Anda di halaman 1dari 20

DAKWAH KHULAFAUR RASYIDIN

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas Sejarah Dakwah Bimbingan dan Konseling Islam

Oleh :
Zeffa Yurihana 15220041
Anom Sarianingsih 15220046
Endang Santika 15220048
Dosen Pengampu : H. Moh. Abu Suhud

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil’alaamiin. Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan nikmat dan sehat yang tak terhingga sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Tak lupa juga shalawat serta salam kami curahkan kepada Nabi
kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari zaman kegelapan ke
zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.
Dalam makalah ini yang berjudul “Dakwah pada Masa Khulafaur Rasyidin”, kami
membuatnya guna memenuhi tugas mata kuliah yaitu Sejarah Dakwah yang diampu oleh
Bapak H. Moh Abu Suhud, Semoga makalah yang kami tulis ini dapat bermanfaat untuk kita
semua dan dapat menambah wawasan bagi kita semua pada khususnya bagi para pembaca.
Makalah yang penulis buat ini berdasarkan dari berbagai referensi yang berkaitan
dengan mata kuliah Sejarah Dakwah. Penulis ucapkan terima kasih kepada bapak H. Moh
Abu Suhud selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Dakwah yang telah mencurahkan
ilmunya kepada penulis. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua, penulis sangat menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi perbaikan
makalah ini menuju yang lebih baik.

Yogyakarta, 27 Maret 2016


Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan agama islam berjalan sangat pesat diawali dari zaman Rasulullah hingga
sekarang ini, setelah rasul wafat islam tidak hanya berhenti disitu saja akan tetapi islam harus
tetap berjalan kepemimpinan umat juga harus ada yang melanjutkan. Nabi sebagai seorang
Rasul utusan Allah swt memang tidak bisa digantikan, akan tetapi kedudukan Nabi sebagai
kepala pemerintahan tentu saja dapat digantikan.
Penerusan pemerintahan dan dakwah islam kemudian berlanjut dengan diteruskan oleh
para sahabat Rasul, yang kemudian dikenal dengan istilah masa kekhalifahan.
Kata khalifah sebagaimana disebutkan dalam al-Qamus artinya adalah umat yang
melanjutkan generasi umat terdahulu. Sedang al-khalif artinya “orang yang duduk
setelahmu”.[1]
Pada masa pemerintahan empat khalifah tersebut sangat banyak pelajaran yang dapat
dicontoh. Pada setiap masa kepemimpinan empat khalifah tersebut, terdapat perbedaan dalam
hal kepemimpinannya. Baik ditilik pada sistem pemerintahannya, masalah yang dihadapinya,
sikap atau kepribadiannya dan budaya yang dihasilkan dari masing-masing khalifah tersebut.
Masa khalifah ini masih mengikuti ajaran-ajaran Nabi, baik dalam pengangkatan
pemimpin dengan cara musyawarah dan kepemimpinan yang relatif demokratis.
Tentu sebagai umat islam hendaknya kita mengetahui serta memahami sejarah
perkembangan agama islam, sehingga dengan begitu setidaknya kita dapat mengambil
pelajaran pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada sejarah perkembangan islam, agar
menjadikan kita lebih bijaksana lagi dalam hal bersikap.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang diatas penulis akan menjelaskan tulisan ini melalui
beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana problematika atau kondisi umat pasca Rasulullah wafat?
2. Bagaimana sistem pengangkatan atau pemilihan pada setiap khalifah?
3. Bagaimana perkembangan dakwah pada setiap khalifah?
4. Bagaimana ciri-ciri dakwah pada masa khulafaur rasyidin?
5. Apa hikmah atau pelajaran yang dapat diambil dari setiap kepemimpinan empat khalifah?
C. Tujuan Makalah
Berdasarkan dari uraian rumusan masalah diatas dapat dilihat bahwa tujuan penulisan ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami Bagaimana problematika atau kondisi umat pasca
Rasulullah wafat.
2. Untuk mengetahui dan memahami Bagaimana sistem pengangkatan atau pemilihan pada
setiap khalifah.
3. Untuk mengetahui dan memahami Bagaimana perkembangan dakwah pada setiap khalifah.
4. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana ciri dakwah dari khulafaur rasyidin.
5. Untuk mengetahui dan memahami hikmah atau pelajaran yang dapat diambil dari setiap
kepemimpinan empat khalifah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Problematika Ummat Pasca Rasul Wafat

Para sahabat sudah membaca tanda-tanda atau pesan akan berakhirnya masa kenabian,
melalui sikap, ucapan Nabi, saat khutbah pada pelaksanaan haji wada’ (haji terakhir) dan
turunnya ayat Al-Qur’an. Nabi dalam khutbahnya menekankan persoalan kemanusiaan,
persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan dan solidaritas. Tidak lama dari
peristiwa itu, kondisi Nabi sudah mulai sering sakit dan menunjuk Abu Bakar Ash-Shiddiq
sebagai pengganti imam shalat. Kondisi sakit Nabi semakin parah, pada hari senin tanggal 12
Rabiul Awal 11 H atau 8 Juni 632 M Nabi wafat. Peristiwa ini benar-benar mengejutkan
banyak pihak, terlebih lagi Nabi belum pernah mempersiapkan penggantinya. Suksesi
menjadi titik krusial, meski prinsip musyawarah sudah menjadi basic yang selalu ditanamkan
Nabi dalam pengambilan keputusan.
Setelah diketahui Nabi wafat dan tidak meninggalkan wasiat soal pengganti beliau
sebagai pemimpin politik, para sahabat berkumpul dan bermusyawarah untuk menentukan
siapa pengganti Nabi dalam menjalankan dakwah dan pemerintahan. Muhammad sebagai
Rasulullah tidak bisa digantikan sepeninggalnya, namun untuk fungsi Muhammad sebagai
kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat harus harus dilanjutkan. Pengganti pada
fungsi kekhalifahan ini harus ada dan tidak boleh terhenti. Banyak sumber menyebutkan
terjadi perdebatan sengit dalam menentukan siapa pengganti kedudukan Muhammad ini,
karena masing-masing pihak merasa punya hak untuk melanjutkan kepala pemerintahan
negara.[2]
Permasalahan egosentris mereka muncul dan menganggap kelompoknya merasa
unggul dan memiliki hak untuk menggantikan kedudukan kepemimpinan Rasul sebagai
kepala pemerintahan. Bahkan tokoh-tokoh dari kaum Anshar sependapat hak kekhalifahan
ada di tangannya, bukandi tangan kaum Muhajirin.[3]
Oleh karena itu, pasca wafatnya rasulullah Saw, terjadi kebingungan di kalangan
masyarakat muslim ketika itu. Bahkan ada di antara mereka yang tidak percaya kalau
Muhammad sebagai seorang Nabi utusan Allah, juga bisa wafat. Melihat gejala seperti ini,
Abu Bakar mendatangi kelompok tersebut dan langsung berpidato. Dalam pidatonya ia
mengatakan “Wahai manusia, siapa yang memuja Muhammad, sesungguhnya Muhammad
telah wafat, tetapi siapa yang memuja Allah, Allah hidup selama-lamanya, tidak akan pernah
mati. Untuk memerkuat pidatonya itu, Abu Bakar mengutip ayat QS. Ali Imran: 144.

