Anda di halaman 1dari 29

KELAINAN FISIK : TUNANETRA, TUNARUNGU DAN TUNADAKSA

Diajukan guna memenuhi tugas semester 4 mata kuliah Pendidikan Anak


Berkebutuhan Khusus

Dosen Pengampu:

Reski Yulina Widiastuti, S. Pd., M.Pd


Senny Weyara Dienda Saputri, S. Psi., M. A

Kelas B
Kelompok 9

Disusun Oleh :

Jesse Melinda 180210205052


Dimas Andhini Anggita Putri 1802102050
Putri Alvianes 1802102050

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAN


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA
DINI
2020
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah Swt atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga, makalah yang berjudul “Kelainan Fisik : Tunanetra, Tunarungu Dan
Tunadaksa” dapat terselesaikan dengan baik. Sholawat dan salam semoga tetap
tercurahkan pada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan Rahmat
dan Hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktu yang
telah ditentukan.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan masukan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, Ucapan terimakasih disampaikan kepada :

1) Luh Putu Indah Budyawati, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah
matematika pendidikan , FKIP Universitas Jember.
2) Seluruh anggota kelompok yang telah membantu menyumbangkan ide dan
pikiran mereka demi terwujudnya makalah ini.
3) Seluruh pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan pembuatan
makalah ini.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai


pihak, makalah ini tidak akan terwujud dan masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu dengan segala kerendahan hati penyusun berharap saran dan kritik demi
melengkapi kekurangan dam perbaikan-perbaikan lebih lanjut agar dapat
membuat makalah dengan baik lagi. Harapan penyusun semoga makalah yang
sederhana ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan tentang teori tentang
kelainan fisik : tunanetra, tunarungu dan tunadaksa
Penyusun telah membuat makalah ini dengan sebaik-baiknya, Namun apabila
masih ada kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah, Penyusun
meminta maaf yang sebesar-besarnya.

Jember, 3 Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang Masalah..................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................3
1.3 Tujuan ............................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Matematika Untuk Anak usia dini.....................................................4
2.1.1 Tokoh Matematika.......................................................................................4
2.1.2 Matematika Menurut Para Ahli .....................................................6

2.1.3 Ciri-Ciri Matematika......................................................................8

2.1.4 Karakteristik Pendidikan Matematika ...........................................10

2.2 Matematika Untuk Anak Usia Dini...............................................................11

2.2.1 Prinsip-Prinsip Matematika Sekolah..............................................12

2.2.2 Pembelajaran Matematika Yang Menyenangkan Untuk Anak Usia


Dini..........................................................................................................16

2.3 Bagaimana Anak Belajar & Mengajarkan Matematika Pada Anak..............17

2.4 Konsep Matematika Anak Usia Dini ...........................................................26

2.5 Asesmen Pemahaman Matematika Pada Anak.............................................28

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan......................................................................................................30
3.2 Saran................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................31
BAB 1

PENDAHULUAN
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Kelainan Fisik


Dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989 (dalam Budiarti, 2017)
menjelaskan tentang pendidikan luar biasa untuk siapapun yang memiliki
kelainan fisik ataupun mental. Artinya adalah pendidikan luar biasa atua
pendidikan khusus yang diselenggarakan peserta didik yang memiliki
kelainan fisik ataupun dalam hal mental. Dapat ditarik kesimpulan
bahwasannya peserta didik yang mengalami penyimpangan baik dari segi
fisik, kecerdasan, indera komunikasi, perilaku atau bahkan gabungan dari
yang telah di sebutkan sebelumnya. Sehingga perlunya sebuah layanan
pendidikan secara khusus untuk mengembangkan potensinnya secara optimal.
Pemerintahan sendiri telah membuat beberapa kebijakan atau
peraturan bagi mereka yang memiliki kelainan atau penyimpangan baik
secara fisik maupun non fisik. Permendiknas nomor 70 tahun 2009 (dalam
Adri, 2019) menjelaskan bahwa ada upaya pemerintah untuk memberikan
kesempatan kepada para siswa yang memiliki kelainan untuk belajar di
sekolah umum dengan capaian prestasi yang berbeda. Tepatnya ada di dalam
pasal 3 ayat 1 didalamnya terdapat penjelasan siswa yang memiliki atau
mengalami tuna netra, atau tuna laras yang dapat bersekolah.
Menurut Adri (2019) pembagian kelainan menjadi dua kategori,
yaitu kelainan fisik dan kelainan non-fisik. Untuk kelainan fisik sendiri antara
lain tuna netra, tuna daksa, ataupun tuna rungu dan untuk anak-anak non fisik
adalah autisma. Anak-anak yang tergolong kedalam kelainan fisik biasanya
lebih mudah diterima di lembaga pendidikan atau sekolah, ini dikarenakan
mereka dapat menyesuikan dengan situasi pembelajaran yang ada di sekolah.
Dan untuk anak-anak yang termasuk ke dalam golongan kelainan non-fisik
lebih cenderung memerlukan bantuan yang lebih dan bersifat individual.
Dapat kita tarik kesimpulan kelainan fisik adalah kelainan yang
biasanya disebut dengan kelainan bawaan atau kelainan kongenital, dimana
kondisi tidak normal yang terjaid pada masa perkembangan janin. Dan
kelainan ini dapat memperngaruhi fungsi anggota tubuh anak.

