Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (TUNADAKSA)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling sempurna. Di antara
makhluk lainnya manusialah yang memiliki bentuk dan struktur yang paling sempurna.
Maka dari itu sebagai manusia yang bersyukur kita wajib menggunakan pemberian itu
dengan sebaik-baiknya dengan cara merawat serta mengembangkan potensinya
semaksimal mungkin pada kenyataannya masih banyak manusia yang memiliki
keterbatasan dalam hal fisik maupun mental, salah satunya penyandang tunadaksa
disekitar kita. Tunadaksa (cacat tubuh) adalah salah satu bentuk keterbatasan manusia
yang terjadi pada fisiknya, seperti pada sistem otot, tulang dan persendian akibat dari
adanya penyakit dari kecelakaan, bawaan sejak lahir atau kerusakan di otak. Kelainan
atau kecacatan yang disandang oleh seseorang memiliki dampak langsung (primer) dan
tidak langsung (sekunder) baik terhadap diri anak yang memiliki kecacatan itu sendiri
maupun terhadap keluarga dan masyarakat. Karena itu masalah tersebut perlu
memperoleh penanganan sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya penyandang tunadaksa
dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu, kebutuhan untuk memperoleh pelayanan medis
guna mengurangi permasalahan yang dialami anak di bidang medis. Kebutuhan untuk
memperoleh pelayanan rehabilitasi dan habilitasi guna mengurangi gangguan fungsi
sebagai dampak dari adanya kecacatan tunadaksa dan kebutuhan untuk memperoleh
pendidikan khusus.

1.2 Rumusan Masalah


Dari beberapa penjelasan di atas, maka dalam makalah ini penulis akan merumuskan
beberapa masalah, sebagai berikut :
1.

Apa pengertian dari anak tunadaksa?

2.

Bagaimana klasifikasi anak tunadaksa?

3.

Apa saja karakteristik dari anak tunadaksa?

4.

Bagaimana bentuk rehabilitasi anak tunadaksa?

1.3 Maksud dan Tujuan


Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah PAI bagi Anak Berkebutuhan
Khusus.
2.

Untuk mengetahui arti dari anak tunadaksa.

3.

Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi anak tunadaksa.

4.

Untuk mengetahui karakteristik yang dimiliki dari anak tunadaksa.

5.

Untuk mengetahui cara yang tepat dalam merehabilitasi anak tunadaksa.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Anak Tunadaksa


Tunadaksa merupakan suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan
bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi
ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh
pembawaan sejak lahir (White House Conference, 1931). Tunadaksa sering juga diartikan
sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau
gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk
mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.[1]
Dari berbagai pengertian di atas dapatkami simpulkan bahwa anak tunadaksa adalah
seseorang yang mengalami kerusakan atau kelainan pada tulang, otot, dan sendi dalam
fungsinya secara normal sehingga mengakibatkan gangguan pada komunikasi,
bersosialisasi, dan berkembang bagi dirinya.

2.2 Klasifikasi Tunadaksa


Menurut Frances G. Koening, tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.
Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan,
meliputi:

Club-foot (kaki seperti tongkat).

Club-hand (tangan seperti tongkat).

Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan atau kaki).

Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang lainnya).

Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka).

Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak tertutup).

Cretinism (kerdil/katai).

Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal).

Hydrocepalus (kepala yang besar karena berisi cairan).

Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang).

Herelip (gangguan padabibir dan mulut).

Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha).

Congenital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu).

Fredresich ataxia (gangguan pada sumsum tulang belakang).

Coxa valga (gangguan pada sendi paha, terlalu besar).

Syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis).

b.

Kerusakan pada waktu kelahiran:

Erbs palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik waktu
kelahiran).

Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah).

c.

Infeksi:

Tuberkulosis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku).

Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsum tulang karena bakteri).

Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan kelumpuhan).

Potts disease (tuberkulosis sumsum tulang belakang).

