Anda di halaman 1dari 36

HIV / AIDS PADA ANAK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan HIV / AIDS

Di susun Oleh :
Kelompok 1 :

Dewi Sri Oktaviani


Muhamad Eka Nugraha
Sofia
Ray robi

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN KELAS TRANSFER CIMACAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BUDI LUHUR CIMAHI
2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ HIV / AIDS pada anak dan
remaja ”. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Keperatawan HIV /
AIDS.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan makalah ini penulis banyak mendapatkan
dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik itu berupa bantuan melalui tenaga,
pikiran, dan dukungan moril.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa makalah kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu segala saran dan kritik sangat penulis harapkan dalam
penyempurnaan makalah kasus ini.

Cianjur, Juli 2022

Penulis
(Kelompok 4)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Tujuan Penulisan........................................................................................................................3
C. Manfaat Penulisan.....................................................................................................................3
BAB II TINJAUAN TEORITIS....................................................................................................4
A. Konsep HIV / AIDS.................................................................................................................4
1. Definisi...................................................................................................................................4
2. Etiologi...................................................................................................................................6
3. Patofisiologi...........................................................................................................................7
4. Pathway..................................................................................................................................9
5. Tanda dan Gejala.................................................................................................................10
6. Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis................................................................14
7. Penatalaksanaan...................................................................................................................17
8. Pencegahan...........................................................................................................................21
B. Konsep Asuhan Keperawatan..............................................................................................22
1. Pengkajian............................................................................................................................22
2. Pemeriksaan Fisik................................................................................................................23
3. Riwayat Imunisasi...............................................................................................................23
4. Analisa Data.........................................................................................................................24
5. Diagnosa Keperawatan.......................................................................................................25
6. Perencanaan Keperawatan...........................................................................................26
7. Pelaksanaan Keperawatan ( Implementasi )..................................................................... 30
8. Evaluasi........................................................................................................................30
BAB III PENUTUP......................................................................................................................31
A. Kesimpulan...................................................................................................................31
B. Saran.............................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis virus yang
menyerang/menginveksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh
manusia. Icquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala
penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh
HIV. Menurunnya kekebalan tubuh maka individu sangat mudah terkena berbagai
penyakit infeksi (infeksi oportunitik) yang sering berakibat fatal. Pengidap HIV
memerlukan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam
tubuh agar tidak masuk ke dalam stadium AIDS, sedangkan pengidap AIDS
memerlukan pengobatan ARV untuk mecegah terjadinya infeksi oportunistik dengan
berbagai komplikasi (Kemenkes, 2020).
Virus HIV merusak system kekebalan tubuh manusia, mengakibatkan orang
yang terkena HIV kehilangan daya tahan tubuh, sehingga mudah terinfeksi dan
meninggal karena berbagai penyakit infeksi, kanker dan lain – lain. Sampai saat ini
belum ditemukan vaksin pencegahan ataupun obat yang dapat menyembuhkan
penyakit ini secara tuntas. Jangka waktu antara terkena infeksi dan munculnya gejala
penyakit pada orang dewasa memakan waktu rata – rata 5-7 tahun. Selama kurun
waktu tersebut walaupun masih tampak sehat secara sadar maupun tidak pengidap
HIV dapat menularkan virusnya pada orang lain (Handayani, 2018).
Sekitar 40 juta penduduk dunia dari sekitar 40 juta penduduk dunia yang telah
terinfeksi HIV, lebih dari 95%-nya berada ni negara berkembang, dan anak – anak
muda saat ini telah menjadi bagian dari pandemic AIDS dengan adanya data yang
menyebutkan bahwa lebih dari setengah kasus baru yang terinfeksi HIV adalah remaja
dengan usia antara 15-24. Hal ini diperkuat oleh perkiraan WHO, 50% dari seluruh
kasus terinfeksi adalah anak muda, atau dengan kata lain 7000 anak muda (usia 15-24
tahun) terinfeksi setiap harinya, dan 30% dari 40 juta orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) yang terinfeksi seluruh dunia berada dalam kelompok usia 15-24 tahun.
Penyakit ini telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu yang relatif
singkat terjadi peningkatan jumlah pasien dan semakin melanda banyak negara (Berek
et al., 2018).
Masalah HIV/AIDS merupakan masalah besar yang mengancam banyak
negara di dunia termasuk di Indonesia. Data kasus HIV AIDS di Indonesia terus
1
meningkat dari tahun ke tahun. Kemenkes (2020), menyatakan bahwa selama sebelas
tahun terakhir jumlah kasus HIV di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2019,
yaitu sebanyak 50.282 kasus. Berdasarkan data General Administration of P2P from
the 2019 HIV, AIDS and Sexually Transmitted Infection Information System (SIHA
dalam Kemenkes 2020), laporan triwulan keempat menyebutkan bahwa laki-laki
memiliki lebih banyak kasus HIV/AIDS dibandingkan perempuan. Pada tahun 2019,
64,50% kasus HIV adalah laki-laki, sedangkan 68,60% kasus AIDS adalah laki-laki.
Hal ini sejalan dengan hasil laporan HIV berbasis gender dari 2008 hingga 2019, di
mana persentase pasien pria secara konsisten lebih tinggi dibandingkan wanita.
Berdasarkan data SIHA jumlah penularan HIV yang dilaporkan menurut
kelompok umur dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2019, umur 25-49 tahun atau
umur nifas merupakan umur dengan jumlah penularan HIV tertinggi tiap tahunnya.
Menurut Kemenkes RI (2019), prosentase kasus HIV positif menurut
kelompok umur, proporsi terbesar kasus HIV dan AIDS pada penduduk usia produktif
(15-49 tahun), yang kemungkinan terjadi pada usia remaja. Di Indonesia, HIV AIDS
pertama kali ditemukan di provinsi Bali pada tahun 1987. Hingga saat ini HIV/AIDS
sudah menyebar di 407 dari 507 Kabupaten/Kota (80%) di seluruh Provinsi di
Indonesia (Kemenkes, 2020).
Kasus HIV/AIDS pertama kali terdeteksi di kalangan homoseksual dan kini
telah menyebar ke semua orang yang tanpa kecuali berpotensi terinfeksi HIV. Risiko
penularan tampaknya tidak hanya terjadi pada orang dengan 11 perilaku berisiko
tinggi. Data yang tersedia menunjukkan bahwa ibu rumah tangga tertular HIV/AIDS,
bahkan pada anak atau bayi yang ibunya terinfeksi atau terinfeksi HIV. Namun
demikian, kecenderungan memperlihatkan bahwa kasus HIV-AIDS tertinggi
ditemukan dari hubungan seksual, yang ditularkan dari dan menularkan pada pekerja
seks. Pada beberapa tahun terakhir peningkatan kasus AIDS lebih banyak ditemukan
pada pengguna Napza jarum suntik (penasun) (Wibowo & Marom, 2014).
Faktor yang menyebabkan remaja mudah terjerumus dalam pergaulan bebas
antara lain adalah usia yang rentan disertai rasa keingintahuan yang tinggi, serta
masuknya budaya barat tanpa adanya penyaringan budaya mana yang baik dan buruk.
Pada saat usia remaja menuju dewasa, informasi dan pergaulan sangat mudah
diperoleh, termasuk tentang bahaya HIV/AIDS (Hidayat & Giyarsih, 2011)(Hidayat &
Giyarsih, 2011)(Hidayat & Giyarsih, 12 2011) (Hidayat & Giyarsih, 2011). Mayoritas
anak muda yang terinfeksi tidak tahu bahwa dia sebenarnya telah terinfeksi, dan anak
muda yang terlibat hubungan seks, hanya sedikit yang tahu apakah pasangannya telah
2
terinfeksi HIV atau tidak (Berek et al., 2018).
Penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi dan anak bisa terjadi saat masa
antepartum (dalam kandungan) , intrapartum (selama persalinan), postpartum (bayi
baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi), melalui pemberian ASI dan
penularan melalui darah yang tercemar HIV (Nursalam & Kurniawati, 2009). Saat ini
pentingnya pencegahan penularan HIV dari Ibu ODHA ke bayi dimana sebagian besar
ODHA perempuan berada pada usia subur, lebih dari 90% kasus HIV pada anak
ditularkan dari ibunya pada masa prenatal. Menurut (UNAIDS, 2019) jumlah anak di
bawah 15 tahun yang terinfeksi HIV/AIDS di dunia tahun 2018 sejumlah 1.700.000
kasus, sedangkan anak di bawah 15 tahun yang baru terinfeksi HIV/AIDS di dunia
tahun 2018 sejumlah 160.000 kasus dan anak yang meninggal di bawah 15 tahun yang
terinfeksi HIV/AIDS di dunia tahun 2018 sejumlah 100.000 kasus.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mampu menggambarkan informasi tentang HIV / AIDS pada Anak dan Remaja.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu merencanakan tindakan yang akan diberikan pada asuhan keperawatan
pasien dengan HIV/ AIDS pada anak dan remaja.
b. Mampu mengidentifikasi pengkajian pada pasien anak dan remaja dengan HV /
AIDS.
c. Menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien anak dan remaja dengan HIV /
AIDS.
d. Melakukan intervensi keperawatan kepada pasien anak dan remaja dengan HIV
/ AIDS.
e. Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan pada pasien anak dan remaja dengan
HIV / AIDS.

