MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas Sejarah Dakwah Bimbingan dan Konseling Islam
Oleh :
Zeffa Yurihana 15220041
Anom Sarianingsih 15220046
Endang Santika 15220048
Dosen Pengampu : H. Moh. Abu Suhud
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan agama islam berjalan sangat pesat diawali dari zaman Rasulullah hingga
sekarang ini, setelah rasul wafat islam tidak hanya berhenti disitu saja akan tetapi islam harus
tetap berjalan kepemimpinan umat juga harus ada yang melanjutkan. Nabi sebagai seorang
Rasul utusan Allah swt memang tidak bisa digantikan, akan tetapi kedudukan Nabi sebagai
kepala pemerintahan tentu saja dapat digantikan.
Penerusan pemerintahan dan dakwah islam kemudian berlanjut dengan diteruskan oleh
para sahabat Rasul, yang kemudian dikenal dengan istilah masa kekhalifahan.
Kata khalifah sebagaimana disebutkan dalam al-Qamus artinya adalah umat yang
melanjutkan generasi umat terdahulu. Sedang al-khalif artinya “orang yang duduk
setelahmu”.[1]
Pada masa pemerintahan empat khalifah tersebut sangat banyak pelajaran yang dapat
dicontoh. Pada setiap masa kepemimpinan empat khalifah tersebut, terdapat perbedaan dalam
hal kepemimpinannya. Baik ditilik pada sistem pemerintahannya, masalah yang dihadapinya,
sikap atau kepribadiannya dan budaya yang dihasilkan dari masing-masing khalifah tersebut.
Masa khalifah ini masih mengikuti ajaran-ajaran Nabi, baik dalam pengangkatan
pemimpin dengan cara musyawarah dan kepemimpinan yang relatif demokratis.
Tentu sebagai umat islam hendaknya kita mengetahui serta memahami sejarah
perkembangan agama islam, sehingga dengan begitu setidaknya kita dapat mengambil
pelajaran pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada sejarah perkembangan islam, agar
menjadikan kita lebih bijaksana lagi dalam hal bersikap.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang diatas penulis akan menjelaskan tulisan ini melalui
beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana problematika atau kondisi umat pasca Rasulullah wafat?
2. Bagaimana sistem pengangkatan atau pemilihan pada setiap khalifah?
3. Bagaimana perkembangan dakwah pada setiap khalifah?
4. Bagaimana ciri-ciri dakwah pada masa khulafaur rasyidin?
5. Apa hikmah atau pelajaran yang dapat diambil dari setiap kepemimpinan empat khalifah?
C. Tujuan Makalah
Berdasarkan dari uraian rumusan masalah diatas dapat dilihat bahwa tujuan penulisan ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami Bagaimana problematika atau kondisi umat pasca
Rasulullah wafat.
2. Untuk mengetahui dan memahami Bagaimana sistem pengangkatan atau pemilihan pada
setiap khalifah.
3. Untuk mengetahui dan memahami Bagaimana perkembangan dakwah pada setiap khalifah.
4. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana ciri dakwah dari khulafaur rasyidin.
5. Untuk mengetahui dan memahami hikmah atau pelajaran yang dapat diambil dari setiap
kepemimpinan empat khalifah.
BAB II
PEMBAHASAN
Para sahabat sudah membaca tanda-tanda atau pesan akan berakhirnya masa kenabian,
melalui sikap, ucapan Nabi, saat khutbah pada pelaksanaan haji wada’ (haji terakhir) dan
turunnya ayat Al-Qur’an. Nabi dalam khutbahnya menekankan persoalan kemanusiaan,
persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan dan solidaritas. Tidak lama dari
peristiwa itu, kondisi Nabi sudah mulai sering sakit dan menunjuk Abu Bakar Ash-Shiddiq
sebagai pengganti imam shalat. Kondisi sakit Nabi semakin parah, pada hari senin tanggal 12
Rabiul Awal 11 H atau 8 Juni 632 M Nabi wafat. Peristiwa ini benar-benar mengejutkan
banyak pihak, terlebih lagi Nabi belum pernah mempersiapkan penggantinya. Suksesi
menjadi titik krusial, meski prinsip musyawarah sudah menjadi basic yang selalu ditanamkan
Nabi dalam pengambilan keputusan.