2.2 Tunanetra
Pengertian tunanetra dilihat dari segi etimologi bahasa : “tuna” =
“rugi”, “netra” = “mata” atau cacat mata. Istilah tunanetra yang mulai populer
dalam dunia pendidikan dirasa cukup tepat untuk menggambarkan keadaan
penderita yang mengalami kelainan indera penglihatan, baik kelainan itu
bersifat berat maupun ringan. Sedangkan istilah “buta”pada umumnya
melukiskan keadaan mata yang rusak, baik sebagian (sebelah) maupun
seluruhnya (kedua-duannya), sehingga mata itu tidak lagi ddapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
Secara harfiah, tidaklah sulit dalam mengenal anak-anak yang
mengalami kelainan fisik yaitu anak tunanetra. Menurut Akhmad Soleh
(2016), Tunanetra merupakan individu yang memiliki hambatan dalam hal
penglihatan, dan biasanya diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu buta
total (totaly blind) dan kemampuan melihat yang amat rendah (low vision).
Untuk golongan yang pertama atau yang biasa disebut dengan buta total
adalah anak tidak mampu untuk menerima rangsangan cahaya yang berasal
dari luar salam sekali dengan visus = 0. Dan pada kategori low vision anak
masih mampu untuk menerima rangsangan cahaya dari luar, tetapi ketajaman
dalam penglihatan kurang dari 6/21. Atau anak hanya mampu uuntuk
membaca headline pada surat kabar atau sebuah judul dalam buku, novel
ataupun komik.
Sementara menurut Kaufman dan Hallahan (dalam Soleh, 2016)
Tunanetra adalah individu yang memiliki penyimpangan dalam pengliahtan
lemah atau akurasi penglihatannya kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau
tidak dapat bisa melihat kembali. Adapun beberapa ciri yang tampak nampak
bagi mereka yang mengalami gangguan penglihatan, antara lain :
a. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang
awas
b. Terjadi keseluruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu
c. Posisi mata sulit dikendalikan syaraf otak
d. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan
penglihatan.

2.2.1 Faktor – Faktor Penyebab Ketunanetraan


Ada dua faktor pokok yang menyebabkan seseorang anak
menderita tunanetra, yaitu faktor endogeen dan faktor exogeen.
a. Faktor Endogeen
Faktor yang sangat erat hubungannya dengan
keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
(pada masa kehamilan). Dari beberapa hasil penelitian, tidak
sedikit anak tunanetra yang lahir merupakan hasil
perkawinan keluarga (perkawinan antar keluarga yang dekat)
atau perkawinan antar penderita tunanetra sendiri.
Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor
keturunan dapat dilihat sifat-sifat keturunan yang memiliki
hubungan pada garis lurus, silsilah dan hubungan sedarah.
Sifat keturunan pada garis lurus terdapat, contohnya hasil
perkawinan orang bersaudara. Hubungan sedarah tersebut
dapat memperbesar kemungkinan lahirnya seorang anak
tunanetra atau anak luar biasa dari jenis yang lain.
Anak tunanetra yang lahir sebagai akibat proses
pertumbuhan dalam kandungan dapat disebabkan oleh
gangguan yang diderita sang ibu waktu hamil atau karena
unsur unsur penyakit yang bersifat menahun (misalnya
penyakit TBC), sehingga dapat merusak sel-sel darah tertentu
selama pertumbuhan janin dalam kandungan. Anak tunanetra
yang lahir akibat faktor Endogeen akan memperlihatkan ciri-
ciri : bola mata normal,tetapi tidak dapat menerima persepsi
sinar (cahaya). Kadang-kadang seluruh bola matanya seperti
tutup oleh selaput putih atau keruh.
Kelainan lainnya yang bersifat bawaan adalah
juling, teleng, dan myopia. Anak juling dan teleng, dalam
memandang sesuatu benda tertentu, sangat tidak simetris,
seolah-olah terjadi ketegangan dalam syaraf mata, sehingga
sudut pandang terganggu sedangkan anak myopia merupakan
anak-anak yang tidak dapat melihat benda jauh dengan jelas.
b. Faktor Exogeen
Merupakan faktor yang berasal dari luar yang di
sebabkan oleh penyakit, seperti :
1. Xerophyhalmia, yaitu suatu penyakit krena
kekurangan vitamin A. Penyakit ini terdiri atas
stadium buta senja, stadium xerosis (selaput putih
kiri-kanan dan selaput bening kelihatan kering dan
stadium keratomalacia (selaput bening menjadi lunak,
keruh dan hancur).
2. Trachoma, dengan gejala bintil-bintil pada selaput
putih,kemudian perubahan pada selaput bening dan
pada stadium, terakhir selaput putih menjadi keras,
sakit dan luka.
3. Cataract, Glaucoma dan lainnya yang dapat
menimbulkan ketunanetraan
Faktor exogenn lain adalah keran terjadinya
kecelakaan yang langsung dan tidak langsung mengenai bola
mata. Misalnya kecelakaan karena kemasukkan kotoran
karena barang keras, benda tajam atau kena cairan yang
berbahaya dan sebagainya.

