TUNA RUNGU
DOSEN PEMBIMBING
Agus Prima Aspa,S.Pd,M.Pd
DISUSUN OLEH
Apri Wijaya (1905111153)
Alivia Putri (1905111203)
Ikhsan Nurus Sadad (1905111244)
Zevanya Dasatita (1905112800)
UNIVERSITAS RIAU
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa karena
atas perkenaanya kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan
tepat pada waktunya. Semua itu anya berkat tutunan tuhan dalam kehidupan
kami. Dalam makalah yang kami susun ini berisi tentang pelajaran penjas
adaptif khusus membhas tentang bagian tuna rungu.
KELOMPOK 2
DAFTAR ISI
Kata pengantar i
Daftar Isi ii
BAB 1: PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan ini dapat diberikan oleh spesialis dalam pendidikan jasmani khusus atau oleh
seorang guru Pendidikan Jasmani yang telah memperoleh latihan khusus untuk melaksanakan
berbagai macam tugas .
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan jasmani khusus adalah satu bagian khusus
adalah satu bagian khusus dalam pendidikan jasmani yang dikembangkan untuk menyediakan
program bagi individu dengan kebutuhan khusus.
Selain itu diketahui pula bahwa tujuan pendidikan jasmani bagi yang berkelainan adalah
untuk membantu mereka mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani, mental,
emosional dan sosial yang sepadan dengan potensi mereka melalui program aktivitas
pendidikan jasmani biasa dan khusus yang dirancang dengan hati-hati. Maka dari itu
disusunlah makalah ini untuk menambah pengetahuan pembaca mengenai anak-anak
berpendengaran Terbatas.
B. Rumusan Masalah
4. Apa saja aktivitas yang disarankan dan dilarang untuk Pengajaran pada anak-anak
berpendengaran Terbatas?
Istilah tunarungu diambil dari kata “tuna” dan “rungu”, tuna artinya kurang dan rungu artinya
pendengaran. Orang dikatakan tunarungu apabila tidak mampu mendengar atau kurang
mampu mendengar suara. Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan
anak dengar pada umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah diketahui bahwa anak tersebut
mengalami tunarunguan.
Murni Winarsih (2007: 22) mengemukakan bahwa tunarungu adalah suatu istilah umum yang
menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli
dan kurang dengar.
Orang tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses
informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu
dengar dimana batas pendengaran yang dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan
proses informasi bahasa melalui pendengaran. Tin Suharmini (2009: 35) mengemukakan
tunarungu dapat diartikan sebagai keadaan dari seorang individu yang mengalami kerusakan
pada indera pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa menangkap berbagai rangsang
suara, atau rangsang lain melalui pendengaran.
Beberapa pengertian dan definisi tunarungu di atas merupakan definisi yang termasuk
kompleks, sehingga dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang memiliki
gangguan dalam pendengarannya, baik secara keseluruhan ataupun masih memiliki sisa
pendengaran. Meskipun anak tunarungu sudah diberikan alat bantu dengar, tetap saja anak
tunarungu masih memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Intelegensi anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal yaitu tinggi, rata-rata
dan rendah. Pada umumnya anak tunarungu memiliki entelegensi normal dan rata-rata.
Prestasi anak tunarungu seringkali lebih rendah daripada prestasi anak normal karena
dipengaruhi oleh kemampuan anak tunarungu dalam mengerti pelajaran yang diverbalkan.
Namun untuk pelajaran yang tidak diverbalkan, anak tunarungu memiliki perkembangan
yang sama cepatnya dengan anak normal. Prestasi anak tunarungu yang rendah bukan
disebabkan karena intelegensinya rendah namun karena anak tunarungu tidak dapat
memaksimalkan intelegensi yang dimiliki.
Aspek intelegensi yang bersumber pada verbal seringkali rendah, namun aspek
intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan motorik akan berkembang dengan cepat.