Stills disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan permanen pada
tulang).

Tuberkulosis pada lutut atau pada sendi lain.

d.

Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik:

Amputasi (anggota tubuh dibuangakibat kecelakaan).

Kecelakaan akibat luka bakar.

Patah tulang.

e.

Tumor:

Oxostosis (tumor tulang).

Osteosisfibrosa cystica (kista atau kentang yang berisi cairan di dalam tulang).

2.2.1 Ketunadaksaan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:


a.
Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran, yaitu faktor keturunan, trauma dan
infeksi pada waktu kehamilan, usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak,
pendarahan pada waktu kehamilan, dan keguguran yang dialami ibu.
b.
Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran, yaitu penggunaan alat-alat
pembantu kelahiran (seperti tang, tabung, vacum, dll.) yang tidak lancar, serta
penggunaan obat bius pada waktu kelahiran..
c.

Sebab-sebab sesudah kelahiran, yaitu infeksi, trauma, tumor.[2]

2.3 Karakteristik Anak Tunadaksa


1.

Perkembangan Fisik Anak Tunadaksa

Aspek fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan oleh individu.
Pada anak tunadaksa, potensi itu tidak utuh karena ada bagian tubuh yang tidak
sempurna. Potensi itu tidak utuh karena ada bagian Secara umum perkembangan fisik

anak tunadaksa dapat dikatakan hampir sama dengan anak normal kecuali bagian-bagian
tubuh yang mengalami kerusakan atau bagian-bagian tubuh lain yang terpengaruh oleh
kerusakan tersebut.
2.

Perkembangan Kognitif Anak Tunadaksa

Implikasi dalam konteks perkembangan kognitif menurut Gunarsa dalam Efendi


(2006:124) ada empat aspek yang turut mewarnai, yaitu:
a)
Kematangan, kematangan merupakan perkembangan susunan saraf misalnya
mendengar yang diakibatkan kematangan susunan sarat tersebut.
b)
Pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara organism dengan lingkungan dan
dunianya.
c) Transmisi sosial, yaitu pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan
lingkungan sosial.
d)

Ekuilibrasi, yaitu adanya kemampuan yang mengatur dalam diri anak.

Untuk mengembangkan fungsi kognitif sebagai alat adaptasi terhadap lingkungan, dapat
dilakukan melalui dua proses yang saling memengaruhi. Proses tersebut yakni asimilasi
(integritas elemen-elemen dari luar terhadap struktur yang sudah lengkap pada organism)
dan akomodasi (proses dimana terjadi perubahan pada subjek agar bisa menyesuaikan
terhadap objek yang ada di luar dirinya).
Tunadaksa di bagi menjadi dua yaitu tunadaksa ortopedi dan tunadaksa saraf, meski
keduanya termasuk dalam tunadaksa yang memiliki gejala kesulitan yang sama, namun
jika ditelaah lebih lanjut terdapat perbedaan yang mendasar. Dari segi kognitif misalnya,
wujud konkretnya dapat dilihat dari angka indeks kecerdasan (IQ). Kondisi
ketunadaksaan pada anak sebagian besar menimbulkan kesulitan belajar dan
perkembangan kognitif. Khususnya anak cerebral palsy, selain mengalami kesulitan
dalam belajar dan perkembangan fungsi kognitifnya, mereka pun seringkali mengalami
kesulitan dalam komunikasi, presepsi, maupun control geraknya, bahkan beberapa
penelitian sebagian besar diketahui terbelakang mental (tunagrahita).
1)

Klasifikasi Cerebral Palsy

Menurut Bakwin-Bakwin, cerebral palsy dapat dibedakan sebagai berikut:

Spasticity, yaitu kerusakan pada cortex cerebri yang menyebabkan hiperactive


reflex dan stretch reflex. Spasticity dapat dibedakan menjadi:
Paraplegia, apabila kelainan menyerang kedua tungkai.

