Anda di halaman 1dari 13

PERAWATAN PASIEN DENGAN TUNA RUNGU

1. Pengertian Tuna Rungu


Definisi tuna rungu bila dilihat dari harfiah berasal dari dua kata yaitu tuna
yang berarti kurang dan rungu yang berarti dengar. Istilah tuna rungu mengacu
pada pengertian kurang atau tidak dapat mendengar informasi dari bunyi. Orang
dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu
mendengar suara. Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda
dengan anak dengar pada umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah diketahui
bahwa mereka tunarungu. Murni Winarsih (2007: 22) mengemukakan bahwa tuna
rungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari
yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar. Orang
tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses
informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat
bantu dengar dimana batas pendengaran yang dimilikinya cukup memungkinkan
keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran.
Permadi Somad dan Tati Hernawati (1996: 27) menyatakan tuna rungu adalah
seorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar,
baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya
sebagian atau seluruh alat pendengarannya, sehingga ia tidak dapat menggunakan
alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak secara
kompleks.
Pendapat yang serupa juga dipaparkan Murni Winarsih (2007: 23)
tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan
kemampuan mendengar baik sebagian maupun seluruhnya yang diakibatkan oleh
tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak
dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari, yang
berdampak terhadap kehidupannya secara kompleks terutama pada kemampuan
bahasa sebagai alat komunikasi yang sangat penting.
Mohamad Efendi (2006: 57) menyatakan tunarungu adalah seorang yang
mengalami gangguan atau kerusakan pada organ telinga bagian luar, organ
telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam sehingga organ tersebut
tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

2. Tujuan Perawatan pada Pasien Tuna Rungu


Tujuan perawatan yang dilakukan pada pasien dengan gangguan pendengaran
atau pasien tuna rungu antara lain:
a. Agar pasien tidak mengalami kehilangan pendengaran yang lebih berat;
b. Agar pasien dan keluarga dapat menyesuaikan diri terhadap kehilangan
pendengaran oleh salah satu anggota keluarganya;
c. Agar pasien dapat ikut serta dalam aktivitas yang sesuai dengan tingkat
perkembangannya meskipun dia mengalami kekurangan;
d. Agar pasien mempunyai hubungan dan pengalaman dengan kawan
sebayanya;
e. Agar pasien dapat berkomunikasi dengan orang lain meskipun dengan
menggunakan bahasa isyarat.

3. Penyebab Tuna Rungu


Penyebab ketulian dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Prenatal, meliputi infeksi maternal (rubella), malformasi;
b. Perinatal, meliputi hipoksia, prematuritas, hiperbilirubinemia;
c. Postnatal, meliputi infeksi (meningitis, ensefalitis), otitis, dan obat-obatan
ototoksik (Newell & Meadow, 2005).
Menurut Sardjono 7(1997) dalam Kadarsih, 2009, mengemukakan bahwa
faktor penyebab ketunarunguan dapat dibagi ,menjadi 3, yaitu:
1) Faktor-faktor sebelum anak dilahirkan (pre natal), antara lain:
a. Faktor keturunan;
b. Cacar air, campak (Rubella, Gueman measles);
c. Terjadi toxaemia (keracunan darah);
d. Penggunaan pilkina atau obat-obatan dalam jumlah besar;
e. Kekurangan oksigen (anoxia);
f. Kelainan organ pendengaran sejak lahir.
2) Faktor-faktor saat anak dilahirkan (natal), antara lain:
a. Faktor Rhesus (Rh) ibu dan anak yang sejenis;
b. Anak lahir premature;
c. Anak lahir menggunakan forcep (alat bantu tang);
d. Proses kelahiran yang terlalu lama.
3) Faktor- faktor sesudah anak dilahirkan (post natal), antara lain:
a. Infeksi;
b. Meningitis (peradangan selaput otak);
c. Tunarungu perseptif yang bersifat keturunan;
d. Otitis media yang kronis;
e. Terjadi infeksi pada alat- alat pernafasan.

