Anda di halaman 1dari 21

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

PERILAKU MORAL DAN RELIGIUSITAS SISWA BERLATAR


BELAKANG PENDIDIKAN UMUM DAN AGAMA
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan
Umum
Dosen Pengampu :
Ela Hikmah Hayati M.Pd

Disusun Oleh :
Indrianingsih (1911104155)
Semester : IV B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYEKH MANSHUR (STAISMAN)
PANDEGLANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan bagian dari investasi masa depan, investasi
masyarakat sekaligus investasi negara dalam rangka memajukan dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan dipandang sebagai alternatif
paling efektif untuk menghadapi persoalan-persoalan umat selama ini.
Pendidikan dapat berarti perubahan prilaku, pengetahuan, atau praktek.
Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap
kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam meningkatkan
sumberdaya manusia serta sarana dalam membentuk watak bangsa (Nation
Character Building). Masyarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidupan
yang cerdas dan progresif serta akan membentuk kemandirian. Masyarakat
yang demikian merupakan investasi besar untuk berjuang keluar dari krisis
dan menghadapi dunia global, maka dari itu pendidikan memegang peranan
yang sangat penting dalam peningkatan sumber daya manusia.1
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.2
Pendidikan dapat berarti persiapan manusia dalam memperoleh
pengetahuan yang otentik dan kontemporer pada ruang lingkup kehidupan
yang berbeda.3 Pendidikan merupakan upaya mewariskan nilai-nilai yang akan
menjadikan manusia mampu menjalankan dan melanjutkan kehidupannya

1. Ni Pulu Bintari et.al., “Korelasi Konsep Diri dan Sikap Religiusitas Terhadap Kecenderungan Prilaku Menyimpang Dikalangan Siswa
Pada Kelas XI SMA Negeri 4 Singaraja Tahun Ajaran 2013/2014”, E-Jurnal Undiksa Jurusan Bimbingan Konseling, Vol. 2, No. 1 (2014), 2.
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta: Cemerlang.
3. Mājid „Arsān al-Kailanī, Manāhij al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa al-Murabbūn al-„Āmilūn Fīhā (Beirut: „Ālim al-Kutub, 1995), 71

1
sebagai manusia paling sempurna. Dengan kata lain bahwa pendidikan
merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan
kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efesien.4

4. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III (Jakarta: Kencana Predana Media Grup,
2012), 4.