2.4.4 Klasifikasi
Klasifikasi ketunanetraan,secara garis besanya dapat dibagi
dua yaitu :
a. Pertama : waktu terjadinya kecacatan : yakni sejak anak
menderita tunanetra. Sejak lahirkah, semasa usia sekolah,
sesudah dewasa ataukah ketika usia lanjut. Hal ini penting
diketahui dalam rangka program pendidikan tunanetra.
Ditinjau dari waktu terjadinya kecacatan tersebut di atas,,
para penderita dapat digolongan sebagai berikut :
1. Penderita tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni
mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman
melihat
2. Penderita tunanetra sesudah lahir atau pada usia kecil,
yang sudah memiliki kesan serta pengalaman visuil,
tetapi belum kuat dan mudah terlupakan
3. Penderita tunanetra pada usia sekolah atau pada masa
remaja kesan pengalaman visuil, tetapi belum kuat
dan mudah terlupakan.
4. Penderita tunanetra pada usia dewasa, yang dengan
segala kesadaran masih mampu melakukan latihan
penyesuaian diri
5. Penderita usia lanjut, sebagian besar sudah sulit
mengikuti latihan-latihan menyesuaikan diri.
b. Kedua : pembagian bedasarkan kemampuan daya lihat yakni
sebagai berikut :
1. Penderita tunanetra ringan (defective vision/ low
vision), yakni mereka yang mempunyai kelainan atau
kekurangan daya penglihatan, seperti penderita rabun,
juling, dan myopia ringan. Mereka ini masih dapat
mengikuti program pendidikan biasa di sekolah
umum atau masih mampu melakukan pekerjaan yang
membutuhkan penglihatan dengan baik.
2. Penderita tunanetra setengah berat (pertially sighted),
mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan.
Hanya dengan menggunakan kecamata pembesar
mereka masih bisa mengikuti program pendidikan
biasa atau masih mampu membaca tulisan yang
berhuruf tebal.
3. Penderita tunanetra berat (totally blind), mereka sama
sekali tidak bisa melihat, atau biasa di sebut dengan
“buta”
c. Pembagian golongan penderita tunanetra menurut Slayton
French (dalam Pradopo, dkk. 1977) :
1. Buta total, mereka yang sama sekali tidak bisa
membedakan antara gelap dengan terang. Indera
penglihatannya demikian rusak atau kedua matanya
sama sekali telah dicabut
2. Penderita tunanetra yang masih sanggup membedakan
antara gelap dan terang, dalam bentuk bayangan
obyek melalui sinar matahari langsung atau secara
reflek cahaya
3. Penderita tunanetra yang masih bisa membedakan
trang dan gelap serta warna, sampai tingkat
pengenalan bentuk dan gerak obyek dan masih bisa
melihat judul tulisan biasa huruf besar (vet).
4. Penderita tunanetra kekurangan daya penglihatan
(defection vision), dimana mereka dengan
pertolongan alat atau kacamata masih mampu
memperoleh pengalaman visuil yang cukup.
5. Buta warna, mereka yang mengalami gangguan
penglihatan sehingga tidak dapat membedakan warna-
warna tertentu.

2.2.3 Karakteristik Ketunanetraan


Akibat adanya kekurangan penglihatan atau kehilangan
indera penglihatan yang di derita anak-anak tunanetra
menimbulkan berbagai masalah yang menyebabkan keterbatasanya
dalam berkembang. Sehubung dengan hal tersebut akan timbul
beberapa masalah yaitu :
a. Ciruga terhadap orang lain.
Adanya keterbatasan bagi anak-anak yang memiliki
penglihatan kuran (tunanetra) membuat mereka kurang
mampu untuk berorientasi kepada lingkungannya. Sehingga
kemampuan mobilitasnya pun terganggu, tanpa adanya usaha
khusu yang baik dari bantuan orang lain seseorang tunanetra
tidak akan tahu bahwa disekitarnya terdapat benda-benda.
Pengalaman sehari-hari dimana mereka sangat tidak mudah
dalam menemuka benda-benda yang mereka inginkan atau
sedang di cari. Bukan benda yang dicari yang mereka
temukan melainkan kejadian-kejadian yang berbahaya yang
di alami, seperti halnya kepala yang berbenturan, kaki yang
terperosok kedalam lubang dan masih banyak lagi.
Pengalaman tersebutlah yang membuat rasa kecewa
dan tidak senang pun muncul, dan membuat mereka para
penderita tunanetra sangatlah berhati-hati baik terhadap
keadaan ataupun situasi setempat. Apabila sifat berhati-
hatinya tumbuh secara berlebihan ini akan menimbulkan sifat
curiga kepada orang lain. Beberapa cara untuk
menghilangkan sifat curiga tersebut adalah dengan
mempertajam indera pendengaranya, latihan mobilitas,
menumbuhkan sikap disiplin. Contoh dari sikap disiplin ialah
dengan menaruh barang perabot selalu pada tempatnya.
b. Perasaan mudah tersinggung
Sikap ini dapat tumbuh pada anak atau mereka yang
menyadang istilah tunanetra, disebabkan adanya keterbatasan
rangsangan visuil yang diterima dan kurangnya indera lain
dalam membantu peran penderita tunanetra. Pengalaman
sehari-hari yang menimbulkan rasa kecewa menjadikan anak
mudah emosional pada hal-hal yang kecil dan tidak perlu.
c. Ketergantungan yang berlebihan
Rasa ketergantungan pada orang lain berkembang
apabila kita terlalu memberikan banyak perlindungan kepada
anak tunanetra. Untuk mengatasinya anak tunanetra perlu
diberika kesempatan dalam menolong dirinya sendiri.

2.3 Tunarungu

Tunarungu ialah suatu ketidakmampuan dalam mendengar


sehingga dapat menyebabkan hambatan dalam komunikasi. Tunarungu ada
yang diagnosa ringan dan berat seperti tuli/deaf dan kurang dengar/hard of
hearing. Orang yang mengalami tuli merupakan orang yang memiliki
keterbatasan dalam mendengar sehingga sulitnya memproses mendengarkan
informasi dari orang lain meskipun dengan menggunakan alat bantu dengar.
Dan sedangkan kurang dengar ini merupakan gangguan pendengaran yang
orang yang mengalami dapat mendengar kembali menggunakan alat bantu
dengar untuk memperoleh informasi.

2.3.1 Klasifikasi Tunarungu


Tunarungu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Tunarungu berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran
yang diketahui melalui tes dengan media audiometer,
seperti berikut:
1) Tunarungu ringan (Mild Hearing Loss)
Anak yang mengalami tunarungu seperti ini
mengalami tidak mampu mendengar antara 27-40
Db. Tunarungu ini anak tidak mampu mendengar
suara yang jauh dan harus berasa ditempat yang
strategis dan mudah menangkap suara.
2) Tunarungu Sedang (Moderate Hearing Loss)
Anak yang mengalami tunarungu sedang ini
biasanya mengalami ketidakmampuan mendengar
anatara 41-55 Db. Anak hanya mampu
berkomunikasi jika face to face dengan jarak hanya
3-5 feet. Anak ini sangat membutuhkan terapi
bicara karena keterlambatan dalam berbicara serta
harus menggunakan alat bantu untuk mendengar.
3) Tunarungu agak berat (Moderately severe hearing
loss)
Tunarungu ini merupakan tunarungu yang memiliki
kehilangan pendengaran antara 56-70 Db yang
hanya bisa mendengar dari jarak dekat dengan
menggunakan alat bantu dengar. Kepada anak yang
mengalami hal ini dibutuhkan suatu latihan
berbahasa dan latihan pendengaran juga.
4) Tunarungu berat (Severe Hearing Loss)
Anak yang mengalami gangguan tunarungu berat
tidak dapat mendengar dalam jarak antara 71-90 Db
yang menyebabkan anak ini hanya dapat
mendengarkan suara yang keras meskipun dari
jarang paling dekat. Anak yang mengalami penyakit
ini harus dilakukan pendidikan khusus yang intensif,
alat bantu dengar yang canggih, dan sebagai
pendidik ataupun orangtua harus rajin melatih
kemampuan bicara dan bahasa anaknya.
5) Tunarungu berat sekali (Profound hearing loss)
Seorang anak yang digolongkan mengalami
tunarungu berat akan kehilangan pendengarannya
antara lebih dari 90 dB. Kemungkinan anak masih
dapat mendengarkan suara keras dari jarak dekat
akan tetapi anak itu dapat mendengar suara hanya
melalui getarannya (vibratios) daripada melalui pola
suara yang dihasilkan. Anak yang mengalami
gangguan pendengaran seperti ini lebih
memfokuskan penglihatannya sebagai alat
komunikasi daripada pendengarannya, maka dari itu
anak yang mengalami gangguan tunarungu yang
berat sekali ini dapat berkomunikasi hanya dengan
menggunakan gerakan isyarat dan dengan membaca
ujaran.
b. Tunarungu berdasarkan saat terjadinya, dapat
diklasifikasikan menjadi berikut:
1) Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness)
Ketunarunguan prabahasa merupakan
ketidakmampuan mendengarkan suara yang terjadi
saat sebelum berkembangnya kemampuan bicara
dan kemampuan bahasa.
2) Ketunarunguan pasca bahasa (post lingual deafness)
Suatu masalah kehilangan kemampuan pendengaran
yang terjadi setelah beberapa tahun berkembangnya
kemampuan bahasa dan kemampuan bicara.
c. Tunarungu berdasarkan letak gangguan pendengaran
secara anatomis, dapat diklasifikasikan :
1) Tunarungu dengan tipe konduktif
Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh
kerusakan dibagian telinga luar dan tengah, yang
seharusnya berfungsi sebagai penghantar getaran
suara menuju telinga bagian paling dalam.
2) Tunarungu tipe sensorineural
Gangguan yang menyebabkan kehilangan
pendengaran yang disebabkan kerusakan di telinga
bagian dalam dan syaraf pendengaran (nervus
chochlearis).
3) Tunarungu tipe campuran
Tipe campuran ini dari gabungan antara tipe
konduktif dengan tipe sensorineural, maksudnya
yaitu kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh
kerusakan telinga bagian luar, tengah dengan telinga
bagian dalam atau syaraf pendengaran.
d. Tunarungu berdasarkan asal usulnya ketunarunguan, dapat
diklasifikasikan yaitu :
1) Tunarungu endogen
Ketunarunguan yang berasal dari faktor genetik
(keturunan).
2) Tunarungu eksogen
Ketunarunguan yang berasal dari faktor nongeneik
(bikan keturunan)

