Anda di halaman 1dari 9

Dosen Pengampuh

Eva Meizara PD, S. Psi., M. Si., Psikolog

Eka Sulfartiningsih, S. Psi., M. Psi., Psikolog

Astiti Tenriawaru, S. Psi., M. Psi., Psikolog

PSIKOLOGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus

TUNARUNGU

KELOMPOK 2

KELAS B (02)

Kurnia Apriyanti (1971342002)

Ananda Humaidah (1971342009)

Wafiqa Zahrah Usrah (1971342020)

Dori M Panjaitan (193310010063)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI - (S1)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2021
A. KARAKTERISTIK
Anak tunarungu merupakan individu yang unik, yang memiliki latar belakang
kehidupan yang berbeda-beda. Setiap individu sama sama memiliki potensi atau kekuatan
yang dapat untuk dikembangkan demi untuk mencapai suatu keseimbangan, keserasian
dalam menempuh hidup untuk berinteraksi dengan lingkungan, baik lingkungan di rumah,
sekolah maupun masyarakat. Potensi-potensi yang dimiliki dapat dikembangkan
seoptimal mungkin dalam rangka mempersiapkan hidupnya di masa mendatang dengan
penuh maksimal (Efendi, 2010).
Secara umum anak tunarungu adalah anak yang tidak dapat mendengar.Tidak dapat
mendengar tersebut dapat dimungkinkan kurang dengar atau tidak mendengar sama
sekali. Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya.
Kita dapat membedakannya ketika mereka berbicara, anak tunarungu berbicara tanpa
suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak
berbicara sama sekali, anak tersebut hanya berisyarat. Murni Winarsih (2007: 23),
menyatakan tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan
kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan oleh tidak
fungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga anak tersebut tidak dapat
menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut berdampak
terhadap kehidupannya secara kompleks terutama pada kemampuan berbahasa sebagai
alat komunikasi yang sangat penting. Gangguan mendengar yang dialami anak tunarungu
menyebabkan terhambatnya perkembangan bahasa anak, karena perkembangan tersebut,
sangat penting untuk berkomunikasi dengan orang lain. Berkomunikasi dengan orang lain
membutuhkan bahasa dengan artikulasi atau ucapan yang jelas sehingga pesan yang akan
disampaikan dapat tersampaikan dengan baik dan mempunyai satu makna, sehingga tidak
ada salah tafsir makna yang dikomunikasikan. Dan yang menonjol dari aspek fisik pada
anak tuna rungu adalah gerakan tangannya yang cepat. Hal ini disebabkan karena tangan
digunakan sebagai alat bantu komunikasi.
Pada dasarnya, intelegensi anak tunarungu sama dengan anak normal lainnya namun
perkembangannya dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa, informasi yang terbatas dan
daya abstraksi yang dapat menghambat proses pengambilan pengetahuan yang lebih luas.
Anak tuna rungu sering mengalami hambatan pada mata pelajaran verbal karena
keterbatasannya dalam berbahasa. Namun demikian untuk mata pelajaran non verbal pada
umumnya mereka lebih mampu untuk mengatasi permasalahan akademik.
Anak tuna rungu dalam banyak hal juga sering dijauhi oleh teman-temannya bahkan
juga oleh sesama penyandang disabilitas yang lain non rungu wicara. Hal ini disebabkan
oleh sulitnya komunikasi dengan mereka. Hal ini mengakibatkan besarnya
ketergantungan pada orang lain dan adanya ketakutan untuk memasuki lingkungan yang
lebih luas.
Perhatian anak tuna rungu lebih sulit untuk dialihkan namun hal ini dapat membawa
pengaruh positif terutama ketika mereka mulai memasuki lingkungan kerja karena
tingginya kemampuan mereka untuk fokus dalam pekerjaan. Karena keterbatasannya
dalam komunikasi, anak tuna rungu juga mempunyai lingkungan pergaulan yang terbatas.
Hal ini menyebabkan tingginya sifat egosentris mereka dan mempunyai kepribadian yang
polos dan tidak banyak nuansa bahkan pada kondisi perasaan yang ekstrim.

B. FAKTOR PENYEBAB
Kehilangan pendengaran bisa disebabkan oleh faktor genetik, infeksi pada ibu seperti
cacar air selama kehamilan, komplikasi ketika melahirkan, atau penyakit awal masa
kanak-kanak seperti gondok atau cacar air. Banyak anak sekarang ini dilindungi dari
kehilangan pendengaran dengan vaksinasi seperti untuk mencegah infeksi. Tanda-tanda
masalah pendengaran adalah mengarahkan salah satu telinga ke pembicara, menggunakan
salah satu telinga dalam percakapan, atau tidak memahami percakapan ketika wajah
pembicara tidak dapat dilihat indikasi lain adalah tidak mengikuti arahan, sering kali
meminta orang untuk mengulang apa yang mereka katakan, salah mengucapkan kata atau
nama baru, atau tidak mau berpartisipasi dalam diskusi kelas (Anita, 2004 : 608).
Sebab-sebab kelainan pendengaran atau tunarungu juga dapat terjadi sebelum anak
dilahirkan, atau sesudah anak dilahirkan. Menurut Sardjono mengemukakan bahwa faktor
penyebab ketunarunguan dapat dibagi dalam:
a. Faktor-faktor sebelum anak dilahirkan (pre natal)
1) Faktor keturunan Cacar air,
2) Campak (Rubella, Gueman measles)
3) Terjadi toxaemia (keracunan darah)
4) Penggunaan pilkina atau obat-obatan dalam jumlah besar
5) Kekurangan oksigen (anoxia)
6) Kelainan organ pendengaran sejak lahir
b. Faktor-faktor saat anak dilahirkan (natal)
1) Persalinan yang lama sehingga menghabiskan cairan
2) Persalinan dibantu dengan alat (saraf terganggu)
c. Faktor Rhesus (Rh) ibu dan anak yang sejenis
1) Anak lahir premature
2) Anak lahir menggunakan forcep (alat bantu tang)
3) Proses kelahiran yang terlalu lama
d. Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (post natal)
1) Infeksi
2) Meningitis (peradangan selaput otak)
3) Tunarungu perseptif yang bersifat keturunan
4) Otitis Media yang kronis
5) Terjadi infeksi pada alat-alat pernapasan.

Peneliti menyimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya tuna rungu wicara yaitu pre
natal (keturunan), natal (bawaan dari pihak ibu), post natal (otitis media).

C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


Menurut beberapa ahli, faktor-faktor yang mempengaruhi tunarungu adalah
a. Faktor dalam diri anak
Faktor dalam diri anak dapat disebabkan oleh faktor keturunan dari salah satu atau
kedua orang tua yang mengalami ketunarunguan. Kebanyakan kondisi genetic yang
berbeda sehingga mengakibatkan ketunarunguan. Selain itu dipengaruhi juga karena
adanya transmisi antara gen dari kedua orang tua anak mungkin ada yang dominan
dan ada pula resesif.
Herdy (1990) dalam melaporkan pada tahun 1964-1965 sebanyak 199 anak yang
ibunya terkena virus rubella selagi mengandung, sebanyak 50% anak mengalami
kelainan pendengaran. Rubella dari pihak ibu merupakan penyebab paling umum
ketunarunguan. Selain itu, ibu yang juga keracunan darah saat mengandung dapat
mempengaruhi pertumbuhan janin yang mempengaruhi pendengaran anak sehingga
anak lahir dengan kondisi tunarungu.