Artinya:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa
orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?
Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada
Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Selain itu, dalam situasi seperti ini, muncul beberapa kelompok masyarakat muslim
Madinah yang tengah bermusyawarah guna menentukan siapa pengganti Muhammad Saw
sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Mereka, kaum Anshar tengah
mendiskusikan siapa yang akan menggantkan posisi politik dan kepemimpinan Muhammad
Saw. Mereka mencalonkan kandidatnya, bernama Sa’ad bin Ubadah. Sementara dari
Muhajirin Umar mencalonkan Abu Bakar.[4]
Kendati Nabi tidak menunjuk penggantinya sebelum wafat, dengan
mempertimbangkan banyak hal, ummat islam menyadari betul bahwa posisi Abu Bakar Ash-
Shiddiq menjadi prioritas pertimbangan sebagai pengganti Rasulullah sebagai kepala
pemerintahan. Umat islam juga benar-benar menyadari cara pergantian harus melalui
musyawarah, agar monopoli dan perampasan kekuasaan tidak terjadi. Pemaksaan pribadi
untuk mencapai kekuasaan tidak terjadi, karena semua dikembalikan kepada umat islam.
Keberhasilan menentukan Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi pengganti Muhammad, sudah
tentu ada proses dan gesekan kecil dalam berpendapat merupakan hal yang wajar dalam
musyawarah atau cara demokrasi.
Keberhasilan memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama melalui
lembaga musyawarah, merupakan tradisi baru dan merupakan pengalaman pertama
bagaimana membangun kebudayaan dalam politik islam. Peristiwa keberhasilan suksesi
kepemimpinan ini jelas menjadi momentum terbaik untuk penentuan kepemimpinan pasca
kenabian. Pemimpin umat islam pasca kenabian ini disebut dengan Khalifah rasulillah
(pengganti rasul) atau disebut dengan khalifah saja, merupakan simbol kebudayaan baru dan
kedepannya akan menjadi rujukan umat islam dalam melakukan suksesi kepemimpinan.
Kedudukan Khalifah rasyidah dalam pemerintahan membawa dua misi utama, yaitu
sebagai pemimpin politik yang harus menjaga keutuhan wilayah teritorial, menjaga
kedamaian dan kesejahteraan masyarakatnya. Kemudian pekerjaan yang harus dipegang
khalifah adalah membawa misi dakwah untuk melanjutkan perjuangan. Muhammad sebagai
pemimpin agama, sehingga di tangan khalifah ada kewajiban menjalankan tatanan agama
secara benar, menyeluruh dan terpadu.[5]
Sepeninggal Rasulullah banyak masalah yang dihadapi para sahabat, mulai dari soal
pemurtadan, keberadaan nabi palsu, keengganan membayar pajak, hingga persoalan politik
yang menyangkut suksesi kepemimpinan pasca kenabian.[6]

B. Sistem Pemilihan Khalifah


Persoalan pertama yang muncul ke permukaan setelah Nabi Muhamamd Saw wafat,
adalah persoalan suksesi. Siapa yang akan menggantikan kedudukan Nabi Muhammad Saw
sebagai kepala pemerintahan. Karena sejak Rasulullah Saw menjadi pemimpin politik dan
pemerintahan di Madinah, tidak pernah sedikitpun beliau membicarakan siapa yang berhak
menjadi peggantinya, apalagi menunjuk penggantinya kelak. Bahkan dalam menjalankan
sistem pemerintahan, Rasulullah menyerahkannya kepada umat Islam. Tetapi, ada satu
prinsip dasar yang diajarkan Nabi dalam bermasyarakat dan bernegara, yaitu musyawarah
atau syura. Prinsip ini sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip musyawarah ini dapat dibuktikan
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam setiap pergantian pemimpin Islam, yaitu al-
Khulafa al-Rasyidun.[7]

1. Abu Bakar Ash-Shiddiq


Beliau memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung secara
demokratis dalam pertemuan di Tsaqifah (balairung) Bani Sa’idah. Tata cara tersebut sesuai
dengan sistem perundingan yang dipergunakan dalam jaman modern seperti sekarang ini.
Kaum Anshar, menekankan pada persyaratan jasa yang mereka telah berikan bagi umat Islam
dan pengembangan Islam. Karena itu, mereka mengajukan calon sebagai kandidat pemimpin,
yaitu Sa’ad bin Ubadah. Sementara kaum Muhajirin menekankan pada aspek kesetian dan
perjuangan dalam masa-masa awal pengembangan Islam di Makkah hingga Madinah. Untuk
itu, mereka mengajukan nama calon, yaitu Abu Ubaidah bin Jarah. Sedang Ahl al-bait,
menghendaki agar Ali bin Abi Thalib dicalonkan sebagai khalifah. Pengajuan nama Ali bin
Abi Thalib dalam permusyawaratan tersebut didasari atas jasa, kedudukan dan statusnya
sebagai anak angkat sekaligus menantu Rasulullah saw.
Perdebatan siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi Muhammad Saw
sebagai kepala pemerintahan, hampir menimbulkan konflik internal di kalangan umat Islam,
antara Muhajirin dengan Anshar dan Bani Abbas. Melalui perdebatan panjang dengan
argumentasi masing-masing, akhirnya Abu Bakar disetujui secara aklamasi untuk menduduki
jabatan khalifah.
Selesai terpilih sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Abu Bakar berpidato
sebentar menguraikan apa yang akan dilakukannya kelak. Isi pidato itu antara lain adalah“
...saudara-saudara sekalian, sekarang saya terpilih sebagai khalifah. Meskipun saya bukan
yang terbaik dari siapapun di antara kalian, tapi saya harus tetap menerima amanah ini. Oleh
karena itu, bantulah saya bila berada dalam jalan yang benar. Perbaikilah saya bila berada di
jalan yang salah". Lalu pidato itu diakhiri dengan ucapan.".. Patuhlah kepadaku sebagaimaa
aku mematuhi Allah dan Rasulnya. Jika aku tidak mematuhi Allah dan Rasulnya, jangan
sekali-kali kalian mematuhi aku“.
Pidato tersebut menggambarkan kepribadian Abu Bakar dan kejujuran serta ketulusannya
sebagai seorang pemimpin umat yang sangat demokratis. Beliau merasa bahwa tugas yang
diembannya tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak mendapatkan dukungan dari para
sahabatnya. Karena itu, ia menginginkan agar masyarakat ikut serta mengontrol perjalanan
kepemimpinannya agar pelaksanaan pemerintahan berjalan dengan baik. Itulah tipe seorang
pemimpin yang sangat demokratis, beliau tidak gila jabatan dan juga tidak gila akan
kedudukan, jabatan atau kekuasaan dan harta.
2. Umar bin al-Khattab
Beliau diangkat dan dipilih oleh para pemuka masyarakat dan disetujui secara aklamasi
oleh umat Islam. Proses pengangkatan ini diawali dengan ijtihad Abu Bakar yang meminta
Umar bin al-Khattab bersedia menggantikan kedudukannya kelak, jika ia meninggal dunia.
Ijtihad ini didasari atas kenyataan dan pengalaman sejarah masa-masa awal pemilihan
khalifah, yaitu timbulnya krisis politik dan hampir berakibat pada munculnya konflik internal
umat Islam, jika tidak segara diselesaikan oleh Umar bin al-Khattab dan Abu Bakar al-
Shiddiq.
Berdasarkan pengalaman sejarah ini, maka khalifah Abu Bakar meminta Umar untuk
menjadi penggantinya. Permintaan inipun disetujui oleh Umar, hanya Umar meminta agar
persoalan ini dibicarakan terlebih dahulu di kalangan tokoh masyarakat, agar tidak terjadi
salah paham.
Permintaan itu dipenuhi, untuk itu kemudian Abu Bakar meminta pendapat para sahabat
mengenai pilihannya itu, ketika mereka menjenguknya pada saat khalifah Abu Bakar
terbaring sakit di tempat tidur. Pilihan itupun disetujui oleh para pemuka masyarakat,
Kemudian Abu Bakar menulis surat wasiat untuk itu, kemudian ia membai’at Umar bin al-
Khattab. Beberapa hari kemudian, Abu Bakar al-Shiddiq meninggal dunia. Peristiwa tersebut
terjadi pada Jumadil Akhir tahun 13 H atau tepatnya pada 634 M.

