Anda di halaman 1dari 12

BUDAYA DAN PERKEMBANGAN KOGNISI

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Bimbingan dan Konseling Lintas
Budaya
Dosen Pengampu: Faisal Akbar Rahmansyah, M.Pd.

Disusun oleh:
Putri Nabila Hijriyani
Diniya Siti Farida
Idan Muhammad Wildani

UNIVERSITAS ISLAM KH RUHIAT CIPASUNG


FAKULTAS TARBIYAH
PRODI BIMBINGAN KONSELING DAN PENDIDIKAN
ISLAM
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada kehadirat Alloh SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Bimbingan Dan Konseling
Lintas Budaya, dengan judul:
“BUDAYA DAN PERKEMBANGAN KOGNISI’’.
Kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Faisal Akbar Rahmansyah, M.Pd.
selaku Dosen Bimbingan Dan Konseling Lintas Budaya .Kami juga mengucapkan
terimakasih kepada teman-teman kai yang berkontribusi dalam pengerjaan makalah
ini.
Kami menyadari`sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena
itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang serta
anjuran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dari teman teman maupun dosen
guna kesempurnaan makalah ini.

Tasikmalaya, oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai makhluk yang dapat berfikir, manusia memiliki pola pola tertentu
dalam bertingkah laku. Tingkah laku ini menjadi sebuah jembatan bagi manusia
untuk memasuki kondisi yang lebih maju. Pada hakikatnya, budaya tidak hanya
membatasi masyarakat, tetapi juga eksistensi biologinya,tidak hanya bagian dari
kemanusiaan, tetapi struktur instingtifnya sendiri. Namun demikian,batasan tersebut
merupakan prasyarat dari sebuah kemajuan.

Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian
kategori pada setiap benda atau objek atas dasar persamaan dan perbedan
karakternya. Selain kedua hal diatas, pemberian kategori juga biasanya didasarnkan
pada fungsi dari masing-masing objek tersebut. Proses – proses mental dari kognisi
mencakup prepepsi pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi,
yaitu kategorisasi (pengelompokan), memori (ingatan) dan pemecahan masalah
(problem solving).
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini diantaranya
yaitu
1.Pengertian lintas budaya??
2. Apa itu perkembangan kognisi??

C. TUJUAN
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami budaya dan perilaku
kognisi
BAB II
PEMBAHASAN TEORI
A. Pengertian psikologi lintas budaya
Psikologi lintas budaya adalah kajian mengenai persamaan dan
perbedaan dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai
budaya dan kelompok etnik; mengenai hubungan-hubungan di antara
budaya psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan ubahan biologis; serta
mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam budaya-budaya
tersebut. Sedangkan pendapat beberapa ahli, yaitu: Segall, Dasen dan
Poortinga, psikologi lintas-budaya adalah kajian mengenai perilaku
manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu
dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya.
Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok: keragaman
perilaku manusia di dunia dan kaitan antara perilaku terjadi. Definisi ini
relatif sederhana dan memunculkan banyak persoalan. Sejumlah definisi
lain mengungkapkan beberapa segi baru dan menekankan beberapa
kompleksitas: Riset lintas-budaya dalam psikologi adalah perbandingan
sistematik dan eksplisit antara variabel psikologis di bawah kondisi-
kondisi perbedaan budaya dengan maksud mengkhususkan antesede-
anteseden dan proses-proses yang memerantarai kemunculan perbedaan
perilaku.
Menurut Matsumoto, (2004) : Dalam arti luas, psikologi lintas budaya
terkait dengan pemahaman atas apakah kebenaran dan prinsip-prinsip
psikologis bersifat universal (berlaku bagi semua orang di semua budaya)
ataukah khas budaya (culture spscific, berlaku bagi orang-orang tertentu di
budaya-budaya tertentu)
Sedangkan Ruang Lingkup Psikologi Lintas Budaya dalam memahami
tentang cabang ilmu psikologi lintas budaya yang dipelejari yaitu :
1. Budaya dan Diri (Self)
2. Persepsi
3. Kognisi & Perkembangannya
4. Psikologi Perkembangan
5. Bahasa
6. Emosi
7. Psikologi Abnormal
8. Psikologi Sosia.

B. Perkembangan kognisi
Pengertian dari perkembangan kognitif terlebih dahulu. Secara bahasa,
kata ‘cognitive; berasal dari kata cognition yang artinya ialah pengertian
atau mengerti. Sedangkan kognitif dapat dimaknai sebagai sebuah proses
yang terjadi secara internal dalam pusat susunan saran ketika manusia
sedang berpikir. Secara luas, menurut Neisser kognisi atau cognition ialah
perolehan, penggunaan pengetahuan serta penataan. Menurut para ahli,
kognisi memengaruhi aliran kognitifis atau tingkah laku dari seorang anak
yang didasarkan pada kognisi yaitu merupakan suatu tindakan mengenal
serta memikirkan situasi di mana tingkah laku itu terjadi. Sederhananya,
kognitif ialah seluruh aktivitas mental yang membuat seorang individu
untuk mampu menghubungan, mempertimbangkan dan menilai suatu
peristiwa. Sehingga, individu tersebut akan mendapatkan pengetahuan
setelahnya.
A. Pengertian Kognitif dan Menurut Para Ahli
Secara umum kognitif berbicara tentang gagasan, ide dan pemecahan
masalah berakar pada kemampuan kognitif seseorang. Tanpa adanya kecerdasan
kognitif mustahil sebuah ilmu pengetahuan dapat dipahami.
Adapun pengertiannya menurut para ahli adalah sebagai berikut.

1.Menurut Williams dan Susanto

Pengertian Kognitif menurut Williams dan Susanto adalah bagaimana seseorang


dalam memecahkan sebuah masalah dilihat dari cara seseorang itu bertingkah laku,
bertindak dan cepat atau lambatnya.

2. Menurut Neisser
Menurut Neisser kognitif itu hanya bicara tentang tiga konsep yaitu perolehan,
penataan, dan penggunaan pengetahuan. Jadi kognitif adalah bagaimana perolehan,
penataan dan penggunaan pengetahuan.

3. Menurut Gagne
Menurut Gagne kognitif merupakan proses internalisasi ilmu pengetahuan yang
terjadi pada susunan saraf pusat ketika seseorang berfikir memahami sesuatu

4. Menurut Drever
Menurut Drever berpendapat bahwa kognitif istilah umum yang dipakai untuk
memahami sebuah metode pembelajaran. Metode pemahaman, yakni persepsi,
penilaian, penalaran, imajinasi, dan penangkapan makna adalah sepaket dengan
kognitif.
5. Menurut Piaget
Menurut Piaget adalah kegiatan seorang anak bagaimana ia beradaptasi dan
menginterpretasikan obyek serta kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar dirinya.
BAB III

TEMUAN KASUS
A. BUDAYA DAN PROBLEM SOLVING
Problem solving merupakan suatu proses dalam usaha menemukan urutan yang benar
dari alternative-alternative jawaban suatu masalah dengan mengarah pada satu
sasaran atau kea rah pemecahan yang ideal. Beberapa asumsi menjelaskan bahwa
kemampuan ini sangat tekait dengan faktor pendidikan dan pengalaman termasuk
pengalaman dengan lingkungan budaya tentunya. Namun para psikolog telah
mencoba memisahkah proses problem solving dan budaya dengan meminta individu-
individu dari berbagai latar budaya untuk memecahkan permasalahan – permasalahan
yang tidak familiar dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Salah satu penelitian yang mencoba memahami perbedaan problem solving dalam
lintas budaya adalah yang dilakukan Cole (1971). Ia mengambil subjek orang-orang
dari Amerika dan Liberia. Dalam penelitiannya, ia menggunakan sebuah piranti yang
memiliki beberapa banyak tombol, panel, dan lubang (stot). Untuk dapat membuka
piranti tersebut dan mendapat hadiah yang ada di dalamnya, para subyek harus
melakukan penggabungan dua prosedur, yang pertama yaitu menekan tombol yang
tepat untuk melepas sebuah kelerang dan kedua adalah memasukkan kelerang ke
dalam lubang yang tepat agar panel dapat terbuka sehingga pirantipun terbuka.
Subyek anak Amerika yang berusia di bawah 10 tahun ditemukan tidak mampu
memecahkan masalah ini dengan mudah. Namun problem solving ini dengan sangat
mudah. Sebaliknya hampir keseluruhan subyek Liberia, dan semua usia dan latar
belakang pendidikan, tampak mengalami kesulitan besar untuk menemukan cara gan
langkah yang tepat membuka piranti. Kesimpulan yang diambil berdasar temuan ini
adalah orang-orang Amerika memiliki kemampuan problem solving yang lebih baik
dibandingkan orang Liberia utamanya dalam berpikir reasoning.
Penelitian ini mendapat kritik tajam dan dikatakan bias budaya. Para subyek Amerika
mampu mengerjakan permasalahan yang diberikan dalam percobaan karena dalam
kehidupan sehari-hari mereka telah terbiasa berhadapan dan menggunakan mesin-
mesin tersebut, seperti: remote control, computer, mesin cuci dsb, sedangkan orang-
orang Liberia tidak terbiasa berhadapan dengan piranti semacam itu dalam
kehidupannya. Alat yang digunakan dikatakan memberikan keuntungan bagi orang
Amerika dan member kecemasan tersendiri bagi subjek Liberia.
Cole dan rekan-rekannya selanjutnya mengulang percobaan dengan mengganti alat
percobaan dengan sebuah kotak terkunci beserta kunci-kuncinya. Kotak dan kunci
dilihat kurang bias budaya karena orang-orang Liberia juga sudah mengenai hal
semacam ini bila dibandingkan dengan mesin beserta tombol-tombolnya. Pemecahan
masalah tetap dirancang dengan kombinasi dua prosedur, yaitu subjek harus
mengingat kotak-kotak kecil yang berisi kunci yang tepat dengan kunci-kunci mana
yang tepat untuk membuka lubang kunci yang tepat. Hasil penelitian ternyata sangat
berbeda dengan percobaan sebelumnya, semua subyej baik dari Amerika maupun
Liberia mampu menyelesaikan tugas yang diberikan dengan waktu yang hampir sama
atau dengan kata lain dengan sama mudahnya.
Kesuksesan percobaan Cole ini masih dipertanyakan, percobaan di atas meneliti
kemampuan berpikir logis atau mengetes pengetahuan dan pengalaman yang telah
mereka miliki terkait dengan kotak-kota dan kunci. Guna menjawab permasalahan ini
Cole kembali mengadakan percobaan ketiga dengan prosedur gabungan dan
percobaan pertama dan kedua. Subyek diminta membuka kotak dengan kunci-kunci
yang kunci-kunci tersebut harus diambil dari piranti yang tertutup. Untuk membuka
piranti tersebut subyek harus menekan tombol yang tepat, mengambil kelereng, dan
memasukkan kelereng ke dalam percobaan pertama. Subyek-subyek Liberia
mengalami kesulitan untuk menyelesaikan masalah yang diajukan.
Cole selanjutnya menarik kesimpulan baru bahwa kemampuan orang Liberal untuk
berpikir logis guna memecahkan suatu masalah sangat tergantung konteks. Ketika
masalah yang disajikan menggunakan material dan konsep yang sudah mereka kenal,
orang-orang Liberia berpikir logis sama baiknya dengan orang-orang Amerika.
Sebaliknya ketika masalah yang disajikan kurang mereka kenal, mereka tampak
mengalami kesulitan dari mana memulai langkah pemecahan masalah. Namun tidak
dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Liberia memiliki kemampuan problem solving
yang lebih rendah dibandingkan dengan orang Amerika. Sangat mungkin, sebaliknya,
orang-orang Amerika akan mengalami kesulitan ketika masalah yang diajukan juga
kurang mereka kenal namun sangat dekat dengan orang-orang Liberia, misalnya:
menelusuri jejak binatang dengan menggunakan penciuman dan bekas jejak kakinya.
Tipe permasalahan lain yang diteliti dalam kaitan problem solving dengan perbedaan
budaya adalah kemampuan berpikir silogis (vontoh: semua bocah suka permen, Siti
masih kanak-kanak, apakah Siti menyukai permen ?). dalam penelitiannya yang luas
pada masyarakat di Asia Timur dan Tengah yang dikatakan masih tribal (tradisional)
dan nomaden (hidup berpindah-pindah), Luria (1976) menemukan bahwa
kemampuan berpikir silogis ini lebih berkaitan secara signifikan dengan pendidikan
dari pada dengan perbedaan budaya. Subyek rata-rata kurang mampu memberikan
jawaban yang benar ketika diajukan pertanyaan silogis, namun pada subyek yang
sudah pernah bersekolah sekalipun hanya setahun dan juga dari komunitas yang sama
(tinggal di desa tersebut) ternyata sudah mampu memberikan jawaban yang benar.
Dimana tingkat kebenaran ini selaras (signifikan) dengan tingkat pendidikan.
Beberapa analisa coba diberikan untuk menjelaskan ketidakmampuan orang yang
tidak memiliki kemampuan baca tulis untuk menjawab pertanyaan silogis. Luria
menyakini bahwa orang-orang yang tidak memiliki kemampuan baca tulis memiliki
pola pikir yang berbeda dengan orang-orang yang sudah mampu baca tulis. Kerangka
pikir ini merupakan hasil belajar yang dipelajari di sekolah. Mulai dari pengenalan
huruf, menggambungkan dua huruf menjadi suku kata, dan menggabungkan suku
kata suku kata menjadi sebuah kata merupakan dasar pola silogisme.
Kognitif diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasikan dan
menggunakan pengetahuan. Dalam psikologi, kognitif adalah referensi dari faktor-
faktor yang mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu hal yang
berusaha menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia bertindak
sebagi aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep
kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial. Sedangkan
kebudayaan (culture) dalam arti luas merupakan kreativitas manusia (cipta, rasa dan
karsa) dalam rangka mempertahankan kelangsunganhidupnya. Manusia akan selalu
melakukan kreativitas (dalam arti luas) untuk memenuhi kebutuhannya (biologis,
sosiolois, psikologis) yang diseimbangkan dengan tantangan, ancaman, gangguan,
hambatan (AGHT) dari lingkungan alam dan sosialnya.
Ada berbagai hal yang berhubungan dengan keberadaan faktor kognisi dalam
pengaruhnya terhadap lintas budaya :
1. Intelegensi Umum
Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara
terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif.
secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan
mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi
tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai
tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Sementara itu, Sartono Kartodirdjo (dalam Kebudayaan Indis. 2011.
Soekiman,Djoko) membagi masyarakat Hindia Belanda berdasarkan pendidikannya.
Perkembangan pendidikan dan pengajaran menumbuhkan golongan ssosial baru yang
mempunyai fungsi dan status baru, sesuai dengan diferensiasi dan spesialisasi dalam
bidang sosial ekonomi dan pemerintahan.
Menurut Sartono, stratifikasi masyarakat Hindia Belanda adalah :
· Elite birokrasi yang terdiri atas Pangreh Praja Eropa (Europees Binnenlands
Bestuur) dan Pangreh Praja Pribumi
· Priyayi Birokrasi termasuk Priyayi Ningrat,
· Priyayi Profesional (dibagi menjadi dua, ada priyayi gedhe dan priyayi cilik),
· Golongan Belanda dan Golongan Indo yang secara formal masuk status Eropa
dan mempunyai tendensi kuat untuk mengidentifikasi diri dengan pihak Eropa, dan
· Orang kecil (wong cilik) yang tinggal di kampung.

2. Gaya Kognitif
Dalam (Kebudayaan Indis.2011. Soekiman, Djoko) menyebutkan aspek kognitif
berhubungan dengan tingkat perasaan, yang sangat sulit untuk dilukiskan dan
diamati. Hal ini berkaitan dengan berbagai aktivitas dan meliputi berbagai objek
karena peneliti mendapatkan struktur-struktur dasar yang komplek sehingga peneliti
perlu membatasi diri dan mempersempit garis besar permasalahan. Hal ini lebih sulit
diartikan karena justru gaya Indis berpangkal pada dua akar kebudayaan, yaitu
Belanda dan Jawa yang sangat jauh berbeda.
Untuk memahaminya perlu diketahui adanya suatu pengertian situasi atau fenomena
kekuasaan kolonial dalam segala aspek dan proporsinya. Sebagai contoh, misalnya
dalam hal membnagun rumah tempat tinggal dengan susunan tata ruangnya. Arti
simbolik suatu bagian ruang rumah tinggal berhubu ngan dengan perilaku
penghuninya. Pada suku Jawa, misalnya, tidaak dikenal ruang khusus bagi keluarga
dengan pembedaan umur, jenis kelamin, generasi, famili, bahkan diantara anggota
dan bukan anggota penghuni rumah. Maka fungsi ruang tidak dipisahkan atau
dibedakan dengan jelas.
Contoh lain yang sangat menarik adalah keselarasaan sistem simbolik, khususnya
gaya hidup. Betapa canggungnya orang pribumi Jawa yang hidup secara tradisional di
kampung, kemudian pindah untuk bertempat tinggal di dalam rumah gedung di dalam
blok atau kompleks dengan suasana rumah bergaya Barat yang modern. Kelengkapan
rumah tangga yang serba asing, pembagian ruang-ruang di dalam rumah dengan
fungsi yang khusus, fungsi ruang secara terpisah (apart) untuk terjaminnya privilege
atau privacy penghuninya, semua itu menambah kecanggungan orang Pribumi untuk
tinggal di dalam rumah yang asing. Anggapan bahwa rumah adalah model alam
mikrokossmos menurut konsep pikiran Jawa dan sebagainya, tidak adapada alam
pikiran Eropa. Apakah rumah gaya Indis sebagai tempat tinggal baru
diinterpretasikan dengan pola konsep lama atau tradisional Jawa? Hal ini belum jelas
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kognisi adalah istilah umum yang
mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan dari indera
menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu
proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar
persamaan dan perbedaan karakternya. Proses-proses mental dari kognisi mencakup
persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu
kategorisasi (pengelompokkan), memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem
solving).
Salah satu proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kateorisasi.
Kategorisasi dilakukan umumnya atas dasar persamaan dan perbedaan karakter dari
obyek-obyek dimaksud. Selain itu fungsi dari obyek juga merupakan deterministic
utama inidari proses kategorisasi. Missal, ketika kita melakukan kategorisasi
mengenai buku.
Ada bermacam-macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga
buku mewarnai untuk anak-anak. Semuanya kita masukkan dalam kategorisasi karena
kesamaan bentuknya dari fungsinya yaitu tempat menuliskan sesuatu.
Memori ialah proses pengolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean,
penyimpanan, pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut. Dalam
hubungannya dalam penyimpanan dan pemanggilan kembali informasi-informasi
tersebut, memori dibedakan menjadi memori jangka pendek (short term memory)
yang jangka waktu menyimpan informasi tidak lebih dari 15-25 detik dan memori
jangka panjang (long term memory) atau memori yang menyimpan informasi relatif
permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggilnya kembali (Dayakisni,
2008)
Problem solving merupakan suatu proses dalam usaha menemukan urutan yang benar
dari alternative – alternative jawaban suatu masalah dengan mengarah pada satu
sasaran atau kea rah pemecahan yang ideal.
DAFTAR PUSTAKA
Walgito, Bimo. 2004. Psikologi Umum. Yogyakarta; Penerbit Andi.
Walgito, Bimo. 1999. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta; Penerbit Andi.
www.citizenship.gov.au/test/resource-booklet/citz-booklet-indonesian.pdf
www.mindscapecenter.com
https://www.gramedia.com/literasi/perkembangan-kognitif/
http://boscakdi.blogspot.com/2013/06/kognisi-dan-budaya.html

Anda mungkin juga menyukai