Anda di halaman 1dari 23

POSTMODERNISME : SEJARAH DAN

PERKEMBANGANNYA

Muhammad Nabil Fadila (201846500746)


Imam Fathur Rahman (201846500761)
Leonard Ari Raharja (201846500776)
Arvan Rusdiansyah (201846500790)

UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
DESAIN KOMUNIKASI VISUAL
2019

1
Daftar Isi
1. Pendahuluan……………………………………………………………….3
2. BAB I : Pengertian Modernisme…………………………………………..5
3. BAB II : Lahirnya Fenomena Postmodernisme…………………………...7
4. BAB III : Perkembangan Kebudayaan Postmodernisme………………...10
5. BAB IV : Implikasi Dari Postmodernisme……........................................15
6. Kesimpulan………………………………………………………………21
7. Daftar Pustaka……………………………………………………………23

2
PENDAHULUAN

Perkembangan pemikiran dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan


dalam berbagai hal, tentunya hal itu tidak lepas dari keinginan manusia yang
selalu menginginkan sebuah perubahan karena bertambahnya persoalan dan juga
kebutuhan. Kalau kita kembali pada masa terdahulu tentunya tidak mengherankan
lagi terhadap sebuah perkembangan dalam berbagai ranah kehidupan, terlebih lagi
dalam soal keilmuan. Kehidupan terus berputar dan berkembang seiring dengan
semakin bertambahnya manusia sehingga melahirkan pemikiran dan terus
berupaya untuk mengembangkan kehidupannya dalam berbagai hal.

Demikian juga dalam hal ilmu pengetahuan tentunya selalu mengalami


perkembangan dari tahun ketahun ataupun dari abad ke abad. Karena sifat dari
manusia yang memang selalu tidak merasa puas terlebih dalam hal keilmuan.
Akibat dari hasil pemikiran yang telah ada, mereka akan berfikir untuk dapat
mengembangkan bahkan melakukan sebuah pengujian ulang terhadap hasil
penemuan yang telah lalu. Misalkan dalam bidang filsafat kita mengenal yang
namanya Anaximander (610-546 SM) yang mengatakan bahwa substansi asal itu
bukan air. Berbeda dengan filosof sebelumnya Thales (624-545 SM) mengatakan
bahwa zat pertama dan utama terbentuknya sesuatu itu adalah air (Maksum, 2012:
44-45). Dan seterusnya mengalami perubahan dan perkembangan tentunya dalam
rangka untuk menuju pada suatu yang lebih sempurna seiring dengan
perkembangan dan kemajuan pemikiran manusia. Sama halnya dengan
postmodernisme yang muncul diakibatkan karena kegagalan Modernisme dalam
mengangkat martabat manusia. Bagi postmodernisme, paham modernisme selama
ini telah gagal dalam menepati janjinya untuk membawa kehidupan manusia
menjadi lebih baik dan tidak adanya kekerasan. Perkembangan ilmu pengetahuan

3
dan teknologi masa modernisme membawa kehancuran bagi manusia, peperangan
terjadi dimana-mana yang hal ini mengakibatkan manusia hidup dalam menderita.
Pandangan modernisme menganggap bahwa kebenaran ilmu pengetahuan harus
mutlak serta objektif, tidak adanya nilai dari manusia. Di sinilah muncul suatu
paham postmodernisme yang merupakan kelanjutan, keterputusan, dan koreksi
dari modernisme untuk memberikan suatu pemikiran baru dan solusi dalam
menjalani kehidupan yang semakin kompleks ini. Bagi postmodernisme ilmu
pengetahuan tidaklah objektif tetapi subjektif dan interpretasi dari manusia itu
sendiri, sehingga kebenarannya adalah relatif.

Dalam penulisan ini kami akan membahas secara fokus dan rinci terhadap
paham postmodernisme yang merupakan pengembangan pemikiran tentang ilmu
pengetahuan, yang merupakan pergeseran, perkembangan bahkan kelanjutan dari
modernisme itu sendiri. Mulai dari apa itu pemikiran postmodernisme, sejarah
lahirnya, perkembangan hingga ke implikasi yang dirasakan dalam berbagai
bidang.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam


penelitian ini adalah apa itu pemikiran postmodernisme dan dampaknya pada
khasanah ilmu pengetahuan? Sedangkan tujuan penelitian ini untuk mengetahui
pemikiran postmodernisme itu sendiri.