3. Usman bin ‘Affan


Beliau dipilih dan diangkat oleh dewan yang terdiri dari enam orang sahabat. Dewan ini
dibentuk khalifah Umar bin al-Khattab ketika khalifah sedang sakit. Prosedur ini ditempuh
guna memaksimalkan potensi yang ada di masing-masing sahabat, selain masih tetap
mempertahankan prinsip syura, yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. Hanya modelnya yang
berbeda dibanding dengan model pemilihan masa-masa sebelumnya.
Pemilihan melalui Dewan enam ini, diharapkan menghasilkan calon pemimpin handal
yang mampu menjalankan amanah demi penegakkan Islam dan pengembangannya ke luar
Jairah Arabia. Seperti ditegaskan
pada bagian terdahulu bahwa proses pemilihan khalifah setelah Umar bin al-Khattab berbeda
dengan proses sesudahnya. Pasca khalifah Umar bin al-Khattab, pemilihan dilakukan melalui
Dewan. Dewan ini dibentuk ketika kha-lifah Umar ibn al-Khattab sakit.
Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk mengatasi persoalan yang akan dihadapi,
terutama soal penggantian kepemimpinan setelahnya. Dewan tersebut terdiri dari ‘Usmân bin
‘Affân, ‘Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin ‘Awwam, ‘Abdurrahman bin
‘Auf, dan Sa'ad bin Abi Waqqash. Dewan ini bertugas memilih salah seorang di antara
mereka yang akan menggantikannya sebagai khalifah.‘Abdurrahman bin ‘Auf dipercayakan
menjadi ketua panitia pemilihan tersebut. Ada sebuah peraturan yang harus mereka patuhi,
yaitu proses pemilihan harus didasari atas prinsip syura, musyawarah dan mufakat. Apabila
dalam proses pemilihan tersebut salah seorang di antara mereka mendapatkan suara
terbanyak, maka dialah yang berhak untuk diangkat menjadi khalifah. Namun apabila
terdapat suara seimbang, maka keputusannya harus diselesaikan lewat pengadilan, dan yang
menjadi hakimnya adalah ‘Abdullâh ibn ‘Umar. Setelah Umar bin al-Khattab meninggal
dunia, maka ‘Abdurrahmân bin ‘Auf menjalankan tugasnya sebagai ketua panitia yang
bertugas menyeleksi calon peserta pemilihan.
Tugas pertama yang dijalankannya adalah menghubungi beberapa tokoh terkemuka dari
kalangan Muhajirin dan Anshar yang pantas diminta pertimbangan. Kemudian menghubungi
keenam calon yang telah disepakati bersama dalam dewan dan khalifah ‘Umar ibn al-
Khattâb.
Selain menghubungi para tokoh berpengaruh, ‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mendengarkan
pendapat dari rakyat kecil, seperti para petani, pengembala, pedagang kecil dan lain-lain.
Setelah memperoleh bahan masukan dan pertimbangan dari berbagai la-pisan masyarakat,
‘Abdurrahmân bin ‘Aûf mempersiapkan proses pemilihan untuk segera dilaksanakan.
Namun proses pemilihan yang semula diinginkan berjalan sesuai dengan harapan, menemui
kesulitan, terutama dalam masalah calon peserta. Hal itu disebabkan karena Pertama,
berdasarkan pendapat umum bahwa mayoritas masyarakat meng-inginkan ‘Usmân bin ‘Affân
menjadi khalifah, Kedua, di kalangan sahabat yang dicalonkan timbul perbedaan pendapat.
‘Abdurrahman bin ‘Auf cenderung kepada ‘Usman ibn ‘Affan, sementara Sa'ad ibn Abi
Waqqash menginginkan ‘Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Ketiga, di antara sahabat Nabi
yang dicalonkan ada yang sedang berada di luar kota, sehingga belum dapat diketahui
pendapatnya. Keempat, baik ‘Usman ibn ‘Affan maupun ‘Ali bin Abi Thalib, masing -masing
memiliki keinginan untuk menjadi khalifah.
Demikialah masalah yang dihadapi ketua panitia pelaksanaan pemilihan khalifah.
Namun berkat ketekunan dan kebijaksanaan Abdurrahman ibn Auf, akhirnya proses
pemilihan berjalan lancar dan menghasilkan sebuah keputusan yang memenangkan ‘Usman
bin ‘Affan terpilih sebagai khlifah dengan perolehan 4 suara, sedang ‘Ali bin Abi Thalib,
memperoleh 2 suara. Kemenangan ini membawa ‘Usman bin ‘Affan ke kursi kekuasaan.
Untuk itu, kemudian ‘Abdurrahman bin ‘Auf mengangkat tangan ‘Usman bin ‘Affan sebagai
tanda pengakuannya sebagai khalifah baru, pengganti khalifah terdahulu, yaitu ‘Umar ibn al-
Khattab. Ketika terpilih sebagai khalifah, ‘Usmân bin ‘Affân telah berusia 70 tahun, usia
yang telah matang dan penuh bijaksana. Namun para sahabatnya banyak yang memanfaatkan
situasi ini untuk memperoleh keuntungan kolompoknya, seperti Bani Umayah dan para
kerabatnya. ‘Usman bin ‘Affan menjadi khalifah selama 12 tahun.

4. Ali bin Abi Thalib


Sementara itu, tampilnya Ali bin Abi Thalib ke pucuk pimpinan, ketika negara tengah
mengalami krisis sosial dan politik, akibat peristiwa terbunuhnya khalirah Usman bin Affan
oleh para pemberontak yang tidak setuju atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan selama
masa pemerintahannya. Ali bin Abi Thalib diangkat oleh jama’ah umat islam dan sebagian
besar adalah para pemberontak. Dalam situasi seperti itu, harus ada tindakan nyata untuk
mengatasi krisis kepemimpinan. Akan tetapi, tidak ada seorangpun ketika itu yang mau
diangkat menjadi khalifah, selagi Ali bin Abi Thalib masih hidup.
Dibaiat tidak secara bulat oleh kaum muslimin, bahkan tokoh-tokoh muslim yang
dikenal dekat dengan rasul sampai beberapa waktu lamanya tidak membaiat Ali, seperti
zubair, tolhah bahkan Aisyah sendiri tidak mau membaiatnya.[8]
C. Dakwah pada Masa Khulafa ar Rasyidin

1. Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq (632-634 M)


a. Biografi Singkat Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu bakar namanya adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin
Sa’ad bin Tayyim bin Murrah. Lahir di Mekkah dua tahun beberapa bulan setelah tahun
Gajah. Rasulullah SAW, menyifatinya dengan “atiq min an nar” (orang yang terbebas dari
neraka), sehingga dia lebih dikenal dengan atiq. Ada yang mengatakan bahwa ia dipanggil
dengan Atiq, karena kebagusan rupanya. Sedangkan gelar “shiddiq” beliau peroleh setelah
peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah, ketika beliau tanpa ragu-ragu membenarkan kejadian
tersebut disaat orang lain mendustakan dan menganggapnya sebagai hal yang mengada-
ngada.
Pada masa jahiliyyah beliau dikenal sebagai orang yang berakhlaq mulia, pandai
bergaul, pemberani, tidak minum khamr dan memiliki ilmu tentang nasab dan berita orang
Arab.Setelah islam tiba, beliau termasuk dalam deretan orang-orang pertama yang masuk
islam. Banyak sahabat-sahabat besar masuk islam karena beliau, seperti Usman bin Affan,
Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf dan Thalhah bin Ubaidillah.
Abu bakar menemani Nabi ketika hijrah ke Madinah. Beliau tidak pernah absen ikut
berperang bersama Nabi Saw. Pada masa mudanya beliau adalah pedagang. Ketika masuk
islam, modal dasar beliau sebesar empat puluh dirham. Beliau banyak menginfakkan
hartanya untuk kepentingan dakwah, terutama untuk membebaskan orang-orang tertindas dan
budak-budak muslim. Ketika hijrah, sisa uangnya tinggal lima ribu dirham, beliau bawa saat
berhijrah dan beliau serahkan pengelolaannya kepada Rasulullah Saw.[9]

b. Abu Bakar Menjadi Khalifah


Masa yang sangat singkat dalam pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq ini ternyata
banyak menghasilkan perkembangan dari sisi kebudayaan islam. Dan yang terpenting dalam
masa pemerintahannya adalah keberhasilan menyelamatkan umat islam dari perpecahan
sepeninggal rasul. Selain itu, beliau juga sudah menorehkan keberhasilannya dalam
menegakkan Negara islam secata politik, karena semua bentuk pembangkangan manusia
dapat diselesaikan dan semua masyarakat kembali tunduk kepada pemerintahan yang
dipimpin oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Di saat amanah pemerintahan baru saja diembankan kepada beliau, tiba-tiba Madinah
dikejutkan oleh gerakan yang menggerogoti sistem islam yang meluas hampirke seluruh
Semenanjung Arabia. Bentuk gerakan itu dapat diklasifikasikan dalam tiga pola yaitu:[10]
1.) Murtad dari Agama
Mereka adalahorang-orang yang lemah imannya dan masuk islam hanya formalitas.
Kemungkinan mereka adalah kelompok munafik pada zaman Nabi. Setiap ada kesempatan
menghancurkan kaum muslimin, mereka melakukan gerakan, sebagaimana yang terjadi pada
perang Tabuk dan Bani al Musthaliq. Mereka tidak berani terang-terangan melakukan
pemurtadan diri pada masa Nabi karena kuatnya islam saat itu. Peralihan kekuasaan dari Nabi
ke Abu Bakar mereka anggap saat yang tepat untuk melakukan gerakan ini.
2.) Gerakan Nabi Palsu
Seperti Musailamah al Kazzab dari Bani Hanifah, al Aswad al-‘Insi dari Yaman,
Thalhah bin Khuwailid dari bani Asad dan Sajjah dari bani Tamim. Sebagian fenomena ini
sudah muncul pada masa Nabi, tetapi wafatnya Nabi mereka anggap sebagai kesempatan
untuk tampil terang-terangan. Cukup banyak orang yang bergabung dengan mereka. Di
antara isu yang mereka bawa adalah penolakan kekuasaan di tangan Quraisy dan isu fanatik
kesukuan.
3.) Pembangkangan Zakat
Kelompok ini berpandangan bahwa zakat itu diberikan kepada Nabi Saw. Dengan dalil
khitab (objek informasi) dalam ayat tentang zakat dikhususkan kepada Nabi. Oleh karena itu,
setelah Nabi wafat hukum tentang zakat itu tidak berlaku lagi.
Imam Thabari menggambarkan suasana awal pemerintahan Abu Bakar:Masyarakat
Arab menjadi murtad, baik umum atau khusus pada kabilah tertentu. Kemunafikan
merajalela, orang Yahudi dan Nasrani mulai menyusup, dan kaum muslimin ibarat kambing
di malam yang hujan di musim dingin akibat kehilangan Nabi, sedikitnya jumlah mereka dan
banyaknya musuh yang mengepung.”
Abu Bakar mempelajari semua masalah yang terjadi, sehingga beliau membuat
keputusan tegas dengan jalan perang jika mereka tidak mau diajak untuk berdamai dengan
beliau mengirim surat kepada mereka yang melakukan pelanggaran.
Kebijakan internal dan eksternal ditempuh Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk memperkuat
pemerintahan islam. Adanya penerapan sistem gaji untuk khalifah diambilkan dari Baitul
Mal, musyawarah sebagai jalan pemutus perkara, pembentukan dewan syariah sebagai
embrio peradilan islam dan penerapan struktur dalam pemerintahan dengan diangkatnya para
gubernur sebagai wakil khalifah yang menjaga keamanan dan kestabilan wilayah.[11]
Dalam menjalankan pemerintahan, beliau meletakkan fungsi baitul mal benar-benar
menjadi sarana untuk mensejahterakan rakyatnya. Pengelolaan baitul mal dilaksanakan secara
terbuka, bahkan sampai-sampai tidak pernah dikunci dan sengaja tidak dikunci karena letak
baitul mal berada di rumah beliau. Dan setiap lembaga penyangga kesejahteraan rakyat ini
mendapat harta, oleh khalifah langsung dibagi-bagi kepada rakyatnya yang fakir sampai
habis. Pada masa pemerintahannya pula, negara mulai membeli unta, kuda dan senjata untuk
berjuang di jalan Allah.[12]
Pada masa akhir pemerintahannya, beliau sebelum meninggal dunia sudah merintis
jalan menuju suksesi kepemimpinan. Sejumlah sahabat dan tokoh masyarakat diundang untuk
bermusyawarah dengan maksud mempersiapkan penggantinya. Langkah ini diambil untuk
mencegah terjadinya perselisihan atau perpecahan di kalangan umat islam dalam menentukan
pemimpin, dan musyawarah umat islam ini berhasil mencapai kesepakatansoal pengganti
khalifah yaitu sahabat Umar bin Khattab. Bahkan sejarah mencatat khalifah dalam memimpin
musyawarah tersebut dalam keadaan sedang sakit.[13]
Setelah masalah internal mulai tenang, Abu bakar merencanakan gerakan dakwah ke
luar Jazirah, yaitu ke Persia dan Romawi. Kawasan itu dapat kita bagi dalam dua kategori
besar, kawasan utara dan kawasan Syam. Kawasan utara, terdiri dari: Bahrain, Qatar, Kuwait
dan Irak. Sedangkan kawasan Syam meliputi negara Yordania, Suriah dan Libanon.[14]
Gerakan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar terjadi, yang dikerjakan oleh
Zaid bin Tsabit, [15]motifnya tersebut dijelaskan dalam hadis Imam Bukhori yang
menggambarkan bahwa motif utama dikumpulkannya Al-Qur’an adalah rasa kekhawatiran
sahabat Umar terhadap masa depan islam jika para kader intinya yang menjaga islam dengan
Al-Qur’an gugur satu per satu.[16]
Sistem pemerintahan belum memisahkan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif,
kesemuanya ada di tangan khalifah, karena memang kondisi sosial masyarakat pasca
kenabian ini masih labil dan perlu kemampuan dan keteladanan dari sang khalifah.
Konsentrasi khalifah mengarah pada usaha perlawanan dari kaum yang murtad.[17]

2. Masa Khalifah Umar ibn Khattab (634-644 M)


a. Biografi Singkat Umar bin Khattab
Nama lengkap Umar bin Khattab adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdil ‘Uzza
bin Rabah. Beliau berasal dari bani Adi bin Ka’ab, salah satu rumpun suku Quraisy. Umar
dilahirkan tiga belas tahun setelah tahun Gajah. Ketika Nabi diutus, usia beliau sudah tiga
puluh tahun. Awalnya, beliau termasuk orang yang paling membenci islam. Melihat potensi
beliau yang besar, beliau termasuk salah seorang dari dua orang yang didoakan Rasulullah
agar masuk dan memperkuat barisan umat islam. Beliau masuk islam pada tahun ke-6
kenabian.
Pada masa jahiliah, beliau dikenal dengan kefasihan lidah dan keberaniannya, dan
setelah masuk islam, beliau adalah orang yang sangat berwibawa, kuat, zuhud, adil,
penyayang, berilmu, dan sangat memahami agama. Beliau meriwayatkan hadis dari
Rasulullah sebanyak 537 hadis.

b. Umar bin Khattab Menjadi Khalifah


Dalam masa pemerintahannya, beliau adalah negarawan yang baik, tegas dan tertib,
baik dalam masalah administrasi dan keuangan. Banyak hal baru yang tercetus dari ide
beliau. Beliau menciptakan strategi perluasan wilayah dan kebijakan buat negeri yang dibuka.
Beliau kurang tidur untuk memikirkan yang terbaik untuk rakyatnya, menegakkan keadilan,
selalu mengedepankan syura, menindak tegas gubernur yang menyimpang dari islam dan
melarang mereka untuk menyengsarakan rakyat. Beliau membuka pos layanan pengaduan di
rumahnya, dan mendirikan diwan (semacam departemen) dalam pembagian tugas. Beliau
menunjuk orang yang jelas kebaikannya untuk menduduki posisi gubernur.
Penaggalan tahun hijriah dimulai sejak pemerintahannya, dan beliau tidak
menghalalkan uang baitul mal buat kepentingan pribadi, beliau meninggal dunia pada hari
Rabu, tanggal 26 Zulhijah tahun 23 pada usia 63 tahun. Beliau ditusuk oleh Abu Lu’lu’ah al
Majusi saat menjadi imam shalat shubuh. Pemerintahan belliau berlangsung selama sepuluh
tahun enam bulan.[18]
Setelah khalifah dijabat oleh Umar bin Khattab kekuasaan islam sudah meliputi
Jazirah Arab, Syiria, Persia, dan Mesir. Mengingat begitu luasnya kekuasaan islam, maka
Umar bin Khattab sebagai pemimpin melakukan penataan pemerintahan dengan mengatur
sistem administrasi negara menjadi beberapa bagian wilayah atau provinsi. Setelah provinsi
terbentuk (Makkah, Madinah, Syiria, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir) beliau segera
membentuk departemen-departemendalam pemerintahan. Masa pemerintahannya juga sudah
mengenalkan sistem gaji dan pajak tanah.
Masa pemerintahannya berlangsung selama 10 tahun dari 13-23 H/ 634-644 H. Dalam
kurun waktu itu banyak terobosan yang dilakukan sehingga pada masa pemerintahannya
banyak menghasilkan kebudayaan baru. Perkembangan dan kemajuan kebudayaan islam pada
masa pemerintahan Umar bin Khattab antara lain:[19]
1.) Mulai diterapkannya tahun hijriyah.
2.) Umat islam mulai membentuk mata uang sendiri.
3.) Menata pemerintahan dengan membentuk departemen-departemen (diwan/administrasi).
4.) Memisahkan lembaga yudikatif dan lembaga eksekutif.
5.) Membagi wilayah kekuasaan islam ke dalam provinsi yang berotonomi penuh dengan kepala
pemerintahan di wilayah privinsi disebut amir.
6.) Menetapkan wilayah Jazirah Arab hanya boleh didiami oleh kaum Muslim saja, sedangkan
untuk non-muslim diperbolehkan memilih wilayah Bizantium dan Persia.
7.) Dalam bidang hukum didirikan pengadilan dan menetapkan: pertama, tidak melekukan
hukum potong bagi pencuri, yang mencuri karena alasan kelaparan. Kedua, menghapus
bagian zakat bagi para Mu’allaf. Ketiga, menghapus hukum kawin mut’ah (kawin kontrak).
8.) Mendirikan baitul mal untuk mengorganisasikan perpajakan.
9.) Dilaksanakannya shalat taraweh pada bulan Ramadhan.

3. Masa Khalifah Usman bin Affan (644-655 M)


a. Biografi Singkat Usman bin Affan
Nama lengkapnya Utsman Bin Affan bin Ash Bin Umayyah Bin Abdi Syams Bin
Abdi Manaf. Ibunya bernama Arwa binti Kuraiz dari Bani Abdi Syams. Beliau di lahirkan di
Thaif, enam tahun setelah tahun gajah. Beliau terkenal pemalu, memiliki kecerdasan akal,
sangat iffah (menjaga kehormatan diri), menjaga silahturami, takwa, panjang shalat
tahajudnya, menanggis saat mengenang negeri akhirat, tawadu, mulia dan dermawan.[20]
Beliau adalah pedagang dengan modal sangat besar sebelum islam. Banyak hartanya
beliau infakkan buat kepentingan dakwah baik periode Mekkah maupun setelah di Madinah
(Bi’r Rumah) untuk kepentingan umat muslimin, beliau membeli tanah untuk perluasan
Masjid Nabawi. Ketika negara membutuhkan biaya besar buat belanja pasukan sebanyak
tiga puluh ribu rang yang akan berangkat ke Tabuk, beliau menggeluarkan harta yang sangat
besar untuk keperluan ini.
Utsman adalah orang yang sangat dekat dengan Rosulullah. Beliau digelar Dzun
Nurain karena meninkah dengan dua anak Rosulullah yaitu Ruqayyah dan Ummu Kultsum.
Beliau termasuk diantara sepuluh sahabat yang mendapat berita gembira akan masuk syurga
dan beliau akan mati syahid. Beliau meriwayatkan hadis dari Rosulullah sebanyak 146 hadis.
Setelah Rosullulah meninggal, Abu Bakar dan Umar sangat dekat dengan beliau dan
tempat mereka berdua meminta pendapat. Setelah Umar meninggal, beliau diangkat menjadi
khalifah setelah dipilih oleh enam orang sahabat yang dijamin masuk surga. Pada masa
pemerintahanya, beliau membuat kebijakan untuk menetapkan Al-Quran standar untuk
menghindari perpecahan di tubuh umat.
Beliau juga memperluas Masjidil Haram Mekkah dan Masjid Nabawi Madinah. Dan
pada masanya kondisi masyarakat secara sosial dan ekonomi mengalami peningkatan
pendapatan, baik pendapatan rakyat maupun negara.

b. Usman bin Affan Menjadi Khalifah


Pemerintahan Utsman bin Affan berlangsung selama 12 tahun 23-35 H / 644-655 M.
Usman bin Affan merupakan sahabat Nabi yang gigih berjuang dengan jiwa, raga dan
hartanya. Dia menggunakan sebagian besar hartanya untuk kepentingan Islam dan membekali
umat islam. Pada masa pemerintahan Abu Bakar As Sidiq dan Umar Bin Khatab, Utsman
Bin Affan menduduki posisi penting, dan pada akhir kekhalifahan Umar Bin Khatab
dipilihnya menjadi anggota tim enam yang bertugas memilih calon Khalifah.
Khalifah Utsman Bin Affan di kenal memilki tabiat yang lemah lembut, budi pekerti
yang baik dan pada paruh pertama masa pemerintahanya permasalahan sosial politik masih
stabil. Dalam menjalankan tugas kekhalifahan, Utsman Bin Affan menunjuk kerabat
dekatnya sebagai pembantu-pembantunya, bahkan pada akhir masa jabatanya roda
pemerintahan banyak dikendalikan oleh kerabat dekatnya. Langkah ini di nilai oleh para
penulis sejarah Islam, Utsman bin Affan pada posisi yang lemah dan banyak menggundang
kekecewaan masyarakat dengan kebijakan nepotisme.
Ada beberapa argementasi yang kurang stabil sebagai konsekuensi pemerintahan
transisi sehingga memerlukan solidaritas dan kepatuhan penjabat pemerintahan di semua
tingkatan. Ia mengambil kebijakan mempersiapkan kader-kader pemimpin masa depan dan
mengangkat orang muda dan mengistirahatkan orang-orang yang sudah berusia lanjut.
Wibawa pemerintah pusat sangat sangat rapuh terutama pada masa enam tahun kedua. Untuk
mengembalikan wibawa pemerintahan itu, harapan khalifah Utsman Bin Affan hanya
mengangkat kepada orang-orang yang menghormati dan loyal kepadanya. Hal ini
didasarkan pada watak orang arab yang hanya menggakui dan menghormati kepala sukunya
saja, tindakan khalifah Utsman bin Affan tersebut di tuduh menghina sahabat.[21]
Kepemimipinan Utsman Bin Affan memiliki garis kebijakan yang berbeda dengan
Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Pada paruh terakhir pada masa kekhalifahanya
muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat islam terhadapnya. Puncak
kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahanya adalah banyak sahabat dekat mulai
meninggalkan Utsman Bin Affan, banyak pertentangan terhadap penjabat khalifah (amir)
yang akhirnya sampai terjadinya pemberontakan dan Usman di Affan di bunuh.
Namun pada masa khalifah Usman, beliau menghasilkan kebudayaan yaitu:[22]
1.) Mengizinkan dibangunnya angkatan laut.
2.) Membangun rumah penjara terpisah dari masjid.
3.) Memproklamasikan mushaf al-Qur’an resmi yang ditulis oleh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.
4.) Memperindah masjid Nabi di Madinah dengan bahan batu pualam.
5.) Membangun sarana dan prasarana umat yaitu jembatan-jembatan, jalan-jalan dan masjid.
6.) Membangun bendungan untuk menjaga arus banjir besar dan mengatur distribusi air ke kota-
kota Madinah.
c. Metode Dakwah Ustman bin Affan
Metode dakwah beliau dapat dilihat dari pidato beliau di hadapan publik
setelah beliau di baiat menjadi khalifah ke tiga :Belia Berkata:
“Sesungguhnya aku di beri tugas dan aku terima, Ketahuilah bahwa aku ini penerus dan
bukan pembuat yang baru, dan ketahuilah bahwa kau berkewajiban terhadap tiga hal setelah
Al Quran dan As-Sunnah , yaitu mengikuti orang-orang sebelumku yang telah kalian sepakati
dan kalian ikuti, mengikuti tradisi orang-orang baik yang di peroleh dari orang-orang baik
dan tidak menghukum kalian kecuali jika terpaksa hukuman harus diberikan. Sesungguhnya
dunia ini hijau dan menarik bagi manusia sehingga banyak diantara mereka yang condong
kepadanya. Maka jaganlah kalian condong dan percaya kepada dunia, karena ia tidak dapat
dipercaya, dan ketahuilah bahwa dunia ini tidak mau meninggalkan kecuali manusia sendiri
yang meninggalkanya.”[23]
Pidato Utsman memberikan gambaran kepada kita metode dakwah beliau diantaranya :
1.) Berdakwah dengan melaksanakan tugas kekhalifahan yang diamanahkan secara maksimal.
2.) Meneruskan dakwah para pendahulunya, Rosulullah, Abu Bakar dan Umar.
3.) Berdakwah dalam bingkai Al-Quran dan As Sunnah.
4.) Mengikuti tradis yang sudah ada.
5.) Tidak mendahulukan menghukum dalam mendidik masyarakat.
6.) Mengajak rakyat agar hidup zuhud.
7.) Pidato yang berisi program kerja tersebut beliau wujudkan dalam masa
pemerintahan beliau.

