Anda di halaman 1dari 67

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS HIV/AIDS

Disusun oleh:

KELOMPOK 1

KAISAR AGUS 70300117041 NADILA DIANA M. 70300119037

NURHIKMAH 70300119006 SAKINA 70300119043

ANDI MUTIARA M. 70300119012 IRSA ASRIANTI I. 70300119049

NURFADILLAH 70300119018 PRASETIAWATI H. 70300119057

MARDANIAR K. 70300119024 ABDUL RAHMAN 70300119064

ST. NAMIRAH N. 70300119031 HARDIYANTI SYAH N. 70300119070

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan karunia-Nya kai dapat menyelesaikan makalah mengenai Laporan
Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Kasus HIV/AIDS ini dengan baik.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ns. Maria Ulfah S.kep., Ns
dan Ns. Huriati S.Kep., Ns., M. Kes selaku dosen dan pembimbing kami yang
telah memberikan saran dan masukan dalam proses pembuatan makalah ini.

Diharapkan Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan ini dapat


memberikan wawasan kita tentang bagaimana memahami klien dengan
HIV/AIDS.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat


kekurangan. Oleh karena itu, kami menerima kritik, saran dan masukan untuk
memperbaiki makalah yang telah kami buat.

Makassar, 22 Juni 2021

Kelompok 1
DAFTAR ISI

Halaman Judul ...............................................................................................

Kata Pengantar ..............................................................................................

Daftar Isi..........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................

A. Latar Belakang ...................................................................................


B. Tujuan Penulisan ................................................................................

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................

A. Definisi.................................................................................................
B. Etiologi ................................................................................................
C. Manifestasi Klinis.................................................................................
D. Patofisiologis.......................................................................................
E. Komplikasi ..........................................................................................
F. Pemeriksaan diagnostic......................................................................
G. Penatalaksanaan.................................................................................
H. Pengkajian...........................................................................................
I. Diagnose Keperawatan.......................................................................
J. Rencana Keperawatan........................................................................
K. Penyimpangan KDM...........................................................................

BAB III PENUTUP...........................................................................................

A. Kesimpulan..........................................................................................
B. Saran...................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................

LAMPIRAN .....................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang


dan menjadi masalah global yang melanda dunia. Virus HIV masih menjadi
fenomena gunung es di Indonesia, kasus HIV yang ditemukan hanya sebagian
sedangkan dasarnya lebih banyak (Menkes, 2019). Fenomena dari HIV/AIDS
berpengaruh pada nutrisi saat ini disebabkan karena timbulnya infeksi
oportunistik diantaranya terjadi jamur kandidia pada mulut dan pengaruh dari
obat ARV yang dapat menyebabkan pasien HIV/AIDS mengalami disfagia dan
anoreksia pasien yang kurang pengetahuannya akan membiarkan tidak
memenuhi asupan nutrisi mereka dan dapat menyebabkan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh. HIV dan malnutrisi dapat secara independen menyebabkan
terjadinya kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif. Dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, morbiditas dan mortalitas melalui
infeksi oportunistik, demam, diare, kehilangan nafsu makan, malabsorbsi nutrisi
dan penurunan berat badan. Pengetahuan pemenuhan asupan nutrisi pada
pasien HIV/AIDS masih rendah, ketika pemenuhan nutrisi tidak baik akan
menimbulkan masalah penurunan kekebalan tubuh dan membuat virus HIV
berkembang semakin cepat (Duggal, et.al, 2012)

Prevalensi kasus HIV/AIDS menurut data WHO HIV terus menjadi


masalah kesehatan global yang utama. Sejauh ini telah merenggut lebih dari 32
juta jiwa, Ada sekitar 37,9 juta orang yang hidup dengan HIV pada akhir 2018
dengan 1,7 juta orang menjadi baru terinfeksi pada 2018 secara global (WHO,
2019). Di Asia sebagian besar angka prevalensi HIV masih rendah yaitu <1%
kecuali Thailand dan India Utara sedangkan Asia Pasifik terdapat ±350 ribu
orang yang baru terinfeksi HIV ±64% adalah laki-laki (InfoDATIN Kemenkes RI,
2017).

Berikut adalah jumlah kasus HIV/AIDS yang bersumber dari


DitjenPencegahan dan Penanggulangan Penyakit (P2P), data laporan tahun
2017 yang bersumber dari sistem informasi HIV/AIDS dan IMS (SIHA). Dimana
kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2017 terdapat 48.300 kasus HIV dan
9.280 kasus AIDS. Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan
Juni 2018 sebanyak 301.959 jiwa (47% dari estimasi ODHA jumlah orang
dengan HIV/AIDS tahun 2018 sebanyak 640.443 jiwa) dan paling banyak
ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun dan 20-24 tahun. Adapun provinsi
dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (55.099), diikuti Jawa
Timur (43.399) (Kemenkes RI, 2019)

Berdasarkan data dinas kesehatan provinsi sulawesi selatan, Trend


kasus HIV/AIDS cenderung mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir.
Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulsel tahun 2018, estimasi
ODHA sekitar 16.676 orang dan yang ditemukan HIV+ sekitar 8.821 dan yang
masuk perawatan 10.879, memulai ART 5.965 serta yang masih melakukan ART
3.254. Sedangkan untuk testing pada kelompok risiko pada tahun 2018 terlihat
masih jauh dari target yang diharapkan terutama pada kelompok LSL, WPS,
pasangan risti, dan TB (Jumlah testing pada pasangan Risti 2.994 sedangkan
target 57.839; pada penderita TB jumlah testing 9.108, target 68.054; LSL jumlah
testing 4.499 dan target 16.594) (Dinkes Prov Sul-Sel, 2018)

B. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan diatas maka
tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui definisi HIV/AIDS
2. Untuk mengetahui etiologi dari HIV/AIDS
3. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi Klinis HIV/AIDS
4. Untuk mengetahui Patofisiologis HIV/AIDS
5. Untuk mengetahui apa saja komplikasi yang dapat muncul akibat
HIV/AIDS
6. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan diagnostic HIV/AIDS
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan HIV/AIDS
8. Untuk mengetahui bagaimana pengkajian HIV/AIDS
9. Untuk mengetahui Diagnose Keperawatan HIV/ AIDS
10. Untuk mengetahui Rencana Keperawatan HIV/AIDS
11. Untuk mengetahui Penyimpangan KDM HIV/AIDS
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFISI HIV/AIDS

Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) adalah suatu kumpulan


gejala yang didapat akibat dari penurunan respon sistem kekebalan tubuh akibat
infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). Human Immunodeficiency
Virus (HIV) adalah virus yang bereplikasi didalam sistem imun tubuh dan
merupakan salah satu retrovirus karena dapat mengubah urutan sistem rantai
Deoxyribonucleic Acid (DNA) menjadi Ribonucleic Acid (RNA) setelah masuk ke
dalam sel inang (Price Wilson, 2016)

HIV adalah sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh


manusia.11 AIDS adalah kependekan dari Acquired Immune Deficiency
Syndrome. Acquired berarti didapat, bukan keturunan. Immuno terkait dengan
sistem kekebalan tubuh kita. Deficiency berarti kekurangan. Syndrome atau
sindrom berarti penyakit dengan kumpulan gejala, bukan gejala tertentu. Jadi
AIDS berarti kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem
kekebalan tubuh yang dibentuk setelah kita lahir. (Phangkawira, dkk., 2019).

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan pathogen yang


menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penenda
CD 4+ dipermukaannya seperti makrofag dan limfosit T. AIDS (acquired
Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu kondisi immunosupresif yang
berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, serta
manifestasi neurologic tertentu akibat infeksi HIV (Phangkawira, dkk., 2019).

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus yang berarti


terdiri atas untai tunggal RNA virus yang masuk ke dalam inti sel pejamu dan
ditranskripkan kedalam DNA pejamu ketika menginfeksi pejamu. AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit virus yang menyebabkan
kolapsnya sistem imun disebabkan oleh infeksi immunodefisiensi manusia (HIV),
dan bagi kebanyakan penderita kematian dalam 10 tahun setelah diagnosis.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala
penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIv . (Nur Sofiyah,2020)
B. Etiologi HIV/AIDS

Penyebab terjadinya AIDS berasal dari infeksi virus HIV. Virus ini dahulu
disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (Human T Lympotrophic Virus III /
HTLVIII) atau virus limfadenopati, adalah suatu retrovirus manusia dari famili
lentivirus (Price & Wilson, 2006). Terdapat dua tipe virus HIV yang sudah
teridentifikasi berdasarkan susunan genom dan hubungan filogeniknya, yaitu
HIV-1 dan HIV-2 yang keduanya memiliki penyebaran epidemiologis yang
berbeda. Virus HIV-1 merupakan tipe yang paling umum dan virulen menginfeksi
manusia dimana 12 sebanyak 90% kejadian infeksi HIV yang terjadi di dunia
berasal dari HIV-1 (Phangkawira, dkk., 2019).

Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human Immunodeficiency


Virus (HIV). Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu:

a) Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak


ada gejala

b) Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala flu like
illness

c) Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala tidk


ada

d) Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat


malam hari, berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash,
limfadenopati, lesi mulut

e) AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS pertama


kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada
berbagai sistem tubuh, dan manifestasi neurologis (Nur Sofiyah,2020)

Individu dapat tertular virus HIV melalui 4 cara, yaitu :

a. Kontak seksual tanpa pelindung/ sex bebas

Infeksi HIV dapat terjadi melalui hubungan seks baik melalui vagina
maupun dubur (anal). Meskipun sangat jarang, HIV juga dapat menular
melalui seks oral. Akan tetapi, penularan lewat seks oral hanya akan
terjadi bila terdapat luka terbuka di mulut penderita, misalnya seperti gusi
berdarah atau sariawan.

b. Darah yang terinfeksi pada transfusi darah.

Penularan HIV dapat terjadi saat seseorang menerima donor darah dari
penderita HIV.

c. Berbagi jarum suntik.

Berbagi penggunaan jarum suntik dengan penderita HIV, adalah salah


satu cara yang dapat membuat seseorang tertular HIV. Misalnya
menggunakan jarum suntik bersama saat membuat tato, atau saat
menggunakan NAPZA suntik.

d. Melalui Kehamilan, Persalinan, atau Menyusui

HIV juga dapat terjangkit pada bayi melalui ibunya yang telah terinfeksi
sebelumnya. Hal ini dapat terjadi selama kehamilan, persalinan, hingga
saat menyusui. Seorang ibu yang telah positif mengidap HIV dan telah
mendapatkan pengobatan untuk gangguan tersebut, risiko untuk bayinya
akan menurun secara signifikan. (Phangkawira, dkk., 2019).

Dalam firman Allah Q.S Al-isra ayat 32:

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu keji, dan
suatu jalan yang buruk.”

Dalam kitab Tafsir Al-Maraghi Karya Ahmad Mustafa AlMaraghi


Walataqrobuzzina ditafsiri bahwa Allah SWT telah melarang semua hamba-Nya
dalam mendekati perzinaan, ialah segala hal yang mendorong serta sebab-
sebab terjadinya perzinaan. Selain pelarangan berzina itu sebagai ungkapan,
namun juga sebagai keterangan bahwasannya larangan berzina itu datang
karena memang itu perbuatan yang sangat buruk. Sebagaimana selanjutnya
Allah memberi sebuah alasan kenapa dilarangnya mendekati berzina dengan
firmanNya. Al-Maraghi juga menjelaskan lafal (al-fahisyah) pada Alquran surat
Al-Isra’ ayat 32 berarti perbuatan yang nyata keburukannya juga ditafsiri sebagai
Mafsadah zina adalah perbuatan yang sangat buruk dan banyak memuat
kerusakan. Adapun Pengertian Secara Umumnya yaitu Larangan mendekati zina
dikarenakan apabila terjadi perzinaan tersebut, maka akan terjadinya kekacau
nasab, keturunan akan berkurang bahkan tidak ada lagi. Terjadinya banyak
huruhara dan peperangan antar manusia karena ingin mempertahankan
kehormatan. (Nur Sofiyah,2020)

Infeksi HIV dapat terjadi melalui hubungan seks baik melalui vagina maupun
dubur (anal). Meskipun sangat jarang, HIV juga dapat menular melalui seks oral.
Akan tetapi, penularan lewat seks oral hanya akan terjadi bila terdapat luka
terbuka di mulut penderita, misalnya seperti gusi berdarah atau sariawan. (Nur
Sofiyah,2020)

C. Manifestasi Klinis HIV/AIDS

Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) memiliki beragam


manifestasi klinis dalam bentuk keganasan dan infeksi opurtunistik. Jenis
keganasan yang paling sering dijumpai pada keganasan lain yang pernah
dilaporkan terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV adalah myeloma multipel,
leukemia limfositik akut sel B, limfoma limfoblastik T, penyakit Hodgkin,
karsinoma anus, karsinoma sel skuamosa di lidah, karsinoma adenoskuamosa
paru, adenokarsinoma kolon dan pankreas, kanker serviks, dan kanker testis
(Smeltzer Bare, 2014)

Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu:

1. Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi yang
berlangsung antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya

2. Persistent generalized lymphadenophaty (PGL) dengan gejala


limfadenopati umum

3. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan


gangguan sistem imun atau kekebalan

4. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang
berat berupa diare kronis, pneumonitis interstisial, opularisy, opularisy,
dan kandidiasis oral yang disebabkan oleh infeksi oportunistik dan
neoplasia misalnya sarcoma opula. Penderita akhirnya meninggal dunia
akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder (Phangkawira, dkk., 2019).

Fase-Fase HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV terkonfirmasi
menurut WHO:

a) Fase 1

Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah terpapar


dan terinfeksi. Tetapi ciri – ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia
melakukan tes darah. Pada fase ini antibody terhadap HIV belum
terbentuk. Bisa saja terlihat/mengalami gejala – gejala ringan, seperti flu
(biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).

b) Fase 2

Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini
individu sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah
dapat menularkan pada orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala –
gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).

c) Fase 3

Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut gejala AIDS.
Gejala – gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada
waktu malam, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah
bening, flu yang tidak sembuh – sembuh, nafsu makan berkurang dan
badan menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada fase
ketiga ini opula kekebalan tubuh mulai berkurang.

d) Fase 4

Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan
tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel T nya. Timbul penyakit
tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru –
paru yang menyebabkan radang paru – paru dan kesulitan bernafas,
kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma opula, infeksi
usus yang menyebabkan diare parah berminggu – minggu, dan infeksi
otak yang menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala
(Phangkawira, dkk., 2019).

Pasien AIDS rentan terhadap terhadap infeksi protozoa, bakteri, fungus,


dan virus. Pneumonia Pnuemocytis Carinii (PPC) adalah infeksi serius yang
paling sering dijumpai dengan gejala panas yang pendek, sesak nafas, batuk,
nyeri dada, dan demam. Hal ini hampir serupa tanda dan gejalanya dengan
pasien AIDS yang disertai Tuberkulosis (TB) karena Mycobacterium tuberculosis.
Infeksi lainnya seperti fungus antara lain kandidiasis, kriptokokosis, dan
histoplasmosis. Infeksi opurtunistik yang disebabkan oleh virus sangat beragam
dan merupakan penyebab semakin parahnya patologi yang terjadi (Smeltzer
Bare, 2014)

Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV
terkonfirmasi menurut WHO:

a) Stadium 1 (asimtomatis)
Stadium 1 adalah fase ketika gejala HIV awal sudah mulai hilang atau
disebut sebagai infeksi HIV asimtomatik. Fase ini belum dikategorikan
sebagai AIDS. Pada stadium ini, penderita tidak menunjukkan gejala. Jika
ternyata ada gejala, biasanya hanya berupa pembesaran kelenjar getah
bening di berbagai bagian tubuh, misalnya leher, ketiak, dan lipatan paha.
Periode tanpa gejala dapat terjadi selama bertahun-tahun sekitar 5-10
tahun tergantung daya tahan tubuh penderita. Rata-rata, para penderita
HIV (ODHA) akan berada di stadium I selama 7 tahun. ODHA pun kerap
masih tampak normal layaknya orang sehat pada umumnya.
(Phangkawira, dkk., 2019).

b) Stadium 2 (ringan)
Pada gejala HIV stadium II, daya tahan tubuh ODHA umumnya sudah
mulai turun. Meski gejala yang muncul masih beragam, gejalnya masih
belum khas atau spesifik. Biasanya, hal ini terjadi pada pasien yang
memiliki gaya hidup tidak berisiko tinggi dan masih belum mengetahui
bahwa dirinya sudah terinfeksi. Akibatnya, mereka tidak melakukan
pemeriksaan darah dan otomatis tidak memperoleh pengobatan dini
untuk mencegah stadium infeksi HIV berikutnya. (Phangkawira, dkk.,
2019).
Tanda dan gejala HIV stadium II berupa:

1. Penurunan berat badan pengidap HIV bisa mencapai kurang dari 10%
berat badan sebelumnya.

2. Infeksi saluran pernapasan atas yang sering kambuh, seperti sinusitis,


opularis, radang telinga tengah (otitis media), radang tenggorokan
(faringitis).

3. Herpes zoster yang berulang dalam 5 tahun.

4. Radang pada mulut dan stomatitis (sariawan) yang berulang.

5. Gatal pada kulit (papular pruritic eruption).

6. Dermatitis seboroik yang ditandai ketombe luas yang tiba-tiba muncul.

Infeksi jamur pada kuku dan jari-jari. (Phangkawira, dkk., 2019).


(Gambar tanda dan gejala stadium 2)

c) Stadium 3 (lanjut)
Stadium III HIV disebut juga fase simptomatik yang umumnya sudah
ditandai dengan adanya gejala-gejala infeksi primer. Gejala yang timbul
pada stadium III ini cukup khas sehingga bisa mengarah pada dugaan
diagnosis infeksi HIV/AIDS. Virus HIV menghancurkan sel CD4 (sel T),
yaitu sel darah putih yang bertugas untuk melawan infeksi. Penderita HIV-
AIDS biasanya akan merasa lemah dan menghabiskan waktu 50% di
tempat tidur. Rentang waktu dari gejala HIV stadium III hingga mengalami
AIDS rata-rata 3 tahun. (Phangkawira, dkk., 2019).

Gejala HIV pada stadium III antara lain:

1. Penurunan berat badan melebihi 10% dari berat badan sebelumnya tanpa
penyebab yang jelas.

2. Mencret (diare Kronis) yang tidak jelas penyebabnya dan sudah


berlangsung lebih dari 1 bulan.

3. Demam terus menerus atau hilang timbul selama lebih dari 1 bulan tanpa
penyebab yang jelas.

4. Infeksi jamur di mulut (candidiasis oral).

5. Oral hairy leukoplakia, yakni munculnya bercak putih pada lidah yang
permukaannya kasar, tampak berombak, dan berbulu.

6. Tuberkulosis paru yang terdiagnosis 2 tahun terakhir.

7. Radang mulut akut nekrotik, gingivitis (radang gusi), serta periodontitis


yang berulang dan tidak kunjung sembuh.

Hasil pemeriksaan darah menunjukkan penurunan sel darah merah, sel


darah putih, dan trombosit. (Phangkawira, dkk., 2019).
(Gambar tanda dan gejala stadium 3)

d) Stadium 4 (berat)
Stadium IV penyakit HIV disebut juga stadium akhir AIDS. gejala AIDS
ditandai dengan rendahnya kadar sel CD4 dalam tubuh, yaitu di bawah
angka 200 sel/mm3. Pada orang dewasa normal, kadar sel CD4 idealnya
berkisar antara 500-1600 sel/mm3. Tanda dan gejala AIDS pada stadium
HIV akhir ini berupa munculnya pembesaran kelenjar limfa di seluruh
tubuh. Pengidapnya juga dapat merasakan beberapa infeksi oportunistik.
Infeksi oportunistik adalah infeksi pada sistem kekebalan tubuh yang
lemah akibat jamur, virus, bakteri, maupun parasit lainnya. (Phangkawira,
dkk., 2019).

Gejala AIDS atau gejala HIV tahap lanjut dapat meliputi:

1. HIV wasting syndrome, saat penderita menjadi kurus kering dan tidak
bertenaga. Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang
disebut AIDS dimana terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer,
jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3 dan viremia HIV
meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik,
neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati
HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV). (Retno
Budiarti, 2018)

Tahap ini sudah masuk pada AIDS gejala yang dialami sudah
semakin parah, badan sudah sangat kurus, kulit berjamur, mulut
berjamur, kuku berjamur. Wasting syndrome artinya hanya tinggal kulit
dan tulang. (Dewi Aminah, 2020)

2. Pneumonia pneumocystis yang ditandai dengan batuk kering, sesak yang


progresif, demam, dan kelelahan berat.

3. Infeksi bakteri yang berat seperti infeksi paru (pneumonia, empyema,


pyomyositis), infeksi sendi dan tulang, dan radang otak (meningitis).

4. Infeksi herpes simplex kronis (lebih dari 1 bulan).

5. Penyakit tuberkulosis di luar paru, misalnya tuberkulosis kelenjar.

6. Candidiasis esofagus, yaitu infeksi jamur di kerongkongan yang membuat


penderita sangat sulit untuk makan.

7. Sarcoma Kaposi, yakni salah satu jenis kanker yang disebabkan oleh
infeksi virus human herpesvirus 8 (HHV8).

8. Toxoplasmosis cerebral, yaitu infeksi toksoplasma di otak yang dapat


menyebabkan abses atau borok otak.

Encephalophaty HIV, yakni keadaan di mana penderita sudah mengalami


penurunan dan perubahan tingkat kesadaran. (Phangkawira, dkk., 2019).

Khususnya pada wanita, ciri-ciri HIV/AIDS dapat pula berwujud sebagai:

1. Radang panggul, yang biasanya menyerang bagian reproduksi wanita


seperti rahim, leher rahim, tuba fallopi, dan indung telur.
2. Perubahan terhadap siklus haid, menjadi lebih sering atau bahkan jarang,
darah yang keluar sangat banyak, atau mengalami amenore alias tidak
haid selama lebih dari 90 hari.
kondisi tubuh ODHA sudah sangat lemah sehingga sebagian besar
aktivitas sehari-hari dilakukan di atas tempat tidur. (Phangkawira, dkk.,
2019).

(Gambar tanda dan gejala stadium 4)

Sistem Imun

Sistem imun merupakan sistem yang sangat komplek dengan berbagai


peran ganda dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh. Seperti halnya sistem
indokrin, sistem imun yang bertugas mengatur keseimbangan, menggunakan
komponennya yang beredar diseluruh tubuh, supaya dapat mencapai sasaran
yang jauh dari pusat. Untuk melaksanakan fungsi imunitas, didalam tubuh
terdapat suatu sistem yang disebut dengan sistem limforetikuler. (Phangkawira,
dkk., 2019).

Sistem Imunitas Dasar


1. Respons Imun Nonspesifik

Umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity), dalam artian


bahwa respons terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya
tidak pernah terpapar oleh zat tersebut. Sebagai contoh dapat dijelaskan sebagai
berikut : salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap masuknya
antigen misalnya, bakteri, adalah dengan cara menghancurkan bakteri tersebut
dengan cara nonspesifik melalui proses fagositosis. Dalam hal ini makrofag,
neutrofil dan monosit memegang peranan yang sangat penting. (Phangkawira,
dkk., 2019).

Supaya dapat terjadi fagositosis, sel-sel fagositosis tersebut harus berada


dalam jarak yang dekat dengan partikel bakteri, atau lebih tepat lagi bahwa
partikel tersebut harus melekat pada permukaan fagosit. Untuk mencapai hal ini
maka fagosit harus bergerak menuju sasaran. Hal ini dapat terjadi karena
dilepaskannya zat atau mediator tertentu yang disebut dengan factor leukotaktik
atau kemotaktik yang berasal dari bakteri maupun yang dilepaskan oleh neutrofil,
makrofag atau komplemen yang telah berada dilokasi bakteri (Phangkawira, dkk.,
2019).

2. Respon Imun Spesifik

Merupakan respon imun yang didapat (acquired), yang timbul akibat dari
rangsangan antigen tertentu, sebagai akibat tubuh pernah terpapar sebelumnya.
Respons imun spesifik dimulai dengan adanya aktifitas makrofag atau antigen
precenting cell (APC) yang memproses antigen sedemikian rupa sehingga dapat
menimbulkan interaksi dengan sel-sel imun . Dengan rangsangan antigen yang
telah diproses tadi, sel-sel system imun berploriferasi dan berdiferensiasi
sehingga menjadi sel yang memiliki kompetensi imunologik dan mampu bereaksi
dengan antigen (Phangkawira, dkk., 2019).

Walaupun antigen pada kontak pertama (respons primer) dapat


dimusnahkan dan kemudian sel-sel system imun mengadakan involusi, namun
respons imun primer tersebut sempat mengakibatkan terbentuknya klon atau
kelompok sel yang disebut dengan memory cells yang dapat mengenali antigen
bersangkutan. Apabila dikemudian hari antigen yang sama masuk kedalam
tubuh, maka klon tersebut akan berproliferasi dan menimbulkan respons
sekunder spesifik yang berlangsung lebih cepat dan lebih intensif dibandingkan
dengan respons imun primer (Phangkawira, dkk., 2019).

Mekanisme efektor dalam respons imun spesifik dapat dibedakan menjadi :

a. Respons imun seluler

CD4 (cluster of differentiation 4) adalah sel darah putih yang berperan


penting dalam sistem kekebalan tubuh. Jumlah kadar CD4 memberikan indikasi
dan membantu diagnosis terhadap kondisi kesehatan sistem kekebalan; sistem
pertahanan alami tubuh yang berguna melawan patogen, infeksi, dan
penyakit. (Phangkawira, dkk., 2019).

CD4 merupakan glikoprotein yang ditemukan pada permukaan sel imun


seperti sel T-helper, monosit, makrofag, dan sel dendritik. CD4 disebut juga
dengan sel pembantu karena salah satu peran utama mereka adalah mengirim
sinyal ke sel kekebalan lain, termasuk sel pembunuh CD8, yang kemudian
menghancurkan partikel infeksi. Jika kadar sel CD4 menipis, misalnya
pada infeksi HIV yang tidak diobati, atau ketika kekebalan tertekan saat sebelum
melakukan transplantasi organ, tubuh menjadi rentan terhadap berbagai infeksi
yang seharusnya dapat dilawan. (Phangkawira, dkk., 2019).

Tes CD4 adalah tes darah untuk menentukan seberapa baik kondisi
sistem imun orang yang telah didiagnosis terinfeksi HIV (human
immunodeficiency virus).Tes ini berfungsi untuk mengukur jumlah sel CD4 positif
(CD4+).Sel CD4 positif (CD4+) adalah jenis sel darah putih dalam sistem imun.
Sel darah putih berperan penting untuk melawan infeksi kuman penyebab
penyakit, salah satunya virus HIV. (Phangkawira, dkk., 2019).

Respons imun seluler Telah banyak diketahui bahwa mikroorganisme


yang hidup dan berkembang biak secara intra seluler, antara lain didalam
makrofag sehingga sulit untuk dijangkau oleh antibody. Untuk melawan
mikroorganisme intraseluler tersebut diperlukan respons imun seluler, yang
diperankan oleh limfosit T. Subpopulasi sel T yang disebut dengan sel T
penolong (T-helper) akan mengenali mikroorganisme atau antigen bersangkutan
melalui major histocompatibility complex (MHC) kelas II yang terdapat pada
permukaan sel makrofag. (Phangkawira, dkk., 2019).

b. Respons Imun Humoral


Respons imun humoral, diawali dengan deferensiasi limfosit B menjadi satu
populasi (klon) sel plasma yang melepaskan antibody spesifik ke dalam darah.
Pada respons imun humoral juga berlaku respons imun primer yang membentuk
klon sel B memory. Setiap klon limfosit diprogramkan untuk membentuk satu
jenis antibody spesifik terhadap antigen tertentu (Clonal slection). Antibodi ini
akan berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen – antibodi yang
dapat mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut.
(Phangkawira, dkk., 2019).

D. Patofisiologi

Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah,


semen dan sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus (HIV) tergolong
retrovirus yang mempunyai materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit
CD4 (Cluster Differential Four), dengan melakukan perubahan sesuai dengan
DNA inangnya (Pasek, dkk., 2018)

Virus HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang
mempunyai antigen CD4 terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting
dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Virus juga dapat
menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendrit folikuler
pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan
sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya
mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan
sel limfosit itu sendiri (Pasek, dkk., 2018)

Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral
akut atau Acute Retroviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan jumlah
CD4 dan peningkatan kadar RNA HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan
menurun dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat
pada 1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load
(jumlah virus HIV dalam darah) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan
pada fase akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3 kemudian
diikuti timbulnya infeksi 13 oportunistik, berat badan turun secara cepat dan
muncul komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV, rata-rata
kemampuan bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun (Pasek,
dkk., 2018)
E. Komplikasi HIV/AIDS

Komplikasi yang disebabkan karena infeksi HIV memperlemah system


kekebalan tubuh, yang dapat menyebabkan penderita banyak terserang infeksi
dan juga kanker tertentu. Infeksi umum terjadi pada HIV/AIDS antara lain:

1. Tuberculosis (TB) Tuberkulosi pada pasien HIV sering ditemukan. Jika


dilihat dari manifestasi klinis atau gejala maka sama antara pasien normal
dan penderita HIV namun perlu penekanan bahwah pada pasien HIV
seringkali tidak menemukan gejala batuk. Juga tidak ditemukan adanya
kuman BTA pada pasien – pasien yang HIV positif karena adanya
penekanan imun sehingga dengan CD4 yang rendah membuat tubuh
tidak mampu untuk membentuk adanya granuloma/ suatu proses infeksi
didalam paru yang kemudian tidak bermanifes dan tidak menyebabkan
adanya dahak. Namun penderita HIV yang yang memiliki kuman TB
sangat berisiko sepuluh kali untuk terkena Tuberculosis terutama pada
pendrita HIV/AIDS yang memiliki sel CD4 dibawah 200.
2. Masalah di Otak
Pasien HIV seringkali mengalami masalah diotak. Masalah diotak yang
sering dijumpai pada pasien HIV dibagi menjadi 2 :

a. Infeksi Oportunistik di Otak Disebabkan oleh berbagai macam kuman


misalnya Toksoplasma yaitu suatu parasit atau oleh jamur meningitis
criptococus, infeksi Tuberculosis (TB).
b. Dimensia HIV/lupa atau gangguan memori pada pasien HIV
Disebabkan oleh proses infeksi HIV itu sendiri didalam otak yang
menimbulkan berbagai reaksi peradangan diotak sehingga
manifestasinya adalah pasien mengeluh sering lupa dan mengalami
kesulitan untuk melakukan ativitas harian akibat memori jangka
pendeknya terganggu. Deminsia HIV merupakan suatu keadaan yang
harus didiagnosis karena penyakit ini jika terjadi pada seorang pasien
HIV dapat mengganggu pengobatan, pasien akan lupa untuk minum
obat.
3. Meningitis Pasien dengan gejala meningitis paling sering dengan 4 tanda
dan keluhan nyeri kepala, panas badan, kemudian penurunan kesadaran
dan juga adanya kaku kuduk.
4. Hepatitis C Pasien HIV dengan hepatitis C biasanya terjadi pada pasien
HIV akibat Injection Drug User (IDU). Gejala awal yang dirasakan yaitu
mudah lelah, tidak nafsu makan dan bisa tibul mata yang kuning lalu
kemudian perut membuncit, kaki bengkak dan gangguan kesadaran.
Pasien HIV dengan hepatitis kemungkinan lebih besar untuk terjadi
penyakit kronik/hepatitis kronik jka tidak diobati maka akan terjadi serosis
hati, setelah itu bisa menjadi kanker hati yang akan menimbulkan
kematian.
5. Koinfeksi sifilis dan HIV Biasanya terjadi pada pasien Male Sex Male
(MSM) yang terinfeksi HIV, sifilis adalah suatu infeksi menular seksual
yang disebabkan oleh karena bakteri Treponemapalidum.Bakteri ini dapat
meyerang sistemik, awalnya melakukan infeksi lokal pada tempat kontak
seksual bisa di oral, genetal ataupun di anus dan kemudian berkembang
menimbulkan gejala ulkus kelamin. Koinfeksi HIV menyebabkan
manifestasi klinis sifilis menjadi lebih berat yang disebut Sifilis Maligna,
meyebar luas ke seluruh badan sampai ke mukosa. (Dewi Aminah, 2020)

Komplikasi pada pasien HIV/AIDS yang dapat terjadi menurut Dr. Bahrudin
2019 yaitu:
1. Pneumonia pneumocystis (PCP)
2. Esofagitis
3. Diare
4. Toksoplasmositis
5. Leukoensefalopati multifocal prigesif
6. arcoma Kaposi
7. Kanker getah bening
8. Kanker leher rahim (pada wanita yang terkena HIV)
F. Pemeriksaan Diagnostic HIV/AIDS

Pemeriksaan diagnostic untuk pasien AIDS yaitu:

1. Lakukan anamnesi gejala infeksi oportunistik dan kanker yang terkait


dengan AIDS.
2. Telusuri perilaku berisiko yang memungkinkan penularan.
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kanker
terkait. Jangan lupa perubahan kelenjar, pemeriksaan mulut, kulit, dan
funduskopi.
4. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosot total, antibodi
HIV, dan Pemeriksaan Rontgen. (Evita, 2020)

Bila hasil pemeriksaan antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan


jumlah CD4, protein purufied derivative (PPD), serologi toksoplasma, serologi
Sitomegalovirus, serologi PMS, hepatitis, dan pap smear.Sedangkan pada
Pemeriksaan follow up diperiksa jumlah CD4. Bila >500 maka pemeriksaan
diulang Tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya 200-500 maka diulang tiap 3-6
bulan, dan Bila <200 diberikan profilaksi pneumonia pneumocystis carinii.
Pemberian profilaksi INH tidak tergantung pada jumlah CD4.Perlu juga dilakukan
pemeriksaan viral load Untuk mengetahui awal pemberian obat antiretroviral dan
memantau hasil Pengobatan. Bila tidak tersedia peralatan untuk pemeriksaan
CD4 (mikroskop fluoresensi Atau flowcytometer) untuk kasus AIDS dapat
digunakan rumus CD4 = (1/3 x Jumlah limfosit total)-8. (Evita, 2020)

Menurut Amin & Hardhi (2015) pemeriksaan penunjang yang Dapat


dilakukan untuk mengetahui penyakit HIV/AIDS antara lain:

1. Mendeteksi antigen virus dengan PCR (Polimerase Chain Reaction.


2. Tes ELISA memberikan hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi.
3. Hasil positif dikonfirmasi dengan pemeriksaan western blot.
4. Serologis: skrining HIV dengan ELISA, Tes westen blot, limfosit T.
5. Pemeriksaan darah rutin.
6. Pemeriksaan neurologis.
7. Tes fungsi paru, bronkoscopi.

G. Pentalaksanaan HIV/AIDS

Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya


yang dapat diberikan yaitu :
1. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, Nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian
infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan
komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien
dilingkungan Perawatan kritis.
2. Terapi AZT (Azidotimidin)
Penggunaan obat antiviral AZT yang efektif Terhadap AIDS, obat
ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT
tersedia untuk Pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3
Sekarang, AZT tersedia untuk pasien Dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 >
500 mm3.
3. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system
imundengan Menghambat replikasi virus / memutuskan rantai
reproduksivirus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah
a. Didanosine
b. Ribavirin
c. Diedoxycytidine
d. Recombinant CD 4 dapat larut
4. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, Maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang Proses keperawatan dan
penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan Terapi
AIDS.
5. Diet
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012)
adalahTujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS adalah memberikan
intervensi gizi secara cepat dengan Mempertimbangkan seluruh
aspek dukungan gizi pada semua tahap dini Penyakit infeksi HIV,
mencapai dan mempertahankan berat badan secara Komposisi
tubuh yang diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass),
Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi, mendorong
perilaku sehat Dalam menerapkan diet, olahraga dan relaksasi.
Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah Mengatasi gejala
diare, Intoleransi laktosa, mual dan muntah, meningkatkan
kemampuan untuk memusatkan Perhatian, yang terlihat pada:
pasien dapat membedakan antara gejala anoreksia, Perasaan
kenyang, perubahan indra pengecap dan kesulitan menelan,
mencapai dan Mempertahankan berat badan normal, mencegah
penurunan berat badan yang Berlebihan (terutama jaringan otot),
memberikan kebebasan pasien untuk memilih Makanan yang
adekuat sesuai dengan kemampuan makan dan jenis terapi yang
Diberikan.
Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:
a. Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi,
diperhatikan faktor stres, Aktivitas fisik, dan kenaikan suhu
tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13% untuk Setiap
kenaikan Suhu 1°C. Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB
untuk memelihara Dan mengganti jaringan sel tubuh yang
rusak. Pemberian protein disesuaikan bila Ada kelainan ginjal
dan hati.
b. Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total.
Jenis lemak disesuaikan Dengan toleransi pasien. Apabila ada
malabsorpsi lemak, digunakan lemak dengan Ikatan rantai
sedang (Medium Chain Triglyceride/MCT). Minyak ikan (asam
lemak Omega 3) diberikan bersama minyak MCT dapat
memperbaiki fungsi kekebalan.
c. Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka
Kecukupan Gizi yang di Anjurkan (AKG), terutama vitamin A,
B12, C, E, Folat, Kalsium, Magnesium, Seng Dan Selenium.
Bila perlu dapat ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi
Megadosis harus dihindari karena dapat menekan kekebalan
tubuh.
d. Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
e. Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien
dengan gangguan fungsi Menelan, pemberian cairan harus
hati-hati dan diberikan bertahap dengan konsistensi Yang
sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa cairan kental (thick
fluid), semi kental (semi thick fluid) dan cair (thin fluid).
f. Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu
diganti (natrium, Kalium dan klorida).
Jenis Diet dan Indikasi Pemberian Diet AIDS diberikan pada
pasien akut setelah terkena infeksi HIV, yaitu kepada Pasien
dengan:
a. Infeksi HIV positif tanpa gejala.
b. Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare,
kesulitan Menelan, sariawan dan pembesaran kelenjar getah
bening).
c. Infeksi HIV dengan gangguan saraf.
d. Infeksi HIV dengan TBC.
e. Infeksi HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.
Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara,
yaitu secara oral, Enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan
makanan secara oral sebaiknya Dievaluasi secara rutin. Bila
tidak mencukupi, dianjurkan pemberian makanan Enteral atau
parental sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.
Ada tiga Macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, II dan III.
1) AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut,
dengangejala panas Tinggi, sariawan, kesulitan
menelan, sesak nafas berat, diare akut, kesadaran
Menurun, atau segera setelah pasien dapat diberi
makan.Makanan berupa cairan Dan bubur susu,
diberikan selama beberapa hari sesuai dengan
keadaan pasien, Dalam porsi kecil setiap 3 jam. Bila
ada kesulitan menelan, makanan diberikan Dalam
bentuk sonde atau dalam bentuk kombinasi makanan
cair dan makanan Sonde. Makanan sonde dapat dibuat
sendiri atau menggunakan makanan enteral Komersial
energi dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat
besi, tiamin Dan vitamin C. Bila dibutuhkan lebih
banyak energy dapat ditambahkan glukosa Polimer
(misalnya polyjoule).
2) Diet AIDS IIdiberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I
setelah tahap akut Teratasi. Makanan diberikan dalam
bentuk saring atau cincang setiap 3 jam. Makanan ini
rendah nilai gizinya dan membosankan. Untuk
memenuhi Kebutuhan energy dan zatgizinya, diberikan
makanan enteral atau sonde sebagai Tambahan atau
sebagai makanan utama.
3) Diet AIDS IIIdiberikan sebagai perpindahan dari Diet
AIDS II atau kepada Pasien dengan infeksi HIV tanpa
gejala. Bentuk makanan lunak atau biasa
Diberikandalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi
energy, protein, vitamin Dan mineral. Apabila
kemampuan makan melalui mulut terbatas dan masih
Terjadi penurunan berat badan, maka dianjurkan
pemberian makanan Sondesebagai makanan
tambahan atau makanan utama. (Evita, 2020)

Penatalaksanaan medis yang dapat diberikan pada pasien AIDS


(Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu:

1. Pengendalian Infeksi Oportunistik


Tujuan utama dari penatalaksanaan pasien AIDS yang
sakit Kritis adalah menghilangkan mengendalikan atau
pemulihan infeksi Oportunistik, infeksi nosocomial, atau sepsis.
Penatalaksanaan infeksi-Infeksi oportunistik diarahkan pada
dukungan terhadap sistem-sistem Yang terlibat. Digunakan
agen-agen farmakologi spesifik untuk Mengidentifikasi
organisme juga agen-agen eksperimental atau Organisme yang
tidak umum. Pada lingkungan perawatan kritis, Prosedur-
prosedur isolasi tambahan seperti tindakan kewaspadaan
Neutropenik mungkin diperlukan untuk mencegah tenaga
perawatan Kesehatan dari penularan organisme lingkungan
yang umum kepada Pasien dengan AIDS. Infeksi stafilokokus
adalah perhatian utama pada Lingkungan perawatan kritis.
Pasien-pasien dengan AIDS yang Terinfeksi oleh bakteri ini
akan mengalami septic, yang ditandai oleh Demam, hipotensi,
dan takikardi. Tindakan-tindakan pengendali infeksi Yang aman
untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi-
Komplikasi yang mengakibatkan sepsis harus dipertahankan
bagi Pasien dilingkungan perawatan krisis (Desmawati, 2013).
2. ARV (Antiretroviral)
Terapi ARV diberikan pada pasien HIV/AIDS bertujuan
untuk Menghentikan replikasi dari virus HIV, memulihkan
system imun Untuk mengurangi timbulnya infeksi oportunistik,
memperbaiki kualitas hidup dan dapat menurunkan morbiditas
dan mortalitas karena Infeksi HIV (Nursalam & Ninuk, 2013).
a. Cara kerja ARV
Obat-obatan ARV yang beredar saat ini sebagian besar
Bekerja berdasarkan siklus replikasi HIV, sementara obat-
obat baru Lainnya masih dalam penelitian. Jenis obat-obat
ARV mempunyai Target yaitu :
1) Entery (saat masuk)
HIV harus masuk kedalam sel T untuk dapat memulai
Kerjanya yang merusak. HIV mula-mula melekatkan
diri pada Sel, kemudian menyatukan membran luarnya
dengan membrane Luar sel. Enzim reverse
trascriptase dapat dihalangi oleh obat AZT, ddC, 3TC,
dan D4T, enzim integrase mungkin dihalangi Oleh obat
yang sekarang sedang dikembangkan, enzim protease
Mungkin dapat dihalangi oleh obat saquinavir, Ritonivir,
dan Indinivir.
2) Early replication
Sifat HIV adalah mengambil alih mesin genetic sel T.
Setelah bergabung dengan sebuah sel, HIV
menaburkan bahan-Bahan genetiknya kedalam sel.
Disini HIV mengalami masalah Dengan kode
genetiknya yang tertulis dalam bentuk yang Disebut
RNA, sedangkan pada manusia kode genetik manusia
Tertulis dalam DNA. Untuk mengatasi masalah ini, HIV
Membuat enzim reverse transcriptase (RT) yang
menyalin RNA-nya kedalam DNA. Obat Nucleose RT
Inhibitors (Nukes) Menyebabkan terbentuknya enzim
reverse transcriptase yang Cacat. Golongan non-
nucleoside RT Inhibitors memiliki Kemampuan untuk
mengikat enzim reverse transcriptaseSehingga
membuat enzim itu tidak berfungsi.
3) Late replication
HIV harus menggunting sel DNA untuk kemudian
Memasukan DNAnya sendiri kedalam guntingan
tersebut dan Menyambung kembali helaian DNA
tersebut. Alat penyambung Itu adalah enzim integrase,
maka obat integrase inhibitors Diperlukan untuk
menghalangi penyambungan ini.
4) Assembly (Perakitan/penyatuan)
Begitu HIV mengambil alih bahan-bahan genetik sel,
Maka sel akan diatur untuk membuat berbagai
potongan Sebagai bahan untuk membuat virus baru.
Potongan ini harus Dipotong dalam ukuran yang benar
yang dilakukan enzim Protase HIV, masa pada fase ini,
obat jenis protase inhibitors Diperlukan untuk
menghalangi terjadinya penyambungan ini.
b. Beberapa golongan obat ARV
Menurut Desmawati (2013) dijelaskan ada beberapa
Golongan dari obat ARV antara lain yaitu :
1) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) Obat
ini dikenal sebagai analog nukleosida yang Menghambat
proses perubahan RNA virus menjadi DNA (proses ini
dilakukan oleh virus HIV agar bisa replikasi). Jenis-jenis
obat ARV berdasarkan nama generic :
a) Zidovudine
b) Didanosine
c) Zalzitabine
d) Stavudine
e) Lamivudine
f) Abacavir
g) Tenofovir
2) Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI) yang
Termasuk golongan ini adalah Tenofir (TDF).
3) NON-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
(NNRTI) Golongan ini juga bekerja dengan menghambat
proses Perubahan RNA menjadi DNA dengan mengikat
reverse Transcriptase sehingga tidak
berfungsi.Golongan Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor berdasarkan nama generic :
a) Nevairapine
b) Delavirdine
c) Efavirenz
4) Protease Inhibitor (PI, menghalangi kerja enzzim
protease yang Berfungsi memotong DNA yang dibentuk
oleh virus dengan Ukuran yang benar untuk
memproduksi virus baru, contoh obat Golongan ini
adalah indinavir (IDV), nelfinavir (NFV), Squinavir
(SQV), ritonavir (RTV), amprenavir (APV), dan
Loponavir/ ritonavir (LPV/r).
5) Fusion Inhibitor yang termasuk golongan ini adalah
Enfuvirtide (T-20).
Obat Antiretroviral harus dikonsumsi sesuai anjuran terapi yang
disarankan oleh dokter. Untuk menekan virus secara terus menerus.
Obat-obatan ARV harus diminum secara teratur, berkelanjutan, dan tepat
waktu. Cara terbaik untuk menekan virus secara terus menerus adalah
dengan meminum obat secara tepat waktu dan mengikuti petunjuk
berkaitan dengan makanan. (Defi, 2019)
Peran perawat sebagai educator yang baik mempunyai peluang
3,846 kali pasien untuk patuh mengkonsumsi ARV dibandingkan dengan
peran kurang baik dari perawat dalam memberi edukasi kepatuhan
konsumsi obat antiretroviral (ARV). Sehingga perawat berperan sebagai
pemberi edukasi terhadap kepatuhan komsumsi obat ARV karna
kurangnya kepatuhan akan memicu kondisi lain, seperti kurang patuh
minum antibiotik bisa membuat bakteri menjadi bakteri lebih kebal. Terapi
ARV harus digunakan seumur hidup ODHA tersebut. (Defi, 2019
3. Vaksin dan rekontruksi imun
Tantangan terapeutik untuk pengobatan AIDS tetap ada.
Sejak Agen penyebab infeksi HIV dan AIDS dapat disolasi,
pengembangan Vaksin telah diteliti secara aktif. Upaya-upaya
rekontruksi imun juga Sedang diteliti dengan agen tersebut
seperti interferon. Penelitaian yang Akan datang tidak
diragukan lagi akan menghasilkan obat-obat Tambahan dan
protocol tindakan terhadap penyakit ini (Desmawati, 2017).
Penatalaksanaan non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien
HIV/AIDS yaitu:

1. Pemberian nutrisi Defisiensi gizi pada pasien positif HIV biasanya


dihubungkan dengan adanya peningkatan kebutuhan karena adanya
infeksi penyerta/infeksi oportunistik. Disaat adanya infeksi penyerta
lainnya maka kebutuhan gizi tentunya akan meningkat. Jika peningkatan
kebutuhan gizi tdak di imbangi dengan konsumsi makanan yang di
tambahkan atau gizi yang ditambah maka kekurangan gizi akan terus
memburuk, akhirnya akan menghasilkan sebuah kondisi yang tidak
menguntungkan bagi dengan positif HIV. Yang harus dilakukan adalah
mengatasi kekurangan gizi ini :
a. Mengkonsumsi makanan dengan kepadatan gizi yang lebih tinggi dari
makan biasanya.
b. Minuman yang di konsumsi upayakan adalah mi numan yang
berenergi (Desmawati, 2013).
Selain mengkonsumsi jumlah nutrisi yang tinggi, penderita HIV/AIDS
juga harus mengkonsumsi suplementasi atau nutrisi tambahan.Tujuan
nutrisi agar tidak terjadi defisiensi vitamin dan mineral. (Dewi Aminah,
2020)

2. Aktivitas dan Olahraga


Olahraga yang dilakukan secara teratur sangat membantu
efeknya juga menyehatkan.Olahraga secara teratur menghasilkan
perubahan pada jaringan, sel, dan protein pada system imun. (Dewi
Aminah, 2020)
3. Dzikir
Dzikir Merupakan salah satu cara mengingat Tuhan, dengan
berdzikir dapat memberi Keyakinan pada individu bahwa sesuatu Yang
terjadi pada dirinya atas kehendak Tuhan. respon Dzikir mampu
mengalirkan respon Emosional positif yang diterima oleh Batang otak.
Kemudian hipotalamus Mentransmisikan impuls ke hipokasmus (pusat
memori vital untuk mengkoordinasi Segala hal yang diserap indera) untuk
Mensekresikan GABA (Gama Amino Batiric Acid) yang bertugas untuk
Mengontrol emosi dan menghambat Aktivitas neuron, CRH dan
Neurotransmitter untuk memproduksi hormon kortisol. Kemudian terjadi
proses homeostatis dan perbaikan sistem neurotransmitter yang
terganggu memunculkan optimisme, menghilangkan emosi negatif dan
tercipta kestabilan hormon. (Rizky, Atiek,dkk. 2020)
Dzikir yang disertai dengan teknik Relaksasi akan mengaktivasi
saraf Parasimpatis. Dzikir akan mengaktivasi Pengeluaran hormon
endoprin oleh Kelenjar hipofisis. Sehingga denyut Jantung, nadi,
pernapasan dan Metabolisme dalam kondisi fisiologis. Setelah itu lobus
frontalis akan teraktivasi Untuk menurunkan hormon kortisol Dimana
hormone ini yang menyebabkan Stress dan depresi. Penurunan kortisol
Akan menstimulasi sistem limbik untuk Menghasilkan hormon serotonin.
(Rizky, Atiek,dkk. 2020)
H. Pengkajian Asuhan Keperawatan

1. Identitas pasien

Meliputi: nama, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan,


agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR.
(Feroniken, 2019)

2. Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori
ditemui keluhan utama sesak nafas. Keluhan utama lainnya ditemui
pada pasien penyakit HIV AIDS, yaitu demam yang berkepanjangan
(lebih dari 3 bulan), diare kronis lebih dari 1 bulan berulang maupun
terus menerus, penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk kronis
lebih dari 1 bulan, infeksi mulut dan tenggorokan disebabkan oleh
jamur candida albikans, pembekakan kelenjar getah bening diseluruh
tubuh, munculnya herpes zooster berulang dan bercak- bercak gatal
diseluruh tubuh. (Feroniken, 2019)
3. Riwayat kesehatan sekarang
Dapat ditemukan keluhan yang biasannya disampaikan pasien HIV
AIDS adalah : pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi
pasien yang memiliki manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyeri dada,
dan demam, pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta
penurunan berat badan drastis. (Feroniken, 2019)
4. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya
riwayat penggunaan narkoba suntik, hubungan seks bebas atau
berhubungan seks dengan penderita HIV/AIDS terkena cairan tubuh
penderita HIV/AIDS. (Feroniken, 2019)
5. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang
menderita penyakit HIV/ AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang
tua yang terinfeksi HIV. Pengkajian lebih lanjut juga dilakukan pada
riwayat pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja ditempat hiburan
malam, bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial). (Feroniken,
2019)
6. Pola aktifitas sehari-hari (ADL) meliputi :
a. Pola persepsi dan tata laksanaan hidup sehat.
Biasanya pada pasien HIV/ AIDS akan mengalami perubahan atau
gangguan pada personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi,
ganti pakaian, BAB dan BAK dikarenakan kondisi tubuh yang
lemah, pasien kesulitan melakukan kegiatan tersebut dan pasien
biasanya cenderung dibantu oleh keluarga atau perawat.
(Feroniken, 2019)
b. Pola nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV / AIDS mengalami penurunan nafsu
makan, mual, muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan
mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis dalam
jangka waktu singkat (terkadang lebih dari 10% BB). (Feroniken,
2019)
c. Pola eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, feses encer, disertai mukus
berdarah. (Feroniken, 2019)
d. Pola istrihat dan tidur
Biasanya pasien dengan HIV/ AIDS pola istrirahat dan tidur
mengalami gangguan karena adanya gejala seperti demam dan
keringat pada malam hari yang berulang. Selain itu juga didukung
oleh perasaan cemas dan depresi terhadap penyakit. (Feroniken,
2019)
e. Pola aktifitas dan latihan
Biasanya pada pasien HIV/ AIDS aktifitas dan latihan mengalami
perubahan. Ada beberapa orang tidak dapat
melakukanaktifitasnya seperti bekerja. Hal ini disebabkan mereka
menarik diri dari lingkungan masyarakat maupun lingkungan kerja,
Karendepresi terkait penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh
yang lemah. (Feroniken, 2019)
f. Pola persepsi dan konsep diri
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah,
cemas, depresi dan stres. (Feroniken, 2019)
g. Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan
pengecapan dan gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya
mengalami penurunan daya ingat, kesulitan berkonsentrasi,
kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain yang
terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi. (Feroniken, 2019)
h. Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran
yang dapat mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien
merasa malu atau harga diri rendah. (Feroniken, 2019)
i. Pola penanggulangan stres
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas,
gelisah dan depresi karena penyakit yang dideritanya. Lamanya
waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak
berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis
yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan
lain-lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu
menggunakan mekanisme koping yang konstruktif dan adaptif.
(Feroniken, 2019)
j. Pola reproduksi seksual
Pada pasien HIV AIDS pola reproduksi seksualitasnya terganggu
karena penyebab utama penularan penyakit adalah melalui
hubungan seksual. (Feroniken, 2019)
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awalnya akan
berubah, karena mereka menganggap hal yang menimpa mereka
sebagai balasan perbuatan mereka. Adanya status perubahan
kesehatan dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi nilai
kepercayaan pasien dalam kehidupan mereka dan
agamamerupakan hal penting dalam hidup pasien. (Feroniken,
2019)

Biologis

a. Respons Biologis (Imunitas)


Secara imunologis, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut
limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun
kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat
fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang
disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang
kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC).
Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya bagian
sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya
masuk ke dalam sel membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse
transcripatase yang terdiri dari DNA polimerase dan ribonuclease. Pada inti
yang mengandung RNA, dengan enzim DNA polimerase menyusun kopi
DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuclease memusnahkan RNA asli. Enzim
polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang
tersusun sebagai cetakan.(Dr. bahrudin,2019).
Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan
masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus
disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+,
kemudian bereplikasi yang menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis
(Stewart, 1997). Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien,
juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel
mikroglia di otak, sel – sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar
limfe, sel- sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit. Efek dari infeksi
pada sel mikroglia di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel usus
adalah diare yang kronis.(Dr. bahrudin,2019). Gejala-gejala klinis yang
ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien.
Setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien
yang terinfeski virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama
bertahuntahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4+ mengalami
penurunan jumlahnya dari 1000/ul sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200 –
300/ul setelah terinfeksi 2 – 10 tahun . (Dr. Bahrudin, 2019)

Psikologis
Reaksi Psikologis Pasien HIV
Reaksi Proses psikologis Hal-hal yang biasa di jumpai

a. Shock (kaget, goncangan batin) Merasa bersalah, marah, tidak berdaya


Rasa takut, hilang akal, frustrasi, rasa sedih, susah, acting out

b. Mengucilkan diri, Merasa cacat dan tidak berguna, menutup diri, Khawatir
menginfeksi orang lain, murung

c. Membuka status secara terbatas, Ingin tahu reaksi orang lain, pengalihan
stres, ingin dicintai Penolakan, stres, konfrontasi

d. Mencari orang lain yang HIV positif Berbagi rasa, pengenalan, kepercayaan,
penguatan, dukungan sosial Ketergantungan, campur tangan, tidak percaya
pada pemegang rahasia dirinya

e. Status khusus Perubahan keterasingan menjadi manfaat khusus, perbedaan


menjadi hal yang istmewa, dibutuhkan oleh yang lainnya Ketergantungan,
dikotomi kita dan mereka (sema orang dilihat sebagai terinfeksi HIV dan
direspon seperti itu), over identification

f. Perilaku mementingkan orang lain Komitmen dan kesatuan kelompok,


kepuasan memberi dan berbagi, perasaan sebagi kelompok Pemadaman,
reaksi dan kompensasi yang berlebihan

g. Penerimaan Integrasi status positif HIV dengan identitas diri, keseimbangan


antara kepentingan orang lain dengan diri sendiri, bisa menyebutkan kondisi
seseorang Apatis, sulit berubah. (Dr. Bahrudin, 2019)
Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit Kubler . (Dr.
Bahrudin,2019). menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap
penyakit, yaitu.

a. Pengingkaran (denial) Pada tahap pertama pasien menunjukkan


karakteristik perilaku pengingkaran, mereka gagal memahami dan
mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosa.
Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien
terhadap sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya.
Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.”
Pengingkaran dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan
memproyeksikan pada apa yang diterima sebagai alat yang berfungsi
sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih mungkin perkiraan
dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang
mencolok tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan
buffer untuk menerima kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran
biasanya bersifat sementara dan segera berubah menjadi fase lain dalam
menghadapi kenyataan

b. Kemarahan (anger) Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi,


maka fase pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara
karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan
mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada disekitarnya.
Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan timbul
penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan adalah
perawat, semua

tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut, cerewet,


cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama,
sangat marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati.
Jika keluarga mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak, yang
mengakibatkan keluarga segan untuk datang, hal ini akan menyebabkan
bentuk keagresipan.

c. Sikap tawar menawar (bargaining) Setelah marah-marah berlalu, pasien


akan berfikir dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai
timbul rasa bersalahnya dan mulai membina hubungan dengan Tuhan,
meminta dan berjanji merupakan ciri yang jelas yaitu pasien menyanggupi
akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau
berjanji lain jika dia dapat sembuh.

d. Depresi Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan


marah dan pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara
konstruktif. Pasien mencoba perilaku baru yang konsisten dengan
keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya,
tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian dan
waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk
mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam
keluarga intensitas depresi tergantung pada makan dan beratnya
penyakit. Penerimaan dan partisipasi Sesuai dengan berlalunya waktu
dan pasien beradapatasi, kepedihan dari kesabatan yang menyakitkan
berkurang dan bergerak menuju identifikasi sebagai seseorang yang
keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai seorang cacat. Pasien
mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak membutuhkan
dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan keterbatasan
atau ketidakadekuatan. Proses ingatan jangka panjang yang terjadi pada
keadaan stres yang kronis akan menimbulkan perubahan adaptasi dari
jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki
hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres,
dalam teori adaptasi dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator. (Dr.
Bahrudin, 2019)

Peran perawat pada masalah psikologis pasien HIV/AIDS

Seorang pasien menjadi marah dan frustasi dikarenakan tidak


mampu menanggulangi virus serta merasa hidupnya tidak berarti. Marah
bereaksi terhadap masalah yang tidak selesai, harapan yang tidak
terpenuhi.Kemarahan sebagai pemicu yang membuat mereka tidak stabil
dan tidak bisa mengendalikan diri mereka sendiri. Kemarahan yang
dirasakan oleh pasien saat mereka merenungkan kenyataan dan
menyadari penyebabnya penyakit diri mereka sendiri.

Peran pendamping atau perawat konselor diperlukan untuk


memberikan solusi setiap masalah yang dihadapi pasien maupun
mengendalikan kemarahan yang ada di dalam diri pasien, dengan
memberikan informasi terkait dengan penyakitnya, perawatan dan
pengobatannya. Pasien dapat menceritakan setiap masalah yang
dihadapinya dan mendapatkan solusi pada setiap masalah yang mereka
hadapi. (Nurjannah, dkk. 2018)

Sosial

Interaksi social

Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,mis. Kehilangan


karabat/orang terdekat, teman, pendukung rasa takut untuk
mengungkapkannya pada orang lain, takut akan penolakan/kehilangan
pendapatan. Isolasi, keseian, teman dekat ataupun pasangan yang meninggal
karena AIDS. Mempertanyakan kemampuan untuk tetap mandiri, tidak
mampu membuat rencana.
Tanda : perubahan oada interaksi keluarga/ orang terdekat.aktivitas yang tak
terorganisasi. (Dr. Bahrudin, 2019)

Dampak social

1. Sebagian ODHA Cenderung Menarik Diri dari Masyarakat dan Belum


Terbuka pada Orang Lain

Setelah menjadi ODHA, tidak semua informan dapat kembali lagi


masyarakat, kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk bergaul
sebatas komunitas sesama ODHA, yang dianggap lebih mengerti akan
kondisi penyakitnya.

2. Rasa Khawatir akan Stigma dan Diskriminasi menjadi Alasan di Balik


Ketidakterbukaan ODHA akan Status HIV-nya.

Kebanyakan dari ODHA hanya menceritakan kondisinya sebatas


pada teman sesama ODHA, pasangan atau keluarga. Ada kepentingan
lain dibalik ketidakterbukaan ODHA akan status HIV-nya misalkan untuk
menjaga kondisi kese-hatan baik fisik maupun psikisnya. Adanya stigma
dan diskriminasi ditakutkan dapat mempengaruhi kondisi fisik dan psikis
dari ODHA. Selain untuk menjaga kondisi fisik dan psikisnya, ODHA yang
berkeluarga memilih untuk menutup status HIV-nya demi kepentingan
anggota keluarga seperti anak dari ODHA tersebut.

3. Selama Status HIV tidak Diketahui, ODHA Belum Merasakan Stigma dan
Diskriminasi

Status HIV merupakan hal pribadi yang tidak gampang


diungkapkan oleh ODHA kepada orang lain. Ini disebabkan karena
masyarakat yang terbilang masih awan akan HIV/AIDS dan akan
memunculkan respon negatif yang berlebihan yang berujung pada stigma
dan diskriminasi pada ODHA itu sendiri. Namun, selama ODHA tidak
membuka statusnya, stigma dan diskriminasi itu belum dirasakan oleh
mereka.

4. Tenaga Kesehatan Masih Memberikan Stigma dan Diskriminasi pada


ODHA

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, tenaga kesehatan


mulai bisa mengurangi stigma dan diskriminasi pada ODHA. Para tenaga
kesehatan sudah mengerti bagaimana cara memperlalukan ODHA.
Namun tetap saja stigma dan diskriminasi tetap dialami oleh ODHA.
Seorang informan sempatmengatakan bahwa dirinya tidak bisa
memperoleh layanan kesehatan akibat status HIV-nya. (Nicholas,dkk.
2020)

Spiritual

Respons Adaptif Spiritual

Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep.(Dr. bahrudin,2019).


Respons adaptif Spiritual, meliputi:

a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan


Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan
sosial. Orang bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang
putus asa dan bunuh diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa
sekecil apapun kesembuhan, misalnya akan memberikan ketenangan dan
keyakinan pasien untuk berobat.
b. Pandai mengambil hikmah Peran perawat dalam hal ini adalah
mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien untuk selalu berfikiran positif
terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik semua cobaan yang
dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien harus
difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan
melakukan ibadah secara terus menerus. Sehingga pasien diharapkan
memperoleh suatu ketenangan selama sakit.

c. Ketabahan hati Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan


ketabahan hati dalam menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai
kepribadian yang kuat, akan tabah dalam menghadapi setiap cobaan.
Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan hati dalam menentukan
kehidupannya. Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada PHIV. Perawat
dapat menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan atau
mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan
memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi kemampuannya (Al.
Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang
diberikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam
kehidupannya. (Dr. Bahrudin, 2019)

Kultural

Faktor budaya berkaitan juga dengan fenomena yang muncul dewasa ini
dimana banyak ibu rumah tangga yang “baik-baik” tertular virus HIV /AIDS
dari suaminya yang sering melakukan hubungan seksual selain dengan
istrinya. Hal ini disebabkan oleh budaya permisif yang sangat berat dan
perempuan tidak berdaya serta tidak mempunyai bargaining position (posisi
rebut tawar) terhadap suaminya serta sebagian besar perempuan tidak
memiliki pengetahuan akan bahaya yang mengancamnya.
Kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi
masalah HIV /AIDS Selama ini adalah melaksanakan bimbingan sosial
pencegahan HIV /AIDS, pemberian konseling dan pelayanan sosial bagi
penderita HIV /AIDS yang tidak mampu. Selain itu adanya pemberian
pelayanan kesehatan sebagai langkah antisipatif agar kematian dapat
dihindari, harapan hidup dapat ditingkatkan dan penderita HIV /AIDS dapat
berperan sosial dengan baik dalam kehidupannya. (Dr. Bahrudin, 2019)
Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik

1. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik HIV dilakukan oleh dokter untuk mengetahui kondisi


kesehatan pasien saat ini. Pemeriksaan HIV meliputi antara lain:
a. Suhu

Demam umum pada orang yang terinfeksi HIV, bahkan bila tidak ada
gejalalain. Demam kadang-kadang bisa menjadi tanda dari jenis
penyakit infeksi tertentu atau kanker yang lebih umum pada orang yang
mempunyai sistem kekebalan tubuh lemah . Dokter akan memeriksa
suhu Anda pada setiap kunjungan. (Dr. Bahrudin, 2019)

b. Berat
Pemeriksaan berat badan dilakukan pada setiap kunjungan. Kehilangan
10% atau lebih dari berat badan Anda mungkin akibat dari sindrom
wasting, yang merupakan salah satu tanda-tanda AIDS , dan yang
paling parah Tahap terakhir infeksi HIV. Diperlukan bantuan tambahan
gizi yang cukup jika Anda telah kehilangan berat badan. (Dr. Bahrudin,
2019)

c. Mata
Cytomegalovirus (CMV) retinitis adalah komplikasi umum AIDS. Hal ini
terjadi lebih sering pada orang yang memiliki CD4 jumlah kurang dari
100 sel per mikroliter (MCL). Termasuk gejala floaters, penglihatan
kabur, atau kehilangan penglihatan. Jika terdapat gejala retinitis CMV,
diharuskan memeriksakan diri ke dokter mata sesegera mungkin.
Beberapa dokter menyarankan kunjungan dokter mata setiap 3 sampai
6 bulan jika jumlah CD4 anda kurang dari 100 sel per mikroliter (MCL).
(Dr. Bahrudin, 2019)

d. Mulut
Infeksi Jamur mulut dan luka mulut lainnya sangat umum pada orang
yang terinfeksi HIV. Dokter akan akan melakukan pemeriksaan mulut
pada setiap kunjungan. pemeriksakan gigi setidaknya dua kali setahun.
Jika Anda beresiko terkena penyakit gusi (penyakit periodontal), Anda
perlu ke dokter gigi Anda lebih sering. (Dr. Bahrudin, 2019)
e. Kelenjar getah bening
Pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati) tidak selalu
disebabkan oleh HIV. Pada pemeriksaan kelenjar getah bening yang
semakin membesar atau jika ditemukan ukuran yang berbeda, Dokter
akan memeriksa kelenjar getah bening Anda pada setiap kunjungan.
(Dr. Bahrudin, 2019)

f. Perut
Pemeriksaan abdomen mungkin menunjukkan hati yang membesar
(hepatomegali) atau pembesaran limpa (splenomegali). Kondisi ini dapat
disebabkan oleh infeksi baru atau mungkin menunjukkan kanker. Dokter
aka melakukan pemeriksaan perut pada kunjungan setiap atau jika
Anda mengalami gejala-gejala seperti nyeri di kanan atas atau bagian
kiri atas perut Anda. (Dr. Bahrudin, 2019)

g. Kulit

Kulit merupakan masalah yang umum untuk penderita HIV.


pemeriksaan yang teratur dapat mengungkapkan kondisi yang dapat
diobati mulai tingkat keparahan dari dermatitis seboroik dapat sarkoma
Kaposi . Dokter akan melakukan pemeriksaan kulit setiap 6 bulan atau
kapan gejala berkembang. (Dr. Bahrudin, 2019)

h. Ginekologi terinfeksi
Perempuan yang HIV-memiliki lebih serviks kelainan sel daripada wanita
yang tidak memiliki HIV. Perubahan ini sel dapat dideteksi dengan tes
Pap. Anda harus memiliki dua tes Pap selama tahun pertama setelah
anda telah didiagnosa dengan HIV. Jika kedua pemeriksaan Pap Smear
hasilnya normal, Anda harus melakukan tes Pap sekali setahun. Anda
mungkin harus memiliki tes Pap lebih sering jika Anda pernah memiliki
hasil tes abnormal. Pemeriksaan fisik secara menyeluruh akan
memberikan informasi tentang keadaan kesehatan Anda saat ini. Pada
Pemeriksaan selanjutnya dokter akan menggunakan informasi ini untuk
melihat apakah status kesehatan Anda berubah. (Dr. Bahrudin, 2019)

I. Diagnose Keperawatan
a. Masalah Fisik
1) Sistem pernafasan (dyspnea, TBC, pneumonia)
2) Sistem pencernaan (nausea, vomiting, disfagia, BB turun
10% 3 bulan)
3) Sistem persarafan (nyeri sendi, encephalopathy )
4) Sistem integumen (edema yang disebabkan sarkoma
kaposi Lesi di kulit, atau mukosa alergi)
5) Lain-lain (demam risiko menularkan infeksi)
6) Hipertermi
7) Defisit nutrisi
8) Gangguan pertukaran gas
9) Bersihan jalan nafas tidak efektif
10) Pola nafas tidak efektif d
11) Defisit perawatan diri
12) Intoleransi aktivitas
13) Nyeri kronis (Nursalam,2018)
b. Masalah Psikis
Faktor psikis dan fisik memiliki hubungan yang sangat erat.
Kehidupan fisik yang stabil sangat mempengaruhi kestabilan jiwa
dan jika fisik dalam kondisi sakit maka akan mempengaruhi
kejiwaan seseorang.Pardeck et.al.(1998: 29) menyatakan,“Health
is a state of holistic well-being. It means being connected in a
fulfilling way with the natural and human world.”(Sehat adalah
suatu keadaan sejahterasecara menyeluruh. Ini berarti terkait
dengan cara pemenuhan kehidupan dengan dunia yang alami
dan manusiawi). Dalam Jurnal Psikologi Kesehatan mengatakan,
kesehatan seseorang tak hanya diukur dari kebugaran fisik, tetapi
juga dari kewarasan psikis, serta kelancaran interaksi sosial.
Bukan hanya itu, WHO (1984) telah menyempurnakan batasan
sehat dengan menambahkan elemen spiritual. Dengan demikian,
sekarang ini yang dimaksud sehat bukanlah hanya sehat dalam
arti fisik, psikologik, dan sosial, tetapi juga sehat dalam arti
spiritual. Dengan kata lain, merujuk kepada WHO, terdapat empat
dimensi sehat, yakni bio-psiko-sosial-spiritual. (Ardani,Dkk.2017)
Virus HIV/AIDS menimbulkan dampak yang sangat luas
dan serius bagi si penderita, masyarakat dan keselamatan
bangsa, baik psikis, fisik maupun sosial. Kondisi ini seringkali
mempengaruhi proses kesembuhan yang harus dilakukan oleh
ODHA. Tekanan-tekanan psikologis yang dialami oleh ODHA
merupakan faktor utama penyebab kondisi menjadi lemah
kembali. Seperti yang dikemukakan oleh Richard D. Muma dan
kawan-kawan (1997: 279) yang engatakan bahwa dampak
yandialami oleh penderita HIV adalah:
1) Kecemasan: rasa tidak pasti tentang penyakit yang diderita,
perkembangan dan pengobatannya, merasa cemas dengan
gejala-gejala baru, prognosis, dan ancaman kematian,
hiperventilasi, serangan panik.
2) Depresi: merasa sedih, tidak berdaya, rendah diri, merasa
bersalah, tidak berharga, putus asa, berkeinginan untuk bunuh
diri, menarik diri, memberikan ekspresi pasrah, sulit tidur, dan
hilang nafsu makan.
3) Merasa terisolasi dan berkurangnya dukungan sosial, merasa
ditolak oleh keluarga, dan orang lain. Sedikitnya orang yang
menjenguk pada saat ODHA dirawat semakin memperkuat
perasaan ini.
4) Merasa takut bila ada orang yang mengetahui atau akan
mengetahui penyakit yang dideritannya.
5) Merasa khawatir dengan biaya perawatan, khawatir kehilangan
pekerjaan, pengaturan hidup selanjutnya dan transportasi.
6) Merasa malu dengan adanya stigma sebagai
penderita AIDS, penyangkalan terhadap kebiasaan seksual.
7) Penyangkalan hidup riwayat penggunaan obat-obatan
terlarang. (Ardani,Dkk.2017)
Diagnose yang bisa muncul menurut Standar Diagnosa
Keperawatan Indonesia adalah: Ansietas, harga diri rendah, dll.
c. Masalah sosial
Adanya stigma terhadap ODHA berdampak terhadap
program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Kelompok
yang berisiko akan takut melakukan test HIV karena takut apabila
status HIV mereka positif maka mereka akan dikucilkan. ODHA
cenderung menunda pengobatan karena adanya ketakutan untuk
mengungkapkan status HIV mereka. Stigma terhadap ODHA
dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
HIV/AIDS. Apabila masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai faktor risiko, transmisi, pencegahan dan pengobatan
HIV/AIDS maka stigma terhadap ODHA dapat berkurang.
Stigma mempengaruhi kehidupan ODHA dengan
menimbulkan depresi dan kecemasan rasa sedih, rasa bersalah,
dan perasaan kurang bernilai. Selain itu stigma dapa menurunkan
kualitas hidup, membatasi akses dan penggunaan layanan
kesehatan, dan mengurangi kepatuhan terhadap antiretroviral
(ARV) Stigma merupakan atribut, perilaku, atau reputasi sosial
yang mendiskreditkan dengan cara tertentu. Menurut Corrigan
dan Kleinlein stigma memiliki dua pemahaman sudut pandang,
yaitu stigma masyarakat dan stigma pada diri sendiri (self stigma).
Stigma masyarakat terjadi ketika masyarakat umum setuju
dengan stereotipe buruk seseorang (misal, penyakit mental,
pecandu, dll) dan self stigma adalah konsekuens dari orang yang
distigmakan menerapkan stigma untuk diri mereka sendiri
(Rahakbauw,2018)
Diagnose yang bisa muncul menurut Standar Diagnosa
Keperawatan Indonesia (SDKI) yaitu: isolasi sosial
d. Masalah ketergantungan
Perasaan membutuhkan pertolongan orang lain (Nursalam,dkk.
2018)
Diagnose yang bisa muncul menurut Standar Diagnosa
Keperawatan Indonesia (SDKI) yaitu: ketidakberdayaan
J. Rencana Asuhan Keperawatan

Adapun rencana keperawatan yang dapat diberikan pada klien


berdasarkan buku Standar Intervensi Keperawatan Indonesia yaitu:

DIAGNOSA INTERVENSI

Hipovelemia Mengidentivikasi dan mengilah


penurunan volume cairan intravaskuler

-Observasi

 Monitor status kardiopulmonar


(frekuensi dan kekuatan
nadi ,frekuensi nafas,TD,MAP)
 Monitor status oksigenasi
(oksimetri nadi,AGD)
 Monitor status cairan (masukan
dan haluaran,turgor kulit,CRT)
 Periksa tingkat kesadaran dan
respon pupil
 Periksa seluruh permukaan
tubuh terhadap adanya DOTS
(deformitilydeformitas ,open
wound/luka
terbuka,swelling/bengkak)
-Terapiotik

 Pertahankan jalan nafas paten


 Berikan oksigen untuk
mempertahankan siturasi
oksigen>94%
 Persiapkan intubasi dan ventilasi
mekanis,jika perlu
 Lakukan penekanan langsung
(direct pressure) pada
pendarahan eksteral
 Berikan posisi syok (modified
trendelenberg)
 Pasang jalur IV berukuran besar
(mis.nomor 14 atau 16)
 Pasang kateter urine untuk
menilai produksi urine
 Pasang selang nagoastrik untuk
dekompresi lambung
 Ambil sampel arah untuk
pemeriksaan darah lengkap dan
elektrolit
-Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian infuse


cairan kristaloid 1-2 L pada
dewasa
 Kolaborasi pemberian infus
cairan kristaloid 20Ml/kg BB
pada anak
 Kolaborasi pemberian transfuse
darah,jika perlu

Defisit perawatan diri Memfasilitasi pemenuhan kebutuhan


perawatan diri

-Observasi

 Identifikasi kebiasaan aktiftas


perawatan diri sesuai usia
 Monitor tingkat kemandirian
 Identifikasi kebutuhan alat bantu
kebersihan
diri ,berpakaian,berhias ,dan
makan
-Terapiotik

 Sediakan lingkungan yang


terapiotik
 Siapkan keperluan pribadi
(parfum,sikat gigi dan sabun
mandi )
 Dampingi dalam melakukan
perawatan diri sampai mandiri
 Fasilitasi kemandirian,bantu jika
mampu melakukan perawatan
diri
 Fasilitas untuk menerima
keadaan ketergantungan
 Jadwalkan rutinitas perawatan
diri
-Edukasi

 Anjurkan melakukan perawatan


diri secara konsisten sesuai
kemampuan
Defisit nutrisi Manajemen Nutrisi

-Observasi

 Identifikasi status nutrisi


 Identifikasi alergi dan intoteransi
makanan -Identifikasi makanan
di sukai
 Identifkasi kebutuhan kalori dan
jenis nutrien
 Identifikasi perlunya
penggunaan selang nasogastik
 Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
 Monitor hasil pemerikaaan
laboratorium
-Terapiotik

 Lakukan oral hygien sebelum


makan ,jika perlu
 Fasilitasi menentukan pedoman
diet (mis.pradima makanan)
 Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang sesuai
 Berikan makanan yang tinggi
serat untuk mencegah
konsptipasi
 Berikan makanan yang tinggi
kalori dan tinggi protein
 Berikan suplemen makanan ,jika
perlu
-Edukasi

 Ajukan posisi duduk ,jika mampu


 Ajukan diet yang di programkan
-Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian medikasi


sebelum makan (mis,peredah
nyeri,antlematik),jika perlu
Kolaborasi dengan ahli giziuntuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan ,jika perlu

Pola napas tidak efektif Mengidentifikasi dan mengolah


kepatenan jalan nafas

-Observasi

 Monitor pola nafas (frekuensi


kedalaman,usaha nafas)
 Monitor bunyi nafs tambahan
(mis,gurgling,mengi,wheezing,ro
nkhi kering)
 Monitor
Sputum(jumlah,warna,aroma)
-Terapiotik

 Pertahankan kepatenan jalan


nafas dengan head-tilf dan chin-
lift (jaw-thrust jika curiga trauma
sivikal)
 Berikan minuman hangat
 Posisikan seml-fowler atau
fowler
 Berikan oksigen jika perlu
 Lakukan penghisapan lender
kurang dari 15 detik
 Keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsepm McGill
-Edukasi

 Ajurkan asupan cairan


2000ml/hari ,jika tidak
kontraindikasi
 Ajarkan teknik batuk efektif
-Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
bronkodilator,ekspeoran,mukoliti
k .Jika perlu
Intoleransi aktivitas Menggunakan aktivitas
fisik,kongnitif,sosial dan spiritual
tertentu untuk memulihkan
keterlibatan,frekuensi,atau durasi
aktivitas individu atau kelompok

-Observasi

 Identifikasi deficit tingkat


aktivitas
 Identifikasi kemampuan
berpartisipasi dalam aktivitas
tertentu
 Identifikasi strategi oeningkatan
partisipasi dalam aktivitas
 Identifikasi makna aktivitas rutin
(bekerja) dan waktu luang
 Monitor respons
emosional,fisik,sosial,dan
spiritual terhadap aktivitas
-Terapiotik

 Fasilitasi fokus padakemampuan


,bukan deficit yang di alami
 Koordinasikan pemilihan aktifitas
sesuai usia
 Fasilitas makna aktivitas yang di
pilih
 Fasilitas aktivitas minitorik kasar
untuk pasien hiperraktif
 Fasilitas mengembagkan
motivasi dan penguatan diri
 Libatkan dalam permainan
kelompok yang tidak
kompetitif,terstruktur dan aktif
 Libatkan keluarga dalam
aktivitas ,jika perlu
 Jadwalkan aktivitas dalam
rutinitas sehari-hari
 Berikan penguatan positif atau
partisipasi dalam aktivitas
-Edukasi

 Jelaskan Metode aktivitas fisik


sehari-hari jika perlu
 Ajarkan melakukan aktivitas
yang di pilih
 Anjurkan terlibat dalam kegiatan
kelompok atau terapi,jika sesuai
Nyeri kronis Terapi Relaksasi

-Observasi

 Mengidentivikasi penurunan
tingkat energy,ketidak mampuan
berkosentrasi atau gejala lain
yang di menganggu kemampuan
kongnitif
 Identifikasi teknik relaksasi yang
pernah efektif di gunakan
 Periksa ketegangan
otot ,frekuensi nadi,tekanan
darah,dan suhu sebelum dan
sesudah latihan
 Monitor respon terhadap terapi
relaksasi
-Terapiotik

 Ciptakan lingkungan yang


tenang tanpa ganguan dengan
pencahayaan dan suhu ruang
yang nyaman,jika
memungkinkan
 Berikan informasi tertulis tentang
persiapan dan prosedur
relaksasi
 Gunakan pakaian longgar
 Gunakan nada suara yang
lembut serta nada irama yang
lambat
 Gunakan relaksasi sebagai
strategi penunjang dengan
analgetik atau tindakan medis
yang lain.
-Edukasi

 Jelaskantujuan ,manfaat, dan


batasan serta jenis relaksasi
yang tersedia
 Jelaskan secara rinci intervensi
yang dipilih
 Anjurkan mengambil posisi
nyaman
 Anjurkan rileks seta merasakan
sensasi relaksasi
 Anjurkan saling mengulangi atau
melatih teknik yang di pilih
 Demonstrasikan dan latih
teeknik relaksasi
Gangguan pertukaran gas Pemantauan Respirasi

-Observasi

 Monitor kemampuan batuk


efektif
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan
nafas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi
paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor salturasi oksigen
 Monitor nilai AG D
 Monitor hasil x-ray toraks
-Terapiotik

 Atur interval pemantauan


respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasi hasil pemantauan
-Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur


pemantauan
 Informasi hasil pemantauan, jika
perilu
Bersihan jalan napas tidak Latihan Btuk Efektif
efektif
-Obsevasi
 Identifikasi kemampuan batuk
 Monitor adanya retensi sputum
 Monitor tanda dan gejala infeksi
saluran nafas
 Monitor input dan output cairan
-Terapiotik

 Atur posisi semi-fowler


 Pasang perlak dan bengkok di
pangkuan pasien
 Buang sekret pada tempat
sputum
-Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur


batk efektif
 Ajurkan tarik nafas dalam
melalui hidung selama
4detik,ditahan selama
2detik,kemudian keluarkan dari
mulut dengan bibir mengucu
selama 8detik
 Anjurkan mengulangi tarik nafas
dalam hingga 3 kali
 Anjurkan batuk dengan kuat
langsung setelah tarik nafas
yang ke3 kolaborasi
 Kolaborasi pemberian mukolitik
atau ekspektoran,jika perlu
Hipertermia Mengudentivikasi dan mengolah
peninhkatan suhu akibat difungsi
termolegulasi

-Observasi

 Monitor suhu tubuh


 Monitor kadar elektrolit
 Monitor haluaran urine
 Monitor komplikasi akibat
hipertermia
-Terapiotik

 Sediakan lingkungah yang


dingin
 Longarkan atau lepaskan
pakaian
 Basahi dan kipasi permukaan
tubuh
 Berikan cairan oral
 Ganti linen setiap hari atau lebih
sering jika mengalami
hiperdrosis(kringan berlebih)
 Hindari pemberian anti septic
atau aspirin
 Berikan oksigen jika perlu
-Edukasi

 Ajurkan tidur baring


-Kolaborasi

 Kolaborasi Pemberian cairan


elekrolit intervena,jika perlu
Harga diri rendah Promosi Harga Diri
Observasi
- Identifikasi agama, budaya, ras,
jenis kelamin, dan usia terhadap
harga diri
- Monitor verbalisasi yang
merendahkan diri sendiri.
- Monitor tingkat harga diri setiap
waktu, sesuai kebutuhan.
Terapeutik

- Motivasi terlibat dalam dalam


verbalisasi positif untuk diri
sendiri.
- Motivasi menerima tantangan
atau hal baru
- Diskusikan pernyataan tentang
harga diri
- Diskusikan kepercayaan
terhadap penilaian diri
- Diskusikan pengalaman yang
meningkatkan harga diri.
Edukasi

- Jelaskan kepada keluarga


pentingnya dukungan dalam
perkembangan konsep positif
diri pasien.
- Anjurkan mengidentifikasi
kekuatan yang dimiliki
- Anjurkan mengevaluasi perilaku.
- Latih meningkatkan tanggung
jawab untuk diri sendiri.
- Latih cara berpikir dan
berperilaku positif
Ansietas Dukungan Keyakinan

Observasi

- Identifikasi keyakinan, masalah,


dan tujuan perawatan
- Identifikasi kesembuhan jangka
panjang sesuai kondisi pasien
- Monitor kesehatan fisik dan
mental
Terapeutik

- Integrasikan keyakinan dalam


recana keperawatan sepanjang
tidak membahayakan/beriko
keselematan
- Berikan harapan yang realistis
sesuai prognosis
- Fasilitasi pertemuan antara
keluarga dan tim kesehatan
untuk membuat keputusan
- Fasilitasi memberikan makna
terhadap kondisi kesehatan

Edukasi

- Jelaskan bahaya atau resiko


yang akan terjadi akibat
keyakinan negative
- Jelaskan alternative yang
berdampak positif untuk
memenuhi keyakinan dan
perawatan
- Berikan penjelasan yang relavan
dan mudah dipahami

Ketidakberdayaan Promosi Harapan


Observasi
- Identifikasi harapan pasien dan
keluarga dalam pencapaian
hidup.
Terapeutik

- Sadarkan bahwa kondisi yang


dialami memiliki nilai penting.
- Kembangkan rencana
perawatan yang melibatkan
tingkat pencapaian tujuan
sederhana sampai dengan
kompleks.
- Berikan kesempatan kepada
pasien dan keluarga terlibat
dengan dukungan kelompok.
- Libatkan pasien secara aktif
dalam perawatan.
Edukasi

- Anjurkan mengungkapkan
perasaan terhadap kondisi
dengan realistis.
- Anjurkan mempertahankan
hubungan terapeutik dengan
orang lain.
- Latih menyusun tujuan yang
sesuai dengan harapan.

Isolasi social Promosi sosialisasi


Observasi
- Identifikasi kemampuan
melakukan interaksi dengan
orang lain.
- Identifikasi hambatan melakukan
interaksi dengan orang lain.
Terapeutik

- Motivasi meningkatkan
keterlibatan dalam suatu
hubungan.
- Diskusikan kekuatan dan
keterbatasan dalam
berkomunikasi dengan orang
lain.
- Berikan umpan balik positif
dalam perawatan diri.
Edukasi

- Anjurkan berinteraksi dengan


orang lain secara bertahap
- Anjurkan ikut serta kegiatan
sosial dan kemasyarakatan
- Anjurkan berbagi pengalaman
dengan orang lain.
- Anjurkan meningkatkan
kejujuran diri dan menghormati
hak orang lain.

K. Penyimpangan KDM
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat


limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh,
menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-
helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam
famili Retroviridae, subfamili. Lentiviridae, genus Lentivirus. Selama infeksi
berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih
rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi
tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS
(Acquired Imunnodeficiency Syndrome.

Motivasi sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan seseorang baik


berupamotivasi ekstrinsik (dukungan orang tua, teman dan sebagainya) maupun
motivasi intrinsic (dari individu sendiri). Dukungan social mempengaruhi
kesehatan dan melindungi seseorang terhadap efek negative stress berat.
Perawat merupakan faktor yang mempunyai peran penting pada pengelolaan
stres khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang
konstruktif agar pasiendapat beradaptasi dengan sakitnya dan pemberian
dukungan sosial, berupa dukunganemosional, informasi, dan material.

Memfasilitasi strategi koping, yaitu dengan melakukan hal berikut.

1. Memfasilitasi sumber penggunaan potensi diri agar terjadi respons


penerimaan sesuai tahapan dari Kubler-Ross.

2. Teknik Kognitif, penyelesaian masalah: harapan yang realistis: dan


pandai mengambil hikmah.

3. Teknik Perilaku, mengajarkan perilaku yang mendukung kesembuhan:


kontrol dan minum obat teratur, konsumsi nutrisi seimbang: istirahat dan
aktivitas teratur: serta menghindari konsumsi atau tindakan yang
menambah parah sakitnya.

Dukungan sosial, yaitu dengan melakukan hal berikut.


1. Dukungan emosional: pasien merasa nyaman, dihargai, dicintai, dan
diperhatikan,

2. Dukungan informasi: meningkatnya pengetahuan dan penerimaan


pasien terhadap sakitnya,

3. Dukungan material: bantuan/kemudahan akses dalam pelayanan


kesehatan pasien.

B. Saran
Saran untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu asuhan lanjutan.
Adapun saran- saran yang dapat kami sampaikan sebagai berikut:
1. Dalam perencanaan tindakan, harus disesuaikan dengan kebutuhan
klien pada saat itu.
2. Dalam perumusan diagnosis, harus diprioritaskan sesuai dengan
kebutuhan kegawatan dari masalah.
3. Selalu mendokumentasikan semua tindakan baik yang kritis maupun
yang tidak.

Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat


banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan
memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber
serta kritik yang membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Al- Qur’an Surah Al-Isra’ ayat 32

Amin, Huda Nurarif & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC Jilid 1. Jogjakarta:
MediAction.

ARDANI, Irfan; HANDAYANI, Sri. Stigma terhadap orang dengan HIV/AIDS


(ODHA) sebagai hambatan pencarian pengobatan: Studi Kasus pada
Pecandu Narkoba Suntik di Jakarta. Indonesian Bulletin of Health
Research, 2017, 45.2: 81-88.

Bare, Smeltzer. 2014. Manajemen HIV/AIDS: Terkini, Komprehensif, dan


Multidisiplin. Surabaya : Airlangga University
Defi, 2019. Beberapa Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kepatuhan
Pengobatan Antiretroviral Pada Penderita HIV/AIDS: Studi Rumah Sakit
Umum Daerah Undata Palu.

Desmawati. 2013. Sistem Hematologi Dan Imunologi Asuhan Keperawatan


Umum Dan Maternitas. Jakarta: Penerbit In Media.

Dewi Aminah, 2020. Studi Literatur: Asuhan Keperawatan pada Pasien HIV/AIDS
dengan Masalah Keperawatan Defisiensi Pengetahuan Tentang Infeksi
Oportunistik. Universitas Muhammadiyah Ponogoro

Dinkes Prov Sul-Sel. (2018). Data Kasus HIV/AIDS di Sulawesi Selatan.


Sulawesi Selatan: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan

Dr. Bahrudin, M.Kep., Sp.Kep.,MB. 2019. MODUL PEMBELAJARAN


KEPERAWATAN HIV-AIDS. Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang.
Duggal, S., Chugh, T. Das, & Duggal, A. K. 2012. HIV and Malnutrition: Effects
On Immune system. Clinical and Developmental Immunology
Evita Widyawati, 2020. Studi Literatur: Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Penderita HIV/AIDS Dengan Masalah Keperawatan Defisiensi
Pengetahuan Tentang Pemenuhan Nutrisi. Universitas Muhammadiyah
Ponorogo
Feroniken Kaat, 2019. Asuhan Keperawatan Penyakit HIV/AIDS Pada Ny. Y. K
diruang Cempaka RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang. Politeknik
Kesehatan KEMENKES Kupang

InfoDATIN, 2017. InfoDATIN HIV. Diakses pada tanggal 23 uni 2021.


https://pusdatin.kemkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-
info-datin.html

Kementerian Kesehatan RI. 2019. Situasi Penyakit HIV AIDS di Indonesia.


Jakarta: Pusat Data dan Informasi.

Menteri Kesehatan. 2019. Fenomena HIV Gunung Es diakses pada tanggal 21


Juni 2021 dari http://www.depkes.go.id

Nicholas Prata,a, dkk. 2020. Gambaran Dampak Psikologis, Sosial dan Ekonomi
Pada ODHA di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar. Journal Intisari
Medis. Vol. 11, Number 1: 81-91. P-ISSN: 2503-3638, E-ISSN: 2089-
9084

Nurjannah, Agus Fitriangga, dkk. 2018. Pengaruh Peran Perawat Sebagai


Konselor Terhadap Respon Berduka Pasien HIV/AIDS di RSJD Sungai
Bangkong Pontianak. Journal HIV/AIDS Vol. 3 No. 1

Nursalam & Ninuk. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi


HIV/AIDS Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika.

Nur Sofiyah, 2020. Studi Tafsiran Ayat Al-Qur’an Surat Al-Isra’ Ayat 32 Menurut
Para Mufassir. UIN Sunan Ampel Surabaya

Nursalam, Ninuk, Misutarno, dkk., 2018. Asuhan Keperawatan Pada Pasien


Terinfeksi HIV/AIDS Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika. ISBN: 978-602-
6450-25-8

Pasek, dkk. 2018. Asuhan Keperawatan pada pasien terinfeksi HIV/AIDS.


Jakarta : Selemba Medika
Phangkawira, dkk., 2019. Hidup dengan HIV AIDS. Bandung : Graha Medika

PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi


dan Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi
dan Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

RAHAKBAUW, Nancy, 2018 Dukungan keluarga terhadap kelangsungan hidup


ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Journal Kesehatan.

Retno Budiarti, 2018. HIV Infection: Immunopathogenesis and Risk Factor to


Fishermen. Lecturer of Depertmen of Microbiology. Hang Tuah University,
Surabaya. Journal HIV/AIDS

Rizky, Atiek, dkk. 2020. Pengaruh Pemberian Terapi Dzikir Terhadap Tingkat
Depresi Pasien Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Yayasan Sahabat Sehat Mitra
Sebaya (YASEMA) Sukoharjo. Journal HIV/AIDS. Universitas Kusuma
Wusada Surakarta.

WHO. 2019. Data And Statistics HIV/AIDS.

Wilson, Price . 2016. Sehat Dan Sukses Dengan HIV-AID. Jakarta : Indonesia
Publishing House.
LAMPIRAN

Lampiran 1: Pembagian Jobdesc

1. Nadila Diana M. :Susun makalah (sampul, kata pengantar, daftar isi,


Tujuan Penulisan daftar pustaka, lampiran, latar
belakang

2. Abdul Rahman :-

3. NurHikmah : Definisi, Etiologi, manifestasi klinis dan


Patofisiologi

4. Nurfadilla : Komplikasi

5. Prasetiawati Harianto : Pemeriksaan diagnostig dan Penatalaksanaan

6. Sakina :Pengkajian

7. Irsa Asrianti Ismail : Diagnosa

8. Hardiyanti Syah Nukuhehe :Rencana Keperawatan

9. Andi Mutiara Muthahharah : Penyimpangan kdm

10. ST. Namirah Nurfadillah : Kesimpulan dan saran

11. Kaisar Agus : Integrasi keagamaan dan sertifikat

12. Mardaniar K. : PPT dan undangan


Lampiran 2: Beberapa sampul referensi

Anda mungkin juga menyukai