Anda di halaman 1dari 40

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HIV DENGAN KANDIDIASIS

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS

Dosen pengampu : Ns. Oktaffrastya W.M.S.Kep

Disusun oleh :

1. Citra Ayu Dwi P (202014201001)


2. Lina Amanda Putri (202014201008)
3. M. Luthfan Kurnia (202014201009)
4. Okky Irfancara (202014201014)
5. Arya Khresna D (202014201023)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SATRIA BHAKTI
NGANJUK
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
kehadirat-Nya karena telah memberikan limpahan rahmat dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan
Pada Pasien HIV Dengan Kandidiasis. Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS.

Keberhasilan penulisan makalah tidak lepas dari dukungan dan


bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan kali ini kami
menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Yth. Dosen pengampu mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS.


2. Rekan-rekan yang ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan penulisan
makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari


sempurna, baik dari segi penyusunan, pembahasan, maupun penulisannya. Oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat positif dan memberi semangat akan kami
terima dengan senang hati.

Nganjuk, 22 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul.....................................................................................................i
Kata Pengantar.....................................................................................................ii
Daftar Isi.............................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................2
1.3 Tujuan.................................................................................................2
1.4 Manfaat...............................................................................................2

Bab II Pembahasan
2.1 Definisi Pendidikan Kesehatan dan Promosi Kesehatan.....................3
2.2 Pengertian Belajar Mengajar...............................................................4
2.3 Teori dan Konsep Belajar....................................................................5

Bab III Penutup


3.1 Kesimpulan..........................................................................................9
3.2 Saran.....................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
http://jurnal.unpad.ac.id/jkg/article/view/27552
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel darah
putih dan menyebabkan kumpulan gejala klinis yang disebut Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS). HIV/AIDS menjadi faktor predisposisi infeksi
kandidiasis oral. Ketidakadilan gender serta minimnya pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi dan hak seksualitas menyebabkan kerentanan penularan
infeksi HIV/AIDS terhadap wanita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik pasien, jenis terapi, dan tingkat imunosupresi pada wanita penderita
HIV/AIDS dengan kandidiasis oral. 
Penyakit HIV dan AIDS menyebabkan penderita mengalami penurunan
ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit
lain (Kemenkes, 2015). Penyebaran HIV tidak mengenal umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan , pekerjaan, status perkawinan dan daerah tempat tinggalnya (tanggadi,
1996 dan budiarto 1997 ). Penyakit HIV AIDS merupakan penyakit yang dapat
ditularkan dari orang ke orang melalui cairan tubuh penderita yang terjadi melalui
proses berhubungan seksual, transfusi darah, penggunaan jarum suntik yang
terkontaminasi secara bergantian, dan penularan dari ibu ke anak dalam kendungan
melalui plasenta dan kegiatan menyusui.
Penyakit HIV menular melalui cairan genitalia (sperma dan cairan vagina
penderita masuk keorang lain melalui jaringan epitel sekitar uretra, vagina dan anus
akibat hubungan seksbebas tanpa kondom, heteroseksual atau homoseksual. Ibu
yang menderita HIV sangat beresiko menularkan HIV ke bayi yang dikandung jika
tida ditangani dengan kompeten (Nursalam 2011
Perawat memiliki tugas memenuhi kebutuhan dan membuat status kesehatan
ODHA meningkat melalui asuhan keperawatan. Asuhan keperawatan merupakan
suatu tindakan atau proses dalam praktek keperawatan yabg diberikan secara
lengsung kepada pasien untuk memenuhi kebutuhan objektif pasien, sehingga dapat
mengatasi masalah yang sedang dihadapinya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apa pengertian dari HIV/AIDS?
2. Apa penyebab dari timbulnya penyakit HIV/AIDS?
3. Klasifikasi Penyakit HIV/AIDS
4. Bagaimana Patofisiologi HIV/AIDS?
5. Bagaimana Manifestasi Klinis dari HIV/AIDS?
6. Apa Komplikasi yang akan terjadi pada HIV/AIDS?
7. Apasajakah Pemeriksaan Penunjang HIV/AIDS?
8. Bagaimana penatalaksanaan HIV/AIDS?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian HIV/AIDS
2. Untuk mengetahui penyebab timbulnya HIV/AIDS
3. Untuk mengetahui pengertian Kandidiasis
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep HIV/AIDS
2.1.1 Pengertian Penyakit HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab
penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang
merusak kekebalan tubuh manusia. Tahun 2013 di Kalimantan Selatan
terdapat 227 kasus HIV dan 134 kasus AIDS dengan kasus tertinggi di
Kabupaten Tanah Bumbu yaitu kasus HIV 189 orang dan 30 kasus
AIDS. Peningkatan kasus baru diproyeksikan terjadi pada populasi
sopir karena termasuk mobile men with money and migrant. Tujuan
penelitian untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap dengan
upaya pencegahan HIV/AIDS pada ibu rumah tangga dengan suami
pekerja sopir bus antar kota terhadap upaya pencegahan HIV/AIDS.
Penelitian dilakukan pada tahun 2014 dengan rancangan penelitian
secara cross sectional. Sampel ibu rumah tangga sebanyak 40 orang
secara accidental. Analisis data dengan uji chi-square. Analisis
univariat didapatkan hasil tingkat pengetahuan rendah dan tinggi
seimbang sebanyak 50%, sikap kategori baik 92.5% dan upaya
pencegahan rendah sebanyak 65%. Analisis bivariat didapatkan ada
hubungan antara pengetahuan dengan upaya pencegahan (p=0,000,
OR=35,2), dengan upaya pencegahan tidak ada hubungan (p=0,539).
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas/article/view/3464
Octavianty, Lenny, et al. "Pengetahuan, Sikap dan Pencegahan HIV/AIDS
pada Ibu Rumah Tangga." KEMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat 11.1
(2015): 53-58.

2.1.2 Etiologi Penyakit HIV/AIDS


Melemahnya system imun akibat HIV menyebabkan timbulnya gejala
AIDS. HIV tergolong pada kelompok retrovirus dengan materi genetic
dalam Rebonukleat Acid (RNA), menyebabkan AIDS dan menyerang
sel khususnya yang memiliki antigen permukaan CD4 terutama sel
limfosit T4 yang mempunyai peran penting dalam mengatur dan
mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Virus HIV juga bisa
menginfeksi sel monosit dan magrofag, sel lagerhands pada kulit, sel
dendrit pada kelenjar linfa, makrofag pada alveoli paru, sel retina, dan
sel serviks uteri. Lalu kemudian virus HIV akan masuk kedalam
limfosit T4 dan menggandakan dirinya selanjutnya akan
menghancurkan sel limfosit itu sendiri. Ketika sistem kekebalan tubuh
yang tidak mempunyai kemampuan untuk menyerang maka virus ini
akan menyebabkan seseorang mengalami keganasan dan infeksi
oportunistik (Suliso, 2006 dalam Fauzan 2015).
5 fase transmisiinfeksi HIV dan AIDS yaitu:
1. Window Periode/Periode Jendela
Kondisi dimana seseorang sudah terinfeksi HIV tapi tubuhnya
belum memproduksi antibodi HIV, jika dites HIV akan
menunjukan non-reaktif/negative, tapi sebenarnya sudah
terinfeksi, HIV ini tidak langsung memperlihatkan gejala tertentu,
sebagian menunjukan gejala – gejala yang tidak khas seperti
infeksi akut. Sekitar 3 – 6 minggu setelah terkena virus
HIV.Contoh : ruam, pusing, demam, nyeri tenggorokan, tidak
enak badan seperti orang flu biasa.
2. Stadium 1/Asimtomatik (Tanpa Gejala)
Disini antibody HIV sudah terbentuk artinya walaupun tidak ada
gejala HIV tapi jika di tes HIV hasilnya sudah positif/re-aktif atau
kadang hanya sedikit pembengkakan pada kelenjar getah bening.
Periode ini bisa bertahan berfariasi setiap orang ada yang 8-10
tahun, ada yang jauh lebih cepat berprogresif ada yang sampai 15
tahun. Setelah di stadium 1 jika tidak ketahuan dan tidak dobati
akan berlanjut ke HIV stadium 2.
3. Stadium 2: BB turun <10% + gejala penurunan system imun
Pada stadium ini mulai menunjukan beberapa gejala - gejala, berat
badan mulai turun tapi kurang dari 10% berat badan normal, mulai
muncul penyakit – penyakit seperti ada jamur di kuku, sariawan
yang tidak sembuh – sembuh dan berulang – ulang terjadi. Gejala
awal yang menunjukan system imun seseorang itu mulai menurun
tapi belum terlalu parah namun jika pada stadium ini belum juga
ketahuan dan belumdiobati maka akan lanjut ke stadium 3.
4. Stadium 3
BB turun >10%, diare >1 bulan, demam >1 bulan jadi seperti
demam yang tidak berhenti walaupun sedah diberikan obat
penurun panas setelah efeknya hilang dan muncul lagi, kandidiasis
oral/jamur dimulut bahkan sampai muncul gejala TB paru ini
semua adalah penyakit disebabkan karena turunnya system
pertahannan tubuh/system imun. Kemudian jika tidak juga diobati
maka akan menuju HIV stadium 4.
5. Stadium 4: HIV Wasting Syndrome-AIDS
Tahap ini sudah masuk pada AIDS gejala yang dialami sudah
semakin parah, badan sudah sangat kurus, kulit berjamur, mulut
berjamur, kuku berjamur. Wasting syndrome artinya hanya tinggal
kulit dan tulang.
2.1.3 Klasifikasi Penyakit HIV/AIDS
Human Immunodeviciency Virus (HIV) merupakan kelompok virus
RNA :
Family : retroviradae
Sub family: lantivirinae
Genus : lentivirus
Spesies : Human Immunodeficiency Virus 1 (HIV-1)
Human Immunodeficiency 2 (HIV-2)
HIV menunjukan banyak gambaran khas fisikokimia dan familinya
terdapat dua tipe yang berbeda dari virus AIDS manusia, yaitu HIV-1
dan HIV-2.Kedua tipe dibedakan berdasarkan susunan genom dan
hubungan filogenetik (evolusioner) dengan lentivirus primate lainnya.
Perbedaan juga terletak dari gen vpr, kemudian pada HIV – 2 terdapat
gen vpx yang merupakan homolog dari gen vpu pada HIV-1.
Perbedaan yang lain adalah HIV-2 progresifnya lebih lambat dan
banyak meyerang susunan syaraf pusat Fauzan 2015.
2.1.4 Patofisiologi Penyakit HIV/AIDS
Menurut Robbins, Dkk (2011) perjalanan HIV paling baik
dipahami dengan menggunakan kaidah saling mempengaruhi antara
HIV dan sistem imun. Ada tiga tahap yang dikenali yang
mencerminkan dinamika interaksi antara virus dan penjamu. (1) fase
akut pada tahap awal; (2) fase kronis pada tahap menengah; dan (3)
fase kritis pada tahap akhir.
Fase akut menggambarkan respon awal seseorang deawas yang
imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yanmg khas
merupakan penyakit yang sembuh sendiri yang terjadi pada 50%
hingga 70% dari orang dewasa selama 3-6 minggu setelah infeksi;
fase ini ditandai dengan gejalah nonspesifik yaitu nyeri tenggorokan,
nilagioa, demam, ruam, dan kadang-kadang meningitis aseptik. Fase
ini juga ditandai dengan prooduksi virus dalam jumlah besar, viremia
dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang secara
khas disertai dengtan berkurangnya sel T CD4+ kembali mendekati
jumlah normal. Namun segera setelah hali itu terjadi, akan muncul
respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui
serokonversi ( biasanya dalam rentang waktu 3 hingg 17 minggu
setelah pejanan) dan munculnya sel T sitoksik CD8+ yang spesifik
terhadap virus. Setelah viremia meredah, sel T CD4+ kembali
mendekati jumlah normal. Namun berkurangnya virus dalam plasma
bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan
terus berkanjut didalam magkrofak dan sel T CD4+ jaringan.
Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukan tahap penahanan
relatif virus. Pada fase ini, sebagaian besar sistem imun masih utuh,
tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun. Pada pasien
tiudak menunjukan gejala ataupn limfadenopati persisten, dsan banyak
penderita yang mengalami infeksi oportunistik ”ringan” seperti
sariawan (candida) atau herpes zoster selama fase ini replikasi virus
dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang meluas
akan disertai dengan kehilangan sel CD4+ yang berlanjut. Namun,
karena kemampuan regenerasi imun besar, sel CD4+ akan tergantikan
dengan juumlah yang besar. Oleh karena itu penuruna sel CD4+
dalam darah perifer hanyalah hal yang sederhana. Setelah melewati
periode yang panjang dan beragam, pertahanan mulai berkkurang,
jumlah CD4+ mulai menurun, dan jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi
oleh HIV semakin meningkat. Linfadenopati persisten yang disertai
dengan kemunculan gejala konstitusional yang bermakna (demam,
ruam, mudah lelah) mencerminkan onset adanya deokompesasi sistem
imun, peningkatan replikasi virus, dan onset fase “kritis”. Tahap akhir,
fase kritis , ditandai dengan kehancuran pertahanna penjamu yang
sangat merugikan viremia yang nyata, srerta penyakit kinis. Para
pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari satu bulan, mudah
lelah, penurunan berat badan, dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun
dibawah 500 sel/µL. Setelah adanya interval yang berubah- ubah, para
pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma
sekunder, dan atau manifestasi neurologis (disebut kondisi yang
menentukan AIDS), dan pasien yang bersangkutan dikatakan telah
menderita AIDS yang sesungguhnya. Bahkan jikakondisi lazim yang
menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yanng digunakan
saat ini menentukan bahwa seseorang teerinfeksi HIV dengan jumlah
sel CD4+ kurang atau sma dengan 200/µL sebagai pengidap AIDS.