Adapun hasil pemerintahan Utsman bin Affan yaitu:


a. Mengizinkan dibagunya angkatan laut.
b. Membangun rumah penjara terpisah dari masjid.
c. Memproklamasikan mushaf resmi yang di tulis Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair,
Sa’id bin Ash dan Abdurahman bin Harits bin Hisym
d. Memperindah Masjid Nabi di Madinah
e. Membanggun bendungan untuk menjaga arus banjir besar dan mengatur distribusi
air-air kota Madinah
f. Membanggun sarana prasarana umat,jembatan ,jalan dan masjid
Kebijakan Utsman Bin Affan dalam menjalan kan pemerintahan dalam mengambil
kebijakan benar-benar diambil didasarkan pada situasi sosial politik dan kebutuhan
masyarakat.

4. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (655-661 M)


a. Biografi Singkat Ali bin Abi Thalib
Nama lengkap Ali Bin Abi Thalib bin Abdi Al Muthalib bin Hasyim bin Manaf bin
Qushay. Ali adalah anak paman Rosullulah Ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hisyam.
Beliau dilahirkan sebelum nabi di utus, dan masuk Islam ketika berumur lima tahun. Ada
yang mengatakan umur delapan tahun.
Ali dikenal sebagai pemberani, oratur, dan sastrawan. Dalam masalah qadha beliau
adalah pakarnya. Beliau memiliki keimanan yang kuat, pemahaman islam yang baik dan
memiliki kemampuan untuk memenuhi khalayak, seperti masuknya islam penduduk
Hamadhan seluruhnya di tangan beliau dalam satu hari.
Rosulullah menjamin beliau masuk surga dan mengabarkan bahwa beliau akan di uji
keimananya oleh Allah. Beliau tumbuh di rumah Rosulullah dan tidur di kasur Rosulullah
dengan berselimut pada malam hijrah. Beliau tidak pernah absen dalam seluruh peperangan
bersama Nabi, kecuali perang Tabuk. Di perang Badar, beliau membawa bendera kaum
muslim, saat itu ia berumur 20 tahun
Ketika Nabi Muhammad meninggal dunia, kaum anshar mengadakan pertemuan
Saqifah membahas tentang siapa yang paling layak memimpin kaum muslimin sepeninggal
Nabi. Hadir dalam ketika mendengar ada pertemuan Anshar, Abu Bakar, Umar dan Abu
Ubaidah berangkat ke majelis tersebut.
Setelah melalui perbincangan panjang, Akirnya mereka menetapkan Abu
Bakar sebagai khalifah. Hari berikutnya dilakukan pembaitan massal di masjid Nabawi. Ada
riwayat yang mengatakan bahwa Ali ikut dalam Baiat tersebut .[24]Tetapi ada yang
mengatakan bahwa Ali baru di baiat Abu Bakar enam bulan setelah beliau dilantik.
Penyebabnya diantaranya adalah menjaga perasaan Fathimah, istrinya, yang masih berbeda
pendapat dengan Abu Bakar tentang warisan Rosulullah SAW, setelah Fathimah meninggal
dunia, baru ia membaiat Abu Bakar.
Ketika Umar menjadi khalifah, Ali adalah salah seorang sahabat yang selalu dimintai
pendapatnya. Ketika masa Utsman, beliau sering memberi nasihat kepada Utsman dan
berusaha untuk menjadi penengah saat terjadi fitnah. Setelah Utsman meninggal dunia,
khalifah dipegang oleh Ali. Penduduk Madinah sepakat menunjuk beliau meskipun beliau
sendiri tidak menyenangi posisi itu. Beliau mau di tunjuk menjadi khalifah karena ingin
mencegah terjadinya fitnah besar.

b. Ali bin Abi Thalib Menjadi Khalifah


Ali bin Abi Thalib merupakan khalifah yang ke empat atau khalifah ke empat atau
khalifah terakhir era pemerintahan khulafaur rasyidin. Pada masa pemerintahan Khalifah Ali
bin Abi Thalib, kondisi sosial politik negara berada pada posisi yang paling sulit,
ketidakpuasan masyarakat dan perpecahan sahabat terjadi, bahkan konflik politik yang ada
sampai berujung pada peperangan .
Kejadian ini tidak saja menyulitkan posisi khalifah Ali bin Abi Thalib dalam
menentukan arah dan kebijakan khalifah selaku pemegang kekuasaan, persoalan
konflik internal dan eksternal tersebut juga berdampak pada terhambatnya perkembangan
kebudayaan islam dan masa pemerintahanya, karena konsentrasi pemerintahanya tersedot
menangani persoalan konflik politik dan peperangan.
Kebijakan dengan melakukan pergantian penjabat tinggi dan mutasi pejabat yang
diangkat khalifah Utsman Bin Affan, ternyata justru menimbulkan masalah baru dalam
menjalankan roda pemerintahan , terlebih lagi diikuti adanya benih-benih perpecahan di
kalangan sahabat sendiri baik yang disebabkan oleh faktor kepentingan politik maupu
tuntutan balas dan kematian Khilafah Utsman Bin Affan.
Selama pemerintahan Ali Bin Abi Thalib. selalu timbul pemberontakan yang terus
menerus, tidak ada masa sedikitpun dapat dikatakan stabil.Konflik sosial politik pada masa
ini terjadi disebabkan oleh:
1.) Ali Bin Abi Thalib dia angkat menjadi khalifah yang ke empat tidak di baiat secara bulat oleh
kaum muslimin, bahkan tokoh-tokoh muslim yang pada masa hidupnya dikenal sangat dekat
dengan Nabi sampai beberapa waktu lamanya tidak segera membaiat Ali misalnya Zubar,
Tolhah bahkan Aisyah sendiri tidak mau membaiat Ali Bin Abi Thalib.
2.) Persoalan kaum muslim yang mengancam disintegrasi bangsa pada saat itu juga di picu oleh
kebijakan khaliah sebelumnya yaitu pada masa Utsman binAffan yang memunculkan
kekecewaan sebagaian besar kaum muslimin.