b. Faktor luar diri anak


Anak dapat mengalami infeksi saat lahir atau kelahiran. Contohnya, ketika ibunya
terkena infeksi yang menyerang kelaminnya sehingga dapat menularkan anaknya saat
dilahirkan. Penyakit kelamin dapat ditularkan melalui virus. Penyakit yang ditularkan
bisa menyebabkan kerusakan syaraf pada alat-alat pendengaran sehingga bisa
menyebabkan ketunarunguan.
Selain itu, terdapat juga penyakit-penyakit yang sering terjadi pada anak yaitu
penyakit meningitis, otitis media, telinga berair, dan nanah dapat mengganggu
hantaran bunyi yang berakibat hilangnya. Juga, penyakit lain seperti kecelakaan yang
dapat menimbulkan benturan sehingga mempengaruhi fungsi pendengaran yang dapat
menimbulkan kerusakan berujung kehilangan pendengaran.
Klasifikasi Tunarungu
Menurut Streng et.al dalam (Maria, 2009), tuna rungu dapat dikelompokkan
menjadi beberapa kategori, antara lain:
a. Deaf, adalah anak yang lahir dengan sedikit atau tanpa kemapuan mendengar di masa
awal pertumbuhan sebelum mempunyai kemampuan berbicara.
b. Deafened, adalah orang yang lahir dengan pendengaran normal tetapi kemudian
kehilangan pendengarannya.
c. Hard of Hearing adalah orang yang ketajaman pendengarannya berkurang sejak lahir
atau di tengah-tengah masa hidupnya.
Donald R Calverd dalam Sardjono (1997: 35) mengklasifikasikan jenis
ketunarunguan serta kemampuan mengerti bicara dan bahasa sebagai berikut:
a. 10 – 20 dB (normal), tidak ada hubungan dengan gangguan bahasa.
b. 20 – 35 dB (mild hearing impairment), tidak ada hubungan dengan gangguan bahasa.
Tapi mungkin perkembangan bahasa terlambat.
c. 35 – 55 dB (mild to moderate hearing impairment), ada beberapa kesulitan artikulasi,
perkembangan kata mungkin tak sempurna.
d. 55 -70 dB (moderate hearing impairment), artikulasi dan suara tidak baik dan
perbendaharaan kata mungkin tak sempurna.
e. 70 -90 dB (severe hearing loss), artikulasi dan kualitas suara tidak baik. Kalimat dan
aspek-aspek bahasa tidak sempurna.
f. 90 dB atau lebih (severe to profound hearing impairment), ritme bicara, suara dan
artikulasi tidak baik. Bicara, bahasa harus dikembangkan secara intensif dan seksama.
g. 100 dB lebih (profound hearing impairment), sangat perlu bantuan tentang
keberadaan pendengarannya, tapi tidak perlu bantuan pengembangan bicara melalui
pendengaran.
D. JENIS DAN INTERVENSI DALAM DUNIA PENDIDIKAN
a. Jenis
Dalam beberapa identifikasi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di dalam kelas
inklusi, yakni setelah dilakukannya asesmen penempatan terhadap Program
Pembelajaran Individual (PPI). Inklusi sendiri menurut Stainback dan Stainback
(1990) ialah sekolah yang dimana dapat menampung seluruh siswa dikelas yang
sama. Sehingga menjadi tempat diterimanya anak-anak tanpa memandang dari segi
kekurangan maupun kelebihan diri. Maka, anak tunarungu menggunakan model
mainstreaming yang dikemukakan oleh Vaughn, Bos & Schumm (2002), seperti
berikut:
1. Kelas Reguler 🡪 Inklusi Penuh
Yakni melakukan belajar bersama dengan anak mendengar dalam kurun waktu
seharian menggunakan kurikulum yang sama terhadap anak tunarungu.
2. Kelas Reguler 🡪 Cluster
Sama seperti dengan kelas inklusi penuh hanya saja menggunakan sistem
kelompok khusus.
3. Kelas Reguler 🡪 Pull Out
Seperti halnya kelas reguler biasanya, hanya saja pada kelas Pull Out ini akan ada
waktu tertentu dimana anak tunarungu akan diberikan kembali untuk belajar
bersama pembimbing khusus yang telah disediakan.
4. Kelas Reguler 🡪 Cluster dan Pull Out
Penggabungan dari system kelas cluster dan pull out.
5. Kelas Khusus 🡪 Pengintegrasian
Anak tunarungu akan dimasukkan kedalam kelas khusus, hanya saja dapat
melakukan pembelajaran dalam bidang lain bersama anak mendengar
6. Kelas Khusus Penuh
Anak tunarungu akan bersekolah khusus pada sekolah regular.

b. Intervensi Dalam Dunia Pendidikan


Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah
dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui
sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan
secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal.
Untuk anak tuna rungu sekolah di SLB-B. Di setiap SLB ada tingkat persiapan,
tingkat dasar dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem
individualisasi. Kurikulum yang digunakan di disesuaikan dengan kekhususannya.
Anak tuna rungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total bina persepsi
bunyi dan irama.
Kurikulum sekolah reguler sudah cukup cocok untuk siswa tunarungu
(Ormrod, 2008), hanya saja perlu adanya penyesuaian yang dapat mendorong
keberhasilan anak tunarungu bila mengambil kelas pendidikan umum. yakni:
1. Meminimalkan kebisingan yang tidak perlu. Dikarenakan ketika anak tunarungu
belajar menggunakan alat bantu dengar, bunyi kebisingan ataupun suara tertentu
akan mengganggu konsentrasi anak tunarungu, sehingga dapat diantisipasi dengan
menggunakan bahan kedap suara pada kelas.
2. Melengkapi presentasi auditori dengan informasi berbentuk visual ataupun
aktivitas konkret
3. Pembimbing sebaiknya melakukan komunikasi dengan cara yang dapat membuat
siswa tunarungu dapat mendengar dan dapat membaca gerak bibir.
4. Mulai mengajarkan Siswa untuk berbahasa isyarat, sebab ini bertujuan agar siswa
lain juga dapat berkomunikasi dengan baik bersama siswa tunarungu.

