Anda di halaman 1dari 16

TUMBUH KEMBANG ANAK DISABILITAS INTELEKTUAL

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tumbuh Kembang Anak Disabilitas

Dosen Pengampu:

Latifah Nur Ahyanis, S.Psi., MA

Disusun Oleh:

1. Mela Anisa (202360016)


2. Dea Aninda Puri (202360038)
3. Putri Fatma Khusnul Khotimah (202360040)
4. Kayla Rafa Tazkiya Rahmat (202360043)
5. Alya Ramadlani (202360049)
6. Jesslyn Natalia Setiawati (202360052)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MURIA KUDU

2024
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Disabilitas intelektual merupakan salah satu tantangan kesehatan global yang
memengaruhi jutaan individu di seluruh dunia. Disabilitas ini tidak hanya memengaruhi
individu secara langsung, tetapi juga berdampak pada keluarga, masyarakat, dan sistem
kesehatan secara keseluruhan. Meskipun telah ada peningkatan kesadaran dan upaya untuk
memahami serta mengatasi masalah ini, masih banyak yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan inklusi, akses, dan kualitas hidup bagi individu dengan
disabilitas intelektual.
Penyandang disabilitas intelektual memiliki hak yang sama dengan warga negara
lainnya untuk mendapatkan kehidupan yang layak secara sosial dan ekonomi. Meskipun
jumlah mereka relatif sedikit secara kuantitatif, secara kualitatif mereka sangat penting
dalam upaya perlindungan hukum dan sosial bagi kewarganegaraan. Berdasarkan data dari
Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik Indonesia, sekitar 8,56 persen dari total penduduk mengalami disabilitas, dengan
sekitar 2,82 persen mengalami kesulitan mengingat/berkonsentrasi, yang umumnya terjadi
pada penyandang disabilitas intelektual.
Pemenuhan hak sosial bagi penyandang disabilitas tidak hanya penting untuk
menjamin hak-hak mereka sebagai warga negara, tetapi juga untuk mengatasi masalah
sosial terkait dengan kualitas sumber daya manusia. Karena penyandang disabilitas sering
menghadapi keterbatasan fisik, intelektual, mental, atau sensorik dalam jangka waktu yang
lama, mereka dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi sepenuhnya
dalam kehidupan masyarakat. Hal ini diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2016.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari disabilitas intelektual secara mendalam.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dan jenis dari disabilitas intelektual.
3. Untuk mengetahui berbagai penyebab dari disabilitas intelektual.
4. Untuk mengetahui karakteristik dan dampak dari disabilitas intelektual.
5. Untuk mengetahui kasus terhadap penyandang disabilitas intelektual.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Intelektual atau inteligensi adalah kemampuan seseorang dalam hal pemahaman,
analisis, dan pengolahan informasi, baik secara verbal maupun nonverbal. Disabilitas, di
sisi lain, merujuk pada kondisi di mana seseorang mengalami gangguan atau keterbatasan
dalam fungsi fisik atau mental yang dapat diukur secara objektif. Disabilitas intelektual
adalah kondisi di mana seseorang mengalami keterbatasan dalam fungsi intelektual dan
perilaku adaptif, seperti kemampuan konseptual, sosial, dan praktis adaptif. Ini termasuk
gangguan dalam perkembangan kognitif, penurunan dalam fungsi adaptif, dan onset
kondisi sebelum usia 18 tahun.
Salah satu jenis disabilitas yang sering dihadapi adalah disabilitas intelektual, juga
dikenal sebagai tunagrahita, retardasi mental, atau defisiensi mental. Secara konseptual,
penyandang disabilitas intelektual mengalami hambatan dalam perkembangan kecerdasan
mereka, yang menghambat mereka mencapai tingkat perkembangan yang optimal.
Klasifikasi Disabilitas Intelektual The American Pshychological Association (APA)
membuat klasifikasi anak disabilitas intelektual ada 4 yaitu mild, moderate, severe, dan
profound. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan tingkat kecerdasan atau skor IQ. Perlindungan
hukum bagi penyandang disabilitas intelektual melibatkan individu yang memiliki
gangguan intelektual dengan tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, yang mempengaruhi
fungsi berpikir mereka, sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016.
Namun, beberapa penyandang disabilitas intelektual dalam kategori ringan masih memiliki
kemampuan untuk mendapatkan pendidikan, mandiri, dan bekerja meskipun tidak
sepenuhnya seperti orang normal.
Mengingat tantangan dalam perkembangan psikososialnya, penting bagi
penyandang disabilitas intelektual untuk mendapatkan perlindungan sosial sebagai bagian
dari warga negara, yang memungkinkan mereka mengembangkan potensi mereka secara
maksimal. Perlindungan sosial diperlukan untuk membangun rasa percaya diri dalam
kondisi mereka, mendorong semangat untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan
kehidupan, memberikan rasa nyaman dalam lingkungan sosial mereka, dan mendorong
kemandirian dalam dunia kerja.