4
BAB I
PENGERTIAN POSTMODERNISME

Istilah ‘postmodern’ mengandung berbagai pengertian. Secara kebahasaan, ‘post’


(atas beyond) berarti sesudah, lepas (sedangkan beyond berarti di luar atau
mengatasi modern). Dengan demikian, postmodern berarti filsafat atau pemikiran
yang berkembang sesudah atau mengatasi era Modern. Tetapi, ada yang
mengartikan postmodern (seperti Jurgen Habermas) bukan sebagai kebudayaan
atau pemikiran yang berbeda atau terputus dari budaya dan pemikiran modern,
akan
tetapi kebudayaan dan pemikiran postmodern sekadar lanjutan dari modern
dengan mencoba mengatasi berbagai kekurangan yang timbul dalam budaya dan
pemikiran modern itu. Sementara pemikir yang lain menganggap bahwa
postmodern itu sebagai pemikiran dan budaya yang mencoba mengambil dari
kebudayaan klasik, modern dan postmodern berbagai hal yang dianggap baik,
sebagai dasar untuk pemikiran dan budaya postmodern itu. Dalam pandangan ini
postmodern dapat disebut sebagai sintesa atau perpaduan pemikiran dan
kebudayaan klasik, modern, dan postmodern ke dalam cara berpikir atau
kebudayaan baru (Lubis, 2014: 14). Postmodern diwujudkan sebagai manifesto
kehidupan kontemporer yang mendialektikakan realitas modernisme dengan
postmodernisme sehingga muncullah khazanah baru pemikiran.

Postmodernisme mengacu kepada pandangan bahwa institusi dan


karakteristik cara hidup modernitas telah digantikan oleh institusi baru sehingga
pada batas tertentu tidak mungkin lagi memandang abad ke-21 sebagai
kesinambungan modernitas. Dengan kata lain, modernitas sudah berakhir dan kini
setiap pribadi hidup dalam zaman baru, postmodernitas, dan setiap orang pastinya
membutuhkan cara-cara baru untuk menjadikan masuk akal dunia yang
ditransformasi ini. Fakta ini sebagaimana disampaikan oleh Pip Jones atas

5
penjelasannya mengenai pemikiran Bauman, yaitu “suatu teori
postmodernitas.....bukanlah modifikasi dari teori modernitas...teori
postmodernitas itu memiliki perbendaharaannya sendiri. Sebaliknya,
postmodernisme, meskipun jelas memiliki hubungan erat dengan postmodernitas,
adalah suatu istilah yang lebih merujuk kepada cara-cara baru dalam pikiran—
cara-cara baru untuk memahami gagasan, keyakinan, dan pengetahuan— daripada
cara-cara baru untuk hidup dan mengorganisasi persoalan-persoalan sosial.

Jean-Francois Lyotard adalah orang yang memperkenalkan


postmodernisme dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan di tahun 1970-an
dalam bukunya yang berjudul “The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge”. Dia mengartikan postmodernisme sebagai segala kritik atas
pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas
modernisme (Maksum, 2014: 305-306). Menurut beberapa para ahli yang lainnya,
seperti Louis Leahy, postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang
menggantikan ideide zaman modern (Leahy, 1985: 271). Menurut Emanuel,
postmodernisme adalah keseluruhan usaha yang bermaksud merevisi kembali
paradigma modern (Emanuel, 2006: 93). Sedangkan menurut Ghazali dan Effendi,
postmodernisme mengoreksi modernisme yang tidak terkendali yang telah muncul
sebelumnya (Ghazali & Effendi, 2009: 161).

Maka dapat disimpulkan bahwa postmodernisme merupakan suatu ide


baru yang menolak atau pun yang termasuk dari pengembangan suatu ide yang
telah ada tentang teori pemikiran masa sebelumnya yaitu paham modernisme yang
mencoba untuk memberikan kritikan-kritikan terhadap modernisme yang
dianggap telah gagal dan bertanggung jawab terhadap kehancuran martabat
manusia; ia merupakan pergeseran ilmu pengetahuan dari ide-ide modern menuju
pada suatu ide yang baru yang dibawa oleh postmodernisme itu sendiri.