c. Metode Dakwah Ali bin Abi Thalib


Untuk mengatasi kondisi perpolitikan dalam negeri yang tidak stabil, khalifah Ali Bin
Abi Thalib melakukan tindakan antara lain :
1.) Mengganti gubernur yang diangkat oleh khalifah Utsman bin Affan.
2.) Menarik kembali tanah yang dihadiahkan oleh Utsman Bin Affan kepada penduduk dan
menyerahkan hasilnya kepada negara memakai kembli sistem distribusi pajak yang pernah di
berlakukan pada masa umar bin khatab.
3.) Dan di hapus pada masa khalifah Utsman Bin Affan.
4.) Memindah pusat pemerintahan dari Madinah ke Mekah [25]
Kebijakan khalifah ini diambil mempunyai maksud baik, karena menurutnya
Instabilitas dalam negeri yang muncul itu di sebabkan karena Kebijakan Utsman Bin Affan,
sehingga untuk mengembalikan stabilitas politik dalam negeri maka menurutnya
penyebabnya harus dihapuskan dengan mengganti para pejabat tinggi yang diangkat oleh
sahabat Utsman Bin Affan. Namun justru dengan melakukan tindakan tersebut malah
menjadi bumerang bagi kelangsungan pemerintahanya.
Ketidakpuasaan di lingkungan sahabat atas kebijakan Ali Bin Abi Thalib dengan
menunda-nunda penuntasan dan menghukum pembunuh Utsman Bin Affan, menjadi
pemicu pecahnya perang antara khalifah Ali Bin Abi Thalib dengan kekuatan yang di motori
oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair yang kemudian dikenal dengan perang Jamal (perang onta)
dan bisa diselesaikan dan dimenangkan oleh Pihak Ali Bin Abi Thalib.
Setelah perang Jamal diselesaikan, beliau berhadapan dengan pihak oposisi yang
terdiri dari golongan orang-orang yang kehilangan jabatan penting akibat kebijakannya.
Barisan orang-orang kecewa ini bergabung dengan kekuatan gubernur Damaskus Muawiyah
bin Abi Sofyan untuk melakukan penentangan terhadap khalifah. Peperanganpun juga tidak
bisa dihindarkan, dua pasukan bertemu di sebuah tempat yang sekaligus menjadi nama
perang itu sendiri yaitu Siffin, sehingga peperangannyapun dikenal dengan nama perang
Siffin. Peperangan siffin diakhiri dengan perundingan atau tahkim (arbitrase) antara khalifah
Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah. Menurut catatan sejarah hasil perundingan ini
merugikan khalifah Ali dan menguntungkan Mu’awiyah.[26]
Tahkim Siffin tidak saja merugikan Khalifah Ali dan menguntungkan Mu’awiyah dari
sisi politik, dari sisi sosiologis pun sahabat Ali juga rugi, karena dengan perisiwa tersebut
kekuatan pendukung khalifah menjadi berkurang. Pada periode akhir masa pemerintahan
khalifah Ali kekuatan politik umat islam terbelah menjadi empat kelompok, yaitu kelompok
pendukung Khalifah Ali (Syiah), kelompok khawarij yaitu orang-orang yang tadinya
mendukung atau ikut khalifah Ali kemudian keluar dari barisan Ali dan kelompok umat islam
yang tidak berada pada kubu khalifah Ali, khawarij yang dipimpin oleh Abdullah bin Umar
bin Khattab dan kelompok terakhir adalah pengikut Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Kondisi ini
hanya menjadikan semakin lemah posisi khalifah dalam menghadapi benih-benih perpecahan
dalam tubuh umat islam.[27]
Berawal dari persoalan politik internal umat islam yang tidak terselesaikan dengan
baik oleh khalifah Ali inilah kemudian persoalan politik umat islam bergeser dari sistem
kekhalifahan menjadi sistem kerajaan yang absolute berada dalam kekuasaan Mu’awiyah.
Maka soal pergantian kepemimpinan (khalifah) terjadi perubahan mendasar, dari sistem
musyawarah yang menempatkan kedaulatan umat islam menjadi faktor penting bergeser ke
sistem kerajaan yang penentuan suksesi kepemimpinannya berlangsung secara turun-
temurun.Penyimpangan kaidah pergantian kepemimpinan inilah yang oleh Abul A’la Al-
Maududi dikatakan sebagai penerapan sistem kerajaan dalam pemerintahan islam. Karena
memang kenyataannya pemerintahan khalifah yang digantikan oleh Mu’awiyah prinsip
musyawarah ini sengaja ditinggalkan dan digantikannya dengan sistem kerajaan.[28]

D. Ciri-Ciri Umum Dakwah Pada Masa Khulafaur Rasyidin


Adapun yang dapat di ketahui ciri ciri pemerintahan pada masa kulafaur rasyidin
sebagai berikut:[29]
1. Kader-kader terbaik Rosulullah telah memimpin pemerintahan Islam selama tiga puluh
tahun. Kekuatan iman yang ada di dada mereka menciptakan motivasi yang kuat untuk
melakukan aktivitasa dakwah ke luar jazirah Arabia. Motif dakwah tersebut membuat kaum
muslim tidak pernah lelah melakukan perjalanan panjang membuka negeri demi
negeri untuk menyiarkan Islam. Aktivitas tersebut di dalam sejarah Islam di kenal sebagai
Futuhat Islamiyah.
2. Sarana terbesar dakwah pada masa ini (kurang dari 30 tahun) adalah pemerintahan dan
kekuasaan. Lewat media pemerintahan para khalifah menentukan kebijakan dan strategi
dakwah baik untuk masyarakat Islam atau di luar masyarakat Islam.
3. Futuhat Islamiyah yang di lakukan oleh para sahabat selalu di ikuti oleh
perluasan pemikiran islam. Mayoritas penduduk yang didatangi oleh kaum
muslim memeluk islam karena pilihan mereka. Mereka memandang Islam kaum
muslim bukan sebagai hantu yaang menakutkan, tetapi ibarat kapal penyelamat yang siap
membawa mereka ke pulau impian.
4. Kesibukan kaum muslim membuka wilayah dakwah baru tidak membuat mereka lupa
memelihara dan mengembangkan pemikiran islam.

Diantara gerakan yang paling menonjol Khulafaur Rasyidin adalah sebagai berikut:
1. Menjaga keutuhan Al-Qur’an al-Karim dan menggumpulkan dalam bentuk mushaf pada
masa Abu bakar.
2. Memberlakukan mushaf standar pada masa Utsman Bin Affan.
3. Keseriusan mereka mencari dan mengajarkan ilmu dan memerangi kebodohan berislam para
penduduk negeri. Oleh sebab itu, para sahabat pada masa Ustman dikirim ke berbagai
pelosok untuk menyiarkan islam. Mereka mengajarkan islam dan sunah rasul kepada banyak
pendudukn negeri yang sudah di buka.
4. Sebagian orang yang tidak senang kepada islam, terutama kepada pihak orientalis pada abad
ke-19 banyak yang mempelajari fenomena futuhat islamiyah dan menafsirkannya dengan
motif bendawi. Mereka mengatakan bahwa futuhat adalah perang dengan motif ekonomi,
yaitu mencari dan meggaruk kekayaan negeri yang ditundukan. Interpretasi ini tidak sesuai
dengan kenyataan sejarah yang berbicara bahwa bergeraknya para sahabat karena iman yang
bersemayam hidup di dada mereka.
5. Islam pada masa awal tidak mengenal pemisahan antara dakwah dan negara, antara da’i dan
panglima, tidak dikenal orang yang berprofesi khusus sebagai da’i. Para khalifah adalah
penguasa, imam sholat, mengadili orang yang berselisih, da’i dan juga panglima perang .
Da’i pada masa awal tidak dipahami sebagaimana pemahaman kita hari ini.[30]
Meskipun tugas da’i diemban setiap orang , tetapi setiap orang memiliki kecenderungan
terhadap sesuatu. Diantara sahabat Nabi ada orang yang kecenderungan ilmiahnya lebih
tinggi dari sisi lain, sehingga ada yang tdak terlalu berminat menekuni bidang perdagangan
atau pertanian, atau aktivitas bisnis lainya termasuk kelompok ini adalah Abdullah Bin
Mashub, Muadz Bin Jabal dan Abdullah bin Ummi Maktum dan sahabat-sahabat lain yang
diutus rosul, kesuatu tempat atau sahabat yang diminta untuk menjadi pejabat sementara
negara pada saat Nabi dan sahabat lainya sedang keluar berperang.
Keadaan seperti ini berlangsung cukup lama. Negara tidak mengenal orang yang
berfungsi sebagai da’i, semua adalah da’i dan jika diminta untuk menyampaikan ilmu yang
dimilikinya maka mereka langsung menyampaikanya. Jika mereka diminta fatwanya, dia
akan memberikan fatwa yang ia denggar dari Rosulullah, gema halaqah-halaqah ilmiah
terdengar disetiap tempat, terutama dikota kota besar, seperti Mekkah, Madinah, Basrah,
Mesir, Syam dan kota-kota lainya.
Kondisi ini berlangsung sampai akhir masa pemerintahan khulafaur rasyidin. Masalah
dakwah tidak ditekuni oleh orang tertentu tetapi masuk dalam tugas yang lain, seperti taklim,
tahfidz al-Qur’an, mengumpulkan zakat, melakukan qadha, memberikan fatwa dan tugas
penting lainya.Materi nasihat dan pengarahan yang disampaikan pada masa khulafaur
rasyidin tidak lepas dari al-Qur’an dan sunnah atau materi yang dikembangkan dari dua
sumber diatas atau materi yang masih berada dalam bingkai al-Qur’an dan sunnah. Liat saja
sebagai contoh, bagaimana isi pidato, ceramah dan khotbah dari para khalifah, semua tidak
keluar dari bingkai al-Qur’an dan sunnah. Generasi ini memang menyibukkan diri dengan
kesungguhan beramal di dalam negeri dan melakukan jihad untuk politik luar negeri. Waktu
mereka hanya mereka sumbangkan untuk dua hal di atas.