B. Klasifikasi
Klasifikasi anak disabilitas intelektual ada 4 yaitu mild, moderate, severe, dan
profound
1. Mild
Karakteristik anak disabilitas intelektual mild (ringan), mereka termasuk
yang mampu didik, bila dilihat dari segi pendidikan. Mereka pun tidak
memperlihatkan kelainan fisik yang mencolok, walaupun perkembangan fisiknya
sedikit agak lambat dari pada anak rata-rata. Tinggi dan berat badan mereka tidak
berbeda dengan anak-anak lain. Biasanya rentang perhatian mereka juga pendek
sehingga sulit berkonsentrasi dalam jangka waktu yang lama. Mereka
kadangkadang memperlihatkan rasa malu atau pendiam. Namun hal ini dapat
berubah bila mereka banyak diikutkan untuk berinteraksi dengan anak lainnya. Di
luar pendidikan, beberapa keterampilan dapat mereka lakukan tanpa harus
mendapat pengawasan, seperti keterampilan mengurus diri sendiri, seperti makan,
mandi, dan berpakaian.
2. Moderate
Karakteristik anak disabilitas intelektual moderate (sedang), mereka
digolongkan sebagai anak yang mampu latih, di mana mereka dapat dilatih untuk
beberapa keterampilan tertentu. Meski sering berespon lama terhadap pendidikan
dan pelatihan, jika diberikan kesempatan pendidikan yang sesuai, mereka dapat
dididik untuk melakukan pekerjaan yang membutuhkan 14 kemampuan-
kemampuan tertentu. Mereka dapat dilatih untuk mengurus dirinya serta dilatih
beberapa kemampuan membaca dan menulis sederhana. Mereka menampakkan
kelainan fisik yang merupakan gejala bawaan, namun kelainan fisik tersebut tidak
seberat yang dialami anak-anak pada kategori severe dan profound. Mereka juga
menampakkan adanya gangguan pada fungsi bicaranya.
3. Severe
Karakteristik anak disabilitas intelektual severe (berat), mereka tidak
mampu mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain meskipun pada
tugastugas sederhana. Mereka membutuhkan perlindungan hidup dan pengawasan
yang teliti. Mereka juga mengalami gangguan bicara. Tanda-tanda kelainan
fisiknya antara lain lidah seringkali menjulur keluar, bersamaan dengan keluarnya
air liur. Kepalanya sedikit lebih besar dari biasanya. Kondisi fisik mereka lemah.
Mereka hanya bisa dilatih keterampilan khusus selama kondisi fisiknya
memungkinkan.
4. Profound
Karakteristik anak disabilitas intelektual profound (sangat berat), memiliki
masalah yang serius, baik menyangkut kondisi fisik, inteligensi, serta program
pendidikan yang tepat bagi mereka. Umumnya mereka memperlihatkan kerusakan
pada otak serta kelainan fisik yang nyata, seperti hydrocephalus, mongolism, dan
sebagainya. Mereka dapat berjalan dan makan sendiri. Namun, kemampuan
berbicara dan berbahasa mereka sangat rendah. Kelainan fisik lainnya dapat dilihat
pada kepala yang lebih besar dan sering bergoyang-goyang. Penyesuaian dirinya
sangat kurang dan bahkan sering kali tanpa bantuan orang lain mereka tidak dapat
berdiri sendiri. Mereka nampaknya membutuhkan pelayanan medis yang baik dan
intensif.

C. Jenis
Jenis disabilitas intelektual antara lain:
1. Tunagrahita
Tunagrahita merupakan individu yang mengalami hambatan intelektual
dengan tingkat intelegensinya atau intelligence quotient (IQ) berada dibawah rata
rata (afektif, kognitif, dan psikomotor) yang ditandai dengan ketidakmampuan
melakukan perilaku baik kepada diri sendiri dan orang lain.
Menurut Kustawan, D. (2016) tunagrahita merupakan anak yang memiliki
inteligensi yang signifkan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan
ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan.
Ia juga mengatakan bahwa anak dengan tunagrahita mempunyai hambatan
akademik yang sedemikian rupa sehingga dalam layanan pembelajarannya
memerlukan modifikasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan khususnya.
Hambatan intelektual biasanya ditandai dengan keterbatasan yang signifikan baik
dalam fungsi intelektual dan perilaku adaptif seperti yang diungkapkan dalam ranah
konseptual, sosial, dan keterampilan adaptif praktis yang terjadi sebelum usia 18
tahun.
Berdasarkan tingkatnya, tunagrahita dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:
a. Tunagrahita ringan (IQ : 50-70)
b. Tunagrahita sedang (IQ 30-50)
c. Tunagrahita berat (IQ : 20-30)
d. Tunagrahita sangat berat (IQ dibawah 20)
2. Down Syndrome
Down syndrome adalah kelainan perkembangan pada individu yang
diakibatkan adanya kromosom ekstra atau biasa disebut dengan trisomi di pasangan
kromosom nomor 21 pada manusia. Biasanya pada kromosom 21 yang tidak dapat
memisahkan diri selama meiosis mengakibatkan terbentuknya individu dengan 47
kromosom. Lebih 1 kromosom dari individu yang pada umumnya memiliki 46
kromosom.
Down syndrome merupakan kelainan genetika pada manusia yang terjadi
ketika masa embrio yang disebabkan adanya kesalahan pembelahan sel yang
disebut nondisjunction embrio. Faktor yang menyebabkan lahirnya anak dengan
down syndrome adalah usia melahirkan seorang ibu yang terlampau tua yaitu
berkisar di usia 35-40 tahun. Semakin tua usia seorang ibu maka semakin besar
pula kemungkinan melahirkan anak berkelainan down syndrome.
Kelainan down syndrome adalah salah satu penyebab seseorang menderita
tunagrahita atau orang yang memiliki kemampuan intelektual dibawah rata rata.
Penyandang down syndrome memiliki beberapa ciri-ciri di antaranya:
a. Memiliki tubuh yang pendek, mata yang agak miring ke atas, lipatan kulit
kelopak mata atas yang menutupi sudut bagian dalam mata atau istilahnya
(epicanthal fold)
b. Jembatan hidung agak lebar, telinga yang mungil, pendengaran rendah,
leher yang pendek, tangan yang gemuk dan pendek, dan memiliki satu
garis lurus pada telapak tangan atau (simian crease)
c. Tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tetapi kemudian
sirna.
d. Keterlambatan perkembangan bahasa.
e. Keterlambatan perkembangan motorik.
f. Keterlambatan mengenal angka.
g. Perilaku cenderung impulsif.
3. Lambat Belajar
Lambat belajar (slow learner) merupakan anak yang memiliki potensi
intelektual sedikit dibawah normal. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau
keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh
lebih baik dibanding dengan tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang
normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat
menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik.
Anak lambat belajar memiliki kemampuan berpikir abstrak yang rendah
dibandingkan dengan anak pada umumnya. Dengan kondisi tersebut maka anak
lambat belajar membutuhkan pembelajaran khusus untuk meningkatkan potensi
yang dimilikinya.
Anak lambat belajar memiliki kemampuan dibawah rata rata sehingga
kesulitan pada mata pelajaran seperti baca, berhitung, dan lainnya. Anak-anak
seperti ini tidak dapat belajar dengan maksimal jika ditempakan di sekolah umum
dengan metode pengajaran yang dipakai pada umumnya, kelompok anak ini
membutuhkan pembelajaran khusus. Anak lambat belajar tidak dapat di masukkan
pada kategori tunagrahita sehingga anak ini tidak dapat disekolahkan di sekolah
luar biasa, karena anak lambat belajar memiliki kemampuan yang lebih tinggi
daripada anak tunagrahita. Hal ini yang sering membuat orangtua dan guru merasa
bingung menempatkan anak lambat belajar.
D. Penyebab
Faktor yang menyebabkan terjadinya disabilitas intelektual dapat terjadi pada masa
prenatal, perinatal, dan postnatal seperti jumlah gesta pada saat hamil, berat badan bayi
saat lahir rendah, terinfeksi maternal (in utero infection), keadaan gawat janin serta air
ketuban pecah terlebih dahulu. Selain itu juga terdapat faktor metabolisme, infeksi, trauma
kepala, dan paparan terhadap zat toksik maupun terjadinya asfiksia yang dapat
mempengaruhi meningkatnya resiko terjadinya disabilitas intelektual. Usia ibu juga dapat
menjadi faktor terjadinya resiko disabilitas intelektual. Pada usia ibu yang kurang dari 20
tahun dapat meyebabkan berat badan bayi lahir rendah sehingga dapat terjadinya disabilitas
intelektual pada anak. Usia ibu diatas maupun di usia 40 tahun juga dapat menyebabkan
anak disabilitas. Hal ini kerena terdapat kelainan dakam proses pembelahan kromosom
yang dapat membuat anak lahir dengan down syndrome atau autisme. Jika jumlah paratis
yang juga faktor yang mempengaruhi terjadinya penyulitan proses melahirkan seperti
infeksi. Selain itu juga faktor usia ayah dapat menjadi faktor terjadinya disabilitas
intelektual.
Disabilitas intelektul juga di sebabkan dari faktor kongenital pada masa prenatal
yang ditandai dengan mengkonsumsi obat-obatan, keracunan, infeksi zat dan terpapar
radiasi pada saat masa kehamilan dapat mempengaruhi fungsi otak dan tumbuh kembang
anak ketika lahir, selain itu juga dapat menyebabkan terlambatnya atau menghambat
perkembangan anak secara keseluruhan terutama fungsi motoriknya.

