Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH HIV-AIDS (TB HIV)

Dosen : Heni Marlina R., Ners., M.Kep

Disusun oleh :

1. Andiansyah (004 STYC20)

2. Rasmi Hariri (040 STYC20)

3. Nisfi Mauzatul M. (033 STYC20)

4. Hida Royanti (020 STYC20)

5. Eka Avina Pramudita (013 STYC20)

6. Ninda Aulia (032 STYC20)

7. Dandi Irwansyah

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM

PROGRAM STUDI NERS JENJANG AKADEMIK

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah subhanahu wa ta’ala yang maha pemurah dan lagi maha
penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat allah subhanahu wa ta’ala, yang telah
melimpahkan hidayah, inayah dan rahmat-nya sehingga kami mampu menyelesaikan
penyusunan makalah ini dengan judul “Makalah HIV-AIDS (TB)” tepat pada waktunya.
Penyusunan Makalah ini sudah kami lakukan semaksimal mungkin dengan dukungan dari
banyak pihak, sehingga bisa memudahkan dalam penyusunannya. Untuk itu kami pun tidak lupa
mengucapkan terima kasih dari berbagai pihak yang sudah membantu kami dalam rangka
menyelesaikan makalah ini.
Tetapi tidak lepas dari semua itu, kami sadar sepenuhnya bahwa dalam makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa serta aspek-aspek lainnya. Maka
dari itu, dengan lapang dada kami membuka seluas-luasnya pintu bagi para pembaca yang ingin
memberikan kritik ataupun sarannya demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat berharap semoga dari makalah yang sederhana ini bisa
bermanfaat dan juga besar keinginan kami bisa menginspirasi para pembaca untuk mengangkat
berbagai permasalah lainnya yang masih berhubungan pada makalah-makalah berikutnya.

Mataram, 22 Maret 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................................3
1.2 Rumusan masalah..............................................................................................................................4
1.3 Tujuan...............................................................................................................................................4
BAB II.........................................................................................................................................................5
TINJAUAN TEORI.....................................................................................................................................5
2.1 Definisi HIV....................................................................................................................................5
2.2 Etiologi HIV TB..............................................................................................................................5
2.3 Patofisiologi.....................................................................................................................................8
2.4 Anatomi dan Fisiologi HIV TB.....................................................................................................10
2.5 Tanda dan gejala............................................................................................................................16
2.6 Ko-Infeksi HIV-TB.......................................................................................................................19
2.7 Pemeriksaan penunjang.................................................................................................................20
2.8 Komplikasi....................................................................................................................................26
2.9 Penatalaksanaan.............................................................................................................................27
2.10 Asuhan Keperawatan HIV/AIDS...................................................................................................32
BAB III......................................................................................................................................................40
PENUTUP.................................................................................................................................................40
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................41

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS) dan termasuk kelompok retrovirus. AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV,
yang merupakan kumpulan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh. HIV/AIDS telah
menjadi penyakit yang merajalela di seluruh dunia (Kemenkes RI, 2013).
satu penyakit menular yang penularannya melalui udara (airborne disesase) (WHO, 2015).
Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia
yang berdampak pada meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Pandemi ini
merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukkan
bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian
HIV. Sebaliknya TB merupakan tantangan bagi pengendalian AIDS karena merupakan IO
terbanyak pada pasien HIV/AIDS dan penyebab utama kematian pada ODHA (Kemenkes
RI, 2012).
Menurut Kemenkes RI Ditjen PP&PL, Indonesia berada pada peringkat kelima dengan
beban TB tertinggi di dunia serta percepatan peningkatan epidemik HIV yang tertinggi di
antara negara-negara di Asia (Kemenkes RI, 2012). Walaupun secara nasional, Indonesia
berada pada level epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated epidemic) dengan prevalensi
HIV masih tergolong rendah
Riskesdas (2018), insidensi TB Paru di Indonesia tahun 2018 yaitu sebanyak 321 per
100.000 penduduk. Banyaknya jumlah penderita TB dikarenakan rendahnya angka
keberhasilan pengobatan, dimana angka keberhasilan pengobatan TB pada tahun 2016 yaitu
75,4% dan pada tahun 2017 meningkat menjadi 85,1%. Sedangkan Kemenkes menetapkan
target minimal 88%. Dengan demikian, Indonesia belum mencapai standar angka
keberhasilan pengobatan TB paru yang sudah ditetapkan. WHO (World Healt Organization)
memperkirakan bakteri TB merupakan satu dari 10 penyebab kematian dan penyebab utama
agen infeksius. Di tahun 2017, TB menyebabkan sekitar 300.000 kematian karena TB
(rentang, 266.000-335.000) di antara orang dengan HIV positif. Berdasarkan perkiraan
WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB- HIV di dunia adalah sebanyak 14 juta orang, dengan 3

3
juta pasien terdapat di Asia Tenggara. WHO memperkirakan jumlah pasien TB dengan status
HIV positif di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 7,5%, terjadi peningkatan jika
dibandingkan dengan tahun 2012 yang hanya 3,3% (Global Report WHO 2013).

1.2 Rumusan masalah


1. Apa yang dimaksud dengan HIV?
2. Apa yang menjadi etiologi HIV?
3. Bagaimana patofisiologi pada HIV?
4. Bagaimana penatalaksanaan orang dengan HIV?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada orang dengan HIV?
6. Perbedaan TB dan TB-HIV
7.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui tentang HIV
2. Mengetahui penatalaksanaan orang dengan HIV
3. Mengetahui asuhan keperawatan yang akan diberikan kepada orang dengan HIV

4
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS). AIDS merupakan singkatan Acquired artinya tidak diturunkan dan dapat
menularkan kepada orang lain, Immune artinya sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit,
Deficiency artinya berkurangnya kurang atau tidak cukup, dan Syndrome artinya kumpulan
tanda dan gejala penyakit. Atau singkatnya, AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV,
yang merupakan kumpulan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh (Kemenkes RI,
2012).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh
dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4. Jika makin banyak sel CD4 yang hancur, daya
tahan tubuh akan makin melemah sehingga rentan diserang berbagai penyakit.

Penularan HIV terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh penderita, seperti darah,
sperma, cairan vagina, cairan anus, serta ASI. Perlu diketahui, HIV tidak menular melalui
udara, air, keringat, air mata, air liur, gigitan nyamuk, atau sentuhan fisik.

HIV adalah penyakit seumur hidup. Dengan kata lain, virus HIV akan menetap di
dalam tubuh penderita seumur hidupnya. Meski belum ada metode pengobatan untuk
mengatasi HIV, tetapi ada obat yang bisa memperlambat perkembangan penyakit ini dan
dapat meningkatkan harapan hidup penderita.
2.2 Etiologi HIV TB
HIV adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh human immunodeficiency virus.
Adapun AIDS adalah kondisi yang terdiri dari kumpulan gejala terkait melemahnya sistem
imun. AIDS terjadi ketika infeksi HIV sudah berkembang parah dan tidak ditangani dengan
baik.
Menurut Center for Disease Control and Prevention (CDC), penularan virus HIV dari
orang yang terinfeksi hanya bisa diperantarai oleh cairan tubuh seperti:
a. Darah
b. Air mani

5
c. Cairan pra-ejakulasi
d. Cairan rektal (anus)
e. Cairan vagina
f. ASI yang berkontak langsung dengan luka terbuka di selaput lendir, jaringan lunak, atau
luka terbuka di kulit luar tubuh orang sehat.