2.3.2 Penyebab Terjadinya Tunarungu


Terdapat beberapa tipe dalam penyebab ketunarunguan, yaitu :
a. Penyebab tipe konduktif, terdiri dari :
1) Kerusakan yang terdapat pada telinga luar.
2) Kerusakan yang terjadi di telinga tengah.
b. Penyebab tipe sensorineural, terdiri dari :
1) Yang disebabkan oleh faktor keturunan.
2) Yang disebabkan bukan dari faktor
genetik/keturunan (misalnya yaitu : Rubella,
meningitis, trauma akustik)

2.3.3 Cara Pencegahan Terjadinya Tunarungu

Terdapat beberapa cara dalam mencegah terjadinya


gangguang pendengaran atau tunarungu, yaitu sebagai berikut :

1. Upaya yang dilakukan saat pranikah (sebelum menikah).


a. Menghindari terjadinya pernikahan yang sedarah
atau dengan saudara dekat, yang paling utama
keluarga yang terdapat sejarah tunarungu.
b. Dapat melakukan tes darah demi memastika tidak
ada keturunan tunarungu.
c. Melakukan konseling genetika
2. Upaya yang dilakukan waktu hamil.
a. Selalu menjaga kesehatan dan rutin periksa kepada
dokter kandungan.
b. Ibu yang mengandung lebih banyak mengkonsumsi
gizi seimbang.
c. Melakukan imunisasi anti tetanus.
3. Upaya yang dilakukan saat melahirkan.
a. Saat melahirkan tidak menggunakan alat penyedot.
b. Dan jika sang ibu mengalami herpes simplek pada
area vagina maka harus dilakuakan operasi caesar.
4. Upaya yang dilakukan setelah lahir.
a. Melakukan imunisasi rubella dan wajib bagi wanita.
b. Jika anak terkena flu harus segera diobati agar tidak
terlalu lama dan virusnya masuk kedalam rongga
telinga yang akan menyebabkan peradangan.
c. Menjaga telinga dai tempat yang terlalu bising.
2.4 Tunadaksa
Tunadaksa adalah suatu gangguan atau hambatan pada tulang, otot
dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh
penyakit, kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir
(White House Conference (dalam Atmaja, 2018:128)). Ketidakmampuan
anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya
kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normalakibat
luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna. Tunadaksa sering
juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu
sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot sehingga
mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk
berdiri sendiri.
Istilah tunadaksa merupakan istilah lain dari cacat tubuh/tunafisik,
yaitu berbagai kelainan bentuk tubuh yang mengakibatkan kelainan fungsi
dari tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan yang dibutuhkan.
2.4.1 Pengertian Anak Tunadaksa
Anak tundaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh
untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya
kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya secara
normal, sebagai akibat bawaan, luka penyakit, atau pertumbuhan
yang tidak sempurna sehingga untuk kepentingan pembelajarannya
perlu layanan secara khusus.
Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat
tubuh, cacat fisik, dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari
kata “tuna yang berarti rugi atau kurang dan daksa yang berarti
tubuh.” Tunadaksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh tidak
sempurna, sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik
dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya,
bukan cacat indranya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan
dari bahasa inggris orthopedically handicapped. Ortho pedic
mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang, dan
persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi kelainannya terletak
pada aspek otot, tulang, dan persendian atau dapat juga meruoakan
akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem
otot, tulang, dan persendian. Salah satu definisi mengenai anak
tunadaksa menyatakan bahwa anak tunadaksa adalah anak
penyandang cacat jasmani yang terlihat pada kelainan bentuk
tulang, otot, sendi maupun saraf-sarafnya. Istilah tunadaksa
maksudnya sama dengan istilah yang berkembang, seperti cacat
tubuh, tuna tubuh, tunaraga, cacat anggota badan, cacat orthopedic,
crippled, dan orthopedically handicapped Depdikbud, 1986).
