Anda di halaman 1dari 12

Makalah Filsafat Ilmu

POSTMODERNISME

TRI ANGGI HUTAMI

207009012

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGUISTIK


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
A. Pendahuluan

Filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan
kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu pengetahuan atau
sains baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia.
Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi,
epistemologi, dan axiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para
akhli. Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin
terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab
oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya. Filsafat memberi penjelasan atau
jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut. Sementara ilmu terus mengembangakan
dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal. Proses atau interaksi
tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat
dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu
tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu pemahaman
atas alam secara dangkal.
Perkembangan pemikiran dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan dalam
berbagai hal, tentunya hal itu tidak lepas dari keinginan manusia yang selalu
menginginkan sebuah perubahan karena bertambahnya persoalan dan juga kebutuhan.
Kalau kita kembali pada masa terdahulu tentunya tidak mengherankan lagi terhadap
sebuah perkembangan dalam berbagai ranah kehidupan, terlebih lagi dalam soal
keilmuan. Kehidupan terus berputar dan berkembang seiring dengan semakin
bertambahnya manusia sehingga melahirkan pemikiran dan terus berupaya untuk
mengembangkan kehidupannya dalam berbagai hal.
Demikian juga dalam hal ilmu pengetahuan tentunya selalu mengalami
perkembangan dari tahun ketahun ataupun dari abad- keabad. Karena sifat dari manusia
yang memang selalu tidak merasa puas terlebih dalam hal keilmuan. Akibat dari hasil
pemikiran yang telah ada, mereka akan berfikir untuk dapat mengembangkan bahkan
melakukan sebuah pengujian ulang terhadap hasil penemuan yang telah lalu. Misalkan
dalam bidang filsafat kita mengenal yang namanya Anaximander (610-546 SM) yang
mengatakan bahwa substansi asal itu bukan air. Berbeda dengan filosof sebelumnya
Thales (624-545 SM) mengatakan bahwa zat pertama dan utama terbentuknya sesuatu
itu adalaha air (Maksum, 2012: 44-45). Dan seterusnya mengalami perubahan dan
perkembangan tentunya dalam rangka untuk menuju pada suatu yang lebih sempurna
seiring dengan perkembangan dan kemajuan pemikiran manusia.
Sama halnya dengan postmodernisme yang muncul diakibatkan karena kegagalan
Modernisme dalam mengangkat martabat manusia. Bagi postmodernisme, paham
modernisme selama ini telah gagal dalam menepati janjinya untuk membawa kehidupan
manusia menjadi lebih baik dan tidak adanya kekerasan. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi masa modernisme membawa kehancuran bagi manusia, peperangan terjadi
dimana-mana yang hal ini mengakibatkan manusia hidup dalam menderita. Pandangan
modernisme menganggap bahwa kebenaran ilmu pengetahuan harus mutlak serta objektif,
tidak adanya nilai dari manusia. Di sinilah muncul suatu paham postmodernisme yang
merupakan kelanjutan, keterputusan, dan koreksi dari modernisme untuk memberikan suatu
pemikiran baru dan solusi dalam menjalani kehidupan yang semakin kompleks ini. Bagi
postmodernisme ilmu pengetahuan tidaklah objektif tetapi subjektif dan interpretasi dari
manusia itu sendiri, sehingga kebenarannya adalah relatif.
B. Pembahasan

Awalan “post” pada istilah itu banyak menimbulkan perbedaan arti. Lyotard mengartikan “post”
berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan. David Griffin,
mengartikannya sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan. Sementara menurut
Tony Cliff, postmodernisme berarti suatu teori yang menolak teori. Istilah postmodernisme pertama
kali digunakan oleh Frederico de Onis pada tahun 1930-an untuk menyebutkan gerakan kritik di
bidang sastra, khusunya sastra Prancis dan Amerika Latin. Bagi Toynbee, pengertian postmodern
adalah masa yang ditanai perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya
rasionalisme dan pencerahan. Daniel Bell mengartikan postmodernisme sebagai Kian berkembangnya
kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersamaan dengan semakin
bebasnya daya instingual dan kian membubungnya kesenangan dan keinginan. Sementara menurut
Frederic Jameson, mengartikan postmodernisme adalah logika kultural yang membawa transformasi
dalam suasana kebudayaan umumnya.

Postmodernisme diperkenalkan oleh seorang ahli dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan Jean Francois Lyotard pada tahun 1970 an dalam bukunya yang berjudul
“The Postmodern Condition: A Report on Knowledge”. Dia mengartikan postmodernisme
sebagai segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme
maupun atas modernisme (Maksum, 2014: 305-306). Menurut beberapa para ahli yang l
lainnya, seperti Louis Leahy, postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang
menggantikan ide- ide zaman modern (Leahy, 1985: 271). Menurut Emanuel,
postmodernisme adalah keseluruhan usaha yang bermaksud merevisi kembali paradigma
modern (Emanuel, 2006: 93). Sedangkan menurut Ghazali dan Effendi, postmodernisme
mengoreksi modernisme yang tidak terkendali yang telah muncul sebelumnya (Ghazali &
Effendi, 2009: 161).
Istilah “Postmodernisme” membingungkan karena memberikan kesan bahwa kita berhadapan
dengan sebuah aliran atau paham tertentu, seperti Marxisme, eksistensialisme, kritisisme, idealisme,
dan lain-lain. Padahal para pemakai label itu biasanya tidak berbicara tentang “postmodernisme”,
melainkan tentang “pemikiran pascamodern”. Misalnya Rorty atau Derrida, amat beraneka ragam cara
pemikirannya. Di Indonesia, sesuai kebiasaan, kita malah malas mengungkapkan seluruh kata
“postmodernisme” dan menggantikannya dengan “posmo”. Sesuai dengan gaya berfikir mitologis dan
parsial dimana yang penting simbolnya saja, bukan apa yang sebenarnya dimaksud.
Padahal pemikiran “posmo” itu ada banyak dan tidak ada kesatuan paham. Namun benar juga,
ada sesuatu yang mempersatukan pendekatan-pendekatan itu, atau lebih tepatnya ada dalam filsafat
modern salah satu kecenderungan yang muncul dalam bentuk-bentuk berbeda, namun ada kesamaan
wujudnya, dan barangkali itulah kesamaan segala macam gaya berfikir yang ditemukan unsur
“posmo”- nya itu.
Dapat dikatakan bahwa “postmodernisme” lebih merupakan sebuah suasana, sebuah naluri,
sebuah kecenderungan daripada sebuah pemikiran eksplisit. Kecenderungan itu lalu memang
mendapat ekspresi melalui pelbagai sarana konseptual yang sangat berbeda satu sama lian. Adalah
jasa istilah “postmodernisme” bahwa dengan demikian kita memperoleh sebuah payung konseptual
untuk melihat kesamaan di antara mereka itu yang umumnya justru mencolok ketidaksanaannya.
Jean Francois Lyotard adalah seorang filosof poststrukturalisme namun ia kemudian lebih
dikenal sebagai salah satu pemikir penting aliran filsafat postmodernisme yang terkenal dengan
gagasannya tentang penolakan Grand Narrative (narasi besar), yaitu suatu cerita besar yang
mempunyai fungsi legitimasi karena bersifat menyatukan, universal, dan total. Penolakan narasi besar,
menurut Lyotard, berarti penolakan terhadap penyatuan, universalitas dan totalitas. Dan dalam
pandangannya, inilah salah satu ciri pembeda yang paling menonjol antara filsafat postmodernisme
dengan filsafat modernisme. Istilah “postmodernisme” muncul pertama kali di kalangan seniman dan
kritikus di New York pada 1960-an dan diambil alih oleh para teoretikus Eropa pada 1970-an. Salah
satunya, Jean-François Lyotard, dalam bukunya, The Postmodern Condition:A Report on Knowledge,
menyerang mitos yang melegitimasi jaman modern (“narasi besar”), pembebasan progresif humanitas
melalui ilmu, dan gagasan bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk proses memahami dan
mengembangkan pengetahuan yang secara universal sahih untuk seluruh umat manusia. Lyotard
percaya bahwa kita tidak dapat lagi bicara tentang gagasan penalaran yang mentotalisasi karena
penalaran itu tidak ada, yang ada adalah berbagai macam penalaran dan Lyotard secara radikal
menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh
prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158). Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat
dipengaruhi oleh  kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan
telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip kesatuan ontologis
harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman
realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau
menguasai (Awuy, 1995: 161). Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan
langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, seperti dikatakan Susan
Sontag seorang kritikus seni  merupakan indikasi lahirnya sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran
akan kemajemukan, bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang
atau menaklukan realitas lain (Lash, 1990: 234).

Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego,
ide absolut, totalitas, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear  yang disebutnya Grand Narrative 
telah kehilangan legitimasi (Awuy, 1995: 158-161). Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal
hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu. Lyotard
melihat bahwa filsafat sebagai pemaksaan kebenaran. Ia melawan Marxisme karena Marxisme
dipandang sebagai salah satu “narasi besar”. Lalu Lyotard menyarankan untuk kembali ke
“pragmatika bahasa” ala Wittgenstein, yaitu mengakui saja bahwa kita memang hidup dalam pelbagai
permainan-bahasa yang sulit saling berkomunikasi secara adil dan bebas. Lyotard melihat masyarakat
kita saat ini adalah masyarakat yang individualistik, terfragmentasi. Ia merindukan masyarakat
pramodern yang sangat menekankan nilai penting narasi, yakni mitos, kekuatan gaib, kebijaksanaan
rakyat, dan bentuk-bentuk penjelasan lain. Dia percaya bahwa terjadi konflik antara narasi dan ilmu.
Narasi menghilang dan tidak ada yang bisa menggantikannya.

Lyotard berpendapat bahwa narasi besar itu buruk, narasi kecil itu baik. Narasi akan menjadi
buruk bila berubah menjadi filsafat sejarah. Narasi besar diasosiasikan dengan program politik atau
partai, sementara narasi kecil diasosiasikan dengan kreativitas lokal. Jean Francois Lyotard dalam
pemikiran filosofisnya banyak dipengaruhi oleh Karl Marx, Nietzsche, Immanuel Kant, Sigmund
Freud. Pengaruh Karl Marx nampak sekali dari pandangannya yang tidak menyukai kesadaran
universal. Sedangkan Nietzsche mempengaruhi pemikiran Lyotard dalam hal bahwa tidak ada
perspektif yang dominan dalam ilmu pengetahuan. Tidak ada teori yang obyektif universal.
Sementara itu yang diambil dari Immanuel Kant adalah konsep Kant yang membedakan antara
domain teoritis (ilmiah), praktis (etis), dan estetis dimana masing-masing memiliki otonomi, aturan
dan kriteria sendiri. Pengaruh Sigmund Freud berada dibalik pemahaman Lyotard tentang politik
hasrat.

Lyotard sangat tidak setuju dengan keseragaman atau upaya menyeragamkan apalagi upaya
tersebut dicapai dengan jalan kekerasan. Baginya, salah satu karakteristik masyarakat postmodern
adalah indivualis dan kebebasan untuk berbeda dengan yang lain. Istilah postmodern itu sendiri
sebagai kritik terhadap filsafat modern ia perkenalkan pertama kali di dalam bukunya yang terkenal
“La Condition Postmoderne, Rapport sur le Savoir” terbit tahun 1979 dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dengan judul “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.”Edisi bahasa
Inggrisnya terbit pada tahun 1984 dan sejak itu ia menjadi locus classicus untuk diskusi-diskusi
tentang postmodernisme di bidang filsafat. Buku ini sebetulnya merupakan sebuah laporan yang
diminta oleh dewan ahli Universitas Quebec tentang masyarakat yang telah mencapai kemajuan
dalam bidang pengetahuan dan teknologi akhir abad ke-20. Ia diminta untuk menjelaskan dampak
yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi informasi terhadap ilmu pengetahuan pada akhir abad
ke-20 tersebut. Dalam buku itu, ia mengatakan bahwa telah terjadi perkembangan dan perubahan yang
luar biasa pada pengetahuan, sains dan pendidikan pada masyarakat informasi.

Perkembangan dan perubahan tersebut telah menggiring masyarakat tersebut pada suatu
kondisi yang dia sebut sebagai postmodern. Selama empat puluh tahun terakhir ilmu dan teknologi
yang terdepan menjadi semakin terkait erat dengan bahasa, teori-teori linguistik, masalah komunikasi
dan sibernetik, komputer dan bahasanya, persoalan penerjemahan, penyimpanan informasi, dan bank
data. Transformasi teknologi berpengaruh besar pada pengetahuan. Miniaturisasi dan komersialisasi
mesin telah merubah cara memperoleh, klasifikasi, penciptaan, dan ekspoitasi pengetahuan. Dan
Lyotard percaya bahwa sifat pengetahuan tidak mungkin tidak berubah di tengah konteks transformasi
besar ini. Status pengetahuan akan berubah ketika masyarakat mulai memasuki apa yang disebut
zaman postmodern. Pada tahap lebih lanjut, pengetahuan tidak lagi menjadi tujuan dalam dirinya
sendiri namun pengetahuan hanya ada dan hanya akan diciptakan untuk dijual. Dalam buku tersebut,
pemikiran Lyotard umumnya berkisar tentang posisi pengetahuan di abad teknologi informasi ini,
khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui, yang disebutnya, “narasi besar” (grand
narrative), seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar dan sebagainya.

Menurut Lyotard, narasi-narasi besar ini telah mengalami nasib yang sama dengan narasi-
narasi besar sebelumnya seperti religi, negara-kebangsaan, kepercayaan tentang keunggulan Barat dan
sebagainya, yaitu mereka pun kini menjadi sulit untuk dipercaya. Dengan kata lain, dalam abad ilmiah
ini narasi-narasi besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi tentang peranan dan kesahihan ilmu
itu sendiri., aspek mendasar yang dikemukakan oleh Lyotard pada dasarnya merupakan upaya tentang
kemustahilannnya membangun sebuah wacana universal nalar sebagaimana diyakini oleh kaum
modernis.

Bagi Lyotard dengan postmodernisme-nya menganggap bahwa untuk mengaktifkan ilmu


pengetahuan adalah dengan menghidupkan perbedaanperbedaan, keputusan-keputusan, dan
keterbukaan pada tafsiran-tafsiran baru. Ia tidak percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat diwadahi
oleh suatu badan pemersatu yang berupa sistem stabil. Sebab menurutnya, ilmu pengetahuan itu
tumbuh sebagai sistem yang organik, dalam arti tidak homogen apalagi tertutup pada eksperimentasi
dan permainan berbagai kemungkinan wacana. Dari perspektif Lyotard ini, secara jelas kita dapat
memahami bahwa postmodernisme adalah usaha penolakan dan bentuk ketidakpercayaan terhadap
segala “Narasi Besar” filsafat modern; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk
pemikiran yang mentotalisasi –seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme, atau apapun.

Dalam laporan penelitiannya Akhyar Yusuf mengatakan bahwa ada beberapa elemen kunci
pemikiran suatu gerakan intelektuan dan sebagai fenomena sosial yang membedakan postmodernisme
dengan modernisme, antara lain :

1. Penolakan terhadap pemikiran modernis, nilai-nilai dan praktek-prakteknya.


2. Penolakan terhadap klaim-klaim penelitian tentang klaim “kebenaran obyektif universal” dan
penolakan terhadap fundasi epistemologinya (antifundasionalisme), lalu yang ada dan
diterima hanya versi-versi dari “kebenaran”.
3. Penolakan tentang autentisitas dari penelitian, karena semuanya dianggap tidak otentik,
semuanya lebih bersifat konstruktif.
4. Penolakan terhadap masalah/pertanyaan tentang identifikasi makna karena ada suatu
ketidakterbatasan makna (infinity of meaning).
5. Penghargaan pada perbedaan: interpretasi, nilai-nilai, dan gaya (the celebration of
diffferences, of interpretations, of values, and of style).
6. Suatu penekanan pada kenikmatan, pada pengalaman sebagai hal utama untuk dianalisa, pada
juoissance and the sublime (luhur).
7. Suatu kesukaan (delight) pada superficial, penampakan, perbedaan, parodi, ironi, dan pastis
(pastiche).
8. Pengakuan/penghargaan pada kreativitas dan imajinasi daripada keteraturan dengan defies
(muslihat) penjelasan determinisme tingkah-laku.

Narasi menentukan kriteria kompetensi serta menjelaskan bagaimana kriteria tersebut


diterapkan. Perbedaan utama pengetahuan ilmiah dan pengetahuan narasi adalah bahwa pengetahuan
ilmiah mengandaikan hanya ada satu permainan bahasa, yakni bahasa denotatif, sementara permainan
bahasa yang lain harus diabaikan. Sedangkan pengetahuan narasi mengesahkan diri tanpa harus
merujuk pada argumen dan bukti atau tanpa harus menggunakan verifikasi dan falsifikasi. Karena itu,
para ilmuwan mempersoalkan validitas kebenaran pernyataan pernyataan narasi dan menyimpulkan
bahwa pengetahuan narasi itu tidak tunduk pada argumen dan bukti. Baik pengetahuan ilmiah dan
pengetahuan narasi adalah sama-sama penting. Keduanya tersusun dari serangkaian pernyataan yang
dilontarkan oleh para pemain dalam kerangka peraturan yang dapat diterapkan secara umum.
Peraturan-peraturan itu bersifat khusus pada setiap jenis pengetahuan. Pernyataan yang dianggap baik
dalam suatu jenis pengetahuan tertentu pasti akan berbeda dengan pernyataan yang dipandang baik
dalam jenis pengetahuan yang lain. Oleh sebab itulah, maka tidak mungkin menilai eksistensi dan
validitas pengetahuan non ilmiah atau narasi berdasarkan pengetahuan ilmiah ataupun sebaliknya
karena kriteria atau permainan bahasa yang digunakan tidak sama. Pengetahuan Narasi dan
Pengetahuan Ilmiah Pengetahuan ilmiah tidak merepresentasikan totalitas pengetahuan karena
pengetahuan ilmiah selalu bersaing dengan pengetahuan lain, atau menurut Lyotard disebut sebagai
narasi.

Bahasa adalah agnistic yakni suatu ruang atau tenpat perselisihan dan konflik yang tidak
pernah bisa diselesaikan serta tidak adanya kesatuan dan inti bahasa demikian menurut pandangan
Lyotard. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak dapat dibandingkan. Tidak ada permainan lain, bahasa
lain, dan prase lain yang dapat mendamaikan perbedaan-perbedaan tersebut. Ide tentang keadilan bagi
Lyotard berasal dari kesadaran bahwa perbedaan-perbedaan tersebut tidak bisa dan seyogyianya tidak
diselesaikan karena perbedaan-perbedaan tersebut secara fundamental tidak bisa didamaikan. Lyotard
menyebtukan bahwa ada tiga jenis permainan bahasa yang lazim dimainkan, yaitu:

1. The denotative game adalah suatu permainan ilmiah yang sederhana, dimana fakta-fakta
sajalah yang diperhitungkan. Makna denotative adalah makna yang sederhana sedangkan arti
konotatif rumit, mendalam dan individual.
2. The prescriptive game yakni permainan ilmiah yang menggunakan nilai-nilai, yang lebih
sosial daripada fakta-fakta denotatif.
3. The technical game yakni permainan ilmiah dimana fokusnya adalah pada apa yang efisien
atau tidak efisien. Ini lebih faktual, meskipun nilai dapat dimasukkan.
Permainan bahasa ilmu adalah permainan bahasa denotatif, serta Ilmu adalah permainan
bahasa yang didalamnya terkandung aturan-aturan normatif (misalnya, pembuat proposisi tidak boleh
membuat proposisi tanpa menyediakan bukti yang memperkuat proposisinya, pihak kedua tidak bisa
memberikan bukti melainkan persetujuan atau penolakannya). Ilmu dihadapkan pada kenyataan
bahwa ia tidak bisa memberlakukan aturan mainnya secara universal hingga berhak menilai mana
pengetahuan absah dan mana yang tidak.

Lyotard yakin bahwa kita memasuki fase dimana logika tunggal yang diyakini kaum
modernis sudah mati digantikan oleh pluralitas logika atau paralogi. Oleh sebab itu, ilmu menurut
Lyotard adalah sebuah permainan bahasa yang mengikuti aturan-aturan sebagai berikut : 1. Yang
bersifat ilmiah adalah pernyataan-pernyataan denotatif(deskriptif). 2. Pernyataan ilmiah berbeda
dengan pernyataan yang menekankan ikatanikatan sosial (terkait dengan asal usul). 3. Kompetensi
hanya diperlukan pada pengirim pesan ilmiah, bukan penerimanya. 4. Pernyataan ilmiah hanya ada
dalam sekumpulan pernyataan yang diuji oleh argumen dan bukti. 5. Dalam kaitannya dengan butir 4
diatas, permainan bahasa ilmiah memerlukan suatu pengetahuan tentang situasi pengetahuan ilmiah
yang sedang berlangsung. Untuk bisa dilegitimasikan, ilmu tidak memerlukan suatu narasi, karena
aturan-aturan ilmu itu bersifat imanen dalam permainannya.

Dalam pandangan Lyotard, postmodernisme bukanlah semacam langgam atau cara berpikir,
namun lebih mengacu pada suatu sistem keterbukaan yang memungkinkan seni membuka keragaman
yang tidak deterministik, keragaman yang terkandung dalam suatu kehidupan organik yang memiliki
kaidah dan stabilitasnya sendiri tanpa dikendalikan oleh subyek yang berpikir. Seni di abad informasi
sekarang ini berada pada suatu proses transformasi yang diharapkan oleh Lyotard menuju pada
rekanan-bebas (Freud). Dengan kondisi inilah, hegemoni techno-science hanya tampak sebagai
kriteria kinerjatik saja, dan tidak cenderung dan menjadi benar-benar hegemonik.

Postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi
postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh
Rosenau (1992:8) bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang
telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian,
penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, penolakan, ketidakesensian,
kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi,
penundaan, ketidakikutan. Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi
postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan
(unity).

Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain:
pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat
secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, didominasi oleh media dan pesan-pesannya,
kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh
pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang
pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan
kejelasan tunggal akan keseragaman. Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui
ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas
yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup
dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi)
yang pernah memicunya.
C. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang membahas tentang
ilmu. Tujuan mempelajari filsafat ilmu pada dasarnya adalah untuk memahami persoalan ilmiah
dengan melihat ciri dan cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat dan kritis.Serta
dalam aliran postmodernisme ciri utamanya menurut Jean Francois Lyotard ditandai dengan
hilangnya kepercayaan terhadap grand narratives (narasi besar) dan lahirnya banyak mini narratives
(narasi kecil). Menurutnya, sebuah teori yang berlaku dan sesuai pada suatu tempat dan masa tertentu
tidak dapat digeneralisasikan untuk tempat dan masa yang lain. Postmodernisme menurut Lyotard
juga mencoba menghadirkan realitas yang majemuk dan memberikan banyak alternatif. Warisan
budaya modern yang dikhotomistik hitam putih telah melahirkan kekakuan berfikir yang pada
gilirannya membuat orang terjebak dalam jurang esensialisme universalisme. Cara berfikir seperti itu
adalah bentuk lain dari totalitarianisme, suatu paham yang menurut Lyotard sudah tidak cocok dan
relevan lagi dengan era teknologi informasi. Lyotard menolak kebenaran yang obyektif universal
karena menurutnya klaim kebenaran itu terbentuk dari wacana (bahasa), kita tidak bisa menafsirkan
realita yang bebas dari bahasa. Semua kebenaran pemikiran berkaitan erat dengan faktor sosial-
budaya atau dengan permainan bahasa tertentu.

Daftar Pustaka
 Lubis, A. Y. (2016). Postmodernisme Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers.

 Setiawan, J. (2018). Pemikiran Postmodernisme dan pandangannya Terhadap Ilmu


Pengetahuan. Pemikiran Postmodernisme dan pandangannya Terhadap Ilmu Pengetahuan,
25-46.

 Lyotard, Jean Francois. The Postmodern Condition : a Report on Knowledge. Manchester,


1984.

 POSTMODERNISME VERSUS MODERNISME Agustinus Ryadi STFT Widya Sasana,


Malang

Anda mungkin juga menyukai