Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“Sejarah Dan Sikap Masyarakat Terhadap Kecacatan”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Komparasi Penjas Adaptif

Dosen pengampu : Anang Setiawan, M.Pd

Disusun Oleh :

1. Arif Putra Septiandani


2. Gion Farodah
3. Sultoni
4. Teguh Imam Santoso

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN REKREASI

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN NAHDATUL ULAMA INDRAMAYU

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................................... i

PEMBAHASAN

A. Kecacatan ..................................................................................................................... 1
B. Sejarah dan sikap masyarakat terhadap kecacatan ....................................................... 3

C. Peningkatan masyarakat terhadap kecacatan................................................................ 5


D. Penyelarasan gerak fisik bagi penderita cacat .............................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 13

1
PEMBAHASAN

A. Kecacatan
Kecacatan bagi sebagian orang merupakan suatu masalah yang berat serta dapat
menghambat cita-cita dan aktivitas. Permasalahan yang dihadapi penyandang cacat
bukan hanya masalah psikologis seperti rendah diri, merasa tidak mampu dan tidak
berdaya, menutup diri dan tidak percaya diri untuk bergaul tetapi juga masalah dunia
kerja seperti akses informasi, kesempatan dan peluang mendapatkan pekerjaan
Meskipun demikian adapula penyandang cacat tubuh yang tegar dengan kondisi
kecacatannya.

Penyandang cacat fisik pada dasarnya memiliki kesempatan untuk bekerja seperti
halnya orang normal. Dalam Undang– Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat, pada Bab IV pasal 9 yang berbunyi “Setiap penyandang
cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan.” Pasal 13 yang berbunyi “Setiap penyandang cacat mempunyai
kesamaan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajad
kecacatannya.” Dalam Undang–Undang tersebut jelaslah bahwa kesempatan untuk
bekerja bagi penyandang cacat sama dengan orang normal lainnya.

Setiap manusia tidak pernah lepas dari berbagai kesulitan. Hal ini juga dialami
oleh para penyandang cacat fisik yang dalam hidupnya tidak pernah lepas dari
kesulitan-kesulitan. Kondisi kelainan fisik yang dialaminya semenjak lahir ini sangat
mengganggu aktivitas sehari-hari mereka, serta sangat berpengaruh terhadap
penyesuaian dengan lingkungan dan kepribadiannya. Pengaruh dari suatu kecacatan
ini tergantung cara individu yang bersangkutan menerima/memandang dan
menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Individu yang tidak dapat menerima
serta menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya dapat menjadi minder atau
tidak percaya diri.
Sebagian besar anak penyandang cacat tumbuh denga n pesan-pesan bahwa
mereka tidak sebaik anak tanpa kecacatan, bahwa kelainannya membuat mereka

2
"tidak okay". Akibatnya, banyak penyandang cacat memasuki masa dewasa dengan
merasa membutuhkan persetujuan dan validasi. Seorang konselor sebaiknya
menyadari sikap negative masyarakat terhadap kecacatan dan dampak sikap negative
tersebut pada rasa harga diri individu tersebut.
Kepercayaan diri sangat penting dimiliki oleh setiap individu, agar ia dapat
beinteraksi secara baik, serta tidak memiliki rasa rendah diri terhadap orang-orang di
sekelilingnya, terutama bagi penyandang cacat fisik. Penyandang cacat fisik bawaan
tidak/belum pernah merasakan kondisi fungsi fisik yang utuh, sehingga dapat
berpengaruh terhadap kepribadiannya. Penyandang cacat fisik hidup di tengah-tengah
masyarakat, sehingga akan dipengaruhi oleh beberapa perilaku orang lain, berbagai
keinginan dan nnorma-norma yang ada dalam masyarakat. Kondisi ini dapat
menyebabkan penyandang cacat fisik mempunyai motivasi untuk dapat hidup dengan
orang normal, tetapi dapat juga mereka tersisih akibat adanya persaingan/kompetisi.
Individu dapat merasa bahwa dirinya tidaklah sama dengan orang normal baik itu
status maupun fungsinya.