Selanjutnya, Samuel A Krik (dalam Atmaja, 2018:129)
mengemukakan bahwa seseorang dikatakan anak tunadaksa jika
kondisi fisik atau kesehatan menganggu kemampuan anak untuk
berperan aktif dalam kegiatan sehari-hari, sekolah atau rumah.
2.4.2Klasifikasi Anak Tunadaksa
Anak berkebutuhan khusus dalam hal ini adalah anak
tunadaksa, Hallahan & Kauffman (dalam Atmaja, 2018:129)
mengklasifikasikan karakteristik kelainan anak yang
dikategorikan sebagai penyandang tunadaksa ortopedi
(orthopedically handicapped) dan anak tunadaksa saraf
(neurologically handicapped).
a. Tunadaksa Ortopedi
Anak tunadaksa ortopedi, yaitu anak tunadaksa
yang mengalami kelainan, kecacatan ketunaan tertentu pada
bagian tulang, otot, ataupun daerah persendian, baik itu
yang dibawa sejak lahir (congenital) ataupun yang diperoleh
kemudian (karena penyakit atau kecelakaan) sehingga
mengakibatkan tergenggunya fungsi tubuh secara normal.
Kelainan yang termasuk dalam kategori tunadaksa ortopedi
ini di antaranya poliomyelitis, tuberculosis tulang,
osteomyelitis, arthritis, paraplegia, bemiplegia,
muscledystrophia, kelainan pertumbuhan anggota atau
abanggota badan yang tidak sempurna, cacat punggung,
amputasi tangan, lengan, kaki, dan sebagainya.
b. Tunadaksa Saraf
Anak tunadaksa saraf neurologically handicapped ,
anak tunadaksa yang mengalami kelainan akibat gangguan
pada susunan saraf otak. Sebagai pengontrol tubuh, otak
meimiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali tubuh.
Jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada
organisme fisik, emosi, dan mental.
Efek luka pada bagian otak tertentu, penderita akan
mengalami gangguan dalam pengembangan, mungkin akan
berakibat ketidakmampuan dalam melaksanakan berbagai
bentuk kegiatan. Salah satu bentuk kel;ainan yang terjadi
pada fungsi otak dapat dilihat pada anak Cerebral Palsy
(CP). Cerebral Palsy yang berasal dari kata Cerebral dapat
diartikan otak dan palsy dapat diartikan ketidakmampuan
atau gangguan motorik. Jadi , iCerebral Palsy adalah
gangguan aspek motorik pada otak. Cerebral Palsy bukan
suatu penyakit, melainkan suatu kondisi yang ditandai oleh
sejumlah gejala yang muncul bersamaan. Hal ini berarti
Cerebral Palsy berbeda dengan cacar air, tuberculosis, atau
penyakit kanker. Cerebral Palsy merupakan suatu sindrom
dan mempunyai gambaran yang jelas. Dilihat dari
manifestari yang tampak pada aktiitas motorik, anak
Cerebral Palsy dapat dikelompokkan menjadi spasticity,
athetosis, ataxia, tremor, dan rigidity.
Spasticity terjadi karena lapisan luar otak (khusunya
lapisan motor) bidang piramida dan beberapa kemungkinan
bidang ekstrapiramida yang berhubungan dengan
pengontrolan gerakan sadar tidak berfungsi sempurna.
Faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut
suppressor (pendesak). Apabila salah satu dari suppressor
ini masuk, akan terjadi suatu desakan. Akibatnya, otot akan
berada dalam kondisi tegang dan kejang . ketika konsisi otot
kejang keseimbanagn akan hilang, gerakan muncul menjadi
tidak harmonis, tidak terkontrol, dan kontraksi otot tidak
teratur sehingga gerakan yang tampak seperti suatu entakan.
Meskipun demikian, dalam keadaan normal anak mampu
menggerakkan otot yang baik meskipun gerakannya tampak
lamban, eksplosif, dan tidak sempurna.
Athetosis penyebabnya adalah luka pada sistem
ekstrapiramida yang terletak pada otak depan maupun
tengah. Anak-anak yang menderita Cerebral Palsy jenis
athetosis ini akan tampah susah payah untuk berjalan,
menggeliat-geliat, dan terhuyung-huyung. Gerakan-gerakan
abnormal penderita athetosis ini kian menghebat, apabila
yang bersangkutan melakukan kegiatan disertai emosi yang
tinggi.
Ataxia disebabkan oleh luka pada otak kecil yang
terletak di bagian belakang kepala (cerebellum) yang
bekerja sebagai pengontrol keseimbangan dan koordinasi
pada kerja otot. Anak yang menderita ataxia gerakannya
tidak teratur, berjalan dengan langkah yang tinggi dengan
mudah menjatuhkannya. Tremor dan rigidity mirip dengan
athetosis, yakni disebabkan oleh luka pada sistem ekstra
piramida. Hal ini terjadi akibat gangguan keseimbangan
antara kelompok otot yang nekerja berlawanan.