C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Untuk menambah wawasan dan pengalaman bagi penulis khususnya dibidang
keperawatan pada pasien anak dan remaja dengan HIV / AIDS.

2. Bagi Institusi
Sebagai acuan dalam kegiatan proses belajar dan bahan pustaka tentang asuhan
3
keperawatan pada Pasien anak dan remaja dengan HIV / AIDS.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep HIV / AIDS


1. Definisi
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang
disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer,
2000:162)
AIDS adalah Runtuhnya benteng pertahanan tubuh yaitu system
kekebalan alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, yaitu dengan
hancurnya sel limfosit T (sel-T). (Tambayong, J:2000)
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas
seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara
keseluruhan dimana kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan
keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler akibat kehilangan
kekebalan yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri,
jamur, parasit dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. ( FKUI, 1993 : 354)
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan
gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap
yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) yang dapat mempermudah terkena
berbagai infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus.
Definisi Kasus Surveilans untuk infeksi HIV dari CDC menurut Sylvia
dan Lorraine (2012) yaitu: Kriteria yang direvisi pada tahun 2000 untuk
pelaporan tingkat nasional, mengombinasikan infeksi HIV dan AIDS dalam
satu definisi kasus. Pada orang dewasa , remaja, atau anak berusia 18 bulan atau
lebih, definisi kasus surveilans infeksi HIV dipenuhi apabila salah satu kriteria
laboratorium positif atau dijumpai bukti klinis yang secara spesifik
menunjukkan infeksi HIV dan penyakit HIV berat (AIDS).
Bukti laboratorium untuk infeksi HIV mencangkup reaksi positif
berulang terhadap uji-uji penapisan antibodi yang dikonfirmasi dengan uji
suplementer (misal,ELISA, dikonfirmasi dengan uji Western blot) atau hasil
4
positif atau laporan terdeteksinya salah satu uji nonantibodi atau virologi HIV:
uji antigen p24 HIV dengan pemeriksaan netralisis, biakan virus HIV, deteksi
asam nukleat (RNA atau DNA) HIV (misalnya, reaksi berantai polimerase atau
RNA HIV-1 plasma, yang berinteraksi akibat terpajan pada masa perinatal).
Poltekkes Kemenkes Padang Kriteria klinis mencangkup suatu diagnosa infeksi
HIV yang didasarkan pada daftar kriteria laboratorium yang tercatat dalam
rekam medis oleh dokter atau penyakit-penyakit yang memenuhi kriteria yang
tercakup dalam definisi kasus untuk AIDS. Kriteria untuk definisi kasus AIDS
adalah :
a. Semua pasien yang terinfeksi oleh HIV dengan :
1) Hitungan sel T CD4+ 4+ <200/μI atau
2) Hitungan sel T CD4+ <14% sel T total, tanpa memandang kategori
klinis, simtomatik atau asimtomatik
b. Adanya infeksi-infeksi oportunistik terkait HIV, seperti :
1) Kondidiasis bronkus, trakea, atau paru
2) Kondidiasis esofagus
3) Kanker serviks, invasif
4) Koksidioidomikosis, diseminata atau ekstraparu
5) Kriptokokus, ekstraparu
6) Kriptosporidiosis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
7) Penyakit sitomegalovirus (selain di hati,limpa, atau kelenjer getah
bening).
8) Retnitis sitomegalovirus (disertai hilangnya penglihatan)
9) Ensafalopati, terkait HIV.
10) Harpes simpleks; ulkus (-ulkus kronik lebijh dari 1 bulan; atau
bronkitis, pneumonitis, esofagitis, Histoplasmosis, diseminata atau
ekstraparu
11) Isosporiasis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
12) Sarkoma Kaposi (SK)
13) Limfoma, Burkitt (atau ekivalen)
14) Limfoma, imunoblastik (atau yang ekivalen)
15) Limfoma, primer, otak
16) Mycobacterium avium complex atau Mycobacterium kansasi,
diseminata atau ektra paru.
17) Mycobacterium tuberkulosis, semua tempat, paru-paru atau ekstraparu.
18) Mycobacterium, spesies lain atau spesies yang belum teridentifikasi,
diseminata atau ekstraparu.
5
19) Pneumonia Pneumicytis carinii (PPC)
20) Pneumonia, rekuren.
21) Leukoensefalopati multifokus progresif
22) Septikemia salmonela, rekuren
23) Toksoplasmosis otak
24) Sindrom pengurusan yang disebabkan oleh HIV

2. Etiologi
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk
dalam keluarga lentivirus (termasuk pula virus imunodefisinsi pada kucing, virus
imunodefisiensi pada kera, visna virus pada domba, dan virus anemia infeksiosa
pada kuda). Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi berhubungan
secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil diisolasi dari penderita
AIDS. Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1 berbentuk sferis dan mengandung
inti berbentuk kerucut yang padat elektron dan dikelilingi oleh selubung lipid yang
berasal dari membran se penjamu. Inti virus tersebut mengandung kapsid utama
protein p24, nukleokapsid protein p7 atau p9, dua sirina RNA genom, dan ketiga
enzim virus (protease, reserve trancriptase, dan integrase). Selain ketiga gen
retrovirus yang baku ini, HIV mengandung beberapa gen lain (diberi nama dengan
tiga huruf, misalnya tat, rev, vif, nef, vpr dan vpu) yang mengatur sintetis serta
perakitan partikel virus yang infeksius. (Robbins dkk, 2011)
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui
enam
cara penularan, yaitu :
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan sesual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV tanpa
perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsusng,
air mani, cairan vagina, dan darah yang dapat mengenai selaput lendir, penis,
dubur, atau muluh sehingga HIV yang tedapa dalam cairan tersebut masuk ke
aliran darah (PELEKSI,1995 dalam Nursalam,2007 ).
Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur
dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan
seksual.
b. Ibu pada bayinya

6
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi
adalah 0.01% sampai 7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala
AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan
gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%
(PELKESI,1995 dalam Nursalam, 2007).
Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi fetomaternal
atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi
maternal saat melahirkan.(Lili V, 2004 dalam Nursalam, 2007).
Semakin lama proses melahirkan, semakin besar resiko penularan. Oleh karena
itu, lama persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesaria (HIS dan
STB,2000 dalam Nursalam, 2007). Transmisi lain terjadi selam periode post
partum melaui ASI. Resiko bayi tertular melalui ASI dai Ibu yang positif
sekitar 10%.
c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS Sangat cepat menular HIV
karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh
tubuh.
d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain
yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinveksi HIV, dan
langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV, dan langsung
digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV bisa menular HIV
e. Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang,
membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab
alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.
f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan
oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU) sangat berpotensi
menularkan HIV. Selain jarun suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-
sama juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos
obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV. HIV tidak menular
melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, hidup serumah dengan
penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan sosial yang lain.

7
3. Patofisiologi
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,
yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga
meperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit.
Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,
yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga
memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit.
Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti,
meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis
melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen; penghancuran sel
yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan kematian atau
disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar getah bening.
HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak
seperti infeksi pada limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang
terinfeksi dapat berperang sebagai reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi,
dan dapat membawa virus ke organ, terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan
hibridisasi memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel kromafin mukosa usus,
epitel glomerular dan tubular dan astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus
yang paling konsisten adalah dari otak, hati, dan paru.
Patologi terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun sering sulit untuk
mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan oleh infeksi virus local atau
komplikasi infeksi lain atau autoimun. Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa
adalah fase infeksi akut, sering simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti
periode penahanan imun pada replikasi viral, selama individu biasanya bebas gejala,
dan priode akhir gangguan imun sitomatik progresif, dengan peningkatan replikasi
viral. Selama fase asitomatik kedua-bertahap dan dan progresif, kelainan fungsi imun
tampak pada saat tes, dan beban viral lambat dan biasanya stabil. Fase akhir, dengan
gangguan imun simtomatik, gangguan fungsi dan organ, dan keganasan terkait HIV,
dihubungkan dengan peningkatan replikasi viral dan sering dengan perubahan pada
jenis vital, pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan dan infeksi aportunistik.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun “
priode inkubasi “  atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum
8
lebih singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama
fase ini, gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes, terutama berkenaan
dengan fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan produksi antibody
nonfungsional lebih universal diantara anak-anak yang terinfeksi HIV dari pada
dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan. Ketidak mampuan untuk
berespon terhadap antigen baru ini dengan produksi imunoglobulin secara klinis
mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen sebelumnya, berperang pada infeksi dan
keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada infeksi HIV pediatrik. Deplesi
limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak berkorelasi
dengan status simtomatik.
Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV sering memiliki jumlah limfosit
yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS periatrik mungkin memiliki resiko
limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang untuk beberapa
alasan menderita imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan kerentanan
perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi relatif ensefalopati yang
terjadi pada infeksi HIV aank.

4. Pathway

9
5. Tanda dan Gejala

Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara


klinis dan imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis
tidak tampak sering mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian
imunologik bayi beresiko dipersulit oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter
spesifik usia untuk hitung limfosit CD4 dan resiko CD4/CD8 memperlihatkan
jumlah CD4 absolut yang lebih tinggi dan kisaran yang lebih lebar pada awal  masa
bayi, diikuti penurunan terhadap pada beberapa tahun pertama. Selain itu, pajanan
obat ini beresiko dan bahkan pajanan terhadap antigen HIV tanpa infeksi dapat
membingungkan fungsi dan jumlah limfosit.
Oleh karena itu, hal ini peting untuk merujuk pada standar yang ditentukan

10
usia untuk hitung CD4, dan bila mungkin menggunakan parameter yang ditegakkan
dari observasi bayi tak terinfeksi yang lahir dari ibu yang terinfeksi.
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang diagnostic.
Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For Diseasen Control sebagai bagian
definisi mencakup demam, kegagalan berkembang, hepatomegali dan splenomegali,
limfadenopati generalisata (didefinisikan sebagai nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2
atau lebih area tidak bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan diare. Diantara semua anak
yang terdiagnosis dengan infeksi HIV, sekitar 90% akan memunculkan gejala ini,
kebergunaannya sebagai tanda awal infeksi dicoba oleh studi the European Collaborativ
pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi.
Mereka menemukan bahwa dua pertiga bayi yang terinfeksi memperlihatkan
tanda dan gejala yang tidak spesifik pada usia 3 bulan, dengan angka yang lebih rendah
diantara bayi yang tidak terinfeksi. Pada penelitian ini, kondisi yang didiskriminasi
paling baik antara bayi terinfeksi dan tidak terinfeksi adalah kandidiasis kronik, parotitis,
limfadenopati persistem, hepatosplenomegali. Otitis media, tinitis, deman yang tidak
jelas, dan diare kronik secara tidak nyata paling sering pada bayi yang terinfeksi daripada
bayi yang tidak terinfeksi.

PUSAT UNTUK KLASIFIKASI CONTROL PENYAKIT INFEKSI HIV PADA


ANAK
Kelas P-O: infeksi intermediate
Bayi <15 bulan yang lahir dari ibu yang terinfeksi tetapi tanpa tanda infeksi HIV
Kelas P-1: infeksi asimtomatik
Anak yang terbukti terinfeksi, tetapi tampa gejala P-2; mungkin memiliki fungsi
imun normal (P-1A) atau abnormal (P-1B)
Kelas P-2: infeksi sitomatik
P-2A: gambaran demam nonspesifik (>2 lebih dari 2 bulan) gagal berkembang,  
limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, parotitis, atau diare rekuren atau persistem
yang tidak spesifik.
P-2B: penyakit neurologi yang progresif
P-2C: Pneumonitis interstisial limfoid
P-2D: infeksi oportunistik menjelaskan AIDS, infeksi bakteri rekuren, kandidiasis
oral persisten, stomatitis herpes rekuren, atau zoster multidermatomal.
P-2E: kanker sekunder, termasuk limfoma non-Hodgkin sel-B atau limforma otak

11
P-2F: penyakit end-organ HIV lain (hepatitis, karditis, nefropati, gangguan
hematologi)

Tanda pertama infeksi tidak nyata. Pengalaman dari beberapa pusat penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 20% bayi yang terinfeksi secara cepat akan berkembang
menjadi gangguan imun dan AIDS. Banyak dari bayi ini akan menampakkan gejala
aneumonia Pneumocystis carinii (PCP) pada usia 3 sampai 6 bulan, atau menderita infeksi
bakteri serius lain. Pada beberapa bayi, jumlah CD4 mungkin normal saat terjadinya PCP.
Dalam 2 tahun setelah lahir, kebanyakan bayi akan mengalami beberapa derajat
kegagalan berkembang, demam rekuren atau kronik, keterlambatan perkembangan,
adenopati persisten, atau hepatosplemegali. Semua ini bukan keadaan kecacatan, dan
konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama. Melebihi ulang tahun pertama, sekitar
8% bayi ini akan berkembang menjadi AIDS terbatas CDC per tahun. Penunjukan
“AIDS” merupakan kebergunaan yang sangat terbatas pada prognosis atau pada nosologi
deskriptif infeksi HIV, tetapi penyakit indicator AIDS berperang sebagai tanda tingginya
perkembangan penyakit dan sebagai catalog kondisi yang sering terlihat dengan
perkembangan penyakit. Masing-masing dibahas secara singkat dibawah:
Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP). PCP merupakan penyakit indicator
AIDS paling sering, yang terjadi pada sekitar sepertiga anak dan bayi yang terinfeksi.
Usia rata untuk munculnya penyakit adalah sekitar usia 9 bulan, meskipun puncaknya
sampai usia 3 sampai 6 bulan diantara bayi-bayi yang berkembang sangat cepat. Tidak
seperti reaksi PCP pada orang dewasa, infeksi ini biasanya merupakan infeksi primer pada
anak yang terinfeksi HIV, bergejala subkutan atau mendadak dengan demam, batuk,
takipnea, dan ronki. PCP sulit dibedakan dengan infeksi paru lain atau usia ini, dan karena
trimetoprim-sulfametoksasol dan kortikosteroid intravena diberikan pada awal perjalanan
penyakit menyebabkan perbaikan yang signifikan, lavese bronkoalveolar diagnostic harus
dipikirkan secara serius pada bayi beresiko dengan gambaran klinis konsisten. PCP
memberikan prognosis yang tidak baik pada awal penelitian dengan kelangsungan hidup
media 1 bulan setelah diagnosis. Saat ini dikenali bahwa penyakit yang lebih ringan dapat
terjadi dan konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama. Profilaksin PCP dengan
trimetoprim-sulfametoksasol oral efektif, dan merupakan indikasi untuk bayi dengan
kehilangan limfosit CD4 yang signifikan, sebelum PCP, dan pada beberapa bayi muda
dengan perkembangan gejala terkait HIV yang cepat.
Pneumolitis Interstisial Limfoid (LIP). Infiltrasi paru intersisial kronik telah
ditentukan pada orang dewasa yang terinfeksi HIV dalam jumlah kecil, tetapi terjadi pada
12
sekitar 20% anak yang terinfeksi HIV. Dianggap berhubungan dengan infeksi virus
Epstein-Barr. Kondisi ini ditandai dengan perjalanan kronik eksa-serbasi intermiten
(sering selama infeks respirasi yang terjadi di antara infeksi atau selama infeksi. Infiltra
dada kronik yang terlihat pada sinar-X sering menunjukkan diagnosis, tetapi hanya biopsy
paru terbuka yang dapat dipercaya untuk diagnosis definitive. Hipoksia jaran parah
sampai terbawa selama beberapa tahun, dan beberapa perbaikan pada kostikosteroid. LIP
sebagai gejala yang timbul pada infeksi HIV dapat disertai prognosis yang lebih baik, dan
sering terlihat pada kelompok gejala dengan hipergamaglobulinemia yang nyata dan
parotitis.
Infeksi Bakteri Rekuren. Untuk criteria AIDS pediatric CDC, infeksi bakteri
rekuren adalah dua atau lebih episode sepsis, meningitis, pneumonia, abses internal, atau
infeksi tulang dan sendi; ini semua terlihat pada 15% anak-anak dengan AIDS pediatric.
Infeksi bakteri yang lebih sedikit, seperti infeksi sinus rekuren atau kronik, otitis media,
dan pioderma masih sering terjadi. Streptococcus pneumonia merupakan isolate darah
yang paling sering pada anak yang terinfeksi HIV, meskipun stafilokokal gram-negatif,
dan bahkan bakteremia pseudomonal terjadi berlebihan. Penanganan episode demam pada
anak yang terinfeksi HIV sama dengan penanganan anak dengan kondisi yang menganggu
imunitas lain. Gangguan kemampuan untuk menjaga respons antibody yang efektif dan
kurangnya pajanan membuat anak yang terinfeksi HIV rentang terhadap penyakit bakteri
yang lebih setius. Profilaksis dengan immunoglobulin intravena dapat mengurangi
frekuensi dan keparahan infeksi bakteri yang serius.
Penyakit Neurologi Progresif. Sampai 60% anak yang terinfeksi HIV dapat
munculkan tanda infeksi system saraf pusat. Pada sekitar seperempatnya, infeksi ini dalam
bentuk ensefalopati static yang biasanya bermanifestasi pada tahun pertaman dengan
keterlambatan perkembangan. Pada sekitar sepertiganyan, terjadi ensefalopati progresif,
dengan kehilangan kejadian yang penting sebelumnya dan deficit motorik dan kognitif
yang berat. Pencitraan saraf dapat memperlihatkan atrofi serebral, kelainan subtansi alba,
atau klasifikasi ganglion basal, atau kesemuanya, meskipun keparahan abnormalitas
pencitraan sering tidak berkorelasi dengan gambaran klinis. Zidovudin IV kontinu
ditemukan menyebabkan perbaikan yang dramatic pada beberapa anak dengan deficit
perkembangan saraf; kostikosteroid juga menguntungkan pada laporan terisolasi.
Wasting Syndrome. Kegagalan kronik untuk tumbuh pada infeksi HIV lanjut
terjadi pada sekitar 10% bayi dan anak dengan AIDS dan hamper selalu multifaktorial.
Deficit system saraf pusat dari latergi sampai kelemahan dalam mengunyah; abnormalitas
neuroendokrin; malabsorpsi dan diare akibat infeksi HIV primer, infeksi usus sekunder,
13
atau terapi; dan katabolisme yang diinduksi infeksi sering berperang pada masalah yang
menjengkelkan ini.
Infeksi Oportunistik. Lebih dari satu lusin infeksi oportunistik spesifik memenuhi
AIDS, meskipun setelah PCP, paling sering pada AIDS pediatric adalah esofagistis
kandida, terjadi pada sekitar 10%, dan infeksi kompleks, Mycobakterium avium. Diantara
virus-virus, infeksi CMV diseminata dan lama pada saluran cerna, dan infeksi virus
varisela zoster apitikal, rekuren dan ekstensif sering terjadi. Walaupun daftar panjang
pathogen yang menyebabkan penyakit berat dan lama tidak lazim pada penjamu ini, virus
respirasi yang lazim, mencakup virus sinsitial respiratorius, jarang menyebabkan penyakit
yang berkomplikasi.
Terkenanya organic lain. Terkenanya hepar padi infeksi HIV pediatric sering
mengambil bentuk organ yang membesar sedang sampai berat, transaminitis berfluktuasi.
Yang jarang adalah hepatitis kolestatik berat yang terjadi pada bayi yang terinfeksi pada
tahun pertama, dengan prognosis buruk. Kelainan hati dapat disebabkan oleh infeksi yang
bersama dengan CMV, HCV, atau HBV, oleh infeksi HIV itu sendiri, atau banyak agen
infeksius lain. Penyakit ginjal yang sering terjadi, paling sering bermanifestasi protenuria.
Perubahan mesangial dan glomerulokslerosis fokal telah diindentifikasi sebagai patologi
yang paling sering terjadi pada anak dengan AIDS. Kelainan jantung dapat diperhatikan
pada separuh anak semua usia penyakit HIV, meskipun insiden kardiomiopati simtomatik
hanya 12 sampai 20%; efusi pericardial dan gangguan fungsi ventrikel merupakan
kelainan ekokardiografi yang paling sering ditemukan. Meskipun frekuensi penyakit paru
kronik pada pasien ini, terkenanya vertikel kiri beberapa kali lebih sering daripada yang
kanan. Tekanan HIV langsung, autoimunitas, malnutrisi dan infeksi bersama dengan virus
miotropik semuanya telah dihipotesis sebagai etiologi. Fenomena autoimun mencakup
anemia hemolitik positif-coombs dan trombositopenia. Sarcoma Kaposi dan kanker
sekunder lain jarang pada anak yang terinfeksi HIV.

6. Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis


Menurut Burnner dan Suddarth (2013) Manifestasi klinis penyakit AIDS
menyebar luas dan pada dasarnya dapat mengenai setiap sistem organ.
Penyakit yang berkaitan dengan infeksi HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat
infeksi, malignasi dan atau efek langsung HIV pada jaringan tubuh,
pembahasan berikutini dibatasi pada manifestasi klinis dan akibat infeksi HIV
berat yang paling sering ditemukan.
a. Respiratori
14
Pneumonia Pneumocytis carini. Gejala nafas yang pendek, sesak nafas
(dispnea), batuk-batuk, nyeri dada dan demam akan menyertai berbagai infeksi
oportunistik seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium avium intracellulare
(MAI), sitomegalovirus (CMV) dan Legionella. Walaupun begitu, infeksi yang
paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah Pneumonia Pneumocytis
Carinii (PCP) yang merupakan penyakit oportunistik pertama yang
dideskripsikan berkaitan dengan AIDS. Gambaran klinik PCP pada pasien
AIDS umumnya tidak begitu akut bila dibandingkan dengan pasien gangguan
kekebalan karena keadaan lain. Periode waktu antara awitan gejala dan
penegakan diagnosis yang benar bisa beberapa minggu hingga beberapa bulan.
Penderita AIDS pada mulanya hanya memperlihatkan tanda-tanda dan gejala
yang tidak khas seperti demam, menggigil, batuk non produktif, nafas pendek,
dispnea dan kadang-kadang nyeri dada. Konsentrasi oksigen dalam darah
arterial pada pasien yang bernafas dengan udara ruangan dapat mengalami
penurunan yang ringan; keadaan ini menunjukkan keadaan hipoksemia
minimal. Bila tidak diatasi, PCP akan berlanjut dengan menimbulkan kelainan
paru yang signifikan dan pada akhirnya, kegagalan pernafasan. Penyakit
kompleks Kompleks Mycobacterium avium (MAC; Mycobacterium avium
Complex) yaitu suatu kelompok baksil tahan asam, biasanya menyebabkan
infeksi pernafasan kendati juga sering dijumpai dalam traktus gastrointerstinal,
nodus limfatik dan sumsum tulang. Sebagian pasien AIDS sudah menderita
penyakit yang menyebar luas ketika diagnosis ditegakkan dan biasanya dengan
keadaan umum yang buruk. Berbeda dengan infeksi oportunistik lainnya,
penyakit tuberkulosis (TB) cenderung terjadi secara dini dalam perjalanan
infeksi HIV dan biasanya mendahului diagnosa AIDS. Dalam stadium infeksi
HIV yang lanjut, penyakit TB disertai dengan penyebaran ke tempat-tempat
ekstrapulmoner seperti sistem saraf pusat, tulang, perikardium, lambung,
peritoneum dan skrotum.
b. Gastrointerstinal
Manifestasi gastrointerstinal penyakit AIDS mencangkup hilagnya selera
makan, mual, vomitus, kondisiasis oral, serta esofagus, dan diare kronis. Bagi
pasien AIDS, diare dapat membawa akibat yang serius sehubungan dengan
terjadinya penurunan berat badan yang nyata (lebih dari 10% berat badan),
gangguan keseimbnagan cairan dan elektrolit, ekskoriasis kulit perianal,
kelemahan dan ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan yang biasa
15
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Kanker
Sarkoma Kaposi yaitu kelainan malignasi yang berkaitan dengan HIV yang
paling sering ditemukan merupakan penyakit yang melibatkan lapisan endotel
pembuluh darah dan limfe.Kaposi yang berhubungan dengan AIDS
memperlihatkan penyakit yang lebih agresif dan beragam yang berkisar mulai
dari lesi kutaneus setempat hingga kelainan yang menyebar dan mengenai lebih
dari satu sistem organ. Lesi Kutaneus yang dapat timbul pada setiap bagian
tubuh biasanya bewarna merah mudah kecoklatan hingga ungu gelap. Lesi
dapat datar atau menonjol dan dikelilingi oleh ekimosis (bercak-bercak
perdarahan) serta edema. Lokasi dan ukuran beberapa lesi dapat menimbulkan
statis aliran vena, limfadema serta rasa nyeri. Lesi ulserasi akan merusak
integritas kulit dan meninggalkan ketidaknyamanan pasien serta kerentanannya
terhadap infeksi. Limfoma Sel-B merupakan malignansi paling sering kedua
yang terjadi diantara pasien-pasien AIDS. Limfoma yang berhubungan dengan
AIDS cenderung berkembang diluar kelenjer limfe; limfoma ini paling sering
dijumpai pada otak, sumsum tulang dan traktus gastrointerstinal.
d. Neurologik
Ensefalopati HIV disebut juga sebagai kompleks demensia AIDS. Hiv
ditemukan dengan jumlah yang besar dalam otak maupun cairan serebrospinal
pasien-pasien ADC (AIDS dementia complex). Sel-sel otak yang terinfeksi HIV
didominasi olehsel-sel CD4 + yang berasal dari monosit/magrofag. Infeksi HIV
diyakini akan memicu toksin atau limfokin yang mengakibatkan disfungsi
seluler atau yang mengganggu atau yang mengganggu fungsi neurotransmiter
ketimbang menyebabkan kerusakan seluler. Keadaan ini berupa sindrom klinis
yang ditandai oleh penurunan progresif pada fungsi kognitif, prilaku dan
motorik. Tanda tanda dan gejalanya yang samar-samar serta sulit dibedakan dan
kelelahan, depresi atau efek terapi yang merugikan terhadap infeksi dan
malignansi. Manifestasi dini mencangkup gangguan daya ingat, sakit kepala,
kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, pelambatan psikomotorik, apatis
dan ataksia. Stadium lanjutmencangkup ganggua kognitif global kelambatan
dalam respon verbal, gagguan afektif seperti pandangan yang
kosong,hiperrefleksi paraparesis spastik, psikologis, halusiansi, tremor,
inkontenensia, serangan kejang, mutisme dan kematian. Infeksi jamur
Criptococcus neoformans merupakan infeksi opotunistik paling sering keempat
16
yang terdapat di antara pasien-pasien AIDS dan penyebab infeksi paling sering
ketiga yang menyebabkan kelainan neurologik. Meningitis kriptokokus ditandai
dengan gejala seperti demam/panas, sakit kepala, keadaan tidak enak badan
(melaise), kaku kuduk, mual, vormitus, perubahan status mental, dan kejang-
kenjang. Leukoensefalopati Multifokal Progresif (PML) merupakan kelainan
sistem saraf pusat dengan demielinisasi yang disebabkan oleh virus J.C.
Manifestasi klinis dapat dimulai dengan konfusi mental dan mengalami
perkembangan cepat yang akhirnya mencakup gejala kebutaan, afasia, paresis,
(paraliasis ringan) serta kematian. Kelemahan neurologik lainnya berupa
neuropati perifer yang berhubungan dengan HIV diperkirakan merupakan
kelainan demielinisasi dengan disertai rasa nyeri serta patirasa pada ekstremitas,
kelemahan, penurunan rekfleks tendon yang dalam, hipotensi ortostatik dan
impontensi.
e. Struktur integrumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi oportunistik serta
malignansi yang mendampinginya, Infeksi oportunistik seperti harpes zoster
dan harpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang
merusak integritas kulit. Moloskum kontagiosum merupakan infeksi virus yang
ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. Dermatitis seboreika
akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit
kepala serta wajah. Penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folokulasi
menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau
dengan dermatitis atropik seperti ekzema atau psoriasis. Hingga 60% enderita
yang diobati dengan trimetroprimsulfametoksazol (TMP/SMZ) untuk mengatasi
pneumonia pneumocytis carinii akan mengalami ruam yang berkaitan dengan
obat dan berua preuritus yang disertai pembentukan papula serta makula
bewarna merah muda. Terlepas dari penyebab ruam ini pasien akan mengalami
ganggua rasa nyaman dan menghadapi peningkatan resiko untuk menderita
infeksi tambahan, akibat rusaknya keutuhan kulit.

7. Penatalaksanaan
Menurut Burnnner dan Suddarth (2013) Upaya penanganan medis meliputi
beberapa cara pendekatan yang mencangkup penanganan infeksi yang berhubungan
dengan HIV serta malignansi, penghentian replikasi virus HIV lewar preparat
antivirus, dan penguatan serta pemulihan sistem imun melalui pengguanaan preparat
17
immunomodulator. Perawatan suportif merupakan tindakan yang penting karena
efek infeksi HIV dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan keadaan umum
pasien; efek tersebut mencangkup malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan dan
imobilisasi dan perubahan status mental. Penatalaksanaan HIV AIDS sebegai
berikut :
a. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV infeksi Infeksi umum
trimetroprime-sulfametokazol, yang disebut pula TMPSMZ (Bactrim,septra),
merupakan preparat antibakteri untuk mengatasi berbagai mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi. Pemberian secara IV kepada pasien-pasien dengan fungsi
gastrointerstinal yang normal tidak memberikan keuntungan apapun. Penderita
AIDS yang diobati dengan TMP-SMZ dapat mengalami efekyang merugikan
dengan insiden tinggi yang tidak lazim terjadi, seperti demam, ruam, leukopenia,
trombositopenia dengan ganggua fungsi renal. Pentamidin, suatu obat anti
protozoa, digunakan sebagai preparat alternatif untuk melawan PCP. Jika terjadi
efek yang merugikan atau jika pasien tidak memperlihatkan perbaikan klinis
ketika diobati dengan TMP-SMZ, petugas kesehatan dapat merekomendasikan
pentamidin. Poltekkes Kemenkes Padang Kompleks Mycobacterium avium,
terapi kompleks Mycobacterium avium complex (MAC) masih belum
ditentukan dengan jelas dan meliputi penggunaan lebih dari satu macam obat
selam periode waktu yang lama. Meningitis, Terpi primer yang muthakhir untuk
meningitis kriptokokus adalah amfoterisin B IV dengan atau tanpa flusitosin
atau flukonazol (Diflucan). Keadaan pasien harus dipantau untuk endeteksi efek
yang potensial merugikan dan serius dari amfoterisin B yang mencangkup reaksi
anafilaksik, gangguan renal serta hepar, gangguan keseimbangan elektrolit,
anemia, panas dan menggigil. Retinitis Sitomegalovirus, Retinitis yang
disebabkan oleh sitomegalovirus (CMV;cytomegalovirus) merupan penyebab
utama kebutaan pada penderita penyakit AIDS. Foskarnet (Foscavir), yaitu
peparat lain yang digunakan mengobati retinitis CMV, disuntikkan intravena
setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3 minggu. Reaksi merugikan yang lazim
terjadi pada pemberian foskarnet adalah nefrotoksisitas yang mencangkup gagal
ginjal akut dan gangguan keseimbangan elektrolit yang mencangkup
hipokalasemia, hiperfosfatemia serta hipomagnesemia. Semua keadaan ini dapat
membawa kematian. Efek merugikan lainnya yang lazim dijumpai adaah
serangan kejang-kejang, gangguan gastrointerstinal, anemia, flebitis, pada
tempat infus dan nyeri punggung bawah. Keadaan lain, Asiklovir dan foskarnat
18
kini digunakan untuk mengobati infeksi ensefalitis yang disebabkan oleh harpes
simpleks atau harpes zoster. Pirimetamin (Daraprim) dan Sulfadiazin atau
klindamisin (Cleosin HCL) digunakan untuk pengobatan maupun terapi supresif
seumur hidup bagiinfeksi Toxoplasmosis gondi. Infeksi kronis yang membandel
oleh kondendidasi (trush) atau lesi esofagus diobati dengan Ketokonazol atau
flukonazol.
b. Penatalaksanaan Diare Kronik Terapi dengan oktreotid asetat (sandostain), yaitu
suatu analog sintetik somatostatin, ternyata efektif untuk mengatasi diare yang
berat dan kronik. Konsentrasi reseptor somatosin yang tinggi ditemukan dalam
traktus gastrointerstinal maupun jaringan lainnya. Somatostain akan
menghambat banyak fungsi fisologis yang mencangkup motalisis
gastrointerstinal dan sekresi-interstinal air serta elektrolit.
c. Penatalaksanaan Sindrom Pelisutan Penatalaksanaan sindrom pelisutan
mencangkup penanganan penyebab yang mendasari infeksi oportunitis
sistematik maupun gastrointerstinal. Malnutrsi sendiri akan memperbesar resiko
infeksi dan dapat pula meningkatkan insiden infeksi oportunistis. Terapi nutrisi
bisa dilakukan mulai dari diet oral dan pemberian makan lewat sonde (terapi
nutriasi enternal) hingga dukungan nutrisi parenteral jika diperlukan.
d. Penanganan keganasan Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit karena
sangat beragamnya gejala dan sistem organ yang terkena.Tujuan terapinya
adalah untuk mengurangi gejala dengan memperkecil ukuranlesi pada kulit,
mengurangi gangguan rasa nyaman yang berkaitan dengan edema serta ulserasi,
dan mengendalikan gejala yang berhubungan dengan lesi mukosa serta organ
viseral. Hinngga saat ini, kemoterapi yang paling efektif tampaknya berupa
ABV (Adriamisin, Bleomisin, dan Vinkristin).
e. Terapi Antiretrovirus Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang sudah
disetujui oleh FDA untuk pengobatan HIV, keempat preparat tersebut adalah;
Zidovudin, Dideoksinosin , dideoksisitidin dan Stavudin. Semua obat ini
menghambat kerja enzim reserve transcriptase virus dan mencegah virus
reproduksi virus HIV dengan cara meniru salah satu substansi molekuler yang
digunakan Poltekkes Kemenkes Padang virus tersebut untuk membangun DNA
bagi partikel-partikel virus baru. Dengan mengubah komponen struktural rantai
DNA, produksi virus yang baru akan dihambat.
f. Inhibitor Protase merupakan obat yang menghambat kerja enzim protase, yaitu
enzim yang dibutuhkan untuk replikasi virus HIV dan produksi virion yang
19
menular. Inhibisi protase HIV-1 akan menghasilkan partikel virus noninfeksius
dengan penurunan aktivitas enzim reserve transcriptase.
g. Perawatan pendukung Paien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum
yang menurun sebagai akibat dari sakit kronik yang berkaitan dengan HIV
memerlukan banyak macam perawatan suportif. Dukungan nutrisi mungkin
merupakan tindakan sederhana seperti membantu pasien dalam mendapatkan
atau mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan gangguan nutrisi yang
lanjut karena penurunan asupan makanan, sindrome perlisutan atau malabsobsi
saluran cerna yang berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan dalam
pemberian makan lewat pembuluh darah seperti nutrisi parenteral total.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadiakibat mual, Vomitus
dan diare hebat kerapkali memerlukan terapi pengganti yang berupa infus cairan
serta elektrolit. Lesi pada kulit yang berkaitan dengan sarkoma kaposi,
ekskoriasi kulit perianal dan imobilisasi ditangani dengan perawatan kulit yang
seksama dan rajin; perawatan ini mencangkup tindakan membalikkan tubuh
pasien secara teratur, membersihkan dan mengoleskan salep obat serta menutup
lesi dengan kasa steril. Gejala paru seperti dispnea dan napas pendek mungkin
berhubungan dengan infeksi, sarkoma kaporsi serta keadaan mudah letih.
Pasien-pasien ini mungkin memerlukan terapi oksigen, pelatihan relaksasi dan
teknik menghemat tenaga. Pasien dengan ganggguan fungsi pernafasan yang
berat pernafasan yang berat dapat membutuhkan tindakan ventilasi mekanis.
Rasa nyeri yang menyertai lesi kulit, kram perut, neuropati perifer atau sarkoma
kaposi dapat diatasi dengan preparat analgetik yang diberikan secara teratur
selama 24 jam. Teknik relaksasi dan guded imagery (terapi psikologi dengan
cara imajinasi yang terarah) dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan
kecemasan pada sebagian pasien.
h. Terapi nutrisi Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan seimbang
diperlukan pasien HIV AIDS untuk mempertahankan kekuatan, meningkatkan
fungsi sistem imun, meningkatkan kemampuan tubuh, utuk memerangi infeksi,
dan menjaga orang yang hidup dengan infeksi HIV AIDS tetap aktif dan
produktif. Defisiensi vitamin dan mineral bisa dijumpai pada orang dengan HIV,
dan defisiensi sudah terjadi sejak stadium dini walaupun pada ODHA
mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang. Defisiensi terjadi karena HIV
menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan absorbsi szat gizi. Untuk
mengatasi masalah nutrisi pada pasien HIV AIDS, mereka harus diberikan
20
makanan tinggi kalori, tinggi protein, kaya vitamin dan mineral serta cukup air.
i. Manfaat konseling dan VCT pada pasien HIV Menurut Nursalam (2011)
konseling HIV/AIDS merupakan dialog antara seseorang (klien) dengan
pelayanan kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga memungkinkan
orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasi diri dengan stres dan
sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS. Konseling
HIV berbeda dengan konseling lainnya, walaupun keterampilan dasar yang
dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik karena :
1) Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular seksual (IMS)
dan HIV/AIDS
2) Membutuhkan mengenai praktik seks yang bersifat pribadi
3) Membutuhkan pembahasan tentang keamatian atau proses kematian
4) Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan pendapat
dan nilai yang mungkin sangat bertentangan dengan nilai yang dianut oleh
konselor itu sendiri.
5) Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV positif
6) Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasangan maupun
anggota keluarga klien Menurut Nursalam (2011) tujuan konseling HIV,
yaitu,
- Mencegah penularan HIV dengan cara mengubah prilaku. Untuk
mengubah prilaku ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) tidak hanya
membutuhkan informasi belaka, tetapi jauh lebih penting adalah
pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi mereka,
misalnya dalam prilaku seks aman, tidak berganti-ganti jarum suntik, dan
lain-lain.
- Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis,
psikologis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini konseling bertujuan untuk
memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu hidup secara positif.
Voluntary Conseling Testing atau VCT adalah suatu pembinaan dua arah
atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya
dengantujuan untuk mencegah penurlaran HIV, memberikan dukungan
moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga, dan
lingkungannya (Nursalam, 2011). Tujuan VCT yaitu sebagai upaya
pencegahan HIV/AIDS, upaya untuk mengurangi kegelisahan,
meningkatkan presepsi/ pengetahuan mereka Poltekkes Kemenkes Padang
21
tentang faktor-faktor resiko penyebab seseorang terinfeksi HIV, dan upaya
pengembangan perubahan prilaku, sehingga secara dini mengarahkan
menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi
antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat
(Nursalam, 2011)