Setelah diketahui Nabi wafat dan tidak meninggalkan wasiat soal pengganti beliau
sebagai pemimpin politik, para sahabat berkumpul dan bermusyawarah untuk menentukan
siapa pengganti Nabi dalam menjalankan dakwah dan pemerintahan. Muhammad sebagai
Rasulullah tidak bisa digantikan sepeninggalnya, namun untuk fungsi Muhammad sebagai
kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat harus harus dilanjutkan. Pengganti pada
fungsi kekhalifahan ini harus ada dan tidak boleh terhenti. Banyak sumber menyebutkan
terjadi perdebatan sengit dalam menentukan siapa pengganti kedudukan Muhammad ini,
karena masing-masing pihak merasa punya hak untuk melanjutkan kepala pemerintahan
negara.[2]
Permasalahan egosentris mereka muncul dan menganggap kelompoknya merasa
unggul dan memiliki hak untuk menggantikan kedudukan kepemimpinan Rasul sebagai
kepala pemerintahan. Bahkan tokoh-tokoh dari kaum Anshar sependapat hak kekhalifahan
ada di tangannya, bukandi tangan kaum Muhajirin.[3]
Oleh karena itu, pasca wafatnya rasulullah Saw, terjadi kebingungan di kalangan
masyarakat muslim ketika itu. Bahkan ada di antara mereka yang tidak percaya kalau
Muhammad sebagai seorang Nabi utusan Allah, juga bisa wafat. Melihat gejala seperti ini,
Abu Bakar mendatangi kelompok tersebut dan langsung berpidato. Dalam pidatonya ia
mengatakan “Wahai manusia, siapa yang memuja Muhammad, sesungguhnya Muhammad
telah wafat, tetapi siapa yang memuja Allah, Allah hidup selama-lamanya, tidak akan pernah
mati. Untuk memerkuat pidatonya itu, Abu Bakar mengutip ayat QS. Ali Imran: 144.
Artinya:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa
orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?
Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada
Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Selain itu, dalam situasi seperti ini, muncul beberapa kelompok masyarakat muslim
Madinah yang tengah bermusyawarah guna menentukan siapa pengganti Muhammad Saw
sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Mereka, kaum Anshar tengah
mendiskusikan siapa yang akan menggantkan posisi politik dan kepemimpinan Muhammad
Saw. Mereka mencalonkan kandidatnya, bernama Sa’ad bin Ubadah. Sementara dari
Muhajirin Umar mencalonkan Abu Bakar.[4]
Kendati Nabi tidak menunjuk penggantinya sebelum wafat, dengan
mempertimbangkan banyak hal, ummat islam menyadari betul bahwa posisi Abu Bakar Ash-
Shiddiq menjadi prioritas pertimbangan sebagai pengganti Rasulullah sebagai kepala
pemerintahan. Umat islam juga benar-benar menyadari cara pergantian harus melalui
musyawarah, agar monopoli dan perampasan kekuasaan tidak terjadi. Pemaksaan pribadi
untuk mencapai kekuasaan tidak terjadi, karena semua dikembalikan kepada umat islam.
Keberhasilan menentukan Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi pengganti Muhammad, sudah
tentu ada proses dan gesekan kecil dalam berpendapat merupakan hal yang wajar dalam
musyawarah atau cara demokrasi.
Keberhasilan memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama melalui
lembaga musyawarah, merupakan tradisi baru dan merupakan pengalaman pertama
bagaimana membangun kebudayaan dalam politik islam. Peristiwa keberhasilan suksesi
kepemimpinan ini jelas menjadi momentum terbaik untuk penentuan kepemimpinan pasca
kenabian. Pemimpin umat islam pasca kenabian ini disebut dengan Khalifah rasulillah
(pengganti rasul) atau disebut dengan khalifah saja, merupakan simbol kebudayaan baru dan
kedepannya akan menjadi rujukan umat islam dalam melakukan suksesi kepemimpinan.