2.1.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis infeksi HIV terdiri dari tiga fase tergantung
perjalanan infeksi HIV itu sendiri, yaitu: Serokonversi, Penyakit HIV
asimtomatik, Infeksi HIV simtomatik atau AIDS
1. Serokonversi
Pertama kali saat tubuh terinfeksi virus HIV misalnya setelah
melakukan hubungan seks dengan pekerja seks komersial yang
menderita HIV dan beberapa minggu kemudian menderita
penyakit yang gejalanya mirip seperti flu masa ini disebut tahap
serokonfersi. Jadi gejalannya seperti tenggorokan sakit, demam,
muncul ruam – ruam kemerahan pada kulit, pembengkakan
kelenjar, penurunan berat badan, diare, kelelahan, nyeri
persendian, nyeri otot, biasanya gejala – gejala ini akan bertahan
1 minggu/2 bulan. Pada tahap ini dimana tanda – tanda tubuh
berusaha melawan infeksi HIV.
2. Penyakit HIV Asimtomatis
Tahap ke 2 ini adalah masa inkubasi/masa laten itu adalah waktu
ketika gejala – gejala flu tadi mulai mereda dan tidak
menimbulkan gejala apapun pada tubuh. Dan pada waktu ini virus
HIV akan menyebar dan merusak system kekebalan tubuh
seseorang. Pada tahap ini tubuh akan merasa sehat dan tidak akan
memiliki masalah apapun oleh karena itu tahap ini bisa
berlangsung antara 1 tahun sampai 10 tahun Nasrodin (2013).
3. Infeksi HIV Simtomatik atau AIDS.
Ketika system kekebalan tubuh sudah terserang sepenuhnya oleh
virus HIV/hilangnya imunitas seluler yang menyebabkan
hancurnya limfosit T-hepar CD4+ dengan kondisi ini jelas karena
seseorang sudah tidak punya kekebalan tubuh maka akan sangat
rentan dan sangat mudah sekali terkena penyakit apapun atau
disebut infeksi oportunistik dan sudah masuk pada tahap AIDS
(Price & Wislon; Ameltzer & Bare, 2014)
Tabel 2.1 penyakit yang menandai HIV/AIDS
1. Kandidiasis : esophageal, trakeal, atau bronchial
2. Kriptokosis, ekstraulmoner
3. Kanker serviks, infasif
4. Kriptosporidosis, intestinal kronik (>1bulan)
5. Enselopati HIV
6. Herpes smpleks dengan ulkus mukokuteneus >1bulan,
bronkilis, bronchitis atau pneumonia
7. Hitoplasmosis : tersebar atau ekstrapulmoner
8. Isosporiasis, kronik >1bulan
9. Kaposi sarcoma
10. Limfoma : burkit, imunoblastik, khususnya di otak
11. Pneumonia pneumosistis carinii
12. Leokoense palopati multifocal
13. Bakteremia salmonella
14. Toksoplasmosis, serebral
15. Wasting syndrome HIV
Definisi ini mencerminkan peningkatan kecenderungan timbulnya
masalah yang berkaitan dengan HIV yang menyertai rendahnya
jumlah sel CD4+ secara progresif. Setelah AIDS terjadi, maka sistem
imun sudah sedemikian terkompensasi sehingga pasien tidak mampu
lagi mengontrol infeksi oleh patogen oportunis yang pada kondisi
normal tidak berproliferasi, serta menjadi rentan terhadap terjadinya
beberapa keganasan. Pasien dengan AIDS yang tidak diobati rata-rata
meninggal dalam jangka waktu satu hingga tiga tahun.Terapi yang
telah tersedia saat ini telah memperbaiki prognosis pasien infeksi HIV
secara signifikan (Price & Wislon, 2006; Ameltzr & Bare, 2010).
2.1.6 Komplikasi
Menurut Budhy, 2017 komplikasi yang disebabkan karena infeksi
HIV memperlemah system kekebalan tubuh, yang dapat menyebabkan
penderita banyak terserang infeksi dan juga kanker tertentu. Infeksi
umum terjadi pada HIV/AIDS antara lain:
1. Tuberculosis (TB)
Tuberkulosi pada pasien HIV sering ditemukan. Jika dilihat dari
manifestasi klinis atau gejala maka sama antara pasien normal dan
penderita HIV namun perlu penekanan bahwah pada pasien HIV
seringkali tidak menemukan gejala batuk. Juga tidak ditemukan
adanya kuman BTA pada pasien – pasien yang HIV positif karena
adanya penekanan imun sehingga dengan CD4 yang rendah
membuat tubuh tidak mampu untuk membentuk adanya
granuloma/ suatu proses infeksi didalam paru yang kemudian tidak
bermanifes dan tidak menyebabkan adanya dahak. Namun
penderita HIV yang yang memiliki kuman TB sangat berisiko
sepuluh kali untuk terkena Tuberculosis terutama pada pendrita
HIV/AIDS yang memiliki sel CD4 dibawah 200.\
2. Masalah di Otak
Pasien HIV seringkali mengalami masalah diotak. Masalah diotak
yang sering dijumpai pada pasien HIV dibagi menjadi 2 :
a. Infeksi Oportunistik di Otak
Disebabkan oleh berbagai macam kuman misalnya
Toksoplasma yaitu suatu parasit atau oleh jamur meningitis
criptococus, infeksi Tuberculosis (TB).
b. Dimensia HIV/lupa atau gangguan memori pada pasien HIV
Disebabkan oleh proses infeksi HIV itu sendiri didalam otak
yang menimbulkan berbagai reaksi peradangan diotak
sehingga manifestasinya adalah pasien mengeluh sering lupa
dan mengalami kesulitan untuk melakukan ativitas harian
akibat memori jangka pendeknya terganggu. Deminsia HIV
merupakan suatu keadaan yang harus didiagnosis karena
penyakit ini jika terjadi pada seorang pasien HIV dapat
mengganggu pengobatan, pasien akan lupa untuk minum obat.
3. Meningitis
Pasien dengan gejala meningitis paling sering dengan 4 tanda dan
keluhan nyeri kepala, panas badan, kemudian penurunan
kesadaran dan juga adanya kaku kuduk.\
4. Hepatitis C
Pasien HIV dengan hepatitis C biasanya terjadi pada pasien HIV
akibat Injection Drug User (IDU). Gejala awal yang dirasakan
yaitu mudah lelah, tidak nafsu makan dan bisa tibul mata yang
kuning lalu kemudian perut membuncit, kaki bengkak dan
gangguan kesadaran. Pasien HIV dengan hepatitis kemungkinan
lebih besar untuk terjadi penyakit kronik/hepatitis kronik jka tidak
diobati maka akan terjadi serosis hati, setelah itu bisa menjadi
kanker hati yang akan menimbulkan kematian.
5. Koinfeksi sifilis dan HIV
Biasanya terjadi pada pasien Male Sex Male (MSM) yang
terinfeksi HIV, sifilis adalah suatu infeksi menular seksual yang
disebabkan oleh karena bakteri Treponemapalidum.Bakteri ini
dapat meyerang sistemik, awalnya melakukan infeksi lokal pada
tempat kontak seksual bisa di oral, genetal ataupun di anus dan
kemudian berkembang menimbulkan gejala ulkus kelamin.
Koinfeksi HIV menyebabkan manifestasi klinis sifilis menjadi
lebih berat yang disebut Sifilis Maligna, meyebar luas ke seluruh
badan sampai ke mukosa.
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan HIV
a. Skrining HIV
Untuk mengetahui tingkat resiko infeksi dan juga pola hidup
kesehraian, apakah memang benar faktor resiko tinggi untuk
menderita penyakit HIV.
b. Tes Serologi/Tes Antibody
1) Rapid test
2) Tes ELISA
c. Tes Konfirmasi
1) Wastern blot
2) Indirect Fluorescent Antibody(IFA)
d. Deteksi Virus
1) Antigen P24
2) Viral load/PCR
2. Pemeriksaan Infeksi Oportunistik
a. Hitung sel T CD4
Pemeriksaan sel CD4 ini dilakukan apabila pasien ada gejala
infeksi oportunistik, untuk melihat apakah pasien memerlukan
pencegahan kotrimoksasol.
b. Viral load (VL)
Di periksa setelah pasien minum obat ARV 6 bulan
kemudian.Dan seharusnya viral load sudah tidak
terdeteksi.Jika viral load kurang dari 1000 sudah menunjukan
pengobatan baik. Namun jika viral load lebih dari 1000 maka
harus dilakukan pengulangan lagi apakah terjadi adanya
resistensi obat. Viral load adalah jumlah virus yang ada
didalam darah.
2.1.8 Penatalaksanaan
1. Farmakologi
a. Terapi antiretroviral (ARV)
Terapi antiretroviral berfungsi untuk memperlama/
menghambat perkembangan dari virus HIV sehingga
perkembangan menuju AIDS bisa dalam waktu lama.
Pengobatan biasanya dimulai ketika CD4 menurun , begitu
seseorang start melakukan pengobatan HIV menggunakan
ARV maka penderita harus meminum obat tersebut seumur
hidup secara rutin dan jangan sampai terlewat/putus obat
tujuannya untuk menjaga jumlah kadar CD4 dalam tubuh dan
mempertahankan kekebalan tubuh (Nursalam & Ninuk, 2013).
b. Golongan Obat ARV
Menurut Desmawati, 2013 dijelaskan ada beberapa
golongan dari obat ARV antara lain yaitu:
1. Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitor (NRTI)
Jenis – jenis obat HIV berdasarkan nama generic:
a) Zidovudine
b) Didanosine
c) Zalzitabine
d) Stavudine
e) Lamivudne
f) Abacavir Tenofovir
2. Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) yang
termasuk golongan ini adalah Tenofir (TDF).
3. Non-Nuleuside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
golongan ini juga bekerja dengan menghambat proses
perubahan RNA menjadi DNA dengan mengikat reverse
transcriptase sehingga tidak berfungsi.
Golongan Non-nucleouside reverse transcriptase inhibitor
berdasarkan ama genetic:
a) Nevairavine
b) Delavirdine
c) Efavirenz
d) Protease inhibitor (PI)
Menghalangi kerja enzim protease yang berfungsi
memotong DNA yang dibentuk oleh virus dengan
ukuran yang besar untuk memproduksi virus baru,
contoh obat golongan ini adalah :
a) Indinavir (IDV)
b) Nelvinavir (NFV)
c) Squinavir (SQV)
d) Ritonavir (RTV)
e) Amprenavir (APV)
f) Leponavir/ ritonavir (LPV/R)
4. Fusion Inhibitor
Menghambat menempelnya virus dengan sel lmfosit
melalui sel CD4. Fusion inhibitor iniyang termasuk
golongan ini adalah Enfuvirtide (T-20),
c. Vaksin dan Rekonstruksi Imun
Tantangan terapiutik untuk pengobatan AIDS tetap ada.Sejak
agen penyebab infeksi HV dan AIDS dapat diisolasi,
pengembangan vaksin telah diteliti secara aktif. Upaya – upaya
rekontruksi imun juga sedang diteliti dengan agen tersebut
seperti interferon. Penelitian yang akan datang tidak di
ragukan lagi untuk menghasilkan obat – obat tambahan dan
protocol tindakan terhadap penyakit ini (Desmawati, 2013).
2. Terapi Non Farmakologi
a. Pemberian nutrisi
Defisiensi gizi pada pasien positif HIV biasanya
dihubungkan dengan adanya peningkatan kebutuhan karena
adanya infeksi penyerta/infeksi oportunistik. Disaat adanya
infeksi penyerta lainnya maka kebutuhan gizi tentunya akan
meningkat. Jika peningkatan kebutuhan gizi tdak di imbangi
dengan konsumsi makanan yang di tambahkan atau gizi yang
ditambah maka kekurangan gizi akan terus memburuk,
akhirnya akan menghasilkan sebuah kondisi yang tidak
menguntungkan bagi dengan positif HIV. Yang harus
dilakukan adalah mengatasi kekurangan gizi ini :
1) Mengkonsumsi makanan dengan kepadatan gizi yang
lebih tinggi dari makan biasanya.
2) Minuman yang di konsumsi upayakan adalah mi numan
yang berenergi (Desmawati, 2013).
Selain mengkonsumsi jumlah nutrisi yang tinggi, penderita
HIV/AIDS juga harus mengkonsumsi suplementasi atau nutrisi
tambahan.Tujuan nutrisi agar tidak terjadi defisiensi vitamin
dan mineral.
b. Aktivitas dan Olahraga
Olahraga yang dilakukan secara teratur sangat membantu
efeknya juga menyehatkan.Olahraga secara teratur
menghasilkan perubahan pada jaringan, sel, dan protein pada
system imun.
2.2 Konsep Infeksi oportunistik
2.2.1 Pengetian Infeksi Oportunistik
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang disebabkan karena
menurunnya sistem imunitas tubuh, infeksi oportunistik ini terjadi
karena adanya mikroorganisme yang masuk kedalam tubuh seperti
bakteri, jamur, dan virus(Susami, Herpa 20010).Perjalanan HIV
ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya virulensi virus,
responimun, cara transisi HIV, dan penyakit lain yang
mendasari.Dengaan menurunnya kekebalan tubuh seseorang, maka
berbagai mikroorganisme baik dari dalam maupun dari luar tubuh
cenderung aktif, dandapat menimbulkan infeksi oportunistik. Cara
penanggulangan infeksi oportunistik sangat bergantung pada
mikroorganisme penyebab infeksi oportunistik yang menyerang
seseorang (Nasronudin 2013).
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang disebabkan oleh organisme
yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang dengan system
kekebalan tubuh normal tetapi dapat menyerang orang dengan system
kekebalan tubuh yang buruk kekebalan tubuh, artinya bakteri –
bakteriyang komensal yang sebelumnya tetap ditemukan dalam tubuh
seseorang tapi tidak menimbulkan penyakit dengan kekebalan tubuh
normal karena system kekebalan tubuhnya mampu menehan
perkembangan bakteri atau kuman-kuman tersebut , namun pada
orang yang mnegalami gangguan system kekebalan tubuh bakteri
tersebut berkembang sehingga munculah infeksi yang disebut dengan
infeksi oportunistik. Sel CD4 normalnya 500 namun pada pasien
HIV/AIDS bisa kurang dari 500. Untuk memprediksi apakah
kemungkinan infeksi yang terjadi berdasarkan kadar dari sel CD4 per
mikroliter. Sel CD4 akan semakin berkurang dengan bertambahnya
waktu terpaparnya infeksi HIV. Jika sel CD4 mencapai 350 maka
kemungkinan seseorang itu mengalamiinfeksinya adalah infeksi pada
kulit kemudian varicella zozter. Kemudian jika sel CD4 semakin turun
250 maka kemungkinan seseorang akan mengalami oral kandiiasis,
adanya pneumonia kemudian jika semakin berkurang kadar CD4 nya
seseorang bisa mengalami meningitis srteptococal, banyak sekali
ditemukan bahwah pasien HIV/AIDS yang mengalami tuberculosis
dan Infeksi oportunistik lainnya Nasronudin 2012.
2.2.2 FaktorResiko Infesksi Oportunistik
Dalam jurnal of Crohn’s and Colitis, Rahler JF, et al (2017)
menyebutkan ada beberapa faktor resiko yang menyebabkan
peningkatan atau resistensi terhadap infeksi oportunistik, diantaranya
yaitu :
1. Terapi Imunomodulator
Imunomodulator merupakan terap yang paling sering
digunakan untuk mengatasi infeksi akibat virus, bakteri, parasit,
dan jamur.Namun, dalam waktu yang bersamaan terjadi
mekanisme yang berbeda dmana obat – obat ini dapat
menyebabkan timbulnya infeksi.Toruner, dkk (2012)
mengemukakan bahwah pengunaan kortikosteroid menyebabkan
timbulnya infeksi virus dan terapi anti-TNF menyebabkan infeksi
jamur mikobakterium.
2. Paparan Pathogen Dan Keadaan Geografis
Dengan system kekebalan tubuh yang lemah dan keadaan
geografis tertentu infeksi oportunistik mengalami peningkantan
dan menyebar lebih luas sehingga bisa terpapar langsung oleh
patoghen.
3. Usia
Infeksi oportunistik seperti kanker, autoimun lebih banyak terjadi
pada orang yang usia lanjut apalagi jika pasien HIV.
4. Komorbid
Penyakit yang memiliki gangguan supresi sistem imun juga akan
lebih mudah menyebabkan infeksi oportunistik.
5. Malnutrisi
Malnutrisi merupakan mayoritas penyebab penurunan fungsi imun
dikarenakan meningkatnya pemakaian metabolisme berlebihan
dalam waktu lama sehingga terjadi defisiensi nutrisi yang
menyebabkan gangguan cell-mediated immunity, penurunan
fungsi fagosit, produksi sitokin, adan sekresi antibody, serta
gangguan system komplemen (Duggal, et al.2012).
2.2.3 Terapi Antiretroviral pada Penderita HIV dengan Infeksi
Oportunistik
Data berbagai penelitian mendapatkan bahwa ART menurunkan