6
BAB II :

LAHIRNYA FENOMENA POSTMODERNISME

Kebangkitan masyarakat Eropa dari hegemoni gereja menjadi periode


kebangkitan mereka akan kesadaran persepsional terhadap pemikiran Yunani.
Periode ini umumnya dibagi menjadi dua, yakni masa Renaisans dan masa
Pencerahan. Masa Renaisans (abad ke-14 hingga ke-17) dan pencerahan (abad ke-
18) adalah periode yang menjembatani Abad Pertengahan ke Abad Modern.
Banyak ilmuwan dan filsuf memasukkan zaman ini ke dalam zaman Modern.
Zaman Pencerahan (Age of Reason, Enlightenment, Aufklarung) adalah zaman
yang menghasilkan pemikiran yang sangat berpengaruh bagi seluruh aspek
kebudayaan modern. Pada masa Renaisans muncul kembali upaya
membangkitkan kebebasan berpikir seperti masa Yunani. Kombinasi filsafat
Yunani dan humanisme telah melahirkan kebebasan indvidu pada zaman itu.
Manusia sebagai individu menjadi pusat segala-galanya. Karyakarya agung dalam
seni lukis dan pahat dalam era ini misalnya menonjolkan keagungan manusia.
Adapun otoritas gereja mulai memudar dan mulai berkembang ketidakpercayaan
pada kebenaran mutlak agama (Kristen). Mulai pula berkembang bibit reformasi
yang berbuah pada abad ke-16/17 dengan pemisahan Protestan dan Katolik.

Pada abad ke-16 dan ke-17 muncul apa yang disebut dengan era Revolusi
Ilmiah (Age of the Scientific Ravolution) di Eropa. Semangat ilmiah yang
dipengaruhi ilmu pengetahuan dan alam (pengaruh Newton) ini merembes ke
bidang ilmu lain seperti Charles Darwin melalui teori evolusinya yang mencoba
merumuskan biologi sebagaimana hukum fisika Newton. Melalui teori seleksi
alam, manusia dilihat sebagai hasil seleksi alam, dan evolusi berjalan tanpa
adanya campur tangan Pencipta (Tuhan). Newton dan Darwin dianggap sebagai

7
dua pemikir yang sukses dalam mengembangkan tatanan dunia yang mekanis
(sekularisme) yang menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan modern.

Munculnya postmodernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu


sendiri. Kata modernisme mengandung makna serba maju, gemerlap, dan
progresif. Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa pada
perubahan ke dunia yang lebih mapan di mana semua kebutuhan akan dapat
terpenuhi. Rasionalitas akan membantu kita menghadapi mitos-mitos dan
keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat manusia tak
berdaya dalam menghadapi dunia ini (Maksum, 2014: 309). Namun demikian,
modernism memiliki sisi gelap yang menyebabkan kehidupan manusia kehilangan
diorientasi. Apa yang dikatakan oleh Max Horkheimer, Ardono, dan Herbert
Marcuse bahwa pencerahan tersebut melahirkan sebuah penindasan dan dominasi
disamping juga melahirkan kemajuan. Modernisme, menurut Anthony Giddens,
menimbulkan berkembangbiaknya petaka bagi umat manusia. Pertama,
penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa. Kedua, penindasan oleh
yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian parah. Keempat,
kerusakan hidup yang kian menghawatirkan (Maksum, 2014: 311).

Tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme dapat kita


ketahui dari pemikiran filsafatnya Soren Kierkegaard (1813-1855), sebagaimana
dikutip oleh Ali Maksum, yang menentang rekonstruksi-rekonstruksi rasional dan
masuk akal yang menentukan keabsahan kebenaran ilmu. Sesuatu itu dikatakan
benar ketika sesuai dengan konsensus atau aturan yang berlaku di dunia modern,
yaitu rasional dan objektif. Namun tidak dengan Kierkegaard, dia berpendapat
bahwa kebenaran itu bersifat subjektif (Ghazali & Effendi, 2009: 314). Truth is
subjectivity, artinya bahwa pendapat tentang kebenaran subjektif itu menekankan
pentingnya pengalaman yang dialami oleh seorang individu yang dianggapnya
relative.

8
Gejala Postmodernisme yang merambah ke berbagai bidang kehidupan
tersebut yang didalamnya termasuk ilmu pengetahuan merupakan suatu reaksi
terhadap gerakan modernisme yang dinilainya mengalami kegagalan. Modernisme
yang berkembang dengan ditandai oleh adanya rasionalisme, materialisme, dan
kapitalisme yang didukung dengan perkembangan teknologi serta sains
menimbulkan disorientasi moral keagamaan dengan runtuhnya martabat manusia
(Kalean, 2002: 298).

9
BAB III :

PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN POSTMODERNISME

Zaman postmodern merupakan percampuran tradisi-tradisi pada masa lalu.


Postmodern adalah lanjutan atau bahkan pembaharu dari zaman modern. Didalam
zaman postmodern banyak mengalami perubahan yang lebih kritis.

Postmodernisme menawarkan ciri-ciri yang bertolak belakang dengan


watak era pendahulunya, yakni:menekankan emosi ketimbang rasio, media
ketimbang isi, tanda ketimbang makna, kemajemukan ketimbang penunggalan,
kemungkinan ketimbang kepastian, permainan ketimbang keseriusan, keterbukaan
ketimbang pemusatan, yang lokal ketimbang yang universal, fiksi ketimbang
fakta, estetika ketimbang etika dan narasi ketimbang teori (Ariel Heryanto, 1994 :
80).

Pada masa ini filsafat menghasilkan aliran-aliran, diantaranya yaitu:

 Aliran pragmatisme
 Alran fenomelogi
 Aliran eksistensialisme
 Aliran strukturalisme, dan
 Aliran Postmodernisme

TOKOH-TOKOH POSTMODERNISME
Ada beberapa tokoh yang bisa disebut mewakili era Postmodernisme. Pertama,
Jean-Francois Lyotard, merupakan salah satu filsuf postmodernisme yang paling
terkenal sekaligus paling penting di antara filsuf-filsuf postmodernisme yang

10
lainnya. Dua karya yang menjadikannya terkenal baik di Perancis maupun diluar
negeri yaitu The Postmodernisme Condition dan The Differend. Karyanya itu juga
baik sesuatu ataupun seseorang yang ditolak bersuara terhadap system ideologis
yang dominan yang menentukan sesuatu yang dapat diterima dan tidak dapat
diterima (Zaprulkhan, 2006: 320). Pemikiran Lyotard tentang ilmu pengetahuan
dari pandangan modernisme yang sebagai narasi besar seperti kebebasan,
kemajuan, dan sebagainya kini menurutnya mengalami permasalahan yang sama
seperti abad pertengahan yang memunculkan istilah religi, nasional kebangsaan,
dan kepercayaan terhadap keunggulan negara eropa untuk saat ini tidak dapat
dipercaya atau kurang tepat kebenarannya. Maka, postmodernisme menganggap
sesuatu ilmu tidak harus langsung diterima kebenarannya harus diselidiki dan
dibuktikan terlebih dahulu. Bagi Lyotard, ilmu pengetahuan postmodernisme
bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa, ilmu pengetahuan postmodern
memperluas kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat
kemampuan kita untuk bertoleransi atas pendirian yang tak mau dibandingkan
(Maksum, 2014: 319-321).

Kedua, Michel Foucault, adalah seorang tokoh postmodernisme yang


menolak keuniversalan pengetahuan. Ada beberapa asumsi pemikiran pencerahan
yang ditolak oleh Foucault yaitu:
1) Pengetahuan itu tidak ersifat metafisis, transendental, atau universal, tetapi
khas untuk setiap waktu dan tempat
2) Tidak ada pengetahuan yang mampu menangkap katakter objektif dunia,
tetapi pengetahuan itu selalu mengambil perspektif.
3) Pengetahuan tidak dilihat sebagai pemahaman yang netral dan murni,
tetapi selalu terikat dengan rezim-rezim penguasa (Maksum, 2014: 322).
Namun demikian, menurut Foucault, tidak ada perpisahan yang jelas, pasti, dan
final antara pemikiran pencerahan dan pasca-modern, atau antara modern dan
pasca-modern. Paradigma modern, kesadaran, dan objektivitas adalah dua unsur
membentuk rasionalotonom, sedangkan bagi Foucault pengetahuan bersifat
subjektif.

11
Ketiga, Jacques Derrida. Membahas filsuf yang satu ini tidak akan lepas dari buah
pikirannya tentang dekonstruksi. Istilah ini merupakan salah satu konsep kunci
postmodernisme. Apa itu dekonstruksi? Secara etimologis, dekonstruksi adalah
berarti mengurai, melepaskan, dan membuka (Maksum, 2014: 331). Derrida
menciptakan sebuah pemikiran dekonstruksi, yang merupakan salah satu kunci
pemikiran postmodernisme, yang mencoba memberikan sumbangan mengenai
teori-teori pengetahuan yang dinilai sangat kaku dan kebenarannya tidak bisa
dibantah, yang dalam hal ini pemikiran modernisme. Derrida mencoba untuk
meneliti kebenaran terhadap suatu teori pengetahuan yang baginya bisa dibantah
kebenarannya yang dalam arti bisa membuat teori baru asalkan hal tersebut dapat
terbukti kebenarannya dan dipertanggungjawabkan.