2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Perilaku Moral
a. Pengertian Perilaku Moral
Moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara
dalam kehidupan, adat istidat atau kebiasaan (Gunarsa, 2003). Tidak hanya itu,
moral menurut Shaffer (dalam Ali, 2006) memiliki beberapa istilah yang lain
diantaranya moral diartikan juga sebagai rangkaian nilai tentang berbagai
macam perilaku yang harus dipatuhi. Selain itu, moral menurut Rogers (dalam
Ali, 2006) diartikan sebagai standar baik dan buruk yang ditentukan bagi
individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial.
Sedangkan, Perkembangan moral seseorang terus mengalami perubahan
sesuai dengan usia atau masa kehidupan orang tersebut. Perkembangan moral
pada anak-anak dan remaja mengiringi kematangan kognisi, anak muda
mencapai kemajuan dalam penilaian moral ketika mereka menekan
egosentrisme dan menjadi cakap dalam pemikiran abstrak (Papalia,Old dan
Feldmen, 2008). Sedangkan Santrock (2003) menuturkan bahwa
perkembangan moral adalah berhubungan dengan peraturan-peraturan dan
nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya
dengan orang lain. Perkembangan moral (moral development) sendiri menurut
Santrock (2007) adalah perubahan penalaran, perasaan dan perilaku tentang
standar mengenai benar dan salah.
Menurut Mischel (dalam Santrock, 2003) perkembangan moral dalam
pandangan pembelajaran sosial kognitif memberikan penekanan pada adanya
perbedaan antara kompetensi moral remaja (kemampuan untuk melakukan
tingkah laku moral) dan performa moral remaja (tingkah laku yang
dimunculkan pada situasi yang spesifik. Pandangan ini menyatakan bahwa
perkembangan moral dilihat dari perilaku remaja mengenai standar yang
dianggap benar atau salah, sehingga hal ini mengacu bahwa perkembangan
moral dilihat dalam perilaku moral dimana hal ini menurut Kurtines (1992)
perilaku moral sendiri diartikan sebagai perilaku yang sesuai dengan aturan-
3
aturan sosial atau masyarakat. Selain itu, perilaku moral mengimplikasikan
adanya komponen pengenalan (kognisi) moral atau pertimbangan moral yang
hendak dinilai secara langsung (Kurtines, 1992), sedangkan menurut Coles
(dalam Azizah, 2006) perilaku moral diungkap dalam tingkat orang harus
berperilaku dan bersikap kepada orang lain.5
Perilaku moral di definisikan juga sebagai perilaku yang sesuai dengan
kode moral kelompok sosial (Hurlock, 2006). Selain itu, Magdalena (2014)
menjelaskan bahwa perilaku moral seseorang adalah hasil dari pengetahuan
dan perasaan individual tentang moral. Menurut Gunarsa (2003) perilaku
moral adalah perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku
dalam kelompok sosial.6
Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku
moral adalah perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku
dalam kelompok sosial yang timbul dari hati dengan rasa tanggung jawab atas
tindakan tersebut.
b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Moral
1) Modeling
Menurut Santrock (2003) Ketika remaja dihadapkan pada model yang
bertingkah laku “secara moral”, para remaja pun cenderung menir tingkah
laku model tersebut. Ketika remaja dihukum karena tingkah laku yang tidak
bermoral atau tidak dapat diterima, tingkah laku ini bisa dihilangkan, namun
memberikan sanksi berupa hukuman dapat mengakibatkan efek samping
emosional pada remaja. Selain itu, efektivitas meniru model tergantung pada
karakteristik model itu sendiri (misalnya kekuasaan, kehangatan, keunikan dan
lain-lain) dan kehadiran proses kognitif, seperti kode simbolik dan
perumpamaan untuk meningkatkan ingatan mengenai tingkah laku moral.
2) Situasional

5. Nur, Azizah. 2006. Perilaku Moral dan Religiusitas Siswa BerlatarBelakang Pendidikan Umum dan Agama. Jurnal Psikologi.Vol. 33, No.
2
6
. Tanpa nama. (2014). Pengertian moral menurut para ahli. [Online]. Diakses dari :
http://dilihatya.com/1485/pengertian-moral-menurut-para-ahli
4
Sebagai tambahan, menurut Santrock (2003) peranan faktor lingkungan
dan kesenjangan antara pemikiran moral dan tindakan moral, para ahli teori
pembelajaran sosial juga menekankan bahwa tingkah laku tergantung pada
situasinya. Mereka mengatakan bahwa remaja cenderung tidak menunjukkan
tingkah laku yang konsisten dalam situasi sosial yang berbeda-beda.
Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Reed dkk (2009) menyatakan
bahwa faktor situasi mempengaruhi perilaku moral seseorang.
3) Lingkungan
Menurut Gunarsa (2003) kepribadian seorang individu tidak dapat
berkembang, demikian pula halnya dengan moral dimana nilai-nilai moral
yang dimiliki seorang remaja merupakan sesuatu yang diperoleh dari luar
dirinya. Anak belajar dan diajar oleh lingkungannya mengenai bagaimana ia
harus bertingkah laku yang baik dan tingkah laku yang tidak baik atau salah.
Lingkungan ini dapat berarti orang tua, saudara, teman-teman, guru dan
sebagainya.
4) Diri
Menurut Blasi (dalam Kurtines,1992) landasan motivasional bagi
perilaku moral berada pada tuntutan internal untuk perealisasian konsistensi
diri secara psikologis. Self adalah pengorganisasian mengenai informasi
keterhubungan diri dimana terdapat banyak elemen yang tergabung di
dalamnya dan membentuk beberapa konsistensi psikologis (Cernove &
Trioathi, 2009). Self yang memiliki inti atau pokok yang menjadi sentral diri
disebut sebagai esensi dari inti self yang disebut sebagai identitas (identity).
Menurut Blasi (dalam Carvone & Tripathi, 2009) juga menjelaskan bahwa
identitas (identity) adalah pertimbangan yang menyesuaikan pada inti diri
(self). Menurut Colby & Damon (2004) menguatkan bahwa ketika identitas
sudah menyatu dengan moralitas seseorang maka penalaran moral seseorang
akan mendorong mewujudkan perilaku moral.
c. Proses Pembentukan Prilaku Moral
Menurut Kurtines dan Gerwitz (1992) terdapat empat komponen yang
menyusun perilaku moral, yaitu :
5
 Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan moral
 Memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang
 Memillih diantara nilai-nilai moral untuk memutuskan apa yang secara
aktual akan dilakukan
 Melaksanakan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai moral
Sedangkan menurut Gunarsa (2003) proses pembentukan perilaku moral
adalah :
 Melalui pengajaran langsung atau melalui instruksi-instruksi
Pembentukan perilaku moral disini melalui penanaman pengertian tentang
apa yang betul dan apa yang salah oleh orang tua atau beberapa orang
yang ada di sekitarnya.
 Melalui identifikasi
Seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan orang atau model, maka
orang tersebut cenderung untuk mencontoh pola-pola perilaku moral dari
model tersebut.
 Melalui proses coba dan salah
Seorang anak ataupun remaja belajar mengembangkan perilaku moralnya
dengan mencoba-coba suatu perilaku. Anak atau remaja melihat apakah
dengan ia berperilaku tertentu, lingkungan akan menerimanya atau
menolaknya.
d. Aspek-aspek Prilaku Moral
Menurut Daradjat (1976) untuk menentukan moral seseorang, tentu
ada patokan dan ketentuan minimal. Misal, suatu perbuatan, tindakan atau
perkataan tertentu pada suatu masyarakat merupakan gejala dari kemerosotan
moral tapi di kalangan lain, mungkin sebagai penghargaan dan justru
merupakan nilai kebaikan.
Menurut Daradjat (1976) untuk mengukur perilaku moral yang ada di
Indonesia maka aspek yang diambil adalah landasan hidup dari setiap warga
negara indonesia adalah pancasila dimana aspek-aspek perilaku moral
menurut Daradjat (1976) adalah sebagai berikut :
1) Berkata jujur, yaitu perkataan yang sesuai dengan kejadian aslinya
6
2) Berbuat benar, yaitu perbuatan yang tidak menentang peraturan yang
berlaku
3) Berlaku adil, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya.
4) Berani, yaitu kesiapan fisik dan mental untuk menghadapi suatu
peristiwa.7
2. Religiusitas
a. Pengertian Religiusitas
Istilah religiusitas (religiosity) berasal dari bahasa Inggris “religion”
yang berarti agama, kemudian menjadi kata sifat “religios” yang berarti
agamis atau saleh. “Religi” berarti kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan
adanya kekuatan diatas manusia. Religiusitas merupakan bagian dari
karakteristik pribadi seseorang yang dengan sendiri akan menggambarkan
personalitas sebagai i nternalisasi nilai-nilai religiusitas secara utuh yang
diperoleh dari hasil sosialisasi nilai religius disepanjang kehidupanya. Dengan
demikian, kalau seseorang religius semestinya personalitas dan kepribadianya
menggambarkan bangunan integral dari dirinya , yang akan nampak pada
wawasan, motivasi,Cara berpikir, sikap, perilaku dan tingkat kepuasan pada
dirinya yang merupakan hasil dari organisasi sistem psiko-fisiknya. Bentuk
religiusitas masyarakat dapat terlihat dari dimensi religiusitas masyarakat yang
dikemukakan oleh C.Y Glock dan R. Stark dalam bukunya, American Piety:
The mature of Religious Commitment, terdapat lima dimensi dalam
religiusitas, yaitu:
1) Religous Belief (The Ideological Dimension) adalah tingkatan sejauh
mana seseorang menerima hal yang dogmatik dalam agamanya.
2) Religous Practice (Ritual Dimension) yaitu tingkatan sejauh mana
seseorang mengerjakan kewajiban ritual dalam agamanya.
3) Religous Feeling (The Experiental Dimension) atau disebut dengan
dimensi pengalaman yang pernah dialami dan dirasakan.

7
. Zakiah, Daradjat. 1976. Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta :Bulan Bintang.

7
4) Religious Knowledge (The Intellectual Dimension) atau dimensi
pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh
seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agama nya, terutama yang ada
di dalam kitab sucinya.
Fungsi dari adanya religiusitas dalam kehidupan manusia, yaitu :
 Fungsi Edukatif : Ajaran agama yang memberikan ajaran-ajaran yang
harus dipatuhi dalam hal ini bersifat menyuruh dan melarang agar pribadi
penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan hal-hal yang baik
 Fungsi Penyelamatan : Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada
penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu alam dunia
dan akhirat.
 Fungsi Perdamaian : Melalui agama, seseorang yang bersalah atau berdosa
dapat mencapai kedamaian bat in melalui pemahaman agama.
 Fungsi pengawasan : Ajaran agama oleh penganutnya d ianggap sebagai
norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan
sosial secara individu mau pun kelompok.
 Fungsi Pemupuk Rasa Solidaritas : Para penganut agama yang secara
psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam kesatuan iman dan
kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidarita dalam
kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membi na
rasa persaudaraan yang kokoh.
 Fungsi Transformatif : Ajaran agama dapat mengubah kehidupan manusia
seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya, kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan
ajaran agama yang dipeluk kadangkala mampu merubah kesetiannya
kepada adat atau norma kehidupan yang dianutnya.
b. Dimensi Religiusitas
Glock dan Stark (dalam Jalaluddin, 2004) mengatakan bahwa
religiusitas adalah keseluruhan dari fungsi jiwa individu mencakup
keyakinan, perasaan, dan perilaku yang diarahkan secara sadar dan
sungguh-sungguh pada ajaran agamanya dengan mengerjakan lima
8
dimensi keagamaan yang didalamnya mencakup tata cara ibadah wajib
maupun sunat serta pengalaman dan pengetahuan agama dalam diri
individu. Fetzer (1999) juga mendefinisikan religiusitas adalah sesuatu
yang lebih menitikberatkan pada masalah perilaku, sosial, dan merupakan
sebuah doktrin dari setiap agama atau golongan. Doktrin yang dimiliki
oleh setiap agama wajib diikuti oleh setiap pengikutnya.
8
Religiusitas berarti pangabdian terhadap agama, kesalehan.
Keberagamaan atau religiusitas lebih melihat aspek di dalam lubuk hati
nurani pribadi, sikap personal yang misterius karena menafaskan intimitas
jiwa, etika rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa
manusiawi) ke dalam pribadi manusia. Karena itu pada dasarnya
religiusitas lebih dari agama yang tampak formal dan resmi.9
Religiusitas memiliki pengaruh baik pada sikap dan prilaku manusia
serta religiusitas merupakan nilai penting dalam struktur kognitif individu
yang dapat mempengaruhi perilaku individu. Menurut
pandanganBehaviorisme religiusitas erat kaitannya dengan prinsip
reinforcement (reward and punishment). Manusia berperilaku agama
karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah dengan
menghindari dari hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala).
Manusia hanyalah robot yang bergerak secara mekanis menurut pemberian
hukuman dan hadiah. 10 Dengan demikian dapat dilihat bahwa tingkat
religiusitas seseorang tidak hanya terletak pada spiritualitas individu, tetapi
lebih menyerupai aktifitas beragama yang ditunjukkan dalam kehidupan
sehari-hari yang dilaksanakan secara konsisten.
Sikap religiusitas merupakan kecenderungan untuk bertingkah laku
sesuai dengan kadar ketaatannya pada agama. Sikap religiusitas terbentuk
karena adanya konsistensi antara kepercayaan sebagai komponen kognitif,

8
. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. "Kamus Besar Bahasa Indonesia" (Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008), 1190
9
. Muhaimin. 2002. "Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Sekolah" (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 288.
10
. Abdul, Hamid. 2017. “Agama dan Kesehatan Mental dalam Perspektif Psikologi
Agama”, Jurnal Kesehatan Tadulako, Vol. 3 No. 1 (2017), 4-5.
9
pemahaman dan penghayatan terhadap agama sebagai komponen afektif
dan prilaku terhadap agama sebagai komponen konatif.11
Seseorang yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, ia akan
terbiasa dengan segala aturan dan kewajiban yang harus ia lakukan sesuai
dengan ajaran dalam Islam, sehingga tanpa disadari hidupnya akan
berjalan secara teratur. Keterbiasaan tersebut tentu akan mempengaruhi
sikap dan kebiasaannya dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik yang
memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, tentu akan dapat mempengaruhi
kebiasaan dalam kesehariaanya, mulai dari cara bergaulnya, pola
belajarnya dan kegigihannya dalam mencapai cita-cita.
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan
bahwa religiusitas adalah hubungan yang meng ikat antara manusia
denganAllah Swt, yang membuat manusia memiliki ketergantungan yang
mutlak atas semua kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmani ataupun
kebutuhan rohani, yang mana hal te rsebut diimplementasikan dengan
mengarahkan hati, fikiran dan perasaan untuk senantiasa menjalankan
ajaran agama. Menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 2001)
dimensi-dimensi religiusitas terdiri dari lima macam yaitu :
 Dimensi Keyakinan
 Dimensi Peribadatan
 Dimensi Pengamalan atau Konsekuensi
 Dimensi Pengetahuan
 Dimensi Penghayatan
c. Indikator Terbentuknya Religiusitas
1) Sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya.
2) Toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama yang dianutnya.
3) Serta hidup rukun dengan memeluk agama.

11
. Bintari, Korelasi Konsep Diri, 8.
10
d. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Religiusitas
Orang yang mendapatkan pendidikan agama baik di rumah mapun di
sekolah dan masyarakat, maka orang tersebut mempunyai kecenderungan
hidup dalam aturanaturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, dan takut
melanggar larangan-larangan agama (Syahridlo, 2004). Thoules (azra, 2000)
menyebutkanbeberapa faktor yang mempengaruhi religiusitas, yaitu:
 Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor
sosial) yang mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap
keagamaan, termasuk pendidikan orang tua, tradisi-tradisi sosial untuk
menyesuaikan dengan berbagai pendapatan sikap yang disepakati oleh
lingkungan.
 Berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam membentuk sikap
keagamaan terutama pengalaman mengenai :
1. Keindahan, keselarasan dan kebaikan didunia lain (faktoralamiah).
2. Adanya konflik moral (faktor moral)
3. Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif)
 Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian yang timbul dari kebutuhan-
kebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan terhadap keamanan,
cinta kasih, harga d iri, dan ancaman kematian.
 Berbagai proses pemikiran verbal atau proses intelektual. Manusia
diciptakan dengan berbagai macam potensi, salah satunya potensi untuk
beragama. Potensi beragama ini akan terbentuk, tergantung bagaimana
pendidikan yang didapatkan. Seiring dengan bertambahnya usia, maka
akan muncul berbagai macam pemikiran verbal mengenai agama.12
3. Prilaku Moral dan Religiusitas Siswa Berlatar Belakang Pendidikan
Umum dan Agama
Dalam era globalisasi, sumber daya manusia yang berkualitas tinggi
akan menjadi penopang yang sangat kuat terhadap perkembangan suatu negara.
Sehubungan dengan hal tersebut pentingnya manusia mempelajari beberapa
faktor yang dapat mengembangkan suatu negara salah satunya adalah dengan
12
. Musdalifah. 2020. "Pengaruh Aktifitas Religiusitas Terhadap Prilaku Moral Siswa"
11
meningkatkan mutu pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu upaya
untuk mengantarkan anak didik menuju kepada proses kedewasaan dalam
berbagai aspek. Aspek tersebutlah yang dapat memajukan suatu instansi
pemerintahan di era globalisasi ini terutama di sekolah.
Sekolah memiliki dua fungsi pokok yang berbeda yaitu tempat pendidikan
dan lembaga sosialisasi. Berdasarkan dua fungsi tersebut, maka pengaruh
sekolah terhadap siswa tidak hanya sebatas pada pengalihan ilmu pengetahuan
dan teknologi saja, akan tetapi suasana lingkungan sekolah dan sistem
pendidikan yang diterapkan juga akan dapat mempengaruhi pengembangan
fungsi kepribadian dan kecerdasan sorang siswa. Selain itu terdapat beberapa
faktor-faktor yang mempengaruhi di lingkungan suatu instansi pemerintahan
terutama di sekolah, seperti pembelajaran tatakrama, tingkah laku, serta moral
yang harus dimiliki suatu anak yang perlu di perhatikan secara interaktif agar
sekolah tersebut menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas (Furhman,
1990).
Tugas perkembangan yang penting dalam masa remaja awal adalah untuk
mengerti apa yang diharapkan oleh kelompok dirinya dan untuk mau merubah
sikap-sikapnya sesuai dengan harapanharapan kelompok tanpa selalu
dibimbing, diawasi, dan diancam oleh orang-orang dewasa, seperti dalam
masa kanak-kanak. Untuk mencapai hal tersebut remaja harus memiliki
pengawasan dari dalam atau ”internal control”. Apabila pada masa kanak
kanak sudah tertanam konsep konsep kesusilaan atau dalam istilah lain sering
disebut dengan moral. Peran keluarga, sekolah dan lingkungan dalam
mengajarkan nilai-nilai moral dan agama kepada remaja sebagai bekal dalam
menjalani masa remajanya. Keluarga, sekolah dan lingkungan hendaknya
mendampingi dan membimbing remaja agar tidak terpengaruh oleh budaya-
budaya negatif yang membuat remaja terjebak kedalam pergaulan bebas.
Salah satu perkembangan yang terjadi pada masa remaja adalah
perkembangan moral dan ketaatan terhadap agama. Banyak faktor yang
mempengaruhi perkembangan perilaku moral dan agama dari remaja, salah
satunya ialah latar belakang pendidikan yang diterima oleh remaja tersebut.
12
Gunarsa (2013) perilaku adalah segala sesuatu atau tindakan yang sesuai
dengan nilai-nilai tata cara yang ada dalam suatu kelompok. Perilaku disini
adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan nilai-
nilai norma atau pun nilai yang ada dalam masyarakat. Harlock (1999) Salah
satu pendidikan yang diterima oleh remaja ini adalah perilaku moral. Perilaku
moral merupakan perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial.
Perilaku moral ini dikendalikan oleh konsep-konsep moral peraturan perilaku
yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang
menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok.
Berns (2004) 13 ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi perkembangan
moral, yakni konteks keadaan, situasional, sifat, kontrol, kontrol diri dan
penghargaan diri, usia, kecerdasan, faktor-faktor sosial, dan emosi; keluarga,
teman sebaya, sekolah, media massa, masyarakat (Komunitas). Menurut
Muhyani (2012) menjelaskan bahwa Religius (religiosity) merupakan ekspresi
spiritual seseorang yang berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai, hukum
yang berlaku. Hasbullah (1999) menjelaskan bahwa Religiusitas hakekatnya
bukan hanya sekedar keyakinan, namun terdapat aspek internalisasi yang
harus diamalkan. Lembaga pendidikan serta lembaga agama merupakan suatu
sistem yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan perilaku karena
berfungsi sebagai dasar-dasar tentang pengertian dan konsep moral dalam diri
seorang individu, pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara
sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari lembaga
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran ajaranya.

Pembelajaran moral, tingkah laku, dan tata krama di lingkungan sangat


diperlukan di sekolah karena, banyaknya perilaku moral dikalangan siswa
yang negatif seperti membolos, mencontek ketika ujian atau ulangan harian,
berkelahi antar teman, dll. Fakta di suatu instansi terutama di sekolah ini
menunjukkan bahwa terdapat kasus penyimpangan perilaku moral siswa
dengan segala variasinya seperti membolos sangat memprihatinkan. Perlunya
13
. Berns, R.M. 2004. Child, Family, School, Comunity : Socialization and Support
13
suatu perubahan dengan mengidentifikasi permasalahan di suatu instansi
pemerintahan khususnya sekolah harus di maksimalkan oleh setiap guru
(Piaget, 1976).
Moral merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah yang
dilakukan oleh seseorang. Selain itu moral juga merupakan seperangkat
keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan
yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Moral juga dapat diartikan sebagai
suatu perlakuan yang menunjukan kepada aplikasi nilai-nilai kebaikan dalam
bentuk tindakan atau tingkah laku. Walaupun istilah moral dapat menunjuk
kepada moral baik dan moral buruk, namun dalam aplikasinya orang
dikatakan bermoral jika mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan dalam
perilakunya. Sementara orang yang berperilaku buruk seperti egois, tidak
amanah, tidak bertanggung jawab, dan individualis, dikatakan sebagai orang
yang tidak bermoral (Sunarti, 2005).
Pada hakekatnya perilaku moral itu berkaitan dengan harkat martabat
manusia itu sendiri sebagai makhluk mulia yang hidup di muka bumi ini.
Harkat dan martabat yang ditunjukan dalam berbagai aspek kehidupan,
diantaranya adalah dalam pembentukan hubungan yang harmonis antar
sesama dan pembangun tatanan masyarakat yang tertib dan beradab. Kondisi
tersebut pada hakekatnya akan berdampak terhadap kebahagiaan individu
serta kesejahteraan masyarakat luas. Dalam kehidupan bermasyarakat, aspek
atau nilai-nilai moral sangat dibutuhkan dalam suatu instansi pemerintahan
terutama di sekolah. Maka dari itu, sekolah harus menerapkan pengajaran
tentang pendidikan moral kepada siswa agar sekolah tersebut menjadi sekolah
yang memiliki siswa dengan kualitas pendidikan yang baik dan moral yang
bagus (Muinudin, 2008).
Demikian halnya dengan sekolah umum dan agama dengan latar belakang
pendidikan yang berbeda, kedua sekolah tersebut yang membedakannya dari
segi kurikulum dimana pada sekolah umum hanya terdapat mata pelajaran
yang kebanyakan bersifat umum seperti, matematika, bahasa indonesia,
biologi, fisika, kimia, agama, bahasa arab, dan lain sebagainya sangat sedikit
14
sekali mata pelajaran yang berbasis agama. Sedangkan latar belakang
pendidikaan agama kurikulumnya akan lebih banyak yang mempelajari
tentang agama seperti bahasa arab, agama, fiqih, al‟quran dan hadist, dan
masih banyak yang lain. Dengan demikian bukan berarti sekolah berlatar
belakang agama tidak ada kurikulum mata pelajaran umum hanya saja
kurikulimnya lebih sedikit dari pada sekolah umum (Anshari, 1986).
Perilaku yang terbentuk dari latar belakang pendidikan yang berbeda akan
secara otomatis berbeda pula. Siswa yang bersekolah dilatarbelakang agama
memiliki pengetahuan dan pemahaman yang dalam terhadap ajaran agama,
dan menjalankan ajaran agamanya dengan taat, maka ia akan menolak dan
bersikap negative terhadap perilaku-perilaku yang menyalahi dari ajaran-
ajaran agamanya. Sebaliknya siswa yang memiliki pengetahuan dan
pemahaman agama yang rendah terhadap ajaran agama maka pelaksanaan
ajaran agamanya pun tidak setaat siswa yang memahami ajaran agamanya.
Sehingga ia menerima dan bersikap positif terhadap hal-hal yang melanggar
ajaran agamanya.
Dari beberapa teori diatas dapat di jelaskan bahwa pendidikan sangat
penting bagi perkembangan suatu bangsa, khususnya di sekolah. Banyak
sekali perbedaan lulusan dari tiap sekolah yang memiliki kualitas kurang baik,
padahal siswa tersebut memiliki kecerdasan dan kepintaran yang tinggi.
Kualitas siswa dan siswi tersebut sangat di pengaruhi oleh beberapa faktor
terutama moral dan tingkah laku. Terlihat jelas perbedaan moral siswa atau
siswi dari sekolah yang bertaraf umum dengan sekolah yang bertaraf agama.
Namun tidak semua lembaga pendidikan berhasil merubah perilaku individu
menjadi baik seperti pada sekolah umum cukup banyak tindak kedisiplinan
yang dilanggar seperti terlambat sekolah. Namun berbeda dengan fakta
dilapangan karena banyak ditemukan perilaku moral dan religiusitas yang
bersekolah agama tidak lebih baik dari perilaku siswa yang belajar disekolah
umum. Umumnya sekolah yang bertaraf agama jauh lebih baik memiliki
akhlak dan moral yang baik dibandingkan dengan sekolah yang bertaraf
umum. Akan tetapi pada kenyataannya justru sekolah yang bertaraf umum
15
bahkan memiliki tingkah laku yang baik dibandingkan dengan sekolah yang
bertaraf agama.14

14
. Budiningsih,A. (2004). Pembelajaran Moral. Jakarta: PT Rineka Cipta
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengantarkan anak didik
menuju kepada proses kedewasaan dalam berbagai aspek. Strategi
pembelajaran moral sangat diperlukan karena banyaknya perilaku moral
dikalangan siswa seperti membolos, mencontek ketika ujian atau ulangan
harian, berkelahi antar teman. Berangkat dari permasalahan yang muncul di
lingkup siswa ini terbentuklah salah satu upaya yakni membentuk religiusitas
yang baik dengan komitmen beragama yang kuat dimana guru harus memiliki
tujuan bukan hanya untuk mentransfer ilmu tetapi juga untuk mendidik
melalui impentasi nilai-nilai agama.
Pengajaran pendidikan agama itu sendiri memiliki tujuan yakni sebagai
upaya membentuk kualitas internal sebagai pendorong peserta didik
berperilaku moral. pendidikan agama pada peserta didik menjadi sangat
penting dalam menemukan identitas diri. Melalui pendidikan agama peserta
didik terbantu dalam membuat suatu komitmen bukan merupakan hasil
usahanya sendiri tetapi mengambil dari orang lain biasanya dari orang tua dan
keluarga, yaitu melalui contoh nyata atau pendekatan keteladanan.
Nilai-nilai moral yang bersumber dari agama memberikan pengertian
yang lebih jelas mengenai perilaku yang seharusnya dilakukan dan tidak
dilakukan. Nilai agama bersifat universal sehingga dapat diterima oleh
kelompok sosial di manapun kelompok itu berada. Sebagai filter, pendidikan
agama yang sifatnya praktis sangat dibutuhkan. Bobot pendidikan agama
bukan hanya terletak pada unsur kognitifnya tetapi lebih banyak menyentuh
pada unsur afektif (perasaan) dan motorik (perilaku) sehingga nilai aplikasinya
bisa langsung dirasakan oleh peserta didik.
Diharapkan peserta didik setelah mendapatkan pendidikan agama akan
memiliki dasar yang berbekal ilmu ke-agamaan dengan begitu dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari nya berdasar dengan nilai-nilai agama
yang telah peserta didik dapatkan. Sasaran dari pendidikan agama adalah agar
17
peserta didik tertanam pengetahuan, sikap, keyakinan, keterampilan/skill,dan
tingkah laku moral yang baik, benar, adil, peduli terhadap sesama dan dengan
begitu terciptalah moral peserta didik yang diharapkan sebenarnya.

18
DAFTAR PUSTAKA
 Ni Pulu Bintari et.al., “Korelasi Konsep Diri dan Sikap Religiusitas Terhadap
Kecenderungan Prilaku Menyimpang Dikalangan Siswa Pada Kelas XI SMA
Negeri 4 Singaraja Tahun Ajaran 2013/2014”, E-Jurnal Undiksa Jurusan
Bimbingan Konseling, Vol. 2, No. 1 (2014), 2.
 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. 2003. Jakarta: Cemerlang.
 Mājid „Arsān al-Kailanī, Manāhij al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa al-
Murabbūn al„Āmilūn Fīhā (Beirut: „Ālim al-Kutub, 1995), 71
 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium III (Jakarta: Kencana Predana Media Grup, 2012), 4.
 Tanpa nama. (2014). Pengertian moral menurut para ahli. [Online].
Diakses dari : http://dilihatya.com/1485/pengertian-moral-menurut-para-
ahli
 Azizah, Nur. 2006. Perilaku Moral dan Religiusitas Siswa
BerlatarBelakang Pendidikan Umum dan Agama. Jurnal Psikologi.Vol. 33,
No. 2
 Daradjat, Zakiah. 1976. Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia.
Jakarta :Bulan Bintang.
 Departemen Pendidikan Nasional. 2008. "Kamus Besar Bahasa Indonesia"
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1190
 Muhaimin. 2002. "Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Sekolah" (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 288.
 Hamid, Abdul. 2017. “Agama dan Kesehatan Mental dalam Perspektif
Psikologi Agama”, Jurnal Kesehatan Tadulako, Vol. 3 No. 1 (2017), 4-5.
 Bintari, Korelasi Konsep Diri, 8.
 Musdalifah. 2020. "Pengaruh Aktifitas Religiusitas Terhadap Prilaku
Moral Siswa"
 Berns, R.M. 2004. Child, Family, School, Comunity : Socialization and
Support

19
 Budiningsih,A. (2004). Pembelajaran Moral. Jakarta: PT Rineka Cipta

20

Anda mungkin juga menyukai