Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Masalah Secara umum guru pendidikan jasmani dan olahraga memiliki pemahaman yang sama tentang betapa pentingnya pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga pada siswa reguler dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan kreatifitas siswa. Pertumbuhan dan perkembangan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek seperti perkembnagan pengetahuan, kerjasama, penalaran, emosional, sikap sportif, menghargai perbedaan, saling menolong, keterampilan dan kesehatan. Namun perlu diingat bahwa dampak positif pendididkan jasmani dan olahraga tidak akan diperoleh dalam waktu yang singkat seperti membalikan telapak tangan. Oleh karena itu setiap guru atau insan olahraga yang terlibat didalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga seyogianya profesional dan memiliki sifat-sifat yang dapat menyejukan suasana belajar. Rendahnya kualitas pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga juga disebabkan oleh adanya pandangan yang keliru dari kepala sekolah dan guru lainnya bahwa guru olahraga bertanggung jawab terhadap setiap keributan ataupun permasalahan yang muncul yang dilakukan oleh siswa. Hal ini memberi kesan yang merendahkan figur guru pendidikan jasmani dan olahraga. Selain itu pemahaman siswa tentang pentingnya pendidikan jasmani dan olahraga dalam upaya meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani masih rendah. 1.2 Rumusan Masalah Kondisi pelaksanaan pendidikan jasmani dan olahraga pada siswa reguler di Indonesia. Kondisi pelaksanaan pendidikan jasmani dan olahraga pada siswa adaptif di Indonesia.

1.3 Tujuan Untuk mengetahui seberapa jauh pelaksanaan pendidikan jasmani dan olahraga di Indonesia berjalan, baik pada siswa regular maupun pada siswa adaptif. Kemudian untuk mngetahui seberapa jauh kualitas dan profesionalitas guru penjas adaptif dan kondisi lingkungan di sekolah luar biasa, serta kualitas kebugaran siswa di sekolah luar biasa.

BAB II
2

PEMBAHASAN 2.1 Kondisi pelaksanaan pendidikan jasmani dan olahraga pada siswa reguler di Indonesia. Secara umum guru pendidikan jasmani dan olahraga memiliki pemahaman yang sama tentang betapa pentingnya pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga pada siswa reguler dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan kreatifitas siswa. Pertumbuhan dan perkembangan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek seperti perkembnagan pengetahuan, kerjasama, penalaran, emosional, sikap sportif, menghargai perbedaan, saling menolong, keterampilan dan kesehatan. Namun perlu diingat bahwa dampak positif pendididkan jasmani dan olahraga tidak akan diperoleh dalam waktu yang singkat seperti membalikan telapak tangan. Oleh karena itu setiap guru atau insan olahraga yang terlibat didalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga seyogianya profesional dan memiliki sifat-sifat yang dapat menyejukan suasana belajar. Rendahnya kualitas pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga juga disebabkan oleh adanya pandangan yang keliru dari kepala sekolah dan guru lainnya bahwa guru olahraga bertanggung jawab terhadap setiap keributan ataupun permasalahan yang muncul yang dilakukan oleh siswa. Hal ini memberi kesan yang merendahkan figur guru pendidikan jasmani dan olahraga. Selain itu pemahaman siswa tentang pentingnya pendidikan jasmani dan olahraga dalam upaya meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani masih rendah. Kondisi pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga yang menyebabkan siswa mengalami stress akan mengalami dampak negatif yaitu siswa tidah menyenangi mata pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga. Pembelajaran yang stress akan menyebabkan menurunnya jumlah neurotransmitter, pertumbuhan dendrit dan akson serta terganggunya pembentukan reseptor di otak sehingga menyebabkan kecerdasan dan kreatifitas siswa menurun (Bekinschtein, 2008).

Sesuai dengan pendapat Bekinschtein yang menyatakan olahraga dapat meningkatkan kecerdasan oleh karena terjadinya peningkatan neurotransmitter (Brain-Derived Neurotrophic Factor) baik di otak kiri ataupun otak kanan. Brain
3

Derived Neurotrophic Factor (BDNF) adalah protein khusus yang akan menstimulasi pertumbuhan dendrit dan akson. Kedua komponen ini merupakan jembatan menghantarkan informasi dari satu sel otak ke sel otak lainnya (Edmunds,/ntoumanis dan Duda. 2007: Bekinschtein. 2008). Anak yang relatif jarang berolahraga tingkat kecerdasan dan kreatifitasnya lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang teratur berolahraga. Dari hasil pengamatan sementara kondisi pelaksanaan pendidikan jasmani dan olahraga di berbagai sekolah di Indonesia belum optimal menerapkan faal olahraga dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga. Hal inilah yang dapat menjawab rendahnya kebugaran jasmani siswa di Indonesia. 2.2 Kondisi pelaksanaan pendidikan jasmani dan olahraga pada siswa adaptif di Indonesia Berbagai factor yang mempengaruhi kondisi pelaksanaan pendidikan jasmani dan olahraga pada siswa adaptif di Indonesia antara lain kualitas dan profesionalitas guru penjas adaptif, kondisi lingkungan di sekolah luar biasa dan kualitas kebugaran siswa sekolah luar biasa. a. Kualitas dan Profesionalitas Guru Penjas Adaptif Pendidikan jasmani adaptif merupakan sarana yang sangat strategis dalam upaya meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan jasmani, keterampilan gerak, social, dan intelektual siswa cacat. Peningkatan kualitas proses pendidikan jasmani di sekolah luar biasa sangat penting untuk menanamkan sikap positif terhadap keterbatasan kemampuan mereka, baik dari segi fisik maupun mentalnya. Pemberian layanan dan kesempatan untuk melakukan olahraga seluasluasnya merupakan pengakuan bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan siswa normal. (Tarigan.2000).