1. Hubungan seksual
Jalur penularan virus umumnya terjadi dari hubungan seks atau berhubungan tanpa
kondom (penetrasi vaginal, seks oral, dan anal). Penularan hanya bisa terjadi dengan
syarat seseorang yang sehat memiliki luka terbuka atau lecet di organ seksual, mulut, atau
kulit.
Biasanya, perempuan remaja cenderung lebih berisiko terinfeksi HIV karena selaput
vagina tipis sehingga rentan lecet dan terluka dibandingkan wanita dewasa. Penularan
lewat seks anal juga termasuk lebih rentan karena jaringan anus tidak memiliki lapisan
pelindung layaknya vagina sehingga lebih mudah sobek akibat gesekan.
2. Penggunaan jarum suntik yang tidak steril
Selain dari paparan antar cairan dengan luka lewat aktivitas seks, penularan HIV juga
dapat terjadi jika cairan terinfeksi tersebut disuntikkan langsung ke pembuluh darah,
misalnya dari:
a. Pemakaian jarum suntik secara bergantian dengan orang yang terkontaminasi
dengan human immunodeficiency virus (HIV).
b. Menggunakan peralatan tato (termasuk tinta) dan tindik (body piercing) yang tidak
disterilkan dan pernah dipakai oleh orang dengan kondisi ini.
c. Memiliki penyakit menular seksual (PMS) lainnya seperti klamidia atau gonore. Virus
HIV akan sangat mudah masuk saat sistem kekebalan tubuh lemah.
d. Ibu hamil pengidap HIV/AIDS dapat menularkan virus aktif kepada bayinya (sebelum
atau selama kelahiran) dan saat menyusui.
Namun, jangan salah sangka. Seseorang Tidak dapat tertular virus HIV melalui kontak
sehari-hari seperti:
 Bersentuhan
 Berjabat tangan
 Bergandengan

6
 Berpelukan
 Cipika-cipiki
 Batuk dan bersin
 Mendonorkan darah ke orang yang terinfeksi lewat jalur yang aman
 Menggunakan kolam renang atau dudukan toilet yang sama
 Berbagi sprei
 Berbagi peralatan makan atau makanan yang sama
 Dari hewan, nyamuk, atau serangga lainnya
Tuberkulosis
Sumber penularan penyakit Tuberkulosis adalah penderita Tuberkulosis BTA
positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman Tuberkulosis masuk ke
dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman Tuberkulosis tersebut dapat menyebar
dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau
penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi
derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil
pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak
menular. Seseorang terinfeksi Tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam
udara dan lamanya menghirup udara.
Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran
panjang 1-4/μm dan tebal 0,3-0,6/μm. Sebagian besar dinding kuman terdiri dari asam
lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang membuat
kuman lebih tahan terhadap asam (asam alcohol) sehingga disebut bakteri tahan asam
(BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan
hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin. Hal ini terjadi karena kuman
berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan
menjadikan penyakit tuberculosis menjadi aktif lagi.

7
Sifat lain dari kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen
pada bagian apical paru paru lebih tinggi dari bagian yang lain, sehingga bagian apical ini
merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis.
2.3 Patofisiologi
Tempat masuk kuman Mycobacterium Tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran
pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC) terjadi
melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel
yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas dengan
melakukan reaksi inflamasi bakteri dipindahkan melalui jalan nafas, basil tuberkel yang
mencapai permukaan alveolus biasanya di inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu
sampai tiga basil, gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan
cabang besar bronkhus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang
alveolus, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear
tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme
tersebut. Setelah hari-hari pertama leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang
akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala Pneumonia akut.
Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang
tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau
berkembangbiak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar
getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit.
Reaksi ini membutuhkan waktu 10 – 20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju,
isi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut dengan lesi primer. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel
epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi
lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.

8
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar
getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang dapat
terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkhus
dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan
masuk kedalam percabangan trakheobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian
lain di paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi
primer menjadi rongga-rongga serta jaringan nekrotik yang sesudah mencair keluar bersama
batuk. Bila lesi ini sampai menembus pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan
jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkhus dapat menyempit dan
tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan
perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung
sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang
tidak terlepas. Keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk
lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang
lolos melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang
kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini
dikenal sebagai penyebaran limfo hematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran
hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan Tuberkulosis
milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak
organisme masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh. Komplikasi
yang dapat timbul akibat Tuberkulosis terjadi pada sistem pernafasan dan di luar sistem
pernafasan. Pada sistem pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks, efusi pleural,
dan gagal nafas, sedang diluar sistem pernafasan menimbulkan Tuberkulosis usus,
Meningitis serosa, dan Tuberkulosis milier (Kowalak, 2011).
Mycobacterium Tubeculosis yang terdapat pada droplet nuclei diudara dapat terhisap
orang sehat dan akan menempel pada saluran napa atau jaringan paru . Partikel ini dapat
masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer . Kuman ini akan dihadapi pertama
kali oleh netrofil, kemudian makrofag dan keluar dari percabangan trakeobronkial bersama
gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman menetap dijaringan paru maka akan berkembang

9
biak dalam sitoplasma makrofag. Disini ia dapat terbawa ke organ tubuh lainnya . Kuman
yang bersarang dijaringan paru akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan
disebut sarang primer atau afek primer atau sarang ( focus ) Ghon. Sarang primer ini dapat
terjadi disetiap bagian jaringan paru.
Bila menjalar sampai ke pleura maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk
melalui saluran gastrointestinal , jaringan limfe, orofaring dan kulit, terjadi limfadenopati
regional kemudian bakteri masuk kedalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru,
otak, ginjal, tulang . Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran keseluruh
bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah
bening menuju hilus ( limfangitis lokal ), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening
hilus ( limfadenitis regional ). Limfadenitis ini menjadi kompleks primer dengan proses 3 –
8 minggu.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini banyak terjadi.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis garis fibrotic , kalsifikasi
dihilus , keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10%
diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
3. Berkomplikasi dan menyebar secara
a. perkontinuitatum , yakni menyebar ke sekitarnya.,
b. secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru disebelahnya. Kuman
dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus,
c. secara limfogen ke organ tubuh lainnya,
d. secara hematogen ke organ tubuh lainnya.
2.4 Anatomi dan Fisiologi HIV TB
2.4.1 Anatomi Dan Fisiologi HIV
Anantomi Fisiologi Imunologi Sistem Sistem imun Sistem pertahanan internal
tubuh yang berperan dalam mengenali dan menghancurkan bahan yang bukan “normal
self” (bahan asing atau abnormal cells). Imunitas atau respon imun Kemampuan tubuh
manusia untuk melawan organisme atau toksin yang berbahaya.
Ada 2 macam RI, yaitu :
 RI Spesifik : deskriminasi self dan non self, memori, spesifisitas.

10
 RI non Spesifik : efektif untuk semua mikroorganisme
Sel-sel yang berperan dalam respon Imun
1. Sel B
Sel B adalah antigen spesifik yang berproliferasi untuk merespons antigen tertentu.
Sel B merupakan nama bursa fabrisius, yaitu jaringan limfoid 8 yang ditemukan
pada ayam. Jaringan sejenis yang ada pada mamalia yaitu sumsum tulang, jaringan
limfe usus, dan limpa. Sel B matur bermigrasi ke organ-organ limfe perifer seperti
limpa, nodus limfe, bercak Peyer pada saluran pencernaan, dan amandel. Sel B
matur membawa molekul immunoglobulin permukaan yang terikat dengan
membran selnya. Saat diaktifasi oleh antigen tertentu dan dengan bantuan limfosit
T, sel B akan derdiferensiasi melalui dua cara, yaitu :
a. Sel plasma adalah: Sel ini mampu menyintesis dan mensekresi antibodi untuk
menghancurkan antigen tertentu.
b. Sel memori B adalah Sel memori menetap dalam jaringan limfoid dan siap
merespons antigen perangsang yang muncul dalam pajanan selanjutnya dengan
respons imun sekunder yang lebih cepat dan lebih besar.
2. Sel T
Sel T juga menunjukan spesifisitas antigen dan akan berploriferasi jika ada antigen,
tetapi sel ini tidak memproduksi antibodi. Sel T mengenali dan berinteraksi dengan
antigen melalui reseptor sel T, yaitu protein permukaan sel yang terikat membran
dan analog dengan antibodi. Sel T memproduksi zat aktif secara imulogis yang
disebut limfokin. Sub type limfosit T berfungsi untuk membantu limfosit B
merespons antigen, membunuh sel-sel asing tertentu, dan mengatur respons imun.
Respons sel T adalah :Sel T, seperti sel B berasal dari sel batang prekusor dalam
sumsum tulang. Pada periode akhir perkembangan janin atau segera 9 setelah lahir,
sel prekusor bermigrasi menuju kelenjar timus, tempatnya berproliferasi,
berdiferensiasi dan mendapatkan kemampuan untuk mengenali diri.
Setelah mengalami diferensiasi dan maturasi, sel T bermigrasi menuju organ
limfoid seperti limpa atau nodus limfe. Sel ini dikhususkan untuk melawan sel yang
mengandung organisme intraselular.
3. Sel T efektor :