Quadriplegia, apabila kelainan menyerang kedua lengan dan kedua tungkai.


Hemiplegia, apabila kelainan menyerang satu lengan dan satu tungkai yang terletak
pada belahan tubuh yang sama.

Athetosis, yaitu kerusakan pada basal banglia yang mengakibatkan gerakangerakan menjadi tidak terkendali dan tidak terarah.

Ataxia, yaitu kerusakan pada cerebellum yang mengakibatkan adanya gangguan


pada keseimbangan.

Tremor, yaitu kerusakan pada basal ganglia yang berakibat timbulnya getarangetaran berirama, baik yang bertujuan maupun yang tidak bertujuan.

Rigidity, yaitu kerusakan pada basal ganglia yang mengakibatkan kekakuan pada
otot-otot.
Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan kerusakan di dalam otak pada anak-anak
yang kemudian mengakibatkan cacat cerebral palsy. Hal itu bisa terjadi sebelum anak
dilahirkan, pada saat dilahirkan, maupun setelah dilahirkan.
a.

Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran:

Faktor kongenital ketidaknormalan sel kelamin pria.

Pendarahan waktu kehamilan.

Trauma atau infeksi pada waktu kehamilan.

Kelahiran prematur.

Keguguran yang sering dialami Ibu.

Usia Ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak.

b.

Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran:

Penggunaan alat-alat pada waktu proses kelahiran yang sulit, misalnya: tang,
tabung, vacum, dll.

Penggunaan obat bius pada waktu proses kelahiran.

c.

Sebab-sebab yang timbul setelah kelahiran:

Penyakit tuberculosis.

Radang selaput otak.

Radang otak.

Keracunan arsen atau karbon monoksida.

2)

Keadaan Intelegensi Anak Tunadaksa

Untuk mengetahui tingkat intelegensi anak tunadaksa dapat digunakan tes yang telah
dimodifikasi agar sesuai dengan anak tunadaksa. Tes tersebut antara lain Hausserman
Test (untuk anak tunadaksa ringan), Illinois Test (The Psycholinguistis Ability), dan
Peabody Picture Vocabulary Test. Lee dalam Soemantri (2007:129) mengungkapkan hasil
penelitian yang menggunakan tes Binet untuk mengukur tingkat intelegensi anak
tunadaksa yang berumur antara 3 sampai 16 tahun sebagai berikut:
i.
ii.
iii.
(i)

IQ tunadaksa berkisar (range) antara 35-138


Rata-rata (mean) mereka adalah IQ 57
Klasifikasi tunadaksa yang lain yaitu:

Anak polio mempunyai rata-rata intelegensi yang tinggi yaitu IQ 92

(ii) Anak yang TBC tulang rata-rata IQ 88


(iii) Anak yang cacat kongenital rata-rata IQ 61
(iv) Anak yang spastis rata-rata IQ 69
(v) Anak cacat pada pusat syaraf rata-rata IQ 74[3]
Pada anak cerebal palsy, kelainan yang mereka derita secara langsung menimbulkan
kesulitan belajar dan perkembangan intelegensi. Mereka lebih banyak mengalami
kesulitan daripada anak tunadaksa pada umumnya. Mereka banyak mengalami kesulitan
baik dalam komunikasi, persepsi, maupun kontrol gerak. Hasil pengukuran intelegensi
anak cerebral palsy tidak menunjukkan kurva normal, semakin tinggi IQ semakin sedikit
jumlahnya.
3.

Perkembangan Bahasa/Bicara Anak Tunadaksa

Setiap manusia memilki potensi untuk berbahasa, potensi tersebut akan berkembang
menjadi kecakapan berbahasa melalui proses yang berlangsung sejalan dengan kesiapan
dan kematangan sensori motoriknya. Pada anak tunadaksa jenis polio, perkembangan
bahasa/bicaranya tidak begitu anak normal, lain halnya dengan anak cerebral palsy.
Terjadinya kelainan bicara pada anak cerbral palsy disebabkan oleh ketidakmampuan
dalam kondisi motorik organ bicaranya akibat kerusakan atau kelainan sistem neumotor.

Gangguan bicara pada anak cerebral palsy biasanya berupa kesulitan artikulasi, phonasi,
dan sistem respirasi.
Adanya gangguan bicara pada anak cerebral palsy mengakibatkan mereka mengalami
problem psikologis yang disebabkan kesulitan dalam mengungkapkan pikiran, keinginan,
atau kehendaknya. Mereka biasanya menjadi mudah tersinggung, tidak memberikan
perhatian yang lama terhadap sesuatu, merasa terasing dari keluarga dan temannya.
4.

Perkembangan Emosi Anak Tunadaksa

Banyak masalah yang muncul sehubungan dengan sikap dan perlakuan anak-anak normal
yang berinteraksi dengan anak-anak tunadaksa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
usia ketika ketunadaksaan mulai terjadi turut mempengaruhi perkembangan emosi anak
tersebut. Anak tunadaksa sejak kecil mengalami perkembangan emosi sebagai tunadaksa
secara bertahap. Sedangkan anak yang mengalami ketunadaksaan setelah besar
mengalaminya sebagai suatu hal yang mendadak, disamping anak yang bersangkutan
pernah menjalani kehidupan sebagai orang yang normal sehingga keadaan tunadaksa
dianggap sebagai suatu kemunduran dan sulit untuk diterima oleh anak yang
bersangkutan. Dukungan orang tua dan orang-orang di sekelilingnya merupakan hal yang
sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan emosi anak tunadaksa. Orang tua
anak tunadaksa sering memperlakukan anak-anak mereka dengan sikap terlalu
melindungi, misalnya dengan memenuhi segala keinginannya dan memenuhi secara
berlebihan. Di samping itu ada juga orang tua yang menyebabkan anak-anak tunadaksa
merasakan ketergantungan sehingga merasa takut serta cemas dalam menghadapi
lingkungan yang tidak dikenalnya.
5.

Perkembangan Sosial Anak Tunadaksa

Keanekaragaman pengaruh perkembangan yang bersifat negatif menimbulkan resiko


bertambah besarnya kemungkinan munculnya kesulitan dalam penyesuaian diri pada
anak tunadaksa. Sebenarnya kondisi sosial yang positif menunjukkan kecenderungan
untuk menetralisasi akibat keadaan tunadaksa tersebut. Nampak atau tidak nampaknya
keadaan tunadaksa itu merupakan faktor yang penting dalam penyesuaian diri anak
tunadaksa dengan lingkungannya, karena hal itu sangat berpengaruh terhadap sikap dan
perlakuan anak-anak normal terhadap anak-anak tunadaksa.
Sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah, dan masyarakat pada umumnya
sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak tunadaksa. Dengan demikian
akan mempengaruhi respon sebagian terhadap lingkungannya. Ejekan dan gangguan
anak-anak normal terhadap anak tunadaksa akan menimbulkan kepekaan efektif pada
anak tunadaksa yang tidak jarang mengakibatkan timbulnya perasaan negatif pada diri
mereka terhadap lingkungan sosialnya. Keadaan ini menyebabkan hambatan pergaulan
sosial anak tunadaksa. Di jaman yang sudah demikian maju seperti sekarang ini,

keberhasilan seseorang sering diukur dari prestasinya dan di dalam masyarakat dikenal
norma tertentu bagi prestasi individu. Keterbatasan kemampuan anak tunadaksa
seringkali menyebabkan mereka menarik diri dari pergaulan masyarakat yang
mempunyai prestasi yang jauh di luar jangkauannya.
Secara umum anak-anak normal menunjukkan sikap yang berbeda terhadap anak-anak
tunadaksa bila dibadingkan dengan sikap mereka terhadap anak-anak normal. Demikian
pula hanya sikap guru. Perbedaan perlakuan ini nampaknya berkaitan dengan refrence
group yang berbeda antara anak normal dan anak tunadaksa.

6.

Perkembangan Kepribadian Anak Tunadaksa

Terdapat hal yang tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian anak tunadaksa,
antara lain:

Terhambatnya aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan frustasi.


Timbulnya kekhawatiran orang tua yang berlebihan yang justru akan menghambat
terhadap perkembangan kepribadian anak karena orang tua biasanya cenderung over
protective.
Perlakuan orang sekitar yang membedakan terhadap anak tunadaksa menyebabkan
anak merasa bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.

Hal-hal sebagaimana dijelaskan diatas, efek tidak langsung akibat ketunadaksaan yang
dialami seseorang dapat menimbulkan sifat hargadiri rendah, kurang percaya diri, kurang
memiliki inisiatif, atau mematikan kreatifitasnya. Faktor dominan yang memengaruhi
perkembangan kepribadian atau emosi anak adalah lingkungan. Atas dasar itulah presepsi
sosial yang dapat menjatuhkan perasaan anak tunadaksa akan berpengaruh terhadap self
concept-nya. Hal ini disebabkan sikap belaskasihan dari orang lain sering digunakan oleh
tunadaksa.
Hal lain yang menjadi problem penyesuaian anak tunadaksa adalah perasaan bahwa
orang lain terlalu membesar-besarkan ketidakmampuannya. Ketiadaan kesempatan untuk
berpartisipasi praktis menyebabkan anak tunadaksa sukar untuk mengadakan penyesuaian
sosial yang baik. Demikian juga sikap masyarakat, secara langsung atau tidak langsung
memiliki pengaruh yang besar terhadap penyesuaian anak tunadaksa. Sikap masyarakat
terhadap anak kondisi ketunaan yang dialami anak tunadaksa seringkali bertentangan
dengan penilaian penderita sendiri. Konfrontasi antara sikap masyarakat dengan penilaian

anak sendiri terhadap ketunaan, dalam mencari penyelesaiannya terdapat kemungkinankemungkinan sebagai berikut:

Anak tunadaksa mungkin sekali menolak respons lingkungan terhadap dirinya.


Mungkin pula anak tunadaksa meninggalakan sama sekali penilaian terhadap dirinya.
Atau mungkin pula anak tunadaksa mencari jalan tengah antara kedua respons di atas.

Berdasarkan latar belakang anak tunadaksa yang mengalami kesulitan dalm proses
penyesuaian sosialnya, berikut ini beberapa petunjuk yang dapat digunakan anak
tunadaksa dalam mencapai proses penyesuaian sosial yang sehat antara lain:

Hendaknya penderita menghadapi kenyataan secara objektif.


Menyadari masalah yang dihadapi di dalam interaksi sosial.
Mengusahakan mendapatkan pengobatan atau terapi semaksimal mungkin.
Mencari alat bantu atau prothese yang akan membantu meringankan hambatan yang
disebabkan oleh kenetraannya.
Berusaha mendapatkan pendidikan.
Berupaya memberikan bimbingan dan penyuluhan.
Berusaha memusatkan perhatian pada kemampuan yang dimiliki.

2.4 Rehabilitasi Anak Tunadaksa


Maksud rehabilitasi disini adalah suatu upaya yang dilakuakan pada penyandang kelainan
fungsi tubuh atau tunadaksa, agar memiliki kesanggupan untuk berbuat sesuatu yang
berguna baik bagi dirinya maupun orang lain. Sebagaimana telah di singgung pada bagian
sebelumnya bahwa kelainan pada fungsi anggota tubuh, baik yang tergolong pada
tunadaksa ortopedi maupun neurologis akan berpengaruh terhadap kemampuan fisik,
mental, dan sosial dalam meniti tugas perkembangannya. Oleh karena itu, tekanan
rehabilitasi penderita tunadaksa hendaknya menitikberatkan kepada aspek-aspek tersebut.
Jenis rehabilitasi bagi penyandang tunadaksa menurut kebutuhannya antara lain:

a)