2.4.3Karakteristik Anak Tunadaksa


Pada aspek psikologis anak tunadaksa cenderung merasa
apatis, malu, rendah diri, sensitive. Selain itu, muncul sikap egois
terhadap lingkungannya. Keadaan seperti ini memengaruhi
kemampuan dalam bersosialisai dan berinteraksi terhadap
lingkungan sekitar atau dalam pergaulan sehari-harinya. Anak
tunadaksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau
cacat tubuh, yang mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang
mengalami kelainan anggota gerak dan kelumpuhan yang
disebabkan oleh kelainan yang ada di saraf pusat atau otak, disebut
sebagai Cerebral Palsy (CP), dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Karaktersitik Akademik
Menurut hardman (dalam Atmaja, 2018:135)
mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami
tingkat kecerdasan normal dan di atas normal. Sisanya
berkecerdasan sedikit di bawah rata-rata. Selanjutnya P.
Seibel (dslsm Atmaja, 2018:136) mengemukakan bahwa
tidak ditemukan hubungan secara langsung antara tingkat
kelainan fisik dengan kecerdasan anak. artinya, anak cerebral
palsy yang kelainannya berat, tidak berarti kecrdasannya
rendah.
b. Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa
bermula dari konsep diri anak yang merasa dirinya cacat,
tidak berguna, dan menjadi beban beban orang lain yang
mengakibatkan mereka malas belajar, bermain, dan perilaku
salah lainnya. Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan
oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya problem
emosi, seprti mudah tersinggung, mudah marah, kurang dapat
bergaul, dan frustasi. Problem emosi seperti itu, banyak
ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan sistem
cerebral.
c. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa
biasanya selain mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan
mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya
daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-
lain. Dilihat dari aktivitas motoric, intensitas gangguannya
dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan tidak mau
diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam,
gerakan lamban, dan kurang merespons rangsangan yang
diberikan, sulit melakukan kegiatan yang membutuhkan
integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis,
menggambar, dan menari.

2.4.4Etiologi Anak Tunadaksa


Ada beberapa macam anak tunadaksa yang dapat
menimbulkan pada anak tunadaksa yang dapat menimbulkan
kerusakan pada anak sehingga menjadi tunadaksa. Kerusakan
tersebut ada yang terletak di jaringan otak, jaringan sumsum tulang
belakang, serta pada sistem musculus skeletal. Dilihat dari waktu
terjadinya kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir,
saat lahir, dan sesudah lahir.
a. Sebelum Lahir (Fase Prenatal)
Kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan
disebabkam oleh hal-hal berikut ini:
1. Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu
mengandung sehingga menyerang otak bayi yang sedang
dikandungnya.
1. Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran
terganggu, tali pusar tertekan sehingga merusak
pembentukan saraf-saraf di dalam otak.
2. Bayi dalam kandungan terkena radiasi yang langsung
memengaruhi sistem saraf pusat sehingga struktur
maupun fungsinya terganggu.
3. Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma yang
dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem
saraf pusat. Misalnya, ibu jatuh dan perutnya terbentur
benda tumpul dengan cukup keras dan secara kebetulan
mengganggu kepaka bayi, maka daoat merusak sistem
saraf pusat dengan demikian akan membahayakan bayi.
b. Saat Kelahiran (Fase Natal/Perinatal)
Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada
saat bayi dilahirkan, antara lain:
1. Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang oinggang
yang kecil pada ibu sehingga bayi mengalami kekurangan
oksigen.
2. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran
yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan
saraf otak pada bayi.
3. Pemakaian anestesi yang melebihi ketentuan. Ibu yang
melahirkan dengan cara operasi dan menggunakan anestesi
yang melebihi dosis dapat memengaruhi sistem persarafan
otak bayi sehingga otak mengalami kelainan struktur ataupun
fungisnya.

2.4.6Setelah Proses Kelahiran (Fase Postnatal)


Fase setelah kelahiran adalah masa di mana bayi mulai
dilahirkan sampai masa perkembangan otak dianggap selesai, yaitu
pada usia lima tahun. Hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan
setelah bayi lahir adalah sebagai berikut:
a. Kecelakaan/trauma kepala, amputasi.
b. Infeksi penyakit yang menyerang otak.