Mengenai kualitas dan profesionalitas guru pendidikan jasmani adaptif pada sekolah luar biasa ternyata jauh lebih parah di bandingkan dengan sekolah regular. Selain itu minimnya sarana dan prasarana di sekolah
4

luar biasa juga ikut mempengaruhi rendahnya kualitas proses pembelajaran yang dilakukan. (Tarigan, 2000). Sebagai dampak lemahnya proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru-guru yang tidak professional yang ada kecenderungan bahwa pembelajaran pendidikan jasmani tidak pernah memenuhi kebutuhan siswa cacat akan gerak, sehingga untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran tentu sangat sulit. b. Kondisi Lingkungan Di Sekolah Luar Biasa Karena minimnya sarana dan prasarana olahraga bagi siswa adaptif, para siswa tidak akan dapat melakukan aktifitas secara leluasa dan tidak dapat bergerak bebas. Pengadaan guru yang terkesan asal ada tersebut, tidak mampu mengelola proses pembelajaran apalagi membina dan meningkatkan kesehatan serta kebugaran jasmani siswa sesuai dengan tujuan penjas di sekolah luar biasa (Tarigan, 2003). Hal lain yang menjadi catatan dan perlu mendapat perhatian adalah pemilihan materi dan pelaksanaan pembelajaran yang harus disesuaikan dengan kondisi dan tingkat kecacatan pada siswa. Sebab kurikulum yang digunakan sama dengan kurikulum sekolah umum, padahal pada kenyataannya tidak semua materi yang terdapat dalam kurikulum pada sekolah umum mampu dilaksanakan pada siswa luar biasa. Oleh karena itu, apabila pemilihan materi tidak di lakukan secara cermat dan pelaksanaannya tidak disesuaikan dengan kemampuan dan kecacatan setiap siswa, maka akan menyebabkan cedera, karena beban yang diberikan terlalu berat bagi mereka yang memang tidak memiliki kekuatan otot dan daya tahan yang baik.

c. Kualitas Kebugaran Siswa Sekolah Luar Biasa Berkaitan dengan kondisi lingkungan sekolah dan sarana yang sangat minim yang umumnya dialami oleh SLB akan berpengaruh terhadap derajat kebugaran jasmani ,khususnya daya tahan jantung paru,sebab dari
5

pengamatan lapangan.diketahui keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki SLB serta lingkungan yang tidak kondusif menyebabkan keterbatasan gerak bagi mereka.Selain itu komponen fisik lain juga terpengaruh akibat keterbatasan gerak tersebut .antara lain kekuatan otot ,kelentukan daya tahan otot.waktu reaksi dan keseimbangan juga sangat rendah ,sebagai contoh.penyandang tuna netra biasanya berjalan mengandalkan tuntunan orang lain,sehingga aktifitas geraknya tergantung pada bantuan orang lain. Winnick (1990) mengemukakan bahwa kebugaran jasmani pada penyandang tuna netra biasanya di bawah orang lain normal,yang disebabkan berkurangnya kesempatan dan kemauan untuk bergerak.Mengetahui hal ini (Winnick.1990)dan (Powers&Howley 2001)menyatakan bahwa kurangnya aktifitas fisik menyebabkan tingkat kebugaran jasmani yang rendah. Rendahnya kebugaran atau kualitas fisik siswa penyandang cacat tersebut akibat kurangnya aktifitas gerak fisik yang mereka lakukan karena sikap over protektif dari keluarga,termasuk sering merasa kasihan,tidak acuh,lingkungan kurang mendukung.Semua ini mengakibatkan terbatasnya aktivitas gerak fisik yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari sehingga menurunkan derajat kesehatan dan tingkat kebugaran jasmani mereka. Berkaitan dengan informasi tentang rendahnya tingkat kebugaran jasmani siswa cacat sebagai berikut,kebugaran jasmani siswa SLB Tunanetra,Tunarungu,dan tunagrahita dibandingkan siswa normal,data menunjukan bahwa dari 30 sampel siswa Tunarungu,30 sampel Tunagrahita dan 25 sampel Tunanetra semuanya memilki tingkat kebugaran yang sangat rendah atau kurang sekali.Sedangkan dari 30 siswa normal yang dijadikan sebagai pembanding menunjukan 13 orang masuk kategori sedang dan 17 orang masuk kategori kurang. Hal ini menunjukan bahwa tidak hanya siswa cacat yang kebugarannya sangat kurang, tetapi siswa normalpun umumnya masih memiliki kebugaran yang rendah.

350 300 250 200 150 100 50 0 S LB T una Netra S LB S LB S P LT T una T una Neg eri R u Gra ung hita

Gra 1 fik

70 60 50 40 30 20 10 0 S T Netra LB una S T R u LB una ung S T Gra LB una hita S PNeg LT eri

Untuk melihat sebaran rata-rata skor setiap komponen kebugaran jasmani dari Siswa SLB Tunanetra, Tunarunggu, Tunagrahita dan SLTP Negeri dapat dilihat pada grafik 1. Berdasarkan grafik 1 tersebut terlihat bahwa Siswa Tunanetra memiliki komponen kecepatan yang paling rendah, kemudian disusul Tunagrahita dan paling tinggi adalah Tunarunggu, tetapi bila dibandingkan dengan Siswa sekolah normal maka komponen kecepatan lebih tinggi pada Siswa normal. Untuk power, Siswa Tunanetra dan Tunarunggu hampir sama besarnya, sedangkan Siswa Tunagrahita paling rendah skornya. Sedangkan untuk kekuatan dan daya tahan lengan, ketiga jenis kecacatan tersebut memiliki daya tahan lengan yang hampir sama. Mengenai komponen kekuatan otot ternyata skor yang paling tinggi dicapai oleh Siswa Tunarunggu, kemudian disusul Siswa Tunagrahita dan yang paling rendah adalah Siswa Tunanetra.

Untuk komponen daya tahan otot perut ternyata Siswa Tunanetra lebih besar skornya dibandingkan dengan Siswa Tunagrahita, namun Siswa
7

Tunarunggu tetap memiliki skor yang paling besar. Selanjutnya untuk skor kelincahan ternyata yang paling tinggi diperoleh oleh Siswa Tunarunggu dan Tunagrahita, sedangkan yang paling rendah dicapai oleh Siswa Tunanetra. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dapat digambarkan bahwa dari tujuh komponen kebugaran jasmani yang dinilai ternyata secara umum kelompok Siswa Tunanetra yang paling rendah, hal ini dapat dipahami karena aktivitas mereka yang terbatas dan selalu memerlukan bantuan orang lain. Selanjutnya kelompok Siswa Tunagrahita berada diurutan kedua, hal ini disebabkan disamping kurangnya kemauan, untuk melakukan aktivitas gerak, orang tua juga terlalu over protective. Sedangkan kelompok Tunarunggu aktivitasnya lebih baik dari Tunanetra dan Tunagrahita sebab mereka pada umumnya dapat melakukan aktivitas seperti siswa normal, namun lemah dalam bahasa dan komunikasi. Temuan ini juga pernah diungkapkan oleh Winnick (1990) yang menegaskan bahwa kebugaran jasmani pada penyandang Tunanetra biasanya di bawah kecacatan yang lain dan orang normal, yang disebabkan berkurangnya kesempatan dan kemauan untuk bergerak.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


8

3.1 Kesimpulan Secera keseluruhan sarana dan prasarana di Indonesia masih sangat kurang dan minim, baik untuk sekolah umum regular maupun sekolah luar biasa. Sedangkan, untuk tenaga pengajar professional bagi siswa adaptif masih teramat kurang dan bahkan tidak ada kemampuan yang cukup, karena biasanya tenaga pengajar bagi sekolah luar biasa terkadang bukan dari ahlinya. Artinya, sekolah luar biasa kebanyakan menggunakan tenaga pengajar yang hanya asal ada saja. 3.2 Saran Pendidikan jasmani sangatlah penting bagi seluruh siswa, baik siswa regular maupun adaptif. Untuk itu diharapkan kepada pihak sekolah harus memperhatikan sarana dan prasarana di sekolahnya, supaya dapat lebih menunjang lagi proses kegiatan belajar mengajar di suatu lingkungan sekolah. Agar lebih meingkatkan dan memajukan pendidikan di sekolahnya tersebut, dan lebih meningkatkan kebugaran kesehatan fisik bagi siswa regular maupun adaptif. Selain itu, pihak pemerintahpun seharusnya lebih selektif dalam memilih dan menentukan serta menyaring tenaga-tenaga pengajar yang sesuai dengan kemampuannya dan profesionalitas di bidang studynya, jangan hanya asal bias mengajar saja.

DAFTAR PUSTAKA
9

Tarigan, Beltasar. (2009). Optimalisasi Pendidikan Jasmani dan Olahraga Berlandaskan Ilmu Faal Olahraga, FPOK UPI Bandung. Tarigan, Beltasar. (2008). Pendidikan Jasmani Adaptif, FPOK UPI Bandung. Tarigan, Beltasar. (2000). Penjaskes Adaptif, Depdiknas, Direktorat PLB, Jakarta.

10

Anda mungkin juga menyukai