) Untuk mengetahui patofisiologi HIV/AIDS
9) Untuk mengetahui pathway HIV/AIDS
10) Untuk mengetahui perubahan pola fungsi kesehatan
11) Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang HIV/AIDS
12) Untuk mengetahui penatalaksanaan HIV/AIDS
13) Untuk mengetahui asuhan keperawatan HIV/AIDS

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi HIV/AIDS
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang

2
disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer,
2000:162)
AIDS adalah Runtuhnya benteng pertahanan tubuh yaitu system kekebalan
alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, yaitu dengan hancurnya
sel limfosit T (sel-T). (Tambayong, J:2000)
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas
seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara
keseluruhan dimana kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan
keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler akibat kehilangan
kekebalan yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri,
jamur, parasit dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. ( FKUI, 1993 : 354)
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan
gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang
disebabkan oleh retrovirus (HIV) yang dapat mempermudah terkena berbagai
infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus.
2.2. Struktur HIV/AIDS
HIV adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili
Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV termasuk virus RNA
dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Jenis virus RNA dalam proses
replikasinya harus membuat sebuah salinan DNA dari RNA yang ada di dalam
virus. Gen DNA tersebut yang memungkinkan virus untuk bereplikasi. Seperti
halnya virus yang lain, HIV hanya dapat bereplikasi di dalam sel pejantan. HIV
merupakan virus yang memiliki selubung virus (envelope), mengandung dua kopi
genomik RNA virus yang terdapat di dalam inti. Di dalam inti virus juga terdapat
enzim-enzim yang digunakan untuk membuat salinan RNA, yang diperlukan
untuk replikasi HIV yakni antara lain: reverse transcriptase, integrase, dan
protease. RNA diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut terdiri atas sekitar 2000 kopi
p24 protein virus.

3
Gambar 1. Struktur HIV
Virus HIV yang menyebabkan AIDS ini menyerang sistem kekebalan
tubuh manusia. Yang dimaksud dengan sistem kekebalan adalah suatu sistem
dalam tubuh yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari masuknya bakteri atau
virus yang bertujuan menyerang sel, menyerang pertahan tubuh. Organ dimana
sistem kekebalan tubuh berada disebut lymphoid, memiliki peran utama dalam
mengembangkan lymphocytes (sel darah putih) yang secara spesifik berfungsi
untuk menjaga tubuh dari serangan virus, yang disebut sebagai T cells, yang
terbagi dalam beberapa sel (Sarafino, 2006), yaitu :
a. Killer T cells (sel CD-8), secara langsung menyerang dan menghancurkan sel
asing, sel kanker, dan sel tubuh yang telah diserang oleh antigen (substansi
yang memicu respon kekebalan tubuh), seperti virus.
b. Memory T cells, bekerja diawal infeksi dengan cara mengingatkan tubuh akan
adanya hal asing yang masuk ke dalam tubuh.
c. Delayed-hypersensitivity T cell, berfungsi untuk menunda reaksi kekebalan
tubuh, dan juga memproduksi substansi protein (lymphokines) yang memicu T
cells lainnya untuk tubuh, memproduksi dan menyerang antigen.
d. Helper T cells (sel CD-4), berfungsi untuk menstimulasi sel darah putih untuk
diproduksi dan menyerang virus.
e. Suppressor T cells, berfungsi untuk secara perlahan-perlahan menghentikan
proses kerja sel dan kekebalan.
Sel dalam tubuh individu yang diserang oleh HIV adalah limfosit Helper
T-cell atau yang disebut juga sebagai limfosit CD-4, yang fungsinya dalam
kekebalan tubuh adalah untuk mengatur dan bekerja sama dengan komponen
sistem kekebalan yang lain. Bila jumlah dan fungsi CD-4 berkurang maka sistem
kekebalan individu yang bersangkutan akan rusak sehingga mudah dimasuki dan
diserang oleh berbagai kuman penyakit. Segera setelah terinfeksi maka jumlah
CD-4 berkurang sedikit demi sedikit secara bertahap meskipun ada masa yang
disebut sebagai window periode, yaitu periode yang tidak menunjukan gejala
apapun, yang berlangsung sejak masuknya virus hingga individu dinyatakan

4
positif terpapar HIV. Gambaran klinik yang berat, yang mencerminkan kriteria
AIDS, baru timbul sesudah jumlah CD-4 kurang dari 200/mm3 dalam darah.
(yayasan spiritia, 2006).
2.3. Perjalanan Infeksi HIV/AIDS
Secara ringkas perjalanan infeksi HIV dapat dijelaskan dalam tiga
fase, yaitu :
a. Fase Infeksi Akut (Sindroma Retroviral Akut)
Keadaan ini disebut juga infeksi primer HIV. Sindroma akut yang
terkait dengan infeksi primer HIV ini ditandai oleh proses replikasi yang
menghasilkan virus-virus baru (virion) dalam jumlah yang besar. Virus
yang dihasilkan dapat terdeteksi dalam darah dalam waktu sekitar tiga
minggu setelah terjadinya infeksi. Pada periode ini protein virus dan virus
yang infeksius dapat dideteksi dalam plasma dan juga cairan serebrospinal,
jumlah virion di dalam plasma dapat mencapai 106 hingga 107 per
mililiter plasma. Viremia oleh karena replikasi virus dalam jumlah yang
besar akan memicu timbulnya sindroma infeksi akut dengan gejala yang
mirip infeksi mononukleosis akut yakni antara lain: demam,
limfadenopati, bercak pada kulit, faringitis, malaise, dan mual muntah,
yang timbul sekitar 3–6 minggu setelah infeksi. Pada fase ini selanjutnya
akan terjadi penurunan sel limfosit T-CD4 yang signifikan sekitar 2–8
minggu pertama infeksi primer HIV, dan kemudian terjadi kenaikan
limfosit T karena mulai terjadi respons imun. Jumlah limfosit T pada fase
ini masih diatas 500 sel/mm3 dan kemudian akan mengalami penurunan
setelah enam minggu terinfeksi HIV.
b. Fase Infeksi Laten
Setelah terjadi infeksi primer HIV akan timbul respons imun
spesifik tubuh terhadap virus HIV. Sel sitotoksik B dan limfosit T
memberikan perlawanan yang kuat terhadap virus sehingga sebagian besar
virus hilang dari sirkulasi sistemik. Sesudah terjadi peningkatan respons
imun seluler, akan terjadi peningkatan antibodi sebagai respons imun
humoral. Selama periode terjadinya respons imun yang kuat, lebih dari 10
milyar HIV baru dihasilkan tiap harinya, namun dengan cepat virus-virus
tersebut dihancurkan oleh sistem imun tubuh dan hanya memiliki waktu
paruh sekitar 5–6 jam. Meskipun di dalam darah dapat dideteksi partikel

5
virus hingga 108 per ml darah, akan tetapi jumlah partikel virus yang
infeksius hanya didapatkan dalam jumlah yang lebih sedikit, hal ini
menunjukkan bahwa sejumlah besar virus telah berhasil dihancurkan.
Pembentukan respons imun spesifik terhadap HIV menyebabkan virus
dapat dikendalikan, jumlah virus dalam darah menurun dan perjalanan
infeksi mulai memasuki fase laten. Namun demikian sebagian virus masih
menetap di dalam tubuh, meskipun jarang ditemukan di dalam plasma,
virus terutama terakumulasi di dalam kelenjar limfe, terperangkap di
dalam sel dendritik folikuler, dan masih terus mengadakan replikasi.
Sehingga penurunan limfosit T-CD4 terus terjadi walaupun virion di
plasma jumlahnya sedikit. Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun
hingga sekitar 500 sampai 200 sel/mm.
Jumlah virus, setelah mencapai jumlah tertinggi pada awal fase
infeksi primer, akan mencapai jumlah pada titik tertentu atau mencapai
suatu "set point" selama fase laten. Set point ini dapat memprediksi onset
waktu terjadinya penyakit AIDS. Dengan jumlah virus kurang dari 1000
kopi/ml darah, penyakit AIDS kemungkinan akan terjadi dengan periode
laten lebih dari 10 tahun. Sedangkan jika jumlah virus kurang dari 200
kopi/ml, infeksi HIV tidak mengarah menjadi penyakit AIDS. Sebagian
besar pasien dengan jumlah virus lebih dari 100.000 kopi/ml, mengalami
penurunan jumlah limfosit T-CD4 yang lebih cepat dan mengalami
perkembangan menjadi penyakit AIDS dalam kurun waktu kurang dari 10
tahun. Sejumlah pasien yang belum mendapatkan terapi memiliki jumlah
virus antara 10.000 hingga 100.000 kopi/ml pada fase infeksi laten. Pada
fase ini pasien umumnya belum menunjukkan gejala klinis atau
asimtomatis. Fase laten berlangsung sekitar 8–10 tahun (dapat 3-13 tahun)
setelah terinfeksi HIV.
c. Fase Infeksi Kronis
Selama berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfa terus
terjadi replikasi virus yang diikuti dengan kerusakan dan kematian sel
dendritik folikuler serta sel limfosit T-CD4 yang menjadi target utama dari
virus HIV oleh karena banyaknya jumlah virus. Fungsi kelenjar limfa
sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahkan

6
ke dalam darah. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara
berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. respons imun tidak mampu
mengatasi jumlah virion yang sangat besar. Jumlah sel limfosit T-CD4
menurun hingga dibawah 200 sel/mm3, jumlah virus meningkat dengan
cepat sedangkan respons imun semakin tertekan sehingga pasien semakin
rentan terhadap berbagai macam infeksi sekunder yang dapat disebabkan
oleh virus, jamur, protozoa atau bakteri. Perjalanan infeksi semakin
progresif yang mendorong ke arah AIDS. Setelah terjadi AIDS pasien
jarang bertahan hidup lebih dari dua tahun tanpa intervensi terapi. Infeksi
sekunder yang sering menyertai antara lain: pneumonia yang disebabkan
Pneumocytis carinii, tuberkulosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitis, diare
akibat kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, infeksi virus herpes,
kandidiasis esofagus, kandidiasis trakea, kandidiasis bronkhus atau paru
serta infeksi jamur jenis lain misalnya histoplasmosis dan
koksidiodomikosis. Kadang-kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker
yaitu, kanker kelenjar getah bening dan kanker sarkoma Kaposi's.
Selain tiga fase tersebut di atas, pada perjalanan infeksi HIV
terdapat periode masa jendela atau "window period" yaitu, periode saat
pemeriksaan tes antibodi terhadap HIV masih menunjukkan hasil negatif
walaupun virus sudah ada dalam darah pasien yang terinfeksi HIV dengan
jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi
melalui pemeriksaan laboratorium oleh karena kadarnya belum memadai.
Periode ini dapat berlangsung selama enam bulan sebelum terjadi
serokonversi yang positif, meskipun antibodi terhadap HIV dapat mulai
terdeteksi 3–6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Periode
jendela sangat penting diperhatikan karena pada periode jendela ini pasien
sudah mampu dan potensial menularkan HIV kepada orang lain.
2.4. Etiologi HIV/AIDS
Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang masuk dalam
kelompok retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan
tubuh manusia. Penyakit ini dapat ditularkan melalui penularan seksual,
kontaminasi patogen di dalam darah, dan penularan masa perinatal.
1) Faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah :

7
a. Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual,
b. Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti,
c. Bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat intravena,
d. Bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah berulang,
e. Anak yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual (perlakuan
salah seksual), dan
f. Anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan.
2) Cara Penularan
Penularan HIV dari ibu kepada bayinya dapat melalui :
a. Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum)
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi
yang dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara
vertikal. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum,
yaitu pada waktu bayi terpapar dengan darah ibu.
b. Selama persalinan (intrapartum)
Selama persalinan bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal
yang mengandung HIV melalui paparan trakeobronkial atau tertelan pada
jalan lahir.
c. Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi
Pada ibu yang terinfeksi HIV, ditemukan virus pada cairan vagina
21%, cairan aspirasi lambung pada bayi yang dilahirkan. Besarnya paparan
pada jalan lahir sangat dipengaruhi dengan adanya kadar HIV pada cairan
vagina ibu, cara persalinan, ulkus serviks atau vagina, perlukaan dinding
vagina, infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini, persalinan prematur,
penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forsep,
episiotomi dan rendahnya kadar CD4 pada ibu.
Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan
meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat
dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan.
d. Bayi tertular melalui pemberian ASI
Transmisi pasca persalinan sering terjadi melalui pemberian ASI
(Air susu ibu). ASI diketahui banyak mengandung HIV dalam jumlah
cukup banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang
tenderita HIV adalah 1 per 10 4 sel, partikel virus ini dapat ditemukan
pada componen sel dan non sel ASI. Berbagai factor yang dapat
mempengaruhi resiko tranmisi HIV melalui ASI antara lain mastitis atau
luka di puting, lesi di mucosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun
bayi. Penularan HIV melalui ASI diketahui merupakan faktor penting

8
penularan paska persalinan dan meningkatkan resiko tranmisi dua kali
lipat.
2.5. Manifestasi Klinis HIV/AIDS
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis
sampai penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi
pada umur muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi
vertikal dari ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun
dan 82% berumur <3 tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi
HIV secara vertikal belum memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.
Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh
mikroorganisme yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya
pun berupa manifestasi nonspesifik berupa :
a. Gagal tumbuh
b. Berat badan menurun,
c. Anemia
d. Panas berulang
e. Limfadenopati, dan
f. Hepatosplenomegali
Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya
infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa
yang lazimnya tidak memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya
penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit
bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta
sering berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat
menyebar ke esofagus, radang paru karena Pneumocystis carinii, radang paru
karena mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak
terserang Mycobacterium tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan
kelainan luas pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare berulang.
Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah
pneumonia interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung
disebabkan oleh HIV pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa :
a. Hipoksia,
b. Sesak napas,
c. Jari tabuh, dan
d. Limfadenopati

9
e. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus bilateral,
terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum.
Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati
kronik yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran
ketrampilan motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan
motorik. Ensefalopati dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak
menjadi atrofi dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi.
Antigen HIV dapat ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan
serebrospinal.
PUSAT UNTUK KLASIFIKASI CONTROL PENYAKIT INFEKSI
HIV PADA ANAK
Kelas P-O: infeksi intermediate

Bayi <15 bulan yang lahir dari ibu yang terinfeksi tetapi tanpa tanda
infeksi HIV

Kelas P-1: infeksi asimtomatik

Anak yang terbukti terinfeksi, tetapi tampa gejala P-2; mungkin


memiliki fungsi imun normal (P-1A) atau abnormal (P-1B)

Kelas P-2: infeksi sitomatik

P-2A: gambaran demam nonspesifik (>2 lebih dari 2 bulan) gagal


berkembang, limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, parotitis, atau diare
rekuren atau persistem yang tidak spesifik.

P-2B: penyakit neurologi yang progresif

P-2C: Pneumonitis interstisial limfoid

P-2D: infeksi oportunistik menjelaskan AIDS, infeksi bakteri rekuren,


kandidiasis oral persisten, stomatitis herpes rekuren, atau zoster
multidermatomal.

P-2E: kanker sekunder, termasuk limfoma non-Hodgkin sel-B atau


limforma otak

10
P-2F: penyakit end-organ HIV lain (hepatitis, karditis, nefropati,
gangguan hematologi)

2.6. Diagnosis HIV/AIDS


Diagnosis awal bayi yang terinfeksi sangat diinginkan, tetapi pengenalan
awal bayi yang beresiko HIV lebih penting. Hanya jika infeksi HIV pada
perempuan hamil teridentifikasi, terhadap kesempatan untuk mengubah ibu dan
bayi secara cepat dengan terapi antiviral atau preventif. Oleh karena itu uji dan
konseling HIV harus menjadi bagian rutin pada perawatan kehamilan.
a. Pada bayi yang mendapat asi
Bila seorang bayi yang terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia akan
terus berisiko tertulari HIV selama masa pemberian ASI; karenanya uji
virologik negatif pada bayi yang terus mendapat ASI tidak menyingkirkan
kemungkinan infeksi HIV. Dianjurkan uji virologik dilakukan setelah bayi
tidak lagi mendapat ASI selama minimal 6 minggu. Bila saat itu bayi sudah
berumur 9-18 bulan saat pemberian ASI dihentikan, uji antibodi dapat
dilakukan sebelum uji virologik, karena secara praktis uji antibodi jauh lebih
murah. Bila hasil uji antibodi positif, maka pemeriksaan uji virologik
diperlukan untuk mendiagnosis pasti, meskipun waktu yang pasti anak-anak
membuat antibodi anti HIV pada yang terinfeksi post partum belum
diketahui.
b. Pada Bayi dan anak yang terpapar HIV dan memiliki gejala klinis
Bila uji virologik tidak dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu
memeriksa, semua bayi kurang dari 12 bulan yang terpapar HIV dan
menunjukkan gejala dan tanda infeksi HIV harus dirujuk untuk uji virologik.
Hasil yang positif pada stadium apapun menunjukkan positif infeksi HIV.
c. Pada Bayi dan anak yang terpapar HIV asimtomatik
Pada usia 12 bulan, sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak
lagi memiliki antibodi maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini
dapat dianggap indikasi tertular (94.5% seroreversi pada usia 12 bulan;
Spesifisitas 96%) dan harus diulang pada usia 18 bulan.
d. Pada Anak yang berumur kurang dari 18 bulan

11
Diagnosis definitif laboratoris infeksi HIV pada anak yang berumur
kurang dari 18 bulan hanya dapat ditegakkan melalui uji virologik. Hasil yang
positif memastikan terdapat infeksi HIV. Tetapi bila akses untuk uji virologik
ini terbatas, WHO menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8 minggu,
dimana bayi yang tertular in utero, maupun intra partum dapat tercakup.
Uji virologik yang dilakukan pada usia 48 jam dapat mengidentifikasi
bayi yang tertular in utero, tetapi sensitivitasnya masih sekitar 48%. Bila
dilakukan pada usia 4 minggu maka sensitivitasnya naik menjadi 98%. Satu
hasil positif uji virologik pada usia berapa pun dianggap diagnostik pasti.
Meskipun demikian tetap direkomendasikan untuk melakukan uji ulang pada
sampel darah yang berbeda. Bila tidak mungkin dilakukan dua kali maka
harus dipastikan kehandalan laboratorium penguji.
Pada anak yang didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali
pemeriksaan virologik yang positif, harus dilakukan uji antibodi anti HIV pada
usia lebih dari 18 bulan.
e. Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan
Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak yang berumur lebih dari 18
bulan (apakah paparannya diketahui atau tidak) dapat menggunakan uji
antibodi, sesuai proses diagnosis pada orang dewasa. Konfirmasi hasil yang
positif harus mengikuti algoritme standar nasional, paling tidak menggunakan
reagen uji antibodi yang berbeda.
2.7. Komplikasi HIV/AIDS
1) Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,
nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam
rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis oral akan berlanjut mengeni
esophagus dan lambung. Tanda dan gejala yang menyertai mencakup
keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik sternum (nyeri
retrosternal).
2) Neurologik
a. Ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS
(ADC; AIDS dementia complex). Manifestasi dini mencakup

12
gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi
progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium
lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam respon
verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi
paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan
kematian
b. Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit
kepala, malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental
dan kejang-kejang. diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan
serebospinal.
3) Gastrointestinal
a. Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang
diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup
penurunan BB > 10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih
dari 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan
atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan
gejala ini.
b. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,
anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
c. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat
illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen,
ikterik,demam atritis.
d. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan
sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.
4) Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea),
batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai
pelbagi infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium
Intracellulare (MAI), cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus,
dan strongyloides.
5) Dermatologik

13
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster,
dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus
dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.
Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai
dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak integritas kulit.
Moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai
oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika
akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai
kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan
folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan
mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema dan psoriasis.
6) Sensorik
a. Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata :
retinitis sitomegalovirus berefek kebutaan
b. Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri yang berhubungan dengan
mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat
2.8. Patofisiologi HIV/AIDS
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,
yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga
meperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit.
Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan
CD4, yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup
linfosit penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun,
juga memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan
penyakit.
Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak
pasti, meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi
apoptosis melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen;
penghancuran sel yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan

14
kematian atau disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan
kelenjar getah bening. HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit.
Infeksi HIV pada monosit, tidak seperti infeksi pada limfosit CD4, tidak
menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi dapat berperang sebagai
reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat membawa virus ke
organ, terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi memperlihatkan
asam nukleat viral pada sel-sel kromafin mukosa usus, epitel glomerular dan
tubular dan astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus yang paling konsisten
adalah dari otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan banyak organ,
meskipun sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan
oleh infeksi virus local atau komplikasi infeksi lain atau autoimun.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun
“ priode inkubasi “ atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara
umum lebih singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV
dewasa. Selama fase ini, gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes,
terutama berkenaan dengan fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan produksi
antibody nonfungsional lebih universal diantara anak-anak yang terinfeksi HIV
dari pada dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan.
Ketidakmampuan untuk berespon terhadap antigen baru ini dengan
produksi imunoglobulin secara klinis mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen
sebelumnya, berperang pada infeksi dan keparahan infeksi bakteri yang lebih
berat pada infeksi HIV pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering merupakan temuan
lanjutan, dan mungkin tidak berkorelasi dengan status simtomatik. Bayi dan anak-
anak dengan infeksi HIV sering memiliki jumlah limfosit yang normal, dan 15%
pasien dengan AIDS periatrik mungkin memiliki resiko limfosit CD4 terhadap
CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang untuk beberapa alasan menderita
imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan kerentanan perkembangan
system saraf pusat menerangkan frekuensi relatif ensefalopati yang terjadi pada
infeksi HIV anak.

15
2.9. Pathway HIV/AIDS
Transfusi darah yang Penurunan secara vertikal Secara parenteral melalui
terpapar virus HIV dari ibu dengan HIV tusukan jarum

Pasien terinfeksi HIV

Virus beredar dalam darah atau jaringan mukosa

Virus menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4

Masuk kedalam sel target dan mereplikasi diri

Sel yang terinfeksi mengalami apoptosis/mati

Imunitas tubuh menurun

Tubuh rentan terhadap infeksi

Infeksi pada sistem pernapasan Infeksi pada sistem pencernaan


Adanya
sekret di Pendarahan saluran
Suhu ↑
jalan napas pernapasan dan Infeksi Infeksi jamur
jaringan paru Hipertemi
Tidak dapat Lisis dinding alveoli Diare kronis Peradangan mulut
mengeluarkan Diare
Kerusakan alveoli Output cairan ↑ Sulit menelan
sekret
Ketidakefektifan
Turgor kulit ↓
bersihan jalan Kolaps saluran napas Keridakseimbangan
mukosa kering
napas kecil saat ekspirasi nutrisi kurang dari
Penurunan Kekurangan kebutuhan tubuh
Gangguan pertukaran O2
perfusi O2 ke volume cairan
2.10.pertukaran
Perubahan jaringan
Gangguan gasPola Fungsi Kesehatan
1) Aktivitas / istirahat Intoleransi
Mengantuk, lesu
Gejala : Mudah lelah, berkurangnya toleransi
aktivitas terhadap aktivitas
biasanya, progresi kelelahan / malaise, Perubahan pola tidur
Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot
Respon fisiologis terhadap aktivitas seperti perubahan dalam TD,
frekuensi jantung, pernapasan
2) Sirkulasi
Gejala : Proses penyembuhan luka yang lambat (bila anemia);
perdarahan lama pada cedera (jarang terjadi)
Tanda : Takikardia, perubahan TD postural, Menurunnya volume nadi
perifer, Pucat atau sianosis: perpanjangan kapiler
3) Integritas ego

16
Belum terkaji
4) Eliminasi
Gejala : Diare yang intermitten, terus menerus, sering dengan atau
tanpa disertai kram abdominal, Nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
Tanda : Feces dengan atau tanpa disertai mukus dan marah, Diare
pekat yang sering, nyeri tekan abdominal, Lesi atau abses rectal,
personal, Perubahan dalam jumlah, warna dan karakteristik urin
5) Makanan atau cairan
Gejala : Anoreksia, perubahan dalam kemampuan mengenali makanan
atau mual atau muntah, disfagia, nyeri retrostenal saat menelan
Penurunan berat badan : perawakan kurus, menurunnya lemak
subkutan atau massa otot, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut,
adanya selaputnya putih dan perubahan warna, kesehatan gigi atau gusi
yang buruk, adanya gigi yang tanggal, edema (umum, dependen)
6) Higiene
Belum bisa dikaji
7) Neurosensori
Gejala : Pusing, pening atau sakit kepala, perubahan status mental.
Kehilangan ketajaman atau kemampuan diri untuk mengatasi masalah,
tidak mampu mengingat dan konsentrasi menurun, Kerusakan sensasi
atau indera posisi dan getaran, kelemahan otot, tremor dan perubahan
ketajaman penglihatan, kebas, kesemutan pada ekstremitas (kaki
tampak menunjukkan perubahan paling awal)
Tanda : Perubahan status mental dan rentang antara kacau mental
sampai dimensia, lupa, konsentrasi buruk, tingkat kesadaran menurun,
apatis, retardasi psikomotor atau respon melambat, ide paranoid,
ansietas yang berkembang bebas, harapan yang tidak realistis. Timbul
refleksi tidak normal, menurunnya kekuatan otot dan gaya berjalan
ataksia. Tremor pada motorik kasar atau halus, menurunnya motoric
Vocalis : hemi paresis; kejang, Hemoragi retina dan eksudat
8) Nyeri atau kenyamanan
Gejala : Nyeri umum atau local, sakit, rasa terbakar pada kaki, Sakit
kepala (keterlibatan ssp), Nyeri dada pleuritis
Tanda : Pembengkakan pada sendi, nyeri pada kelenjar, nyeri tekan,
Penurunan rentang gerak, perubahan gaya berjalan / pincang, Gerak
otot melindungi bagian yang sakit
9) Pernapasan

