Anda di halaman 1dari 17

PERTUMBUHAN ISLAM

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban
Islam Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah Syar’iyyah)
Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Bone
Oleh :

AMALIA PUTRI
NIM. 742352023039

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH

DAN HUKUM ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

BONE 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt, atas limpahan rahmat
dan karunia-nya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Shalawat beserta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad saw. Sebagai sosok panutan umat islam disegala profesi kehidupan
untuk menggapai kesuksesan dan kebahagiaan dunia-akhirat. Aamiin ya robbal
‘alamiin.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu pada mata


kuliah ini yang telah memberikan tugas sehingga dapat menambah wawasan
dan pengetahuan sesuai mata kuliah yang saya tekuni. Saya juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini
bermanfaat khususnya bagi penulis, umumnya bagi para pembaca. Aaamiin..

Bone, 23 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................1-2
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................2
BAB II........................................................................................................3-12
PEMBAHASAN..............................................................................................3
A. Penetapan Khalifa dan Kelahiran Dinasti........................................................3
B. Kekhalifaan Sebagai Institusi Politik.............................................................12
BAB III..........................................................................................................13
PENUTUP.....................................................................................................13
A. Kesimpulan.....................................................................................................13
B. Saran...............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika islam diperkenalkan sebagai pola dasar, kaum Muslim telah


dijanjikan oleh Al–Quran akan menjadi komunitas terbaik dipanggung sejarah
bagi sesama umat manusia lainnya. Akibatnya diterimanya dorongan ajaran
seperti ini, secara tidak langsung telah memberikan produk pandangan bagi
mereka sendiri untuk melakukan permainan budaya sebaik mungkin. Terdapat
banyak perspektif dalam membaca banyak fakta sejarah, terutama terhadap
sejarah peradaban umat Islam. Perbedaan cara pandang tersebut sebagai akibat
dari khazanah pengetahuan tentang sejarah yang berbeda. Hal itu dipicu dari
keberagaman teori sejarah. Terlebih sejarah islam yang sebagian besar adalah
sejarah tentang polotik dan kekuasaan yang berujung pada kepentingan
kelompok maupun individual semata. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin
yang dicintai oleh yang dipimpinnya, sehingga pikirannya selalu didukung,
perintahnya selalu di ikuti dan rakyat membelanya tanpa diminta terlebih
dahulu. Figur kepemimpinan yang mendekati penjelasan tersebut adalah
Rasulullah beserta para sahabatnya (khulafaur Rasyidin).

Suksesi kepemimpinan dalam Islam merupakan proses yang terus


mengalami perubahan pasca meninggalnya Rasulullah Saw., sebagai pimpinan
tertinggi umat Islam. Pada masa khulfaurrasyidun, pengngkatan khalifah
dilakukan dengan mekanisme musyawarah. Hal ini menjadi awal lahirnya
kontrak sosial berdasarkan Al-Qur‟an dan al-Sunnah antara pemimpin dan
masyarakat Islam. Pada waktu itu juga telah berkembang sistem pemilihan
berdasarkan tokoh-tokoh pusat dan utusan dari beberapa daerah kekuasaan
Islam, untuk melakukan musyawarah. Berakhirnya periode khulafaurrasyidun

1
2

menjadi akhir proses pemilihan pemimpin yang dilakukan melalui mekanisme


musyawarah. Pengangkatan Mu‟awiyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah
menjadi pertanda runtuhnya sistem kekhilafahan yang digariskan Al-Qur‟an
serta dasar-dasar penerapan yang dibangun oleh Rasulullah Saw., serta
dilaksanakan pada masa Khulafaur Rasyidun. Pada masa dinasti Mu‟awiyah
ini, pemilihan pemimpin dilakukan dengan cara diwariskan secara turun-
temurun (monarchiheridetis). ketika pengangkatan Mu‟awiyah sebagai
khalifah. Mu‟awiyah memiliki ambisi yang kuat untuk menjadi seorang
khalifah sehingga dia bisa saja menggunakan cara apapun untuk memperoleh
kekuasaan khalifah. Peperangan tidak bisa terhindarkan lagiketika ambisinya
sebgai khalifah tidak bisa terbendung. Selain itu ketika Mu‟awiyah berhasil
menjabat sebagai khalifah, tidak ada lagi proses musyawarah seperti yang
dipraktekkan pada zaman Rasulullah Saw., dan Khulafaur rasyidun.
Mu‟awiyah menunjuk anaknya menjadi pemimpin secara langsung tanpa
melalui proses musyawarah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Penetapan Khalifah dan Kelahiran Dinasti ?


2. Bagaimana Kekhalifaan Sebagai Institusi Politik ?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui Penetapan Khalifah dan Kelahiran Dinasti.


2. Mengetahui Kekhalifaan Sebagai Institusi Politik
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENETAPAN KHALIFAH DAN KELAHIRAN DINASTI

Pergolakan politik Islam dalam hal menentukan pemimpin terjadi


ketika Rasulullah meninggal dunia pada tahun 632 M. Umat Islam dihadapkan
pada kenyataan untuk menetukan pengganti Rasulullah sebagai pemimpin umat
Islam. Dalam situasi seperti ini maka dipandang sangat perlu
diselenggarakannya musyawarah untuk menentukan pemimpin umat. Dalam
pemikiran politik Ibn Taimiyah tidak menegaskan bagaimana mekanisme
pengangkatan pemimpin. Menurutnya persoalan mekanisme pemilihan
pemimpin tidak terlalu penting, yang lebih utama adalah orang- orang yang
mengisi jabatan sebagai pemimpin harus benar-benar amanah dan adil. 1Maka
dalam Sejarah Peradaban Islam memiliki perjalanan yang cukup panjang antara
lain sebagai berikut:
1. Penetapan Khalifah
Dalam Islam terdapat empat khalifah yang kita kenal dari
wafatnya Rasulullah guna untuk mempertahankan eksistensi Islam
sebagai agama yang besar dan lurus, adapun khalifah tersebut:

a) Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq (11-13 H / 632-634 M)


Setelah meninggalnya Rasulullah Saw., sebagian umat
Islam menyibukkan diri untuk mencari siapa yang akan
menjadi pemimpin umat sepeningggal Rasulullah saw., karena
beliau tidak mewasiatkan bagaimana dan siapa yang akan
menjadi pemimpin setelah beliau wafat. Umat Islam
1
Dudung Abdurrahman, dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern,
cet. ke-4, (Yogyakarta: LESFI, 2012), hlm. 45.

3
4

dihadapkan pada krisis kepemimpinan seperti keteladanan


kepemimpinan baru bagi umat manusia, prinsip-prinsip
kepemimpinan, dan kriteria kepemimpinan. Masyarakat
Tsaqifahlah yang merasakan perlunya penyatuan
kepemimpinan umat Islam di bawah satu komando.
Pada saat kaum muhajirin dan anshar bermusyawarah
tentang pengganti kepemimpinan Nabi, namun tidak ada
kesepakatan diantara mereka. Abu Bakar yang hadir pada
waktu itu menyampaikan pidatonya mengatakan bahwa yang
berhak menjadi pemimpin umat Islam adalah dari kalangan
Quraisy, karena orang arab tidak akan tunduk kecuali pada
suku Quraisy, artinya suku yang bisa memimpin mereka adalah
suku Quraiys. Dengan demikian, pertimbangan kekuatanlah
yang mampu menyelesaikan perdebatan masalah
kepemimpinan ini. Dengan demikian Abu Bakar mendapat
dukungan besar dari semua pihak dan membaiat beliau sebagai
khalifah menggantikan Rasulullah.2

b) Khalifah Umar Ibnu al-Khathab (13-23 H / 634-644 M)


Dari beberapa literatur sejarah menyebutkan ada dua
versi tentang pengangkatan Umar sebagai Khalifah pengganti
Abu Bakar. Pendapat pertama mengatakan bahwa sebelum
Abu Bakar Meninggal dia bermusyawarah dengan berapa
sahabatnya untuk menunjuk Umar sebagai penerus
kekhalifahan Abu Bakar. Diantara sahabat yang diajak

2
Khairudin Yujah Sawiy, Perebutah Kekuasaan Khalifah (Mengungkap Dinamika dan
Sejarah Politik Kaum Sunni), cet. ke-2, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), hlm.2.
5

bermusyawarah tersebut adalah Abdurrahman bin Auf, Usman


Bin Affan, Said bin Zaid bin Naufal.
Pendapat kedua menjelaskan bahwa menjelang Abu
Bakar wafat, beliau mewasiatkan agar Umar diangkat sebagai
pengganti kekhalifahannya. Hal ini bertujuan supaya tidak
terjadi lagi perpecahan dan kekacauan di kalangan umat Islam,
sebagaimana yang terjadi sepeninggal Rasulullah.
Dari kedua pendapat tersebut memiliki kekuatan
kebenaran yang bisa kita jadikan sebagai acuan, pada intinya
dalam proses pemilihan Khalifah menggantikan Abu Bakar
melalui proses munsyawarah untuk kepemimpinan Islam lebih
baik. Yang paling penting adalah bahwa Umar pantas menjadi
khalifah pada masa itu.3

c) Khalifah Ustman ibn Affan (23-35 H / 644-656 M)


Pada tahun 644 M Umar ditikam oleh seorang budak
Persia bernama Pirouz Nahavandi (Abu Lu‟luah) dan wafat
dua hari kemudian. Pengangkatan Utsman sebagai Khalifah
pengganti Abu Umar sebagai penerus kepemimpinannya
dilakukan dengan cara bai‟at. Utsman Bin „Affan terpilih
menjadi khalifah ketiga berdasarkan suara mayoritas dalam
musyawarah tim formatur yang anggotanya dipilih oleh
Khalifah Umar Bin Khaththab menjelang wafatnya. Sebelum
Ustaman dipilih, ada tiga calon yang akan menggantiakn
Umar yaitu Abdurrahman bin „Auf, Ali bin Abi Thalib dan
Utsman bin Affan. Namun ketika Abdurrahman ditugaskan

3
Haidar Barong, Umar Bin Khattab Dalam Perbincangan (Penafsiran Baru), cet. ke-1,
(Jakarta: Yayasan Cipta Persada Indonesia, 1994), hlm. 244.
6

untuk memilih antara Ali dan Utsman, dia berkata kepada Ali,
jika dia terpilih sebagai khalifah, maka berlaku Adillah,
dan jika Utsman yang terpilih maka taatlah kepada Utsman.
Peristiwa inilah yang menjadi awal dibai‟atnya Utsman
sebagai khalifah pengganti Umar berdasarkan konsensus para
sahabat. 4
d) Khalifah Ali ibn Abi Thalib (35-40 H / 656-661 M)
Terdapat perbedaan pendapat antara pemilihan Abu
bakar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Ketika kedua pemilihan
Khalifah terdahulu (Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Ustman
ibn Affan), terdapat beberapa orang yang menentangnya, tetapi
setelah calon terpilih dan diputuskan menjadi Khalifah, semua
orang menerimanya dan ikut berbaiat serta menyatakan
kesetiaannya. Namun lain halnya ketika pemilihannya Ali bin
Abi Thalib, justru sebaliknya. Setelah terbunuhnya Utsman bin
Affan, masyarakat beramai-ramai datang dan membaiat Ali bin
Abi Thalib sebagai Khalifah. Beliau diangkat melalui
pemilihan dan pertemuan terbuka sehingga Ali terpilih secara
aklamasi. Akan tetapi suasana pada saat itu sedang kacau,
karena hanya ada beberapa tokoh senior masyarakat Islam
yang tinggal di Madinah. Pada awalnya Ali tidak ingin menjadi
khalifah pengganti Ustman karena pergolakan sosial politik
yang terjadi pada waktu itu. akan tetapi dengan
mempertimbangkan kepentingan-kepentingan umat Islam,
akhirnya dia setuju untuk menerima tanggungjawab sebagai

4
Nadirsah Hawari, “Mencermati Isu Nepotisme Kepemimpinan Utsman Bin„Affan,”
dalam Jurnal TAPIs, Prodi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung,
Vol.8 No.1, (Tahun 2012), hlm. 45
7

khalifah. Meskipun keabsahan pengangkatan Ali bin Abi


Thalib ditolak oleh sebagian masyarakat termasuk Mu‟awiyah
bin Abi Sufyan. Meskipun hal itu terjadi, Ali masih menjadi
Khalifah dalam pemerintahan Islam. Pro dan kontra terhadap
pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah masih
terjadi. Beberapa kelompok masyarakat tidak suka kepada Ali
seperti keluarga Mu‟awiyah.5

2. Kelahiran Dinasti
Pasca runtuhnya rezim khulafaurrasyidun terjadi perubahan
mendasar yang pertama kali terjadi ialah dalam pokok undang-undang
yang mengatur tentang cara pengangkatan seorang pemimpin umum.
Kaidah yang diikuti adalah tidak dibenarkannya daya-upaya seseorang
untuk dapat menduduki jabatan khalifah atau meraih kekuasaan
dengan usaha dan rencananya sendiri. Rakyatlah yang meletakkan
kendali pemerintahan, setelah melakukan musyawarah untuk
menentukan orang yang berhak memegang kendali kekuasaan. Oleh
sebab itu maka bai‟at yang diberikan oleh rakyat kepada seseorang
sama sekali bukan merupakan akibat adanya kekuasaan, tetapi bai‟at
justru merupakan pemberian kekuasaan. Sehingga seseorang tidak
akan menjadi penguasa sebelum adanya bai‟at dari rakyat yang
dilakukan secara sukarela dan bebas.
Setelah Umar wafat, khalifah selanjutnya adalah Sayyidina
Usman bin Affan (644-656 M). Di sini gelombang ekspansi pertama
berhenti. Pasalnya, terjadi perbedaan pendapat di antara umat Islam
dalam urusan pemerintahan dan mengakibatkan kekacauan hingga

5
Muhlis, “Islam Masa Khulafaur Rasyidin,” http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-
masa-khulafaur-raosyidin.pdf, ( d i akses 23 Maret 2024).
8

Usman meninggal dunia. Pengganti Usman, Sayyidina Ali bin Abi


Thalib menjadi khalifah keempat (656-661 M). Pengikut Usman,
khususnya Mu'awiyah bin Abu Sufyan, menantang kepemimpinan Ali
bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib dibunuh seperti Usman, yang
kemudian Hasan bin Ali dibai’at menggantikan jabatan Ali bin Abi
Thalib. Mu’awiyah tidak senang dengan pengangkatan Hasan bin Ali
tersebut, sehingga Mu’awiyah mengatur strategi untuk merebut
kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali. Untuk mengatasi hal tersebut,
Hasan bin Ali melakukan negosiasi dengan Mu’awiyah untuk
mengakhirinya. Peristiwa penyerahan kekuasaan yang dilakukan oleh
Hasan bin Ali kepada Mu’awiyah yang terjadi di Kota Maskin disebut
dengan ‘Am al-Jama’ah (Tahun Perdamaian) dan kemudian
Mu'awiyah menjadi pemimpin pemerintahan Islam.
Ketika rezim Bani Umayyah berkuasa terjadi “pertentangan”
antara kaidah pengangkatan pemimpin pada masa rezim khilafah
rasyidah dan rezim Bani Umayyah. Perubahan itu terjadi ketika
pengangkatan Mu‟awiyah sebagai khalifah. Mu‟awiyah memiliki
ambisi yang kuat untuk menjadi seorang khalifah sehingga dia bisa
saja menggunakan cara apapun untuk memperoleh kekuasaan khalifah.
Peperangan tidak bisa terhindarkan lagi ketika ambisinya sebgai
khalifah tidak bisa terbendung. Selain itu ketika Mu‟awiyah berhasil
menjabat sebagai khalifah, tidak ada lagi proses musyawarah seperti
yang dipraktekkan pada zaman Rasulullah Saw., dan
Khulafaurrasyidu>n. Melainkan ia telah menjadi pemimpin dengan
menggunakan pedang dan kekuatannya. Ketika rakyat banyak melihat
bahwa Mu‟awiyah sebagai khalifah atas mereka secara bilfi‟li (de
fakto), tidak ada lagi pilihan lain bagi mereka kecuali memberikan
bai‟atnya kepada Mu‟awiyah. Kalau tidak justru akan terjadi
9

kekacauan dan pertumpahan darah yang berkepanjangan. Kekacauan


seperti ini tentunya tidak dapat diutamakan atas ketertiban dan
keamanan. Oleh sebab itu para sahabat dan tabi‟in sepakat untuk
memberikan bai‟atnya kepada Mu‟awiyah setelah pengunduran diri
Hasan bin Ali r.a dari jabatan khalifah pada tahun 41 Hijriyah. Maka
dinamakan dengan „amul-Jama>‟ah atau tahun penyatuan seluruh
umat, berdasarkan berhentinya perang di antara rakyat dalam negeri.
Inilah sejarah lahirnya dinasti dalam Islam yang penuh
dinamika. Lahirnya dinasti dalam sejarah peradaban islam dimulai
munculnya dinasti Umayyah dan dinasti-dinasti selanjutnya.6
B. KEKHALIFAAN SEBAGAI INSTITUSI POLITIK

Khalifah, dalam konteks sejarah Islam, merujuk pada kepemimpinan


politik yang berpusat pada otoritas agama dan pemerintahan. Institusi khalifah
awalnya muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M.
Khalifah pertama adalah Abu Bakar, yang dipilih oleh para sahabat Nabi
sebagai pemimpin umat Islam.
Di dalam bahasa Arab, Politik dikenal dengan istilah siyasah. Oleh
sebab itu, di dalam buku-buku para ulamasalafush shalih dikenal istilah siyasah
syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa – yasûsu.
Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa
radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila
dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Jadi,
asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan
pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-
urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut

6
Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Umayyah I di Damaskus, (Jakarta: Bulan Bintang, ttt), hlm.
52.
10

dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil
amrimengurusi (yasûsu) rakyatnya, mengaturnya, dan menjaganya. Dengan
demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah),
pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan.

Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam


sabdanya : “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para
nabi(tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang
menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para
khalifah”.Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah
mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti
memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan
kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh
kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa
dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya,
menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada
saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam
banyak haditsterkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah
SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
“Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia
bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak
memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka.”
(HR. Al Hakim).

Lembaga atau Institusi Politik mempelajari aturan, praktik, dan


keteraturan formal dan informal di tingkat domestik dan internasional yang
memandu dan membatasi pilihan dan aktivitas politik. Hal ini berkaitan dengan
kemunculan, dinamika, dan konsekuensi institusi dalam rezim otoriter dan non-
11

otoriter. Fokus ini mencakup rancangan konstitusi dan bagaimana organisasi


badan legislatif, partai, lembaga peradilan, pasar, dan struktur sosial lainnya
membentuk hubungan antara individu dan negara, dan pada gilirannya, faktor-
faktor yang membentuk kemunculan dan evolusi lembaga-lembaga tersebut.

Membahas tentang politk dan hubungan nya dengan khalifah, jelas


berdasarkan defenisi politik dari hadist Muhammad SAW. dan juga defenisi
dari institusi politik itu sendiri. Bahwa khalifah bukan sekedar satu orang
pemimpin namun merupakan satu kesatuan penguasa yang mengatur sistem
dalam wilayah secara adil demi memakmurkan suatu kaum atau masyarakat.
Seorang khalifah tentu tidak bisa melakukan suatu hal yang besar tanpa adanya
bantuan dari beberapa pihak. Proses pemilihan khalifah juga memelurkan
mekanisme yang jelas demi keutuhan politik dan kesempurnaan khalifah
sebagai Institusi Politik.
Sebagai institusi politik, khalifah memiliki beberapa karakteristik:
1. Otoritas Agama: Khalifah dianggap sebagai pemimpin politik dan spiritual
umat Islam. Kekuasaan dan legitimasi mereka berasal dari ajaran Islam dan
dianggap sebagai penerus Nabi Muhammad dalam memimpin umat.
2. Kepemimpinan Pemerintahan: Khalifah bertanggung jawab atas
pemerintahan, legislatif, dan yudikatif dalam kerangka hukum Islam.
Mereka memiliki otoritas untuk membuat keputusan politik, mengelola
keuangan negara, serta menjaga ketertiban dan keamanan.
3. Konsultasi dan Kepemimpinan Bersama: Tradisi syura, atau konsultasi,
menjadi penting dalam keputusan politik di dalam sistem khalifah. Khalifah
sering berdiskusi dengan para pemimpin dan cendekiawan Islam serta
mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak sebelum membuat
keputusan besar.
12

4. Pemeliharaan Keadilan: Salah satu peran utama khalifah adalah


memastikan keadilan sosial dan hukum di dalam masyarakat. Mereka
diharapkan untuk menegakkan hukum Islam secara adil dan memberikan
perlindungan terhadap hak-hak warga negara
5. Pengembangan dan Perlindungan Wilayah Islam: Khalifah bertanggung
jawab atas pengembangan wilayah Islam, baik melalui penaklukan maupun
melalui perjanjian dan diplomasi. Mereka juga bertugas untuk melindungi
wilayah Islam dari ancaman eksternal.
6. Pemberdayaan Masyarakat: Salah satu tujuan khalifah adalah
meningkatkan kesejahteraan umat Islam melalui pembangunan
infrastruktur, pelayanan sosial, dan pendidikan.
Perlu dicatat bahwa konsep khalifah dalam sejarah Islam telah
mengalami berbagai interpretasi dan implementasi sepanjang sejarah, dan
berbagai kerajaan Islam memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda.
Meskipun khalifah sebagai institusi politik pernah berjaya pada masa lalu,
keberadaannya dalam bentuk yang sama seperti pada masa awal Islam tidak
ada lagi pada zaman modern, meskipun beberapa kelompok atau organisasi
mungkin memperjuangkan ideologi atau konsep yang serupa.7

7
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran), edisi ke-5
(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993), hlm. 35.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masa khulafaur rasyidin, yang terdiri dari Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, dianggap sebagai periode
keemasan dalam sejarah Islam. Mereka dianggap sebagai khalifah yang
paling adil dan dihormati dalam tradisi Islam. Setelah masa khulafaur
rasyidin, terjadi peralihan kekuasaan ke dinasti Umayyah dan kemudian
Abbasiyah. Era kekhalifahan ini ditandai dengan ekspansi wilayah Islam,
perkembangan ilmu pengetahuan, seni, dan kebudayaan Islam, serta
penyebaran agama Islam ke wilayah-wilayah baru.

Khalifah sebagai institusi politik tidak hanya merupakan


kepemimpinan politik biasa, tetapi juga memiliki dimensi agama yang kuat
dan berperan dalam menjaga stabilitas, keadilan, serta kesejahteraan umat
Muslim.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini penulis berharap semoga pembaca dan


penulis mendapatkan pahala dan ilmu yang bermanfaat dan bisa lebih
meningkatkan serta memahami terkait Pemikiran Politik Kaum Khawarij.
Penulis juga mengharapkan kritikan dan saran kepada pembaca agar dalam
penilisan makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung, dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik


Hingga Modern, cet. ke-4, Yogyakarta: LESFI, 2012.
Barong, Haidar, Umar Bin Khattab Dalam Perbincangan (Penafsiran Baru),
cet. ke-1, Jakarta: Yayasan Cipta Persada Indonesia, 1994.
Hawari, Nadirsah, “Mencermati Isu Nepotisme Kepemimpinan Utsman Bin
„Affan,” dalam Jurnal TAPIs, Prodi Pemikiran Politik Islam Fakultas
Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Vol.8 No.1, Tahun 2012.
Muhlis, “Islam Masa Khulafaur Rasyidin,” http://muhlis.files.wordpress.com/
2007 /08/islam-masa-khulafaur- raosyidin.pdf.
Sawiy, Khairudin Yujah, Perebutah Kekuasaan Khalifah (Mengungkap
Dinamika dan Sejarah Politik Kaum Sunni), cet. ke-2, Yogyakarta:
Safiria Insania Press, 2005.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran),
edisi ke-5 Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993
Sou‟yb, Joesoef, Sejarah Daulat Umayyah I di Damaskus, Jakarta: Bulan
Bintang, ttt.

14

Anda mungkin juga menyukai