11
 Sel T sitotoksik (sel T pembunuh) Mengenali dan menghancurkan sel yang
memperlihatkan antigen asing pada permukaannya
 Sel T pembantu Tidak berperan langsung dalam pembunuhan sel. Setelah
aktivasi oleh makrofag antigen, sel T pembantu diperlukan untuk sistesis
antibodi normal, untuk pngenalan benda asing sel T pembantu melepas
interleukin-2 yang menginduksi proliferasi sel T sitotoksik, menolong sel T lain
untuk merespons antigen dan sel T pembantu dpt memproduksi zat (limfokin)
yang penting dalam reaksi alergi (hipersensitivitas).
4. Sel T supresor
Setelah diaktifasi sel T pembantu akan menekan respon sel B dan sel T.
5. Makrofag
Makrofag memproses antigen terfagositosis melalui denaturasi atau mencerna
sebagian antigen untuk menghasilkan fragmen yang 10 mengandung determinan
antigenic. Makrofag akan meletakkan fragmen antigen pada permukaan selnya
sehingga terpapar untuk limfosit T tertentu.
2.4.2 Anatomi pernapasan
Pernapasan merupakan proses memasukkan oksigen dari lingkungan ke dalam
tubuh serta membuang gas karbondioksida dan uap air dari dalam tubuh ke
lingkungan. Tujuannya ialah untuk memperoleh energi dengan memecah molekul
kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana (Sarwandi & Linangkung, 2014).
Saluran pernapasan dibagi menjadi 2, sebagai berikut:

12
1. Saluran Pernapasan Atas
a. Rongga Hidung
Rongga hidung berupa dua saluran sempit yang ditopang oleh beberapa tulang
yang di dalamnya terdapat selaput lendir dan bulu hidung yang berfungsi untuk
menyaring debu maupun kotoran yang akan masuk bersama udara,
menyelaraskan antara suhu udara dengan suhu tubuh, dan mengontrol
kelembapan udara (Sarwandi & Linangkung, 2014).
b. Faring
Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan udara dengan makanan
(Sarwandi & Linangkung, 2014).
c. Laring
Laring berada dia antara faring dan trakea. Laring terdiri dari dari katup pangkal
tenggorokan (eppiloglottis) (Sarwandi & Linangkung, 2014).
2. Saluran Pernapasan Bawah
1. Trakea
Bentuk batang tenggorokan seperti pipa bergelang-gelang, tulang rawan yang
panjangnya kurang lebih 10 cm, berada di bagian leher dan rongga dada. Selaput
lendir melapisi dinding dalamnya dengan sel-selnya diselimuti rambut getar.
Fungsi trakea sebagai tempat lewatnya udara. Saat berbicara, epiglottis akan
turun menutupi saluran pernapasan dan akan terangkat ketika menelan makanan.
Fungsi rambut getar ialah untuk menahan dan mengeluarkan kotoran atau
partikel-partikel asing yang ikut terhirup bersama udara (Sarwandi &
Linangkung, 2014).
2. Bronkus
Bronkus merupakan cabang dari trakea yang bercabang menjadi dua, yaitu
bronkus kanan dan bronkus kiri. Cabang kiri masuk ke paru-paru kiri dan cabang
kanan akan menuju paru-paru kanan. Bronkus juga memiliki selaput yang
berlendir dan rambut-rambut getar. Bronkus bercabang tiga menuju paru-paru
kanan dan bercabang dua menuju paru-paru kiri. Setiap cabang dari bronkus
akan bercabang lagi membentuk saluran yang lebih kecil yang disebut
bronkiolus (Sarwandi & Linangkung, 2014).

13
3. Bronkiolus
Cabang dari bronkus yang membentuk saluran kecil disebut bronkiolus. Cabang-
cabang dari bronkiolus akan semakin halus. Cabang-cabang paling halus dari
bronkiolus akan masuk ke gelembung paru-paru atau alveolus (Sarwandi &
Linangkung, 2014).
4. Alveolus
Saluran yang paling ujung dari alat pernapasan ialah alveolus, yang berupa
gelembung-gelembung udara. Alveolus mempunyai fungsi sebagai tempat
pertukaran gas, yaitu tempat masuknya oksigen ke dalam darah dan
mengeluarkan karbondioksida dan air dari darah (Sarwandi & Linangkung,
2014).

5. Paru-paru
Paru-paru terletak di rongga dada di bagian atas diafragma. Paru-paru tersusun
oleh dua bagian, yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri dari tiga
gelambir dan paru-paru kiri (pulmo sinister) yang terdiri dari dua gelambir. Paru-
paru berfungsi menjadi tempat terjadi difusi oksigen ke dalam darah dan
pengeluaran karbondioksia dari darah. Selaput tipis yang berfungsi membungkus
paru-paru disebut pleura. Selaput bagian dalam yang langsung mnenyelubungi
paru-paru disebut pleura dalam (pleura visceralis). Sedangkan selaput yang
langsung menyelubungi rongga dada yang bersebalahan dengan tulang rusuk
disebut pleura luar (pleura parietalis). Ujung dari bronkiolus pada paru-paru
terdapat alveolus (Sarwandi & Linangkung, 2014).

14
2.4.3 Fisiologi Pernapasan
Udara melalui rongga hidung mengalami 3 proses yaitu dipanaskan/dikondisikan
sesuai suhu tubuh, dilembabkan, disaring. Faring merupakan tempat pertemuan dua
saluran (hidung dan mulut) dan terbagi atas 3 bagian yaitu rhinofaring, orofaring, dan
laringofaring. Bronkus merupakan saluran pernafasan yang letaknya pada bagian
depan leher dan bercabang 2 menjadi 2 cabang bronkus utama, masing-masing
bronkus menuju paru disebelah kanan dan kiri, sedangkan alveolus merupakan
gelembung yang sangat kecil yang berdinding satu sel lapis epitel dan sebelah luarnya
dirajut dengan anyaman kapiler, di umpamakan seperti bola. Pada dinding alveolus
mengandung surfactan yang berfungsi merendahkan tegangan permukaan sehingga
alveolus mudah untunk mengembang dan mengempis serta tidak mudah kolaps
ataupun pecah. Jumlah alveolus dewasa sekitar 300 juta dengan kapilernya sekitar
280.000 juta.
Pada proses pertukaran antara oksigen dan karbondioksida terjadi serangkaian
proses yaitu difusi adalah proses pertukaran O2 dan CO2 pada tempat pertemuan
darah. Perfusi pulmonal adalah aliran darah aktual yang melalui sirkulasi paru, setiap
100ml darah mengandung 0,3 ml oksigen dalam plasma. Oksigen yang terlarut dalam
darah akan terikat dalam oksihemoglobin dengan reaksi O2 + Hb = HbO2. Respirasi
adalah proses pertukaran gas, yaitu oksigen (O2) yang dibutuhkan tubuh untuk