17
Gejala : Isksering, menetap, Napas pendek yang progresif, Batuk
(sedang sampai parah), produktif / non produktif sputum (tanda awal
dari adanya PCP mungkin batuk spasmodic saat napas dalam),
Bendungan atau sesak dada
Tanda : Takipnea, distres pernapasan, Perubahan pada bunyi napas /
bunyi napas adventisius
Sputum : kuning (pada pneumonia yang menghasilkan sputum
10) Keamanan
Gejala : Riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka yang lambat proses
penyembuhannya, Riwayat menjalani transfusi darah yang sering atau
berulang (mis: hemofilia, operasi vaskuler mayor, insiden traumatis),
Riwayat penyakit defisiensi imun, yakni kanker tahap lanjut, Riwayat /
berulangnya infeksi dengan PHS, Demam berulang; suhu rendah,
peningkatan suhu intermitten / memuncak; berkeringat malam
Tanda : Perubahan integritas kulit: terpotong, ruam mis: ekzema,
eksantem, psoriasis, perubahan warna / ukuran mola; mudah terjadi
memar yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, Rektum, luka-luka
perianal atau abses, Timbulnya nodul-nodul, pelebaran kelenjar limfe
pada 2 area tubuh atau lebih (mis: leher, ketiak, paha), Menurunnya
kekuatan umum, tekanan otot, perubahan pada gaya berjalan
11) Seksualitas
Belum bisa dikaji
12) Genetalia
Manifestasi kulit (mis: herpes, kulit); rabas
13) Interaksi social
Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, mis: kehilangan
kerabat / orang terdekat, teman, pendukung, rasa takut untuk
mengungkapkannya pada orang lain, takut akan penolakan /
kehilangan pendapatan, Isolasi, kesepian, teman dekat ataupun
pasangan seksual yang meninggal akibat AIDS, Mempertanyakan
kemampuan untuk tetap mandiri, tidak mampu membuat rencana
Tanda : Perubahan pada interaksi keluarga / orang terdekat, Aktivitas
yang tidak terorganisasi, perubahan penyusunan tujuan
2.11. Pemerikasaan Penunjang HIV/AIDS
1) Tes untuk diagnose infeksi HIV
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan
menguji HIV. Tes ini meliputi :

18
a. ELISA, latex agglutination Penilaian Elisa dan latex agglutination
dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak,
bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western
blot.
b. Western blot ( positif)
c. Tes antigen P 24 (polymerase chain reaction) atau PCR . Bila
pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi
(biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV. (positif untuk
protein virus yang bebas)
d. Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut
mendeteksi enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan
kadar yang meningkat)
2) Tes untuk deteksi gangguan system imun.
a. LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
b. CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk
bereaksi terhadap antigen)
c. Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
d. Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan
berlanjutnya penyakit).
e. Kadar immunoglobulin (meningkat)
2.12. Penatalaksaan HIV/AIDS
1) Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV
antara lain :
a. Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat
dan mencegah kemungkinan terjadi infeksi
b. Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta
keganasan yang ada.
c. Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan
dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat
menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus,
sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV
d. Mengatasi dampak psikososial
e. Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan
penyakit, dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
f. Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus
selalu memperhatikan perlindungan universal (universal
precaution)
2) Pengobatan

19
a. Pengobatan medikamentosa mencakupi pemberian obat-obat
profilaksis infeksi oportunistik yang tingkat morbiditas dan
mortalitasnya tinggi. Riset yang luas telah dilakukan dan
menunjukkan kesimpulan rekomendasi pemberian kotrimoksasol
pada penderita HIV yang berusia kurang dari 12 bulan dan
siapapun yang memiliki kadar CD4 < 15% hingga dipastikan
bahaya infeksi pneumonia akibat parasit Pneumocystis jiroveci
dihindari. Pemberian Isoniazid (INH) sebagai profilaksis penyakit
TBC pada penderita HIV masih diperdebatkan. Kalangan yang
setuju berpendapat langkah ini bermanfaat untuk menghindari
penyakit TBC yang berat, dan harus dibuktikan dengan metode
diagnosis yang handal. Kalangan yang menolak menganggap
bahwa di negara endemis TBC, kemungkinan infeksi TBC natural
sudah terjadi. Langkah diagnosis perlu dilakukan untuk
menetapkan kasus mana yang memerlukan pengobatan dan yang
tidak.
b. Obat profilaksis lain adalah preparat nistatin untuk antikandida,
pirimetamin untuk toksoplasma, preparat sulfa untuk malaria, dan
obat lain yang diberikan sesuai kondisi klinis yang ditemukan pada
penderita.
c. Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus atau ARV.
Riset mengenai obat ARV terjadi sangat pesat, meskipun belum ada
yang mampu mengeradikasi virus dalam bentuk DNA proviral
pada stadium dorman di sel CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV
dan AIDS sekarang menggunakan paling tidak 3 kelas anti virus,
dengan sasaran molekul virus dimana tidak ada homolog manusia.
Obat pertama ditemukan pada tahun 1990, yaitu Azidothymidine
(AZT) suatu analog nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada
tahap penghambatan kerja enzim transkriptase riversi. Bila obat ini
digunakan sendiri, secara bermakna dapat mengurangi kadar RNA
HIV plasma selama beberapa bulan atau tahun. Biasanya
progresivitas penyakti HIV tidak dipengaruhi oleh pemakaian AZT,

20
karena pada jangka panjang virus HIV berevolusi membentuk
mutan yang resisten terhadap obat.
3) Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui :
a. Saat hamil
Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan agar
vital load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah
dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV.
b. Saat melahirkan
Penggunaan antiretroviral(Nevirapine) saat persalinan dan bayi
baru dilahirkan dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan metode
sectio caesar karena terbukti mengurangi resiko penularan
sebanyak 80%.
c. Setelah lahir
Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan manfaat ASI
2.13. Asuhan Kepersawatan HIV/AIDS
1) Pengkajian
a. Data Subjektif, mencakup :
1. Pengetahuan klien tentang AIDS
2. Data nutrisi, seperti masalah cara makan, BB turun
3. Dispneu (serangan)
4. Ketidaknyamanan (lokasi, karakteristik, lamanya)
b. Data Objektif, meliputi :
1. Kulit, lesi, integritas terganggu
2. Bunyi nafas
3. Kondisi mulut dan genetalia
4. BAB (frekuensi dan karakternya)
5. Gejala cemas
c. Pemeriksaan Fisik
1. Pengukuran TTV
2. Pengkajian Kardiovaskuler
3. Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat.
Gagal jantung kongestif sekunder akibat kardiomiopati karena
HIV
4. Pengkajian Respiratori
Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea,
hipoksia, nyeri dada, napas pendek waktu istirahat, gagal
napas.
5. Pengkajian Neurologik
Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku,
nyeri otot, kejang-kejang, enselofati, gangguan psikomotor,

21
penurunan kesadaran, delirium, meningitis, keterlambatan
perkembangan.
6. Pengkajian Gastrointestinal
Berat badan menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan
menelan, bercak putih kekuningan pada mukosa mulut,
faringitis, candidisiasis esophagus, candidisiasis mulut, selaput
lender kering, pembesaran hati, mual, muntah, colitis akibat
diare kronis, pembesaran limfa.
7. Pengkajain Renal
8. Pengkajaian Muskuloskeletal
Nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak (ataksia)
9. Pengkajian Hematologik
10. Pengkajian Endokrin
d. Kaji status nutrisi
1. Kaji adanya infeksi oportunistik
2. Kaji adanya pengetahuan tentang penularan
e. Dapatkan riwayat imunisasi
1. Dapatkan riwayat yang berhubungan dengan faktor resiko
terhadap aids pada anak-anak: exposure in utero to HIV-
infected mother, pemajanan terhadap produk darah, khususnya
anak dengan hemophilia, remaja yang menunjukan prilaku
resiko tinggi.
2. Obsevasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak: gagal
tumbuh, limfadenopati, hepatosplenomegaly
3. Infeksi bakteri berulang
4. Penyakit paru khususnya pneumonia pneumocystis carinii
(pneumonitys inter interstisial limfositik, dan hyperplasia
limfoid paru).
5. Diare kronis
6. Gambaran neurologis, kehilangan kemampuan motorik yang
telah di capai sebelumnya, kemungkinan mikrosefali,
pemeriksaan neurologis abnormal
7. Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian missal tes
antibody serum.
3) Diagnosa Keperawatan
1. Hipertemi
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
3. Gangguan pertukaran gas

22
4. Deficit volume cairan
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
6. Intoleransi aktivitas
4) Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1 Hipertermia NOC: NIC :
Berhubungan dengan : Thermoregulasi  Monitor suhu sesering
- penyakit/ trauma mungkin
- peningkatan metabolisme Setelah dilakukan  Monitor warna dan suhu kulit
- aktivitas yang berlebih tindakan keperawatan  Monitor tekanan darah, nadi
- dehidrasi selama………..pasien dan RR
menunjukkan :  Monitor penurunan tingkat
DO/DS: Suhu tubuh dalam kesadaran
 kenaikan suhu tubuh diatas batas normal  Monitor WBC, Hb, dan Hct
rentang normal dengan kreiteria  Monitor intake dan output
 serangan atau konvulsi hasil:  Berikan anti piretik:
(kejang)  Suhu 36 – 37C  Kelola Antibiotik:
 kulit kemerahan  Nadi dan RR ………………………..
 pertambahan RR dalam rentang  Selimuti pasien
 takikardi normal  Berikan cairan intravena
 Kulit teraba panas/ hangat  Tidak ada  Kompres pasien pada lipat
perubahan paha dan aksila
warna kulit dan  Tingkatkan sirkulasi udara
tidak ada  Tingkatkan intake cairan dan
pusing, merasa nutrisi
nyaman  Monitor TD, nadi, suhu, dan
RR
 Catat adanya fluktuasi tekanan
darah
 Monitor hidrasi seperti turgor
kulit, kelembaban membran
mukosa)
2 Bersihan Jalan Nafas tidak NOC:  Pastikan kebutuhan oral / tracheal
efektif  Respiratory status : suctioning.

23
berhubungan dengan: Ventilation  Berikan O2 ……l/mnt,
- Infeksi, disfungsi  Respiratory metode………
neuromuskular, status : Airway  Anjurkan pasien untuk istirahat
hiperplasia dinding patency dan napas dalam
bronkus, alergi jalan nafas,  Aspiration  Posisikan pasien untuk
asma, trauma Control Setelah memaksimalkan ventilasi
- Obstruksi jalan nafas : dilakukan  Lakukan fisioterapi dada jika
spasme jalan nafas, sekresi tindakan perlu
tertahan, banyaknya mukus, keperawatan selama  Keluarkan sekret dengan batuk
adanya jalan nafas buatan, …………..pasien atau suction
sekresi bronkus, adanya menunjukkan  Auskultasi suara nafas, catat
eksudat di alveolus, adanya keefektifan jalan nafas adanya suara tambahan
benda asing di jalan nafas. dibuktikan dengan  Berikan bronkodilator :
DS: kriteria hasil : - ………………………

- Dispneu  Mendemonstrasikan - ……………………….

DO: batuk efektif dan - ………………………

- Penurunan suara nafas suara nafas yang  Monitor status hemodinamik

- Orthopneu bersih, tidak ada  Berikan pelembab udara Kassa

- Cyanosis sianosis dan dyspneu basah NaCl Lembab

- Kelainan suara nafas (rales, (mampu  Berikan antibiotik :

wheezing) mengeluarkan …………………….

- Kesulitan berbicara sputum, bernafas …………………….

- Batuk, tidak efekotif atau tidak dengan mudah, tidak  Atur intake untuk cairan

ada ada pursed lips) mengoptimalkan keseimbangan.

- Produksi sputum  Menunjukkan jalan  Monitor respirasi dan status O2

- Gelisah nafas yang paten  Pertahankan hidrasi yang

- Perubahan frekuensi dan irama (klien tidak merasa adekuat untuk mengencerkan

nafas tercekik, irama secret


nafas, frekuensi  Jelaskan pada pasien dan
pernafasan dalam keluarga tentang penggunaan
rentang normal, peralatan : O2, Suction, Inhalasi.
tidak ada suara nafas

24
abnormal)
 Mampu
mengidentifikasikan
dan mencegah faktor
yang penyebab.
 Saturasi O2 dalam
batas normal
 Foto thorak dalam
batas normal
3 Gangguan Pertukaran gas NOC: NIC :
Berhubungan dengan :  Respiratory Status :  Posisikan pasien untuk
 ketidakseimbangan perfusi Gas exchange memaksimalkan ventilasi
ventilasi  Keseimbangan asam  Pasang mayo bila perlu
 perubahan membran kapiler- Basa, Elektrolit  Lakukan fisioterapi dada jika
alveolar DS:  Respiratory Status : perlu
 sakit kepala ketika bangun ventilation  Keluarkan sekret dengan batuk
 Dyspnoe  Vital Sign Status atau suction
 Gangguan Setelah dilakukan  Auskultasi suara nafas, catat
penglihatan DO: tindakan adanya suara tambahan
 Penurunan CO2 keperawatan selama ….  Berikan bronkodilator ;
 Takikardi Gangguan pertukaran -………………….
 Hiperkapnia pasien teratasi dengan -………………….
 Keletihan kriteria hasi:  Barikan pelembab udara
 Iritabilitas  Mendemonstrasikan  Atur intake untuk cairan
 Hypoxia peningkatan ventilasi mengoptimalkan keseimbangan.
 kebingungan dan oksigenasi yang  Monitor respirasi dan status O2
 sianosis adekuat  Catat pergerakan dada,amati
 warna kulit abnormal  Memelihara kesimetrisan, penggunaan otot
(pucat, kehitaman) kebersihan paru paru tambahan, retraksi otot
 Hipoksemia dan bebas dari tanda supraclavicular dan intercostal
 hiperkarbia tanda distress  Monitor suara nafas, seperti
 AGD abnormal pernafasan dengkur
 pH arteri abnormal  Mendemonstrasikan  Monitor pola nafas : bradipena,

25
 frekuensi dan kedalaman nafas batuk efektif dan takipenia, kussmaul,
abnormal suara nafas yang hiperventilasi, cheyne stokes,
bersih, tidak ada biot
sianosis dan dyspneu  Auskultasi suara nafas, catat
(mampu area penurunan / tidak adanya
mengeluarkan ventilasi dan suara tambahan
sputum, mampu  Monitor TTV, AGD, elektrolit
bernafas dengan dan ststus mental
mudah, tidak ada  Observasi sianosis khususnya
pursed lips) membran mukosa
 Tanda tanda vital  Jelaskan pada pasien dan
dalam rentang keluarga tentang persiapan
normal tindakan dan tujuan penggunaan
 AGD dalam batas alat tambahan (O2, Suction,
normal Inhalasi)
 Status neurologis  Auskultasi bunyi jantung,
dalam batas normal jumlah, irama dan denyut
jantung
4 Defisit Volume Cairan NOC: NIC :

Berhubungan dengan:  Fluid balance  Pertahankan catatan intake dan

- Kehilangan volume cairan  Hydration output yang akurat

secara aktif  Nutritional Status :  Monitor status hidrasi

- Kegagalan mekanisme Food and Fluid ( kelembaban membran

pengaturan Intake mukosa, nadi adekuat,


Setelah dilakukan tekanan darah ortostatik ),

DS : tindakan jika diperlukan

- Haus keperawatan selama…..  Monitor hasil lab yang sesuai

DO: defisit volume cairan dengan retensi cairan (BUN ,

- Penurunan turgor kulit/lidah teratasi dengan kriteria Hmt , osmolalitas urin,

- Membran mukosa/kulit kering hasil: albumin, total protein )

- Peningkatan denyut nadi,  Mempertahankan  Monitor vital sign setiap

penurunan tekanan darah, urine output sesuai 15menit – 1 jam


dengan usia dan BB,  Kolaborasi pemberian cairan

26
penurunan volume/tekanan BJ urine normal, IV
nadi  Tekanan darah, nadi,  Monitor status nutrisi
- Pengisian vena menurun suhu tubuh dalam  Berikan cairan oral
- Perubahan status mental batas normal  Berikan penggantian
- Konsentrasi urine meningkat  Tidak ada tanda nasogatrik sesuai output (50 –
- Temperatur tubuh meningkat tanda dehidrasi, 100cc/jam)
- Kehilangan berat badan Elastisitas turgor  Dorong keluarga untuk
secara tiba- tiba kulit baik, membran membantu pasien makan
- Penurunan urine output mukosa lembab,  Kolaborasi dokter jika tanda
- HMT meningkat tidak ada rasa haus cairan berlebih muncul
- Kelemahan yang berlebihan meburuk
 Orientasi terhadap  Atur kemungkinan tranfusi
waktu dan tempat  Persiapan untuk tranfusi
baik  Pasang kateter jika perlu
 Jumlah dan irama  Monitor intake dan urin output
pernapasan dalam setiap 8 jam
batas normal
 Elektrolit, Hb, Hmt
dalam batas normal
 pH urin dalam batas
normal
 Intake oral dan
intravena adekuat
5 Ketidakseimbangan nutrisi NOC:  Kaji adanya alergi makanan
kurang dari kebutuhan tubuh a. Nutritional status:  Kolaborasi dengan ahli gizi
Berhubungan dengan : Adequacy of untuk menentukan jumlah
Ketidakmampuan untuk nutrient kalori dan nutrisi yang
memasukkan atau mencerna b. Nutritional Status : dibutuhkan pasien
nutrisi oleh karena faktor food and Fluid  Yakinkan diet yang dimakan
biologis, psikologis atau Intake mengandung tinggi serat untuk
ekonomi. c. Weight mencegah konstipasi
DS: Control Setelah  Ajarkan pasien bagaimana
- Nyeri abdomen dilakukan membuat catatan makanan