B. Sejarah dan Sikap Masyarakat terhadap Kecacatan


Disepanjang sejarah perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia, dari
masyarakat primitif hingga masyarakat yang disebut maju dan modern, upaya
meningkatkan kesejahteraan manusia merupakan fokus perhatian. Salah satu ciri dari
kebudayaan primitif adalah bagaimana perjuangan agar dapat mempertahankan
hidup. Para ahli sejarah memperkirakan bahwa anggota masyarakat primitif yang
tidak mampu menjaga dan mempertahankan diri dari lingkungan yang keras akan
mati atau menderita selama hidupnya karena status yang rendah dari masyarakat,
misalnya karena ia memiliki cacat mental dan fisik.

Agar dapat tetap hidup dalam menghadapi lingkungan yang keras setiap warga
masyarakat harus memiliki kekuatan dan kelincahan. Oleh karena itu seseorang yang
tidak memiliki kemampuan jasmani tersebut biasanya dibunuh dan dibuang oleh
warga lainnya atau penguasa setempat.

3
Pada masa kira – kira tahun 500 SM masyarakat mempunyai pandangan yang
mengangsikan sesuatu kondisi yang tidak jelas yang terjadi pada lingkungan mereka.
Untuk mengantisipasi keadaan yang sangat membahayakan, mereka mengembangkan
kepercayaan tahayul dan kepercayaan agama. Pengobatan terhadap orang yang tidak
jelas sebab musababnya dilakukan melalui sihir dengan membaca mantra – mantra
dan cara itu dilakukan karena orang tersebut, dianggap telah dirasuki oleh roh jahat.

Terdapat bukti bahwa peradaban maju dan dahulu telah berkembang seperti di
Cina, Babilion, dan Mesir yang digambarkan dalam tulisan – tulisan dan gambar.
Didalamnya tercermin ekspresi rasa takut dan kepercayaan tahayul yang
membelenggu kehidupan mereka. Tubuh yang kekar dan sempurna pada orang –
orang kuno membuat mereka sombong dan hanya sebagian kecil diantara mereka
yang memberikan kesempatan bagi orang cacat untuk hidup. Orang – orang cacat,
baik dewasa maupun anak – anak, diperlakukan secara keji dan biadab serta dijadikan
sebagai hiburan dari kaum Aristokratis.

Pada masa berikutnya suatu hal yang menggembirakan yaitu dunia kedokteran
olahraga mampu melakukan beberapa terobosan penting dalam mengatasi berbagai
kelemahan dan kekurangan manusia yang percaya terhadap kekuatan supranatural.
Kepercayaan itu lambat laun diganti oleh kepercayaan yang berlandaskan pada
penalaran tentang hubungan sebab akibat yang disebut penalaran ilmiah.

Tokoh yang berpengaruh dalam membuat terobosan dalam bidang kedokteran


tersebut adalah Hipokrates. Kemudian dikenal Claudius Galen seorang fisikiawan
Yunani yang banyak menulis tentang Ilmu Kedokteran yang memberikan banyak
perhatian terhadap orang – orang cacat yang ditelantarkan dan disisihkan dalam
kehidupan. Galen menemukan metode dan prosedur untuk melakukan pembedahan
terhadap orang cacat yang konon sampai sekarang banyak digunakan dan
dimanfaatkan oleh para medis.

Hingga abad pertengahan peradaban manusia masih penuh dengan kegelapan


yang selalu mengabaikan rasa kemanusiaan dan dalam kehidupannya, manusia

4
dirundung rasa takut yang terus menerus. Namun pada akhirnya manusia menemukan
pemecahan yang diekspresikan dalam doktrin kebenaran keagamaan. Ungkapan
pikiran dan penampilan seseorang yang semula dianggap banyak dikuasai oleh
kekuatan roh jahat, selanjutnya hilang secara perlahan – lahan. Kekaguman manusia
terhadap fenomena disekitarnya dapat dijelaskan dengan penalaran manusia yang
ditunjang oleh hasil – hasil penemuan ilmiah.

Sebagai bukti mulai berkembangnya penalaran ilmiah, orang Yunani mulai


melakukan gerakan tentang pentingnya pendekatan ilmiah dalam mendiagnosa
gangguan emosi. Para dokter berpendapat bahwa gangguan emosi yang dialami oleh
manusia merupakan akibat gangguan fungsi organ tubuh. Karena itu mereka
mengemukakan berbagai alternatif cara mengobatinya antara lain dengan
menciptakan lingkungan yang kondusif dan memberikan pelayanan dengan penuh
kasih sayang, sabar, dan lemah lembut.

