Anda di halaman 1dari 18

INTERVENSI PADA ATLET DIFABEL

Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Psikologi Paraatletik

Dosen Pengampu: RR. Dwi Astuti, S. Psi., M. Psi., Psikolog

Disusun oleh:

Aniar Novianti (201960041)


Farah Salsabila (201960062)
Febiyani Setya Pramesti (201960078)
Shania Salsa Sabila (201960108)
Destian Zakiyah (201960109)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2022
A. IDENTITAS
Nama : A.B.N.A.
Usia : 12 Tahun
Kelas : VII
Sekolah : SLB N Cendono

B. IDENTIFIKASI MASALAH
Adapun kendala yang dialami oleh subjek selama dirinya menjadi atlet tolak
peluru antara lain yaitu, subjek tidak mau didampingi oleh pelatih lain selain guru
olahraganya sendiri. Jangka waktu yang singkat antara waktu latihan dengan waktu
pertandingan membuat subjek merasa cemas dan sedikit ada tekanan tersendiri, akan
tetapi orang tua dan guru selalu mendampinginya dan memberikan dukungan
untuknya, hal tersebutlah yang membuat semangatnya muncul kembali.

C. TEORI
1. Tuna Rungu
Definisi dan Klasifikasi Tunarungu
Istilah tunarungu digunakan untuk orang yang mengalami gangguan atau
ketidakmampuan dalam hal pendengaran, mulai dari tingkatan yang ringan
sampai yang berat sekali yang diklasifikasikan ke dalam tuli (deaf) dan kurang
dengar (Hard of hearing). Orang yang tuli adalah orang yang mengalami
kehilangan pendengaran (lebih dari 70 dB) yang mengakibatkan kesulitan dalam
memproses informasi bahasa melalui pendengarannya sehingga ia tidak dapat
memahami pembicaraan orang lain baik dengan memakai maupun tidak memakai
alat bantu dengar. Hallahan & Kauffman (2006), mengemukakan bahwa orang
yang tuli (a deaf person) adalah orang yang mengalami ketidakmampuan
mendengar, sehingga mengalami hambatan dalam memproses informasi bahasa
melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar
(hearing aid). Istilah tunarungu secara etimologi dari kata “tuna” dan “rungu”,
tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan tunarungu
apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Apabila
dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada
umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah diketahui bahwa mereka tunarungu
(Murni Winarsih, 2010). Menurut F Moress (dalam Murni Winarsih, 2010)
tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar
dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar.
Orang tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat
proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak
memakai alat bantu dengar dimana batas pendengaran yang dimilikinya cukup
memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran.
Secara umum terdapat beberapa pengertian tentang tuna rungu, hal ini
berdasarkan pandangan dan kepentingan masing-masing. Menurut Unesco (2009)
tunarungu adalah istilah yang umum digunakan untuk menggambarkan keadaan
dimana seorang individu kehilangan fungsi pendengaran sepenuhnya atau
sebagian. Selanjutnya Suparno (2001) tuna rungu suatu istilah yang menunjukan
pada kondisi tidak berfungsinya organ pendengaran secara normal.
Ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran, ketunarunguan dapat
diklasifikasikan antara lain : tunarungu ringan (Mild Hearing Loss),
tunarungu sedang (Moderate Hearing Loss), tunarungu agak berat
(Moderately Severe Hearing Loss), tunarungu berat (Severe Hearing Loss),
tunarungu berat sekali (Profound Hearing Loss).
2. Berdasarkan saat terjadinya, ketunarunguan dapat diklasifikasikan menjadi 2
yaitu: ketunarunguan prabahasa (Prelingual Deafness) dan ketunarunguan
pasca bahasa (Post Lingual Deafness)
3. Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis, ketunarunguan
dapat diklasifikasikan antara lain: tunarungu tipe konduktif
(kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar, tengah, dan dalam),
tunarungu tipe sensorineural (kerusakan yang terjadi pada saraf pendengaran)
4. Berdasarkan etimologi atau asal usulnya ketunarunguan diklasifikasikan
menjadi: tunarungu endogen dan tunarungu eksogen.
Karakteristik dan Identifikasi Tunarungu
Karakteristik anak tunarungu dari segi fisik tidak memiliki karakteristik yang
khas, karena secara fisik anak tunarungu tidak mengalami gangguan yang terlihat.
Sebagai dampak ketunarunguannya, anak tunarungu memiliki karakteristik yang
khas dari segi yang berbeda. Karakteristik ketunarunguan dilihat dari segi:
intelegensi, bahasa dan bicara, emosi, dan sosial.
1. Karakteristik anak tunarungu dalam aspek inteligensi/akademik
Pada umumnya anak tunarungu memiliki intelegensi normal dan rata-rata,
namun prestasi anak tunarungu seringkali lebih rendah daripada prestasi
anak normal karena dipengaruhi oleh kemampuan dalam menangkap
pelajaran secara verbal. Pada pelajaran yang tidak diverbalkan, anak
tunarungu memiliki perkembangan yang sama cepatnya dengan anak
normal.
2. Karakteristik anak tunarungu dalam aspek sosial emosional
Pergaulan terbatas dengan sesama tunarungu sebagai akibat dari
keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi, sifat ego-sentris yang
melebihi anak normal, yang ditunjukkan dengan sukarnya mereka
menempatkan diri pada situasi berpikir dan perasaan orang lain, sukarnya
menyesuaikan diri, serta tindakannya lebih terpusat pada “aku/ego”,
sehingga kalau ada keinginan, harus selalu dipenuhi, tergantung pada orang
lain serta kurang percaya diri, perhatian anak tunarungu sukar dialihkan,
apabila ia sudah menyenangi suatu benda atau pekerjaan tertentu, cepat
marah dan mudah tersinggung sebagai akibat seringnya mengalami
kekecewaan karena sulitnya menyampaikan perasaan/keinginannya secara
lisan maupun dalam memahami pembicaraan orang lain.
3. Karakteristik dari segi bahasa dan bicara
Kemampuan anak tunarungu dalam berbahasa dan berbicara berbeda
dengan anak normal pada umumnya karena kemampuan tersebut sangat erat
kaitannya dengan kemampuan mendengar. Karena anak tunarungu tidak
bisa mendengar bahasa, maka anak tunarungu mengalami hambatan dalam
berkomunikasi.
Menurut Telford dan Sawrey (1981, dalam Mangunsong 2009), ketunarunguan
tampak dari simtom-simtom seperti : ketidakmampuan memusatkan perhatian yang
sifatnya kronis, kegagalan berespons apabila diajak berbicara, terlambat berbicara atau
melakukan kesalahan artikulasi, mengalami keterbelakangan di sekolah. Beberapa
karakteristik dan simtom-simtom tersebut diatas dapat diobservasi dalam proses
identifikasi. Pemeriksaan medis misalnya dengan Tes BERA (Brainstem Evoked
Response Audiometry) yang dilakukan oleh dokter juga perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosa adanya gangguan pendengaran.
2. Kecemasan
Definisi Kecemasan
Kaplan, Sadock dan dan Grebb (dalam Hayat, 2014) menyatakan bahwa
kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan
hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan pengalaman baru atau
yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup.
Pada kadar yang rendah, kecemasan membantu individu untuk bersiaga mengambil
langkah-langkah mencegah bahaya dan atau untuk memperkecil dampak bahaya
tersebut. Kecemasan sampai pada taraf tertentu dapat mendorong meningkatnya
performa dan produktifitas.
Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang
mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi (Nevid,dkk 2005).
Banyak hal yang harus dicemaskan, misalnya kesehatan, relasi sosial, ujian, karir,
kondisi lingkungan dan sebagaianya. Adalah normal, bahkan adaptif, untuk sedikit
cemas mengenai aspek-aspek hidup tersebut. Kecemasan bermanfaat bila hal tersebut
mendorong untuk melakukan pemeriksaan medis secara reguler atau memotivasi
untuk belajar menjelang ujian. Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap
ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai
dengan proporsi ancaman, atau sepertinya datang tanpa ada penyebabnya – yaitu bila
bukan merupakan respon terhadap perubahan lingkungan (Nevid, dkk 2005).
Ciri-ciri Kecemasan
Berikut ini dijelaskan ciri-ciri kecemasan (Nevid, dkk 2005):
1. Ciri – ciri fisik kecemasan
a. Kegelisahan, kegugupan
b. Tangan atau anggota tubuh bergetar
c. Banyak berkeringat
d. Telapak tangan berkeringat
e. Pening
f. Mulut atau kerongkongan terasa kering
g. Sulit berbicara
h. Sulit bernapas
i. Bernapas pendek
j. Jantung berdebar keras atau berdetak kencang
k. Suara yang bergetar
l. Jari-jari atau anggota tubuh menjadi dingin
m. Leher atau punggung terasa kaku
n. Sensasi seperti tercekik atau tertahan
o. Sakit perut atau mual
p. Sering buang air kecil
q. Wajah terasa memerah
r. Diare
2. Ciri – ciri Behavioral (perilaku) kecemasan
a. Perilaku menghindar
b. Perilaku melekat dan dependen
c. Perilaku terguncang
3. Ciri – ciri Kognitif dari kecemasan
a. Khawatir tentang sesuatu
b. Perasaan terganggu akan ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu yang
terjadi di masa depan
c. Keyakinan bahwa sesuatu yang buruk atau mengerikan akan segera terjadi,
tanpa ada penjelasan yang jelas
d. Terpaku pada sensasi tubuh
e. Sangat sensitif terhadap sensasi tubuh
f. Merasa terancam oleh orang atau peristiwa
g. Ketakutan akan kehilangan kontrol
h. Ketakutan akan ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah
i. Berpikir bahwa dunia akan runtuh
j. Berpikir bahwa semuanya sudah tidak bisa dikendalikan
k. Berpikir bahwa semuanya sangat membingungkan tanpa bisa diatasi
l. Khawatir terhadap hal sepele
m. Berpikir tentang hal yang mengganggu yang sama secara berulangulang
n. Pikiran terasa campur aduk
o. Tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran negatif
p. Berpikir akan segera mati
q. Khawatir akan ditinggalkan sendiri
r. Sulit berkonsentrasi atau memusatkan perhatian
Perspektif Teori
● Teori Psikoanalisis
Freud menyatakan bahwa phobia merupakan pertahanan terhadap
kecemasan yang disebabkan oleh impuls id yang ditekan. Kecemasan ini
dialihkan dari impuls id yang ditakuti yang ditakuti dan dipindahkan ke objek
atau situasi yang memiliki koneksi simbolik dengannya. Fobia adalah cara ego
untuk menghindari konfrontasi dengan masalah sebenarnya, yaitu konflik masa
kecil yang ditekan (Nevid, dkk 2005).
● Teori Behavioral
Teori behavioral berfokus pada pembelajaran sebagai cara
berkembangnya fobia. Beberapa tipe dalam pembelajaran mungkin berperan
dalam berkembangnya fobia dalam diri individu. Avoidance Conditioning
menjelaskan fobia dalam perspektif behavioral adalah reaksi atau respon
avoidance yang telah dipelajari oleh individu. Salah satu demontrasi yang
dilakukan oleh Watson dan Rayner (Dalam Davison, dkk, 2014) mengenai
pengondisian terhadap suatu rasa takut atau fobia. Formulasi avoidance
conditioning dilandasi oleh dua faktor yang diajukan oleh Mcwrer (Dalam
Davison, dkk, 2004) yang menyatakan bahwa fobia berkembang dari dua
rangkaian pembelajaran yang saling berkaitan.
1) Melalui classical conditioning, seseorang dapat belajar untuk takut
pada suatu stimulus netral (CS) jika stimulus tersebut dipasangkan dengan
kejadian yang secara instrinsik menyakitkan atau menakutkan (UCS).
2) Seseorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang dikondisikan
tersebut dengan melarikan diri atau menghindari CS. Jenis pembelajaran yang
kedua ini diasumsikan sebagai operant conditioning, respons dipertahankan
oleh konsekuensi mengurangi ketakutan yang menguatkan.

3. Butterfly Hug
Metode EMDR (Eye movement desensitization and reprocessing) adalah
teknik psikoterapi interaktif yang digunakan untuk meredakan stres psikologis. Ini
adalah pengobatan yang efektif untuk trauma dan gangguan stres pasca-trauma
(PTSD). Teknik ini diyakini mampu mengurangi dampak ingatan atau pikiran
terhadap trauma. Therapy Butterfly Hug (BH) untuk self-administered bilateral
stimulation (BLS) dicetuskan oleh Lucina (Lucy) Artigas selama bekerja dengan
korban Badai Pauline di Acapulco, Meksiko, 1998. Pada tahun 2000, Lucy
menerima EMDR International Association (EMDRIA) Penghargaan Inovasi
Kreatif Untuk Buttefly Hugnya.
Metode Butterfly Hug digunakan dalam versi tatap muka dan online dari
EMDR Integrative Group Treatment Protocol (EMDR-IGTP), EMDR-Integrative
Group Treatment Protocol for Ongoing Traumatic Stress (EMDR-IGTP-OTS),
EMDR Therapy Protocol untuk Insiden Kritis terbaru dan Stres Trauma yang
Berkelanjutan (EMDR-PLECI), dan Prosedur ASSYST, untuk memproses ulang
materi yang mengganggu / traumatis. EMDR-IGTP, EMDR-IGTP-OTS, dan
EMDR-PLECI dengan metode BH sebagai BLS telah menjadi praktik standar
bagi para klinisi EMDR di lapangan saat bekerja dengan para penyintas bencana
alam dan buatan manusia atau dengan populasi yang hidup baru-baru ini,
sekarang, atau pengalaman buruk yang berkepanjangan di masa lalu (misalnya,
stres traumatis yang sedang berlangsung atau berkepanjangan).
Instruksi untuk Metode Pelukan Kupu-Kupu
Mengatakan,
“Tolong perhatikan saya dan lakukan apa yang saya lakukan. Silangkan tangan
di depan dada, sehingga ujung jari tengah dari masing-masing tangan diletakkan
di bawah klavikula atau tulang selangka dan jari-jari dan tangan lainnya
menutupi area yang terletak di bawah sambungan antara tulang selangka dengan
bahu dan tulang selangka dan tulang dada atau tulang dada. Tangan dan jari-
jari harus setegak mungkin sehingga jari-jari menunjuk ke arah leher dan bukan
ke arah lengan".
"Mata Anda bisa tertutup, atau tertutup sebagian, melihat ke arah ujung hidung
Anda. Selanjutnya, bergantian gerakan tangan, seperti kepakan sayap kupu-kupu.
Biarkan tangan Anda bergerak bebas. Anda bisa bernafas perlahan dan dalam
(pernapasan perut), saat Anda mengamati apa yang terjadi melalui pikiran dan
tubuh Anda seperti pikiran, gambar, suara, bau, perasaan, dan sensasi fisik
tanpa mengubah, menyingkirkan pikiran Anda, atau menilai. Anda bisa berpura-
pura seolah-olah apa yang Anda amati seperti awan yang lewat. Berhenti ketika
Anda Rasakan bahwa itu sudah cukup dan turunkan tangan".
Kegunaan Metode Butterfly Hug.
Selama Protokol Standar Terapi EMDR, dokter telah menggunakan BH
dengan anak-anak, remaja, dan orang dewasa untuk memproses ulang ingatan
patogen mereka. Alih-alih dokter yang bertanggung jawab atas stimulasi bilateral,
klien diminta untuk melakukan Pelukan Kupu-kupu selama Fase Pemrosesan
Ulang (4 hingga 6 kali) sampai klien merasa cukup. Diperkirakan bahwa kontrol
yang diperoleh klien atas stimulasi bilateral mereka dapat menjadi faktor
pemberdayaan yang membantu retensi rasa aman mereka saat memproses ingatan
patogen. Dokter EMDR melaporkan bahwa mereka telah menggunakan Pelukan
Kupu-kupu. Selama EMDR-IGTP, EMDR-IGTP-OTS, dan ASSYST for Groups,
Butterfly Hug digunakan untuk bekerja dengan kelompok kecil (3-10; misalnya,
keluarga) atau besar (11-100) anak-anak, remaja, dan orang dewasa untuk
memproses ulang peristiwa traumatis. Selama proses ini, peserta berada di bawah
pengawasan ketat terapis EMDR yang membentuk Tim Perlindungan Emosional.
Dengan anak-anak Palestina dari kota kamp pengungsi di Betlehem, metode
EMDR-IGTP dengan Butterfly Hug sebagai BLS muncul untuk menumbuhkan
ketahanan bagi anak-anak yang terkena trauma perang yang sedang berlangsung.
Dr Francine Shapiro menyebutkan: "Pelukan Kupu-Kupu telah berhasil
digunakan untuk mengobati kelompok anak-anak yang trauma di Meksiko,
Nikaragua, dan di kamp-kamp pengungsi Kosovar". Untuk memperkuat Tempat
Aman/Tenang Mengatakan, “sekarang tolong tutup mata Anda dan gunakan
imajinasi Anda untuk pergi ke tempat di mana Anda merasa aman atau tenang.
Gambar, warna, suara, dan sebagainya apa yang Anda lihat di tempat aman
Anda?” Setelah menjawab, katakan, “Harap lakukan Pelukan Kupu-Kupu Hanya
6 sampai 8 kali saat Anda berkonsentrasi pada tempat yang aman/tenang Anda."
Lakukan BH hanya 6 sampai 8 kali untuk mencegah membebani memori kerja
dan mengurangi kejelasan negatif dari gambar dan emosi/sensasi tubuh. Setelah
pasien/klien (anak-anak, remaja atau orang dewasa) telah mempelajari Pelukan
Kupu-kupu, mereka dapat diinstruksikan untuk membawa metode ini bersama
mereka untuk digunakan di antara sesi, untuk menghilangkan kepekaan
emosi/perasaan dan/atau sensasi fisik yang sangat mengganggu saat ini. Teknik
menenangkan tidak bekerja cukup cepat.
Untuk mengaitkan pengaruh positif, kognisi, dan sensasi fisik yang terkait
dengan sumber daya dari salah satu Protokol Pengembangan Sumber Daya atau
teknik Imajinasi Terpandu. Lakukan BH hanya 6 sampai 8 kali. Guru di sekolah
Guatemala untuk anak korban kekerasan orang tua memberi tahu anak-anak
bahwa mereka dapat merasakan kasih Tuhan melalui Pelukan Kupu-Kupu. Untuk
Laub dan Bar-Sade, Pelukan Kupu-Kupu menjadi isyarat keterikatan karena
terhubung dengan sentuhan lembut ibu atau ayah atau pelukan penuh kasih yang
baik.
Manfaat Melakukan Butterfly Hug
Teknik ini dapat membuat pikiran menjadi tenang dan tubuh menjadi rileks,
sehingga rasa cemas dan khawatir bisa berangsur-angsur mereda, begitu juga
dengan gejala-gejala gangguan kecemasan lainnya. Butterfly hug juga diketahui
mampu mengatasi kecemasan pada seseorang yang mengalami PTSD atau
gangguan stres pascatrauma ketika ingatan terhadap peristiwa traumatis hadir
dalam pikirannya dan menyebabkan ia tertekan secara emosional. Teknik ini juga
diketahui efektif untuk meredakan gejala PTSD pada anak yang menderita
kanker.
Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa teknik butterfly hug yang
diterapkan secara rutin dapat membuat anak yang tadinya kurang mampu
memahami dan mengendalikan emosinya menjadi lebih piawai dalam memahami
emosi diri sendiri dan temannya, menoleransi dan menolong orang lain, serta
bekerja sama. Butterfly hug atau pelukan kupu-kupu merupakan bentuk stimulasi
mandiri untuk meredam rasa cemas dan membuat diri menjadi lebih tenang.
Pelukan kupu-kupu merupakan metode intervensi terapeutik yang dapat dilakukan
sendiri untuk membantu seseorang agar ia lebih rileks. Metode ini memproses
materi traumatis sehingga orang yang melakukannya bisa merasa lebih tenang.

D. RANCANGAN INTERVENSI
Sebelum dilakukan intervensi secara langsung, peneliti merancang apa saja
yang harus dilakukan guna memperlancar kegiatan. Adapun isi rancangan kegiatan
tersebut adalah :
1. Membuat surat izin kepada pihak sekolah untuk mendapatkan pendampingan
dan pengarahan selama kegiatan berlangsung.
2. Membuat informent consent untuk ditandatangani orang tua subjek, guna
persetujuan intervensi.
3. Berkunjung ke rumah subjek untuk menggali informasi yang dibutuhkan untuk
intervensi.
4. Melakukan observasi dan wawancara secara langsung kepada subjek dan
orang tua subjek.
5. Menjelaskan kepada orang tua terkait kegiatan yang akan dilakukan, tujuan,
dan manfaatnya kepada subjek.
6. Menyusun rancangan intervensi yang cocok untuk subjek setelah dilakukan
observasi dan wawancara.
7. Menetapkan rancangan intervensi yang akan digunakan.
8. Menjelaskan tentang intervensi yang akan dilakukan, beserta manfaat dan
tujuannya untuk subjek.
9. Melaksanakan treatment secara bersama sama pada intervensi yang sudah
ditetapkan.
10. Mengevaluasi kegiatan yang sudah dilaksanakan
11. Memberi saran serta pesan kepada orang tua subjek, supaya bekal ilmu yang
telah disampaikan akan bermanfaat seterusnya.
E. PELAKSANAAN INTERVENSI
Tanggal 14 Juni 2022, para peneliti mengurus surat pelaksanaan kunjungan pada SLB
Cendono di fakultas. Dilanjut peneliti mengunjungi SLB Cendono untuk mencari subjek para
atlet yang ada di sekolah tersebut. Hasil dari kunjungan tersebut, peneliti mendapatkan subjek
para atlet yang berkecimpung dalam olahraga tolak peluru. Ia pernah memenangkan
penjuaraan tingkat provinsi namun belum bisa lanjut pada tingkat nasional. Pada hari itu
dihabiskan untuk mencari informasi mengenai atlet tersebut dari guru olahraganya yang
bernama Pak Sutarjo. Pak Sutarjo menyatakan bahwa besok para peneliti bisa kembali ke
sekolah untuk bertemu atlet tersebut dikarenakan besok atlet tersebut diutus untuk berangkat
ke sekolah untuk menemui peneliti.
Di hari berikutnya yaitu di tanggal 15 Juni 2022, peneliti kembali mengunjungi SLB
Cendana untuk bertemu atlet tersebut pada pukul 08.00 WIB. Setelah menunggu cukup lama,
Pak Sutarjo menyatakan bahwa atlet yang bernama Amel yang akan diteliti oleh peneliti tidak
mau masuk sekolah. Lalu Pak Sutarjo menghubungi orang tua Amel untuk perizinan
kunjungan ke rumah subjek. Karena tidak ada jawaban dari orang tua subjek, tim peneliti
diizinkan untuk langsung ke rumah subjek dan nantinya Pak Sutarjo akan menghubungi pihak
orang tuanya kembali. Kurang lebih pukul 11.00 WIB, peneliti sudah sampai pada rumah
subjek yang telah diberikan oleh Pak Sutarjo. Disana tim peneliti bertemu dengan orang tua
subjek dan mengobrol dengan ibu dari subjek. Subjek yang akan diteliti tidak mau untuk
bertemu dengan peneliti karena belum terbiasa dan merasa asing. Namun tidak lama dari itu,
Pak Sutarjo datang dan mengajak subjek untuk duduk bersama dengan tim peneliti. Subjek
tidak berbicara apapun dan merespon apapun yang dikatakan oleh tim peneliti. Hal tersebut
dimanfaatkan oleh peneliti untuk menggali informasi terkait subjek langsung dari orang
tuanya. Dibantu oleh Pak Sutarjo untuk mengumpulkan informasi, akhirnya tim peneliti
mendapatkan hasil observasi dari ibu subjek dan guru subjek. Tujuan utama tim peneliti
datang hari ini tak lain dan tak bukan untuk mewawancarai subjek terkait olahraga yang ia
geluti, namun karena subjek tidak bersedia untuk mengobrol, maka dari itu tim peneliti
menitipkan lembar pertanyaan wawancara terhadap ibu subjek untuk diisi. Namun karena
subjek kesulitan dalam hal menulis, akhirnya disepakati bahwa yang menulis adalah ibu dari
subjek namun tetap jawaban dari subjek langsung.
Hari ketiga yaitu di tanggal 16 Juni 2022, peneliti datang ke rumah subjek untuk
mengambil hasil wawancara yang sudah diisi oleh ibu subjek. Disana juga peneliti beberapa
kali menanyakan terkait subjek dan sekalian menyerahkan bingkisan dengan maksud
berterima kasih atas bantuannya.
Pertemuan keempat bertepatan pada tanggal 23 Juni 2022, tim peneliti datang ke
sekolah untuk berpamitan dan mengucapkan terima kasih terhadap Pak Sutarjo atas
bantuannya selama ini dengan memberikan bingkisan ucapan terima kasih. Namun tak hanya
berpamitan, tim peneliti juga mendapatkan beberapa informasi mengenai atlet. Peneliti juga
telah mendapatkan izin untuk ke rumah subjek kembali untuk melaksanakan treatment. Tim
peneliti datang ke rumah subjek kembali untuk melaksanakan treatment. Sesampainya di
rumah subjek, peneliti lagi-lagi hanya bertemu oleh orang tua subjek. Subjek enggan untuk
menemui peneliti dan bersembunyi di dalam kamarnya. Namun akhirnya subjek mau untuk
keluar karena adanya bantuan dari kakak subjek dan tim peneliti melakukan treatment berupa
treatment butterfly hug. Sebelum melakukan treatment pada subjek, tim peneliti melakukan
bonding kepada subjek berupa mengajak ngobrol dan mengajaknya untuk bermain. Subjek
juga mau untuk mengikuti setiap perintahnya. Selesai melakukan treatment, peneliti
menyampaikan evaluasi mengenai setiap pertemuannya dan memberikan intervensi mengenai
masalah yang sering subjek rasakan ketika bertanding. Peneliti juga menyampaikan terima
kasih dan berpamitan kepada keluarga subjek, tak lupa memberikan bingkisan kepada subjek
dan keluarga.

F. HASIL INTERVENSI
Dari hasil pelaksanaan intervensi kepada subjek, didapatkan data bahwa, subjek
merupakan atlet tolak peluru penyandang tuna rungu, oleh karena itu terdapat kesulitan pada
saat dilaksanakannya intervensi, seperti menjawab pertanyaan, dan memahami instruksi dari
kelompok kami. Begitupun dengan kami yang sedikit kesulitan untuk berkomunikasi
langsung dengan subjek, karena harus meminta bantuan dengan orang tua subjek untuk
berkomunikasi. Namun, dengan adanya bantuan dari ibu subjek dan bapak guru pelatih
subjek, kami dapat melaksanakan wawancara, observasi, dan juga treatment dengan baik.
Subjek telah melakukan wawancara dan menjawab semua pertanyaan yang kelompok
kami berikan secara tertulis dengan bantuan dan arahan dari ibu subjek, meskipun subjek
menjawab dengan singkat dan malu-malu saat berhadapan dengan kami. Adanya keterbatasan
pada subjek untuk berkomunikasi langsung dengan kami, ibu subjek dan juga bapak guru
pelatih subjek secara terbuka membantu kami dengan banyak memberikan informasi
tambahan tentang bagaimana kegiatan subjek saat berlatih untuk mempersiapkan lomba,
pengalaman-pengalaman subjek, dan juga kegiatan subjek di sekolah.
Berdasarkan informasi yang dilontarkan oleh ibu subjek, subjek memenangkan sebuah
pertandingan tolak peluru secara daring untuk pertama kalinya pada tahun 2021, perlombaan
tersebut diikuti oleh subjek dengan jarak waktu yang terbilang singkat antara latihan dengan
pertandingan. Hal itulah yang membuat subjek mengalami kecemasan dan juga perasaan
takut akan gagal saat mengikuti pertandingan tersebut. Maka dari itu, kelompok kami
menggunakan treatment Butterfly Hug atau pelukan kupu-kupu untuk memberikan
ketenangan dan untuk membuang perasaan negatif selama subjek menjalani latihan untuk
mempersiapkan pertandingan. Dengan instruksi yang sesuai dengan tahapan-tahapan relaksasi
dari Butterfly Hug, kelompok kami melakukannya bersama subjek, dengan bantuan ibu
subjek untuk mengikuti treatment dengan baik dan benar. Selain itu, kami juga memberikan
beberapa motivasi untuk subjek dengan harapan bahwa subjek dapat menjalani kegiatannya di
sekolah maupun diluar sekolah dengan penuh semangat, kami juga memberikan sedikit pesan
kepada ibu dari subjek untuk senantiasa menemani dan selalu mendukung subjek untuk
menjadi atlet yang lebih besar lagi.
Dengan adanya data dan informasi yang kami dapatkan tersebut, Butterfly Hug
merupakan salah satu bentuk stimulasi mandiri yang cukup efektif untuk dilakukan. Butterfly
Hug dapat memberikan kenyamanan dan juga membuat diri seseorang menjadi lebih tenang.
Selain itu, pelukan kupu-kupu merupakan metode intervensi terapeutik yang dapat dilakukan
sendiri untuk membantu seseorang agar ia lebih rileks.

G. HAMBATAN INTERVENSI
Hambatan Intervensi pada subjek yaitu karena subjek memiliki keterbatasan sebagai
tuna rungu dan subjek juga termasuk pribadi yang pemalu. Hal tersebutlah yang membuat
anggota kelompok kami sedikit kesulitan untuk memulai sebuah pendekatan kepada subjek.
Keterbatasan subjek kami yang tidak bisa berkomunikasi juga menjadi salah satu faktor
penghambat proses intervensi yang kami lakukan karena harus meminta tolong kepada ibunya
untuk menyalurkan pertanyaan dari kelompok kami kepada subjek.
DAFTAR PUSTAKA

Hayat, Abdul. (2014). Kecemasan dan Metode Pengendalian. Khazanah, 12(1), 52-62.

Jarero, Ignacio & Artigas, Lucina. (2021). Metode Pelukan Kupu-Kupu Terapi EMDR
untuk Dikelola Sendiri Stimulasi Bilateral. Jurnal Psikotrauma dan Disosiasi
Iberoamerican Revista, 11(1), 1-7.

Kristiana, I.F & Widayanti, C.G. (2016). Buku Ajar Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.
Semarang: Undip Press.

Nareza, Meva. (2020, September 15). Mengenal Butterfly Hug, Teknik untuk Menjaga
Kestabilan Emosi. Alodokter.com di akses pada 25 Juni 2022,
https://www.alodokter.com/mengenal-butterfly-hug-teknik-untuk-menjaga-kestabilan-
emosi

Nevid, J.S, Rathus, S.A., & Greene B. (2005). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.

Putri, E.S., Simanjuntak, V., & Purnomo, E. (2016). Kebugaran Jasmani Siswa Tunarungu di
Sekolah Luar Biasa Dharma Asih Pontianak. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran
Khatulistiwa, 5(1), 1-12.
Lampiran

Lampiran 1: Dokumentasi

Lampiran 2: Guide Wawancara


No. Pertanyaan Jawaban

1. Kapan mulai mengikuti pertandingan? Tahun 2021

2. Penghargaan apa saja yang didapatkan? Sertifikat

3. Bagaimana dukungan sekolah dan keluarga Selalu mendukung


dalam olahraga?

4. Dimana saja kamu menjuarai di sekolah


pertandingan?

5. Apa kesulitanmu selama pelatihan? Sulit berkomunikasi

6. Kenapa kesulitan itu dapat terjadi? Karena komunikasi

7. Bagaimana caramu menghadapi kesulitan Bertanya kepada orang tua


tersebut?

8. Siapa yang membantumu menghadapi Orang tua dan guru


kesulitan?

9. Bagaimana kamu bertahan dari kesulitan Dijalani saja


yang kamu hadapi selama ini?

10. Apa yang mendorong dan memotivasi Dipilih oleh pihak sekolah
kamu untuk menjadi atlet?

11. Siapa yang membuatmu bisa termotivasi Guru dan orang tua
sampai sekarang?

12. Bagaimana caramu menjaga motivasi dan Rajin berolahraga


mewujudkan harapan itu?
Lampiran 3 : Informent Consent
Lampiran 4 : Dokumentasi kunjungan ke SLB Cendono

Lampiran 5 : Pelaksanaan intervensi Butterfly Hug

Lampiran 6 : Pengisian Informed Consent

Anda mungkin juga menyukai