DISUSUN OLEH
KELOMPOK 6 :
HIJRIYAH FEBRIELA 70300119047
SITI. RAFIAH 70300119048
IRSA ASRIANTI ISMAIL 70300119049
SRI KURNIATI 70300119050
ERNI ASTRIYANI 70300119051
RISNAWATI 70300119053
NADYA WULANDARI 70300119054
PRASETIAWATI HARIANTO 70300119057
SAHRUNUR FITRI 70300119059
1
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME. yang telah melimpahkan
rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan
baik. Adapun judul Makalah ini yaitu adalah “MAKALAH TENTANG TEKNOLOGI
INFORMASI DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN TEORI ERICSON” Adapun
tujuan dari Makalah ini adalah sebagai salah satu metode pembelajaran bagi mahasiswa-
mahasiswi UIN ALAUDDIN MAKASSAR. Ucapan terima kasih tidak lupa kami sampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Makalah
ini, kami menyadari atas kekurangan kemampuan kami dalam pembuatan Makalah ini,
sehingga akan menjadi suatu kehormatan besar bagi kami apabila mendapatkan kritikan dan
saran yang membangun agar Makalah ini selanjutnya akan lebih baik dan sempurna serta
komprehensif. Demikian akhir kata dari kami, semoga Makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
19 OKTOBER 2020
KELOMPOK 6
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..……2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….3
BAB I PEDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG………………………………………………………...4
B. RUMUSAN MASALAH………………………………………………..……4
C. TUJUAN……………………………………………………………….……...5
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep sistem informasi……………………………………………………....6
B. Batasan teknologi informasi dalam pelayanan keperawatan…………….……7
C. Peran teknologi informasi dalam pelayanan keperawatan………………….…9
D. Dampat teknologi informasi dalam pelayanan keperawatan…………………11
E. Terori keperawatan Ericson…………………………………………………...12
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN……………………………………………………………….29
B. SARAN…………………………………………………………………….…29
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teknologi informasi adalah teknologi yang membantu kita dalam memproses
data untuk mendapatkan informasi. Teknologi informasi ini pada awalnya diperuntukan
bagi tujuan dan departemen tertentu. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi
informasi, saat ini penggunaannya sudah menjadi hal yang umum di perusahaan swasta
dibidang perdagangan maupun jasa, seperti halnya pelayanan jasa
kesehatan.Perkembangan teknologi ini sangatlah luas dan menjangkau berbagai bidang.
Tapi pada akhirnya, semua itu tetap mengarah pada satu tujuan yang sama, yaitu
meningkatkan kecepatan, akurasi, dan kemudahan. Hambatan dalam pelayanan
kesehatan adalah pengelolaan data rumah sakit yang sangat besar, baik data medik
pasien maupun data administrasi yang dimiliki oleh rumah sakit, sehingga
mengakibatkan hal-hal sebagai berikut. Pertama adalah redudansi data. Pencatatan data
yang berulang-ulang menyebabkan duplikasi data, sehingga kapasitas yang diperlukan
membengkak dan pelayanan menjadi lambat. Kedua adalah unintegrated data.
Penyimpanan data yang tidak terpusat menyebabkan data tidak sinkron, sehingga
informasi pada masing-masing bagian mempunyai asumsi yang berbeda-beda. Ketiga
adalah human error. Proses pencatatan yang dilakukan secara manual menyebabkan
terjadinya kesalahan pencatatan yang semakin besar. Keempat adalah terlambatnya
informasi. Dikarenakan dalam penyusunan informasi harus direkap secara manual, maka
penyajian informasi menjadi terlambat dan kurang dapat dipercaya kebenarannya.
Keberadaan “Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit” sangat dibutuhkan sebagai
salah satu strategi manajemen dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Sistem Informasi?
2. Apa saja Batasan Teknologi Informasi Dalam Pelayanan Keperawatan?
3. Bagaimana peran Teknologi Informasi Dalam Pelayanan Keperawatan?
4. Apa Dampak Teknologi Informasi Dalam Pelayanan Keperawatan?
5. Bagaimana konsep teori keperawatan Ericson
4
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Bagaimana Konsep Sistem Informasi
2. Untuk mengetahui Apa saja Batasan Teknologi Informasi Dalam Pelayanan
Keperawatan
3. Untuk mengetahui Bagaimana peran Teknologi Informasi Dalam Pelayanan
Keperawatan
4. Untuk mengetahui Apa Dampak Teknologi Informasi Dalam Pelayanan
Keperawatan
5. Untuk mengetahui Bagaimana Konsep Dasar Teori Ericson
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
B. BATASAN TEKNOLOGI INFORMASI UMUM DENGAN LAYANAN
KEPERAWATAN
a. Peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas sarana dan prasarana pelayanan kesehatan
dasar dan rujukan, terutama pada daerah dengan aksesibilitas relatif rendah.
