Anda di halaman 1dari 7

Peran Pendidikan Karakter dan Moral Dalam Kehidupan Sosial

Wahyu Anggraeni
Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan

Surel: wahyuanggraeni@yahoo.com

ABSTRAK

Nilai-nilai dalam pendidikan karakter dikembangkan berdasarkan beberapa sumber,


yakni agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Sebaik apa pun pendidikan dan
moral dalam keluarga tanpa adanya dukungan dari sekolah dan masyarakat, sulit bagi anak-anak
untuk memiliki moral yang baik. Dengan demikian, ketiga jenis lembaga ini tidak bisa
dipisahkan dan harus saling mendukung. Model pendidikan nilai moral di yang dapat
dilaksanakan di sekolah yaitu dengan cara menciptakan kultur religius di lingkungan sekolah dan
dibarengi dengan adanya penguatan bidang studi aqidah akhlak kepada anak-anak. Model
pendidikan nilai moral yang dapat dilaksanakan di masyarakat yaitu dengan cara membangun
sebuah masyarakat yang religius dengan cara mengintensifkan belajar agama di lingkungan
keluarga, di masjid-masjid dan mengisi waktu luang anak-anak dengan bimbingan agama

Kata Kunci: pendidikan karakter, moral

PENDAHULUAN

Jika kita lihat keadaan masyarakat di Indonesia terutama di kota-kota besar sekarang ini
akan kita dapati bahwa moral sebagian anggota masyarakat telah rusak atau mulai merosot.
Dimana kita lihat, kepentingan umum tidak lagi menjadi nomor satu, akan tetapi kepentingan
dan keuntungan pribadilah yang menonjol pada banyak orang.
Apabila kita menengok kembali pada perjalan sejarah bangsa Indonesia, khususnya pada
periode perjuangan kemerdekaan, selama periode tersebut masyarakat dan para pemimpin
perjuangan memunculkan sifat-sifat istimewa mereka. Kualitas istimewa inilah yang
dibangitkan, dipupuk, dikuatkan oleh para pejuang kemerdekaan.Dengan peran masyarakat yang
terwujud dalam gerakan masyarakat merupakan kegi atan atau aktivitas masyarakat dalam
rangka meningkatkan kemampuan berorganisasi dan mengasah kemampuan mereka dalam
kepemimpinan.

Tentang kepemimpinan tidak bisa terlepas dari pengertian dalam definisi sebagai
pengetahuan dasar yang memberi arah seluk beluk kepemimpinan. Karena kepemimpinan
bukanlah suatu yang mati, statis dan kaku, melainkan sesuatu yang sangat dinamis, hidup dan
sangat dipengaruhi oleh lingkungan atau suasana yang berkembang. Pada dasarnya
kepemimpinan adalah keteladanan yang mengandung nilai moral, sosial dan keagamaan maupun
estetika yang sangat banyak mengandung keindahan perilaku yang dapat dilakukan oleh seorang
yang berkedudukan sebagai pemimpin (Soehardi.S.A, 2015: 12).

Dalam usaha untuk mencapai hal tersebut, maka sangat diperlukanlah suatu usaha kreatif
bagi penyelenggara pendidikan, terutama bagi generasi muda untuk dapat menjadi sosok
generasi yang dapat membangun bangsa. Pendidikan yang dilaksanakan bukanlah terbatas hanya
pendidikan di sekolah, akan tetapi pendidikan luar sekolah yaitu dari masyarakat (Rediasa, 2012:
01). Salah satunya dengan adanya monument perjuangan sebagai sebuah memorial memiliki
potensi sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh pemuda bangsa, terutama generasi muda
terkait dengan sumber belajar.

Maryati (2004) mengemukakan bahwa, sebuah bangunan yang bernama monument


mampu menghadirkan kepada generasi berikutnya pengalaman para nenek moyang dan para
pendahulunya. Dengan kata lain disini kita dihadapkan dengan suatu reaktualisasi pengalaman
kolektif suatu bangsa yang disebut dengan sejarah (Maryati, 2004: 15). Memperhatikan situasi
dan kondisi saat ini, karakter bangsa paska reformasi yang dinilai sudah memprihatinkan, seluruh
komponen bangsa sepakat untuk menempatkan pembangunan karakter bangsa, dengan melalui
pemuda. Pembangunan karakter melalui pendidikan di antaranya pengintegrasian nilai-nilai
karakter oleh mata kuliah umum. Meskipun demikian masih ditemui beberapa kendala di dalam
perkuliahan. Pengintegrasian pendidikan karakter dalam perkuliahan memerlukan perencanaan
yang terpadu.

Marten (2004: 58) mengusulkan strategi pembelajaran karakter yang efektif, yakni harus
dilakukan secara lebih konkret. Ada tiga tahapan yang perlu dilakukan dalam pembelajaran
karakter, yakni: indentifikasi nilai, pembelajaran nilai, dan memberikan kesempatan untuk
menerapkan nilai tersebut. Setelah proses identifikasi nilai dilakukan dan ditemukan nilai moral
yang ditargetkan, nilai moral tersebut selanjutnya ditanamkan kepada mahasiswa melalui
langkah-langkah.

Zuchdi (2008: 6-8) mengemukakan supaya pendidikan moral/nilai (pendidikan karakter)


tidak bersifat indoktrinatif , pemuda perlu didorong untuk dapat menemukan alasan-alasan yang
mendasari keputusan moral. Tujuannya untuk mengembangkan kemampuan mengontrol
tindakan yang diperlukan agar seseorang dapat benar-benar memahami keputusan moral yang
diambilnya, dapat mengidentifikasi alasan yang baik yang harus diterima dan alasan yang tidak
baik yang harus ditolak atau diubah. Pada akhirnya mahasiswa harus mampu merumuskan
perubahan yang perlu dilakukan.

PEMBAHASAN

Kata character berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti to engrave
(melukis,menggambar), seperti orang yang melukis kertas, memahat batu atau metal. Berakar
dari pengertian yang seperti itu, character kemudian diartikan sebagai tanda atau ciri yang baik
dalam semua suasana kehidupan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk membuat
komitmen yang bijak dan menjaganya (Kevin Ryan, 1999: 5). Menurut Novak, tak seorang pun
yang memiliki semua kebajikan itu, karena setiap orang memiliki kelemahan-kelemahan.
Seseorang dengan karakter terpuji dapat dibedakan dari yang lainnya (Lickona, 1991: 50).
Selanjutnya, Aristoteles mendefinisikan karakter yang baik sebagai tingkah laku yang benar-
benar dalam hubungannya dengan orang lain, karakter, dalam pandangan filosof kontemporer
seperti Michel Novak, adalah campuran atau perpaduan dari semua kebaikan yang berasal dari
tradisi keagamaan, cerita, dan pendapat orang bijak, yang sampai kepada kita melalui sejarah.
Pendidikan karakter tidak dimaknai sebagai pendidikan tentang nilai, moral, karakter, budaya,
atau pun pancasila. Pendidikan karakter bangsa menerapkan visi, misi dan teori pendidikan nilai
yang didasarkan pada pandangan filosofi humanism.

Berikut adalah prinsip yang digunakan dalam pendidikan karakter :

Pertama, berkelanjutan mengandung makna bahwa prose pengembangan nilai-nilai


budaya dan karakter bangsa adalah sebuah proses panjang dimulai dari awal peserta didik masuk
sampapi selesai dari suatu satuan pendidikan. Kedua, melalui semua mata pelajaran,
pengembangan diri, dan budaya lembaga sekolah. Selanjutnya, sebagaimana yang dikemukakan
Prof. Dr. Sartono Kartodirjo (1997), salah satu fungsi belajar sejarah untuk mengenal siapa diri
kita sebagai bangsa.

Sesuai dengan tiga konsep waktu sejarah, materi pendidikan sejarah, materi pendidikan
sejarah yang bercerita tentang perjuangan manusia di masa lampau harus memiliki potensi untuk
dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan masa kini. Pemanfaatan informasi yang diperoleh dari
pendidikan sejarah bagi kehidupan masa kini menjadi sangat penting untuk memaksimalkan
potensi pedidikan sejarah sebagai pelajaran bagi generasi masa kini, sebagaimana dinyatakan
oleh Borries (Stearns, Sexas dan Weinburg, 2000: 247):

Morally judge historical events according to the standards of human and civil
rights; explain the situation in the world today and find out the tendencies of
change; acknowledge the traditions, characteristics, values,and tasks of our
nation and society; values the preservation of historical relics and old buildings;
internalize basic democratic value.

Peran lingkungan dalam perkembangan moral anak memberikan pelajaran bagi anak tersebut
untuk ia bertindak. Keluarga merupakan satu lingkungan sosial tempat perkembangan anak
terjadi. Akan tetapi, lingkungan yang lebih luas seperti teman sebaya, pengaruh anak tinggal juga
tidak kalah pentingnya Bronfenbrenner & Morris, 2006; Rubin, Bukowski & Parker, 2006;
Wigfield et al, 2006 dalam King 2013: 177).

Moral sangat perlu di tumbuh kembangkan pada anak, perkembangkan pada anak,
perkembangan moral pada anak merupakan aspek yang sangat penting untuk dirinya. Bagaimana
anak mengerti mengenai konsep benar dan salah? Hal tersebut dimulai dari suatu proses yang
disebut penalaran moral (moral reasoning) yang nantinya akan menghasilkan perilaku moral.
Kemampuan anak yang dimulai muncul untuk membedakan benar dan salah, dan untuk
berperilaku sesuatu dengan kemampuan suara hati dan emosi moral seperti rasa malu, rasa
bersalah, dan empati (Kochanka dkk dalam Wade dan Tavris, 2008: 253). Keluarga memiliki
peranan yang sangat penting dalam pendidikan nilai moral bagi anak-anaknya, termasuk nilai
dan moral.

Sedangkan Lawrence Kohlberg (1927-1987) menciptakan teori yang provokatif tentang


perkembangan moral. Dalam pandangannya, “Perkembangan moral terdiri atas sejumlah
rangkaian perubahan kualitatif dalam cara berpikir individu” (King, 2013: 178). Kohlberg
berpendapat bahwa perkembangan moral manusia dapat dilihat pada rangkaian perubahan yang
berkaitan dengan usia.

KESIMPULAN

Karakter dan mentalitas sumber daya manusia suatu bangsa akan menjadi pondasi dari
tata nilai bangsa tersebut. Pendidikan Karakter sebagai salah satu jalan untuk mengembalikan
manusia pada kesadaran morlnya harus selalu dikawal oleh semua pihak. Baik keluarga, lembaga
pendidikan, media massa, masyarakat, dan pemerintah harus bahu membahu bekejasama dalam
tanggung jawab ini. Oleh karena itu perlu program aksi secara menyeluruh dari semua komponen
bangsa ini.

DAFTAR PUSTAKA

Soehardi. S.A. 2015. “Polisi dan Kepemimpinan”. Vol 02, halaman 12.

Rediasa, Nengah. 2012. Pemanfaatan Museum sebagai Sumber Belajar sejarah dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Studi Eksploarsi Museum Buleleng).
Proposal (Tidak Diterbitkan). Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Undiksha: Singaraja.

Maryati, Tutty, Sunada, Made. 2004. Pemanfaatan Media Monumen dalam


Pembelajaran Sejarah Nasional Indonesia II untuk menumbuhkan Kesadaran
Sejarah mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Semester III Tahun Ajaran
2004/2005. “Laporan Penelitian Tindakan Kelas”. FKIP Singaraja: Singaraja.

Marten, R.2004. Successful Coaching (Edisi Ketiga). Champaign, IL: Human Ki-netics.

Zuchdi, Darmiyati.2008. Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan Yang


Manusiawi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Ryan, Kevin dan Karen E. Bohlin. 1999. Building Character in Schools: Practical Ways
to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: JOSSEY-BASS A Wiley
Imprint.

Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect
and Responsibility. New York: Bantuan Books. “Make Your School A School
of Character”, dalam Character Matters,
www.Cortland.edu/character.Diunduh,10 Otober 2011.

King, Laura A. 2013. The Science Of Psychology An Appreciative View,Jakarta:


Salemba Humanika

Tavris, Carol dan Carol Wade. 2008. Psikologi, Jakarta: Erlangga

Anda mungkin juga menyukai