Kemampuan anak tunarungu dalam berbahasa dan berbicara berbeda dengan anak
normal pada umumnya karena kemampuan tersebut sangat erat kaitannya dengan
kemampuan mendengar. Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, maka anak
tunarungu mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Bahasa merupakan alat dan sarana
utama seseorang dalam berkomunikasi. Alat komunikasi terdiri dan membaca, menulis dan
berbicara, sehingga anak tunarungu akan tertinggal dalam tiga aspek penting ini. Anak
tunarungu memerlukan penanganan khusus dan lingkungan berbahasa intensif yang dapat
meningkatkan kemampuan berbahasanya. Kemampuan berbicara anak tunarungu juga
dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh anak tunarungu. Kemampuan
berbicara pada anak tunarungu akan berkembang dengan sendirinya namun memerlukan
upaya terus menerus serta latihan danbimbingan secara profesional. Dengan cara yang
demikianpun banyak dari mereka yang belum bisa berbicara seperti anak normal baik suara,
irama dan tekanan suara terdengar monoton berbeda dengan anak normal.
orang lain, perhatian mereka lebih sukar dialihkan, umumnya memiliki sifat yang polos dan
tanpa banyak masalah, dan lebih mudah marah dan cepat tersinggung.
Sifat ini disebabkan oleh anak tunarungu memiliki dunia yang kecil akibat interaksi
dengan lingkungan sekitar yang sempit. Karena mengalami gangguan dalam pendengaran,
anak tunarungu hanya melihat dunia sekitar dengan penglihatan. Penglihatan hanya melihat
apa yang di depannya saja, sedangkan pendengaran dapat mendengar sekeliling lingkungan.
Karena anak tunarungu mempelajari sekitarnya dengan menggunakan penglihatannya, maka
aka timbul sifat ingin tahu yang besar, seolah-olah mereka haus untuk melihat, dan hal itu
semakin membesarkan egosentrismenya.
Sikap ketergantungan terhadap orang lain atau terhadap apa yang sudah dikenalnya
dengan baik, merupakan gambaran bahwa mereka sudah putus asa dan selalu mencari
bantuan serta bersandar pada orang lain.
5) Umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah
Berdasarkan karakteristik anak tunarungu dari beberapa aspek yang sudah dibahas diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa sebagai dampak dari ketunarunguannya tersebut hal yang
menjadi perhatian adalah kemampuan berkomunikasi anak tunarungu yang rendah.
Intelegensi anak tunarungu umumnya berada pada tingkatan rata-rata atau bahkan tinggi,
namun prestasi anak tunarungu terkadang lebih rendah karena pengaruh kemampuan
berbahasanya yang rendah. Maka dalam pembelajaran di sekolah anak tunarungu harus
mendapatkan penanganan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik
yang dimiliki.
Anak tunarungu akan berkonsentrasi dan cepat memahami kejadian yang sudah dialaminya
dan bersifat konkret bukan hanya hal yang diverbalkan. Anak tunarungu membutuhkan
metode yang tepat untuk meningkatkan kemampuan berbahasanya yaitu metode yang dapat
menampilkan kekonkretan sesuai dengan apa yang sudah dialaminya. Metode
pembelajaran untuk anak tunarungu haruslah yang kaya akan bahasa konkret dan tidak
membiarkan anak untuk berfantasi mengenai hal yang belum diketahui.
Anak penyandang tuna rungu pada dasarnya tidak terlalu memiliki karakteristik dan
kemampuan umum yang berbeda dengan anak-anak normal yang lainnya. Kemampuan
umum anak tuna rungu dalam pendidikan jasmani dan olahraga hampir sama dengan
kemampuan anak-anak normal, hanya saja pada anak tuna rungu agak terganggu dan
terhalang jika aktivitas tersebut menggunakan suara-suara sebagai aba-abanya. Terlebih lagi
pada anak yang tuli yang sama sekali sulit untuk dapat mendengar suara sebagai aba-aba,
akan terhalang dalam aktivitas dan kemampuannya.
a. Psikomotor
3. Sejumlah peserta didik berpendengaran terbatas menderita dering yang terus menerus
dalam telinga.
4. Kehilangan kemampuan mendengar meniadakan umpan balik berlatar belakang
auditorial (berkaitan dengan pendengaran)yang akan mempengaruhi kemampuan
yang berkaitan dengan ruang dan gerak.
5. Peserta berpendengaran terbatas cenderung memiliki sikap badan yang kurang baik.
10. Keseimbangan (statis dan dinamis) dan kelincahan biasanya kurang pada peserta didik
berpendengaran terbatas dengan komplikasi telinga di dalam.
b. Kognitif
c. Afektif
1. Peserta didik berpendengaran terbatas cenderung kesepian, menutup diri dari dunia
luar. Mereka cenderung berhubungan orang lain yang juga kehilangan pendengaran.
2. Peserta didik yang muda yang berpendengaran terbatas paling cenderung kurang
social, karena mereka memiliki kesempatan sedikit untuk bermain secara alamiah.
3. Peserta didik berpendengaran sangat terbatas biasanya pendiam. Mereka jarang sekali
tertawa.
4. Peserta didik berpendengaran terbatas cenderung sangat cemas dan takut, sebagian
karena mereka tidak mudah di peringatkan terhadap bahaya.
G. Strategi Instruksional
a. Psikomotor
2. Bila peserta didik memiliki radangan, hindari aktivitas dengan kondisi tempat yang
suhu banyak berubah.
3. Hindari suara yang terlalu banyak dalam ruang, kolam renang atau lapangan
permainan.
4. Ajar peserta didik untuk membedakan hubungan ruang melalui gerak baik pendidikan
gerak maupun permainan terstruktur.
5. Berikan model dari sikap static dan dinamis yang baik. Gunakan cermin dan alat
visual lainnya untuk mendorong memiliki sikap tubuh yang baik.
6. Langsung bertindak untuk menyiapkan perilaku yang tidak baik. Karena hal itu tidak
akan hilang dengan sendirinya.
7. Gunakan peserta didik yang normal dan anda sendiri sebagai model. Gunakan umpan
balik audio-visual dan cermin sebagai teknik. Secara fisik dorong peserta didik
mengangkat kaki dengan secara lembut memukul kakinya. Perkuat cara berjalan
dengan tidak menyeret kaki.
8. Seluruh rentangan perkembangan aktivitas amat penting bagi peserta didik ini.
Tekankan berjalan, lari, lompat, di samping keterampilan koordinasi mata-kaki dan
mata tangan, karena kemampuan tersebut dibutuhkan seumur hidup.
9. Berikan aktivitas untuk kekuatan kardiovaskuler, kelentukan paling kurang 3 kali per
minggu. Manfaatkan semaksimal mungkin bantuan visual.
10. Hindari aktivitas memanjat seperti tali tangga dan perkakas. Latihan kelincahan
melibatkan benda lain yang bergerak tidak disarankan.
b. Kognitif
3. Ketahui dimana alat pendengar dipasang, dilepas dan dirawat. Peserta didik jangan
memakai pakaian terbuat dari bahan yang renyah (crispy) yang dapat berupa sumber
suara static.
4. Gunakan penangkap perhatian, dengan berbagai cara seperti mengangkat tangan,
menghentakkan kaki, alat control jauh, cahaya senter dan bendera berwarna.
Usahakan lingkungan mengajar cukup diterangi cahaya dan cahaya di belakang guru.
c. Afektif
1. Aktivitas social harus menjadi prioritas tertinggi. Tunjukkan kepada peserta didik
yang normal akibat kehilangan pendengaran melalui simulasi dan penggunaan isyarat.
3. Berikan berbagai macam aktivitas jasmani yang melibatkan orang lain. Pengalaman
gerak itu merangsang emosi.
4. Kelas dari peserta didik yang berpendenagaran sangat terbatas harus terdiri dari hanya
7-10 orang. Perkenalan dengan alat dan fasilitas harus mendahului aktivitas. Ajarkan
peserta didik bagaimana cara jatuh. Semua petunjuk penting harus telah lengkap
diberikan sebelum gerak dimulai, dan gunakan isyarat visual dan rabaan
1. Angkat Besi
4. Senam
Di samping bentuk baku dari perkembangan keterampilan gerak yang harus diajarkan
kepada semua peserta didik, peserta didik berpendengaran terbatas membutuhkan aktivitas
yang meningkatkan orientasi irama, sikap tubuh dan keseimbangan.
Satu metode yang tidak menakutkan, yang dapat digunakan mengembangkan keterampilan
dasar itu adalah pendidikan gerak (movement education).Penemuan dan eksperimentasi yang
terpimpin tentang gerak yang baru dan yang telah dikenal sebagai satu pendekatan yang
digunakan dalam pendidikan gerak, dapat membantu mengurangi rasa cemas terhadap gerak
pada umumnya. Selain itu, setelah berpartisipasi dalam berbagai macam gerak, rasa cemas
peserta didik mungkin akan berkurang apabila gerak baru diperlukan di masa yang akan
datang.
Aktivitas keseimbangan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi peserta didik
berpendengaran terbatas yang pada umumnya kurang baik dalam keseimbangan. Walaupun
pusat keseimbangan tidak dapat diperbaiki, keseimbangan seakan-akan dapat diperbaiki
dengan meningkatkan kepekaan indera lain terutama kinestetik dan visual. Tugas
keseimbangan yang sederhana dengan factor bahaya kecil adalah tugas yang dilakukan di
lantai dengan sikap bungkuk atau berdiri. Aktivitas yang ada unsure tinggi (Tangga, Tali,
Balok keseimbangan yang tinggi) pada umumnya harus dihindarkan. Aktivitas memutar
tubuh juga tidak disarankan bagi peserta didik yang memiliki masalah keseimbangan.
Irama dapat secara efektif diajarkan dengan menggunakan penglihatan, pendengaran residual,
indera peraba dan kinestetik. Banyak bentuk gerak seperti berbaris dapat diajarkan dengan
berhasil dengan melalui cara menirukan. Lonceng, peluit, dengan nada rendah, fonograf,
mikrofon dan megafon dapat menimbulkan getaran yang dapat dirasakan oleh peserta didik
berpendengaran terbatas.
Peserta didik berpendengaran terbatas dapat berhasil dalam semua tipe permainan
individual, ganda dan kelompok, Berikut diberikan beberapa saran penyesuaian dan pedoman
untuk individual dan kelompok (French dan Jasma:1982,197):
1. Permainan dengan sedikit peraturan, tidak ada unsure salah, dengan batasan-batasan
minimal akan meningkatkan keberhasilan dengan cepat. Permainan tradisi apapun
dapat dimodifikasi, kadangkala diperlukan bantuan peserta didik lain agar tujuan
dapat dicapai.
4. Untuk aktivitas yang memungkinkan terjadi kepala ada kontak dengan benda atau
orang lain, semua alat Bantu pendengaran harus dilepas. Aktivitas ini tidak disarankan
untuk peserta didik yang cenderung akan lebih merusak mekanisme pendengaran.
Aktivitas seperti tinju, sepak bola, Amerika termasuk dalam kategori ini.
5. Permaianan yang harus menutup mata dengan kain tidak disarankan untuk semua
peserta didik yang pendengaranya tidak memadai.
6. Gunakan peluit dengan suara rendah. Tidak semua peluit mempunyai tingkat Hz yang
tetap.
7. Golf mensyaratkan teman bermain yang berpendengaran baik untuk bereaksi terhadap
teriakan “Bola”.
Unsur social dalam permainan sama pentingnya dengan perolehan dan pemeliharaan
keterampilan jasmani. Kemampuan dalam aktivitas waktu luang juga bernilai bagi
berpendengaran terbatas setelah meninggalkan lembaga pendidikan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada jaman dahulu anak tunarungu dan anak terbelakang mental (tunamental) sukar di
bedakan, karena kedua –duanya sukar di ajak bicara. Orang yang mengajar murid tuli
(tunarungu berat) yang pertama adalah PEDRO PONCE DELEON. Dia seorang biarawan di
ST BENDEDICT (SPANYOL 1520 – 1584 Masehi).
Dialah yang melopori pendidikan anak tunarungu dengan mendidik anak tunarungu
keturunan bangsawan pada abad XVI (16), ia membuktikan bahwa anak tuna rungu dapat
diajari bicara dan menulis. Alphabet pertama lahir pada tahun 1620 atas usaha PLABLO
BONET. Oleh BONET dijelaskan behwa dalam pengajarannya juga terdapat pelajaran
ARTIKULASI seperti apa yang diberikan di Indonesia sekarang ini. Selajutnya Alphabet dari
PLABLO BONET tersebut berupa abjad yang terdiri isyarat tangan. Kemudian dilanjutkan
oleh JACOB RODRIGUES PEREIRE denan mengembangkan bahasa isyarat dengan
mempergunakan tangan. Selain itu juga dikembangkan metode lain yang disebut metode bibir
atau metode oral.
Pada abad XVII (17) JOHN BULWERE dan JOHN WALLIS di Inggris memulai penididikan
dan pengajaran anak tunarungu dengan metode isyarat, sedangkan di negeri Belanda dirintis
oleh JOHN AMMAN (1692). Dalam pemnbelajaran bahasa ia menulis antara lain jika murid-
muridnya mulai membaca dan dapat mengerti maksudnya, dia memperlakukan mereka
seperti anak yang baru lahir, yang sama sekali belum mengetahui apa-apa, mula-mula dia
ajarkan nama-nama benda yang mereka kenal dan perlu sedikit demi sedikit sesudah dia
tunjukkan dengan isyarat dimana dia rasakan betul.
Kemudian abad ke XVIII (18) muncullah seorang Paderi di Paris, ABBEDE L’EPPEE (1712
– 1789) nama lengkapnya ABBE CHARLES MICHEL DE L’EPPEE (Perancis). Dia
membuka sekolah pertama untuk orang tuli pada tahun 1775 . selanjutnya ia mengatakan
bahwa bahasa isyarat adalah bahasa pembawaan anak tunarungu sejak lahir, mengajarkan
bercakap terlalu banyak membuang waktu atau menghabiskan waktu, maka dari itu waktu
dipergunakan untuk lebih memajukan perkembangan kecerdasan murid-muridnya dengan
bahasa isyarat. Metode isyarat yang dikembangkan oleh ABBE DE L’EPPEE di Perancis
tersebut mencoba semua pengertian diisyaratkan dari semua isyarat itu di coba digambarkan
menjadi tanda-tanda gambar, sehingga isyarat yang sederhana saja sudah membutuhkan 3000
hingga 4000 buah tanda gambar. Dari inilah maka timbul abjad jari (Fingue Alphabet) yang
mula mula menggunakan dua tangan kemudian disederhanakan menjadi abjad jari satu
tangan , sehingga dia terkenal dengan sebutan tokoh metode isyarat (alican Perancis atau
manualisme).
Selanjutnya bersamaan dengan periode itu SAMUEL HEINICKE di Jerman mengembangkan
metode oral, jadi mulai itulah terjadi liran Jerman (aliran oralisme). Metode ini bertitik tolak
dari pandangan bahwa anak tuli ( anak tunarungu berat ) memiliki potensial untuk berbicara
dan dapat diajak bicara dengan baik. Pandangan ini didukung adanya kebutuhan anak tuli
(anak tunarungu berat ) untuk :
1. Diakui sebagai anggota masyarakat seperti halnya anak-anak normal.
2. Mendapat kesempatan berpribadi (memperoleh pengakuan harga diri).
3. Menyesuaikan diri dalam sosial dari vocational.
Keuntungan metode oral bagi anak tuli (tunarungu) adalah sebagai berikut:
a. Dengan latihan berbicara akan memberikan penjelasan yang lebih mudah kedunia
sekitarnya, sehingga memperoleh penyesuaian dan sekaligus menghindarkan anak tuli
(tunarungu) dari perasaan terisolir dan tekanan batin.
b. Bicara merupakan media komunikasi bersifat universal.
c. Pergaulan anak tuli (tunarungu) tidak terbatas pada dunia anak tuli (tunarungu) yang
berisyarat saja.
d. Anak normalpun akan lebih mudah bergaul dengan anak tuli (tunarungu) yang berbicara.
e. Oralisme menitikberatkan pada kebutuhan berpartisipasi dalam dunia normal.
Kemudian secara bersama-sama aliran manualisme dan oralisme berkembang ke Amerika,
Manualisme dikembangkan oleh GALAUDET atas pengaruhbelajar di Paris Perancis,
sedangkan Oralisme dikembangkan oleh Alexander Graham Bell yang kemudian menemukan
alat telepon yang kenamaan dengan mengembangkan pemakaian alat Bantu Dengar
(HEARING AID) serta pengeras suara. Maka timbullah satuan ukuran pendengaran
seseorang yang disebut deciBell (dB). Dan di Inggris dikembangkan oleh THOMAS
BRAIDWOOD .
Di Indonesia pendidikan anak tunarungu dimulai di Bandung Jawa Barat, sekitar tahun 1930
dan beberapa tahun kemudian didirikan sekolah luar biasa B (SLB bagian B) di Wonosobo
Jawa Tengah dan sekarang ini telah tersebar di seluruh tanah air Indonesia dan kebanyakan
diselenggarakan oleh pihak swasta berupa yayasan – yayasan. Di Bali terdapat sekolah
pembina tingkat nasional dan di Subang ada sekolah pembina luar biasa B tingkat Provinsi.
Mengenai sistem pendidikan di Indonesia umumya mempergunakan metode membaca ajaran
bibir (lip reading) namun sejak beberapa tahun di SLB/B kota Jakarta khususnya SLB/B
Zinnia dan di Surabaya SLB/B karya Mulya telah dimulai dengan komunikasi total (total
communication). Adapun pengertian komunikasi total menurut Edward Miner Gollandet
(1837 – 1902) dalam buku A WORLD OF LANGUAGE FOR DEAR CHILDREN sebagai
combined system and combined method yaitu a combined of signs, finger spelling and
speech.
Jadi merupakan kombinasi isyarat, ejaan jari dan bicara. Komunikasi total ini akan
dikembangkan di SLB/B seluruh Indonesia dengan dilakukannya kamus sistem isyarat bahasa
Indonesia sebagai komponen komunikasi total pada tanggal 2 Mei 1994 oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Prof. Ar. Ing. Wardiman Djojonegoro.
Selama ini belum terselenggara pendidikan terpadu secara resmi, meskipun sudah banyak
anak-anak tunarungu yang berhasil duduk di bangku sekolah SMTP, SMTA, maupun
Perguruan Tinggi. Pendidikan anak tunarungu telah dimulai pada usia yang sangat dini yakni
pada usia 2 tahun atau pada usia dimana anak telah dapat berjalan.
Adapun tujuan pendidikan sedini mungkin diterapkan agar sisa pendengaran dapat
dipertahankan dengan pemberian rangsangan atau stimulasi. Diharapkan anak dapat
mengembangkan bicaranya (tidak bisu), sehingga hanya menjadi anak tunarungu dan tidak
menjadi anak tunawicara.
Penyebab ketunarunguan dapat terjadi sebelum lahir (pranatal), ketika lahir (natal),
dan sesudah lahir (post natal). Trybus (1985) dalam Somad dan Herawati (1996)
mengemukakan enam penyebab ketunarunguan: 1) keturunan, 2) Penyakit bawaan dari pihak
ibu, 3) komplikasi selama kehamilan dan kelahiran, 4) radang selaput otak (meningitis), 5)
otitis media (radang pada bagian telinga tengah), dan 6) penyakitanak-anak berupa radang
atau luka-luka. Namun penyebab ketunarunguan yang lebih banyak adalah keturunan,
penyakit, dari pihak ibu, dan komplikasi selama kehamilan.