Seseorang yang menyandang kelemahan disik biasanya


disebabkan oleh kelemahan saraf, kelemahan ortopedi atau gangguan
kesehatan lainnya (misalnya, penyakit jantung atau asma). Tingkat
keterlibatannya mulai dari kelemahan yang ringan hingga sangat
parah, sampai kelumpuhan yang memaksa seseorang untul terus-
menerus duduk, anak-anak dengan kelemahan saraf adlah anak-anak
yang cacat karena sistem saraf pusatnya berkembang dengan tidak
sempurna atau terluka.
2.4.6 Dampak Anak Tunadaksa
Dampak anak berkebutuhan khusus tunadaksa yang akan
dibahas dalam hal ini adalah sebagai berikut.
a. Dampak aspek akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa
yang mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka
adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama
dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang
mengalami kelainan pada sistem cerebral, tingkat
kecerdasannya berentang mulai dari tingkat sangat rendah
sampai dengan sangat tinggi.
Kemampuan kognisi terbatas karena adanya
kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi kecerdasan,
penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta
akhirnya anak tersebut tidak dapat mengadakan interaksi
dengan lingkungannya yang terjadi terus menerus melalui
persepsi dengan menggunakan media sensori (indra).
Gangguan pada simbolisasi disebabkan oleh adanya
kesulitan dalam menerjemahkan apa yang didengar dan
dilihat kelainan yang kompleks ini akan memengaruhi
prestasi akademiknya.
b. Dampak sosial emosi
Dampak sosial emosi anak tunadaksa bermula dari
konsep diri anak yang merasa dirinta cacat, tidak berguna,
dan menjadi beban beban orang lain yang mengakibatkan
mereka malas belajar, bermain, dan perilaku salah lainnya.
Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak
tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya problem emosi,
seprti mudah tersinggung, mudah marah, kurang dapat
bergaul, dan frustasi. Problem emosi seperti itu, banyak
ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan sistem
cerebral. Oleh karena itun tidak jarang dari mereka tidak
memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan sosialnya.

c. Dampak fisik dan kesehatan


Bagi anak yang mempunyai keluarbiasaan di bawah
normal, pada umumnya akan terhambat perkembangannya,
kecuali jika anak tersebut mendapat pelayanan yang sesuai
dengan kebutuhan. Tingkat keluarbiasaan juga
menghasilkan dampak yang berbeda bagi anak. anak yang
menderita keluarbiasaan, dampaknya bagi anak juga
semakin parah.
Dampak keluarbiasaan bagi anak, keluarga,
masyarakat bervariasi sesuai dengan latar belakang budaya,
pendidikan, dan status sosial ekonomi. Bagi anak,
keluarbiasaan akan memengaruhi perkembangannya dan
berdampak selama hidupnya. Intensitas dampak ini
dipengaruhi pula oleh jenis dan tingkat keluarbiasaan yang
diderita, serta masa munculnya keluarbiasaan bagi keluarga,
dampak keluarbiasaan bervariasi, tetapi pada umumnya
keluarga merasa syok dan tidak siap menerima
keluarbiasaan (di bawah normal) yang diderita oleh
anaknya. Adanya ABK dalam keluarga dan masyarakat
membuat keluarga dan masyarakat menyediakan layanan,
fasilitas yang dibutuhkan oleh ABK tersebut.
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kelainan fisik adalah kelainan yang biasanya disebut dengan kelainan


bawaan atau kelainan kongenital, dimana kondisi tidak normal yang terjaid
pada masa perkembangan janin. Dan kelainan ini dapat memperngaruhi
fungsi anggota tubuh anak.

Tunanetra adalah individu yang memiliki penyimpangan dalam


pengliahtan lemah atau akurasi penglihatannya kurang dari 6/60 setelah
dikoreksi atau tidak dapat bisa melihat kembali. Adapun beberapa ciri yang
tampak nampak bagi mereka yang mengalami gangguan penglihatan, antara
lain, yaitu seperti: ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang
dimiliki orang awas, terjadi keseluruhan pada lensa mata atau terdapat cairan
tertentu, posisi mata sulit dikendalikan syaraf otak, terjadi kerusakan susunan
syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan. Tunarungu ialah suatu
ketidakmampuan dalam mendengar sehingga dapat menyebabkan hambatan
dalam komunikasi. Tunarungu ada yang diagnosa ringan dan berat seperti
tuli/deaf dan kurang dengar/hard of hearing. Orang yang mengalami tuli
merupakan orang yang memiliki keterbatasan dalam mendengar sehingga
sulitnya memproses mendengarkan informasi dari orang lain meskipun
dengan menggunakan alat bantu dengar. Anak tundaksa adalah
ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan
oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya
secara normal, sebagai akibat bawaan, luka penyakit, atau pertumbuhan yang
tidak sempurna sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan
secara khusus. Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat
tubuh, cacat fisik, dan cacat ortopedi.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Adri, Zakwan. 2019. Usia Ideal Masuk SD Sebuah Pendekatan Psikologi.


Yogyakarta : Gre Publishing.

Atmaja, jati Rinakri. 2018. Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan


Khusus. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Budiarti, Melik. 2017. Bimbingan Konseling Di sekolah Dasar. Magetan : CV.


AE Media Grafika.

Lisinus, Rafael & Pastiria Sembiring. 2020. Pembinaan Anak Berkebutuhan


Khusus (Sebuah Perpesktif Bimbingan Konseling). Medan : Yayasan Kita
Menulis.

Pradopo, dkk. 1977. Pendidikan Anak-Anak Tunanetra. Jakarta : Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan.

Soleh, Akhmad. 2016. Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Terhadap Perguruan


Tinggi. Yogyakarta : LKis Pelangi Aksara.

Wardani, I.G.A.K. dkk. 2013. Pengantar Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.


Edisi Pertama. Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai