Anda di halaman 1dari 11

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS RETARDASI MENTAL

Dosen Pengampu :

Dr. Mintowati, M.Pd

Disusun oleh:

Musliyana (18020074011)

Ryza Maghfiroh Fatahilah (18020074062)

Nina Yuliana (18020074098)

PB 2018

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Retardasi mental atau yang juga dikenal dengan tunagrahita merupakan


keadaan keterbelakangan mental (mental retardation) sehingga yang mengalami
memiliki IQ di bawah rata-rata anak normal pada umumnya yang mengakibatkan
fungsi dari kecerdasan dan intelektual terganggu. Hal ini mengakibatkan muncul
permasalahan-pernasalahan baru dalam masa perkembangannya.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 sebanyak
222 juta penduduk Indonesia sebanyak 0,7% atau 2,8 juta jiwa merupakan
penyandang cacat dan jumlah anak tuna grahita berada pada angka paling tinggi
dibandingkan dengan jumlah anak dengan keterbatasan lainnya. Pervelensi tuna
grahita atau retardasi mental di Indonesia saat ini diperkirakan 1 -3% dari jumlah
penduduk di Indonesia. 2 Data penyandang cacat diperoleh dari Pusdatin Kesos
2009 yang dari data tersebut mencatat bahwa jumlah penyandang retardasi mental
sebesar 15,41%. (Aisya, 2012).

Seseorang yang menderita gangguan retardasi mental ini kurang maksimal


dalam berkomunikasi dengan yang seusia dengan mereka. Sehingga akibatnya
seseorang yang mengalami retardasi mental tidak mampu dalam memahami
situasi yang serius maupun bertindak berdasarkan keadaan sesuai dengan aturan
yang berlaku. Kurangnya komunikasi yang terjadi diakibatkan minimnya
perbendaharaan kata yang mereka miliki serta hambatan dalam membaca serta
menulis.
Retardasi mental tahap berat atau sangat berat cenderung membuat mereka
memiliki keterampilan dalam berkomunikasi secara formal yang sangat terbatas
sehingga membuat mereka hampir tidak pernah berbicara secara lisan dan hanya
mengeluarkan beberapa kata serta memerlukan bantuan yang banyak ataupun
memerlukan bantuan secara keseluruhan.

Dalam rangka meningkatan keterampilan pada anak yang terkena retardasi


mental diperlukan motivasi belajar yang mendalam dan intensif yang bisa
didapatkan dengan mendorong faktor intrinsik dalam diri anak berupa keinginan
untuk berhasil, dukungan kebutuhan belajara, serta harapan akan cita-cita. Serta
faktor ekstrinsik yang meliputi apresiasi, lingkungan belajar yang kondusif, serta
kegiatan belajar yang menyenangkan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan retardasi mental?

2. Bagaimana karakteristik retardasi mental?

3. Bagaimana metode pembelajaran bahasa indonesia untuk retardasi mental?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui definisi dari retardasi mental

2. Mengetahui jenis-jenis dari retardasi mental

3. Mengetahui metode pembelajaran bahasa indonesia yang cocok untuk


retardasi mental
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Retardasi Mental

Retardasi mental didefinisikan sebagai suatu keadaan perkembangan jiwa


yang tidak lengkap utamanya dikenali dengan terjadinya suatu hambatan dalam
melakukan keterampilan selama masa perkembangan. Hal ini nantinya akan
memengaruhi pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, contohnya kemampuan
kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Dapat kita katakan bahwa retardasi mental
adalah suatu gejala yang terdiri dari fungsi intelektual yang subnormal yang
memiliki kendala dalam perilaku adaptif sosial dan dapat diamati pada masa
perkembangan.

Berdasarkan pengertian yang disampaikan oleh Dr.Nora L Sondakh MA


mendefinisikan retardasi mental ialah seseorang dengan kemampuan intelektual
berada di bawah angka rata-rata akibat perkembangan intelektual yang abnormal
dan dapat dilihat pada kesukaran dalam belajar dan adaptasi sosial.

Retardasi mental sendiri merupakan seseorang yang mengalami kesulitan


dalam proses belajar serta menunjukkan kegagalan dalam mencapai suatu kriteria
yang telah ditetapkan atau tingkat penguasaan minimal yang harus dicapai. Dapat
dikatakan retardasi mental merupakan suatu gangguan perkembangan otak yang
ditandai dengan nilai IQ di bawah rata-rata orang normal dan kemampuan untuk
melakukan keterampilan yang buruk.

2.2 Karakteristik ABK Retardasi mental

Menurut Brown et al (1991), terdapat beberapa karakteristik yang melekat


pada seorang anak berkebutuhan khusus yang dapat dikenali, yaitu:

1. Lambat dalam mencerna hal-hal baru, mengalami kesulitan dalam


memahami pengetahuan yang bersifat abstrak, dan memeiliki daya ingat
yang rendah. Sehingga, segala sesuatu harus dilatih berulangkali.
2. Memiliki kesulitan dalam menggeneralisasikan hal-hal baru yang dia
dapat.
3. Pada anak retardasi mental berat kemampuan bicara mereka cenderung
kurang.
4. Mengalami gangguan pada perkembangan gerak dan memiliki cacat fisik.
Cacat fisik pada anak retardasi mental berat seperti ketidakmampuan
dalam menggerakan fisik seperti tidak dapat berjalan, kesulitan dalam
menjangkau benda, dan terkadang ada yang tidak dapat mendongakkan
kepalanya.
5. Memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri. Pada anak retardasi
mental berat, mereka tidak mampu untuk makan, berpakaian, dan
membersihkan diri. Sehingga, diperlukan pelatihan untuk kemampuan
dasar tersebut.
6. Anak retardasi mental seringkali berinteraksi dan bertingkah laku yang
tidak lazim. Hal itu terjadi karena adanya kesulitan anak retardasi mental
dalam merespon perhatian lawan main mereka.
7. Bertingkah laku yang tidak wajar secara terus menerus. Anak retardasi
mental berat sering meakukan rutinitas aneh (tidak jelas), seperti
menggigit jari-jarinya, membenturkan kepala ke tembok, dan menggeleng-
gelengkan kepala. Hal-hal itu dilakukan tanpa ada tujuan.

Terdapat pendapat lain, menurut S.M Lumbantobing (2001) terdapat


beberapa karakteristik yang menjadi pertanda dalam mengenali anak yang
mengalami retardasi mental, yaitu:
1. Mengalami keterbelakangan dalam perkembangan mental pada semua
aspek selain perkembangan motorik seperti merangkak, duduk, dan
berjalan.
2. Mengalami gangguan dalam perkembangan kemampuan bebicara.
3. Kurang atau tidak memberikan respon pada lingkungan sekitarnya seperti
tidak bereaksi saat ada bunyi disekitarnya.
4. Tingkat konsentrasi rendah. Hanya memberika perhatian singkat terhadap
mainan. Bahkan, terkadang tidak mengacuhkan hal-hal yang terjadi
disekitarnya.
5. Kurang memiliki kesiagaan, seperti tidak berusaha untuk mengambil
benda (mainan) yang jatuh tepat dihadapannya.
6. Kurang dalam memberikan respon terhadap lingkungan, tidak seperti anak
normal pada umumnya.
7. Pada usia 2-3 tahun masih sering memasukkan benda kedalam mulut.

2.3 Jenis-jenis ABK Retardasi Mental

Terdapat beberapa klasifikasi anak berkebutuhan khusus retardasi mental


pada DSM IV (1994), yakni:
1. Retardasi mental ringan/ mild mental retardation
Anak berkebutuhan khusus retardasi mental ringan memiliki IQ berkisar
55-69. Anak dengan IQ tersebut merupakan kelompok retardasi mental
yang masih bisa didik. Pada kelompok ini, anak masih mampu untuk
mengembangkan kemampuan komunikasi dan kecakapan sosial. Hanya
kelompok saja kelompok anak retardasi mental ringan memiliki hambatan
ringan pada sensorimotornya.
2. Retardasi mental sedang/ medorate mental retardation
Anak berkebutuhan khusus retardasi mental sedang memiliki IQ berkisar
40-45. Anak dengan IQ tersebut merupakan kelompok retardasi mental
yang perlu dilatih. Pada kelompok ini, pada usia dini masih dapat
mengembangkan kemampuan komunikasi. Anak dengan retardasi mental
sedang masih bisa menggurus kebutuhannya sendiri. Meskipun,
memerlukan waktu yang lebih karena agak lambat daripada anak
sebayanya.
3. Retardasi mental berat/ severe mental retardation
Anak berkebutuhan khusus redartasi mental berat memiliki IQ berkisar 20-
39. Anak dengan IQ tersebut merupakan kelompok retardasi mental yang
tidak memiliki kemampuan berkomunikasi secara bahasa. Akan tetapi,
pada saat memasuki usia sekolah, mereka dapat dilatih untuk mampu
berbicara dan diajarkan keterampilan-keterampilan sederhana dalam
mengurus diri.
4. Retardasi mental sangat berat/ profound mental retardation
Anak berkebutuhan khusus retardasi mental sangat berat memiliki IQ
dibawah 20.
Anak dengan IQ tersebut merupakan anak yang mengalami gangguan
berat pada perkembangannya baik perkembangan motorik maupun
perkembangan sensorimotor. Hal tersebut berpengaruh pada
ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan keterampilan sederahana
seperti mengurus diri. Sehingga, anak pada kelompok ini bergantung
secara total pada orang lain dan lingkungannya.

Selain itu, terdapat pengklasifikasian anak retardasi mental yang


berhubungan dengan keperluan dalam pembelajaran. Menurut American
Association on Mental Retardation pada Special Education in Ontario Schools,
yakni sebagai berikut.
1. Educable
Anak yang memiliki kemampuan akademik yang setara dengan anak
normal kelas 5 sekolah dasar.
2. Trainable
Anak yang memiliki kemampuan yang terbatas dalam bidang akademik.
Akan tetapi, anak memiliki kemampuan dalam beberapa keterampilan
seperti mengurus diri dan kecakapan sosial yang cukup baik.
3. Custodial
Anak yang harus diberikan latihan yang khusus dan berkelanjutan untuk
melatih keteramplan dasar anak seperti kemampuan berkomunikasi dan
mengurus diri. Dalam pelatihan itu diperlukan pengawasan da dukungan
penuh.

2.4 Prediksi Pembelajaran Bahasa Indonesia Untuk Retardasi Mental

 Menggunakan Metode pembelajaran kooperatif (cooperative learning)

Model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang


dilakukan dengan cara belajar atau bekerja sama di dalam kelompok-kelompok
kecil yang jumlah per kelompoknya disesuaikan dengan kebutuhan guru.

Desain pembelajaran kooperatif ini mempermudah bagi anak retardasi mental


untuk berkomunikasi serta bersosialisasi dengan teman-temannya, sehingga
mereka mampu mengikuti pembelajaran dengan mudah dan menyenangkan.
Tahapan dalam melaksanakan metode pembelajaran kooperatif yakni, sebagai
berikut:
1. Tahapan yang pertama, merupakan penyampaian tujuan pembelajaran serta
kegiatan untuk memotivasi siswa.

2. Tahapan yang kedua, merupakan penyajian informasi mengenai materi yang


akan diajarkan.

3. Tahapan yang ketiga, mengarahkan siswa untuk berkelompok

4. Tahapan yang keempat, mengarahkan siswa untuk berdiskusi.

5. Tahapan yang kelima, melakukan kegiatan berupa evaluasi.

6. Tahapan yang keenam, memberikan suatu apresiasi terhadap siswa dari hasil
pembelajaran.

Berdasarkan tahapan metode pembelajaran kooperatif diatas, berikut ini


merupakan langkah-langkah dari model pembelajaran kooperatif untuk anak
retardasi mental :

1. Guru memotivasi siswa dengan memberikan awalan yang menyenangkan


seperti, menyanyikan lagu yang mereka hafal secara bersama-sama. Setelah
itu, perlahan-lahan dihubungkan dengan tujuan pembelajaran yang akan
dicapai.

2. Guru menunjukkan gambar hewan, kemudian siswa diminta untuk


menebaknya. Setelah ada siswa yang menjawab, guru akan memberikan
penjelasan mengenai jawaban serta menerangkan tentang bentuk
pembelajaran yang akan mereka lakukan.

3. Guru mengarahkan siswa untuk berpasangan, guna untuk menebak gambar


hewan yang akan diberikan melalui diskusi.

4. Guru akan menunjukkan gambar hewan, kemudian guru meminta siswa


untuk menebak gambar dengan menuliskannya dikertas.
5. Guru menanyakan siapa yang bisa menebak gambar tersebut, kemudian
disampaikan ke seluruh kelas.

6. Apabila jawaban tersebut salah, guru akan mendiskusikannya dengan


seluruh siswa.

7. Guru mengevaluasi kegiatan pembelajaran dengan menerangkan tentang


maksud dan tujuan pembelajarannya.

8. Guru mengapresiasi atau memberikan penghargaan (seperti, hadiah) untuk


siswa yang berhasil menjawab.

2.5 Penelitian pada anak berkebutuhan khusus retardasi mental

Penelitian yang dilakukan di sekolah menengah pertama luar biasa (SMPLB)


Bintara campuran Tulungagung ini dilakukan dengan guru mengajar siswa dengan
menerapkan model pembelajaran yang bervariasi yaitu :

a. Metode ceramah dan tanya jawab (metode pembelajaran klaksikal)

b. Media pembelajaran konkrit (Metode pembelajaran konstektual)

Dari kedua model pembelajaran yang diterapkan guru memasukkan media


pembelajaran untuk memaksimalkan kedua model pembelajaran yang memiliki
keunggulan serta kekurangannya masing-masing. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan didapatkan hasil bahwa menggunakan model pembelajaran
konstektual lebih dapat diterapkan dan efektif pada siswa tunagrahita di SMPLB
Bintara Campurdarat Tulungagung disebabkan model pembelajaran konstektual
mengedepankan penerapan bentuk nyata dalam membuat siswa tunagrahita
memahami serta menerapkan materi yang diberikan berdasarkan kapasitas dalam
penerimaan materi untuk siswa tunagrahita yang terbatas dan tidak mampu
berpikir abstrak dan lebih berpikir konkrit.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Retardasi mental merupakan suatu gangguan perkembangan otak yang


ditandai dengan nilai IQ di bawah rata-rata orang normal dan kemampuan untuk
melakukan keterampilan yang buruk sehingga memerlukan metode khusus dalam
penerapan pembelajaran Bahasa Indonesia yang disesuaikan dengan kondisi yang
mereka alami.

3.2 Saran

Penulis menyarankan bahwa dalam menghadapi anak yang mengalami


kondisi retardasi mental memerhatikan metode dan perlakuan yang tepat dengan
menyesuaikan kondisi yang mereka alami.
Daftar Rujukan

Nur H. 2016. Model Pelajaran Yang Efektif Bagi Siswa Tunagrahita Di Sekolah
Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) Bintara Campurdarat Tulungagung
[Skripsi]. Malang (ID): Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Royani C,dkk. 2014. Karakteristik Anak Yang Mengalami Mental Retardation


Dan Down Syndrome. Makalah.

Titi S,dkk. 2000. Retardasi Mental. Sari Pediatri 2(3): 170-177.

Anda mungkin juga menyukai