E. Karakteristik
1. Akademik
a. Anak memiliki hambatan pada fungsi kerja memori sehingga memungkinkan anak
untuk merasa sulit dalam menerima, memproduksi, maupun mengolah informasi. Hal
inilah yang menjadi penyebab anak menjadi sulit dalam memahami isi bacaan dan
membutuhkan pemberian instruksi maupun pengajaran secara berulang.
b. Kemampuan membaca, menulis, berhitung, atau memahami materi di sekolah lebih
lambat dibandingkan teman sebayanya.
c. Memiliki keterlambatan pada pemahaman uang dan waktu dibanding anak seusianya.
d. Membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan tugas sekolah dan
memahami materi.
e. Beberapa anak penyandang disabilitas intelektual mengalami gangguan berbahasa
dan komunikasi. Kondisi ini memungkinkan anak mengalami kesulitan belajar
karena anak cenderung pasif saat di kelas.
2. Sosial
a. Memiliki kemampuan bersosial yang pasif dan terbatas. Hal ini disebabkan karena
adanya hambatan kemampuan bahasa dan komunikasi.
b. Fungsi memori terhambat sehingga menyebabkan anak memiliki pembedaharaan
kata yang terbatas.
c. Berkomunikasi dengan tatanan kalimat yang sederhana dibandingkan anak
seusianya.
d. Membutuhkan bantuan orang lain untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
3. Praktis
a. Pada level disabilitas intelektual yang ringan, anak mampu melakukan aktivitas bantu
diri sesuai dengan usianya. Namun anak tetap membutuhkan bantuan dari orang lain
yang berkaitan dengan tugas atau kegiatan sehari-hari yang kompleks.
b. Pada level disabilitas intelektual berat, anak membutuhkan pengawasan dan bantuan
yang terus menerus dalam perawatan dan bantu diri. Anak pada level disabilitas ini
biasanya merasa kesulitan dalam membuat keputusan atau bertanggung jawab atas
dirinya sendiri.

F. Dampak
Beberapa dampak dari penyandang disabilitas intelektual yaitu:
1. Kesulitan memahami informasi baru.
2. Kesulitan memperoleh pendidikan yang sesuai.
3. Waktu pemrosesan kognitif lambat.
4. Kesulitan memproses informasi secara berurutan.
5. Terbatasnya kemampuan untuk mandiri dalam kehidupan sehari-hari.
6. Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
7. Mengalami tingkah laku kekanak-kanakan yang tidak sesuai dengan umurnya.
8. Orang tua khawatir dan cemas akan masa depan anak dengan disabilitas intelektual.