b. Perbaikan dan penanggulangan gizi masyarakat dengan fokus utama pada ibu hamil
dan anak hingga usia 2 tahun.
c. Pengendalian penyakit menular, terutama TB, malaria, HIV/AIDS, DBD dan diare
serta penyakit zoonotik, seperti kusta, frambusia, filariasis, schistosomiasis.
d. Pembiayaan dan efisiensi penggunaan anggaran kesehatan, serta pengembangan
jaminan pelayanan kesehatan
e. Peningkatan jumlah, jenis, mutu dan penyebaran tenaga kesehatan untuk pemenuhan
kebutuhan nasional serta antisipasi persaingan global yang didukung oleh sistem
perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan secara sistematis dan didukung
oleh peraturan perundangan.
f. Peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, mutu, dan penggunaan obat,
7
g. Manajemen kesehatan dan pengembangan di bidang hukum dan administrasi
kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, penapisan teknologi kesehatan
dan pengembangan sistem informasi kesehatan
h. Peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.
i. proses data dilakukan secara manual dan komputer sehingga menyebabkan tidak
mudah dalam akses, informasi yang dihasilkan lambat dan tidak lengkap.
8
puskesmas.
10
disediakan termasuk hal- hal penting seperti tanda tanda klinis, pesan antara
perawat, item rencana perawatan, perintah aktif dari dokter, danperawatan.
11
1. Biodata Erik H. Erikson
Erikson lahir di Jerman, 15 Juni 1902 dari orang tua Denmark yang dipisahkan
sebelum kelahirannya. Selama bertahun-tahun, Erikson diasumsikan bahwa ayah Jerman,
seorang dokter anak, adalah ayahnya yang sebenarnya; ia tidak pernah bertemu ayah
kandungnya. Karena latar belakangnya Denmark, penampilan Nordic, dan warisan Yahudi
(ayahnya adalah Kristen, ibu dan ayah tirinya adalah Yahudi), Erikson tidak sepenuhnya
diterima oleh sekolahnya. Rekan-rekan Yahudi menjuluki "the goy” (istilah Yiddish untuk
" kafir "), dan kenalan non Yahudi menganggap dia seorang Yahudi (Coles, 1970, hlm.
180).
Pada 1927 ia mulai mengajar, di Wina, di sekolah progresif kecil untuk anak-anak
Amerika. Banyak anak-anak orang tua dan beberapa anak-anak juga telah datang ke Wina
untuk dianalisis oleh Freud atau oleh salah satu pengikutnya, dan akhirnya Erikson
bertemu Freud dan keluarganya. Segera Erikson menerdaftar ke Wina Psikoanalitik
Institute dan mulai analisis pribadi dengan Anna Freud. Erikson dianggap salah satu
merupakan terang dan paling menjanjikan siswa. Ia dilatih di kedua orang dewasa dan
anak psikoanalisis, dan ia lulus pada tahun 1933. Erikson sangat menyadari iklim politik
yang memburuk dari tahun 1930-an dengan demikian, pada tahun 1933 Erikson pindah ke
Amerika Serikat, dengan membawa istrinya, mantan Joan Serson, Kanada-Amerika yang
datang ke Wina untuk penelitian sejarah tari-dan anak-anak mereka, Kai dan Jon (anak
ketiga mereka, adalah lahir di Amerika). Menetap di boston, Erikson membuka praktik
pribadi dan menjadi kota psikoanalitik anak pertama. Erikson telah diberi janji di Harvard
Medical School dan di Rumah Sakit Umum Massachusetts, dan ia segera berafiliasi juga
dengan Harvard Psychological Clinic dan Hakim Baker Pusat Bimbingan, klinik perintis
untuk pengobatan anak-anak yang terganggu emosinya. Dari Harvard, Erikson pindah ke
12
University of California di Berkeley, di mana ia menulis bukunya pertama yang penting,
"Childhood and Society" (1950, rev.1963). Kemudian, sebagai protes pemecatan
universitas anggota fakultas yang menolak tanda royalti sumpah atau untuk memberikan
informasi apapun tentang afiliasi politik mereka, Erikson mengundurkan diri dari
posisinya. Setelah mengundurkan diri dari University of California, Erikson pindah ke
Austen Riggs Pusat pelatihan psikoanalitik dan penelitian, di Massachusetts, di mana ia
melanjutkan untuk mengeksplorasi masalah khusus pemuda dan mulai membuat studinya
di psychohistory.
Pada tahun 1960 ia kembali ke Harvard sebagai profesor psikologi dan tinggal di
sana hingga pensiun formal pada tahun 1970. Selama periode kedua di Harvard, Erikson
didirikan tentu saja sekarang terkenal di "The Human Life Cycle". Saat ini, Erikson tinggal
di dekat San Francisco, di mana ia menjabat sebagai konsultan untuk Mt. Zion Hospital
dan The University of California's Health and Medical Sciences Program. Dia
melanjutkan pengejaran teoritis; selain memperluas topik yang ia telah tangani
sebelumnya, dia sekarang juga menekankan daerah baru yang menjadi perhatian, seperti
dewasa dan penuaan. Meninggal tanggal 12 Mei 1994 di Harwich, Amerika Serikat.
2. Konsep
Erik Erikson adalah seorang psikolog yang merupakan murid dari Sigmund
Freud seorang tokoh psikoanalitik. Erikson mengambil psikoanalitik sebagai dasar
teorinya namun ia mengikut sertakan pengaruh-pengaruh sosial individu dalam
perkembangannya. Berbeda dengan Freud yang berpendapat bahwa pengalaman masa
kanak-kanak, terutama di lima tahun awal, yang mempengaruhi kepribdian seseorang
ketika dewasa. Erikson berpendapat bahwa masa dewasa bukanlah sebuah hasil dari
pengalaman-pengalaman masa lalu tetapi merupakan proses kelanjutan dari tahapan
sebelumnya.
Erik Erikson membantah ide Freud yang mengatakan bahwa identitas sudah
ditentukan dan terbentuk sejak kanak-kanak, pada usia lima atau enam tahun. Erikson
berpendapat bahwa pembentukan identitas merupakan proses yang berlangsung seumur
hidup.
Manusia adalah makhluk yang unik dan menerapkan system terbuka serta saling
berinteraksi. Manusia selaulu berusaha untuk mempertahankan keseimbangan hidupnya.
Keseimbangan yang dipertahankan oleh setiap individu untuk dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, keadaan ini disebut dengan sehat. Sedangkan seseorang
dikatakan sakit apabila gagal dalam mempertahankan keseimbangan diri dan
13
lingkungannya. Sebagai makhluk social, untuk mencapai kepuasana dalam kehidupan,
mereka harus membina hubungan interpersonal positif .
Konsep dasar kepribadian manusia menurut Erik Erikson tidak hanya dipengaruhi oleh
keinginan/dorongan dari dalam diri individu, tapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
luar, seperti adat, budaya, dan lingkungan tempat dimana kepribadian individu
berkembang dengan menghadapi serangkaian tahapan-tahapan sejak manusia lahir
(bayi) hingga memasuki usila lanjut usia (masa dewasa akhir).
1) Fungsi ego impulse economic, maksudnya adalah dorongan-dorongan yang
menguntungkan disalurkan dengan cara yang baik dan normative. Pada diri individu
terdapat bermacam-macam dorongan yang setiap saat muncul,misalnya dorongan
untuk bekerja, berbicara, melakukan sesuatu dan sebagainya. Fungsi ego disini
adalah menyalurkan dengan cara mewujudkan dalam bentuk tingkah laku secara
baik yaitu yang baik dan dapat diterima oleh lingkungan.
2) Fungsi ego kognitif maksudnya adalah berfungsinya ego pada diri individu untuk
menerima rangsangan dari luar kemudian menyimpannya dan setelah itu dapat
mempergunakannya untuk sesuatu keperluan coping behavior. Individu yang
memiliki fungsi kognitifnya dalam bertingkah laku selalu menggunakan aspek
pikiran, dan selalu diiringi dengan kemampuan mengingat dan memutuskan.
Sebaliknya apabila tidak berfungsi aspek kognitif ego ini maka tingkah laku individu
nampak agak sembrono, implus dan kekanak-kanakan.
3) Fungsi pengawasan disebut disebut juga dengan fungsi control, maksudnya ego
tidak membiarkan tingkah laku seseorang itu sembarangan atau acak tetapi tingkah
laku yang dilahirkan itu hendaknya merupakan tingkah laku yang berpola dan
menurut aturan tertentu. Secara khusus fungsi ego yang mengontrol ini termasuk
juga mengontrol perasaan dan emosi terhadap tingkah laku yang dimunculkan.
Tingkah laku yang baik adalah penampilan tingkah laku tersebut tidak begitu juga
saja dicakari oleh emosi, dan sebagai sifat kerasionalanya tingkah laku lebih tampak.
Ciri fungsi control ini adalah individu yang bertingkah laku tanpa diganggu oleh
emosinya, orang yang paling tidak ada kontrolnya adalah “Manic Depressive”
3. Struktur
Erikson mengembang-modifikasikan teori freud mengenai struktur kepribadian
sebelumnya. Ia lebih menekankan pengembangan teorinya kepada unsur “ego” dan
hubungannya dengan Id.
a. Ego Kreatif
14
Ego memiliki komponen yang tidak ada dalam teori Psikoanalisis Freud, yaitu
kepercayaan, penghargan, otonomi, kemauan, kerajinan, kompetensi, identitas,
kesetiaan, keakraban, cinta, generativitas, pemeliharaan dan integritas. Dengan
kompinen-komponen tersebut, manusia bisa menemukan pemecahan kreatif atas
masalah pada setiap tahap kehidupannya melalui penggunaan dari hasil kombinasi
antara kesiapan batin dan kesempatan yang disediakan lingkungan. Sehingga, Ego
yang mengatur Id, superego dan dunia luar, bukan sebaliknya, sebagaimana teorinya
Freud, ego justeru menjadi budak dari Id.
b. Ego Otonomi Fungsional
1) Teori ego Erikson merupakan pengembangan dari teori perkembangan seksual-
infantil dari Freud
2) Fungsi psikoseksual Freud bersifat Epigenesis
3) Id dan Ego memiliki hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi,
tergantung pada stimulus yang diberikan oleh lingkungan.
c. Aspek Psikoseksual
Erikson mengakui adanya aspek psikoseksual dalam perkembangan individu,
yang menurutnya bisa berkembang positif dan negatif. Dia memusatkan
perhatiannya kepada mendeskripsikan bagaimana kapasitas kemanusiaan mengatasi
aspek psikoseksual itu; bagaimana mengembangkan insting seksual menjadi positif.
4. Dinamika
Delapan tahap perkembangan menurut Erikson (dalam Hall & Lindzey, 1980, hlm.79)
15
memberikan tantangan untuk
ketidak percayaan orang lain
dan kurang percaya diri.
Harapan adalah kepercayaan
yang mempertahankan apa
yang bisa kita capai yang
dibutuhkan dan diinginkan
II Anal- Autonomy vs Will Mempelajari pengendalian
Early Muscular Shame, Doubt diri membentuk perasaan
Childhood yang bebas, tapi anak juga
1-3 berkembang menjadi merasa
malu dan ragu – ragu tentang
kapasitasnya untuk
melakukannya sendiri.
Kemauan adalah kemampuan
untuk bebas memilih dan
mengendalikan dan
menerapkan terhadap diri
sendiri
III Infantile Intitiative vs Purpose Mobilitas dan rasa ingin tahu
Play age Genital, Guilty mendorong perkembangan
3-6 Locomotor dalam inisiatif untuk
menguasai lingkungan., tetapi
perasaan bersalah lebih
bersikap agresif dan berani
mungkin muncul.
Maksud/cita-cita adalah
kemampuan untuk
menentukan dan mengejar
tujuan dengan percaya diri
tanpa takut akan hukuman
IV Latency Industry vs Compete Belajar untuk mengontrol
School Age Inveriority n-ce satu imajinasi dan untuk
6-12 melakukan pekerjaan sekolah
16
mengembangkan ...
V Puberty Identity vs Fidelity Rasa dari keunikan sebagai
Adolescence Identity seseorang, hasrat untuk
12-20 Confusion mengetahui seluruh peran dan
lingkungan dalam sosial dan
upaya untuk menetapkan diri
dan memimpin tujuan untuk
perkembangan rasa identitas.
Tetapi pubertas, pertumbuhan
fisik, kebutuhan untuk
meninggalkan masa anak-
anak, dan ketidak tentuan
nilai membuat perpindahan
fase ini menjadi paling sulit
daripada fase-fase lainnya,
dan masa dewasa akan
menjadi membingungkan
lebih dari siapa dan apa yang
dia inginkan. Ketaatan adalah
kekuatan untuk menjadi setia
kepada orang dan ideal,
keduanya hasil dari dan
kekuatan identitas
VI Genitality Intimacy vs Love Keinginan untuk
Young Isolation mempersatukan satu identitas
Adulthood dengan yanglainnya
20-30 memimpin orang untuk
mencari kerukunan, tetapi
identitas yang goyah bisa
membuat menjauhi satu relasi
dengan yang lain dan
memimpin isolasi. Cinta
adalah kekuatan untuk
peralihan bersama dalam
17
berbagi relasi.
VII Generativity vs Care Kebutuhan untuk
Adulthood Stagnation menciptakan berbagai hal
30-65 kebutuhan anak, ide, produk
terdepan; jika itu tidak
membutuhkan keterangan,
orang beresiko tidak
berkembang dan pemiskinan.
Peduli adalah kekuatan untuk
peduli dan untuk
membimbing menjadi apa
membangkitkan anak,
proyek, dan masadepan
VIII Integrity vs Wisdom Meninjau kehidupan, dengan
Mature Age Despair perasaan puas mempunyai
65+ hidup yang tentram dan
mengartikan ketentraman
yang lebih besar, memimpin
integritas; keragu – raguan
dan tidak dipenuhi hasrat
akan membuat putus asa dan
tidak berarti. Kebijaksanaan
memelihara dan berpindah ke
lainnya mengkalkulasi
pengetahuan dan pengalaman.
18
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 tahun.
Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan
kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan.
Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan,
misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat
waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya.
Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kualitatif sangat
menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu
bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi
mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia
khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-
orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang
dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan
menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang
dewasa tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka.
Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan
dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat
terhadap lingkungannya. Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan
kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-
hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi
keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya,
dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.
Bayi memerlukan kasih sayang dari orang sekitarnya, terutama kedua
orangtuanya. Menurut Yususf & Nurihsan, “Kondisi atau kualitas keakraban dan
kehangatan yang diciptakan orangtua, tidak mengartikan orang tua harus sempurna.
Ayah dan ibu tidak perlu menjadi sempurna dengan tergesa-gesa tapi harus sempurna
secara pasti (konsisten)”. (2011, hlm. 104).
Sebagian besar ibu (dalam budaya Barat, setidaknya) melakukan hal tertentu
setiap kali mereka mendekati bayi mereka: mereka memandang bayi mereka,
menyentuh dan memeluk mereka, memeriksa untuk melihat apakah ada sesuatu yang
menyakiti mereka. Dan bayi umumnya menanggapi dengan menatap kembali,
meringkuk, membuat suara kenikmatan, dan sebagainya. (Hall & Lindzey, 1985, hlm.
90)
2. Tahap Kedua (Childhood / Masa Kanak-Kanak Awal)
19
Masa ini ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada masa
ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri,
berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di
pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga
seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini
biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 1-3 tahun. Tugas yang
harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat
memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara
anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat
menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh
anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap
malu dan ragu-ragu.
Sedikit malu dan ragu adalah hal yang tidak dapat dielakkan tapi bermanfaat.
Tanpa itu, anaka akan berkembang pada tendensi maladiptif, Erikson menyebutnya
dengan impulsiveness yang akan membuat anak melakukan sesuatu tanpa pertimbangan.
Orang yang kompulsif akan merasa semua gampang dilakukan dan akan sempurna.
Sehingga banyak orang yang pemalu dan merasa ragu pada dirinya. Sedikit kesabaran
dan toleransi dalam membantu anak akan membantu perkembangan anak. (Yususf &
Nurihsan, 2011, hlm. 105).
Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan
ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan
dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya
tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.
Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan
keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain,
keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang seringkali
menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni
“tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena
dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri.
Apabila anak tidak berhasil melewati fase ini, maka anak tidak akan memiliki
inisiatif yang dibutuhkan pada tahap berikutnya dan akan mengalami hambatan
terus-menerus pada tahap selanjutnya. (Alwisol, 2009, hlm. 93)
20
3. Tahap Ketiga (Play Age/Masa Bermain)
Masa ini sering disebut dengan masa pra sekolah (Preschool Age) yang
ditandai dengan adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa ini anak telah
memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong
melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih
terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut
menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak
mau berinisatif atau berbuat.
Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap infantile genital, locomotor
atau yang biasa disebut masa bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat
anak menginjak usia 3 sampai 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak
pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu
melakukan kesalahan. Inisiatif maksudnya respon positif pada tantangan dunia,
tanggung jawab, belajar keahlian baru, dan merasa bermanfaat. Orangtua
mengharapkan inisiatif yang ditimbulkan anak adalah anak mampu mengeluarkan
idenya. Kita terima harapan fantasi dan imajinasinya. Pada tahap ini, waktunya
bermain bukan belajar formal. (Yusus & Nurihsan, 2011, hlm. 105).
Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru,
hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu
minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu
apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau
karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang
menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan
demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode
mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah
akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri
merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba
melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa
terhindar dari suatu kesalahan. Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat
diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan
(purpose).
4. Tahap Keempat (School Age/Masa Sekolah)
Masa ini ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Sebagai
kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif
21
mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan
berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena
keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia
menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini
dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia
sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Tugasnya adalah mengembangkan
suatu kapasitas untuk industri atau menghasilkan dan saat menghindari sebuah
perasaan rendah diri yang berlebihan. Anak-anak harus mengendalikan imajinasinya
dan mengabdikan diri mereka kepada pendidikan dan untuk mempelajari
keterampilan sosial yang dituntut oleh masyarakat. (Yusus & Nurihsan, 2011, hlm.
106).
Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan
mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah
diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari
lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki
peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian,
teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada
awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya
usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil
dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana
rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan
tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak
dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga
anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang
tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi
kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami
oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak
bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas
dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka.
22
Di sini, anak sudah mulai menjadi remaja. Masa ini merupakan masa pencarian
identitas. Akan ada berbagai macam gangguan yang harus diatasi agar dapat
mencapai identitasnya. Jika tidak maka akan terjadi krisis identitas. Bisa dilihat
dalam tabel 2.1 bahwa agar kita tidak mengalami krisis untuk mencari identitas, kita
harus taat/setia untuk dapat ideal dan menjadi identitas yang kuat.
6. Tahap keenam (young adulthood/masa dewasa awal)
Dalam tahap ini, orang dewasa awal siap dan ingin menyatukan identitasnya
dengan orang lain. Pendekatan yang mencerminkan fakta bahwa kita mencintai,
memelihara persahabatan, dan pekerjaan, kita membaginya dengan orang lain.
Menikah mungkin salah satu contoh terbaik untuk pendekatan, dan dengan demikian
pasangan akan menjadi satu. Earlier sexual encounters are little more than efforts to
define a person’s own sexual identity; “each partner is really trying only to reach
himself” (Erikson dalam Hall & Lindzey, 1985, hlm. 87). “lebih awalnya
menemukan pasangan sedikit lebih dari usaha untuk menegaskan orang tentang
sexual identity nya; ‘tiap orang benar – benar mencoba hanya untuk meraih dirinya
sendiri’”. Isolasi adalah hal yang berbahaya dalam tahap ini, ketidak mampuan
untuk mengambil kesempatan dengan satu identitas untuk berbagi kerukunan
(Erikson dalam Hall & Lindzey, 1985, hlm.87). Cinta adalah sifat yang harus
dimiliki dalam tahap ini, seperti yang dijelaskan pada tabel 2.1.
23
salah satu teori terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya
bahwa kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting
dari teori tingkatan psiksosial Erikson adalah perkembangan persamaan ego.
Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial.
Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan
informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga
percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu
perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai
teori perkembangan psikososial.
Teori Erikson menempatkan titik tekan yang lebih besar pada dimensi sosialisasi
dibandingkan teori Freud. Selain perbedaan ini, teori Erikson membahas
perkembangan psikologis di sepanjang usia manusia, dan bukan hanya tahun-tahun
antara masa bayi dan masa remaja. Seperti Freud, Erikson juga meneliti akibat yang
dihasilkan oleh pengalaman-pengalaman usia dini terhadap masa-masa berikutnya,
akan tetapi ia melangkah lebih jauh lagi dengan menyelidiki perubahan kualitatif yang
terjadi selama pertengahan umur dan tahun-tahun akhir kehidupan.
Pentingnya teori psikososial Erik Erikson untuk bimbingan dan konseling adalah
teori ini dapat digunakan dalam penelitian mengenai identitas diri dan dapat
menganalisis konflik sosial yang dapat membantu memahami kepribadian konseli.
