12010200053
PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Orientasi keagamaan yang dipahami sebagai pemaknaan seseorang
terhadap agamanya, dalam konteks hubungan antar umat beragama dapat
mendorong seseorang yang beragama dalam dua kecenderungan; menjadi pribadi
yang damai dan bersahabat atau menjadi pribadi yang menyimpan prasangka
(prejudice) dan rasa permusuhan. Orientasi keagamaan ini selanjutnya dapat
mengarahkan individu pada dua sikap pula, yang pertama sikap inklusif, moderat,
dan respek terhadap keyakinan yang berbeda, sedangkan yang kedua adalah sikap
eksklusif dan keras atau radikal. Demikian pula halnya kedua sikap tersebut pada
gilirannya dapat mempengaruhi cara individu tersebut berperilaku dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk ketika berinteraksi dengan orang lain, baik yang
seagama maupun berbeda agama.
Agama merupakan hal yang paling dekat dengan kita dan kehidupan kita
dalam berbagai bentuknya. Ritual, semangat, organisasi, dan kelembagaan agama
yang lain sangat mudah dapat kita temukan. Termasuk kelembagaan agama adalah
para pemuka dan tetua agama yang masih memegang peranan sangat penting dalam
kehidupan beragama itu sendiri. Manusia telah memiliki fitrah untuk beragama dan
fitrah tersebut telah melekat dalam diri setiap individu semenjak dalam kandungan.
Itu sebabnya akan terlalu sulit atau bahkan tidak mungkin bagi manusia untuk tidak
beragama meski dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun.
Dalam beragama seseorang dapat saja memiliki orientasi, sikap, dan
perilaku keagamaan yang berbeda-beda bahkan terhadap agama itu sendiri.
Sebaliknya, agama juga dapat mempengaruhi kehidupan seseorang baik secara
orientasi, sikap, maupun perilakunya. Dengan demikian, ada hubungan yang tak
terpisahkan bagai dua sisi sebuah mata uang antara manusia dan agama.
Pendidikan merupakan basis utama dan strategis dalam kehidupan manusia.
Dengan pendidikan manusia memperoleh pengetahuan dan dengan pengetahuan
tersebut manusia mendapatkan pencerahan sehingga mampu mengelola dunia
dengan baik sebagai khalifah. Karena itulah dalam Islam pendidikan sangat
ditekankan dan diutamakan.
Pendidikan tidak hanya sekedar proses transfer pengetahuan, tetapi lebih
kepada penanaman nilai-nilai, norma-norma, dan budaya. Dengan demikian,
melalui pendidikan diharapkan keluhuran nilai-nilai dan norma-norma dapat
terjaga dan dilestarikan. Tetapi di sisi lain ada juga perubahan yang diharapkan
melalui pendidikan, yaitu perubahan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan
hidup dalam arti yang seluas-luasnya. Begitu penting dan urgennya pendidikan,
maka tak mengherankan jika dunia pendidikan mengemban tugas besar. Tidak
hanya itu, dapat dikatakan bahwa nasib suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas
pendidikannya. Dan kerena itu Islam memiliki konsep istimewa dalam pendidikan
agar tercipta generasi-generasi yang istimewa.
B. Latar Belakang Masalah
1. Apa pengertian orientasi, sikap, dan perilaku keagamaan?
2. Bagaimana orientasi, skap, dan perilaku keagamaan manusia?
3. Bagaimana implikasi riwayat keagamaan terhadap orientasi, sikap dan perilaku
keagamaan mahasiswa?
C. Tujuan Masalah
1. Menganalisis pengertian orientasi, sikap, dan perilaku keagamaan.
2. Menganalisis orientasi, skap, dan perilaku keagamaan manusia.
3. Menganalisis implikasi riwayat keagamaan terhadap orientasi, sikap dan
perilaku keagamaan mahasiswa.
BAB II
PEMBAHASAN
Peter Salim dan Yenny Salim orientasi diartikan sebagai dasar pemikiran
untuk menentukan sikap, arah, dan sebagainya secara tepat dan benar.1 Kemudian
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia orientasi ada dua arti, yaitu peninjauan untuk
menentukan sikap (arah, tempat) yang tepat dan benar, sedangkan arti yang kedua
adalah pandangan yang mendasari pikiran, perhatian, atau kecenderungan.2 Dengan
demikian, kaitannya dengan tulisan ini maka pengertian yang ke dua lebih sesuai,
maka orientasi keagamaan dapat diartikan sebagai dasar pemikiran, pandangan,
perhatian, atau kecenderungan untuk menentukan sikap secara tepat dan benar yang
berkenaan dengan agama. Orientasi keagamaan seseorang biasanya dipengaruhi
oleh pengetahuan dan pengalaman keagamaan di masa lalu ataupun ketika usia
anak-anak. Pengenalan awal tentang agama oleh lingkungan terutama keluarga
sangat pentin artinya bagi pembentukan orientasi.
Peter Salim dan Yenny Salim berpendapat sikap adalah Pendapat atau
pendirian.3 Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan dan
sebagainya yang berdasarkan pada pendirian, keyakinan. Menurut Mar’at dalam
Jalaluddin secara umum sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif
terhadap obyek-obyek tertentu berdasarkan penalaran, pemahaman, dan
penghayatan individu.4 Masih dalam buku yang sama, menurut Jalaluddin, Mar’at
1
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Modern English Press, 1991), hlm 1064.
2
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001) hlm 803.
3
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Modern English Press, 1991), hlm 1422.
4
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 259.
merangkum 11 rumusan tentang sikap dari 13 pengertian yang telah dikemukakan
oleh Allport. 11 rumusan tersebut ialah sebagai berikut:
1. Sikap adalah hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi
yang kontinyu dengan lingkungan.
2. Sikap selalu dikaitkan dengan obyek ataupun ide.
3. Sikap merupakan pembelajaran dalam interaksi sosial.
4. Sikap sebagai kesiapan untuk merespon lingkungan dengan cara-cara teretntu.
5. Sikap adalah perasaaan yang afektif yang merupakan bagian paling dominan.
Biasanya tampak pada penentuan pilihan antara baik, buruk, atau ragu-ragu.
6. Sikap memiliki tingkat intensitas tertentu terhadap suatu obyek.
7. Kesesuaian sikap memiliki relatifitas terhadap ruang dan waktu.
8. Sikap bersifat relatif konsisten terhadap suatu rentang faktor dalam kehidupan
individu.
9. Sikap adalah kompleksitas dari konteks persepsi atau kognisi individu.
10. Sikap adalah penilaian terhadap sesuatu yang mungkin memiliki konsekuensi
tertentu terhadap individu.
11. Sikap adalah penafsiran dari tingkah laku yang menjadi indikator sempurna
maupun yang tidak memadai.5
5
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 260.
(cover). Jalaluddin juga menulis bahwa faktor penentu mata rantai hubungan antara
sikap dan perilaku adalah motif yang mendasari sikap.6
6
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 261.
7
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001) hlm 1139.
8
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 217.
9
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm 10.
tempatnya yang tepat dalam susunan masyarakat serta berperilaku proporsional
sesuai dengan susunan ilmu dan teknologi yang dikuasainya.10
Jika seseorang telah memilih suatu nilai dan norma dalam mendidik maka
sesungguhnya telah mengutamakan nilai dan norma tersebut atas nilai dan norma
yang lain. Dengan kata lain bahwa tujuan pendidikan adalah kristalisasi nilai-nilai.
Pendidikan dalam Islam diarahkan untuk adanya realisasi sikap penyerahan diri
sepenuhnya kepada Allah Swt, baik secara perorangan, masyarakat, maupun
sebagai umat manusia keseluruhannya untuk mencapai keutamaan dan
kesempurnaan hidup. Arah pendidikan tersebut dapat direalisasikan dengan cara
mengintegrasikan iman dan takwa dengan ilmu pengetahuan dalam pribadi
manusia untuk mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di
akhirat.
Secara umum sebenarnya ada keterkaitan erat antara orientasi, sikap, dan
perilaku keagamaan. Orientasi dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang.
Dalam kaitannya dengan lingkungan sekitar, dapat juga berlaku bahwa sikap dan
perilaku seseorang berpengaruh terhadap sikap, perilaku, dan orientasi orang lain.
Dalam hubungannya dengan keagamaan, agama dapat mempengaruhi orientasi,
atau orientasi dapat mempengaruhi keagamaannya. Untuk orientasi mempengaruhi
keagamaan biasanya adalah karena nilai-nilai pandangan hidup yang dianut atau
orientasi seseorang atau sekelompok orang terhadap kehidupan secara umum.
Namun pengertian tersebut tidak ada atau tidak berkesinambungan dengan agama
yang dianutnya. Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku
keagamaan seseorang atau suatu kelompok. Ketika orientasi keagamaannya positif
10
Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 94.
maka sikap dan perilaku keagamaannya positif. Begitu juga sebaliknya, jika
negatif, maka sikap dan perilaku keagamaannya negatif.
Diantara bentuk paling ekstrim dari sikap intoleren dan fanatisme di atas
adalah terorisme (dalam berbagai bentuknya) dan kekerasan terhadap kelompok
lain. Selain bentuk penyimpangan negatif tersebut ada juga yang bersikap ke arah
pendangkalan agama. Yaitu seperti agama hanya sebagai pelengkap, agama sebagai
11
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 137.
12
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 273.
pembenaran atas gerakan atau pemikiran seseorang atau suatu kelompok, bahkan
sampai ada yang acuh tak acuh terhadap agama.
Ciri manusia sempurna menurut Islam adalah manusia yang sehat dan kuat
jasmaninya –termasuk dalam berketrampilan, cerdas, dan pandai akalnya, dan
hatinya dipenuhi iman kepada Allah Swt. Dalam filsafat, secara umum manusia
dikatakan sebagai hewan yang berakal atau berpikir. Berpikir berarti memiliki
orientasi dalam melakukan segala sesuatu. Semua yang dilakukan oleh manusia
memiliki tujuan dan motivasi tertentu. Hal tersebut berarti ada sesuatu yang
mempengaruhi tindakan seseorang yang dapat berupa pandangan hidup secara
umum ataupun berdasarkan keagamaannya.
13
Zakiah Daradjat Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 107.
posisi agama dalam kehidupan manusia, maka pendidikan yang menjadi tumpuan
pengenalan berbagai nilai, norma, serta budaya, juga memiliki peranan yang sangat
urgen dan penting.
14
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 69.
15
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 69.
16
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 69.
mengarah pada doktrin. Meskipun mereka memiliki persamaan dan perbedaan
dalam memaknai agama, namun, pertanyaan tentang jenis orientasi mereka baru
terjawab setelah kita mengetahui sikap dan perilakunya.
Salah satu parameter sikap keagamaan adalah sikap seseorang terhadap
orang lain. Dalam teori Paloutzian, sikap yang dimaksud adalah ada tidaknya
prasangka (prejudice) yang dimiliki seseorang yang beragama terhadap kelompok
etnis atau agama lain. Hasil penelitian psikologi agama menemukan dua pandangan
berbeda terkait prejudice ini. Pertama, bahwa orang yang taat beragama justru
memiliki prasangka lebih tinggi dibanding orang yang tidak taat beragama.17
Mahasiswa berkecenderungan liberal tidak mempunyai prasangka terhadap
agama lain, namun justru memiliki prasangka terhadap orang-orang yang dianggap
beraliran sebaliknya, yaitu Islam yang fundamentalis. Mahasiswa yang cenderung
liberal biasanya kurang senang dengan gerakan-gerakan seperti Hizbut Tahrir dan
Front Pembela Islam karena bagi mereka gerakan tersebut beraliran Islam kanan
yang diidentikkan dengan tekstualis dan fundamentalis, sedangkan mahasiswa
liberal mengklaim diri sebagai pemikir progresif dan kontekstualis. Sampai di sini
dapat dibuat kesimpulan sementara bahwa mahasiswa yang cenderung liberal
meskipun tidak sepakat dengan gerakan-gerakan “Islam kanan” namun tidak
memiliki prasangka terhadap agama lain. Meskipun ketidaksukaan pada gerakan
Islam Kanan tersebut sebetulnya juga sebuah bentuk lain dari prasangka, namun
hal itu justru dapat dilihat sebagai bentuk konsistensi untuk tidak berprasangka
pada agama lain.18
Adapun kelompok mahasiswa moderat, meskipun berpihak pada sikap
toleransi namun prejudice terhadap agama lain masih terlihat jelas. Selain itu, sikap
toleran mahasiswa moderat tidak didukung secara cukup dengan kemampuan
17
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 70.
18
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 74.
mereka mendalami teks-teks toleransi maupun wacana pluralisme, dan sekularisasi.
Mahasiswa moderat dapat bersikap toleran meskipun mereka tidak tahu pasti dalil
apa yang menyuruh mereka bersikap toleran. Sehingga bisa disimpulkan bahwa
mahasiswa moderat mengapresiasi toleransi karena kebutuhan akan rasa aman.
Sedangkan kelompok mahasiswa fundamentalis memiliki prasangka cukup
tinggi terhadap adanya kelompok yang memusuhi Islam baik secara terang-
terangan dan terutama yang memusuhi secara halus. Tingginya prejudice tersebut
menggambarkan sebuah grand paradox, karena ajaran Islam melarang umatnya
untuk berburuk sangka (prejudice). Namun demikian kita juga tidak bisa serta
merta menghakimi mereka sebagai beragama ekstrinsik, dalam penelitian ini
prejudice mereka justru bertujuan untuk membela Islam.19
Komitmen dalam aspek ritual bagi mahasiswa dengan kecenderungan
liberal memang kurang. Misalnya sebagian mengaku salatnya bolong-bolong atau
tetap salat namun tidak tepat waktu. Mereka juga tidak sering pergi ke masjid.
Adapun aktivitas lain seperti membaca Alquran, sebagian mengaku lebih sering
mengkaji maknanya daripada membaca bahasa Arabnya. Sedangkan untuk puasa
Ramadhan semuanya masih melaksanakan secara penuh. Yang menarik adalah
amalan sunnah mereka lakukan, meskipun tidak konsisten melakukannya. Amalan
sunnah tersebut seperti salat dhuha, tahajud, atau rawatib, tapi mereka mengaku
melakukan amalan sunnah dalam bentuk yang lebih nyata seperti membantu teman
dan tetangga, bersedekah, dan amalan-amalan lain yang dampaknya lebih nyata,
bukan amalan yang ritualistik saja.20
Mahasiswa dengan kecenderungan liberal sebagian besar tidak aktif dalam
organisasi keagamaan, namun berkecimpung dalam organisasi lain yang terkait
hobi (misalnya production house, membuat film), kemudian organisasi profesi atau
19
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 74.
20
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 75
organisasi yang sesuai jurusan studinya, dan lembaga-lembaga ilmiah lain seperti
penerbitan buletin dan jurnal serta kelompok diskusi komunitas dan kedaerahan.
Mereka juga aktif dalam forum diskusi online misalnya di website dan facebook
Jaringan Islam Liberal.21
Sedangkan kelompok mahasiswa yang moderat ketaatan beragama
memang lebih terlihat namun sebagian mengaku melakukannya sebagai sebuah
rutinitas dan kewajiban saja. Mereka secara umum berpandangan bahwa yang
namanya kewajiban harus dijalankan dan tidak perlu banyak dipertanyakan.
Berbeda dengan mahasiswa liberal yang kadang secara kristis mempertanyakan
manfaat ritual agama seperti salat berjamaah atau pergi ke masjid, mahasiswa
moderat juga relatif sering menjalankan amalan-amalan sunnah termasuk kadang
berpuasa sunnah dan tadarus Alquran. Adapun intensitas ke masjid tidak terlalu
sering. Amalan-amalan yang bersifat habluminannas seperti membantu sesama
teman, keluarga, dan tetangga yang mengalami kesulitan juga sering dilakukan
tanpa memandang latar belakang agama atau etnisnya. Begitupun dengan aksi
solidaritas untuk masyarakat korban bencana/konflik sosial tetap dilakukan dengan
alasan kemanusiaan tanpa membeda-bedakan golongan atau agama tertentu.22
Beberapa mahasiswa moderat aktif mengikuti kajian keislaman
kontemporer bersama Ormas tertentu, pengajian maiyahan Cak Nun, kajian Habib
Syekh dan Habib Umar, serta kajian mengenai kitab kuning dan tafsir yang
diselenggarakan pesantren. Beberapa organisasi yang diikuti meliputi Mitra
Ummah yang fokus pada konseling dan pemberdayaan masyarakat. Masih relatif
terjaganya perilaku keagamaan ritualistik di kalangan mahasiswa moderat, terjadi
karena sekedar ‘yang penting taat’. Mereka tidak terlalu memahami dasar
hukumnya secara memadai (credulity). Komitmen keagamaan yang sifatnya
21
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 75.
22
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 75.
ritualistik terjaga sangat kuat pada mahasiswa yang cenderung fundamentalis.
Ibadah mahdhah sudah tidak bisa ditawar lagi untuk dijalankan selalu bahkan
diupayakan tepat waktu. Mereka juga sangat tekun dalam ibadahibadah sunnah.
Salah satu responden justru terkesan “mewajibkan” ibadah sunnah karena secara
istiqomah dia tidak pernah jeda sepanjang tidak ada uzur. Kelompok ini juga
beberapa kali terlibat alam aksi solidaritas kemanusiaan untuk korban bencana
alam dan umumnya tidak membeda-bedakan latar belakang agama. Meski ada yang
melakukannya karena ingin menyelamatkan akidah para Muslim teraniaya yang
dimurtadkan dengan Kristenisasi yang berdalih bantuan kemanusiaan. Sebagian
dari kelompok ini rajin mengikuti kajian Islam seperti tajwid dan tafsir Alquran,
nahwu, sharaf, dan kajian-kajian kotemporer terutama terkait isu ekonomi dan
politik. 23
23
Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan, Religi, Vol. XI, No. 1,
Januari 2015: 59-80, hlm 76.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Orientasi merupakan dasar untuk bersikap dan berperilaku. Orientasi
seseorang atau sekelompok orang secara umum dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu tingkat intelektualitas dan budaya lingkungan. Kedua faktor tersebut
saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain secara bersama-sama.
Pendidikan agama juga merupakan sarana tepat pembentukan watak dan akhlak
seseorang. Watak atau orientasi tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap akhlak atau sikap dan perilaku seseorang, termasuk dalam keagamaan.
Pendidikan agama yang dilakukan secara benar, tepat, dan baik akan berdampak
positif bagi pembentukan orientasi sehingga memunculkan sikap dan perilaku yang
positif pula bagi individu dalam kehidupannya, baik secara pribadi maupun sosial.