G. Kasus Disabilitas Intelektual


1. Diskriminasi pada Pengidap Down Syndrome
Dibeberapa lapangan tempat tinggal penyandang down syndrome mengalami
diskriminasi seperti kekerasan fisik maupun non fisik (kekerasan verbal, sosial, dan
emosional) yang dilakukan secara sadar oleh masyarakat dengan cara yang tercela
dimana masyrakat harusnya dapat membedakan mana perbuatan terpuji dan tercela.
Penyandang down syndrome seharusnya mendapatkan dorongan postif bukan melukai
mereka. Masyarakat seharusnya mendapatkan hidup untuk saling menghormati dan
menghargai akan tetapi masih saja ditemukan masyarakat yang dengan sengaja
memperlakukan penyandang down syndrome tidak adil dan membuat mereka
kehilangan kesempatan hidupnya. Permasalahan ini terjadi karena masyarakat yang
tidak sehat dalam segi pemikiran bahwa penyandang down syndrome hanyalah sebuah
masalah. Seharusnya masyarakat yang hidup dengan pandangan positif tidak
melakukan kekerasan terhadap penyandang down syndrome, masyarakat pasti memiliki
pandangan bahwa down syndrome memiliki kekurangan atau keterbatasan manusia dan
bukan suatu penghalang atau masalah untuk manusia.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan penyandang down syndrome
mengalami diskriminasi di lingkungan sosial:
a. Faktor gangguan berbahasa, down syndrome mengalami gangguan bahasa yang
mungkin mengucapkan kata yang jelas akan tetapi penyandang kesulitan menyusun
dua kata dengan baik.
b. Faktor keluarga, tidak dipungkiri mempunyai anak dengan down syndrome menjadi
keadan sulit untuk dijalankan. Terkadang banyak orang tua yang pasrah dengan
kondisi anaknya dan tidak bisa berbuat apa-apa. Kepasrahan inilah yang membuat
anak tidak berkembang padahal memiliki potensi dan bakan yang dapat
dikembangkan.
c. Faktor ekonomi, faktor ini sangat berpengaruh dalam masyrakat apalagi pada
kehidupan penyandang down syndrome.
d. Faktor kultur, masyarakat memiliki pandangan melihat orang dari luarnya atau
fisiknya. Hal ini secara tidak sadar menjadi kultur dari sebagian masyarakat.
e. Faktor pendidikan, bagi masyarakat penyandang down syndrome tidak dapat berbuat
apa-apa dan lebih parah dianggap seperti orang gila.
f. Faktor konstruksi sosial, masyarakat menyadari bahwa penyandang down syndrome
harus dihargai dan diberi dukungan akan tetapi masih ada masyarakat yang
memperlakukan penyandang down syndrome dengan tindakan kekerasan, menghina
dan mengbaikan.

Hal tersebut tentunya dapat berdampak pada penyandang down syndrome seperti
munculnya perasan sedih, sulit berkembang dan hilangnya kepercayaan diri. Oleh
karena itu untuk mengatasi diskriminasi penyandang down syndrome masyarakat dapat
menyadari bahwa dalam lingkungan sosial terdapat banyak bentuk masyarakat dari segi
fisik dan mental tidak hanya itu masyarakat yang harus menerima dan dapat berinteraksi
dengan segala tipe masyarakat salah satunya penyandang down syndrome dan tidak
memberikan stigma buruk kepada penyandang down syndrome sehingga dapat
membantu perkembangan dari penyandang down syndrome.

2. Kesulitan Siswa Tunagrahita dalam Mengenal Angka


Anak tunagrahita memiliki kemampuan intelektual yang dibawah rata rata,
kemampuan berpikirnya rendah, dan daya ingatnya lemah. Mereka tidak mampu
berpikir secara logis, hal tersebut menjadi faktor penyebab anak tunagrahita kesulitan
dalam mengenal angka. Mereka masih memiliki kemungkinan untuk memperoleh
pembelajaran membaca, menulis dan berhitung sederhana. Beberapa masalah yang
mungkin muncul termasuk kesulitan dalam memahami konsep angka, kesulitan dalam
mengingat urutan angka, atau kesulitan dalam menghubungkan angka dengan kata-kata
yang sesuai.Kesulitan yang dihadapi siswa tunagrahita dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1. Perhitungan
Siswa tunagrahita ringan pada dasarnya mampu menghitung benda, tetapi
mengalami kesulitan saat benda disusun secara acak. Mereka juga cenderung lupa
dan mudah bosan, membutuhkan waktu dan pengulangan dalam pembelajaran.
2. Menunjukkan Lambang Bilangan
Siswa tunagrahita mengalami kesulitan dalam menunjukkan lambang
bilangan, terutama untuk bilangan di atas sepuluh. Mereka memerlukan bimbingan
dalam menguasai konsep ini.
3. Penggunaan Proses yang Keliru
Siswa tunagrahita ringan mampu mendengarkan dan berbicara, tetapi
kesulitan memahami konsep tertentu, seperti penjumlahan bersusun ke bawah.
Mereka juga bingung dengan teknik menyimpan karena masih belum menguasai
nilai tempat. Guru perlu memberikan bimbingan secara individu dan menciptakan
interaksi positif untuk memotivasi siswa.
Matematika adalah substansi bidang studi yang menopang pemecah
masalah dalam kehidupan. Untuk itu, bagi anak tunagrahita perlu diberikan
pembelajaran bidang matematika. Namun karena keterlambatan dan keterbatasan
mental mereka dalam mempelajari matematika, maka pembelajaran mereka
dimodifikasi kearah konkret dan fungsional. Anak tunagrahita ringan perlu di didik
matematika karena matematika merupakan salah satu bidang studi yang
mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan persoalan berhitung dalam
kehidupan sehari hari. Perhatian dan ingatan anak tunagrahita ringan lemah, tidak
dapat memperhatikan sesuatu dengan serius. Kesulitan dalam pembelajaran
matematika yang dialami mereka yaitu mengenal angka. Tentu saja pada dasar
pembelajaran matematika harus mengenal angka terlebih dahulu. Mereka
mengalami kesulitan karena daya ingat yang lemah. Menghafal angka angka tidak
dapat dilakukan dalam sekejab. Mereka memerlukan waktu dan penjelasan yang
mudah dipahami.
Solusi yang dapat dilakukan adalah guru atau pendidik dalam pembelajaran
hendaknya menggunakan sesuatu yang konkret, menggunkan bahasa yang mudah
dipahami, menggunakan contoh contoh yang sederhana, dan disertai dengan alat
peraga. Pembelajaran dilakukan dalam situasi yang menarik dan menyenangkan
dengan metode yang diubah ubah agar anak tunagrahita tidak cepat bosan sehingga
termotivasi untuk belajar.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Disabilitas intelektual adalah kondisi seseorang mengalami keterbatasan fungsi
intelektual dan perilaku adaptif. Ini termasuk gangguan perkembangan kognitif dan
penurunan fungsi adaptif. Adapun klasifikasinya yaitu ringan, sedang, berat, dan sangat
berat. Ada beberapa jenis disabilitas intelektual seperti Tunagrahita yang berarti
mengalami hambatan intelektual dengan IQ dibawah rata-rata, Down Syndrom yang
berarti kelainan pada perkembangan manusia yang dikarenakan adanya kromosom ekstra,
serta Lambat Belajar yang berarti potensi intelektual anak dibawah normal.
Penyebab disabilitas intelektual dapat terjadi pada masa prenetal, perinatal, dan
postnatal. Selain itu berat badan bayi saat lahir, air ketuban pecah terlebih dahulu, usia ibu
lebih rendah dari 20 tahun dan di atas 40 tahun, serta konsumsi obat-obatan, keracunan,
terpapar radiasi juga termasuk penyebab disabilitas intelektual dan masih banyak lagi.
Karakteristik dari disabilitas intelektual ada 3 yaitu akademik, sosial, dan praktis. Dampak
dari penyandang disabilitas intelektual juga ada berbagai macam seperti kesulitan
memahami informasi baru, kesulitan memperoleh pendidikan yang sesuai dan lainnya.

B. Saran
Penting untuk mendukung dan memahami kebutuhan spesifik anak disabilitas
intelektual seperti menciptakan lingkungan yang positif serta memberikan teladan agar
anak dapat terbantu untuk tumbuh dan berkembang. Lakukan terapi jika diperlukan agar
dapat meningkatkan kemampuan anak dalam menjalani kehidupannya. Selain itu Orang
tua harus meningkatkan pengetahuan mengenai pola pengasuhan anak disabilitas
intelektual agar orang tua bisa lebih baik lagi dalam menangani dan mendidik anaknya
yang terkena disabilitas intelektual.
DAFTAR PUSTAKA

Allizaputri, A. I., Prananjaya, B. A., & Suryani, P. R. (2022). Faktor Risiko Angka Kejadian
Depresi dan Kecemasan pada Caregiver Anak dengan Disabilitas Intelektual. Jurnal
Keperawatan Jiwa, 10(1), 163-172.
Anlianna, A., Sunanto, S., Nursalim, M., & Rahmasari, D. (2023). Problems Of Children With
Intellectual And Mental Disabilities At School. Sentra Cendekia, 4(2), 80-92.
Diadiningrum, J. R., & Nanik, N. (2022). Modul Pengenalan Dan Pengoptimalan Potensi Anak
Disabilitas Intelektual.
Faisah, S. N., Siregar, M. A., Firanda, F., Nandita, I., Mujahadah, M., Auliyah, A., ... &
Samsuddin, A. F. (2023, July). Kesulitan Anak Berkebutuhan Khusus Tunagrahita dalam
Belajar Mengenal Angka di SLB Bhakti Pertiwi Samarinda. In Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan Matematika, Universitas Mulawarman (Vol. 3, pp. 34-41).
Fatimah Mutia Sari, S., & Muhammad, B. T. (2017). Pendidikan Bagi Anak Tuna Grahita (Studi
Kasus Tunagrahita Sedang Di SLB N Purwakarta). 4(2).
Metavia, H. M., & Widyana, R. (2022). Pengaruh Down Syndrome terhadap Perkembangan
Akademik Anak di Indonesia. Jurnal Wacana Kesehatan.
Metavia, H. M., & Widyana, R. (2022). Pengaruh Down Syndrome terhadap Perkembangan
Akademik Anak di Indonesia. Jurnal Wacana Kesehatan, 7(2), 54.
https://doi.org/10.52822/jwk.v7i1.403
Nim, S. N. L. (2017). Diskriminatif Pada Penyandang Down Syndrome (Tunagrahita) Di
Lingkungan Masyarakat Kota Pontianak. Sociologique: Jurnal Sosiologi, 5(2).
Purnamasari, N., Afifah, N., & Hardianto, Y. (2022). Hubungan Peran Keluarga dengan
Kemampuan Motorik Kasar Anak Disabilitas Intelektual. Jurnal Fisioterapi Dan
Rehabilitasi, 6(1), 9-15.
Sanusi, R., Dianasari, E. L., Khairiyah, K. Y., & Chairudin, R. (2020). Pengembangan Flashcard
Berbasis Karakter Hewan Untuk Meningkatkan Kemampuan Mengenal Huruf Anak
Tunagrahita Ringan. Jurnal Pendidikan Edutama, 7(2), 37-46.
Saputri, S., Ningsih, E. F., & Widyawati, S. (2017). Analisis Kesulitan Anak Tunagrahita Dalam
Menyelesaikan Soal Operasi Penjumlahan Di Sekolah Luar Biasa (SLB) Harapan Ibu
Metro. MaPan: jurnal matematika dan pembelajaran, 5(2), 187-200.
Syifa, M. D. R., Khasanah, U., & Fauzah, S. N. (2020). Faktor-Faktor Non Genetik yang
Mempengaruhi Disabilitas Intelektual di SLB Kota Cirebon Tahun 2017 (Studi Di SLB C
Pancaran Kasih Dan SLB C Budi Utama. Tunas Medika Jurnal Kedokteran &
Kesehatan, 6(1).
Wahyuningsih, Y. P. (2016). Assertive Training untuk Mengurangi Perilaku Submisif pada Remaja
dengan Gangguan Disabilitas Intelektual Ringan: Sebuah Laporan Kasus.

Anda mungkin juga menyukai