Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Barangkali kita sependapat bahwa kaki dan tangan merupakan organ tubuh yang memiliki
peranan sangat penting untuk mobilitas. Hal ini disebabkan dengan memanfaatkan kedua jenis
organ tubuh tersebut, manusia dapat melengkapi dan merealisasikan segala keinginan untuk
bergerak dari satu tempat ke tempat lain, baik yang dilakukan secara parsial maupun integral,
bersama organ sensoris pendukung lainnya. Atas dasar itulah, apabila fungsi kedua anggota
tubuh tersebutmengalami gangguan, baik sebagian atau keseluruhan, yang disebabkan oleh luka
pada bagian saraf otak (cerebral palsy), kelainan pertumbuhan, ataupun amputasi, akan
memengaruhi mobilitas hidup yang bersangkutan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Anak Tunadaksa


Secara etimologis, gambaran seseorang yang diidentifikasikan mengalami ketunadaksaan, yaitu
seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari
luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya kemampuan untuk melakukan
gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan. Secara definitive pengertian kelainan
fungsi anggota tubuh (tunadaksa) adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan
fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi
secara normal … akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna (Suroyo, 1977)
sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara khusus (Kneedler, 1984).

B. Klasifikasi Anak Tunadaksa


Secara umum karakteristik kelainan anak yang dikategorikan sebagai pneyandang tunadaksa
dapat dikelompokkan menjadi anak tunadaksa ortopedi dan anak tunadaksa saraf. 1. Anak
tunadaksa ortopedi ialah anak tunadaksa yang mengalami kelainan, kecacatan, ketunaan pada
bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian (Heward & Orlansky, 1988), baik yang
dibawa sejak lahir (congenital) maupun yang diperoleh kemudian (karena penyakit atau
kecelakaan) sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal. Dalam ilmu
kedokteran diterangkan, bahwa kelainan pada tubuh yang sifatnya menerapkan dan tidak akan
berubah dalam waktu enam bulan. Contoh lain yang termasuk dalam kategori tunadaksa ortopedi
ini diantaranya poliomyelitis, tuberculosis tulang, kelainan pertumbuhan anggota badan yang
tidak sempurna, cacat punggung, amputasi tangan, lengan, kaki dan lain-lain. Berdasarkan
insiden terjadinya ketunadaksaan ortopedi, dasar pemberian pertolongan rehabilitasi, dan usaha
penempatan kerja, penderita tunadaksa dapat diklasifikasikan menjadi ketunadaksaan karena
suatu peperangan, ketunadaksaan karena kecelakaan dalam suatu pekerjaan, ketunadaksaan
karena kecelakaan lalu lintas, ketunadaksaan karena penyakit serta ketunadaksaan yang didapat
sejak lahir (Suroyo, 1977). 2. Anak tunadaksa saraf (neurologically bandicapped), yaitu anak
tunadaksa yang mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf di otak (Heward &
Orlansky, 1991). Luka pada bagian otak tertentu, efeknya penderita akan mengalami gangguan
dalam perkembangan, mungkin akan berakibat ketidakmampuan dalam melaksanakan berbagai
bentuk kegiatan. Salah satu bentuk kelainan yang terjadi pada fungsi otak dapat dilihat pada anak
cerebral palsy (CP), yaitu gangguan aspek motorik yang disebabkan oleh disfungsinya otak.
Keadaan anak yang dikategorikan cerebral palsy dapat digambarkan sebagai kondisi semenjak
kanak-kanak dengan kondisi nyata, seperti lumpuh, lemah, tidak adanya koordinasi atau
penyimpangan fungsi gerak yang disebabkan oleh patologi pusat control gerak di otak. Dengan
terganggunya fungsi motorik, sebagaimana yang diamali anak penderita cerebral palsy, rentetan
kesulitan berikutnya kemungkinan dapat memengaruhi kesulitan belajar, masalah-masalah
kejiwaan, kelainan sensoris, kejang-kejang, maupun penyimpangan perilaku yang bersumber
pada fungsi organ tubuhnya. Luka atau gangguan yang terjadi pada otak atau bagian-bagiannya,
baik yang didapat sebelum, selama, maupun sesudah kelahiran dapat menyebabkan gangguan
pada mental, kekacauan bahasa (aphasia), ketidakmampuan membaca (disleksia),
ketidakmampuan menulis (agrafia), ketidakmampuan memahami kata-kata (word deafness),
ketidakmampuan berbicara (speech defect), ketidakmampuan berhitung (akalkuli). Perlu
dipahami bahwa cerebral palsy bukan suatu penyakit, melainkan suatu kondisi yang ditandai
oleh sejumlah gejala yang muncul bersamaan. Cerebral palsy merupakan suatu sindrom dan
mempunyai gambaran yang jelas.

C. Etiologi Anak Tunadaksa


Seperti juga kondisi ketuntasan yang lain, kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh atau
tunadaksa dapat terjadi pada saat sebelum anak lahir (prenatal), saat lahir (neonatal), dan setelah
anak lahir (postnatal). Insiden kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi
sebelum bayi lahir atua ketika dalam kandungan, diantaranya dikarenakan factor genetic dan
kerusakan pada system saraf pusat. Factor lain yang menyebabkan kelainan pada bayi selama
dalam kandungan ialah: (1) Anoxia prenatal, hal ini disebabkan pemisahan bayi dari placena,
penyakit anemia, kondisi jantung yang gawat, shock, percobaan abortus (pengguguran
kandungan. (2) Kondisi ketunadaksaan yang terjadi pada masa kelahiran bayi diantaranya: a.
Kesulitan saat bersalin karena letak bayi sungsang atau pinggul ibu terlalu kecil b. Pendarahan
pada otak pada saat kelahiran c. Kkkelahiran premature d. Gangguan pada placenta yang dapat
mengurangi oksigen sehingga mengakibatkan terjadinya anoxia. (3) Adapun kelainan fungsi
anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi pada masa setelah anak lahir diantaranya: a.
Faktor penyakit, seperti meningitis (radang selaput otak), encephalitis (radang otak), influenza,
diphtheria, partusis, dan lain-lain b. Factor kecelakaan, misalnya kecelakaan lalu lintas, terkena
benturan benda keras, terjatuh dari tempat yang berbahaya bagi tubuhnya, khususnya bagian
kepala yang melindungi otak. c. Pertumbuhan tubuh/tulang yang tidak sempurna.

D. Ketuntasan dan Dampaknya


Sama seperti bentuk kelainan atau ketuntasan yang lain, kelainan fungsi anggota tubuh atau
tunadaksa yang dialami seseorang memiliki konsekuensi atau akibat yang hamper serupa,
terutama pada aspek kejiwaan penderita, baik berefek langsung maupun tidak langsung. Oleh
karena itu, dengan terganggunya fungsi motorik sebagai akibat dari penyakit, kecelakaan atau
bawaan sejak lahir, akan berpengaruh terhadap keharmonisan indera yang lain dan pada
gilirannya akan berpengaruh pada fungsi kejiwaannya.

E. Fungsi Kognitif Anak Tunadaksa


Dalam konteks perkembangan kognitif menurut Gunarsa (1985) paling tidak ada empat aspek
yang turut mewarnai, yaitu sebagai berikut: 1. Kematangan 2. Pengalaman 3. Transmisi social 4.
Ekuilibrasi Untuk mengembangkan fungsi kognitif sebagai alat adaptasi terhadap lingkungan,
dapat dilakukan melalui dua proses yang memengaruhi yakni asimilasi dan akomodasi. Kondisi
ketunadaksaan pada anak sebagian besar menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan
kognitifnya. Khusus anak cerebral palsy, selain mengalami kesulitan dalam belajar dan
perkembangan fungsi kognitifnya, mereka pun seringkali mengalami kesulitan dalam
komunikasi, persepsi, maupun control geraknya, bahkan beberapa penelitian sebagian besar
diketahui terbelakang mental (tunagrahita).

F. Penyesuaian Sosial Anak Tunadaksa


Ragam karakteristik ketunadaksaan yang dialami oleh seseorang menyebabkan tumbuhnya
berbagai kondisi kepribadian dan emosi. Meskipun demikian, kelainan kepribadian dan emosi
tidak secara langsung diakibatkan karena ketunaannya, melainkan ditentukan oleh bagaimana
seseorang itu berinteraksi dengan lingkungannya. Sehubungan dengan itu, ada beberapa hal yang
tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian anak tunadaksa, antara lain sebagai
berikut: 1) Terhambatnya aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan frustasi 2)
Timbulnya kekhawatiran orang tua yang berlebihan yang justru akan menghambat terhadap
perkembangan kepribadian anak karena orang tua biasanya cenderung over protection 3)
Perlakuan orang sekitar yang membedakan terhadap anak tunadaksa menyebabkan anak merasa
bahwa dirinya berbeda dengan yang lain. Hal-hal sebagaimana dijelaskan di atas, efek tidak
langsung akibat ketunadaksaan yang dialami seseorang dapat menimbulkan sifat harga diri
rendah, kurang percaya diri, kurang memiliki inisiatif atau mematikan kreativitasnya. Beberapa
ahli yang mengadakan penelitian terhadap anak polio menyimpulkan, bahwa hal yang seringkali
tampak pada anak polio adalah impulsive, cepal lelah, gelisah dan cepat marah. Ada dugaan
kondisi tersebut bias jadi akibat dari ketuntasan atau ketegangan yang dialami anak polio karena
dihindari oleh orang-orang di sekitarnya. Factor dominant yang memengaruhi perkembangan
kepribadian atau emosi anak adalah lingkungan. Bahkan beberapa ahli dalam referensinya
menyebutkan bahwa secara spesifik factor yang memengaruhi perkembangan kepribadian anak
tunadaksa adalah tingkat kesulitan akibat kelainan, kapan kecacatan itu terjadi, keadaan keluarga
dan dorongan social, status social dalam kelompoknya, sikap orang lain terhadap anak dan
tampak atau tidaknya kecacatan yang diderita. Hal lain yang menjadi problem penyesuaian anak
tunadaksa adalah perasaan bahwa orang lain terlalu membesarkan ketidakmampuannya. Persepsi
yang slaah tentang kemampuan anak tunadaksa dapat mengurangi kesempatan bagi anak
tunadaksa untuk berpartisipasi dalam aktivitas social di lingkungannya. Ketiadaan kesempatan
untuk berpartisipasi praktis menyebabkan anak tunadaksa sukar untuk mengadakan penyesuaian
social yang baik. Demikian juga sikap masyarakat, secara langsung atau tidak langsung memiliki
pengaruh yang besar terhadap penyesuaian anak tunadaksa. Sikap masyarakat terhadap anak
kondisi ketunaan yang dialami anak dunadaksa seringkali bertentangan dengan penilaian
penderita sendiri. Konfrontasi antara sikap masyarakat dengan penilaian anak sendiri terhadap
ketunaan, dalam mencari penyelesaiannya terdapat kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut;
1) Anak tunadaksa mungkin sekali menolak respons lingkungna terhadap dirinya 2) Mungkin
pula anak tunadaksa meninggalkan sama sekali penilaian terhadap dirinya, dan menganggap
bahwa respons lingkungan itu benar 3) Atau mungkin pula anak tunadaksa mencari jalan tengah
antara kedua respons diatas

G. Rehabilitasi Anak Tunadaksa


Maksud rehabilitasi di sini adlaah suatu upaya yang dilakukan pada penyandnag kelainan fungsi
tubuh atau tunadaksa, agar memiliki kesanggupan untuk berbuat sesuatu yang berguna baik bagi
dirinya maupun orang lain. Jenis rehabilitasi bagi penyandang tunadaksa menurut kebutuhannya
antara lain: 1) Rehabilitasi medis Rehabilitasi medis adalah pemberian pertolongan kedokteran
dan bantuan alat-alat anggota tubuh tiruan (prothese), alat-alat penguat anggota tubuh. 2)
Rehabilitasi vokasional Reahbilitasi vokasional atau karya adalah rehabilitasi penderita kelainan
fungsi tubuh bertujuan memberi kesempatan anak tunadaksa untuk bekerja. 3) Rehabilitasi
psikososial (Suroyo, 1977) Rehabilitasi psikososial adalah rehabilitasi yang dilakukan dengan
harapan mereka dapat mengurangi dampak psikososial yang kurang menguntungkan bagi
perkembangan dirinya.

BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Secara
definitive pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa) adalah ketidakmampuan anggota
tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh
untuk melaksanakan fungsi secara normal … akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak
sempurna (Suroyo, 1977) sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara
khusus (Kneedler, 1984). Seperti juga kondisi ketuntasan yang lain, kondisi kelainan pada fungsi
anggota tubuh atau tunadaksa dapat terjadi pada saat sebelum anak lahir (prenatal), saat lahir
(neonatal), dan setelah anak lahir (postnatal). Insiden kelainan fungsi anggota tubuh atau
ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi lahir atua ketika dalam kandungan, diantaranya
dikarenakan factor genetic dan kerusakan pada system saraf pusat Sama seperti bentuk kelainan
atau ketuntasan yang lain, kelainan fungsi anggota tubuh atau tunadaksa yang dialami seseorang
memiliki konsekuensi atau akibat yang hamper serupa, terutama pada aspek kejiwaan penderita,
baik berefek langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks perkembangan kognitif menurut
Gunarsa (1985) paling tidak ada empat aspek yang turut mewarnai, yaitu sebagai berikut:
Kematangan, Pengalaman, Transmisi social dan Ekuilibrasi

DAFTAR PUSTAKA

Effendi Muhammad, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
2008
http://gudangmakalahku.blogspot.com/2012/05/anak-berkelainan-fungsi-anggota-tubuh.html

Anak tunadaksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau cacat tubuh, yang mencakup
kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami kelainan anggota gerak dan kelumpuhan yang
disebabkan karena kelainan yang ada di syaraf pusat atau otak, disebut sebagai cerebral palcsy (CP),
dengan karakteristik sebagai berikut:

 Gangguan Motorik

Gangguan motoriknya berupa kekakuan, kelumpuhan, gerakan-gerakan yang tidak dapat dikendalikan,
gerakan ritmis dan gangguan keseimbangan. Gangguan motorik ini meliputi motorik kasar dan motorik
halus.

 Gangguan Sensorik

Pusat sensoris pada manusia terleak otak, mengingat anak cerebral palsy adalah anak yang mengalami
kelainan di otak, maka sering anak cerebral palsy disertai gangguan sensorik, beberapa gangguan
sensorik antara lain penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan perasa. Gangguan penglihatan
pada cerebral palsy terjadi karena ketidakseimbangan otot-otot mata sebagai akibat kerusakan otak.
Gangguan pendengaran pada anak cerebral palsy sering dijumpai pada jenis athetoid.
 Gangguan Tingkat Kecerdasan

Walaupun anak cerebral palsy disebabkan karena kelainan otaknya tetapi keadaan kecerdasan anak
cerebral palsy bervariasi, tingkat kecerdasan anak cerebral palsy mulai dari tingkat yang paling rendah
sampai gifted. Sekitar 45% mengalami keterbelakangan mental, dan 35% lagi mempunyai tingkat
kecerdasan normal dan diatas rata-rata. Sedangkan sisanya cenderung dibawah rata-rata (Hardman,
1990).

Baca juga : 10 Saran Praktis Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

 Kemampuan Berbicara

Anak cerebral palsy mengalami gangguan wicara yang disebabkan oleh kelainan motorik otot-otot wicara
terutama pada organ artikulasi seperti lidah, bibir, dan rahang bawah, dan ada pula yang terjadi karena
kurang dan tidak terjadi proses interaksi dengan lingkungan. Dengan keadaan yang demikian maka bicara
anak-anak cerebral palsy menjadi tidak jelas dan sulit diterima orang lain.

 Emosi dan Penyesuaian Sosial

Respon dan sikap masyarakat terhadap kelainan pada anak cerebral palsy, mempengaruhi pembentukan
pribadi anak secara umum. Emosi anak sangat bervariasi, tergantung rangsang yang diterimanya. Secara
umum tidak terlalu berbeda dengan anak–anak normal, kecuali beberapa kebutuhan yang tidak
terpenuhi yang dapat menimbulkan emosi yang tidak terkendali. Sikap atau penerimaan masyarakat
terhadap anak cerebral palsy dapat memunculkan keadaan anak yang merasa rendah diri atau
kepercayaan dirinya kurang, mudah tersinggung, dan suka menyendiri, serta kurang dapat
menyesuaiakan diri dan bergaul dengan lingkungan.

Sedangkan anak-anak yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan kerusakan pada otot motorik yang
sering diderita oleh anak-anak pasca polio dan muscle dystrophy lain mengakibatkan gangguan motorik
terutama gerakan lokomosi, gerakan ditempat, dan mobilisasi. Ada sebagian anak dengan gangguan
gerak yang berat, ringan, dan sedang. Untuk berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu
dalam memenuhi kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak. Dalam kehidupan sehari-hari anak
perlu bantuan dan alat yang sesuai. Keadaan kapasitas kemampuan intelektual anak gangguan gerak
otot ini tidak berbeda dengan anak normal.
tuna daksa dan layanan pendidikannya
November 4, 2012 by phierquinn

2.1 Pengertian Anak Tunadaksa

Secara etiologis, gambaran seseorang yang diidentifikasi mengalami ketunadaksaan, yaitu


seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari
luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya kemapuan untuk melakukan
gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan. Secara definitif, pengertian kelainan
fungsi anggota tubuh (tunadaksa) adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan
fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi
secara normal … akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga untuk
kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara khusus (Suroyo&Kneedler dalam Efendi,
2006).

Menyimak keadaan fisik yang tampak pada anak tunadaksa ortopedi dan tunadaksa saraf tidak
terdapat perbedaaan yang mencolok, sebab secara fisik kedua jenis anak tunadaksa memiliki
kesamaan, terutama pada fungsionalisasi anggota tubuh namun, apabila dicermati secara
seksama untuk memanfaatkan fungsi tubuhnya akan tampak perbedaan. Konsidi ketunadaksaan
dikaitkan dengan masalah sosial ekonomi dapat dikelompokkan:

1. Penderita tunadaksa yang hanya memerlukan pertolongan dalam menempatkan pada


pekerjaan yang cocok.

2. Penderita tunadaksa karena kelainannya sehingga memerlukan latihan kerja (vocational


training) untuk dapat ditempatkan dalam jabatan-jabatan biasa (open employment)

3. Penderita tunadaksa setelah diberi pertolongan rehabilitasi dan latihan-latihan dapat


dipekerjaan dengan perlindungan khusus (sheltered employment).

4. Penderita tunadaksa yang sedemikian beratnya sehingga memerlukan perawatan secara


terus menerus dan tidak mungkin dapat produktif.

2.2 Klasifikasi Anak Tunadaksa

Secara umum, karakteristik kelainan anaak yang dikategorikan sebagai penyandang tunadaksa
dapat dikelompokkan menjadi:

1. Tunadaksa Ortopedi (orthopedically handicapped)


Anak tunadaksa ortopedi merupakan anak tunadaksa yang mengalami kelainan, kecacatan,
ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian baik yang dibawa
sejak lahir (congenital) maupun yang diperoleh kemudian (karena penyakit atau kecelakaan)
sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal. Menurut ilmu kedokteran,
untuk menetapkan siapa-siapa yang cacat (tunadaksa) dan perlu diberikan pertolongan
rehabilitasi jika mempunyai kelainan pada tubuh yang sifatnya menetap dan tidak akan berubah
dalam waktu 6 bulan.

Penggolongan anak tunadaksa dalam kelompok kelainan sistem otot dan rangka adalah sebagai
berikut :

1. a. Poliomyelitis

Poliomyelitis merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus
polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan bersifat menetap.

Dilihat dari sel-sel motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dibedakan menjadi :

 Tipe spinal yaitu kelumpuhan pada otot leher, sekat dada, tangan dan kaki

 Tipe bulbair yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi
dengan ditandai adanya gangguan pernafasan

 Tipe bulbispinalis yaitu gabungan antara tipe spinal dan bulbair

 Encephalitis yang biasa disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan
kadang-kadang kejang.

Kelumpuhan pada polio bersifat layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan kecerdasan
atau alat indra. Akibat yang disebabkan oleh penyakit ini adalah otot menjadi kecil (atropi)
karena kerusakan sel saraf,adanya kekakuan sendi (kontraktur), pemendekan anggota
gerak,tulang belakang melengkung kesalah satu sisi seperti huruf S (Scoliosis), kelainan telapak
kaki yang membengkok keluar atau kedalam,dislokasi (sendi yang ke luar dari dudukannya),
lutut melenting ke belakang (genu recorvatum).

1. b. Muscle dystrophy

Merupakan jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami
kelumpuhan yang bersifat progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan
keturunan.
1. c. Spina bifida

Merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu tiga ruas
tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan. Akibatnya fungsi
jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu
pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang berlebihan. Biasanya kasus ini disertai
dengan ketunagrahitaan.

2. Tunadaksa Saraf (neurologically handicapped)

Anak tunadaksa saraf yaitu anak tunadaksa yang mengalami kelainan akibat gangguan pada
susunan saraf di otak. Otak sebagai pengontrol tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi
pengendali mekanisme tubuh sehingga jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada
organisme fisik, emosi, dan mental. Luka pda bagian tertentu, efeknya penderita akan mengalami
gangguan dalam perkembangan, mungkin akan berakibat ketidakmampuan dalam melaksanakan
berbagai bentuk kegiatan.

Dalam banyak kasus, luka atau gangguan yang terjadi pada otak atau bagian-bagiannya baik
yang didapat sebelum, selama, maupun sesudah kelahiran dapat menyebabkan gangguan pada
mental, kekacauan bahasa (aphasia), ketidakmampuan membaca (disleksia), ketidakmampuan
menulis (agrafia), ketidakmampuan memahami kata-kata (word deafness), ketidakmampuan
berbicara (speech defect), ketidakmampuan berhitung (akalkuli), dan berbagai bentuk gangguan
gerak lainnya.

Salah satu bentuk kelainan yang terjadi pada fungsi otak dapat dilihat pada anak cerebral palsy.
Cerebral palsy berasal dari kata cerebral yang artinya otak, dan palsy yang mempunyai arti
ketidakmampuan atau gangguan motorik (Kirk dalam Efendi, 2006). The United Cerebral palsy
Association dalam Efendi (2006:118) mendefinisikan cerebral palsy menyangkut gambaran
klinis yang diakibatkan oleh luka pada otak, terutama pada komponen yang menjadi penghalang
dalam gerak sehingga keadaan anak yang dikategorikan cerebral palsy dapat digambarkan
sebagai kondisi semenjak anak-anak dengan kondisi nyata seperti lumpuh, lemah, tidak adanya
koordinasi atau penyimpangan fungsi gerak yang disebabkan oleh patologi pusat kontrol gerak di
otak.

Cerebral palsy ditandai oleh adanya kelainan gerak, sikap atau bentuk tubuh, gangguan
koordinasi, kadang-kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan oleh
adanya kerusakan atau kecatatan pada masa perkembangan otak. Dalam Wardani (2008: 7.4)
cerebral palsy menurut derajat kecacatannya diklasifikasikan menjadi :

1. Ringan
Ciri-cirinya yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri sendiri.

1. Sedang

Ciri-cirinya Membutuhkan bantuan untuk latihan bicara, berjalan, dan mengurus diri.

1. Berat

Ciri-cirinya membutuhkan perawatan tetap dalam ambulansi, bicara, dan menolong diri.

Menurut Hallahan & Kaufman dalam Efendi (2006:119) dilihat dari manifestasi yang tampak
pada aktivitas motorik, anak cerebral palsy dapat dikelompokkan menjadi:

1. a. Spasticity

Ciri-cirinya terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya hal ini disebabkan oleh
kondisi anak yang mengalami spasticity terjadi karena lapisan luar otak (khususnya lapisan
motor) bidang piramida dan beberapa kemungkinan bidang ekstra piramida yang berhubungan
dengan pengontrolan gerakan sadar tidak berfungsi sempurna. Daerah tertentu pada otak dapat
menimbulkan gerakan tertentu, kontraksi, atau rangsangan. Faktor yang menyebabkan terjadinya
kondisi tersebut disebut supresor. Apabila ada salah satu supresor ini masuk, maka akan terjadi
suatu desakan, akibatnya otot akan berada dalam kondisi tegang dan kejang.

Ketika kondisi otot kejang keseimbangan akan hilang, gerakan yang muncul menjadi tidak
harmonis, tidak terkontrol, dan kontraksi otot tidak teratur sehingga gerakan yang tampak seperti
suatu hentakan. Beberapa kelompok otot yang dapat dipengaruhi oleh kelumpuhan jenis ini
antara lain:

 Monoplegia

Jika salah satu anggota badan mengalami kekejangan.

 Hemiplegia

Jika salah satu dari anggota tubuh seperti kaki dan tangan mengalami kekejangan.

 Triplegia

Jika tiga di antara anggota tubuh, seperti dua kaki dan satu tangan mengalami kekejangan
 Paraplegia

Jika kekejangan itu terjadi pada kedua kaki.

 Quadriplegia

Kekejangan yang muncul pada keempat anggota tubuh, sebagian kadang-kadang di kepala dan
anggota tubuh lainnya.

1. b. Athetosis

Penyebab athetosis yaitu luka pada sistem ekstra piramida yang terletak pada otak depan maupun
tengah. Ekstra piramida menjembatani antara kegiatan otot dan kontrol gerak secara otomatis
seperti berjalan dan ekspresi wajah.

Anak yang menderita athetosis tampak susah payah untuk berjalan, menggeliat-geliat, dan
terhuyung-huyung. Gerakannya tidak berirama dan tidak mengikuti urutan yang wajar sehingga
perilakunya sering tidak terkontrol. Meskipun penderita athetosis mampu meletakkan tangan
pada mulutnya, namun ketika melakukan gerakan ini tampak berbagai bentuk gerakan yang tidak
terkontrol dan ekstrem.

Dalam kondisi tidur, penderita athetosis menggerakkan badannya seperti menggeliat tidak
tampak, namun gerakan ini akan muncul pada saat penderita dalam keadaan sadar. Gerakan
abnormal penderita athetosis kian menghebat apabila disertai emosi yang tinggi pada dirinya.
Karakteristik dari penderita ini mengalami problem pada sejumlah besar tangan, bibir, lidah,
serta sejumlah kecil kaki.

1. c. Ataxia

Kondisi ataxia disebabkan oleh luka pada otak kecil yang terletak di bagian belakang kepala
(cerebellum) yang bekerja sebagai pengontrol keseimbangan dan koordinasi pada kerja otot.
Anak yang menderita ataxia gerakannya tidak teratur, berjalan dengan langkah yang tinggi dan
dengan mudah menjatuhkannya. Terkadang matanya tidak terkoordinasi, gerakannya seperti
tersentak-sentak (nygtamus). Penderita ataxia tidak terdeteksi ketika dilahirkan, namun ketika
masa meraban dan berjalan kondisi ini tampak jelas. Ataxia ada beberapa tingkatan mulai dari
yang ringan sampai yang sangat berat tergantung perluasan luka pada cerebellum.

1. d. Tremor dan Regidity


Ciri-cirinya penderita memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol, kekakuan pada seluruh tubuh
sehingga sulit dibengkokkan, getaran terus menerus pada mata, tangan, atau kepala. Tremor dan
regidity mirip dengan athetosis yaitu disebabkan oleh luka pada sistem ekstra piramida.

Tremor pada penderita cerebral palsy dapat diketahui manakala terjadi perubahan fibrasi tubuh
secara alami tidak beraturan. Hal ini terjadi akibat gangguan keseimbangan antara kelompok otot
yang bekerja berlawanan. Regidity merupakan interferensi terhadap postural tone yang
disebabkan oleh resistensi otot-otot agonis dan antagonis. Tremor dan regidity gerakannya
terbatas dan menurut irama tertentu serta agak lambat.

2. Tipe Campuran

Pada kasus-kasus tertentu terdapat penderita yang kondisinya menunjukkan perpaduan di antara
jenis-jenis cerebral palsy. Contohnya penderita cerebral palsy yang diidentifikasikan dalam ciri
spasticity tampak pula ciri athetosis dan ataxia, atau spasticity dengan tremor atau regidity.

2.3 Etiologi Anak tunadaksa

Kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh atau tunadaksa dapat terjadi pada saat:

1. Sebelum anak lahir (prenatal)

Insiden kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi lahir atau
ketika dalam kandungan dikarenakan faktor genetik dan kerusakan pada sistem saraf pusat.
Faktor lain yang menyebabkan kelainan pada bayi selama kandungan yaitu:

1. Anoxia prenatal, hal ini disebabkan pemisahan bayi dari placenta, penyakit
anemia, kondisi jantung yang gawat, shock, percobaan abortus (penguguran kandungan).

2. Gangguan metabolisme pada ibu

3. Bayi dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi langsung mempengaruhi sistem


syarat pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.

4. Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan) yang dapat


mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat. Misalnya ibu jatuh dan
perutnya membentur yang cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi
maka dapat merusak sistem syaraf pusat.

5. Faktor rhesus.

2. Saat lahir (neonatal)


Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan antra lain

1. Kesulitan persalinan karena letak bayi sungsang atau pinggung ibu terlalu kecil.

2. Pendarahan pada otak pada saat kelahiran.

3. Kelahiran prematur.

4. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami
kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak pada bayi.

5. Gangguan pada placenta yang dapat mengurangi oksigen sehingga mengakibatkan


terjadinya anoxia.

6. Pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi
dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan
otak bayi, sehingga otak mengalami kelainan struktur ataupun fungsinya.

3. Setelah anak lahir (posnatal)

Adapun kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi pada masa setelah anak
lahir disebabkan oleh

1. Faktor penyakit seperti meningitis (radang selaput otak), encephalitis (radang


otak), influenza, diphteria, dan partusis.

2. Faktor kecelakaan, misalnya kecelakaan lalu lintas, terkena benturan benda keras,
terjatuh dari tempat yang berbahaya bagi tubuhnya khususnya bagian kepala yang
melindungi otak.

3. Pertumbuhan tubuh atau tulang yang tidak sempurna.

2.4 Dampak Ketunadaksaan

Tidak dapat dipungkiri bahwa fungsi motorik dalam kehidupan manusia sangat penting, terutama
jika seseorang itu ingin mengadakan kontak dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial
maupun lingkungan alam sekitarnya. Maka peranan motorik sebagai sarana yang dapat
mengantarkan seseorang untuk melakukan aktifitas mempunyai posisi yang dapat mengantarkan
seseorang untuk melakukan aktifitas mempunyai posisi yang sangat strategis, disamping
kesertaan indra yang lain. Oleh karena itu, dengan terganggunya fungsi motorik sebagai akibat
dari penyakit, kecelakaan atau bawaan sejak lahir, akan berpengaruh terhadap keharmonisan
indra yang lain dan pada gilirannya akan berpengaruh pada fungsi bawaannya.
Ditinjau dari aspek psikologis, anak tunadaksa cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif,
memisahkan diri dari lingkungan. Disamping itu terdapat beberapa problema penyerta bagi anak
tunadaksa antara lain:

1. Gangguan Penglihatan Anak Tunadaksa

Penelitian tentang kekurangan atau gangguan penglihatan pada anak tunadaksa cerebral palsy
menunjukkan bahwa sejumlah besar dari mereka juga mengalami penyimpangan penglihatan.

1. Gangguan Pendengaran Anak Tunadaksa

Masalah lain yang dihadapi oleh anak cerebral palsy adalah gangguan ketajaman pendengaran.
Semula ada keraguan bahwa kerusakan otak dapat berpengaruh pada kemampuan atau ketajaman
pendengaran, sebagaimana kerusakan otak berpengaruh pada kerusakan penglihatan. Hal ini
didasari pemikiran bahwa pendengaran tidak memiliki fungsi-funfsi motor, dan berbeda dengan
penglihatan yang dibantu otot-tot mata.

Kelainan bicara yang dialami anak cerebral palsy antara lain dysarthria (gangguan bicara pada
bagian artikulasinya akibat lemahnya pengontrolan gerak), delayed speech (gangguan bicara
karena keterbelakangan mental dan disfungsinya otak), voice disorder (gangguan pita suara),
stuttering (gagap), serta aphasia (gangguan bahasa verbal).

1. Gangguan Presepsi Anak Tunadaksa

Gangguan lain yang bersifat psikologis dari anak cerebral palsy adalah gangguan presepsi.
Presepsi dalam beberapa referensi disepakati mencakup pendengaran (auditory), penglihatan
(visual), sentuhan (tactile), serta kepekaan modalitas yang lain. Secara kuantitatif anak tunadaksa
ortopedi tidak menunjukkan perbedaan dengan yang lain, sebab dalam beberapa studi memang
tidak terbukti dan problem penyesuaian diri lebih banyak terjadi pada anak tunadaksa ortopedi
maka harus dilihat dari tiga segi, yaitu:

1. Sikap lingkungan masyarakat terhadap ketunadaksaan yang diderita anak.

2. Sikap lingkungan keluarga terhadap ketunadaksaan yang diderita anaknya.

3. Reaksi penderita sendiri terhadap sikap lingkungan dan terhadap kecacatannya.


Dapat disimpulkan bahwa masalah untuk anak tunadaksa bukan saja karena kondisi
fisiknya yang berkelainan, melainkan masalah sosial dan psikologis pun harus turut
diperhatikan.

2.5 Karakteristik Anak Tunadaksa


1. Karakteristik Kognitif

Implikasi dalam konteks perkembangan kognitif menurut Gunarsa dalam Efendi (2006:124) ada
empat aspek yang turut mewarnai, yaitu:

1. Kematangan, kematangan merupakan perkembangan susunan saraf misalnya


mendengar yang diakibatkan kematangan susunan sarat tersebut.

2. Pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara organism dengan lingkungan dan
dunianya.

3. Transmisi sosial, yaitu pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan


lingkungan sosial.

4. Ekuilibrasi, yaitu adanya kemampuan yang mengatur dalam diri anak.

Untuk mengembangkan fungsi kognitif sebagai alat adaptasi terhadap lingkungan, dapat
dilakukan melalui dua proses yang saling memengaruhi. Proses tersebut yakni asimilasi
(integritas elemen-elemen dari luar terhadap struktur yang sudah lengkap pada organism) dan
akomodasi (proses dimana terjadi perubahan pada subjek agar bisa menyesuaikan terhadap objek
yang ada di luar dirinya).

Tunadaksa di bagi menjadi dua yaitu tunadaksa ortopedi dan tunadaksa saraf, meski keduanya
termasuk dalam tunadaksa yang memiliki gejala kesulitan yang sama, namun jika ditelaah lebih
lanjut terdapat perbedaan yang mendasar. Dari segi kognitif misalnya, wujud konkretnya dapat
dilihat dari angka indeks kecerdasan (IQ). Kondisi ketunadaksaan pada anak sebagian besar
menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan kognitif. Khususnya anak cerebral palsy,
selain mengalami kesulitan dalam belajar dan perkembangan fungsi kognitifnya, mereka pun
seringkali mengalami kesulitan dalam komunikasi, presepsi, maupun control geraknya, bahkan
beberapa penelitian sebagian besar diketahui terbelakang mental (tunagrahita).

2. Karakteristik Intelegensi Tunadaksa

Untuk mengetahui tingkat intelegensi anak tunadaksa dapat digunakan tes yang telah
dimodifikasi agar sesuai dengan anak tunadaksa. Tes tersebut antara lain Hausserman Test (untuk
anak tunadaksa ringan), Illinois Test (The Psycholinguistis Ability), dan Peabody Picture
Vocabulary Test. Lee dalam Soemantri (2007:129) mengungkapkan hasil penelitian yang
menggunakan tes Binet untuk mengukur tingkat intelegensi anak tunadaksa yang berumur antara
3 sampai 6 tahun sebagai berikut:

1. IQ tunadaksa berkisar antara 35-138.


2. Rata-rata mereka adalah IQ 57.

3. Klasifikasi tunadaksa yang lain yaitu:

1. Anak polio mempunyai rata-rata intelegensi yang tinggi yaitu IQ 92.

2. Anak yang TBC tulang rata-rata IQ 88

3. Anak yang cacat konginetal rata-rata IQ 61

4. Anak yang sapstik rata-rata IQ 69

5. Anak cacat pada pusat syaraf rata-rata IQ 74

Pada anak cerebal palsy, kelainan yang mereka derita secara langsung menimbulkan kesulitan
belajar dan perkembangan intelegensi. Mereka lebih banyak mengalami kesulitan daripada anak
tunadaksa pada umumnya. Mereka banyak mengalami kesulitan baik dalam komunikasi,
persepsi, maupun kontrol gerak. Hasil pengukuran intelegensi anak cerebral palsy tidak
menunjukkan kurva normal, semakin tinggi IQ semakin sedikit jumlahnya.

3. Karakteristik Kepribadian Anak Tunadaksa

Terdapat hal yang tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian anak tunadaksa, antara
lain:

1. Terhambatnya aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan frustasi

2. Timbulnya kekhawatiran orang tua yang berlebihan yang justru akan menghambat
terhadap perkembangan kepribadian anak karena orang tua biasanya cenderung over
protective.

3. Perlakuan orang sekitar yang membedakan terhadap anak tunadaksa


menyebabkan anak merasa bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.

Hal-hal sebagaimana dijelaskan diatas, efek tidak langsung akibat ketunadaksaan yang dialami
seseorang dapat menimbulkan sifat hargadiri rendah, kurang percaya diri, kurang memiliki
inisiatif, atau mematikan kreatifitasnya. Faktor dominan yang memengaruhi perkembangan
kepribadian atau emosi anak adalah lingkungan. Atas dasar itulah presepsi sosial yang dapat
menjatuhkan perasaan anak tunadaksa akan berpengaruh terhadap self concept-nya. Hal ini
disebabkan sikap belaskasihan dari orang lain sering digunakan oleh tunadaksa.
Hal lain yang menjadi problem penyesuaian anak tunadaksa adalah perasaan bahwa orang lain
terlalu membesar-besarkan ketidakmampuannya. Ketiadaan kesempatan untuk berpartisipasi
praktis menyebabkan anak tunadaksa sukar untuk mengadakan penyesuaian sosial yang baik.
Demikian juga sikap masyarakat, secara langsung atau tidak langsung memiliki pengaruh yang
besar terhadap penyesuaian anak tunadaksa. Sikap masyarakat terhadap anak kondisi ketunaan
yang dialami anak tunadaksa seringkali bertentangan dengan penilaian penderita sendiri.
Konfrontasi antara sikap masyarakat dengan penilaian anak sendiri terhadap ketunaan, dalam
mencari penyelesaiannya terdapat kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:

1. Anak tunadaksa mungkin sekali menolak respons lingkungan terhadap dirinya

2. Mungkin pula anak tunadaksa meninggalakan sama sekali penilaian terhadap


dirinya

3. Atau mungkin pula anak tunadaksa mencari jalan tengah antara kedua respons di
atas.

Berdasarkan latar belakang anak tunadaksa yang mengalami kesulitan dalm proses penyesuaian
sosialnya, berikut ini beberapa petunjuk yang dapat digunakan anak tunadaksa dalam mencapai
proses penyesuaian sosial yang sehat antara lain:

1. Hendaknya penderita menghadapi kenyataan secara objektif

2. Menyadari masalah yang dihadapi di dalam interaksi sosial

3. Mengusahakan mendapatkan pengobatan atau terapi semaksimal mungkin

4. Mencari alat bantu atau prothese yang akan membantu meringankan hambatan
yang disebabkan oleh kenetraannya

5. Berusaha mendapatkan pendidikan

6. Berupaya memberikan bimbingan dan penyuluhan

7. Berusaha memusatkan perhatian pada kemampuan yang dimiliki

4. Karakteristik Fisik

Aspek fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan oleh individu. Pada
anak tunadaksa, potensi itu tidak utuh karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna. Potensi itu
tidak utuh karena ada bagian Secara umum perkembangan fisik anak tunadaksa dapat dikatakan
hampir sama dengan anak normal kecuali bagian-bagian tubuh yang mengalami kerusakan atau
bagian-bagian tubuh lain yang terpengaruh oleh kerusakan tersebut.

5. Karakteristik Bahasa/Bicara Anak Tunadaksa

Setiap manusia memilki potensi untuk berbahasa, potensi tersebut akan berkembang menjadi
kecakapan berbahasa melalui proses yang berlangsung sejalan dengan kesiapan dan kematangan
sensori motoriknya. Pada anak tunadaksa jenis polio, perkembangan bahasa/bicaranya tidak
begitu anak normal, lain halnya dengan anak cerebral palsy. Terjadinya kelainan bicara pada
anak cerbral palsy disebabkan oleh ketidakmampuan dalam kondisi motorik organ bicaranya
akibat kerusakan atau kelainan sistem neumotor. Gangguan bicara pada anak cerebral palsy
biasanya berupa kesulitan artikulasi, phonasi, dan sistem respirasi.

Adanya gangguan bicara pada anak cerebral palsy mengakibatkan mereka mengalami problem
psikologis yang disebabkan kesulitan dalam mengungkapkan pikiran, keinginan, atau
kehendaknya. Mereka biasanya menjadi mudah tersinggung, tidak memberikan perhatian yang
lama terhadap sesuatu, merasa terasing dari keluarga dan temannya.

6. Perkembangan Emosi Anak Tunadaksa

Banyak masalah yang muncul sehubungan dengan sikap dan perlakuan anak-anak normal yang
berinteraksi dengan anak-anak tunadaksa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia ketika
ketunadaksaan mulai terjadi turut mempengaruhi perkembangan emosi anak tersebut. Anak
tunadaksa sejak kecil mengalami perkembangan emosi sebagai tunadaksa secara bertahap.
Sedangkan anak yang mengalami ketunadaksaan setelah besar mengalaminya sebagai suatu hal
yang mendadak, disamping anak yang bersangkutan pernah menjalani kehidupan sebagai orang
yang normal sehingga keadaan tunadaksa dianggap sebagai suatu kemunduran dan sulit untuk
diterima oleh anak yang bersangkutan. Dukungan orang tua dan orang-orang di sekelilingnya
merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan emosi anak
tunadaksa. Orang tua anak tunadaksa sering memperlakukan anak-anak mereka dengan sikap
terlalu melindungi, misalnya dengan memenuhi segala keinginannya dan memenuhi secara
berlebihan. Di samping itu ada juga orang tua yang menyebabkan anak-anak tunadaksa
merasakan ketergantungan sehingga merasa takut serta cemas dalam menghadapi lingkungan
yang tidak dikenalnya.