Kedudukan Khalifah rasyidah dalam pemerintahan membawa dua misi utama, yaitu
sebagai pemimpin politik yang harus menjaga keutuhan wilayah teritorial, menjaga
kedamaian dan kesejahteraan masyarakatnya. Kemudian pekerjaan yang harus dipegang
khalifah adalah membawa misi dakwah untuk melanjutkan perjuangan. Muhammad sebagai
pemimpin agama, sehingga di tangan khalifah ada kewajiban menjalankan tatanan agama
secara benar, menyeluruh dan terpadu.[5]
Sepeninggal Rasulullah banyak masalah yang dihadapi para sahabat, mulai dari soal
pemurtadan, keberadaan nabi palsu, keengganan membayar pajak, hingga persoalan politik
yang menyangkut suksesi kepemimpinan pasca kenabian.[6]
Diantara gerakan yang paling menonjol Khulafaur Rasyidin adalah sebagai berikut:
1. Menjaga keutuhan Al-Qur’an al-Karim dan menggumpulkan dalam bentuk mushaf pada
masa Abu bakar.
2. Memberlakukan mushaf standar pada masa Utsman Bin Affan.
3. Keseriusan mereka mencari dan mengajarkan ilmu dan memerangi kebodohan berislam para
penduduk negeri. Oleh sebab itu, para sahabat pada masa Ustman dikirim ke berbagai
pelosok untuk menyiarkan islam. Mereka mengajarkan islam dan sunah rasul kepada banyak
pendudukn negeri yang sudah di buka.
4. Sebagian orang yang tidak senang kepada islam, terutama kepada pihak orientalis pada abad
ke-19 banyak yang mempelajari fenomena futuhat islamiyah dan menafsirkannya dengan
motif bendawi. Mereka mengatakan bahwa futuhat adalah perang dengan motif ekonomi,
yaitu mencari dan meggaruk kekayaan negeri yang ditundukan. Interpretasi ini tidak sesuai
dengan kenyataan sejarah yang berbicara bahwa bergeraknya para sahabat karena iman yang
bersemayam hidup di dada mereka.
5. Islam pada masa awal tidak mengenal pemisahan antara dakwah dan negara, antara da’i dan
panglima, tidak dikenal orang yang berprofesi khusus sebagai da’i. Para khalifah adalah
penguasa, imam sholat, mengadili orang yang berselisih, da’i dan juga panglima perang .
Da’i pada masa awal tidak dipahami sebagaimana pemahaman kita hari ini.[30]
Meskipun tugas da’i diemban setiap orang , tetapi setiap orang memiliki kecenderungan
terhadap sesuatu. Diantara sahabat Nabi ada orang yang kecenderungan ilmiahnya lebih
tinggi dari sisi lain, sehingga ada yang tdak terlalu berminat menekuni bidang perdagangan
atau pertanian, atau aktivitas bisnis lainya termasuk kelompok ini adalah Abdullah Bin
Mashub, Muadz Bin Jabal dan Abdullah bin Ummi Maktum dan sahabat-sahabat lain yang
diutus rosul, kesuatu tempat atau sahabat yang diminta untuk menjadi pejabat sementara
negara pada saat Nabi dan sahabat lainya sedang keluar berperang.
Keadaan seperti ini berlangsung cukup lama. Negara tidak mengenal orang yang
berfungsi sebagai da’i, semua adalah da’i dan jika diminta untuk menyampaikan ilmu yang
dimilikinya maka mereka langsung menyampaikanya. Jika mereka diminta fatwanya, dia
akan memberikan fatwa yang ia denggar dari Rosulullah, gema halaqah-halaqah ilmiah
terdengar disetiap tempat, terutama dikota kota besar, seperti Mekkah, Madinah, Basrah,
Mesir, Syam dan kota-kota lainya.
Kondisi ini berlangsung sampai akhir masa pemerintahan khulafaur rasyidin. Masalah
dakwah tidak ditekuni oleh orang tertentu tetapi masuk dalam tugas yang lain, seperti taklim,
tahfidz al-Qur’an, mengumpulkan zakat, melakukan qadha, memberikan fatwa dan tugas
penting lainya.Materi nasihat dan pengarahan yang disampaikan pada masa khulafaur
rasyidin tidak lepas dari al-Qur’an dan sunnah atau materi yang dikembangkan dari dua
sumber diatas atau materi yang masih berada dalam bingkai al-Qur’an dan sunnah. Liat saja
sebagai contoh, bagaimana isi pidato, ceramah dan khotbah dari para khalifah, semua tidak
keluar dari bingkai al-Qur’an dan sunnah. Generasi ini memang menyibukkan diri dengan
kesungguhan beramal di dalam negeri dan melakukan jihad untuk politik luar negeri. Waktu
mereka hanya mereka sumbangkan untuk dua hal di atas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah perjalanan agama islam tidak hanya terhenti sampai masa kenabian atau pada
masa Rasulullah saja, akan tetapi sejarah perkembangan agama islam terus berkembang
sampai sekarang.