E. Ibrah (Pelajaran Berharga)


Dari perjalanan kepemimpinan yang dijalankan oleh khulafaur rasyidin, kita sebagai
umat islam dapat mengambil beberapa pelajaran atau ibrah yang sangat berharga untuk
kehidupan umat islam. Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq merupakan sosok pemimpin yang
tegas serta teguh dalam menjalankan kebenaran. Kita dapat pula mencontoh terhadap terhada
khalifah umar bin khatab serta peletak dasar-dasr demokrasi islam. Utsman bin Affan dalam
memimpin umat islam selalu menyelesaikan permasalahan dengan menggunakan pendekatan
secara persuasif. Khlifah yang terakhir Ali Bin Abi Thalib, dalam kepemimpinanya selalu
bersikap tegas, disiplin serta memiliki watak yang agak keras ketika harus membela sebuah
kebenaran. Dari Khulafaur rasyidin dengan prestasi-prestasinya, kita dapat terapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Untuk kepentingan masa sekarang dan untuk masa yang akan datang
antara lain:
1. Umat islam hendaknya selalu menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai figur panutan
dalam segala urusan kehidupan.
2. Umat islam hendaknya dapat menjaga persatuan dan kesatuan,
Umat islam diharapkan selalu memiliki semangat kerja dan etos kerja yang tinggi,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh khulafaur rasyidin dalam mengemban amanat, untuk
menyiarkan agama islam.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah perjalanan agama islam tidak hanya terhenti sampai masa kenabian atau pada
masa Rasulullah saja, akan tetapi sejarah perkembangan agama islam terus berkembang
sampai sekarang.
Penerusan kepemimpinan agama pasca Rasul wafat selanjutnya dialihkan kepada empat
para sahabat rasul atau dikenal dengan masa kekhalifahan, yang diangkat sesuai dengan
ajaran Nabi dalam hal memutuskan sesuatu hendaknya dengan musyawarah dan demokratis.
Yang selanjutnya pada setiap masa kepemimpinan empat khalifah itu menghasilkan berbagai
kebudayaan serta perkembangan dakwah islam yang lebih luas.
Metode dakwah dan perjalan dakwah yang ditempuh oleh setiap khalifah tentu berbeda,
akan tetapi pada setiap perjalanan dakwah mereka semua, menerapkan dakwah yang sama
yaitu memperluas ajaran islam, menyelesaikan setiap masalah sesuai dengan ajaran islam
serta menghasilkan beberapa kebudayaan baru.

B. Kritik dan Saran


Tentu sebagai umat islam hendaknya kita mengetahui serta memahami sejarah
perkembangan agama islam, sehingga dengan begitu setidaknya kita dapat mengambil
pelajaran pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada sejarah perkembangan islam, agar
menjadikan kita lebih bijaksana lagi dalam hal bersikap.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quraibi, Ibrahim. 2009. Tarikh Khulafa. Jakarta: Qisthi Press.


Ummatin, Khoiro. 2015. Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal. Yogyakarta: Kalimedia.

Sou’yb, Joesoef. 1979. Sejarah Dakwah Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang.

Akademika. 2009. Kondisi Umat Islam Pasca Rasul Wafat. http://akademika-


odiemha.blogspot.co.id/2009/12/kondisi-umat-islam-pasca-rasulullah-saw.html. diakses pada
hari sabtu tanggal 26 Maret 2016.

Murad, Musthafa. 2012. Kisah Hidup Abu Bakar Al Shiddiq. Jakarta: Zaman.

Ilaihi, Wahyu dkk. 2007. Pengantar Sejarah Dakwah Cet.1. Jakarta: Kencana.

Sayyid, Majdi Fathi. 2003. Mari Mengenal Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Gema Insani.

Yatim, Badri. 1997. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Shiddiqi, Nourouzzaman. 1986. Pengantar Sejarah Muslim. Yogyakarta: Nur Cahaya.

Ibrahim, Hasan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang.

Al-Maududi, Abul A’la. 1998. Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi Krisis Atas Sejarah
Pemerintahan Islam. Bandung: Mizan.

[1] Ibrahim al-Quraibi, Tarikh Khulafa, (Jakarta:Qisthi Press, 2009), hlm.13.


[2] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.55-56.

[3] Joesoef Sou’yb, Sejarah Dakwah Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm.18-19.
[4] Akademika, Kondisi Umat Islam Pasca Rasulullah Saw Wafat, http://akademika-
odiemha.blogspot.co.id/2009/12/kondisi-umat-islam-pasca-rasulullah-saw.html, diakses pada hari sabtu
tanggal 26 Maret 2016 pukul 11.29.

[5] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.56-58.
[6] Musthafa Murad, Kisah Hidup Abu Bakar Al Shiddiq, (Jakarta: Zaman, 2012), hlm.109.
[7] Akademika, Kondisi Umat Islam Pasca Rasulullah Saw Wafat, http://akademika-
odiemha.blogspot.co.id/2009/12/kondisi-umat-islam-pasca-rasulullah-saw.html, diakses pada hari sabtu
tanggal 26 Maret 2016 pukul 11.29.

[8] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.70.

[9] Wahyu Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.83-84.
[10] Ibid., hlm.84-85.
[11] Musthafa Murad, Kisah Hidup Abu Bakar Al Shiddiq, (Jakarta: Zaman, 2012), hlm.144-145.

[12] Majdi Fathi Sayyid, Mari Mengenal Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm.18.
[13] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.63.

[14] Wahyu Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.87-90.
[15] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grfindo Persada, 1997), hlm.36-37.
[16] Wahyu Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.92-93.
[17] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.61.

[18] Wahyu Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.94-95.

[19] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.64-65.

[20] Wahyu Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta : Kencana, 2007), hlm.99.
[21] Nourouzzaman Shiddiqqi, Pengantar Sejarah Muslim, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1986), hlm.124-
125.
[22] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.67-68.

[23] Wahyu Ilahi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.100.
[24] Ibid., hlm.102.
[25] Khoiro Ummatin , Sejarah Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.70-71.
[26] Ibid., hlm.71-72.
[27] Hassan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogykarta: Kota Kembang, 1989), hlm.62-63.
[28] Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi Krisis Atas Sejarah Pemerintahan Islam,
(Bandung: Mizan, 1998), hlm.201-202.
[29] Wahyu Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.106-107.

[30] Wahyu Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.106-107.

Anda mungkin juga menyukai