7. Perkembangan Sosial Anak Tunadaksa


Keanekaragaman pengaruh perkembangan yang bersifat negatif menimbulkan resiko bertambah
besarnya kemungkinan munculnya kesulitan dalam penyesuaian diri pada anak tunadaksa.
Sebenarnya kondisi sosial yang positif menunjukkan kecenderungan untuk menetralisasi akibat
keadaan tunadaksa tersebut. Nampak atau tidak nampaknya keadaan tunadaksa itu merupakan
faktor yang penting dalam penyesuaian diri anak tunadaksa dengan lingkungannya, karena hal
itu sangat berpengaruh terhadap sikap dan perlakuan anak-anak normal terhadap anak-anak
tunadaksa.

Sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah, dan masyarakat pada umumnya sangat
berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak tunadaksa. Dengan demikian akan
mempengaruhi respon sebagian terhadap lingkungannya. Ejekan dan gangguan anak-anak
normal terhadap anak tunadaksa akan menimbulkan kepekaan efektif pada anak tunadaksa yang
tidak jarang mengakibatkan timbulnya perasaan negatif pada diri mereka terhadap lingkungan
sosialnya. Keadaan ini menyebabkan hambatan pergaulan sosial anak tunadaksa.

Di jaman yang sudah demikian maju seperti sekarang ini, keberhasilan seseorang sering diukur
dari prestasinya dan di dalam masyarakat dikenal norma tertentu bagi prestasi individu.
Keterbatasan kemampuan anak tunadaksa seringkali menyebabkan mereka menarik diri dari
pergaulan masyarakat yang mempunyai prestasi yang jauh di luar jangkauannya.

Secara umum anak-anak normal menunjukkan sikap yang berbeda terhadap anak-anak tunadaksa
bila dibadingkan dengan sikap merkea terhadap anak-anak normal. Demikian pula hanya sikap
guru. Perbedaan perlakuan ini nampaknya berkaitan dengan refrence group yang berbeda antara
anak normal dan anak tunadaksa.

2.6 Layanan Pendidikan Anak Tunadaksa dalam Seting Inklusif

Layanan pendidikan anak tunadaksa memiliki subtansi-subtansi, diantaranya mengenai tujuan


pendidikan anak tunadaksa, tempat pendidikan, sistem pendidikan, dan pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar bagi anak tunadaksa.

1. a. Tujuan Pendidikan Anak Tunadaksa

Tujuan pendidikan anak tunadaksa mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 agar
peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi
maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan
sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau
mengikuti pendidikan lanjutan. Sasaran pendidikan pada tunadaksa bersifat dual purpose
(ganda), yaitu berkaitan dengan pemulihan fungsi fisik dan pengembangan dalam pendidikannya.
Tujuan utamanya adalah terbentuknya kemandirian dan keutuhan pribadi anak tunadaksa.
Pendidikan anak tunadaksa perlu mengembangkan 7 aspek yaitu:
1. Pengembangan Intelektual dan Akademik

Pengembangan aspek ini dapat dilaksanakan secara formal di sekolah melalui kegiatan
pembelajaran. Di sekolah khusus anak tunadaksa (SLB-D) tersedia seperangkat kurikulum
dengan semua pedoman pelaksanaannya, namun hal yang lebih penting adalah pemberian
kesempatan dan perhatian khusus pada anak tunadaksa untuk mengoptimalkan perkembangan
intelektual dan akademiknya.

1. Membantu Perkembangan Fisik

Dalam proses pendidikan guru harus turut bertanggung jawab terhadap pengembangan fisiknya
dengan cara bekerja sama dengan staf medis. Hambatan utama dalam belajar adalah adanya
gangguan motorik. Oleh karena itu, guru harus dapat mengatasi gangguan tersebut sehingga anak
memperoleh kemudahan dalam mengikuti pendidikan. Guru harus membantu memelihara
kesehatan fisik anak, mengoreksi gerakan anak yang salah dan mengembangkan ke arah gerak
yang normal.

1. Meningkatkan Perkembangan Emosi dan Penerimaan Diri Anak

Dalam proses pendidikan, para guru bekerja sama dengan psikolog harus menanamkan konsep
diri yang positif terhadap ketunaan agar dapat menerima dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan
menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif sehingga dapat mendorong terciptanya interaksi
yang harmonis.

1. Mematangkan Aspek Sosial

Aspek sosial meliputi kegiatan kelompok dan kebersamaannya perlu dikembangkan dengan
pemberian peran kepada anak tunadaksa agar turut serta bertanggung jawab atas tugas yang
diberikan serta dapat bekerja sama dengan kelompoknya.

1. Mematangkan Moral dan Spiritual

Dalam proses pendidikan perlu diajarkan kepada anak tentang nilai-nilai, norma kehidupan, dan
keagamaan untuk membantu mematangkan moral dan spiritualnya.

1. Meningkatkan ekspresi diri

Ekspresi diri anak tunadaksa perlu ditingkatkan melalui kegiatan kesenian, keterampilan atau
kerajinan.

1. Mempersiapkan Masa Depan Anak


Dalam proses pendidikan, guru dan personel lainnya bertugas untuk menyiapkan masa depan
anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membiasakan anak bekerja sesuai dengan
kemampuannya, membekali mereka dengan latihan keterampilan yang menghasilkan sesuatu
yang dapat dijadikan bekal hidupnya.

1. b. Sistem Pendidikan

Walaupun pendidikan anak tunadaksa di Indonesia banyak dilakukan melalui jalur sekolah
khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar Biasa bagian
D), namun anak tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada yang mengikuti pendidikan di
sekolah biasa. Sementara ini anak tunadaksa yang mengikuti pendidikan di sekolah umum harus
mengikuti pendidikan sepenuhnya tanpa memperoleh program khusus sesuai dengan
kebutuhannya.

Akibatnya, mereka memperoleh nilai hanya berdasarkan hadiah terutama dalam mata pelajaran
yang berkaitan dengan kegiatan fisik (Astati, 2000). Sehubungan dengan itu Kirk (1986)
mengemukakan bahwa adaptasi pendidikan anak tunadaksa apabila ditempatkan di sekolah
umum adalah sebagai berikut.

 Penempatan di kelas reguler

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.

a) Menyiapkan lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan anak tunadaksa untuk


bergerak sesuai dengan kebutuhannya, misalnya membangun trotoar, pintu agak besar sehingga
anak dapat menggunakan kursi roda.

b) Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketinggalan anak tunadaksa karena anak
sering tidak masuk sekolah.

c) Guru harus mengadakan kontak secara intensif dengan siswanya untuk melihat masalah
fisiknya secara langsung

d) Perlu mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul masalah fisik dan kesehatan yang
lebih parah.

 Penempatan di ruang sumber belajar dan kelas khusus

Murid yang mengalami ketinggalan dari temannya di kelas reguler karena ia sakit-sakitan diberi
layanan tambahan oleh guru di ruang sumber. Murid yang datang ke ruang sumber tergantung
pada materi pelajaran yang menjadi ketinggalannya, sedangkan siswa yang mengunjungi kelas
khusus biasanya anak yang mengalami kelainan fisik tingkat sedang dengan inteligensia normal.
Misalnya, anak yang tidak dapat berbicara maka ia perlu masuk kelas khusus sebagai persiapan
anak untuk memasuki kelas reguler karena selama anak di kelas khusus ia sering bermain, ke
kantin, dan upacara bersama dengan anak normal (siswa kelas reguler).

1. c. Kebutuhan Pendidikan bagi Anak Tunadaksa

Anak tunadaksa secara umum hampir tidak memerlukan program pembelajaran yang berbeda
dengan anak normal lainnya. Bahkan sebagian dari mereka khususnya yang mengalami
gangguan ortopedi memiliki kemampuan kognisi yang relatif baik seperti halnya teman-teman
yang normal lainnya. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan oleh guru sebelum
melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas:

1. Keluasan Gerak

Derajat gangguan fisik yang dialami oleh tunadaksa sangat bervariasi dari yang ringan sampai
yang berat. Berkaitan dengan kebervariasian tersebut maka hal penting yang harus diperhatikan
oleh guru adalah bagaimana agar anak dapat mengakses ke semua penjuru layanan pendidikan di
sekolah dengan memperhatikan keleluasaan gerak anak. Masalah akses utama adalah yang
berkaitan dengan akses menuju gedung sekolah, ruangan kelas, dan fasilitas sekolah lainnya
(ruang perpustakaan, laboratorium, ruang olahraga, dan toilet).

1. Latihan Keterampilan Menolong Diri (Self Help)

Anak-anak berkelainan fisik dalam beberapa hal sangat membutuhkan latihan batu diri (self
help). Self help sangat dibutuhkan anak terutama yang berkaitan dengan aktivitas mereka sehari-
hari baik di sekolah, rumah, maupun di lingkungan umum. Hal tersebut diharapkan anak bisa
mandiri dan tidak terlalu bergantung pada orang lain. Contohnya kegiatan makan dan minum,
kegiatan yang melibatkan motorik halus (menggambar, menulis, melipat), keterampilan buang
air kecil. Dari contoh tersebut merupakan hal yang penting yang harus dikuasai anak di sekolah.