insiden IO secara drastis, membantu resolusi dan perbaikan IO,
termasuk IO yang profilaksis dan terapi spesifiknya belum tersedia.
Terapi antiretroviral tidak dapat menggantikan kebutuhan terhadap
profilaksis antimikrobial pada pasien dengan imunosupresi yang berat,
namun telah menjadi landasan strategi untuk menurunkan berbagai
infeksi dan proses terkait HIV. Hubungan antara IO dan HIV bersifat
dua arah atau timbal balik. Infeksi HIV menyebabkan imunosupresi
yang memberikan kesempatan bagi patogen oportunistik untuk
menyebabkan penyakit, sebaliknya IO juga dapat mengubah
perjalanan alami HIV melalui peningkatan viral load sehingga
mempercepat perkembangan serta meningkatkan transmisi
HIV.Pemberian ART dapat menurunkan risiko IO, dan sebaliknya
pemberian kemoprofilaksis dan vaksinasi spesifik IO dapat membantu
menurunkan kecepatan perkembangan HIV dan meningkatkan angka
harapan hidup.
2.3 TB Paru
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1362/4/BAB%20II.pdf
2.3.1 Definisi
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, yang
terutama menyerang penyakit parenkim paru. Nama Tuberkulosis
berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang
terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi
bakteri dalam paru. Tb paru ini bersifat menahun dan secara khas
ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis
jaringan. Tb paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang
dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin atau bicara.
Pengertian Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular langsung
yang disebabkan karena kuman TB yaitu Myobacterium
Tuberculosis. Mayoritas kuman TB menyerang paru, akan tetapi
kuman TB juga dapat menyerang organ Tubuh yang lainnya.
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Werdhani, 2011).
Tuberkulosis atau biasa disingkat dengan TBC adalah penyakit
kronis yang disebabkan oleh infeksi kompleks Mycobacterium
Tuberculosis yang ditularkan melalui dahak (droplet) dari penderita
TBC kepada individu lain yang rentan (Ginanjar, 2008). Bakteri
Mycobacterium Tuberculosis ini adalah basil tuberkel yang
merupakan batang ramping, kurus, dan tahan akan asam atau sering
disebut dengan BTA (bakteri tahan asam). Dapat berbentuk lurus
ataupun bengkok yang panjangnya sekitar 2-4 μm dan lebar 0,2 –0,5
μm yang bergabung membentuk rantai. Besar bakteri ini tergantung
pada kondisi lingkungan (Ginanjar, 2010).
2.3.2 Etiologi
Sumber penularan penyakit Tuberkulosis adalah penderita
Tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau
droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman
Tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan,
kuman Tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian
tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau
penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya
penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil
pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita
tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi Tuberkulosis
ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut
2.3.3 Patofisiologi
Tempat masuk kuman Mycobacterium Tuberculosis adalah saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit.
Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC) terjadi melalui udara, yaitu
melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil
tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon
imunitas dengan melakukan reaksi inflamasi bakteri dipindahkan
melalui jalan nafas, basil tuberkel yang mencapai permukaan
alveolus biasanya di inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu
sampai tiga basil, gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di
saluran hidung dan cabang besar bronkhus dan tidak menyebabkan
penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, basil tuberkel ini
membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear
tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak
membunuh organisme tersebut. Setelah hari-hari pertama leukosit
diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul gejala Pneumonia akut.
Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga
tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus,
dan bakteri terus difagosit atau berkembangbiak di dalam sel. Basil
juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah
bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi
lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel
tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini
membutuhkan waktu 10 – 20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif
padat dan seperti keju, isi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa.
Bagian ini disebut dengan lesi primer. Daerah yang mengalami
nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri
dari sel epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon yang berbeda.
Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut
yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi
tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan
terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer
dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang dapat terjadi pada
daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam
bronkhus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang
dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk kedalam percabangan
trakheobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain di
paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah,
atau usus. Lesi primer menjadi rongga-rongga serta jaringan
nekrotik yang sesudah mencair keluar bersama batuk. Bila lesi ini
sampai menembus pleura maka akan terjadi efusi pleura
tuberkulosa.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan
meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen
bronkhus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang
terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat
mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran
penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan, dan
lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini
dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi
hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh
darah. Organisme yang lolos melalui kelenjar getah bening akan
mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang
dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran
ini dikenal sebagai penyebaran limfo hematogen, yang biasanya
sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena
akut yang biasanya menyebabkan Tuberkulosis milier. Ini terjadi
apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak
organisme masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar ke organ-
organ tubuh. Komplikasi yang dapat timbul akibat Tuberkulosis
terjadi pada sistem pernafasan dan di luar sistem pernafasan. Pada
sistem pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks, efusi
pleural, dan gagal nafas, sedang diluar sistem pernafasan
menimbulkan Tuberkulosis usus, Meningitis serosa, dan
Tuberkulosis milier (Kowalak, 2011).
2.3.4 Klasifikasi tuberkulosis

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting


dilakukan untuk menetapkan paduan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.
Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru

a. Tuberculosis Paru

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi


dalam :

1) Tuberkulosis Paru BTA (+)


Kriteria hasil dari tuberkulosis paru BTA positif
adalah Sekurang-kurangnya 2 pemeriksaan dari 3 spesimen
dahak SPS hasilnya BTA (+) atau 1 spesimen dahak SPS
hasilnya (+) dan foto rontgen dada menunjukan gambaran
tuberculosis aktif.

2) Tuberkulosis Paru BTA (-)


Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-)
dan foto rontgen dada menunjukan gambaran Tuberculosis
aktif. TBC Paru BTA (-), rontgen (+) dibagi berdasarkan
tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan
ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgan dada
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas.

b. Tuberculosis Ekstra Paru

TBC ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan


penyakitnya, yaitu :

1) TBC ekstra-paru ringan


Misalnya : TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.

2) TBC ekstra-paru berat

Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis,


pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC
usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin.

c. Tipe Penderita

Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada beberapa


tipe penderita yaitu:
1) Kasus Baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu
bulan (30 dosis harian).
2) Kambuh (Relaps)
Adalah penderita Tuberculosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan Tuberculosis dan telah
dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (+).
3) Pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan
di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke
kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan/pindah (Form TB.09).
4) Setelah Lalai (Pengobatan setelah default/drop out)
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1
bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang
kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (+).
2.3.5 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang sering terjadi pada Tuberkulosis adalah
batuk yang tidak spesifik tetapi progresif. Penyakit Tuberkulosis
paru biasanya tidak tampak adanya tanda dan gejala yang khas.
Biasanya keluhan yang muncul adalah :
1) Demam terjadi lebih dari satu bulan, biasanya pada pagi hari.
2) Batuk, terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini
membuang / mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk
kering sampai batuk purulent (menghasilkan sputum)
3) Sesak nafas, terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang
sampai setengah paru
4) Nyeri dada. Nyeri dada ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila
infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis.
5) Malaise ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun,
sakit kepala, nyeri otot dan keringat di waktu di malam hari
2.3.6 Komplikasi Tuberkulosis
Komplikasi dari TB paru adalah :
a. Pleuritis tuberkulosa
b. Efusi pleura (cairan yang keluar ke dalam rongga pleura)
c. Tuberkulosa milier
d. Meningitis tuberkulosa
2.3.7 Pemeriksaan penunjang Tuberkulosis
Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita TB paru adalah
a) Pemeriksaan Diagnostik
b) Pemeriksaan sputu
Pemeriksaan sputum sangat penting karena dengan di
ketemukannya kuman BTA diagnosis tuberculosis sudah dapat
di pastikan. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali yaitu: dahak
sewaktu datang, dahak pagi dan dahak sewaktu kunjungan
kedua. Bila didapatkan hasil dua kali positif maka dikatakan
mikroskopik BTA positif. Bila satu positif, dua kali negatif
maka pemeriksaan perlu diulang kembali. Pada pemeriksaan
ulang akan didapatkan satu kali positif maka dikatakan
mikroskopik BTA negatif.
c) Ziehl-Neelsen (Pewarnaan terhadap sputum). Positif jika
diketemukan bakteri taham asam.
d) Skin test (PPD, Mantoux)
Hasil tes mantaoux dibagi menjadi :
1. indurasi 0-5 mm (diameternya ) maka mantoux negative atau
hasil negative
2. indurasi 6-9 mm ( diameternya) maka hasil meragukan
3. indurasi 10- 15 mm yang artinya hasil mantoux positif
4. indurasi lebih dari 16 mm hasil mantoux positif kuat
5. reaksi timbul 48- 72 jam setelah injeksi antigen intrakutan
berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrasi
limfosit yakni persenyawaan antara antibody dan antigen
tuberculin
e) Rontgen dada
Menunjukkan adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian atas,
timbunan kalsium dari lesi primer atau penumpukan cairan.
Perubahan yang menunjukkan perkembangan Tuberkulosis
meliputi adanya kavitas dan area fibrosa.
f) Pemeriksaan histology / kultur jaringan Positif bila terdapat
Mikobakterium Tuberkulosis.
g) Biopsi jaringan paru
Menampakkan adanya sel-sel yang besar yang mengindikasikan
terjadinya nekrosis.
h) Pemeriksaan elektrolit
Mungkin abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi.
i) Analisa gas darah (AGD)
Mungkin abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa
kerusakan jaringan paru.
j) Pemeriksaan fungsi paru
Turunnya kapasitas vital, meningkatnya ruang fungsi,
meningkatnya rasio residu udara pada kapasitas total paru, dan
menurunnya saturasi oksigen sebagai akibat infiltrasi
parenkim / fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan kelainan pleura
(akibat dari tuberkulosis kronis)
2.3.8 Penatalaksanaan
Menurut Brunner dan Suddarth (2013) upaya penanganan medis
meliputi beberapa cara pendekatan yang mencakup penanganan
infeksi yang berhubungan dengan HIV serta malignasi, penghentian
replikasi virus HIV lewat preparat antivirus, dan penguatan serta
pemulihan sistem imun melaluui penggunaan preparat
immunomodulator. Perawatan suportif merupakan tindakan yang
penting karena efek infeksi HIV dan penyakit AIDS yang sangat
menurunkan keadaan umum pasien; efek tersebut mencakup
malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan dan imobilisasi dan
perubahan status mental. Penatalaksanaan HIV AIDS sebagai
berikut : a. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan
infeksi HIV. Infeksi umum trimetroprime-sulfametosoksazol, yang
disebut pula TMP-SMZ (bactrim, septra), merupakan preparat
antibakteri untuk mengatasi berbagai mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi. Pemberian secara IV kepada psien-pasien
dengan gastrointestinal yang normal tidak memberikan keuntungan
apapun. Penderita AIDS yang diobati dengan TMP- SMZ dapat
mengalami efek yang merugikan dengan insidenm tinggi yang tidak
lazim terjadi, sepeerti demam, ruam, leukopenia, trombositopenia
dengan gangguan fungsi renal. Pentamidin, suatu obat anti
protozoa , digunakan sebagai preparat alternatif untuk melawan
PCP. Jika terjadi efek yang merugikan atau jika pasien tidak
memperlihatkan perbaikan klinis ketika diobati dengan TMP-SMZ,
petugas kesehatan dapat meromendasikan pentamidin. Meningitis,
terapi untuk meningitis kriptokokus adalah amfoteisin B IV dengan
atau tanpa flusitosin atau flukonazol (diflukcan). Keadaan pasien
harus dipantau untuk mendeteksi efek yanga potensial merugikan
dan seirus dari amfoterisin B yang mencakup reaksi anafiklasik,
gangguan renal serta hepar,gangguan kesiembangan eletrolit,
anemia, panas danb menggigil. Retinitis sitomegalovirus, retinitis
yang disebabkan oleh sitomegalovirus (CMV; cyto megalovirus)
merupak penyebab utama kebutaan pada penderita penyakit AIDS.
Froskarmet (foscavir), yaitu preparat lain yang digunakan
mengobati retinitis CMV, disuntikan secara IV setiap 8 jam sekali
selam 2 hingga 3 minggu. Reaksi merugikan yang lazim pada
pemberiam foskarnet adalah nefrotoksisitas yang mencakup gagal
ginjal akut dan gangguan keseimbangan elektrolit yang mencakup
hipokalasemia, hiperfosvatemia, serta hipomagnesemia. Semua
keadaan ini dapat memabawa kematian. Efek merugikan lainnya
yang lazim dijumpai adalah serangan kejang-kejang gangguan
gastrointerstinal, anemia, flebitis, pada tempat infus dan nyeri
punggung bawah. b. Penatalaksanaan diare kronik Terapi dengan
okterotid asetat (sandostain), yaitu suatu analog sisntesis
somatostatin, ternyata efektif untuk mengattasi diare yang berat dan
kronik. Konsentraasi reseptor somaytosin yang tinggi ditemukan
dalam traktus gastrointestinal maupun jaringan lainnya.
Somatosytain akan mengahambat banayk fungsi fisiologis yang
mencakup motalisis gastrointerstinal dan sekresi – interstinal air
serta elekltrolit. c. Penalaksanaan sindrom pelisutan
Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencakup penanganan penyebab
yang mendasari infeksi oportunistik sistematis maupun
gastrointerstinal. Mallnutirisi sendriri akan memperbersar resiko
infeksi dan dapat pula meningkatkan insiden infeksi oportunistik.
Terapi nutrisi dapat dilakukan mulai dari diet oral dan pemberian
makan lewat sonde (terapi nutriasi enternal) hingga dukungan
nutrisi parenteral jika diperlukan. d. Penanganan keganasan
Penalaksanaan sarkoma kaposi biasanya sulit karena beragamnya
gejala dan sistem organ yang terkena. Tujuan terapinya adalah untuk
mengurangi gejala dengan memperkecil ukuran lesi pada kulit,
mengurangi gangguan rasa nyaman yang berkaitan dengan edma
serta ulserasi, dan mengendalikan gejala yang berhubungan dengan
lesi mukosa serta organ viseral. Hingga saat ini, kemoterapi yang
paling efektif tampaknya berupa ABV (adriamisin, bleomisin, dan
vinkristin). e. Terapi antiretrovirus Saat ini terdapat empat preparat
yang sudah disetujui oleh FDA untuk pengobatan HIV, keempat
preparat tersebut adalah; zidovudin,dideoksinosin, dideoksisitidin
dan stavudin. Semua obat ini menghambat kerja enzim reserve
trancriptase virus dan mencegah virus reproduksi HIV dengan cara
meniru salah satu substansi molekuler yang dugunakan virus
tersebut untuk membangun DNA bagi partikel-partikel virus baru.
Dengan mengubah komponen struktural rantaii DNA, produksi
virus yang baru akan dihambat. f. Inhibitor protase Inhibitor protase
merupakan obat yang menghanbat kerja enzim protase, yaitu enzim
yang digunakan untuk replikasi virus HIV dan produksi virion yang
menular. Inhibisi protase HIV-1 akan menghasilkan partikel virus
noninfeksius dengan penurunan aktivitas enzim reserve
transcriptase. g. Perawatan Pendukung Pasien yang menjadi lemah
dan memiliki keadaan umum yang menurun sebagai akibat dari
sakit kronik yang berkaitan dengan HIV memerlukan banyak
macam perawatan suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan
tindakan sederhana seperti membantu pasien dalam mendapatkan
atau mempersiapkan makanan. Untuk pasien dengan gangguan
nutrisi yang lanjut karena penurunn asupan makanan, sindrom
perlisutan, atau malabsorbsi saluran cerna yang berkaitan dengan
diare, mungkin diperlukan dalam pemberian makan lewat pembuluh
darah seperti nutrisi parenteral total. Gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit yang terjadi akibat mual, vomitus dan diare kerap kali
memrlukan terapi pengganti yang berupa infus cairan serta
elektrolit. Lesi pada kulit yang berkaitan dengan sarkoma caposi,
ekskoriasi kulit periana dan imobilisasi ditangani dengan perawatan
kulit yang seksama dan rajin; Perawatan ini mencakup tindakan
mengembalikan tubuh pasien secara teratur, membersihkan dan
mengoleskan salab obat serta menutup lesi dengan kasah steril. h.
Terapi nutrisi Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan
seimbang diperlukan pasien HIV AIDS untuk mempertahankan
kekuatan,nebingkatkan fungsi sistim imun, meningkatkan
kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi dan menjaga orang
yang hidup dengan infeksi HIV AIDS tetap aktif dan produktif.
Defisiensi vitamin dan mineral bisa dijumpai pada orang dengan
HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak stadium dini walaupun pada
ODHA mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, defisiensi
terjadi karena HIV menyebabka hilangnya nafsu makan dan
gangguan absorbsi zat gisi. Untuk mengatasi masalh nutrisi pada
pasien HIV AIDS, mereka harus diberi makanan tinggi kalori, tinggi
protein, kaya vitamin dan mineral serta cukup air. i. Manfaat
konseling dan VCT pada pasien HIV Menurut Nursalam (2011)
kionseling HIV/AIDS merupakan dialog antara seseorang (klien)
dengan pelayanan kesehatan (konselor )yang bersifat rahasia,
sehingga memungkinkan orang tersebut mampu menyesuaikan atau
mengadaptasi diri denga stres dan sanggup membuat keputusan
bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS. Konseling HIV berbeda
dengan konseling lainnya, walaupun keterampilan dasar yang
dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik
karena : 1) Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi
menular seksual (IMS) dan HIV/ AIDS 2) Membutuhkan menganai
praktik seks yang bersifat pribadi 3) Membutuhkan pembahasan
tentang kematian atau proses kematian 4) Membutuhkan kepekaan
konselor dalam menghadapi perbedaan pendapat dan nilai yang
mungkin sangat bertentangan dengan nilai yang dianut oleh
konselor itu sendiri 5) Membutuhkan keterampilan pada saat
memberikan hasil HIV positif 6) Membutuhkan keterampilan dalam
menghadapi kebutuhan pasnagan maupun anggota keluarga klien
Menurut nursalam (2011) tujuan konseling HIV yaitu : 1) Mencegah
penularan HIV dengan cara mengubah perilaku. Untuk merubah
perilaku ODHA (orang dengan HIV/AIDS) tidak hanya
membutuhkan informaasi belaka, tetapi jauh lebih pentung adalah
pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi mereka,
misalnya dala m perilaku seks aman, tidak berganti-ganti jarum
suntik, dan lain-lain. 2) Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam
segala aspek baik medis, psikologis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal
ini konseling bertujuan memberikan dukungan kepada ODHA agar
mampu hidup secara positif. Voluntary conseling tetsting atau VCT
adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak
terputus antara konselor dengan kliennya bertujuan mencegah
penularan HIV, memberikan dukungan moral, informasi, serta
dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga, dan lingkungannya
(Nursalam, 2011). Tujuan VCT yaitu sebagai upaya pencegahan
HIV /AIDS, upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan
presepsi/ pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko penyebab
seseorang terinfeksi HIV, dan upaya pengembangan perubahan
perilaku, sehingga secara dini mengarahkan menuju ke program
pelayanan dan dukunga termasuk akses terapi antiretroviral, serta
membantu mengurangi stikma dalam masyarakat (Nursalam, 2011).
2.3.9 Dampak Tuberkulosis Paru
Penyakit Tuberkulosis paru merupakan salah satu
penyakit yang sangat mempengaruhi kehidupan individu. Dampak
Tuberkulosis paru antara lain:
a. Terhadap individu
1) Biologis
Adanya kelemahan fisik secara umum, batuk yang terus
menerus, sesak napas, nyeri dada, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, keringat pada malam hari dan kadang-
kadang panas yang tinggi
2) Psikologis
Biasanya klien mudah tersinggung , marah, putus asa oleh
karena batuk yang terus menerus sehingga keadaan sehari-
hari yang kurang menyenangkan.
3) Sosial
Adanya perasaan rendah diri oleh karena malu dengan
keadaan penyakitnya sehingga klien selalu mengisolasi
dirinya.
4) Spiritual
Adanya distress spiritual yaitu menyalahkan Tuhan karena
penyakitnya yang tidak sembuh-sembuh juga menganggap
penyakitnya yang manakutkan.
5) Produktifitas menurun oleh karena kelemahan fisik.
b. Terhadap keluarga
1) Terjadinya penularan terhadap anggota keluarga yang lain
karena kurang pengetahuan dari keluarga terhadap penyakit
TB Paru serta kurang pengetahuan penatalaksanaan
pengobatan dan upaya pencegahan penularan penyakit.
2) Produktifitas menurun.
Terutama bila mengenai kepala keluarga yang berperan
sebagai pemenuhan kebutuhan keluarga, maka akan
menghambat biaya hidup sehari-hari terutama untuk biaya
pengobatan.
3) Psikologis
Peran keluarga akan berubah dan diganti oleh keluarga yang
lain
4) Sosial
Keluarga merasa malu dan mengisolasi diri karena sebagian
besar masyarakat belum tahu pasti tentang penyakit TB Paru
c. Terhadap masyarakat
1. Apabila penemuan kasus baru TB Paru tidak secara dini serta
pengobatan Penderita TB Paru positif tidak teratur atau
droup out pengobatan maka resiko penularan pada
masyarakat luas akan terjadi oleh karena cara penularan
penyakit TB Paru.
2. Lima langkah strategi DOTS adalah dukungan dari semua
kalangan, semua orang yang batuk dalam 3 minggu harus
diperiksa dahaknya, harus ada obat yang disiapkan oleh
pemerintah, pengobatan harus dipantau selama 6 bulan oleh
Pengawas Minum Obat (PMO) dan ada sistem pencatatan /
pelaporan.
2.4 Asuhan Keperawatan HIV/AIDS dengan IO TB Paru
Tuberkulosis
a. Definisi
Penyakit menular yang disebabkan oleh basil mycobacterium
tuberculosis merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian
bawah
b. Etiologi
Penyebabnya mycobacterium tuberculosae, sejenis basil berbentuk
batang, aerobik, tahan asam dengan ukuran 1-4 μm dan tebal 1.3-0.6μ
 TB merupakan salah satu infeksi oportunistik tersering pada
ODHA di indonesia.
 ODHA mempunyai resiko lebih besar terkena TB
 Infeksi TB akan mempercepat progresivitas infeksi HIV
menuju AIDS karena akan meningkatkan replikasi HIV
 TB paru dapat terjadi pada semua stadium klinis HIV tetapi
diklasifikasikan sebagai stadium 3
 TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai stadium 4
 Ingat selalu mengevaluasi TB pada setiap kali kunjungan
c. Tanda dan gejala yang dialami HIV TB dan efusi pleura :
1. Batuk > 3 minggu dan tidak reaksi dengan obat batuk biasa
2. Sputum purulen, kadang ada darah
3. Nyeri saat bernafas (nyeri pleuritik) yang kemudian menjadi nyeri
tumpul di dada
4. Demam
5. Redup pada perkusi di daerah dada bawah
6. Terasa sesak pada saat bernapas
7. Uji tuberculin positif
8. BB turun
d. Pemeriksaan radiologi
1) Adanya infiltrat di lobus atas, beberapa kavitas atau adanya efusi
pleura unilateral
2) Infeksi lanjut : infiltrat di lobus bawah bentuk milier atau infiltrat
difus, adenopati di hilus atau panatrakeal
3) Jika efusi pleura > 300 ml, dapat terlihat pada foto thorak
e. Pemeriksaan laboratorium
a. Sputum BTA positif (SPS)
b. Pemeriksaan BGA:
PaCO2 meningkat, PaO2 normal atau menurun, SaO2 menurun
f. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan fisik :
Didptkan px dg tubuh yg mengurus, suhu badan meningkat &
pernafasan cepat
2. Pemeriksaan laboraturium :
• Sputum BTA, test tuber kulin, PCR TB, kultur jaringan/spesimen
• Gambaran foto thorak : Non spesifik dapat berupa :
- Infiltrat interstisial yg difus diseluruh
bagian paru
- Konsolidasi lokal
3. Differential Diagnosis
• Pneumonia Bakteria
– Akut
– Membaik dengan antibiotik
• Abses paru
– Batuk dengan sputum yang berbau busuk, dan kehijauan
– ‘fluid level’ pada foto toraks
• PCP
– Batuk kering
– Sesak nafas
• Kriptokokosis
• NB: beberapa pnemonia bakteria juga menyebabkan kavitas

Penatalaksanaan HIV/AIDS dengan IO TB

Penatalaksanaan HIV & AIDS dengan IO TB jika CD4 tidak diketahui

Asuhan Keperawatan
a. Riwayat penyakit :
Berisiko atau tidak untuk HIV dan AIDS.
Untuk TB menanyakan batuk sejak kapan, ada sesak nafas, nyeri
dada, pernah kontak, keluar keringat dingin pada malam hari, BB
menurun.
Sudah tes HIV apa belum, CD4, Tx ARV?
b. Psiko-sosio-spiritual
• Kehilangan dukungan keluarga
• Hubungan dengan orang lain (Peer Group Support)
• Penghasilan
• Gaya hidup
• Distress spiritual

c. Review Of System
 Breath
• Sesak nafas
• Batuk > 3 minggu
• Nyeri pleuritis
• RR meningkat
• Ronchi
 Blood
• Takikardhi, irreguler
• CRT > 3 detik, pucat, sianosis
• Tekanan darah normal / menurun
 Brain
• Nyeri kepala
• Kelemahan umum
• Perubahan kesadaran
 Bladder
• Tidak ada perubahan (jumlah, warna)
 Bowel
• Ada penurunan selera makan
• Mual muntah
 Bone & Integumen
• Adakah kelemahan, turgor kulit berubah, akral dingin.
• sianosis
d. Masalah yang muncul :
• Bersihan jalan nafas inefektif
• Pola nafas inefektif
• Kerusakan pertukaran gas
• Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
• Hipertermi
• PK: Sepsis

e. Rencana Keperawatan
Bersihan jalan nafas inefektif b.d hipersekresi trakeobronkial
Tujuan : klien mencapai bersihan jalan nafas yg efektif dlm waktu 3
x 24 jam
Kriteria Hasil :
- Suara nafas bersih (ronchi berkurang atau teratasi)
- RR : 16-20 kali/menit
- HR : 80-100 kali/menit
- Irama nafas teratur
- Klien dpt melakukan batuk efektif stlh diajarkan
f. Intervensi
• Beri posisi 30°
• Berikan minuman hangat pada klien
• Jelaskan dan ajarkan cara melakukan batuk efektif
• Ajarkan cara melakukan fisioterapi napas
• Obs sputum klien (∑, warna, konsistensi)
• Auskultasi suara napas secara teratur terhadap ronchi sebelum
dan sesudah intervensi diberikan
• Pertahankan status hidrasi klien
• Lakukan nebullizing dan suctioning jika diperlukan
• Kolaborasi program pengobatan sesuai indikasi :pemberian
expektoran

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d Mual dan Muntah

Tujuan : kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dalam 3x24 jam

Kriteria Hasil :

- Terjadi peningkatan BB dan LLA


- Alb : 3,5-5 g/dl
- Hb : 10-12 g/dl
- Keadaan klinis klien membaik :
- Klien terlihat segar
- Kulit teraba ada lemak dibawah kulit
- Tidak anemi
- Makanan yang disajikan habis
g. INTERVESI
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang perencanaan makanan sesuai
kebutuhan.
- Lakukan oral higiene sebelum dan sesudah makan
- Tetapkan jadwal makanan klien 3x per hari.
- Kolaborasi pemberian anti muntah (berikan 30 menit sebelum
makan)
- Anjurkan makan sambil duduk
- Anjurkan minum setelah makan
- Kolaborasi pemberian nutrisi perenteral
- Berikan makanan porsi kecil tapi sering
- Motivasi klien untuk menghabiskan makanan sesuai porsi yang
ditentukan.
- Timbang BB dan lakukan antropometri secara periodik.
DAFTAR PUSTAKA
Mardhatillah, An Nisaa, Sri Tjahajawati, and Irna Sufiawati.
"Karakteristik pasien, jenis terapi, dan tingkat imunosupresi hasil terapi
pada wanita penderita HIV/AIDS dengan kandidiasis oral Patient
characteristics, type of therapy, and immunosuppression level of therapy
outcomes in HIV/AIDS female patients with oral candidiasis." Jurnal
Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran 32.2 (2020): 150-155.

Anda mungkin juga menyukai