Menurut Santrock (2009), pendekatan pendidikan yang mampu dilakukan untuk


anak dengan gangguan pendengaran melalui pendekatan oral dan manual. Pendekatan
oral yakni meliputi penggunaan pembacaan gerakan bibir, pembacaan cara bicara
seperti mengandalkan isyarat visual untuk mengajar membaca. Sementara pendekatan
manual lebih meliputi bahasa isyarat dan pengejaan menggunakan jari.

ASSESSMENT PADA ANAK TUNA RUNGU

Assessment sering didefinisikan dengan berbagai macam cara, tergantung dari


sudut pandang yang digunakan. Beberapa buah di antara definisi tersebut menyatakan
bahwa assessment adalah suatu proses pengumpulan informasi tentang seorang anak
yang akan digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang berhubungan
dengan anak tersebut. Kemudian sejalan dengan definisi tersebut, McLoughin dan
Lewin (dalam Yosfan Azwandi, 2005) merumuskan batasan yang menyatakan bahwa
assessment dalam pendidikan luar biasa adalah proses yang sistematis dalam
mengajukan pertanyaan yang relevan secara kependidikan untuk digunakan sebagai
dasar penempatan dan pembelajaran.
Dalam konteks pendidikan , Hargrove dan Poteet (1984) menempatkan
asesmen sebagai salah satu dari tiga aktivitas penting di bidang pendidikan bahkan
mengawali dari aktifitas yang lain, ialah (1) asesmen (2) diagnostik, (3) preskriptif.
Dengan demikian maka asesmen dilakukan untuk menegakkan diagnosis, dan
berdasarkan diagnosis tersebut dilakukan langkah berikutnya ialah deskripsi, yakni
perencanaan program pendidikan pada anak tersebut.

1. Tes Dengan Audiometri

Tes audiometri adalah suatu alat elektronik utk mengukur taraf kehilangan
kemampuan mendengar. Audiometer dpt menghasilkan frekuensi-frekuensi (jumlah
getaran per detik) yg dinyatakan dgn Hertz (Hz). Intensitas-intensitas tertentu
(nyaring suatu bunyi) dinyatakan dgn desiBel (dB). Untuk menguji pendengaran, kita
mengukur dua dimensi bunyi yaitu frekuensi & intensitas. Kita dpt mengetahui
tingkat kehilangan kemampuan mendengar dengan menentukan intensitas pada saat
orang itu sedang mendengar.

Assesment yang dilakukan pada anak tuna rungu yaitu Assesmen fungsi
pendengaran, Assesmen psikologis, Assesmen bahasa dan bicara (persepsi bunyi
bahasa), Assesmen fungsi kognitif dan perseptual, Assesmen sensor motorik.

Cara mendeteksi ketunarunguan yaitu dengan cara tes:

1. Tes dengan alat yg sederhana


2. Tes dengan uang logam (coin click test)
3. Tes dengan detik jam (watch tick test)
4. Tes dengan bisikan
5. Tes dengan percakapan
6. Tes dengan garpu tala

DAFTAR PUSTAKA

1. Bisa Mandiri.2015. Karakteristik Anak Tuna Rungu.


2. Desi Nigrum, Ratri, Dinie. 2016. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta.
3. Mangunsong, Dr. Frieda. 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus (Jilid 1). Universitas Indonesia.
4. Nofiaturrahmah, fifi. 2018. Problematika Anak Tunarungu dan Cara Mengatasinya.
IAIN Kudus.
5. Sthepanie, Maria. 2009. Penyesuaian Diri Individu Tuna Rungu Dalam Melanjutkan
Pendidikan Sekolah Reguler/Umum. Fakultas Psikologi. Universitas Sanatha Dharma
Yogyakarta.
6. Pratiwi, Sinta. 2011. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Semarang: Semarang
University Press.
7. Gunawan, Dudi. 2016. Modul Guru Pembelajar SLB Tunarungu Kelompok
Kompetensi A .Bandung: PPPPTK TK DAN PLB BANDUNG

Anda mungkin juga menyukai