1. Kebutuhan Psikososial

Hambatan fisik pada anak memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan
psikologisnya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa tunadaksa memiliki kesulitan dalam
mengembangkan sense of self esteem yang positif dan mengalami kecemasan yang lebih besar
dibandingkan anak normal lainnya (Harvey dalam Iriyanto, 2010:63). Untuk mendukung agar
anak tunadaksa memiliki sifat sense of self esteem yang positif, maka seluruh anggota keluarga,
guru di sekolah, dan teman-teman sebaya di kelas harus memberikan dukungan dan bisa
menerima anak dengan segala kelebihan maupun kekurangannya. Dengan dukungan yang positif
ini diharapkan anak dapat menerima keadaan dirinya secara positif dan pada akhirnya
menumbuhkan minat atau motivasi berprestasi di sekolah.
1. d. Strategi Membantu Anak Tunadaksa agar Berhasil di Sekolah

Bagi siswa berkelainan fisik dalam belajar di sekolah membutuhkan lingkungan yang kondusif,
baik lingkungan fisik, psikologis, maupun sosial. di sekolah inklusi integrasi pembelajaran antara
siswa normal dan berkelainan fisik memerlukan penggabungan antara guru reguler dengan guru
pembimbing khusus atau dengan tenaga profesional lainnya. Demikian juga di dalam kelas anak
sangat membutuhkan sikap positif yang dapat diterima dari guru dan teman lainnya.

1. Pengajaran Kemandirian

Penekanan pembelajaran yang dianjurkan adalah latihan kemandirian yang disesuaikan dengan
karakteristik dan kebutuhan anak. Melalui pembelajaran kemandirian diharapkan dapat
mendukung kemandirian pribadi, kepercayaan diri, dan self esteem yang baik. Beberapa
pengajaran kemandirian yang disarankan yaitu: kemandirian dalam hal belajar, aktivitas
kehidupan sehari-hari, dan komunikasi/sosialisasi dengan teman sebaya, guru, maupun orang
dewasa lainnya.

1. Belajar Kelompok

Belajar kelompok dalam penerapan di sekolah memiliki nilai positif terutama dalam
membaurkan anak tunadaksa dengan anak normal di kelas yang bersangkutan. Dengan belajar
kelompok tersebut diharapkan dapat terbentuk sikap positif anak yang saling menghargai, saling
mengerti, saling toleransi yang akhirnya dapat meniadakan atau meminimalisir kecurigaan
negatif di antara satu dengan yang lainnya.

1. Team Teaching

Hal terpenting dalam upaya membentuk kelas/sekolah inklusi adalah perlunya pendidik
bekerjasama dalam memberikan layanan pendidikan yang seefektif mungkin bagi semua anak,
baik anak bekelainan fisik maupun anak normal. Beberapa keuntungan team teaching menurut
Cohen dalam Iriyanto (2010:65) pembelajaran di sekolah inklusi antara lain:

 Terciptanya suatu rancangan pembelajaran yang efektif

 Menciptakan atau menghasilkan pemecahan masalah yang terukur

 Menumbuhkan harga diri

 Meningkatkan kemampuan komunikasi

 Meningkatkan kemampuan sosial yang lebih efektif dan efisien


 Menambah wawsan akademis yang lebih mumpuni

1. 4. Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran

Dalam pelaksanaan pembelajaran akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan


keterlaksanaannya, seperti berikut.

1. Perencanaan Kegiatan Pembelajaran

Sehubungan dengan perencanaan kegiatan pembelajaran bagi anak tunadaksa, Ronald L. Taylor
(1984) mengemukakan, apabila penyandang cacat menerima pelayanan pendidikan di sekolah
formal maka ia harus memperoleh pelayanan pendidikan yang diindividualisasikan. Dalam
rangka mengembangkan program pendidikan yang diindividualisasikan, banyak informasi/data
yang diperlukan dan salah satunya dihasilkan melalui assessment. Adapun langkah-langkah
utama dalam merancang suatu program pendidikan individual (PPI) yaitu:

1. Membentuk tim PPI atau Tim Penilai Program Pendidikan yang


diindividualisasikan (TP3I), yang mencakup guru khusus, guru reguler, diagnostician,
kepala sekolah, orang tua, siswa, serta personel lain yang diperlukan.

2. Menilai kekuatan dan kelemahan serta minat siswa yang dapat dilakukan dengan
assessment.

3. Mengembangkan tujuan-tujuan jangka panjang dan sasaran-sasaran jangka


pendek.

4. Merancang metode dan prosedur pencapaian tujuan

5. Menentukan metode dan evaluasi kemajuan

1. Prinsip Pembelajaran

Ada beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak tunadaksa, diantaranya
sebagai berikut.

1. Prinsip multisensori (banyak indra)

Proses pendidikan anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-
indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak tunadaksa yang mengalami gangguan indra.
Dengan pendekatan multisensori, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat
membantu proses pemahaman.

1. Prinsip individualisasi

Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan adalah kemampuan anak
secara individu. Model layanan pendidikannya dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam
model klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung memiliki
kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada masing-masing anak
sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.

1. Penataan Lingkungan Belajar

Berhubung anak tunadaksa mengalami gangguan motorik maka dalam mengikuti pendidikan
membutuhkan perlengkapan khusus dalam lingkungan belajarnya. Gedung sekolah sebaiknya
dilengkapi ruangan/sarana tertentu yang memungkinkan dapat mendukung kelancaran kegiatan
anak tunadaksa di sekolah. Bangunan-bangunan gedung sebaiknya dirancang dengan
memprioritaskan 3 kemudahan, yaitu anak mudah ke luar masuk, mudah bergerak dalam
ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian atau segala sesuatu yang ada di ruangan itu
mudah digunakan (Musyafak Assyari dalam Astati, ).

Beberapa kondisi khusus mengenai gedung itu adalah sebagai berikut.

1. Macam-macam ruangan khusus, seperti ruang poliklinik/UKS untuk pemeriksaan


dan perawatan kesehatan anak, ruang untuk latihan bina gerak (physiotherapy), ruang
untuk bina bicara (speech therapy), ruang untuk bina diri, terapi okupasi, dan ruang
bermain, serta lapangan.

2. Jalan masuk menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata yang memungkinkan
anak tunadaksa yang memakai alat bantu ambulasi, seperti kursi roda, tripor, brace, kruk,
dan lain-lain, dapat bergerak dengan aman.

3. Tangga sebaiknya disediakan jalur lantai yang dibuat miring dan landai

4. Lantai bangunan baik di dalam dan di luar gedung sebaiknya dibuat dari bahan
yang tidak licin.

5. Pintu-pintu ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa dan daun pintunya
dibuat mengatup ke dalam.
6. Untuk menghubungkan bangunan/kelas yang satu dengan yang lain sebaiknya
disediakan lorong (koridor) yang lebar dan ada pegangan di tembok agar anak dapat
mandiri berambulasi.

7. Pada beberapa dinding lorong dapat dipasang cermin besar untuk digunakan anak
mengoreksi sendiri sikap/posisi jalan yang salah.

8. Kamar mandi/kecil sebaiknya dekat dengan kelas-kelas agar anak mudah dan
segera dapat menjangkaunya.

9. Dipasang WC duduk agar anak tidak perlu berjongkok pada waktu


menggunakannya.

10. Kelas sebaiknya dilengkapi dengan meja dan kursi yang konstruksinya
disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak, misalnya tinggi meja kursi dapat disetel,
tanganan, dan sandaran kursi dimodifikasi, dan dipasang belt (sabuk) agar aman.

2.7 Rehabilitasi Anak Tunadaksa

Maksud rehabilitasi disini adalah suatu upaya yang dilakuakan pada penyandang kelainan fungsi
tubuh atau tunadaksa, agar memiliki kesanggupan untuk berbuat sesuatu yang berguna baik bagi
dirinya maupun orang lain. Sebagaimana telah di singgung pada bagian sebelumnya bahwa
kelainan pada fungsi anggota tubuh, baik yang tergolong pada tunadaksa ortopedi maupun
neurologis akan berpengaruh terhadap kemampuan fisik, mental, dan sosial dalam meniti tugas
perkembangannya. Oleh karena itu, tekanan rehabilitasi penderita tunadaksa hendaknya
menitikberatkan kepada aspek-aspek tersebut. Jenis rehabilitasi bagi penyandang tunadaksa
menurut kebutuhannya antara lain:

1. Rehabilitasi Medis

Dalam rehabilitasi medis ada beberapa teknik yang dapat digunakan, antara lain operasi ortopedi,
fisioterapi, actives in daily living (ADL), occupational therapy atau terapi tugas, pemberian
pemberian protease, pemberian alat-alat ortopedi, dan bantuan teknis lainnya. Operasi ortopedi
dilakukan sebagai usaha untuk memperbaiki salah bentukdan salah gerak dengan mengurangi
atau menghilangkan bagian yang menyebabkan terjadinya kesalahan bentuk atau gerak.

Fisioterapi adalah melatih otot-otot bagian badan yang mengalami kelainan, yang dilakukan
sebelum dan sesudah dilakukan tindakan medis. Dalam latihan ini melibatkan otot atau gerak
secara aktif melalui berbagai kegiatan fisik, latihan berjalan, latihan keseimbangan, dan lain-lain.
Untuk latihan fisioterapi ini sarana dan metode yang digunakan sangat bervariasi, meliputi
pengunaan air (bydrotherapy), penggunaan panas sinar (thermotherapy), penggunaan listrik
(electric therapy), penggunaan gerak-gerak (kinesiotherapy), atau melalui pemijatan (massage).
Activities daily living adalah latihan berbagai kegiatan sehari-hari, dengan maksud untuk melatih
penderita agar mampu melakukan gerakan atau perbuatan menurut keterbatasan kemampuan
fisiknya. Latihan kegiatan sehari-hari dapat dikaitkan dengan aktivitas di lingkunganrumah
maupun dalam hubungannya dengan pekerjaan dan kehidupan sosialnya.

Occupational therapy adalah bentuk usaha atau aktifitas bersifat fisik dan psikis dengan tujuan
membantu penderita tunadaksa agar menjadi lebih baik dan kuat dari kondisi sebelumnya
melalui sejumlah tugas atau pekerjaan tertentu. Sarana yang dapat digunakan dalam kegiatan
terapi tugas ini antara lain melukis, memahat, membuat kerajinan tangan, menyulam, merajut,
untuk melatih kemampuan tangan.

Pemberian protease adalah pemberian perangkat tiruan untuk mengganti bagian-bagian dari
tubuh yang hilang atau cacat, misalnya kaki tiruan, tangan tiruan, mata tiruan, gigi tiruan, dan
sebagainya. Dilihat dari kegunaannya protease bagi penyandang tunadaksa dapat bersifat
fungsional (mampu menggantikan funfsi tubuh lain) dan bersifat kosmetik (sebagai pelengkap
untuk menambah kepantasan atau keindahan).

Perangkat ortopedi adalah perangkat yang berfungsi untuk menguatkan bagian-bagian tubuh
yang lemah atau layu. Perangkat tersebut dapat berupa brance dan spint. Dilihat dari fungsinya
perangkat ortopedi dapat dibagi menjadi:

1. Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian tulang punggung dan badan

2. Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian-bagian anggota gerak atas

3. Perangkat yang berfungsi sebagai penguat anggota gerak bawah.

Adapun fungsi kedua dari alat tersebut antara lain:

1. Menguatkan dan mengembalikan fungsi

2. Mencegah agar tidak menimbulkan salah bentuk

3. Pembatasan gerak

4. Perbaikan salah bentuk

2. Rehabilitasi Vokasional

Rehabilitasi vokasional atau karya adalah rehabilitasi penderita kelainan fungsi tubuh bertujuan
member kesempatan anak tunadaksa untuk bekerja. Metode atau pendekatan yang lazim
digunakan dalam rehabilitasi vokasi ini antara lain:
 Counseling, adalah penyuluhan yang bertujuan untuk menumbuhkan keberanian
atau kemauan penderita tunadaksa yang diperoleh setelah lahir, sebeb ada kalanya mereka
tidak memahami jalan keluarnya setelah menderita ketunaan, untuk bangkit kembali.

 Revalidasi, merupakan upaya mempersiapkan fisik, mental, dan sosial anak


tunadaksa untuk memperoleh bimbingan jabatan dan latihan kerja.

 Vocasional guide, adalah pemberian bimbingan kepada penderita tunadaksa dalam


kaitannya pemilihan jabatan yang sesuai dengan kondisinya.

 Vocasional assessment, merupakan penialian terhadap kemampuan penyandang


kelainan melalui sebuah bengkel kerja dalam melakukan berbagai aktivitas keterampilan.

 Team work, adalah kerjasama antar berbagai ahli yang tergabung dalam tim
rehabilitasi, seperti kedokteran, ahli terapi fisik, pekerja sosial, konselor, psikolog,
ortopedagog, dan tenaga ahli lainnya.

 Vocasional training, adalah pemberian kesempatan latihan kerja agar penyandang


tunadaksa mandiri dan produktif, serta berguna bagi masyarakat di sekitarnya.

 Selective placement, adalah penempatan para penyandang tunadaksa pada jabatan


setelah selesai menjalani pendidikan dan latihan selama rehabilitasi.

 Follow up, adalah tindak lanjut yang dilaksanakan setelah penyandang tunadaksa
menempati jabatan pekerjaan.

3. Rehabilitasi Psikososial

Rehabilitasi psikososial adalah rehabilitasi yang dilakukan dengan harapan mereka dapat
mengurangi dampak psikososial yang kurang menguntungkan bagi perkembangan dirinya.
Pelaksanaan rehabilitasi psikososial dalam kaitannya dengan program rehabilitasi yang lain
dilakukan secara bersamaan dan terintegrasi. Sasaran yang hendak dicapai dalam program
rehabilitasi psikososial ini secara khusus yaitu:

1. Meminimalkan dampak psikososial sebagai akibat kelainan yang dideritanya,


seperti rendah diri, putus asa, mudah tersinggung, cemas, lekas marah, dan lain-lain.

2. Meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri, memupuk semangat juang


dalam meraih kehidupan dan penghidupan yang lebih baik, serta menyadarkan pada
tanggungjawab diri sendiri, keluarga, masyarakat dan Negara.
3. Mempersiapkan mental penyandang kelainan kelak setelah terjun di masyarakat
sehingga dapat berperan aktif tanpa harus merasa canggung atau terbebani oleh ketunaan
atau kelainannya.

Latar Belakang
Persepsi masyarakat awam tentang anak berkelainan fungsi anggota tubuh
(anak tunadaksa) sebagai salah satu jenis anak berkelainan dalam konteks Pendidikan Luar Biasa
(Pendidikan Khusus) masih dipermasalahkan. Munculnya permasalahan tersebutterkait dengan
asumsi bahwa anak tunadaksa (kehialangan salah satu atau lebih fungsianggota tubuh) pada
kenyataannya banyak yang tidak mengalami kesulitan untuk menititugas perkembangannya,
tanpa harus masuk sekolah khusus untuk anak tunadaksa(khususnya tunadaksa ringan).

Secara umum dikenal dua macam anak tunadaksa. Pertama, anak tuna daksa yang
disebabkan karena penyakit polio, yang mengakibatkan terganggunya salah satu fungsianggota
badan. Anak tunadaksa kelompok ini sering disebut orthopedically handicapped,tidak mengalami
hambatan perkembangan kecerdasannya. Oleh karena itu mereka dapat belajar mengikuti
program sekolah biasa.
Kedua, anak tunadaksa yang disebabkan oleh gangguan neurologis. Anak tuna daksa kelompok
ini mengalami gangguan gerak dan kebanyakan dari mereka mengalamigannguan kecerdasan
dan sering disebut neurologically handicapped atau secara khususmereka disebut penyandang
cerebral palsy. Anak tuna daksa kelompok inimembutuhkan layanan pendidikan luar biasa.Anak
yang mengalami gangguan gerakan pada taraf sedang dan berat,umumnya dimasukkan ke
sekolah luar biasa (SLB), sedangkan anak yang mengalami gangguan gerakan dalam taraf ringan
banyak ditemukan sekolah ± sekolah umum. Namun jika mereka tidak mendapatkan pelayanan
khusus dapatmenyebabkan terjadinya kesulitan belajar yang serius.

Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna. Diantara organisme yang lainnya,
manusialah yang mempunyai bentuk dan struktur yang paling sempurna. Oleh karena itu kita harus
menggunakan anugrah itu dengan sebaik-baiknya dengan cara merwat tubuh kita dengan cara
berolahraga. Tapi tidak semua orang memiliki bentuk yang sempurna, masih banyak saudara-saudara
kita yang memiliki keterbatasan baik dalam hal fisik maupun psikis. Oleh karena itu kami ingin
menyajikan makalah yang membahas pembelajaran jasmani pada tuna daksa dengan judul ”Pendidikan
Jasmani Adaptif untuk Tuna Daksa.

https://didikz888.wordpress.com/tag/makalah-adaptif-tuna-daksa/

https://aprileopgsd.wordpress.com/2013/10/12/makalah-abk-tuna-daksa/

http://www.psikologiku.com/pengertian-dan-karakteristik-tuna-daksa-menurut-para-ahli/

Anda mungkin juga menyukai