Rehabilitasi Medis

Dalam rehabilitasi medis ada beberapa teknik yang dapat digunakan, antara lain operasi
ortopedi, fisioterapi, actives in daily living (ADL), occupational therapy atau terapi tugas,
pemberian pemberian protease, pemberian alat-alat ortopedi, dan bantuan teknis lainnya.
Operasi ortopedi dilakukan sebagai usaha untuk memperbaiki salah bentukdan salah
gerak dengan mengurangi atau menghilangkan bagian yang menyebabkan terjadinya
kesalahan bentuk atau gerak.
Fisioterapi adalah melatih otot-otot bagian badan yang mengalami kelainan, yang
dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan medis. Dalam latihan ini melibatkan
otot atau gerak secara aktif melalui berbagai kegiatan fisik, latihan berjalan, latihan
keseimbangan, dan lain-lain. Untuk latihan fisioterapi ini sarana dan metode yang
digunakan sangat bervariasi, meliputi pengunaan air (bydrotherapy), penggunaan panas
sinar (thermotherapy), penggunaan listrik (electric therapy), penggunaan gerak-gerak
(kinesiotherapy), atau melalui pemijatan (massage).
Activities daily living adalah latihan berbagai kegiatan sehari-hari, dengan maksud
untuk melatih penderita agar mampu melakukan gerakan atau perbuatan menurut
keterbatasan kemampuan fisiknya. Latihan kegiatan sehari-hari dapat dikaitkan dengan
aktivitas di lingkunganrumah maupun dalam hubungannya dengan pekerjaan dan
kehidupan sosialnya.
Occupational therapy adalah bentuk usaha atau aktifitas bersifat fisik dan psikis
dengan tujuan membantu penderita tunadaksa agar menjadi lebih baik dan kuat dari
kondisi sebelumnya melalui sejumlah tugas atau pekerjaan tertentu. Sarana yang dapat
digunakan dalam kegiatan terapi tugas ini antara lain melukis, memahat, membuat
kerajinan tangan, menyulam, merajut, untuk melatih kemampuan tangan. Pemberian
protease adalah pemberian perangkat tiruan untuk mengganti bagian-bagian dari tubuh
yang hilang atau cacat, misalnya kaki tiruan, tangan tiruan, mata tiruan, gigi tiruan, dan
sebagainya. Dilihat dari kegunaannya protease bagi penyandang tunadaksa dapat bersifat
fungsional (mampu menggantikan funfsi tubuh lain) dan bersifat kosmetik (sebagai
pelengkap untuk menambah kepantasan atau keindahan).
Perangkat ortopedi adalah perangkat yang berfungsi untuk menguatkan bagian-bagian
tubuh yang lemah atau layu. Perangkat tersebut dapat berupa brance dan spint. Dilihat
dari fungsinya perangkat ortopedi dapat dibagi menjadi:

Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian tulang punggung dan badan.
Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian-bagian anggota gerak atas.

Perangkat yang berfungsi sebagai penguat anggota gerak bawah.

Adapun fungsi kedua dari alat tersebut antara lain:

Menguatkan dan mengembalikan fungsi.


Mencegah agar tidak menimbulkan salah bentuk.
Pembatasan gerak.
Perbaikan salah bentuk.

b)

Rehabilitasi Vokasional

Rehabilitasi vokasional atau karya adalah rehabilitasi penderita kelainan fungsi tubuh
bertujuan member kesempatan anak tunadaksa untuk bekerja. Metode atau pendekatan
yang lazim digunakan dalam rehabilitasi vokasi ini antara lain:
Counseling, adalah penyuluhan yang bertujuan untuk menumbuhkan keberanian atau
kemauan penderita tunadaksa yang diperoleh setelah lahir, sebeb ada kalanya mereka
tidak memahami jalan keluarnya setelah menderita ketunaan, untuk bangkit kembali.
Revalidasi, merupakan upaya mempersiapkan fisik, mental, dan sosial anak tunadaksa
untuk memperoleh bimbingan jabatan dan latihan kerja.
Vocasional guide, adalah pemberian bimbingan kepada penderita tunadaksa dalam
kaitannya pemilihan jabatan yang sesuai dengan kondisinya.
Vocasional assessment, merupakan penialian terhadap kemampuan penyandang
kelainan melalui sebuah bengkel kerja dalam melakukan berbagai aktivitas keterampilan.
Team work, adalah kerjasama antar berbagai ahli yang tergabung dalam tim
rehabilitasi, seperti kedokteran, ahli terapi fisik, pekerja sosial, konselor, psikolog,
ortopedagog, dan tenaga ahli lainnya.
Vocasional training, adalah pemberian kesempatan latihan kerja agar penyandang
tunadaksa mandiri dan produktif, serta berguna bagi masyarakat di sekitarnya.
Selective placement, adalah penempatan para penyandang tunadaksa pada jabatan

setelah selesai menjalani pendidikan dan latihan selama rehabilitasi.


Follow up, adalah tindak lanjut yang dilaksanakan setelah penyandang tunadaksa
menempati jabatan pekerjaan.

c)

Rehabilitasi Psikososial

Rehabilitasi psikososial adalah rehabilitasi yang dilakukan dengan harapan mereka dapat
mengurangi dampak psikososial yang kurang menguntungkan bagi perkembangan
dirinya. Pelaksanaan rehabilitasi psikososial dalam kaitannya dengan program rehabilitasi
yang lain dilakukan secara bersamaan dan terintegrasi. Sasaran yang hendak dicapai
dalam program rehabilitasi psikososial ini secara khusus yaitu:

Meminimalkan dampak psikososial sebagai akibat kelainan yang dideritanya, seperti


rendah diri, putus asa, mudah tersinggung, cemas, lekas marah, dan lain-lain.
Meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri, memupuk semangat juang dalam
meraih kehidupan dan penghidupan yang lebih baik, serta menyadarkan pada
tanggungjawab diri sendiri, keluarga, masyarakat dan Negara.
Mempersiapkan mental penyandang kelainan kelak setelah terjun di masyarakat
sehingga dapat berperan aktif tanpa harus merasa canggung atau terbebani oleh ketunaan
atau kelainannya.

BAB III
KESIMPULAN

A.

Kesimpulan

Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya
disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi
secara normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga

untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara khusus. Seperti juga kondisi
ketuntasan yang lain, kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh atau tunadaksa dapat
terjadi pada saat sebelum anak lahir (prenatal), saat lahir (neonatal), dan setelah anak
lahir (postnatal). Insiden kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi
sebelum bayi lahir atua ketika dalam kandungan, diantaranya dikarenakan faktor genetik
dan kerusakan pada system saraf pusat. Sama seperti bentuk kelainan atau ketuntasan
yang lain, kelainan fungsi anggota tubuh atau tunadaksa yang dialami seseorang memiliki
konsekuensi atau akibat yang hampir serupa, terutama pada aspek kejiwaan penderita,
baik berefek langsung maupun tidak langsung. Jenis rehabilitasi bagi penyandang
tunadaksa menurut kebutuhannya ada 3 macam, yaitu rehabilitasi medis, rehabilitasi
vokasional, dan rehabilitasi psikososial.

http://maimunhazmi.blogspot.co.id/2015/06/makalah-anak-berkebutuhan-khusus_2.html

[1] Dra. Hj. T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2005), hlm. 121.
[2] Ibid, hlm. 123-125.
[3] Ibid, hlm. 12

Anda mungkin juga menyukai