15
metabolisme sel dan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari metabolisme tersebut
dikeluarkan dari tubuh melalui paru (Judha, 2016).
2.5 Tanda dan gejala
Tanda-tanda dan gejala HIV/AIDS
Infeksi penyakit ini pada umumnya tidak menampakkan wujud yang jelas di awal
masa infeksi. Kebanyakan ODHA tidak menunjukkan tanda atau gejala HIV/AIDS yang
khas dalam beberapa tahun pertama saat terinfeksi. Jika mengalami gejala, kemungkinan
gangguan yang dirasakan tidak begitu berat. Gejala yang muncul kerap disalahpahami
sebagai penyakit lain yang lebih umum. Namun, patut waspada jika mengalami gejala-gejala
yang berkaitan dengan melemahnya kondisi sistem imun tubuh.
Gejala awal penyakit HIV umumnya mirip dengan infeksi virus lainnya, yaitu:
1. Demam HIV.
2. Sakit kepala.
3. Kelelahan.
4. Nyeri otot.
5. Kehilangan berat badan secara perlahan.
6. Pembengkakan kelenjar getah bening di tenggorokan, ketiak, atau pangkal paha.
Infeksi virus HIV umumnya memakan waktu sekitar 2-15 tahun hingga menimbulkan
gejala. Infeksi virus ini memang tidak akan langsung merusak organ tubuh.Namun, virus
tersebut perlahan menyerang sistem kekebalan tubuh dan melemahkannya secara bertahap
sampai kemudian tubuh Anda menjadi rentan diserang penyakit, terutama infeksi. Jika
infeksi virus HIV dibiarkan berkembang, kondisi ini bisa berubah semakin parah menjadi
AIDS.
Berikut ini adalah berbagai gejala penyakit AIDS yang dapat muncul:
1. Sariawan yang ditandai dengan adanya lapisan keputihan dan tebal pada lidah atau
mulut.
2. Infeksi jamur vagina yang parah atau berulang.
3. Penyakit radang panggul kronis.
4. Infeksi parah dan sering mengalami kelelahan ekstrem yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya (mungkin muncul bersamaan dengan sakit kepala dan atau pusing).
5. Turunnya berat badan lebih dari 5 kg yang bukan disebabkan karena olahraga atau diet.

16
6. Lebih mudah mengalami memar.
7. Diare yang lebih sering.
8. Sering demam dan berkeringat di malam hari.
9. Pembengkakan atau mengerasnya kelenjar getah bening yang terletak di tenggorokan,
ketiak, atau pangkal paha.
10. Batuk kering yang terus menerus.
11. Sering mengalami sesak napas.
12. Perdarahan pada kulit, mulut, hidung, anus, atau vagina tanpa penyebab yang pasti.
13. Ruam kulit yang sering atau tidak biasa.
14. Mati rasa parah atau nyeri pada tangan atau kaki.
15. Hilangnya kendali otot dan refleks, kelumpuhan, atau hilangnya kekuatan otot.
16. Kebingungan, perubahan kepribadian, atau penurunan kemampuan mental.
17. Ada juga kemungkinan bahwa Anda akan mengalami berbagai gejala di luar yang telah
disebutkan.
Menurut WHO (2005), ada beberapa ejala yang dirasakan oleh pasien HIV
berdasarkan klasifikasi stadiuamnya, sabagai berikut:

Klasifikasi Berat badan Gejala


Stadium I Tidak ada penurunan berat 1. Asimptomatik (tidak ada gejala)
badan 2. Limfadenopati generalisata persisten
Stadium II Penurunan berat badan 1. Kelainan kulit dan mukosa ringan
<10% seperti dermatitis seboroik, prurigo,
onikomikosis, ulkus oral yang
rekuren (berulang), keilitis angularis
(lika di sekitar bibir)
2. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
3. Infeksi saluran napas bagian atas
(ISPA), seperti sinusitis bakterialis
atau otitis
Stadium III Penurunan berat badan 1. Diare kronis yang berlangsung lebih
>10% dari satu bulan
2. Demam berkepanjangan >1 bulan
3. Kandidiasis orofaringeal
4. Oral hairy leukoplakia
5. TB paru dalam tahun terakhir
6. Infeksi bacterial yang berat seperti
pneumonia, piomiositis
Stadium IV Syndrome wasthing HIV 1. Pneumonia pneumocystys carinii
2. Toksoplasmosis otak

17
3. Diare kriptosporidiosis >1 bulan
4. Kriptokokosis ekstrapulmonal
5. Retinitas virus sitomegalo
6. Herpes simpleks mukokotan >1 bulan
7. Leukoensefalopati multifocal
progresif
8. Mikosis seminata seperti
histoplamosis
9. Kandidiasis di esophagus, trakea,
bronkus dan paru
10. Mikobakteriosis atipikal diseminata
11. Septisemia salmonelosis non tifois
12. Tuberkulosis diluar paru
13. Limfoma
14. Sarkoma Kaposi
15. Ensefalopati HIV

Tuberculosis
Pada TB laten, penderita umumnya tidak mengalami gejala. Umumnya, penderita baru
menyadari dirinya menderita tuberkulosis setelah menjalani pemeriksaan untuk penyakit
lain.
Sementara bagi penderita TB aktif, gejala yang muncul dapat berupa:
1. Batuk yang berlangsung lama (3 minggu atau lebih)
2. Batuk biasanya disertai dengan dahak atau batuk darah
3. Nyeri dada saat bernapas atau batuk
4. Berkeringat di malam hari
5. Hilang nafsu makan
6. Penurunan berat badan
7. Demam dan menggigil
8. Kelelahan
Selain menyerang paru-paru, TB juga dapat menyerang selain paru-paru. Kondisi ini
sering terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya lemah, misalnya penderita AIDS. Organ
selain paru-paru yang dapat diserang TB adalah ginjal, usus, otak, atau kelenjar.
Berikut ini adalah contoh gejala yang muncul akibat penyakit TBC di luar paru-paru,
menurut organ yang terkena:
1. Pembengkakan kelenjar getah beningbila terkena TBC kelenjar
2. Kencing berdarah pada TB ginjal

18
3. Nyeri punggung pada TB tulang belakang
4. Sakit kepala dan kejang bila terkena TB di otak
5. Sakit perut hebat jika mengalami TB usus
Gejala Tuberkulosis pada Anak
Sementara itu, gejala TBC pada anak cenderung lebih sulit dikenali. Hal ini karena
gejalanya tidak khas sehingga sering dianggap sebagai gejala penyakit lain.
Berikut adalah gejala yang mungkin ditemukan pada penderita TBC anak, yakni:
1. Batuk persisten selama lebih dari 2 minggu
2. Berat badan menurun dalam 2 bulan atau gagal tumbuh
3. Pembengkakan kelenjar getah bening (limfadenopati)
4. Demam terus-menerus selama lebih dari 2 minggu
5. Anak tampak lemas (malaise) dan kurang aktif
6. Gejala tidak membaik meski telah diberikan antibiotik dan nutrisi
2.6 Ko-Infeksi HIV-TB
Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi dengan HIV
akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping itu TB merupakan
penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%). Kematian yang tinggi ditemukan
terutama pada pasien TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan besar
disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB.
Sebagian orang yang tinggal dengan pasien yang terinfeksi bakteri TB
(Mycobacterium tuberculosis) tidak terinfeksi TB karena tubuhnya mempunyai sistem
imunitas yang baik sehingga tidak menjadi sakit. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal
sebagai infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang sistem imunitasnya menurun
misalnya ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit
TB aktif. Hanya sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka
akan menjadi sakit TB sepanjang hidupnya. Sedangkan pada ODHA, sekitar 60% ODHA
yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit TB aktif. Dengan demikian, mudah dimengerti
bahwa epidemi HIV tentunya akan memiliki peran dalam peningkatan jumlah kasus TB
dalam masyarakat.
Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-
infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia

19
diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut
dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut
terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah
berpengaruh pada meningkatnya kasus TB; sebagai contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara
Afrika telah memperlihatkan 3-5 kali lipat angka perkembangan kasus notifikasi TB pada
dekade terakhir. Jadi, pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan
pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV
haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB.

2.6.1 Perbedaan TB dan TB-HIV

Perbedaan
No
TB TB - HIV
1 Jumlah progresi menjadi TB aktif 5 % Jumlah progresi menjadi TB aktif > 40 %
pada pasien tanpa HIV pada pasien dengan HIV
2 Resiko reaktifiasi infeksi TB < 0.1 % Resiko reaktifitasi infeksi TB 2.5-15 % setiap
setiap tahun pada pasien tanpa HIV tahun pada pasien dgn HIV

3 Pasien dgn TB-HIV mempunyai viral Pasien dgn koinfeksi TB-HIV mempunyai
load lebih kecil viral load sekitar 1 log lebih besar daripada
pasien tanpa TB
4 Angka mortalitas pada TB lebih kecil Angka mortalitas pada ko-infeksi TB-HIV k.l.
4 x lebih besar daripada pasien dengan hanya
TB sendiri

2.7 Pemeriksaan penunjang HIV


Tes diagnostik HIV untuk mencegah infeksi HIV Menyebarkan atau meningkatkan kejadian
infeksi HIV. Tes diagnostik HIV Dilakukan melalui KTS atau TIPK dan harus mendapat
persetujuan pasien.
1. Semacam. KTS (Konseling dan Tes Sukarela) Langkah demi Langkah Termasuk:
konseling pra-tes, tes HIV, dan konseling pasca-tes.

20
2. Dilakukan TIPK (Konsultasi dan Tes bagi Petugas Kesehatan Pemula) Langkah-
langkahnya meliputi: memberikan informasi tentang HIV dan Sebelum tes HIV, tes
darah, memberikan hasil tes, dan konseling.
Tes HIV untuk diagnosis oleh staf medis dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih.
Tes HIV dilakukan dengan metode diagnostik cepat (RDT) atau EIA (enzyme
immunoassay). Pada saat yang sama, konseling wajib Tersedia untuk semua tes HIV oleh
konselor terlatih Tenaga kesehatan dan non kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2013)
1. Rapid Diagnostic Test (RDT) (Widoyono, 2008)
WHO kini merekomendasikan pengujian dengan tes cepat (strip) agar hasilnya segera
diketahui.
Ada beberapa tanda dan gejala utama, termasuk:
a. Penurunan berat badan (BB)>10%
b. Diare kronis > 1 bulan
c. Demam > 1 bulan
Tanda-tanda ringan meliputi:
a. Batuk terus menerus > 1 bulan
b. Dermatitis gatal (gatal)
c. Herpes zoster berulang
d. Kandidiasis Orofaringeal
e. Limfadenopati ekstensif herpes simpleks yang luas dan parah
f. Tanda-tanda lain adalah sarkoma Kaposi dan meningitis yang luas mata uang kripto.
Jika ada setidaknya dua bendera utama yang terkait dengan bendera kecil Tidak ada
kasus imunosupresi lain yang diketahui, seperti kanker dan malnutrisi parah, atau adanya
tanda-tanda lain.
2. Enzyme Immuno Assay (EIA) atau Enzyme-Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA)
Bahan yang diperiksa adalah serum atau cairan darah lain (cairan otak), steril dan
disimpan pada 20°C tanpa antibody koagulan. Sensitivitas tinggi, 98,1-100%. Biasanya
tes ini Hasil positif diberikan 2-3 bulan setelah infeksi (Irianto, 2014).
Diagnosis TB paru pada ODHA (KemenKesRI, 2013)
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses diagnosis TB ODHA,
antara lain:

21
1. Pemberian antibiotik sebagai alat diagnostik tidak merekomendasikan lagi
Penggunaan antibiotik untuk tujuan diagnostik, seperti algoritma diagnostik
tuberkulosis dewasa, dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan
tuberkulosis, sehingga meningkatkan risiko kematian pada mereka yang terinfeksi. Oleh
karena itu, penggunaan antibiotik sebagai alat diagnostik tidak lagi dianjurkan. Namun,
antibiotik diperlukan untuk ODHA dengan IO, yang mungkin disebabkan oleh infeksi
bakteri lain, dengan atau tanpa Mycobacterium tuberculosis. Jadi, tujuan pemberian
antibiotik bukan sebagai alat bantu dalam mendiagnosis tuberkulosis, tetapi sebagai
pengobatan untuk infeksi bakteri lainnya. Hindari antibiotik fluoroquinolone karena
mereka menanggapi Mycobacterium tuberculosis dan dapat menyebabkan resistensi
terhadap obat ini.
2. Pemeriksaan foto toraks
Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam mendiagnosis TB pada
ODHA dengan BTA negatif. Umumnya gambaran foto toraks pada TB terdapat di apeks,
tetapi pada TB-HIV bukan di apeks terutama pada HIV lanjut. Pada TB-HIV awal
gambaran foto toraks dapat sama dengan gambaran foto toraks TB pada umumnya,
namun pada HIV lanjut gambaran foto toraks sangat tidak spesifik. Pada pasien TB-HIV
sering ditemukan gambaran TB milier.
3. Pemeriksaan biakan dahak
a. Pemeriksaan dahak
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu- Pagi-
Sewaktu (SPS), yaitu: S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB dating
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak
untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi): dahak dikumpulkan di
rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. dahak dibawa dan
diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di
Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Pengambilan 3 spesimen
dahak masih diutamakan dibanding dengan 2 spesimen dahak mengingat masih

22
belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan mutu eksternal pemeriksaan
laboratorium.
b. Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian TB adalah
untuk menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu :
 Pasien TB Ekstra Paru
 Pasien TB Anak
 Pasien TB BTA Negatif Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan
memungkinkan dan tersedia laboratorium yang telah memenuhi standar yang
ditetapkan.
c. Uji Kepekaan Obat TB
Uji kepekaan obat TB bertujuan untuk resistensi M. Tuberkulosis terhadap OAT. Uji
kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang tersertifikasi dan lulus
pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA). Pemeriksaan tersebut ditujukan
untuk diagnosis pasien TB yang memenuhi kriteria suspek TB-MDR.
Sulitnya diagnosis TB pada pasien HIV secara klinis dan pemeriksaan sputum
BTA lebih sering negatif, diperlukan pemeriksaan biakan M. tuberculosis yang
merupakan baku emas untuk diagnosis TB. Pada ODHA yang hasil pemeriksaan
mikroskopik dahaknya negatif, biakan sangat dianjurkan karena dapat membantu
menegakkan diagnosis TB. Perlu juga dilakukan uji sensitivitas obat untuk
mengetahui TB-MDR karena HIV merupakan salah satu faktor risiko TB-MDR.
1. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut:
frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 39oC, denyut nadi > 120
kali/menit, tidak dapat berjalan tanpa bantuan.
2. BTA Positif = sekurang- kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA negatif =
bila 2 sediaan hasilnya negatif.
3. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol = PPK.
4. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), pemeriksaan jumlah CD4
(bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.

23
5. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara
bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangi
sehingga mempercepat penegakan diagnosis.
6. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi bakteri
tipikal dan atipikal.
7. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP.
8. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA rawat jalan
adalah sebagai berikut:
1. Kunjungan pertama: Pemeriksaan mikroskopis dahak harus dikerjakan pada kunjungan
pertama. Jika hasil pemeriksaan dahak BTA positif maka pengobatan TB dapat
diberikan kepada pasien tersebut.
2. Kunjungan kedua: Jika hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka pada kunjungan
kedua perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya foto toraks, ulangi pemeriksaan
mikroskopis dahak, lakukan pemeriksaan biakan dahak dan pemeriksaan klinis oleh
dokter. Pemeriksaan pada kunjungan kedua ini sebaiknya dilakukan pada hari kedua
dari kunjungan pasien di Fasyankes tersebut. Hasil pemeriksaan dari kunjungan kedua
ini sangat penting untuk memutuskan apakah pasien tersebut perlu mendapat
pengobatan TB atau tidak. Penentuan stadium klinis HIV harus dikerjakan dan
pemberian PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.
3. Kunjungan ketiga: dilakukan secepat mungkin setelah ada hasil pemeriksaan pada
kunjungan kedua. Pasien yang hasil pemeriksaannya mendukung TB (misalnya
gambaran foto toraks mendukung TB) perlu diberi OAT. Pasien dengan hasil yang tidak
mendukung TB perlu mendapat antibiotik spektrum luas (jangan menggunakan
golongan fluorokuinolon) untuk mengobati infeksi bakteri lain atau pengobatan untuk
PCP. Juga perlu dilakukan penentuan stadium klinis HIV dan PPK harus diberikan
sesuai pedoman nasional.
4. Kunjungan keempat: Pada kunjungan ke empat ini haruslah diperhatikan bagaimana
respons pasien pada pemberian pengobatan dari kunjungan ketiga. Untuk pasien yang
mempunyai respons yang baik (cepat) terhadap pengobatan PCP atau pengobatan