C. Peningkatan Masyarakat terhadap Kecacatan


Di Amerika Serikat ketika memasuki abad ke 20, perhatian terhadap orang cacat
mental, dan emosi yang terganggu mulai meningkat. Hal ini diprakarsai oleh tokoh
seperti Presiden Roosevelt yang banyak memperhatikan dan membantu orang
lumpuh, seperti juga keluarga Kennedy yang banyak membantu orang – orang cacat
mental. Selain itu, warga masyarakat lainnya mulai memperhatikan orang – orang
cacat fisik dengan cara melakukan hal – hal positif untuk meringankan beban
warganya.

Faktor pendorong terhadap munculnya perhatian terhadap cacat fisik adalah


banyaknya pekerja – pekerja industri yang menderita cacat fisik akibat kecelakaan
dan ditambah dengan veteran Perang Dunia I yang kembali
dari medan pertempuran. Perang Dunia I dianggap sebagai periode yang ikut
memajukan teknologi medis dan bedah. Sebab para ahli kedokteran harus berpikir
keras untuk membantu menyembuhkan orang – orang cacat baik sipil maupun

5
militer akibat pertempuran, dan sekaligus menyusun program yang tepat dalam
proses rehabilitasi.

Perang Dunia II menyebabkan puluhan ribu anggota militer mengalami cacat


mental dan fisik. Berbagai cara dilakukan untuk memulihkan penderitaan mereka
sehingga menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat dan produktif kembali.

Bidang kedokteran sangat berperan dalam upaya pengobatan secara fisik. Oleh
karena itu rumah - rumah sakit dijadikan sebagai tempat penelitian untuk
menemukan cara – cara baru dalam menangani orang – orang cacat misalnya terapi
fisk, korektif, rehabilitasi, dan terapi kesejahteraan misalnya rekreasi, pendidikan,
dan lain – lain.

Awal tahun 1900 merupakan periode yang sangat penting bagi penanganan
orang cacat. Pada masa itu dikeluarkan Undang – undang federal di AS yang
menjamin hak orang – orang cacat, serta swadaya masyarakat untuk menjunjung
hak sipil dari orang – orang cacat. Setelah keluar Undang – undang tersebut,
selanjutnya terjadi peningkatan yang berarti dalam hal pengobatan, perawatan, dan
pelayanan pendidikan terhadap semua orang cacat.

Meningkatnya pelayanan terhadap orang cacat tersebut tidak terlepas dari


perhatian masyarakat terhadap hak – hak sipil dan ditunjang oleh meningkatnya
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang telah banyak membantu
penyembuhan dan memperpanjang usia hidup para penyandang cacat. Apabila
ditelusuri dengan cermat sejarah tentang penderita cacat dari beberapa Negara
seperti dipaparkan dalam literature, dapat digambarkan bahwa sikap masyarakat
terhadap kecacatan, dari zaman dahulu sampai sekarang, sangat bervariasi sesuai
dengan perkembangan dan kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun ada kecenderungan bahwa masyarakat lebih banyak melihat kecacatan
seseorang dari segi negatif.

6
Sikap negatif dari masyarakat terhadap penderita cacat terutama terjadi pada
jaman primitif. Mereka menganggap bahwa seseorang yang lahir cacat merupakan
hukuman Tuhan atau akibat dari roh – roh jahat yang menyelimuti kehidupan orang
tuanya. Oleh karena itu, apabila seseorang bayi lahir cacat maka orang tuanya
langsung membunuhnya, karena dianggap member aib kepada keluarganya.

Pandangan negatif terhadap anak cacat, juga masih terlihat di tanah air kita,
terutama di daerah – daerah pedesaan. Para orang tua akan merasa malu apabila
melahirkan seorang anak cacat, dan untuk menutupi perasaan malu biasanya anak
tersebut dikucilkan dari keluarganya.

Pada jaman primitif, anak yang menderita cacat setelah besar, umumnya
diperlakukan tidak manusiawi yakni dibunuh atau dibuang dari kehidupan keluarga,
sehingga pada akhirnya anaktersebut meninggal karena tidak dapat memenuhi
kehidupannya. Pada waktu sekitar tahun 500 SM sampai tahun 500 M, di kalangan
warga masyarakat tertentu, khususnya para dokter filosof, telah memahami tentang
penyebab kecacatan dari segi medis. Namun pada sisi lain, masyarakat belum dapat
menerima keadaan itu secara wajar sehingga pembunuhan terhadap bayi cacat
masih terus berlangsung. Sebagai contoh di Yunani, orang-orang Sparta membunuh
bayinya yang cacat dengan cara melemparkannya ke sungai dan dibiarkan meninggal
di pegunungan.

Sedangkan orang Romawi lebih tidak manusiawi sebab undang – undang


mendukung para orang tua untuk membunuh bayi yang cacat.

Orang dewasa yang cacat dan dianggap tidak produktif lagi di masyarakat, juga
diperlakukan tidak manusiawi dan dimanfaatkan sebagai mainan pada acara – acara
social. Penguasa di Romawi yang bernama Commadus memanfaatkan orang – orang
dewasa yang cacat/pincang sebagai sasaran dalam latihan panahan.

7
Pada abad pertengahan, sekitar 500 – 1500 terdapat dua sikap yang berbeda
dikalangan masyarakat terutama terhadap orang – orang yang memiliki mental
terbelakang. Pada satu sisi masyarakat memperlakukan mereka dengan baik penuh
kasih sayang serta membangun fasilitas untuk merawat orang – orang yang memiliki
mental terbelakang. Sedangkan pada sisi lain, orang – orang bermental terbelakang
itu banyak diperlakukan dengan kejam dan tidak manusiawi serta dibunuh karena
dianggap sebagai tenun.

Sekitar tahun 1500 – 1900 merupakan titik balik perubahan yaitu terjadi
perubahan sikap masyarakat kearah positif terhadap orang – orang cacat termasuk
dalam hal pengobatannya. Pada periode ini masyarakat telah menjunjung tinggi hak-
hak setiap individu dan dapat menerima penjelasan yang sifatnya ilmiah mengenai
sebab musibah kecacatan yang dialami oleh manusia. Oleh karena itu masyarakat
membangun gedung yang khusus digunakan untuk perawatan orang – orang yang
menderita cacat.

Walaupun kalangan dokter telah memiliki pengetahuan lebih maju, mereka


percaya bahwa penyebab gangguan emosional adalah adanya mekanisme dan
proses aliran darah, dan cairan tubuh terganggu. Namun yang menarik adalah
bahwa para dokter tersebut masih melakukan pengobatan secara tradisional yaitu
dengan cara memberikan minuman yang telah diramu dibuat dari darah ular
berbisa, madu, anggur, dan daging.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat digambarkan bahwa sikap,


masyarakat terhadap penderita cacat dari dahulu sampai sekarang tidak pernah
sepenuhnya positif, dan mereka selalu diperlakukan denga tidak manusiawi dan
malah pada masa peradaban belum berkembang, mereka dibunuh dengan cara –
cara yang sangat kejam. Lengkaplah penderitaan yang harus mereka alami seperti
kata pepatah “Sudah Jatuh Ditimpa Tangga Pula”, artinya mereka dilahirkan tidak

8
sempurna, kemudian dihina, disiksa, dan bahkan dibunuh dengan cara yang sangat
sadis.

Mudah – mudahan pengalaman sejarah dan sikap masyarakat pada zaman


dahulu tidak tertanam dalam diri kita. Marilah kita memandang secara positif
tentang keberadaan mereka dan memberikan perlakuan subjektif mungkin sebagai
sesama manusia ciptaan Tuhan yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.

D. Penyelarasan Gerak Fisik bagi Penderita Cacat


Dalam usaha memberikan pendidikan gerak fisik bagi mereka yang berkelainan
atau penderita cacat, kita harus dapat mempergunakan semua pendekatan, baik yang
cenderung untuk pengobatan (terapi) maupun untuk pengisi waktu luang, dan bahkan
untuk berprestasi dalam berbagai cabang jasmani. Dengan demikian, maka latihan
fisik bagi penderita cacat dapatlah dianggap sebagai terapi fungsional yang
dilandaskan pada berbagai bentuk gerak.

Menurut Seamen, Jennet A. and De Pauw, Keren P. (1982: 109) ada beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam penyelarasan gerak fisik bagi penderita cacat yaitu:

1. Persepsi situasi menimbulkan dorongan untuk bergerak


Terwujudnya gerak pada seseorang dalam bentuk reaksi rangsangan
dimaksudkan sebagai jawaban terhadap rangsangan tersebut. Adapun persyaratan
bagi rangsangan itu hendaklah yang layak dan dapat ditangkap dengan sempurna oleh
panca indera. Bila terdapat gangguan pada panca indera atau seseorang tidak dapat
mengerti atas sesuatu yang dikemukakan, maka dia akan apatis atau bersikap acuh tak
acuh. Gangguan pada indera penglihatan misalnya, sudah barang tentu berpengaruh
pula terhadap gaya gerak. Pada mereka dengan keterbelakangan mental terdapat
kesukaran untuk menangkap pengertian terhadap sesuatu dan dalam pendidikan juga
akan terbelakang, oleh karena tidak terwujud reaksi yang menjurus kepada usaha
untuk meningkatkan pengetahuan.

9
Sherril, C. (1982: 219) mengemukakan bahwa permainan merupakan dasar
bagi pengobatan secara berkelompok dan dapat dikatakan sebagai salah satu metode,
agar seseorang dapat mengembangkan kemampuannya, dapat mengenal dirinya, dan
dapat memupuk hubungan antara sesama serta lingkungannya. Permainan akan
menyingkap tabir kesepian hidup menyendiri dan ini memang perlu sekali agar dia
dapat melihat kenyataan, bahwa banyak orang berada di sekitarnya.

2. Kontrol terhadap sikap


Kemampuan untuk dapat tampil dengan sikap yang wajar tergantung pada
keutuhan (integritas) sistem motorik dari badan. Pada kelumpuhan yang penyebabnya
berasal dari gangguan otak (cerebral palsy), sistem motorik tersebut tidak kuasa
berfungsi sebagaimana mestinya.

Dalam hal ini French, R.W. & Jansma, P. (1982: 123) mengemukakan bahwa
mengingat manifestasi dari kelumpuhan ini dapat berbeda-beda dalam tingkatannya,
maka bagi perawatannya yang berupa latihan fisik telah dilakukan berbagai
percobaan untuk mencari latihan yang selaras dengan tingkat kelumpuhannya.
Ternyata ada latihan yang paling tepat, yaitu renang. Ini dapat dimengerti karena di
dalam air terasa berat badan lebih ringan dan dengan demikian akan lebih mudah
mengadakan kontrol terhadap sikap untuk melakukan gerak. Selain dari itu, aktivitas
jasmani seperti naik kuda dapat menimbulkan perasaan untuk dapat berkuasa dan
membantu penderita mengadakan kontrol terhadap sikap yang cocok.

3. Mengenal diri sendiri melalui permainan

Menurut Piaget yang dikutip Beltasar Tarigan. (1999: 37), sewaktu anak
menginjak usia 2 tahun nyata sekali mulai terlihat gejolak gerak fisik untuk bermain
dan berkomunikasi dengan benda-benda yang ada disekitarnya. Dengan demikian,
maka dalam proses pertumbuhan si anak selanjutnya akan berkembang gerak fisik
menuju kesempurnaan. Dalam pada itu akan terpupuk pula rasa keterikatan antara
sesama yang sudah barang tentu akan timbul pula saling banding membanding dalam
usaha menyesuaikan diri, baik mengenai sikap dan tingkah laku serta hal lainnya.

10
Sehubungan dengan apa yang diuraikan tersebut di atas, maka dapatlah dimengerti
bahwa aktivitas jasmani mempunyai makna dan manfaat tersendiri bagi penderita
cacat, mengingat peranannya untuk:

a. Perawatan

Aktivitas Jasmani pada hakekatnya sangat diperlukan dalam perawatan penderita


cacat dan malahan dapat dianggap sebagai usaha penyembuhan alamiah untuk
diterapkan sebagai pelengkap pada fisioterapi yang sudah dikenal sebagai metode
konvensional bagi perawatan penderita cacat. Aktivitas jasmani memang tidak kuasa
memulihkan sepenuhnya tenaga koordinasi, kecepatan dan daya tahan penderita
cacat, namun latihan fisik akan menggugah penderita untuk berusaha dengan segala
kemampuannya mengatasi kelelahan dan kesulitan yang lumrah dialami pada awal
rehabilitasi. Hal ini harus dapat disadari dan latihan hendaknya dilanjutkan terus
dengan penuh ketabahan oleh penderita cacat tubuh tangan atau kaki, buta, dan lebih-
lebih oleh penderita paraplegia (kelumpuhan kedua belah bagian bawah tubuh) dan
tetraplegia (kelumpuhan pada empat bagian tubuh bagian atas dan bagian
bawah/lumpuh total).

b. Nilai rekreatif dan psikologikal

Aktivitas jasmani bagi penderita cacat hendaknya janganlah dipandang sebagai


usaha untuk memupuk kekuatan otot dan mencapai kemenangan atau keunggulan,
akan tetapi sebagai sumber untuk memperoleh kegembiraan dan kegairahan hidup.
Adapun keunggulan jasmani terhadap fisioterapi terletak pada nilai rekreatif yang
merupakan daya pendorong bagi penderita cacat untuk menemukan kembali berbagai
bentuk kegiatan yang dapat dinikmati seperti halnya juga pada orang biasa yang tidak
berkelainan. Hendaklah disadari, bahwa manfaat aktivitas jasmani sebagain usaha
rehabilitasi tidak akan ada artinya bilamana penderita cacat tidak dapat menikmati
nilai rekreatif dari aktivitas jasmani tersebut. Hal ini jangan sampai diabaikan,
mengingat penderita cacat di zaman sekarang ini telah memperlihatakan kemampuan
memasuki berbagai lapangan pekerjaan. Kelesuan dan frustasi yang satu waktu dapat

11
menghantui setiap orang, termasuk penderita cacat dalam melakukan pekerjaan di
perusahaan atau kantor, dapat dikurangi dan bahkan dilenyapkan melalui aktivitas
jasmani. Dalam hal ini Arma Abdoellah. (1996: 54) mengemukakan bahwa
melakukan aktivitas jasmani secara bersamasama dengan orang biasa tentu akan
dapat mengembalikan gairah bagi penderita cacat adalah jembatan untuk:

- menanamkan disiplin pada diri sendiri

- memperoleh kembali harga diri

- membangkitkan semangat juang

- memupuk persaudaraan

- memasuki pergaulan hidup dalam masyarakat.

Memang berat batu ujian yang harus dihadapi para penderita cacat untuk
memasuki kehidupan yang cerah. Modal utama hanyalah ketabahan tanpa mau
menyerah kepada nasib karena cacatnya.
c. Penyaluran dalam kehidupan masyarakat
Sebagaimana telah dikemukakan, aktivitas jasmani berguna sekali untuk mengikat
hubungan penderita cacat dengan dunia sekitarnya, termasuk orang-orang biasa yang
tidak cacat. Mereka diharapkan dapat beraktivitas jasmani dan bahkan mampu
berbuat dan bertanding seperti oring biasa, misalnya mereka dapat memanah di atas
kursi roda. Demikian pula bowling dan tennis meja, sedangkan penderita cacat tubuh
kaki atau tangan, orang buta dan tuli dapat berlomba renang melawan orang biasa.
Malahan bukankah suatu kejutan, jika kejuaraan dapat dimenangkan penderita cacat
melawan orang yang fisiknya tidak ada kelainan?

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Tidak dikenal. Latar Belakang Kecacatan. File pdf. Dikutip dari


http://eprints.ums.ac.id/13452/4/BAB_1.pdf . Diakses pada 02 Oktober 2019.
2. Firmansyah. 2009. Pengertian Sejarah Kecacatan. Artikel. Dikutip dari
http://pendidikanjasmanikesehatanrekreasi.blogspot.com/2009/06/pengertian-
sejarah-kecacatan.html . Diakses pada 02 Oktober 2019.
3. Komarudin. Mencapai Kebermaknaan Hidup Penderita Cacat Melalui
Aktivitas Jasmani. Penelitian File pdf. Dikutip dari
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132304485/penelitian/mencapai+kebermaknaan+
hidup.pdf . Diakses pada 02 Oktober 2019.

13

Anda mungkin juga menyukai