4. Klasifikasi Tuna Rungu


Menurut Boothroyd (dalam Murni Winarsih, 2007) klasifikasi tuna rungu
adalah sebagai berikut.
a. Kelompok I
Kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau tuna rungu ringan, daya
tangkap terhadap suara cakapan manusia normal.
b. Kelompok II
Kehilangan 31-60 dB, moderate hearing losses atau tuna rungu sedang, daya
tangkap terhadap suara cakapan manusia hanya sebagian.
c. Kelompok III
Kehilangan 61-90 dB, severe hearing losses atau tuna rungu berat, daya
tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada.
d. Kelompok IV
Kehilangan 91-120 dB, profound hearing losses atau tuna rungu sangat berat,
daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.
e. Kelompok V
Kehilangan lebih dari 120 dB, total hearing losses atau tuna rungu total, daya
tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.
Selanjutnya Uden (dalam Murni Winarsih, 2007) membagi klasifikasi
ketunarunguan menjadi tiga, yakni berdasar saat terjadinya ketunarunguan,
berdasarkan tempat kerusakan pada organ pendengarannya, dan berdasar pada
taraf penguasaan bahasa.
1. Berdasarkan sifat terjadinya
a. Ketunarunguan bawaan, artinya ketika lahir anak sudah
mengalami/menyandang tuna rungu dan indera pendengarannya sudah
tidah berfungsi lagi.
b. Ketunarunguan setelah lahir, artinya terjadinya tuna rungu setelah anak
lahir diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit.
2. Berdasarkan tempat kerusakan
a. Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat
bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga disebut tuli konduktif.
b. Kerusakan pada telinga bagian dalam sehingga tidak dapat mendengar
bunyi/suara disebut tuli sensoris.
3. Berdasarkan taraf penguasaan bahasa
a. Tuli pra bahasa (prelingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli
sebelum dikuasainya suatu bahasa (usia 1,6 tahun) artinya anak
menyamakan tanda (signal) tertentu seperti mengamati, menunjuk, meraih
dan sebagainya namun belum membentuk system lambang.
b. Tuli purna bahasa (post lingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli
setelah menguasai bahasa, yaitu telah menerapkan dan memahami system
lambang yang berlaku di lingkungan.

5. Dampak pada fungsi normal


Kejadian ketulian pada seseorang tidak hanya memberikan dampak terhadap
kurangnya input sensorik namun juga gangguan dalam interaksi dan hubungan
antara orang dewasa dan anak-anak. Secara keseluruhan perkembangan seseorang
khususnya anak-anak yang memiliki masalah pendengaran dapat dilihat dalam
aspek sebagai berikut.
a. Perkembangan bahasa dan komunikasi
Kehilangan pendengaran akan menghalangi perkembangan komunikasi
mendengar dan bertutur kata karena manusia berkomunikasi dengan mimik
muka, sentuhan, gerak tangan, gerak badan, mendengar, dan bertutur kata
tersebut.
b. Perkembangan sosial dan emosi
Pada anak yang mengalami masalah pendengaran maka perkembangan sosial
dan emosinya sangat dipengaruhi oleh pengalaman, perlakuan yang diterima,
dan kemampuan mereka sendiri. Masalah komunikasi akan berpengaruh pada
kemandirian, kemampuan bermain, dan berbagi dengan sesama teman
sebayanya.
c. Perkembangan kognitif
Perkembangan pada aspek ini merujuk pada cara memahami dan mengatur
dunia anak-anak meliputi kemampuan menyerap, menyimpan dan mengingat
informasi, mengklasifikasi benda, mendefinisikan, menilai, membandingkan
dan membedakan, menciptakan sesuatu, menyelesaikan masalah, dan lain-
lain. Keterlambatan perkembangan bahasa anak dengan masalah pendengaran
akan memperlambat perkembangan kognitif mereka juga.
d. Perkembangan fisik dan motorik
Perkembangan motorik kasar dan halus pada anak dengan masalah
pendengaran tidak berbeda dengan anak normal lainnya.

6. Asuhan keperawatan klien dengan tuna rungu


Asuhan keperawatan meliputi 5 langkah utama yaitu pemgkajian, rumusan
diagnosa, rencana tindakan, implementasi, serta evaluasi.
1) Pengkajian
Pengkajian pada umumnya diawali dengan melakukan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan tersebut antara lain:
a. Inspeksi luar
Inspeksi luar merupakan prosedur yang paling sederhana tapi sering
terlewat aurikulus dan jaringan sekitarnya diinspeksi adanya deformitas,
lesi, dan cairan begitu pula ukuran,simetri dan sudut penempelan ke
kepala.
b. Pemeriksaan dengan garputala
Pemeriksaan pendengaran melalui hantaran udara pada orang dewasa
dinilai dengan menempatkan garputala yang telah digetarkan di dekat
telinga sehingga suara harus melewati udara agar sampai ke telinga.
Penurunan fungsi pendengaran atau ambang pendengaran subnormal bisa
menunjukkan adanya kelainan pada saluran telinga, telinga tengah, telinga
dalam, sarat pendengaran atau jalur saraf pendengaran di otak. Pada
dewasa, pendengaran melalui hantaran tulang dinilai dengan menempatkan
ujung pegangan garputala yang telah digetarkan pada prosesus mastoideus
(tulang yang menonjol di belakang telinga).
Getaran akan diteruskan ke seluruh tulang tengkorak, termasuk tulang
koklea di telinga dalam. Koklea mengandung sel-sel rambut yang merubah
getaran menjadi gelombang saraf, yang selanjutnya akan berjalan di
sepanjang saraf pendengaran. Pemeriksaan ini hanya menilai telinga
dalam, saraf pendengaran dan jalur saraf pendengaran di otak. Jika
pendengaran melalui hantaran udara menurun, tetapi pendengaran melalui
hantaran tulang normal, dikatakan terjadi tuli konduktif. Jika pendengaran
melalui hantaran udara dan tulang menurun, maka terjadi tuli
sensorineural. Kadang pada seorang penderita, tuli konduktif dan
sensorineural terjadi secara bersamaan.
c. Anamnesa
Perawat perlu melakukan anamnesa dari keluhan klien seperti :
a) Nyeri saat pinna (aurikula) dan tragus bergerak
b) Nyeri pada liang tengah
c) Telinga terasa tersumbat
d) Perubahan pendengaran
e) Keluar cairan dari telinga yang berwarna kehijauan
Riwayat kesehatan klien diantaranya :
a) Kapan keluhan nyeri terasa oleh klien?
b) Apakah klien dalam waktu dekat lalu berenang dilaut, kolam renang,
ataukah danau?
c) Apakah klien sering mengorek-ngorek telinga sehingga
mengakibatkan nyeri setelah dibersihkan?
d) Apakah klien pernah mengalmi trauma terbuka pada liang telinga
akibat terkena benturan sebelumnya?
e) Apakah klien seorang petinju atau pegulat yang sering mengalami
trauma pada telinganya?

2) Diagnosa Keperawatan
a) Diagnosa 1:
Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan pendengaran
b) Diagnosa 2:
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakmampuan
mendengar stimulus suara (gangguan pendengaran)
c) Diagnosa 3:
Gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan efek
ketidakmampuan fisik
d) Diagnosa 4:
Gangguan proses keluarga yang berhubungan dengan diagnosis ketulian
(perubahan status kesehatan anggota keluarga)

7. Rencana Keperawatan
Diagnosa Tujuan Kriteria hasil Rencana Keperawatan

Diagnosa 1: Setelah  Distorsi MINIMALISASI RANGSANGAN


Gangguan sensori (I.08241)
diberikan
persepsi sensori asuhan meningkat Observasi
berhubungan keperawatan  Menarik diri
 Periksa status mental, status
dengan meningkat
selama 2x24 sensori, dan tingkat kenyamanan
gangguan jam  Respon
sesuai (mis. nyeri, kelelahan)
pendengaran diharapkan
persepsi stimulus Terapeutik
sensori membaik
 Diskusikan tingkat toleransi
membaik terhadap beban sensori (mis. bising,
terlalu terang)
 Batasi stimulus lingkungan (mis.
cahaya, suara, aktivitas)
 Jadwalkan aktivitas harian dan
waktu istirahat
 Kombinasikan prosedur/tindakan
dalam satu waktu, sesuai kebutuhan

Edukasi

 Ajarkan cara meminimalisasi


stimulus (mis. mengatur
pencahayaan ruangan, mengurangi
kebisingan, membatasi kunjungan)

Kolaborasi

 Kolaborasi dalam meminimalkan


prosedur/Tindakan
 Kolaborasi pemberian obat yang
mempengaruhi persepsi stimulus

Diagnosa 2: Setelah  Kemampuan Promosi Komunikasi: Defisit


Gangguan diberikan mendengar Pendengaran
komunikasi asuhan meningkat  Periksa kemampuan mendengar
verbal keperawatan  Kesesuaian  Identifikasi metode komunikasi yang
berhubungan ekspresi sesuai
selama 2x24
wajah/tubuh
dengan jam  Gunakan bahasa sederhana
meningkat
ketidakmampua diharapkan  Berhadapan langsung kepada pasien
 Respon
n mendengar komunikasi ketika berbicara
perilaku
stimulus suara verbal  Pertahankan kontak mata
membaik
(gangguan meningkat  Anjurkan menyampaikan pesan
 Pemahaman
pendengaran) dengan isyarat, gunakan alat tulis
komunikasi
membaik
Diagnosa 3: Setelah  Berat badan Perawatan perkembangan
Gangguan diberikan sesuai usia
asuhan meningkat Observasi
tumbuh  TB sesuai
keperawatan
kembang selama 2x24 usia  Identifikasi pencapaian tugas
meningkat perkembangan anak
berhubungan jam
 IMT  Identifikasi isyarat prilaku dan
diharapkan
dengan efek status meningkat fisiologis yang di tunjukkan bayi
 Asupan
ketidakmampua pertumbuhan nutrisi Terapeutik
meningkat meningkat
n fisik
dan  Perilaku  Pertahankan sentuhan seminimal
perkembangan sesuai usia mungkin pada bayi premature
membaik meningkat  Berikan sentuhan yang bersifat
 Kemampuan gentle dan tidak ragu ragu
melakukan  Minimalkan nyeri
perawatan  Minimalkan kebisingan ruangan
diri  Pertahankan lingkungan yang
meningkat mendukung perkembangan optimal
 Motivasi anak berinteraksi dengan
anak lain

Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur


ambulasi

PROMOSI PERKEMBANGAN
ANAK 10340

Observasi

 Identifikasi kebutuhan khusu anak


dengan teman sebaya

Terapeutik

 Fasilitasi hub anak dengan teman


sebaya
 Dukung anak berinteraksi dengan
anak lain
 Dukung anak mengekspresikan
perasaannya secara positif
 Dukung anak dalam bermimpi atau
berfantasi
 Dukung partisipasi anak di sekolah,
ekstrakurikuler dan aktivitas
komunitas
 Berikan mainan yang sesuai dengan
usia anak
 Bacakan dongeng/ cerita untuk
anak
 Sediakan kesempatan dan alat alat
untuk menggambar, melukis dan
mewarnai
 Sediakan mainan berupa puzzle dan
maze

Edukasi

 Jelaskan anama nama benda obyek


yang ada di lingkungan sekitar
 Ajarakan
pengasuh milestones perkembanga
n dan prilaku yang dibentuk
 Ajarkan sikap kooperatif, bukan
kompetisi diantara anak
 Ajarkan anak cara meminta
bantuan dari anak lain, jika perlu
 Ajarkan teknik asertif pada anak
dan remaja
 Demonstrasikan kegiatan yang
meningkatkan perkembangan pada
pengasuh

Kolaborasi

 Rujuk untuk konseling, jika perlu

Diagnosa 4: Setelah  Adaptasi Dukungan koping keluarga .


Gangguan diberikan keluarga Observasi
proses keluarga asuhan terhadap  Identifikasi respon emosional pada

yang keperawatan situasi kondisi saat ini

berhubungan meningkat  Identifikasi beban prognosis secara


selama 2x24
 Perhatian psikologis
dengan jam
pada Batasan  Identifikasi kesesuaian harapan pasien,
diagnosis diharapkan
anggota keluarga dan tenaga kesehatan
ketulian
(perubahan proses keluarga Terapeutik
status kesehatan keluarga meningkat  Dengarkan masalah, perasaan dan

anggota membaik  Adaptasi pertanyaan keluarga

keluarga) keluarga pada  Terima nilai-nilai dalam keluarga


perubahan dengan cara yang tidak menghakimi
meningkat  Diskusikan rencana mmedis
 Sikap respek  Hargai dan dukung mekanisme koping
antara adaptif yang digunakan
anggota Edukasi
keluarga  Informasikan kemajuan pasien secara
meningkat berkala
 Kemampuan  Informasikan fasilitas perawatan
keluarga kesehatan yang tersedia
memenuhi Kolaborasi
kebutuhan  Rujuk untuk terapi keluarga, jika perlu
fisik dan
emosional
anggota
keluarga
meningkat

4) Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan telah dilakukan sesuai dengan rencana
keperawatan yang telah dibuat.

5) Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan hasil penilain terkait implementasi yang
telah dilakukan. Evaluasi pada asuhan keperawatan menggunakan
berbagai format dan ketentuan, namun pada umumnya menggunakan
format SOAP. S yaitu respon subjektif pasien, O adalah respon objektif
pasien, A merupakan analisa dari kedua data yang diperoleh, Sedangkan P
merupakan planning atau rencana kelanjutan implementasi.

DAFTAR PUSTAKA

Kadarsih. 2009. Latihan Bina Persepsi Bunyi Dan Irama Meningkatkan


Kemampuan Berbicara Anak Tuna Rungu Wicara Kelas III SLB Negeri
Sragen. Surakarta: Program Studi Pendidikan Luar Biasa Jurusan Ilmu
Pendidikan Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Muhammad, Jamila K.A. 2008. Panduan Pendidikan Khusus Anak-Anak dengan
Ketunaan dan Learning Disabilities. Jakarta: Penerbit Hikmah.

Murni Winarsih. 2007. Intervensi Dini bagi Anak Tuna Rungu dalam
Pemerolehan Bahasa. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Newell, S & Meadow R. Lecture Notes Pediatrika Edisi Ketujuh. Penerbit


Erlangga.

Pernamari Somad dan Tati Herawati. 1996. Ortopedagogik Anak Tuna Rungu.
Bandung. Depdikbud.

Wong. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik: Vol 1.Edisi 6. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai