Anda di halaman 1dari 17

ORIENTASI, SIKAP, DAN PERILAKU KEAGAMAAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Perkembangan Keberagamaan Peserta Didik

Dosen Pengampu: Dr. Achmad Maimun, M. Ag,

Disusun Oleh: Wisnu

12010200053

PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Orientasi keagamaan yang dipahami sebagai pemaknaan seseorang
terhadap agamanya, dalam konteks hubungan antar umat beragama dapat
mendorong seseorang yang beragama dalam dua kecenderungan; menjadi pribadi
yang damai dan bersahabat atau menjadi pribadi yang menyimpan prasangka
(prejudice) dan rasa permusuhan. Orientasi keagamaan ini selanjutnya dapat
mengarahkan individu pada dua sikap pula, yang pertama sikap inklusif, moderat,
dan respek terhadap keyakinan yang berbeda, sedangkan yang kedua adalah sikap
eksklusif dan keras atau radikal. Demikian pula halnya kedua sikap tersebut pada
gilirannya dapat mempengaruhi cara individu tersebut berperilaku dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk ketika berinteraksi dengan orang lain, baik yang
seagama maupun berbeda agama.
Agama merupakan hal yang paling dekat dengan kita dan kehidupan kita
dalam berbagai bentuknya. Ritual, semangat, organisasi, dan kelembagaan agama
yang lain sangat mudah dapat kita temukan. Termasuk kelembagaan agama adalah
para pemuka dan tetua agama yang masih memegang peranan sangat penting dalam
kehidupan beragama itu sendiri. Manusia telah memiliki fitrah untuk beragama dan
fitrah tersebut telah melekat dalam diri setiap individu semenjak dalam kandungan.
Itu sebabnya akan terlalu sulit atau bahkan tidak mungkin bagi manusia untuk tidak
beragama meski dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun.
Dalam beragama seseorang dapat saja memiliki orientasi, sikap, dan
perilaku keagamaan yang berbeda-beda bahkan terhadap agama itu sendiri.
Sebaliknya, agama juga dapat mempengaruhi kehidupan seseorang baik secara
orientasi, sikap, maupun perilakunya. Dengan demikian, ada hubungan yang tak
terpisahkan bagai dua sisi sebuah mata uang antara manusia dan agama.
Pendidikan merupakan basis utama dan strategis dalam kehidupan manusia.
Dengan pendidikan manusia memperoleh pengetahuan dan dengan pengetahuan
tersebut manusia mendapatkan pencerahan sehingga mampu mengelola dunia
dengan baik sebagai khalifah. Karena itulah dalam Islam pendidikan sangat
ditekankan dan diutamakan.
Pendidikan tidak hanya sekedar proses transfer pengetahuan, tetapi lebih
kepada penanaman nilai-nilai, norma-norma, dan budaya. Dengan demikian,
melalui pendidikan diharapkan keluhuran nilai-nilai dan norma-norma dapat
terjaga dan dilestarikan. Tetapi di sisi lain ada juga perubahan yang diharapkan
melalui pendidikan, yaitu perubahan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan
hidup dalam arti yang seluas-luasnya. Begitu penting dan urgennya pendidikan,
maka tak mengherankan jika dunia pendidikan mengemban tugas besar. Tidak
hanya itu, dapat dikatakan bahwa nasib suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas
pendidikannya. Dan kerena itu Islam memiliki konsep istimewa dalam pendidikan
agar tercipta generasi-generasi yang istimewa.
B. Latar Belakang Masalah
1. Apa pengertian orientasi, sikap, dan perilaku keagamaan?
2. Bagaimana orientasi, skap, dan perilaku keagamaan manusia?
3. Bagaimana implikasi riwayat keagamaan terhadap orientasi, sikap dan perilaku
keagamaan mahasiswa?
C. Tujuan Masalah
1. Menganalisis pengertian orientasi, sikap, dan perilaku keagamaan.
2. Menganalisis orientasi, skap, dan perilaku keagamaan manusia.
3. Menganalisis implikasi riwayat keagamaan terhadap orientasi, sikap dan
perilaku keagamaan mahasiswa.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Orientasi, Sikap, Dan Perilaku Keagamaan

Peter Salim dan Yenny Salim orientasi diartikan sebagai dasar pemikiran
untuk menentukan sikap, arah, dan sebagainya secara tepat dan benar.1 Kemudian
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia orientasi ada dua arti, yaitu peninjauan untuk
menentukan sikap (arah, tempat) yang tepat dan benar, sedangkan arti yang kedua
adalah pandangan yang mendasari pikiran, perhatian, atau kecenderungan.2 Dengan
demikian, kaitannya dengan tulisan ini maka pengertian yang ke dua lebih sesuai,
maka orientasi keagamaan dapat diartikan sebagai dasar pemikiran, pandangan,
perhatian, atau kecenderungan untuk menentukan sikap secara tepat dan benar yang
berkenaan dengan agama. Orientasi keagamaan seseorang biasanya dipengaruhi
oleh pengetahuan dan pengalaman keagamaan di masa lalu ataupun ketika usia
anak-anak. Pengenalan awal tentang agama oleh lingkungan terutama keluarga
sangat pentin artinya bagi pembentukan orientasi.

Peter Salim dan Yenny Salim berpendapat sikap adalah Pendapat atau
pendirian.3 Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan dan
sebagainya yang berdasarkan pada pendirian, keyakinan. Menurut Mar’at dalam
Jalaluddin secara umum sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif
terhadap obyek-obyek tertentu berdasarkan penalaran, pemahaman, dan
penghayatan individu.4 Masih dalam buku yang sama, menurut Jalaluddin, Mar’at

1
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Modern English Press, 1991), hlm 1064.
2
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001) hlm 803.
3
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Modern English Press, 1991), hlm 1422.
4
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 259.
merangkum 11 rumusan tentang sikap dari 13 pengertian yang telah dikemukakan
oleh Allport. 11 rumusan tersebut ialah sebagai berikut:

1. Sikap adalah hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi
yang kontinyu dengan lingkungan.
2. Sikap selalu dikaitkan dengan obyek ataupun ide.
3. Sikap merupakan pembelajaran dalam interaksi sosial.
4. Sikap sebagai kesiapan untuk merespon lingkungan dengan cara-cara teretntu.
5. Sikap adalah perasaaan yang afektif yang merupakan bagian paling dominan.
Biasanya tampak pada penentuan pilihan antara baik, buruk, atau ragu-ragu.
6. Sikap memiliki tingkat intensitas tertentu terhadap suatu obyek.
7. Kesesuaian sikap memiliki relatifitas terhadap ruang dan waktu.
8. Sikap bersifat relatif konsisten terhadap suatu rentang faktor dalam kehidupan
individu.
9. Sikap adalah kompleksitas dari konteks persepsi atau kognisi individu.
10. Sikap adalah penilaian terhadap sesuatu yang mungkin memiliki konsekuensi
tertentu terhadap individu.
11. Sikap adalah penafsiran dari tingkah laku yang menjadi indikator sempurna
maupun yang tidak memadai.5

Dalam bukunya juga, Jalaluddin menyimpulkan pengertian tentang sikap


yang dikemukakan oleh Mar’at dengan kalimat sebagai berikut, dengan demikian,
sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berpikir, merasa,
dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap obyek. Mar’at juga
menulis, Dengan demikian, menurut pandangan psikologi, sikap mengandung
unsur penilaian dan reaksi afektif sehingga menghasilkan motif. Motif menentukan
tingkah laku nyata (overt behavior), sedangkan, reaksi afektif bersifat tertutup

5
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 260.
(cover). Jalaluddin juga menulis bahwa faktor penentu mata rantai hubungan antara
sikap dan perilaku adalah motif yang mendasari sikap.6

Pengertian dari Depdiknas tentang perilaku adalah Kegiatan individu atas


sesuatu yang berkaitan dengan individu tersebut, yang diwujudkan dalam bentuk
gerak atau ucapan.7 Perilaku atau tingkah laku menurut Jalaluddin dalam bukunya
Psikologi Agama adalah Perilaku ditentukan keseluruhan pengalaman yang
disadari oleh pribadi. Kesadaran merupakan sebab dari tingkah laku. Artinya,
bahwa apa yang dipikir dan dirasakan individu itu menentukan apa yang akan
dikerjakan.8 Jika seseorang berperilaku maka dapat dipastikan bahwa perilakunya
tersebut merupakan respon sadar terhadap lingkungannnya. Dapat juga dikatakan
bahwa perilakunya tersebut merupakan cerminan dari yang dipikirkan, dipahami,
dan dirasakan oleh seseorang. Atau, perilaku seseorang tersebut merupakan bentuk
nyata dari kepribadiannya.

Menurut H. M. Arifin pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang


dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai
dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak
kepribadiannya.9 Atau dengan kata lain, pendidikan Islam adalah suatu sistem
kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh
hamba Allah. Sementara itu menurut Naqib Alatas dalam Jusuf amir Feisal
menyebutkan bahwa mendidik adalah membentuk manusia untuk menempati

6
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 261.
7
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001) hlm 1139.
8
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 217.
9
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm 10.
tempatnya yang tepat dalam susunan masyarakat serta berperilaku proporsional
sesuai dengan susunan ilmu dan teknologi yang dikuasainya.10

Jika seseorang telah memilih suatu nilai dan norma dalam mendidik maka
sesungguhnya telah mengutamakan nilai dan norma tersebut atas nilai dan norma
yang lain. Dengan kata lain bahwa tujuan pendidikan adalah kristalisasi nilai-nilai.
Pendidikan dalam Islam diarahkan untuk adanya realisasi sikap penyerahan diri
sepenuhnya kepada Allah Swt, baik secara perorangan, masyarakat, maupun
sebagai umat manusia keseluruhannya untuk mencapai keutamaan dan
kesempurnaan hidup. Arah pendidikan tersebut dapat direalisasikan dengan cara
mengintegrasikan iman dan takwa dengan ilmu pengetahuan dalam pribadi
manusia untuk mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di
akhirat.

B. Orientasi, skap, dan perilaku keagamaan manusia

Secara umum sebenarnya ada keterkaitan erat antara orientasi, sikap, dan
perilaku keagamaan. Orientasi dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang.
Dalam kaitannya dengan lingkungan sekitar, dapat juga berlaku bahwa sikap dan
perilaku seseorang berpengaruh terhadap sikap, perilaku, dan orientasi orang lain.
Dalam hubungannya dengan keagamaan, agama dapat mempengaruhi orientasi,
atau orientasi dapat mempengaruhi keagamaannya. Untuk orientasi mempengaruhi
keagamaan biasanya adalah karena nilai-nilai pandangan hidup yang dianut atau
orientasi seseorang atau sekelompok orang terhadap kehidupan secara umum.
Namun pengertian tersebut tidak ada atau tidak berkesinambungan dengan agama
yang dianutnya. Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku
keagamaan seseorang atau suatu kelompok. Ketika orientasi keagamaannya positif

10
Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 94.
maka sikap dan perilaku keagamaannya positif. Begitu juga sebaliknya, jika
negatif, maka sikap dan perilaku keagamaannya negatif.

Orientasi, sikap, dan perilaku keagamaan seseorang atau sebuah kelompok


tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah tingkat
intelektualitas yang mencakup tingkat pemahaman dan pengaruh lingkungan
sosial. Fenomena penyimpangan tersebut di atas pada umumnya berhubungan
dengan kedua faktor tersebut, biasanya secara bersama-sama. Jika kita mengatakan
pemahaman keagamaan yang menjadi faktornya, maka pemahaman tersebut
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan budaya. Begitu juga lingkungan dan
budaya dapat berubah seiring dengan tingkat intelektualitas para individunya dalam
memahami segala sesuatu ataupaun kehidupan.

Fenomena perubahan keagamaan dapat disebut sebagai penyimpangan.


Penyimpangan tersebut ada yang positif dan ada yang negatif. Yang positif
diantaranya adalah konversi agama. Konversi agama tersebut secara mudah dapat
diartikan sebagai perubahan keagamaan ke arah yang lebih baik dan berarti yang
berlawanan dari yang semula. 11 Sedangkan menurut Jalaluddin, untuk yang negatif
diantaranya adalah munculnya sikap-sikap intoleren (kurang atau bahkan tidak
toleren), fanatisme, fundamentalisme, maupun sikap menentang agama. Sikap
intoleren dan fanatisme biasanya dilakukan terhadap yang berbeda, terutama yang
di luar dari yang bersikap tersebut.12

Diantara bentuk paling ekstrim dari sikap intoleren dan fanatisme di atas
adalah terorisme (dalam berbagai bentuknya) dan kekerasan terhadap kelompok
lain. Selain bentuk penyimpangan negatif tersebut ada juga yang bersikap ke arah
pendangkalan agama. Yaitu seperti agama hanya sebagai pelengkap, agama sebagai

11
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 137.
12
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 273.
pembenaran atas gerakan atau pemikiran seseorang atau suatu kelompok, bahkan
sampai ada yang acuh tak acuh terhadap agama.

Pendidikan agama Islam memiliki peranan sangat penting, karena dari


pendidikan agamalah Allah Swt memperkenalkan diri kepada manusia den dengan
demikian manusia mengenal Allah Swt. menurut Zakiah Daradjat pendidikan
agama pertama-tama bertujuan untuk membentuk kepribadian sesuai dengan ajaran
agama. Zakiah Daradjat juga menambahkan bahwa pembinaan akhlak, mental, dan
sikap jauh lebih penting daripada hanya sekedar mengajarkan untuk menghafal
materi dan dalil tanpa diresapi dan dihayati dengan baik maknanya. 13 Untuk itulah
dalam konsep Islam, pendidikan dilakukan semenjak dini, bahkan sebelum
seseorang menikah dan memiliki keluarga baru. Dalam hal pendidikan ini peran
keluarga sangat penting dan strategis.

Ciri manusia sempurna menurut Islam adalah manusia yang sehat dan kuat
jasmaninya –termasuk dalam berketrampilan, cerdas, dan pandai akalnya, dan
hatinya dipenuhi iman kepada Allah Swt. Dalam filsafat, secara umum manusia
dikatakan sebagai hewan yang berakal atau berpikir. Berpikir berarti memiliki
orientasi dalam melakukan segala sesuatu. Semua yang dilakukan oleh manusia
memiliki tujuan dan motivasi tertentu. Hal tersebut berarti ada sesuatu yang
mempengaruhi tindakan seseorang yang dapat berupa pandangan hidup secara
umum ataupun berdasarkan keagamaannya.

Keagamaan seseorang dapat mempengaruhi orientasi, sikap, dan


perilakunya. Kerena orientasi merupakan dasar seorang individu dalam bersikap
dan berperilaku. Agama sebagai sesuatu yang sifatnya fitrah (tertanam dan melekat
dalam setiap individu) sudah tentu akan sangat mempengaruhi pandangan
seseorang, bahkan terhadap hidup dan kehidupan. Oleh karena begitu strategisnya

13
Zakiah Daradjat Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 107.
posisi agama dalam kehidupan manusia, maka pendidikan yang menjadi tumpuan
pengenalan berbagai nilai, norma, serta budaya, juga memiliki peranan yang sangat
urgen dan penting.

Dari pengertian pendidikan yang telah dikemukakan tersebut di atas, bahwa


pendidikan juga merupakan sarana pembentukan watak dan akhlak manusia. Watak
di sini juga termasuk apa yang disebut sebagai orientasi, sedangkan sikap dan
perilaku termasuk dalam akhlak. Dengan demikian, pendidikan agama merupakan
satu hal yang sifatnya telah menjadi keharusan bahkan kebutuhan manusia itu
sendiri. Adanya keterkaitan antara pendidikan agama dengan pembentukan
orientasi, maka pendidikan agama yang dilakukan secara benar, tepat, dan baik
sesuai dengan tuntunan agama akan membentuk pribadi individu yang dikatakan
dalam dalam agama sebagai individu yang sempurna. Kesempurnaan tersebut
meliputi akal, jasmani, dan juga rohani secara bersama-sama dan menyeluruh.
Itulah yang dicita-citakan oleh adanya syari’at.

C. Implikasi riwayat keagamaan terhadap orientasi, sikap dan perilaku


keagamaan mahasiswa

Bagi mahasiswa yang cenderung berpikir liberal, agama tetap merupakan


kebutuhan dan pedoman yang akan menuntun manusia kepada kehidupan yang
lebih baik. Asumsi umum bahwa mahasiswa berpikir liberal biasanya mengabaikan
atau merendahkan agama, sama sekali tidak terbukti dalam penelitian ini.
Penelitian ini justru membuktikan bahwa mereka tetap memposisikan agama pada
level yang tinggi, yaitu sebagai kebutuhan dan pedoman. Ini berarti bahwa mereka
masih memerlukan agama dalam kehidupannya dan mengakui kemampuan agama
sebagai petunjuk jalan menuju kebaikan. Namun, meski agama tetap diagungkan,
mereka menolak keras sikap beragama yang ekstrim. Dalam penelitian ini, para
mahasiswa berkecenderungan liberal selalu menunjuk ‘ekstrim kanan’ pada
golongan Islam fundamentalis.14
Bagi mahasiswa dengan kecenderungan moderat, agama bukan sekedar
pedoman yang harus diserap nilai-nilainya, namun juga pedoman praktis dalam
keseharian. Sebagai contoh, mereka selalu mengawali segala sesuatu dengan
berdoa. Hal ini berbeda dengan mahasiswa kecenderungan liberal yang lebih
menjadikan agama sebagai pedoman untuk nilai-nilai universal, sedangkan untuk
hal-hal praktis keseharian mahasiswa liberal mengembalikan ke pribadi masing-
masing. Dengan kata lain, nuansa formalitas pada mahasiswa moderat lebih tinggi
dibanding pada mahasiswa liberal.15
Bagi mahasiswa berkecenderungan fundamentalis, mereka justru
menjadikan agama sebagai totalitas kehidupan. Agama bagi mereka adalah
rujukan, contoh, sumber inspirasi, petunjuk teknis, dan sebagainya. Intinya mereka
hendak mengatakan bahwa agama adalah segala-galanya. Totalitas yang tidak
dapat ditawar inilah yang membedakan mahasiswa berkecenderungan
fundamentalis dengan dua kecenderungan lainnya.16
Melihat makna agama bagi tiga kecenderungan mahasiswa tersebut
memang belum dapat ditentukan orientasi intrinsik dan ekstrinsiknya, sebab
ketiganya memiliki pemaknaan yang hampir sama dalam hal memposisikan agama
sebagai nilai tertinggi dalam hidup mereka. Perbedaan mereka tampak dari sikap
kritis terhadap agama. Bagi mahasiswa liberal, agama atau keagamaan bisa
dikritisi, sedangkan bagi mahasiswa yang moderat terkesan memilih aman dengan
mengikut pandangan yang aman. Adapun kelompok fundamentalis, taat pada
ketentuan agama dengan keyakinan penuh dan kurang menerima kritik yang

14
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 69.
15
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 69.
16
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 69.
mengarah pada doktrin. Meskipun mereka memiliki persamaan dan perbedaan
dalam memaknai agama, namun, pertanyaan tentang jenis orientasi mereka baru
terjawab setelah kita mengetahui sikap dan perilakunya.
Salah satu parameter sikap keagamaan adalah sikap seseorang terhadap
orang lain. Dalam teori Paloutzian, sikap yang dimaksud adalah ada tidaknya
prasangka (prejudice) yang dimiliki seseorang yang beragama terhadap kelompok
etnis atau agama lain. Hasil penelitian psikologi agama menemukan dua pandangan
berbeda terkait prejudice ini. Pertama, bahwa orang yang taat beragama justru
memiliki prasangka lebih tinggi dibanding orang yang tidak taat beragama.17
Mahasiswa berkecenderungan liberal tidak mempunyai prasangka terhadap
agama lain, namun justru memiliki prasangka terhadap orang-orang yang dianggap
beraliran sebaliknya, yaitu Islam yang fundamentalis. Mahasiswa yang cenderung
liberal biasanya kurang senang dengan gerakan-gerakan seperti Hizbut Tahrir dan
Front Pembela Islam karena bagi mereka gerakan tersebut beraliran Islam kanan
yang diidentikkan dengan tekstualis dan fundamentalis, sedangkan mahasiswa
liberal mengklaim diri sebagai pemikir progresif dan kontekstualis. Sampai di sini
dapat dibuat kesimpulan sementara bahwa mahasiswa yang cenderung liberal
meskipun tidak sepakat dengan gerakan-gerakan “Islam kanan” namun tidak
memiliki prasangka terhadap agama lain. Meskipun ketidaksukaan pada gerakan
Islam Kanan tersebut sebetulnya juga sebuah bentuk lain dari prasangka, namun
hal itu justru dapat dilihat sebagai bentuk konsistensi untuk tidak berprasangka
pada agama lain.18
Adapun kelompok mahasiswa moderat, meskipun berpihak pada sikap
toleransi namun prejudice terhadap agama lain masih terlihat jelas. Selain itu, sikap
toleran mahasiswa moderat tidak didukung secara cukup dengan kemampuan

17
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 70.
18
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 74.
mereka mendalami teks-teks toleransi maupun wacana pluralisme, dan sekularisasi.
Mahasiswa moderat dapat bersikap toleran meskipun mereka tidak tahu pasti dalil
apa yang menyuruh mereka bersikap toleran. Sehingga bisa disimpulkan bahwa
mahasiswa moderat mengapresiasi toleransi karena kebutuhan akan rasa aman.
Sedangkan kelompok mahasiswa fundamentalis memiliki prasangka cukup
tinggi terhadap adanya kelompok yang memusuhi Islam baik secara terang-
terangan dan terutama yang memusuhi secara halus. Tingginya prejudice tersebut
menggambarkan sebuah grand paradox, karena ajaran Islam melarang umatnya
untuk berburuk sangka (prejudice). Namun demikian kita juga tidak bisa serta
merta menghakimi mereka sebagai beragama ekstrinsik, dalam penelitian ini
prejudice mereka justru bertujuan untuk membela Islam.19
Komitmen dalam aspek ritual bagi mahasiswa dengan kecenderungan
liberal memang kurang. Misalnya sebagian mengaku salatnya bolong-bolong atau
tetap salat namun tidak tepat waktu. Mereka juga tidak sering pergi ke masjid.
Adapun aktivitas lain seperti membaca Alquran, sebagian mengaku lebih sering
mengkaji maknanya daripada membaca bahasa Arabnya. Sedangkan untuk puasa
Ramadhan semuanya masih melaksanakan secara penuh. Yang menarik adalah
amalan sunnah mereka lakukan, meskipun tidak konsisten melakukannya. Amalan
sunnah tersebut seperti salat dhuha, tahajud, atau rawatib, tapi mereka mengaku
melakukan amalan sunnah dalam bentuk yang lebih nyata seperti membantu teman
dan tetangga, bersedekah, dan amalan-amalan lain yang dampaknya lebih nyata,
bukan amalan yang ritualistik saja.20
Mahasiswa dengan kecenderungan liberal sebagian besar tidak aktif dalam
organisasi keagamaan, namun berkecimpung dalam organisasi lain yang terkait
hobi (misalnya production house, membuat film), kemudian organisasi profesi atau

19
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 74.
20
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 75
organisasi yang sesuai jurusan studinya, dan lembaga-lembaga ilmiah lain seperti
penerbitan buletin dan jurnal serta kelompok diskusi komunitas dan kedaerahan.
Mereka juga aktif dalam forum diskusi online misalnya di website dan facebook
Jaringan Islam Liberal.21
Sedangkan kelompok mahasiswa yang moderat ketaatan beragama
memang lebih terlihat namun sebagian mengaku melakukannya sebagai sebuah
rutinitas dan kewajiban saja. Mereka secara umum berpandangan bahwa yang
namanya kewajiban harus dijalankan dan tidak perlu banyak dipertanyakan.
Berbeda dengan mahasiswa liberal yang kadang secara kristis mempertanyakan
manfaat ritual agama seperti salat berjamaah atau pergi ke masjid, mahasiswa
moderat juga relatif sering menjalankan amalan-amalan sunnah termasuk kadang
berpuasa sunnah dan tadarus Alquran. Adapun intensitas ke masjid tidak terlalu
sering. Amalan-amalan yang bersifat habluminannas seperti membantu sesama
teman, keluarga, dan tetangga yang mengalami kesulitan juga sering dilakukan
tanpa memandang latar belakang agama atau etnisnya. Begitupun dengan aksi
solidaritas untuk masyarakat korban bencana/konflik sosial tetap dilakukan dengan
alasan kemanusiaan tanpa membeda-bedakan golongan atau agama tertentu.22
Beberapa mahasiswa moderat aktif mengikuti kajian keislaman
kontemporer bersama Ormas tertentu, pengajian maiyahan Cak Nun, kajian Habib
Syekh dan Habib Umar, serta kajian mengenai kitab kuning dan tafsir yang
diselenggarakan pesantren. Beberapa organisasi yang diikuti meliputi Mitra
Ummah yang fokus pada konseling dan pemberdayaan masyarakat. Masih relatif
terjaganya perilaku keagamaan ritualistik di kalangan mahasiswa moderat, terjadi
karena sekedar ‘yang penting taat’. Mereka tidak terlalu memahami dasar
hukumnya secara memadai (credulity). Komitmen keagamaan yang sifatnya

21
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 75.
22
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 75.
ritualistik terjaga sangat kuat pada mahasiswa yang cenderung fundamentalis.
Ibadah mahdhah sudah tidak bisa ditawar lagi untuk dijalankan selalu bahkan
diupayakan tepat waktu. Mereka juga sangat tekun dalam ibadahibadah sunnah.
Salah satu responden justru terkesan “mewajibkan” ibadah sunnah karena secara
istiqomah dia tidak pernah jeda sepanjang tidak ada uzur. Kelompok ini juga
beberapa kali terlibat alam aksi solidaritas kemanusiaan untuk korban bencana
alam dan umumnya tidak membeda-bedakan latar belakang agama. Meski ada yang
melakukannya karena ingin menyelamatkan akidah para Muslim teraniaya yang
dimurtadkan dengan Kristenisasi yang berdalih bantuan kemanusiaan. Sebagian
dari kelompok ini rajin mengikuti kajian Islam seperti tajwid dan tafsir Alquran,
nahwu, sharaf, dan kajian-kajian kotemporer terutama terkait isu ekonomi dan
politik. 23

23
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 76.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Orientasi merupakan dasar untuk bersikap dan berperilaku. Orientasi
seseorang atau sekelompok orang secara umum dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu tingkat intelektualitas dan budaya lingkungan. Kedua faktor tersebut
saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain secara bersama-sama.
Pendidikan agama juga merupakan sarana tepat pembentukan watak dan akhlak
seseorang. Watak atau orientasi tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap akhlak atau sikap dan perilaku seseorang, termasuk dalam keagamaan.
Pendidikan agama yang dilakukan secara benar, tepat, dan baik akan berdampak
positif bagi pembentukan orientasi sehingga memunculkan sikap dan perilaku yang
positif pula bagi individu dalam kehidupannya, baik secara pribadi maupun sosial.

Kelompok liberal, agama sebagai pedoman hidup tidak harus diartikan


tanpa cela. Bagi mereka bisa saja seseorang loyal terhadap agamanya, sekaligus
mengakui kekurangan yang ada pada dirinya. Sebaliknya bagi kelompok
fundamentalis, agama sebagai pedoman hidup bersifat mutlak dan totalitas (kaffah)
yang meliputi seluruh aspek kehidupan penganutnya. Sementara bagi kelompok
mahasiswa moderat, mereka mengaku agama sebagai pedoman hidup, namun
mereka tidak mampu menjelaskan bagaimana maksudnya. Selanjutnya mengenai
sejauh mana orientasi ini mempengaruhi sikap keagamaannya, khususnya sikap
mereka terhadap kelompok dan agama yang berbeda ditemukan sekali lagi variasi
yang cukup tajam. Kelompok mahasiswa liberal sangat hormat dan mampu
menerima perbedaan. Sebaliknya kelompok mahasiswa fundamentalis meskipun
mereka mengaku tetap hormat, namun mereka memiliki prasangka (prejudice)
yang berlebihan terhadap golongan dan agama lain. Sementara kelompok moderat,
mereka menghormati perbedaan dengan alasan tidak mau konflik, yang terkesan
lebih mencari aman untuk dirinya.
DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.


H. Jalaluddin. 2001. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
H. M. Arifin. 1996. Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara.
Peter Salim dan Yenny Salim. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer.
Jakarta: Modern English Press.
Sekar Ayu Aryani. Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan. Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80.
Zakiah Daradjat. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.

Anda mungkin juga menyukai