Serta dapat di implikasikan dalam bimbingan dan konseling dengan adanya teori
konseling yang dapat dipakai yaitu konseling ego.
2) Penelitian berdasarkan teori Erik erikson
Banyak psikolog telah tertarik oleh ide Erikson tentang pembentukan identitas.
James Marcia (1980), dan murid-muridnya telah melakukan banyak penelitian yang
menggunakan metode wawancara yang dirancang oleh Marcia untuk mengevaluasi
status identitas. Pada pria, wawancara menilai pengambilan keputusan dan komitmen
mengenai pemilihan suatu pekerjaan., serta keyakinan agama dan politik.
Berdasarkan data wawancara mereka dan seperangkat metode scoring tertentu
yang cukup handal, Marcia dan rekan kerjanya menugaskan orang-orang muda untuk
mengisi empat status identitas yang berbeda: pencapaian identitas, penyitaan, difusi
identitas, dan moratorium. sistem empat-kategori ini tampaknya menjadi perbaikan
pada sistem dua kategori, identitas vs kebingungan identitas, yang pertama kali
diusulkan oleh Erikson. Menurut Marcia, prestasi identitas timbul pada saat orang
tersebut telah mengalami masa krisis, dan telah menyelesaikan krisis dan membuat
24
komitmen untuk, misalnya, tujuan kerja tertentu. Orang dalam status penyitaan telah
membuat komitmen tegas tapi belum mengalami periode krisis. Orang-orang muda
sering membuat komitmen mereka atas dasar pengaruh dari orangtua. Sedangkan
orang yang berada pada status difusi identitas mungkin atau mungkin tidak
mengalami periode krisis tetapi belum atau tidak membuat keputusan atau komitmen.
Orang dalam status moratorium berada di tengah-tengah "krisis identitas" Erikson,
mereka belum membuat komitmen tegas, tetapi mereka dalam proses
melaksanakannya
3) Hubungan antara kelekatan terhadap orangtua dengan identitas diri pada remaja pria
delinquent dilembaga pemasyarakatan anak kutoarjo
Identitas diri merupakan suatu penyadaran yang dipertajam tentang diri
sendiri, yang dipakai seseorang untuk menjelaskan siapakah dirinya, yang meliputi
karakteristik diri, memutuskan hal-hal yang penting dan patut dikerjakan untuk masa
depannya serta standar tindakan dalam mengevaluasi perilaku dirinya, ke semua hal
tersebut terintegrasi dalam diri sehingga seseorang merasa sebagai pribadi yang unik
yang berbeda dari orang lain dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Tujuan
diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kelekatan
terhadap orangtua dengan perkembangan identitas diri pada remaja, khususnya
remaja delinquents di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Metode pengambilan subjek
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aksidental Sampling, yaitu teknik
penentuan sampel berdasarkan kebetulan, siapa saja yang secara kebetulan bertemu
dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang
kebetulan itu cocok sebagai sumber data. Metode pengumpulan data dengan
menggunakan Skala Identitas Diri yang terdiri dari 26 item (α = 0,883) dan Skala
Kelekatan pada Orangtua yang terdiri dari 44 item (α = 0,952). Hasil penelitian ini
menunjukkan ada hubungan antara Kelekatan pada Orangtua dengan Identitas Diri
pada Remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo. Dari uji antara variabel
Identitas Diri dengan Kelekatan pada Orangtua didapatkan Fhit = 13,544 dan taraf
signifikansi 0,001 (p<0,05). Koefisien korelasi (rxy= 0,523) dan p<0,05
menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara kelekatan pada orangtua
dengan identitas diri. Semakin positif kelekatan terhadap orangtua, maka semakin
tinggi tingkat pencapaian identitas dirinya. Sebaliknya, semakin negatif kelekatan
terhadap orangtua, maka tingkat pencapaian identitas dirinya semakin rendah.
Sumbangan efektif variabel Kelekatan pada Orangtua dengan variabel Identitas Diri
25
yaitu sebesar 0,273, yang memiliki arti bahwa variabel Kelekatan pada Orangtua
menyumbang sebesar 27,3% terhadap variabel Identitas Diri. Sisanya sebesar 72,7%
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak diungkap dalam penelitian ini, misalnya
kelekatan pada peer group.
26
2.) Mengontrol keseimbangan antara ekspresi konseli yang bersifat kognitif
maupun konatif (emosi) tetapi proses konseling tetap menekankan dimensi
kognitif.