Faktor dari dalam diri anak terdapat beberapa hal yang menyebabkan ketunarunguan:
1. Faktor keturunan dari salah satu atau kedua orang tua yang mengalami
ketunarunguan.
2. Penyakit campak Jerman (Rubella) yang diderita ibu yang sedang mengandung.
c) Radang telinga bagian tengah (otitis media) pada anak. Radang ini mengeluarkan nanah,
yang menggumpal dan mengganggu hantaran bunyi.
BAB III
PROGRAM PEMBELAJARAN
1. Kelaian Pendengaran
Guru Pendidikan jasmani dapat menggunakan teknik berkomunikasi tradisional dan non
trasisional dengan peserta didik berpendengaran terbatas .Schmit dan Dunn(1980)
menyarankan menggunakan isyarat yang mudah dipahami yang ditempel pada papan
pengumuman. Isyarat-isyarat itu dapat bervariasi dari yang konkret ke abstrak yang
meyatakan konsep kesadaran tubuh(body awareness), kesadaran ruang dan kualitas gerak.
Umpamanya , gambar sebuah tangan dapat menyatakan penggunaan tangan saja dalam tugas
satu gerak, panah dapat menyatakan arah gerak,satu garis berombak denagn banyak puncak
dan lembah dapat menyatakan rangkaian gerak yang cepat. Isyarat bahasa tradisional
mungkin lebih dapat diterima diantara anggota tim pendidikan khusus dan antara individu
berpendengaran terbatas. Penting sekali menggunakan teknik komunikasi yang tidak hanya
digunakan dalam pendidikan tetapi, juga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Tujuan pendidikan jasmani bagi yang berkelainan adalah untuk membantu mereka
mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani, mental, emosional dan sosial
yang sepadan dengan potensi mereka melalui program aktivitas pendidikan jasmani
biasa dan khusus yang dirancang dengan hati-hati.
“Tuli “berarti satu kerusakan pendengaran yang begitu berat sehingga anak terhalang
dalam pemrosesan informasi linguistic melalui pendengaran dengan atau tanpa
pengeras suara yang sangat mempengaruhi unjuk kerja pendidikan.
“Mendengar Keras” berarti kerusakan pendengaran, baik tetap maupun tidak tetap yang akan
sangat mempengaruhi unjuk kerja pendidikan anak tetap tidak termasuk definisi tuli.
a. Psikomotor
5. Keseimbangan (statis dan dinamis) dan kelincahan biasanya kurang pada peserta didik
berpendengaran terbatas dengan komplikasi telinga di dalam.
b. Kognitif
4. Pembaca bibir yang paling kompeten mungkin hanya dapat menangkap ucapan orang
lain sebanyak 25 %.
1. Strategi Instruksional
a. Psikomotor
1. Berikan bantuan khusus dalam menggunakan bantuan visual, seperti papan
pengumuman, papan tulis, pita video
3. Hindari suara yang terlalu banyak dalam ruang, kolam renang atau lapangan
permainan
2. Gunakan peserta didik yang normal dan anda sendiri sebagai model.
3. Berikan aktivitas untuk kekuatan kardiovaskuler, kelentukan paling kurang 3 kali per
minggu
b. Kognitif
c. Afektif
3. Kelas dari peserta didik yang berpendenagaran sangat terbatas harus terdiri dari hanya
7-10 orang
1. Angkat Besi
2. Angkat Berat dengan system Universal
4. Senam
2. Saran
Dapat disarankan bahwa untuk mendapatkan banyak informasi mengenai ciri-ciri anak yang
mendapatkan kelainan pendengaran dan strategi instruksional . maka dapat menggunakan
makalah ini sebagai bahan acuan informasi .
DAFTAR PUSTAKA
Widiati, Sri CH dan Murtadlo. 2007. Pendidikan Jasmani dan Olahraga Adaptif. Jakarta:
DEPDIKNAS, Dierektorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat Ketenagaan.