8. Pencegahan
Pencegahan infeksi HIV primer pada semua golongan usia kemungkinan
akan memengaruhi epidemil global lebih dari terapi apa pun dimasa depan yang
dapat diketahui. Kesalahan konsepsi mengenai factor resiko untuk infeksi HIV
adalah target esensial untuk usaha mengurangi perilaku resiko, terutama diantara
remaja. Untuk dokter spesialis anak, kemampuan member konsultasi pada pasien
dan keluarga secara efektif mengenai praktik seksual dan penggunaan obat adalah
aliran utama usaha pencegahan ini. Bahkan pendidikan dan latihan tersedia dari The
American Medical Assosiation dan The American Academy of Pediatrics yang
dapat membantu dokter pediatric memperoleh kenyamanan dan kompetensi yang
lebih besar pada peran ini.
Pencegahan infeksi HIV pada bayi dan anak harus dimulai dengan tepat
dengan pencegahan infeksi pada perempuang hamil. Langkah kedua harus menekan
pada uji serologi HIV bagi semua perempuan hamil. Rekomendasi ini penting
karena uji coba pengobatan mutakhir menunjukkan bahwa protocol pengobatan bayi
menggunakan obat yang sama selama beberapa minggu secara signifikan
mengurangi angka transmisi dari ibu ke bayi. Pemberian zidovudin terhadap wanita
hamil yang terinfeksi HIV-1 mengurangi penularan HIV-1 terhadap bayi secara
dermatis. Penggunaan zidovudin (100 mg lima kali/24 jam) pada wanita HIV-1
dalam 14 minggu kehamilan sampai kelahiran dan persalinan dan selama 6 minggu
pada neonatus (180 mg/m2 secara oral setiap jam) mengurangi penularan pada 26%
resipien palasebo sampai 8% pada resipien zidovudin, suatu perbedaan yang sangat
bermakna.
Pelayanan kesehatan A.S. telah menghasilkan pedoman untuk penggunaan
zidovudin pada wanita hamil HIV-1 positif untuk mencegah penularan HIV-1
perinatal. Wanita yang HIV-1 positif, hamil dengan masa kehamilan 14-34 minggu,
mempunyai anak limfosid CD4 +  200/mm atau lebih besar, dan sekarang tidak
berada pada terapi atteretrovirus dianjurkan menggunakan zidovudin. Zidovudin
intravena (dosis beban 1 jam 2 mg/kg/jam diikuti dengan infus terus menerus 1
22
mg/kg/jam sampai persalinan) dianjurkan selama proses kelahiran. Pada semua
keadaan dimana ibu mendapat zidovudin untuk mencegah penularan HIV-1, bayi
harus mendapat sirup zidovudin (2 mg/kg setiap 6 jam selama usia 6 minggu
pertama yang mulai dan8 jam sesudah lahir).
Jika ibu HIV-1 positif dan tidak mendapatkan zidovudin, zidovudin harus
dimulai pada bayi baru lahir sesegera mungkin sesudah lahir, tidak ada bukti yang
mendukung kemajuan obat dalam mencegah infeksi HIV-1 bayi baru lahir sesudah
24 jam. Ibu dan anak diobati dengan zidovudin harus diamati dengan ketak untuk
kejadian-kejadian yang merugikan dan didaftar pada PPP untuk menilai
kemungkinan kejadian yang merugikan jangka lama. Saat ini, hanya anemia ringan
reversible yang telah ditemukan pada bayi. Untuk melaksanakan pendekatan ini
secara penuh, semua wanita harus mendapatkan prenatal yang tepat, dan wanita
hamil harus diuji untuk positivitas HIV-1.
Penularan seksual. Pencegahan penularan seksual mencakup penghindaran
pertukaran cairan-cairan tubuh. Kondom merupakan bagian integral program yang
mengurangi penyakit yang ditularkan secara seksual. Seks tanpa perlindungan
dengan mitra yang lebih tua atau dengan banyak mitra adalah biasa pada remaja
yang terinfeksi HIV-1.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
 Data Subjektif, mencakup :
a) Pengetahuan klien tentang AIDS
b) Data nutrisi, seperti masalah cara makan, BB turun
c) Dispneu (serangan)
d) Ketidaknyamanan (lokasi, karakteristik, lamanya)
 Data Objektif, meliputi :
a) Kulit, lesi, integritas terganggu
b) Bunyi nafas
c) Kondisi mulut dan genetalia
d) BAB (frekuensi dan karakternya)
e) Gejala cemas
2. Pemeriksaan Fisik
a) Pengukuran TTV
b) Pengkajian Kardiovaskuler
23
c) Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat. Gagal jantung
kongestif sekunder akibat kardiomiopati karena HIV.
d) Pengkajian Respiratori
Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea, hipoksia, nyeri
dada, napas pendek waktu istirahat, gagal napas.
e) Pengkajian Neurologik
Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku, nyeri otot,
kejang-kejang, enselofati, gangguan psikomotor, penurunan kesadaran, delirium,
meningitis, keterlambatan perkembangan.
f) Pengkajian Gastrointestinal
Berat badan menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan menelan, bercak putih
kekuningan pada mukosa mulut, faringitis, candidisiasis esophagus, candidisiasis
mulut, selaput lender kering, pembesaran hati, mual, muntah, colitis akibat diare
kronis, pembesaran limfa.
g) Pengkajain Renal
h) Pengkajaian Muskuloskeletal
Nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak (ataksia)
i) Pengkajian Hematologi
j) Pengkajian Endokrin
k) Kaji status nutrisi
l) Kaji adanya infeksi oportunistik
m) Kaji adanya pengetahuan tentang penularan

3. Riwayat Imunisasi
 Dapatkan riwayat yang berhubungan dengan faktor resiko terhadap aids pada anak-
anak: exposure in utero to HIV-infected mother, pemajanan terhadap produk darah,
khususnya anak dengan hemophilia, remaja yang menunjukan prilaku resiko tinggi.
 Obsevasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak: gagal tumbuh, limfadenopati,
hepatosplenomegali
 Infeksi bakteri berulang
 Penyakit paru khususnya pneumonia pneumocystis carinii (pneumonitys inter
interstisial limfositik, dan hyperplasia limfoid paru).
 Diare kronis
 Gambaran neurologis, kehilangan kemampuan motorik yang telah di capai
sebelumnya, kemungkinan mikrosefali, pemeriksaan  neurologis abnormal
24
 Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian missal tes antibody serum.
4. Analisa Data
NO DATA ETOLOGI MASALAH
KEPERAWATAN
1. DS : Diare Penularan vertikal dari ibu Resiko
DO : dengan HIV ketidakseimbangan
- Nadi meningkat Cairan
- Akral dingin Virus beredar dalam darah dan
- Mukosa bibir kering jaringan mukosa
- Turgor kulit lambat
Virus menginfeksi sel yang
memiliki molekul CD4

Sel yang terinfeksi mengalami


apoptusi

Imunitas tubuh menurun

Tubuh rentan terhadap infeksi

Infeksi pada sistem pencernaan

Infeksi bakteri

Diare Kronik

Resiko ketidakseimbangan
Cairan

2. - Tanda Mayor : Infeksi pada sistem penceranaan Hipertermi


DS : -
Do : Suhu tubuh meningkat Infeksi Jamur

- Tanda Minor : Peradangan

25
DS : -
DO : Suhu meningkat
- Kulit merah
- Kejang Hipertermi

- Takikardi
- Takipnea
3. - Tanda Mayor Infeksi pada pernafasan Intoleransi Aktifitas
DS : Mengeluh Lelah
DO : Frekuensi janatung Peradangan sistem pernafasan
meningkat >20% dari
kondisi istirahat. Peradangan saluran pernafasan
dan jaringan Paru
- Tanda Minor :
DS : Lisis dinding alveoli

- Dipsnea saat / setelah


aktivitas Kolaps saluran nafas kecil saat

- Merasa tidak nyaman expirasi

setelah beraktifitas
Gangguan pertukaran gas O2
- Merasa lemah
DO :
Penurunan perfusi o2 ke
- TD berubah >20% dari
jaringan
kondisi istirahat
- Gambaran EKG
Lemah, Letih, Lesu, dan Lemas
menunjukan aritmia tau
iskemia saat / setelah
Intoleransi Aktifitas
aktifitas
- Sianosis

5. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan ada nya infeksi
2. Intoleransi Aktifitas berhubungan dengan Kelemahan badan
3. Resiko Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan Diare kronik

26
6. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan tindakan keperawatan dilakukan dengan metode menurut SIKI
( Standard Intervensi Keperawatan Indonesia ) Edisi ke- 1 , 2018 :

NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI


1. Resiko Setelah dilakukan asuhan Tindakan
keperawatan selama 3x24jam
ketidakseimbangan Observasi :
masalah teratasi dengan kriteria
Cairan hasil - Identifikasi kemungkinan penyebab ketidakseimbangan elektrolit
- Asupan cairan terpenuhi
- Monitor kadar elektrolit serum
- Kelembaban membrane mukosa
membaik - Monitor mual, muntah, dan diare
- Tekanan darah dalam batas
- Monitor kehilangan cairan ( Jika perlu )
normal
- Turgor kulit membaik - Monitor tanda dan gejala hipokalemia (misal : kelemahan otot,
- Tidak ada mata cekung
interval QT memanjang, Gelombang T datar atau terbalik, depresi
segmen ST, gelombang U, kelelahan, parestesia, penurunan
refleks, anoreksia, konstipasi, motilitas usus menurun, pusing,
depresi pernafasan ).
- Monitor tanda dan gejala hiperkalemia ( misal : peka rangsang,
gelisah, mual muntah, takikardia yang mengarah ke bradikardi,
fibrilasi / takikardia ventrikel, gelombang T tinggi, gelombang P
datar, Kompleks QRS tumpul, blok jantung mengarah asistol).
- Monitor tanda dan gejala hiponatremia ( misal : disorientasi, otot
26
berkedut, sakit kepala, membran mukosa kering, hipotensi postural,
kejang, letargi, penurunan kesadaran).
- Monitor tanda dan gejala Hipernatremia ( misal : haus, demam,
mual muntah, gelisah, peka terhadap rangsang, membran mukosa
kering, takikardia, hipotensi, letargi, konfusi, kejang ).
- Monitor tanda dan gejala hipokalsemia ( misa : Peka terhadap
rangsang, tanda Chvostek spasme otot wajah, tanda Trousseau /
spasme karpal, kram otot, interval QT memanjang ).
- Monitor tanda dan gejala hipomagnesimia ( misal : depresi
pernafasan, apatis, tanda Chvostek, Trousseau, konfusi, dan
disritmia ).
- Monitor dan tanda gejala hipermagnesemia ( misal ; kelemahan
otot, hiporefleks, bradikardia, depresi SSP, letargi, koma, depresi )
Terapeutik
- Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan Informasikan hasil
pemantauan ( jika perlu )

2. Hipertermi Setelah dilakukan Asuhan Tindakan :

27
keperawatan selama 3x24 jam, Observasi
masalah teratasi dengan kriteria : - Identifikasi penyebab hipotermia ( mis : dehidrasi, terpapar
Suhu dalam batas normal lingkungan panas, penggunaan inkubator )
- Monitor usuhu tubuh
- Monitor kadar elektrolit
- Monitor haluaran urine
- Monitor komplikasi akibat hipertermia
Terapeutik
- Sediakan lingkungan yang dingin
- Longgarkan atau lepaskan pakaian
- Basahi dan kipas permukaan tubuh
- Berikan cairan oral
- Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami
hiperhidrosis ( keringat berlebih )
- Lakukan pendinginan eksternal (mis : selimut hipotermia atau
kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila ).
- Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
- Berikan o2 bila perlu.

Edukasi

28
- Anjurkan tirah baring

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu
3. Intoleransi Aktifitas Setelah dilakukan intervensi selama 3 - Manajemen Energi
x 24 jam, maka toleransi aktivitas 1) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
meningkat, dengan kriteria hasil: kelelahan.
a. Frekuensi nadi menurun
2) Monitor kelelahan fisik dan emosional
b. Keluhan lelah menurun
3) Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif.
c. Dispnea saat aktivitas menurun
4) Anjurkan tirah baring
d. Dispnea setelah aktivitas menurun
5) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
e. Perasaan lemah menurun
f. Aritmia saat aktivitas menurun
makanan.

g. Aritmia setelah aktivitas menurun - Rehabilitasi Jantung


h. Sianosis menurun 1) Monitor tingkat toleransi aktivitas
i. Tekanan darah membaik. 2) Periksa kontraindikasi latihan (takikardia >120 x/menit, TDS
j. EKG iskemia membaik >180 mmHg, TDD >110 mmHg, hipotensi ortostatik >20
mmHg, angina, dispnea, gambaran EKG iskemia, blok
atrioventrikuler derajat 2 dan 3, takikardia ventrikel)
3) Fasilitasi pasien menjalani fase 1 (inpatient)
4) Anjurkan menjalani latihan sesuai toleransi.

29
7. Pelaksanaan Keperawatan ( Implementasi )

Implementasi adalah proses membantu pasien untuk mencapai tujuan


yang telah ditetapkan. Tahap ini dimulai setelah rencana tindakan disusun.
Perawat mengimplementasi tindakan yang telah diindentifikasi dalam
rencana asuhan keperawtan. Dimana tujuan implementasi keperawatan
adalah meningkatkan kesehatan klien, mencegah penyakit, pemulihan dan
memfasilitasi koping klien (Hutahaean Serri, 2010).
Dalam implementasi rencana tindakan keperawatan pada anak
dengan HIV aids adalah mengkaji keadaan klien, melibatkan keluarga
dalam pemberian terapi, mengobservasi reaksi non verbal, mengkaji intake
dan output klien, dan membantu keluarga dalam memberikan asupan kepada
klien.

8. Evaluasi

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan dan merupakan


tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.
Perawat mengevaluasi kemajuan pasien terhadap tindakan keperawtan
dalam mencapai tujuan dan merevisi data dasar dan perencanaan
(Hutahaean Serri, 2010). Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan
klien dalam mecapai tujuan.

30
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Demam tifoid atau typhoid fever adalah suatu sindrom sistemik
berat yang secara klasik disebabkan oleh Salmonella Typhi. Demam tifoid
sendiri akan sangat berbahaya jika tidak segara di tangani secara baik dan
benar, bahkan menyebabkan kematian.
Penyakit ini sangat erat dengan sanitasi lingkungan, seperti sumber
air yang bersih, hygiene makanan dan minuman, lingkungan yang
kumuh ,serta kehidupan masyarakat yang kurang mendukung hidup sehat
(Cita, 2014).
Anak kecil lebih rentan terkena demam tifoid karena daya tahan
tubuhnya tidak sekuat orang dewasa atau bisa juga karena angka kurang
menjaga kebersihan saat makan dan minum, tidak mencuci tangan dengan
baik saat setelah buang air kecil maupun buang air besar (Nuruzzaman,
2015).

B. Saran
1. Saran teoritis
 Bagi instansi pendidikan
Bagi tenaga pendidik khususnya STIKES Budiluhur kelas transfer Cimacan
lebih memberikan informasi tentang peyusunan serta pemberian asuhan dalak
keperawatan serta memberikan pemahaman lebih mengenai asuhan keperawatan
anak dengan thypoid.
 Bagi pemberi asuhan selanjutnya
Diharapkan hasil asuhan ini bisa menjadi pedoman atau pegangan dalam
pemberian asuhan selanjutnya.

2. Saran praktis
Diharapkan dengan pemberisan asuhan yang telah dilakukan menjadikan mahasiswa
menjadi lebih mampu dalam melaksanakan seluruh rangkaian kegiatan asuhan
keperawatan.

31
DAFTAR PUSTAKA

Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 2017, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.

Lyke, Merchant Evelyn, 2011, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs Approach,J.B.
Lippincott Company, London.

Phipps, Wilma. et al, 2018, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice, 4th
edition, Mosby Year Book, Toronto

Christine L. Mudge-Grout, 2010, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St. Louis.

Rampengan dan Laurentz, 2009, Penyakit HIV/aids Pada Anak, cetakan kedua, EGC, Jakarta.

iii

Anda mungkin juga menyukai