Penerusan kepemimpinan agama pasca Rasul wafat selanjutnya dialihkan kepada empat
para sahabat rasul atau dikenal dengan masa kekhalifahan, yang diangkat sesuai dengan
ajaran Nabi dalam hal memutuskan sesuatu hendaknya dengan musyawarah dan demokratis.
Yang selanjutnya pada setiap masa kepemimpinan empat khalifah itu menghasilkan berbagai
kebudayaan serta perkembangan dakwah islam yang lebih luas.
Metode dakwah dan perjalan dakwah yang ditempuh oleh setiap khalifah tentu berbeda,
akan tetapi pada setiap perjalanan dakwah mereka semua, menerapkan dakwah yang sama
yaitu memperluas ajaran islam, menyelesaikan setiap masalah sesuai dengan ajaran islam
serta menghasilkan beberapa kebudayaan baru.
DAFTAR PUSTAKA
Sou’yb, Joesoef. 1979. Sejarah Dakwah Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang.
Murad, Musthafa. 2012. Kisah Hidup Abu Bakar Al Shiddiq. Jakarta: Zaman.
Ilaihi, Wahyu dkk. 2007. Pengantar Sejarah Dakwah Cet.1. Jakarta: Kencana.
Sayyid, Majdi Fathi. 2003. Mari Mengenal Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Gema Insani.
Ibrahim, Hasan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang.
Al-Maududi, Abul A’la. 1998. Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi Krisis Atas Sejarah
Pemerintahan Islam. Bandung: Mizan.
[3] Joesoef Sou’yb, Sejarah Dakwah Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm.18-19.
[4] Akademika, Kondisi Umat Islam Pasca Rasulullah Saw Wafat, http://akademika-
odiemha.blogspot.co.id/2009/12/kondisi-umat-islam-pasca-rasulullah-saw.html, diakses pada hari sabtu
tanggal 26 Maret 2016 pukul 11.29.
[5] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.56-58.
[6] Musthafa Murad, Kisah Hidup Abu Bakar Al Shiddiq, (Jakarta: Zaman, 2012), hlm.109.
[7] Akademika, Kondisi Umat Islam Pasca Rasulullah Saw Wafat, http://akademika-
odiemha.blogspot.co.id/2009/12/kondisi-umat-islam-pasca-rasulullah-saw.html, diakses pada hari sabtu
tanggal 26 Maret 2016 pukul 11.29.
[8] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.70.
[9] Wahyu Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.83-84.
[10] Ibid., hlm.84-85.
[11] Musthafa Murad, Kisah Hidup Abu Bakar Al Shiddiq, (Jakarta: Zaman, 2012), hlm.144-145.
[12] Majdi Fathi Sayyid, Mari Mengenal Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm.18.
[13] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.63.
[14] Wahyu Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.87-90.
[15] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grfindo Persada, 1997), hlm.36-37.
[16] Wahyu Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.92-93.
[17] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.61.
[18] Wahyu Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.94-95.
[19] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.64-65.
[20] Wahyu Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta : Kencana, 2007), hlm.99.
[21] Nourouzzaman Shiddiqqi, Pengantar Sejarah Muslim, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1986), hlm.124-
125.
[22] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Kebudayaan Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.67-68.
[23] Wahyu Ilahi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.100.
[24] Ibid., hlm.102.
[25] Khoiro Ummatin , Sejarah Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.70-71.
[26] Ibid., hlm.71-72.
[27] Hassan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogykarta: Kota Kembang, 1989), hlm.62-63.
[28] Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi Krisis Atas Sejarah Pemerintahan Islam,
(Bandung: Mizan, 1998), hlm.201-202.
[29] Wahyu Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.106-107.
[30] Wahyu Ilaihi dkk, Pengantar Sejarah Dakwah 1, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.106-107.