3.) Mengontrol ambiguitas dalam proses konseling, untuk:
a.) mengontraskan perasaan konseli
b.) menampilkan keunikan pribadi konseli
c.) membangun transferensi melalui proyeksi
c. Transferensi: dimaksudkan sebagai perasaan konseli yang timbul terhadap
konselor.
d. Counter transference: upaya konselor untuk mencegah perasaannya yang
muncul terhadap konseli dan mempengaruhi proses konseling.
e. Diagnosis dan interpretasi: konselor bertanggung jawab merumuskan dan
mendiagnosis masalah, serta memberikan kesempatan kepada konseli untuk
memahami masalah-masalahnya itu.
f. Apabila konseli sudah menyadari masalahnya, proses konseling diarahkan ke
Pembentukan Tingkah Laku Baru:
1.) konselor mengajarkan cara-cara baru
2.) konseli dilatih
3.) mempergunakan tugas rumah yang harus dikerjakan
Semuanya itu untuk memperkuat ego yang dapat berfungsi lebih tepat.
5) FUNGSI EGO
Fungsi ego dalam diri individu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Impulse Economics (Fungsi dorongan ekonomis)
Kemampuan ego untuk tidak hanya mengontrol dorongan-dorongan, tetapi
menyalurkannya ke arah tingkah laku yang lebih dapat diterima dan berguna.
b. Cognitive Function (Fungsi kognitif)
Kemampuan ego untuk menganalisis dan berpikir logis mengatasi perasaan, ini
merupakan kemampuan ego yang bebas dari pengaruh id.
c. Controlling Function (Fungsi Pengawasan)
Kemampuan ego untuk memusatkan usaha penyelesaian tugas tanpa diganggu
oleh perasaan.
27
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Teknologi informasi adalah teknologi yang membantu kita dalam
memproses data untuk mendapatkan informasi. Teknologi informasi ini pada
awalnya diperuntukan bagi tujuan dan departemen tertentu. Namun, dengan
semakin berkembangnya teknologi informasi, saat ini penggunaannya sudah
menjadi hal yang umum di perusahaan swasta dibidang perdagangan maupun
jasa, seperti halnya pelayanan jasa kesehatan. Perkembangan teknologi ini
sangatlah luas dan menjangkau berbagai bidang. Tapi pada akhirnya, semua itu
tetap mengarah pada satu tujuan yang sama, yaitu meningkatkan kecepatan,
akurasi, dan kemudahan. Hambatan dalam pelayanan kesehatan adalah
pengelolaan data rumah sakit yang sangat besar, baik data medik pasien maupun
data administrasi yang dimiliki oleh rumah sakit.
Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan ErikErikson
merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Hal
ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan manusia mulai dari lahir
28
hingga lanjut usia. Selain, teori Erikson juga membawa aspek kehidupan sosial
dan fungsi budaya yang dianggap lebih realistis.
B. SARAN
Diharapakan kepada pembaca atau mahasiswa dapat memahami lebih
luas tentang konsep informasi, batsan, peran, dan dampak dari teknologi
informasi dalam pelayanan keperawatan dalam teori peplau serta saran dan kritik
yang baik demi membangun keberhasilan dan kelengkapan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Davis (2010) Kerangka dasar system informasi manajemen : struktur dan
pengembangannya, terjemahan oleh Bob Widyahartono, jakarta: Gramedia
Fajar, Marhaeni. (2014). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Handayaningsih, Isti. (2012). Dokumentasi Keperawatan “DAR”. Jogyakarta: Mitra Cendikia
Press.
Indah Mulyani, Elviawaty Muisa Zamzami, Niskarto Zendrato, 2019, Pengaruh Sistem
Teknologi Informasi Pada Manajemen Data Dan Informasi Dalam Layanan Keperawatan:
Literature Review. Jurnal Teknologi Informasi dan Komunikasi 9 (2), 137-142,
Indrajati I, Ummah, Sumarsih T, (2011) Pendokumentasian tentang perencanaan dan
pelaksanaan asuhan keperawatan di ruang barokah rumah sakit PKU Muhamadiyah
Gombong, Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 7, No. 3,
Nursalam. (2011). Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktik. Jakarta:
Salemba Medika.
Putra, C. S. (2019). Peranan Teknologi InformasiI Dalam Pelayanan Keperawatan di Rumah
Sakit. Simtika, 2(3), 28-31.
29
Potter & Perry. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik
Edisi 4. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
30