24
dengan antibiotik, lanjutkan pengobatannya untuk menyingkirkan terdapatnya juga TB
(superimposed tuberculosis). Bagi pasien yang mempunyai respons yang kurang baik
atau tidak baik pada pengobatan PCP atau pengobatan pneumonia karena bakteri
lainnya, perlu dilakukan pemeriksaan ulang untuk TB baik secara klinis maupun
pemeriksaan dahak
Diagnosis TB Ekstra Paru pada ODHA
Diagnosis pasti TB ekstraparu sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil
pemeriksaan klinis, bakteriologi dan atau histologi spesimen yang didapat dari lesi.
Tuberkulosis ekstraparu yang sering ditemukan diantaranya adalah TB Kelenjar limfe, TB
Susunan saraf pusat, TB Abdomen, TB Pleura dan TB Perikard. Gejala dan keluhan
tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada
TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
Pemeriksaan spesimen untuk penegakan diagnosis TB ekstraparu dilakukan dengan
pemeriksaan mikroskopis langsung, pemeriksaan biakan maupun histopatologi. Hasil biakan
spesimen yang diperoleh dari TB ekstraparu jarang memberikan hasil positif. Untuk kasus
yang hasil biakannya negatif atau kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen
maka diagnosis TB ekstraparu hanya dilakukan secara presumtif berdasarkan bukti klinis
yang kuat atau dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain.
Jumlah CD4 Regimen yang dianjurkan Regimen yang dianjurkan
(per mm3)
< 200 Mulai terapi TBC, Mulai ARV Dianjurkan ARV : EFV adalah
segera setelah tetapi TBC dapat kontraindikasi untuk ibu hamil atau
ditoleransi ( antara 2 minggu- 2 perempuan usia subur tanpa
bulan) Paduan yang mengandung kontrasepsi, sehingga EFV dapat
EFV. diganti.

200 -350 Mulai terapi TBC Pertimbangan ARV : Mulai salah


satu paduan di bawah ini setelah
fase intensif:
Paduan yang mengandung EFV

25
Paduan yang mengandung NVP
jika paduan TBC fase lanjutan
tidak menggunakan fifampisin.

<350 Mulai terapi TBC Tunda ARV


CD4 tidak Mulai terapi TBC Pertimbangkan ARV
memungkinkan
untuk diperiksa

2.8 Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis
Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan
berat badan, keletihan dan cacat.
2. Neurologik
Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency
Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan
motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social.
Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise,
demam, paralise, total / parsial. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi
sistemik, dan maranik endokarditis. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh
serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV)
3. Gastrointestinal
 Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi,
dan dehidrasi.
 Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik.
Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.

26
 Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal
dan siare.
4. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia,
keletihan, gagal nafas.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis,
reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi
skunder dan sepsis.
6. Sensorik
Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek
nyeri.
2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan keperawatan
Aspek Psikologis, meliputi :
1. Perawatan personal dan dihargai
2. Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalahmasalahnya
3. Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya
4. Tindak lanjut medis
5. Mengurangi penghalang untuk pengobatan
6. Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka
Aspek Sosial.
Seorang penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk dukungan dari
lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi 3 hal:
1. Emotional support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan diperhatikan
2. Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
3. Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu barang dalam mengatasi
suatu masalah. (Nursalam, 2007)

27
Dukungan sosial terutama dalam konteks hubungan yang akrab atau kualitas hubungan
perkawinan dan keluarga barangkali merupakan sumber dukungan sosial yang paling
penting. House (2006) membedakan empat jenis dimensi dukungan social :
a. Dukungan Emosional
Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap pasien dengan HIV
AIDS yang bersangkutan
b. Dukungan Penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat / penghargaan positif untuk orang lain itu, dorongan
maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan
positif orang itu dengan orang lain
c. Dukungan Instrumental
Mencakup bantuan langsung misalnya orang memberi pinjaman uang, kepada
penderita HIV AIDS yang membutuhkan untuk pengobatannya
d. Dukungan Informatif
Mencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana.
Penatalaksaan Medis
1. Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu (Endah
Istiqomah : 2009)
a. Pengendalian Infeksi
Opurtunistik Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk
mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan
bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien
AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
c. Terapi Antiviral

28
Baru Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan
menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya.
Obat-obat ini adalah :
 Didanosin
 Ribavirin
 Diedoxycytidine
 Recombinant CD 4 dapat larut
d. Vaksin dan Rekonstruksi
Virus Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon,
maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang
proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan
terapi AIDS.
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012) adalah
1. Tujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
a. Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan seluruh aspek
dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi HIV.
b. Mencapai dan mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh yang
diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass).
c. Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi.
d. Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan relaksasi. B
2. Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
a. Mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.
b. Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang terlihat pada: pasien
dapat membedakan antara gejala anoreksia, perasaan kenyang, perubahan indra
pengecap dan kesulitan menelan.
c. Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.
d. Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama jaringan otot).
e. Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang adekuat sesuai dengan
kemampuan makan dan jenis terapi yang diberikan.
3. Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:

29
a. Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor stres, aktivitas
fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13% untuk setiap
kenaikan Suhu 1°C.
b. Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti jaringan sel
tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada kelainan ginjal dan hati.
c. Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis lemak disesuaikan
dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi lemak, digunakan lemak dengan
ikatan rantai sedang (Medium Chain Triglyceride/MCT). Minyak ikan (asam lemak
omega 3) diberikan bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi kekebalan.
d. Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan Gizi yang di
anjurkan (AKG), terutama vitamin A, 25 B12, C, E, Folat, Kalsium, Magnesium,
Seng dan Selenium. Bila perlu dapat ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi
megadosis harus dihindari karena dapat menekan kekebalan tubuh.
e. Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
f. Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan gangguan fungsi
menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan bertahap dengan konsistensi
yang sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa cairan kental (thick fluid), semi kental
(semi thick fluid) dan cair (thin fluid).
g. Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti (natrium,
kalium dan klorida).
h. Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini sebaiknya
dilakukan dengan cara pendekatan perorangan, dengan melihat kondisi dan toleransi
pasien. Apabila terjadi penurunan berat badan yang cepat, maka dianjurkan
pemberian makanan melalui pipa atau sonde sebagai makanan utama atau makanan
selingan.
i. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering
j. Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara mekanik, termik, maupun
kimia.
4. Jenis Diet dan Indikasi Pemberian
Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah terkena infeksi HIV, yaitu kepada
pasien dengan: 26

30
a. Infeksi HIV positif tanpa gejala.
b. Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare, kesulitan menelan,
sariawan dan pembesaran kelenjar getah bening).
c. Infeksi HIV dengan gangguan saraf
d. Infeksi HIV dengan TBC.
e. Infeksi HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.
Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu secara oral,
enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan makanan secara oral sebaiknya dievaluasi
secara rutin. Bila tidak mencukupi, dianjurkan pemberian makanan enteral atau parental
sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.
Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, II dan III.
1. Diet AIDS
Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut, dengangejala panas tinggi,
sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare akut, kesadaran menurun, atau
segera setelah pasien dapat diberi makan.Makanan berupa cairan dan bubur susu,
diberikan selama beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien, dalam porsi kecil setiap 3
jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan diberikan dalam bentuk sonde atau dalam
bentuk kombinasi makanan cair dan makanan sonde. Makanan sonde dapat dibuat sendiri
atau menggunakan makanan enteral komersial energi dan protein tinggi. Makanan ini
cukup energi, zat besi, tiamin dan vitamin C. bila dibutuhkan lebih banyak energy dapat
ditambahkan glukosa polimer (misalnya polyjoule).
2. Diet AIDS II
Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap akut teratasi.
Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang setiap 3 jam. Makanan ini rendah
nilai gizinya dan membosankan. Untuk memenuhi kebutuhan energy dan zat gizinya,
diberikan makanan enteral atau sonde sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.
3. Diet AIDS III
Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau kepada pasien
dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan lunak atau biasa, diberikan dalam
porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi energy, protein, vitamin dan mineral. Apabila
kemampuan makan melalui mulut terbatas dan masih terjadi penurunan berat badan,

31
maka dianjurkan pemberian makanan sonde sebagai makanan tambahan atau makanan
utama. Pasien Hiv tidak boleh memakan makanan seperti :
a. Makanan yang dipanggang
b. Makanan yang mentah
c. Sayur – sayuran mentah
d. Kacang – kacangan

2.10 Asuhan Keperawatan HIV/AIDS


PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Pengkajian dilakukan pada pasien yang mengalami defisiensi pengetahuan / pasien


yang kurang pajanan informasi tentang infeksi oportunistik.Dengan kriteria pasien dewasa,
kesadarannya baik dan mampu menerima informasi yang disampaikan oleh penyaji.
1. Anamnese
Identitas Klien Pada penderita HIV/AIDS laki – laki merupakan prevalensi
terbanyak yang menderita HIV/AIDS baik dengan infeksi oportunistik maupun tidak
(Depkes, 2014). Sebagian besar kasus AIDS terjadi pada usia yang termasuk kelompok
usia produktif, yaitu pada kelompok umur 20 – 49 tahun (Desmawati, 2013).
2. Keluhan Utama
Pasien mengatakan belum mendapatkan informasi yang spesifik tentang nfeksi
oportunistik (Desmawati, 2013).
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Yang mungkin dikeluhkan pasien HIV/AIDS biasanya sesak nafas (dispnea) bagi
pasien yang memiliki manifestasi respiratori, batuk – batuk, nyeri dada, dan demam,
pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat badan.
4. Riwayat Penyakit
Dahulu Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya
riwayat penggunaan narkoba suntik, hubungan seks bebas atau berhubungan seks dengan
penderita HIV/AIDS terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya pada pasien HIV/AIDS adanya anggota keluarga yang menderita penyakit
HIV/AIDS.Kemungkinan dengan adanya orang tua yang terinfeksi HIV.Pengkajian lebih

32
lanjut juga dilakukan pada riwayat pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja ditempat
hiburan malam, bekerja sebagai PSK (pekerja seks komersial).
6. Riwayat Psikososial
1) Persepsi Dan Harapan Klien Terhadap Masalahnya
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS akan mengatakan bahwah penyakitnya
merupakan masalah yang mengkhawatirkan, membuat klien merasa takut, apalagi
pasien tidak mengetahui bahayanya dari infeksi oportunistik, namun pasien tetap
berharap atas kesembuhannya.
2) Persepsi Dan Harapan Keluarga Terhadap Maslah Klien
Keluarga menginginkan kesembuhan pasien mengatakan bahwah ingin sekali
klien cepat sembuh sehingga bisa berkumpul dirumah.
3) Pola Interaksi Dan Komunikasi
Biasanya penderita HIV/AIDS tetap berbicara dan berinteraksi denga baik,
kepada keluarga maupun kepada perawat.
4) Pola Pertahanan
Biasanya pasien HIV/AIDS tidak langsung membicarakan penyakitnya dengan
keluarga
5) Pola Nilai Dan Kepercayaan
Agama dari pasien dan kebiasaan pasien dalam beribadah.
6) Pengkajian Konsep Diri
a. Gambaran diri : gambaran penyakit yang sedang dialami oleh pasien
b. Ideal diri : biasanya pasien mengatakan ingin segera sembuh dari penyakitnya
c. Harga diri : biasanya pasien takut jika penyakitnya tidak kubjung sembuh
d. Peran diri : peran pasien dalam keluarga misalnya pasien adalah seorang ayah
yang memiliki 2 anak
Pola Aktivitas Sehari – Hari (ADL)
1) Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu makan, mual,
muntah, nyeri menelan, dan juga pasien mengalami penurunan berat badan yang drastic
dalam jangka waktu singkat (>10 %).
2) Pola Elminasi

33
Biasanya pasien mengalami diare, feses encer, disertai mucus berdarah.
3) Pola Istirahat
Tidur Pasien HIV/AIDS biasanya mengalami gangguang pola istirahat tidur,
terdapat gejala demam keringat malam yang berulang.Pasien juga merasa cemas dan
depresi akbat penyakit.
4) Pola Aktivitas
Biasanya pada pasien HIV/AIDS mengalami perubahan pada pola aktivitasnya,
tidak dapat melakukan aktivitas dkarenakan menarik diri di lingkungan kerja, bisa juga
karena depresi atau kondisi tubuh yang lemah.
5) Personal Hygiene
Pada pasien dengan HIV/AIDS akan mengalami perubahan/gangguan pada
personal hygiene, misalnya kebersihan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK
diakibatkan kondisi tubuh yang lemah, pasien kesulitan melakukan kegiatan dan
dibantu oleh keluarga atau perawat.
Pemeriksaan Fisik
1) Gambaran Umum : ditemukan pasien tampak lemah
2) Kesadaran : composmetis kooperatif, sampai terjadi penurunan kesadaran, apatis,
somnolen, stupor bahkan koma.
3) Vital Sign
a. TD : biasanya ditemukan dalam batas normal
b. Nadi : frekuansi nadi meningkat
c. Pernapasan : frekuensi pernapasan meningkat
d. Suhu : suhu biasanya meningkat karena demam
4) Kepala
a. Inspeksi : Biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis seboreika.
b. Palpasi : terdapat nyeri tekan
5) Muka
a. Inspeksi : simetris, tidak sembab/oedema, kulitnya kering,
b. Palpasi : tidak ada benjolan, biasanya terdapat nyeri tekan
6) Mata

34
a. Inspeksi : Biasanya konjungtifa anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor, reflek
pupil terganggu, cytomegalovirus (CMV) restinitis termasuk komplikasi AIDS,
floaters, penglihatan kabur atau kehilangan penglhatan.
b. Palpasi : tidak terdapat odema palpebra, tidak ada nyeri tekan
7) Hidung
a. Inspeksi : simetris, Biasanya ditemukan adanya pernapasan cuping hidung, tidak
ada secret, tidak ada polip, terdapat alat bantu pernapasan
b. Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada defisiasi septumnasi
8) Gigi dan Mulut
a. Inspeki : mukosa bibir kering, Biasanya dtemukan ulserasi dan adanya bercak –
bercak putih seperti krim yang menunjukan kandidiasis, infeksi jamur, tidak ada
karies.
9) Telinga
a. Inspeksi : Kehilangan pendengaran, nyeri akibat mielopati, meningitis,
sitomegalovirus dan reaksi – reaksi otot (Bararah & Jauhar, 2013, p. 303)
b. Palpasi : tvdak ada nyeri tekan dan benjolan abnormal
10) Leher
a. Inspeksi : Kaku kuduk (penyebab kelainan neurologic karena nfeksi jamur
criptococus neofarmns), pembesaran kelenjar getah bening (lmfadenopati),
Gallan, 2010,
b. Palpasi : terdapat pembesran klenjar linfe, tidak ada bendungan vena juguralis,
terdapat pembesaran kenlenjar tiroid.
11) Jantung
a. Inspeksi : pulsai ictus cordis tidak tampak, Biasanya terjadi hipotensi, edema
perifer (wijayanngsih, 2013, hal 248)
b. Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba di ICS V midclavikula sinistra Auskultasi : BJ
1 dan BJ 2 terdengar tunggal, tidak ada suara tambahan seperti murmur dan gallop
( BJ 1 katup mtral dan 37 katup trikuspidalis / MITRI ics V), (BJ 2 katup aorta
dan pulmonal / APU ics ll ) Perkusi : pekak ics 3 – 5 sinistra l
12) Paru – Paru
a. Inspeksi : inspirasi dan ekspirasi sama