27
- Muntah tindakan harian.
- Kejang perut keperawatan  Monitor adanya penurunan BB
- Rasa penuh tiba-tiba setelah selama….nutrisi dan gula darah
makan DO: kurang teratasi dengan  Monitor lingkungan selama
- Diare indikator: makan
- Rontok rambut yang berlebih  Albumin serum  Jadwalkan pengobatan dan
- Kurang nafsu makan  Pre albumin serum tindakan tidak selama jam
- Bising usus berlebih  Hematokrit makan
- Konjungtiva pucat  Hemoglobin  Monitor turgor kulit
- Denyut nadi lemah  Total iron binding  Monitor kekeringan, rambut
capacity kusam, total protein, Hb dan
 Jumlah limfosit kadar Ht
 Monitor mual dan muntah
 Monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan
konjungtiva
 Monitor intake nuntrisi
 Informasikan pada klien dan
keluarga tentang manfaat
nutrisi
 Kolaborasi dengan dokter
tentang kebutuhan suplemen
makanan seperti NGT/ TPN
sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
 Atur posisi semi fowler atau
fowler tinggi selama makan
 Kelola pemberan anti emetik:.....
 Anjurkan banyak minum
 Pertahankan terapi IV line
 Catat adanya edema, hiperemik,
hipertonik papila lidah dan

28
cavitas oval
6 Intoleransi Aktivitas NOC : NIC :
Berhubungan dengan : v Energy conservation Energy Management
 Tirah Baring atau v Self Care : ADLs v Observasi adanya pembatasan
imobilisasi Kriteria Hasil : klien dalam melakukan aktivitas
 Kelemahan menyeluruh v Berpartisipasi dalam v Dorong anal untuk
 Ketidakseimbangan aktivitas fisik tanpa mengungkapkan perasaan terhadap
antara suplei oksigen disertai peningkatan keterbatasan
dengan kebutuhan tekanan darah, nadi dan v Kaji adanya factor yang
Gaya hidup yang RR menyebabkan kelelahan
dipertahankan. v Mampu melakukan v Monitor nutrisi dan sumber

DS: aktivitas sehari hari energi tangadekuat

 Melaporkan secara verbal (ADLs) secara mandiri v Monitor pasien akan adanya

adanya kelelahan atau kelelahan fisik dan emosi secara

kelemahan. berlebihan

 Adanya dyspneu atau v Monitor respon kardivaskuler

ketidaknyamanan saat terhadap aktivitas

beraktivitas. v Monitor pola tidur dan lamanya

DO : tidur/istirahat pasien

 Respon abnormal dari Activity Therapy

tekanan darah atau nadi v Kolaborasikan dengan Tenaga

terhadap aktifitas Rehabilitasi Medik

 Perubahan ECG : aritmia, dalammerencanakan progran terapi

iskemia yang tepat.


v Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas yang
mampu dilakukan
v Bantu untuk memilih aktivitas
konsisten yangsesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan
social
v Bantu untuk mengidentifikasi dan

29
mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
v Bantu untuk mendpatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi roda,
krek
v Bantu untu mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
v Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu luang
v Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
v Sediakan penguatan positif bagi
yang aktif beraktivitas
v Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
v Monitor respon fisik, emoi, social
dan spiritual

30
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Pemberian ARV
1) Persiapan Pemberian ARV
a. Memulai pemberian ARV bukan suatu keadaan gawat darurat. Namun
setelah ARV dimulai, obat ARV harus diberikan tepat waktu setiap
hari. Ketidakpatuhan berobat merupakan alas an utama kegagalan
pengobatan
b. Memulai pemberian ARV pada saat anak atau orangtua belum siap
dapat mengakibatkan kepatuhan yang buruk dan resistensi ARV

Persiapan pengasuh anak Persiapan anak

Pengasuh harus mampu untuk: Anak yang mengetahui status HIV mereka (penjelasan diberikan
1. Mengerti perjalanan penyakit infeksi HIV pada anak, oleh tenaga Kesehatan sesuai tingkat kedewasaan anak) harus
keuntungan dan efek samping ART mampu untuk:
1. Mengerti perjalanan penyakit infeksi HIV, keuntungan dan
2. Mengerti pentingnya meminum ARV tepat waktu setiap hari dan
efek samping ART
mampu memastikan kepatuhan berobat
2. Mengerti pentingnya meminum ARV tepat waktu setiap
3. Bertanggung jawab langsung untuk mengamati anak meminum hari dan mampu patuh berobat
ARV setiap hari Anak yang tidak mengetahui status HIV mereka harus diberikan
4. Bertanggung jawab untuk memastikan kepatuhan berobat pada penjelasan mengenai alasan meminum ARV dengan menggunakan
remaja. Pemantauan langsung konsumsi obat pada remaja penjelasan sesuai umur tanpa harus menggunakan kata HIV atau
mungkin tidak diperlukan. Pengasuh dapat memberikan AIDS. Mereka harus mampu untuk:
tanggung jawab kepada remaja tersebut untuk meminum ARV 1. Siap dan setuju untuk mendapat ART (tergantung maturitas,
5. Menyimpan ARV secara tepat namun biasanya pada anak >6 tahun. Penjelasan diberikan
6. Menunjukkan cara mencampur atau mengukur ART oleh tenaga Kesehatan sesuai tingkat maturitas anak)
7. Mampu menyediakan ART, pemantauan laboratorium dan 2. Mengerti pentingnya meminum ARV tepat waktu setiap
transportasi ke rumah sakit bila diperlukan hari dan mampu patuh berobat
Setuju dengan rencana pengobatan
Pengasuh/anak dan tenaga Kesehatan setuju dalam
rejimen ART dan perjanjian tindak lanjut (follow
up) yang dapat dipatuhi oleh pengasuh/anak
Penilaian persiapan pengobatan dan faktor lain yang dapat mempengaruhi kepatuhan

1. Nilai pemahaman pengasuh/anak mengenai alasan meminum ARV, respon pengobatan, efek
samping dan bagaimana ART diminum (dosis, waktu dan hubungannya dengan makanan)

2. Nilai faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan dan bekerjasama dengan pengasuh/anak utnuk
mencari solusi permasalahan tersebut

3. Nilai kesiapan membuka status HIV. Membuka status HIV bukan prasyarat untuk memulai ART,
namun membuka status HIV dianjurkan bila pengasuh siap dan anak dianggap matur dan dapat
menyimpan rahasia. Dukungan tenaga Kesehatan diperlukan

2) Rekomendasi ARV
a. Paduan lini pertama yang direkomendasikan adalah 2 Nucleoside
Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) + 1 Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

31
Berdasarkan ketersediaan obat, terdapat tiga kombinasi paduan ARV
(pilih warna yang berbeda)

AZT
NVP

d4T 3TC
EFV
TDF
Langkah 1: Gunakan 3TC sebagai NRTI pertama
Langkah 2: Pilih 1 NRTI untuk dikombinasi dengan 3TCa :

NRTI Keuntungan Kerugian


Zidovudin(AZT)b - AZT kurang - Efek samping inisial
dipilih bila Hb > 7,5 menyebabkan gastrointestinal lebih banyak
g/dl) lipodistrofi dan - Anemia dan neutropenia
asidosis laktat berat dapat terjadi.
- AZT tidak Pemantauan darah tepi lengkap
memerlukan sebelum dan sesudah terapi berguna
penyimpanan di terutama pada daerah endemik
lemari pendingin malaria

Stavudin(d4T) c d4T memiliki efek samping d4T lebih sering menimbulkan


gastrointesinal dan anemia lipodistrofi, asidosis laktat dan
lebih sedikit dibandingkan neuropati perifer (penelitian pada
AZT orang dewasa)

Tenofovir (TDF)d - Dosis sekali sehari - Risiko osteoporosis dan


- Untuk anak > 2 tahun gangguan fungsi ginjal

a. 3TC dapat digunakan bersama dengan 3 obat di atas karena


memiliki catatan efikasi, keamanan dan tolerabilitas yang baik.
Namun mudah timbul resistensi bila tidak patuh minum ARV
b. Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama untuk lini 1. Namun bila
Hb anak < 7,5 g/dl maka dipertimbangkan pemberian
Stavudin(d4T) sebagai lini 1.

32
c. Dengan adanya risiko efek simpang pada penggunaan d4T jangka
panjang, maka dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak
> 8 gr/dl)setelah pemakaian 6 – 12 bulan. Bila terdapat efek anemia
berulang maka dapat kembali ke d4T
d. Tenofovir saat ini belum digunakan sebagai lini pertama karena
ketersediannya belum dipastikan, sedangkan umur termuda yang
diperbolehkan menggunakan obat ini adalah 2 tahun dan anak yang
lebih muda tidak dapat menggunakannya. Selain itu perlu
dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang anak yang
sedang bertumbuh karena diharapkan penggunaan ARV tidak
mengganggu pertumbuhan tinggi badannya.
Langkah 3: Pilih 1 NNRTI

Keuntungan Kerugian
Nevirapin - NVP dapat diberikan pada - Insiden ruam lebih tinggi dari EFV. Ruam NVP
(NVP) a,b semua umur mungkin berat dan mengancam jiwa
- Tidak memiliki efek - Dihubungkan dengan potensi hepatotoksisitas
teratogenik yang mampu mengancam jiwa
- NVP merupakan salah satu - Ruam dan hepatotoksisitas lebih sering terjadi
kombinasi obat yang dapat pada perempuan dengan CD4> 250 sel/mm3,
digunakan pada anak yang lebih karenanya jika digunakan pada remaja putri
tua yang sedang hamil, diperlukan pemantauan
ketat pada 12 minggu pertama kehamilan (risiko
toksik tinggi)
- Rifampisin menurunkan kadar NVP lebih banyak
dari EFV

Efavirenz - EFV menyebabkan ruam dan - EFV dapat digunakan mulai pada umur 3
(EFV) b hepatotoksisitas lebih sedikit tahun atau BB > 10 kg
dari NVP. Ruam yang muncul - Gangguan SSP sementara dapat terjadi pada
umumnya ringan 26-36% anak, jangan diberikan pada anak
- Kadarnya lebih tidak dengan gangguan psikiatrik berat
terpengaruh oleh rifampisin dan - EFV tidak terbukti memiliki efek teratogenik,
dianggap sebagai NNRTI terpilih tetapi bila perlu dihindari pada remaja putri
pada anak yang mendapat yang potensial untuk hamil
terapi TB - Tidak tersedia dalam bentuk sirup
- Pada anak yang belum dapat - EFV lebih mahal daripada NVP
menelan kapsul, kapsul EFV
dapat dibuka dan ditambahkan
pada minum atau makanan

a) Anak yang terpajan oleh Nevirapin (NVP) dosis tunggal sewaktu


dalam program pencegahan penularan ibu ke anak (PPIA) mempunyai

33
risiko tinggi untuk resistensi NNRTI oleh karena itu dianjurkan
menggunakan golongan PI sebagai lini satu. Akan tetapi bila tidak
tersedia, paduan kombinasi 2 NRTI + 1 NNRTI dapat dipilih dengan
pemantauan utama munculnya resistensi.
b) NNRTI dapat menurunkan kadar obat kontrasepsi yang mengandung
estrogen. Kondom harus selalu digunakan untuk mencegah penularan
HIV tanpa melihat serostatus HIV. Remaja putri dalam masa
reproduktif yang mendapat EFV harus menghindari kehamilan
(lampiran C).
b. Panduan lini pertama bila anak mendapat terapi TB dengan rifampisin
Jika terapi TB telah berjalan, maka ARV yang digunakan:
Paduan terpilih Paduan alternative
AZT atau d4T + 3TC + EFV 1. AZT atau d4T + 3TC + ABC
2. AZT atau d4T + 3TC + NVP a

Sesudah terapi TB selesai alihkan ke Lanjutkan paduan sesudah terapi TB selesai


paduan lini pertama AZT/d4T + 3TC + NVP
atau EFV untuk efikasi lebih baik

Pada anak tidak ada informasi mengenai dosis yang tepat untuk NVP dan
EFV bila digunakan bersamaan dengan rifampisin. Dosis NVP adalah 200
mg/m2. Sedangkan dosis standar EFV tetap dapat digunakan.
Catatan :
 Apabila sudah ditegakkan diagnosis TB maka segera berikan
terapi TB
 Terapi TB harus dimulai lebih dahulu dan ARV mulai diberikan
mulai minggu ke 2-8 setelahnya.
 Terapi TB lebih dahulu dimaksudkan untuk menurunkan risiko
sindrom pulih imun (immune reconstitution inflammatory
syndrome, IRIS).
 Keuntungan dan kerugian memilih AZT atau d4T + 3TC + ABC :
o
Keuntungan : Tidak ada interaksi dengan rifampisin.
Kerugian : Kombinasi ini memiliki potensi yang kurang

34
dibandingkan 2 NRTI + EFV. ABC lebih mahal dan tidak ada
bentuk generik
Jika akan memulai terapi TB pada anak yang sudah mendapat
ARV :

Paduan yang dipakai saat ini Paduan yang terpilih/alternatif


AZT/d4T + 3TC + ABC Teruskan

AZT/d4T + 3TC + EFV Teruskan


Ganti ke AZT/d4T + 3TC + ABC atau AZT/3TC + 3TC +
AZT/d4T + 3TC + NVP
EFV

Catatan :
 Tidak ada interaksi obat antara NRTI dan rifampisin.
 Rifampisin menurunkan kadar NVP sebesar 20-58% dan kadar
EFV sebesar 25%.
 Obat TB lain tidak ada yang berinteraksi dengan ARV.
 Pada pengobatan TB, rifampisin adalah bakterisidal terbaik dan
harus digunakan dalam paduan pengobatan TB, khususnya dalam
2 bulan pertama pengobatan. Pergantian terapi TB dari rifampisin
ke non rifampisin dalam masa pemeliharaan tergantung pada
kebijakan dokter yang merawat.
 Efek hepatotoksisitas obat anti TB dan NNRTI dapat tumpang
tindih, karena itu diperlukan pemantauan fungsi hati.
c. Lini pertama alternative
Untuk anak > 2 tahun: TDF + 3TC/FTC + EFV/NVP

35
3) Alur Pencatatan dan Pelaporan Data Perawatan HIV dan ART

Pencatatan yang lengkap sangat diperlukan sehingga penanganan komplikasi


penyakit dan efek samping ARV menjadi lebih baik, mempermudah
pengumpulan data dan indikator yang dibutuhkan secara nasional dan
internasional serta analisis data untuk manajemen pasien dan program.
Selain itu pula pelaporan tepat waktu menjadi hal yang sangat penting
untuk dapat memberikan informasi tentang kebutuhan perawatan pasien di
sarana kesehatan, manajemen sarana dan suplai obat serta manajemen
program perawatan HIV, sehingga dapat memperbaiki kualitas layanan. Gambar
dibawah ini menunjukan alur data perawatan HIV dan ART beserta
laporan yang dihasilkan.

36
!"Laporan"Bulanan"
!"Laporan"EWI!HIVDR"

3.2. Penanganan Stigma Masyarakat tentang ODHA


Phillips LA, menyebutkan bahwa sejarah HIV-AIDS yang identik dengan
kelompok yang terdiskriminasi seperti kelompok homoseksual dan pecandu
narkoba menyebabkan munculnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
Stigma muncul karena melihat HIV-AIDS dapat terjadi pada kelompok yang
memiliki perilaku berbeda dengan masyarakat kebanyakan.
Stigma merupakan atribut, perilaku, atau reputasi sosial yang
mendiskreditkan dengan cara tertentu. Menurut Corrigan & Kleinlein stigma
memiliki dua pemahaman sudut pandang, yaitu stigma masyarakat dan stigma
pada diri sendiri (self stigma). Stigma masyarakat terjadi ketika masyarakat umum
setuju dengan stereotipe buruk seseorang (misal, penyakit mental, pecandu, dll)
dan self stigma adalah konsekuensi dari orang yang distigmakan menerapkan
stigma untuk diri mereka sendiri.
Stigma dari masyarakat bisa berasal dari keluarga terdekat, teman dan
tetangga, serta dari akses layanan publik. Stigma dari keluarga diterima ODHA
dalam bentuk diskriminasi dan pembiaran. Diskriminasi terjadi karena keluarga
merasa takut tertular infeksi virus HIV. Bentuk deskriminasi seperti barang-
barang yang dipisahkan penggunaannya, barang yang disentuh ODHA langsung

37
dibersihkan, dan dikucilkan dengan tidak membolehkan anak-anak bermain
bersama ODHA.
Pembiaran oleh keluarga yang diterima ODHA berupa anggapan oleh
keluarga bahwa ODHA bersangkutan dianggap tidak ada dalam keluarga
meskipun secara fisik ia ada dalam lingkungan keluarga. Stigma dari teman atau
tetangga yang diterima ODHA berbentuk diskriminasi dan intimidasi (bullying).
Diskriminasi tidak hanya pada saat ODHA masih hidup, tetapi juga pada saat
sudah meninggal. ODHA juga menerima intimidasi dalam bentuk kata-kata yang
merendahkan.
ODHA selain menerima stigma dari masyarakat atau lingkungannya juga
stigma dari dalam dirinya (self stigma). Sebagian besar informan mengungkapkan
bahwa mereka merasa takut terhadap kondisinya dan takut terhadap penerimaan
masyarakat. Ketakutan terhadap kondisi pribadi akan penyakit serta dampak dari
stigma keluarga dan masyrakat.
Hasil penelitian Herani et al, menunjukkan bahwa bentuk diskriminasi
yang diterima oleh ODHA dari lingkungan adalah penolakan keluarga (dijauhi
keluarga), pemisahan peralatan makan, dikucilkan, dan penolakan dari lingkungan
sekitar seperti warga kampung dan lingkungan kerja ODHA. Diskriminasi ini
terjadi karena adanya ketakutan lingkungan akan tertular penyakit HIV dan AIDS.
Label negatif dan diskriminasi yang diterima membuat ODHA cenderung
memiliki konsep diri negatif (merasa tidak berharga, tidak berguna, tidak berdaya,
menurunnya motivasi untuk menjalani kehidupan dan menarik diri dari
lingkungan).
Pendapat lain disampaikan oleh Andrewin et al. bahwa stigma terhadap
ODHA juga dilakukan oleh petugas kesehatan. di Belize, diketahui bahwa petugas
kesehatan (dokter dan perawat) mempunyai stigma dan melakukan diskriminasi
pada ODHA. Hasil penelitian Chen menunjukkan bahwa 64,1% perawat memiliki
simpati kepada pasien dengan HIV positif. Penelitian ini juga mengatakan bahwa
lebih dari 50% perawat yang memiliki simpati tersebut, mengaku menghindari
untuk kontak atau berhubungan dengan pasien-pasien ini, dan secara umum
petugas kesehatan kurang mendukung terhadap ODHA dan kelompok terstigma.
Penatalaksaan Stigma :

38
Menurut Santi, hal-hal yang dapat dilakukan secara individual untuk
mengubah Stigma tentang ODHA adalah waspada pada bahasa yang kita gunakan
dan hindari kata-kata yang menstigma, sediakan perhatian untuk mendengarkan
dan mendukung anggota keluarga ODHA di rumah, kunjungi dan dukung ODHA
beserta keluarganya di lingkungan tempat tinggal kita, doronglah ODHA untuk
menggunakan layanan yang tersedia, seperti konseling, tes HIV, pengobatan
medis, ART, dan merujuk mereka pada siapapun yang dapat menolong.
Selanjutnya Santi, menjelaskan agar masyarakat tidak membicarakan dan
bertindak melawan stigma tentang ODHA dapat dilakukan beberapa hal
diantaranya testimoni oleh ODHA maupun keluarganya mengenai pengalaman
mereka hidup dengan HIV atau hidup dengan orang positif HIV, pengawasan
bahasa (language watch) dalam berinteraksi dengan sesama dan ODHA, lakukan
“survey mendengarkan “ untuk mengidentifikasi kata-kata yang menstigma yang
sering digunakan dalam masyarakat (di media maupun lagu-lagu popular),
Community mapping mengenai stigma. Dengan meunjukkan peta pada tempat
pertemuan yang membahas stigma ODHA, Community walk untuk
mengidentifikasi titik stigma di masyarakat, pertunjukan drama berdasarkan kisah
nyata dan pameran gambar sebagai titik fokus untuk memulai diskusi mengenai
stigma ODHA. Pendapat lain disampaikan oleh Yusnita, satu upaya dalam
menanggulangi adanya diskriminasi terhadap ODHA adalah meningkatkan
pemahaman tentang HIV dan AIDS di masyarakat, khususnya di kalangan petugas
kesehatan, dan terutama pelatihan tentang perawatan.
Menurut Kemenkes RI banyak faktor yang memengaruhi terjadinya stigma
pada ODHA di masyarakat. Pendidikan kesehatan yang bertujuan meningkatkan
pengetahuan mengenai HIV/AIDS dalam banyak penelitian dibuktikan sebagai
salah satu faktor yang paling mempengaruhi terjadinya pengurangan stigma.
Orang yang memiliki pengetahuan cukup tentang faktor risiko, transmisi,
pencegahan, dan pengobatan HIV/AIDS cenderung tidak takut dan tidak
memberikan stigma terhadap ODHA. Hal ini sejalan dengan hasil penelitiannya
yang ditemukan, bahwa hampir 75% responden memiliki pengetahuan yang
kurang tentang IMS dan HIV/AIDS dengan adanya beberapa pemahaman yang
masih salah, seperti HIV dapat ditularkan melalui pakaian atau benda-benda yang

39
dipakai oleh ODHA dan orang yang menderita HIV dapat menunjukkan gejala
penyakitnya memiliki stigma yang buruk terhadap ODHA. Meskipun demikian,
responden juga memahami dengan baik bahwa HIV dapat ditularkan melalui
hubungan seksual dan transfusi darah. Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat
memengaruhi sikap seseorang terhadap penderita HIV/AIDS. Stigma terhadap
ODHA muncul berkaitan dengan tidak tahunya seseorang tentang mekanisme
penularan HIV dan sikap negatif yang dipengaruhi oleh adanya epidemi
HIV/AIDS di masyarakat. Kesalahpahaman atau kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang HIV/AIDS sering kali berdampak pada ketakutan masyarakat
terhadap ODHA, sehingga memunculkan penolakan terhadap ODHA. Pemberian
informasi lengkap, baik melalui penyuluhan, konseling maupun sosialisasi tentang
HIV/AIDS kepada masyarakat berperan penting untuk mengurangi stigma
terhadap ODHA.
Menurut Rozi, penatalaksanaan terhadap stigma ODHA dapat dilakukan
dengan meningkatkan dukungan sosial teman sebaya. Dukungan ini akan
meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS. Hasil penelitiannya
menunjukan bahwa kualitas hidup pada ODHA pada kelompok dukungan sebaya
di Solo dan Surakarta diketahui memiliki hubungan yang positif artinya semakin
baik dukungan sosial maka kualitas hidup pasien ODHA semakin meningkat.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Diatmi & Diah yang
mengatakan bahwa semakin tinggi dukungan sosial pada orang dengan HIV/
AIDS maka semakin tinggi pula kualitas hidup pada ODHA.
Menurut Latifa, stigma ODHA dapat diatasi dengan peran dari tokoh
masyarakat maupun agama, sebagai kelompok masyarakat madani yang disegani,
ditengarai dapat memengaruhi perilaku masyarakat. Salah satu caranya adalah
melalui forum dialog yang difasilitasi untuk mendukung upaya pengurangan
stigma dan diskriminasi terhadap ODHA termasuk memobilisasi massa dalam
memberikan dukungan dan pelayanan kepada mereka yang terinfeksi virus HIV.
Keberadaan tokoh-tokoh tersebut sangat penting dalam membantu mengubah
persepsi negatif masyarakat terhadap ODHA. Tokoh agama di ·Malaysia dan
Thailand memiliki peran penting dalam membantu menurunkan jumlah kasus
HIV & AIDS di negaranya.

40
Peran tokoh masyarakat bukan saja memberikan perubahan pada perilaku
dan pemahaman masyarakat tetapi juga meningkatkan solidaritas sosial
masyarakat di lingkungan terhadap orang dengan ODHA. Hal ini dikarenakan
karena tokoh masyarakat memberikan contoh dalam meningkatkan keyakinan
masyarakat dan perubahan karakter mereka tentang stigma pada ODHA.

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas
seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara
keseluruhan dimana kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan
keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah
pneumonia interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung
disebabkan oleh HIV pada jaringan paru.

41
Komplikasi Oral Lesi: Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi,
HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV),
leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
Pemeriksaan peniunjang seperti; Tes untuk diagnose infeksi HIV
1. ELISA, latex agglutination
2. Western blot ( positif)
3. Tes antigen P 24 (polymerase chain reaction) atau PCR
4. Kultur HIV
4.2. Saran
1) Memberikan support kepada penderita HIV agar tidak putus asa dalam
menjalani hidup.
2) Mencegah penyebaran HIV dengan pemeriksakan kesehatan anda dan
anak secara rutin.
3) Dan kita sebagai perawat terus memberikan asuhan keperawatan kepada
penderita agar cepat sembuh dalam pengobatan

DAFTAR PUSTAKA
Ners, M. (2011, desember 14). about us : ASUHAN KEPERAWATAN PADA
ANAK DENGAN HIV/ AIDS. Retrieved from ASUHAN KEPERAWATAN
PADA ANAK DENGAN HIV/ AIDS:
https://www.academia.edu/34884395/ASUHAN_KEPERAWATAN_PAD
A_ANAK_DENGAN_HIV_AIDS

Masithih, D. (2015, juli 10). about us : Makalah HIV AIDS. Retrieved from
Makalah HIV AIDS:
https://www.academia.edu/13551076/Makalah_HIV_AIDS

Asrani, H. (2013, Februari 23). about us : Askep HIV AIDS. Retrieved from Askep
HIV AIDS: http://macrofag.blogspot.com/2013/02/askep-hiv-aids.html

42
LAMPIRAN JURNAL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

43
STIKES WIDYAGAMA HUSADA MALANG
2019

44

Anda mungkin juga menyukai