35
b. Palpasi : biasanya vocal premitus getaran dextra dan sinistra itu berbeda
c. Auskultasi : terdapat suara tambahan seperti ronchi pada pasien yang HIV dengan
TB yang mengalami sumbatan jalan napas.
d. Perkusi : resonan dseluruh lapang paru
13) Abdomen
a. Inspeksi : Pemeriksaan abdomen mungkin menunjukan hati yang membesar
(hepatomegali) atau pembesaran limpa (splenomegali). Kondisi ini dapat
disebabkan oleh infeksi baru atau mungkin menunjukan kanker.
b. Auskultasi : bising usus 6 – 8 x/mnt Perkusi : tympani / hypertympani (kembung /
terdapat gas)
c. Palpasi : hati teraba, nyeri tekan pada abdomen (Muttaqin & Sari, 2011, p.491)
14) Kulit
a. Inspeksi : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda – tanda lesi
(lesi sarcoma kaposi), terdapat herpes, dermatitis seboroik, terdapat bercak –
bercak gatal di seluruh tubuh (Katiandagho, 2015, hal. 30) Palpasi : CRT >2 detik
15) Ekstremitas
a. Inspeksi : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus otot menurun, pergerakan
tangan lemah.
b. Perkusi : reflek bisep, trisep, brachoradialis.
c. Palpasi : akral dingin, terdapat nyeri otot ekstremitas (Muttaqin,2011, hal 249)
DIAGNOSE KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan berdasarkan SDKI 2018 yang mungkin muncul pada pasien
gagal HIV/AIDS adalah sebagai berikut:
1. Defisiensi pengetahuan infeksi berhubungan dengan kurangnya pajanan nformasi
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan

36
INTERVENSI KEPERAWATAN
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) mendefinisikan intervensi
keperawatan adalah segala treatment yang 39 dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada
pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (Outcome) yang diharapkan (Tim
Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).

TUJUAN DAN
NO DX. KEPERAWATAN INTERVENSI
KRITERIA HASIL
1. Defisit pengetahuan SLKI : SIKI :
Definisi : ketiadaan atau Defisit pengetahuan Manajemen pencegahan infeksi
kurangnya informasi dapat teratasi dengan Observasi
kognitif yang berkaitan kriteria hasil : 1. Periksa kesiapan dan
dengan topik tertentu 1. Kemampuan kemampuan menerima
menjelaskan informasi
pengetahuan tentang Terapeutik
infeksi meningkat 1. Siapkan materi, media,
2. Prilaku sesuai tentang faktor – faktor
anjuran meningkat penyebab, cara identifikasi
3. Verbalisasi kemauan dan pencegahan infeksi di
mematuhi program rumah sakit ,maupun di
edukasi meningkat rumah
2. Jadwalkan waktu yang tepat
untuk memberikan
pendidikan kesehatan sesuai
dengan keadaan pasien dan
keluarga
3. Berikan kesempatan untuk
bertanya
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi lokal dan sistemik
2. Informasikan hasil
pemeriksaan laboratorium
(mis, leukosit, WBC)
3. Anjurkan mengikuti
tindakan pencegahan sesuai
kondisi
4. Anjurkan membatasi
pengunjung
5. Ajarkan cara merawat kulit
pada area yang edema

37
6. Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka atau luka
operasi
7. Anjurkan kecukupan
nutrisi, cairan, dan istirahat
8. Anjurkan kecukupan
mobilisasi dan olahraga
sesuai kebutuhan
9. Anjurkan mengelola
antibiotik sesuai resep
10. Ajarkan cara mencuci
tangan
11. Ajarkan etika batuk
Health education atau mengajarkan pencegahan HIV/AIDS dankepatuhan dalam
minum obat antiretroviralyang terpogram merupakan salah satu elemen yang sangat penting
dalam pengobatan pasien HIV/AIDS dan diperlukan untuk meningkatkan status kesehatan
pasien dengan memberikan pengetahuan kepada pasien tentang pencegahan HIV/AIDS,
penerapan dan kepatuhan minum obat serta pola hidup sehat untuk mengoptimalkan kontrol
penyakit, mencegah infeksi oportunistik, dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan
HIV/AIDS. Berdasarkan penelitian Barreto dkk (2013), menunjukan bahwa edukasi efektif
meningkatkan kepatuhan dalam minum obat antiretroviral. Peneitian Torrez (2017) juga
mengatakan bahwa edukasi antiretroviral dan pola hidup sehat mampumeningkatkan
pengetahuan pasien dalam mencegah infeksi oportunistik.

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana
keperawatan dilaksanakan : melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah ditentukan, pada
tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam
rencana perawatan klien. Agar implementasi perencanaan dapat tepat waktu dan efektif
terhadap biaya, pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan klien, kemudian
bila perawatan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respons pasien terhadap setiap
intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan kesehatan
lainnya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat mengevaluasi dan merevisi rencana
perawatan dalam tahap proses keperawatan berikitnya.

38
EVALUASI KEPERAWATAN
Tahap evaluasi menentukan kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil yang
diinginkan dan respons pasien terhadap dan keefektifan intervensi keperawatan kemudian
mengganti rencana perawatan jika diperlukan. Tahap akhir dari proses keperawatan perawat
mengevaluasi kemampuan pasien ke arah pencapaian hasil.

39
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konsep asuhan keperawtan HIV AIDS seperti pengertian, anatomi dan fisiologi,
etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi dan WOC, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan dan komplikasi dapat dipahami dengan baik oleh penulis.HIV (Human
Immunodeficiency Virus) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh dengan menginfeksi
dan menghancurkan sel CD4. Jika makin banyak sel CD4 yang hancur, daya tahan tubuh akan
makin melemah sehingga rentan diserang berbagai penyakit.Infeksi virus HIV umumnya
memakan waktu sekitar 2-15 tahun hingga menimbulkan gejala. Infeksi virus ini memang
tidak akan langsung merusak organ tubuh.Namun, virus tersebut perlahan menyerang sistem
kekebalan tubuh dan melemahkannya secara bertahap sampai kemudian tubuh Anda menjadi
rentan diserang penyakit, terutama infeksi. Jika infeksi virus HIV dibiarkan berkembang,
kondi si ini bisa berubah semakin parah menjadi AIDS.

40
DAFTAR PUSTAKA
https://www.alodokter.com/hiv-aids

https://pdfcoffee.com/qdownload/329697421-konsep-anatomi-fisiologi-hiv-pdf-free.html

https://toaz.info/doc-viewer

http://repo.stikesperintis.ac.id/126/1/05%20FERDY%20SAPUTRA.pdf

https://www.alodokter.com/tuberkulosis/gejala

Fishman, dkk, 2008. Fishman’s Pulmonary Disease and Disorder. Fourth Edition, United
States of America, The McGraw-Hill Companies. Page

2447-2499. Gunaseelan, Rethina, 2010. Karakteristik Pasien HIV dengan Tuberkulosis di


RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2008-2010. Skripsi, Universitas
Sumatera Utara, Medan

Hasibuan, M Lutfi, 2014. Gambaran Prevalensi Faktor Risiko Penyebaran HIV/AIDS di


RSUP H Adam Malik Medan Tahun 2012-2013. Skripsi, Universitas Sumatera
Utara, Medan

Kemenkes RI, 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1278/Menkes/SK XII/2009

Nursalam, M.Nurs (Hons) dan Nunik Dian Kurniawati, S.Kep.Ns . 2007. Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi . Jakarta : Salemba Medika.

SUMBER : http://pphipkabi.org

41

Anda mungkin juga menyukai