Dekonstruksi berasal dari Bahasa


Prancis Deconstruire yang berarti membongkar mesin, akan tetapi membongkar
untuk dipasang kembali. Karena itu, dekonstruksi berarti positif karena
membongkar dan menjungkirbalikkan makna teks tapi bukan dengan tujuan
membongkar saja, akan tetapi membangun teks atau wacana baru dengan makna
baru yang berbeda dengan teks yang didekonstruksi. Metode dekonstruksi sendiri
bertolak dari kritik Derrida terhadap metode hermeneutika modern yang
berasumsi dapat memahami makna teks secara objektif serta kritik Derrida
terhadap strukturalisme Saussure yang menganggap adanya makna kata yang
stabil dan objektif. Dekonstruksi Derrida menolak pandangan yang menyatakan
kesejajaran atau kesamaan antara bahasa dengan realitas. Artinya, menolak bahasa
(teori) sebagai pencerminan realitas secara transparan sebagaimana diakui
pendukung positivisme logis. Derrida menolak metafisika kehadiran karena
menurutnya pandangan ini didasarkan atas ajaran metafisika dalam filsafat Barat
yang mengakui adanya “pusat”, “logos” atau “telos” yang dapat mencapai/meraih
makna mendalam (kebenaran esensial). Pandangan ini yang disebut Derrida
dengan “metafisika kehadiran”. Derrida menggunakan istilah “metafisika” bagi
filsafat yang mencari kebenaran mutlak, kebenaran yang berada di luar (meta)

12
fenomena fisik itu. Metafisika seperti “teologi” menurut Derrida adalah upaya
mencari dasar yang mutlak dan kemudian memaksakan dasar atau prinsip yang
mutlak itu berlaku dan menjadi dasar bagi semua realitas. Padahal, menurut
Derrida, prinsip dasar itu sesungguhnya beragam dan juga kesatuan.

Keempat, Jean Baudrillard; pemikirannya memusatkan perhatian kepada


kultur, yang dilihatnya mengalami revolusi besar-besaran dan merupakan bencana
besar. Revolusi kultural itu menyebabkan massa menjadi semakin pasif
ketimbang semakin berontak seperti yang diperkirakan pemikir marxis. Dengan
demikian, massa dilihat sebagai lubang hitam yang menyerap semua makna,
informasi, komunikasi, pesan dan sebagainya, menjadi tidak bermakna. Massa
menempuh jalan mereka sendiri, tak mengindahkan upaya yang bertujuan
memanipulasi mereka. Kekacauan, apatis, dan kelebaman ini merupakan istilah
yang tepat untuk melukiskan kejenuhan massa terhadap tanda media, simulasi,
dan hiperealitas (Maksum, 2014: 338). Bagi Jean Baudrillard, karya-karyanya
mempunyai sumbangan terhadap pemikiran teori sosial untuk postmodernisme
yang baginya bahwa objek konsumsi merupakan tatanan produksi. Sehingga
baginya masyarakat hidup dalam simulasi yang dicirikan dengan
ketidakbermaknaan. Karena manusia kehilangan identitasnya dan jati dirinya yang
banyak terjadi pada masa kontenporer. Tokoh inilah yang terkenal dengan
menyebut dunia postmodernisme sebagai kehidupan yang Hiperealitas.

Kelima, Fedrick Jameson. Ia merupakan salah satu kritikus literatur


berhaluan marxis paling terkemuka. George Ritzer dalam Postmodern Social
Theori, menempatkan Jameson dengan Daniel Bell, kaum feminis dan teoritis
multikultur. Jameson menggunakan pola berfikir Marxis untuk menjelaskan epos
historis yang baru (postmodernisme), yang baginya bukan modification dari
kapitalisme, melainkan ekspansi darinya. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa
periode historis yang ada sekarang bukanlah keterputusan, melainkan
kelanjutannya (Maksum, 2014: 339). Menurut Jameson, postmodernisme
memiliki dua ciri utama, yaitu pastiche dan schizofrenia. Jameson mulai dengan

13
menjelaskan bahwa modernisme besar didasarkan pada gaya yang personal atau
pribadi.
Subjek individual borjois tidak hanya merupakan subjek masa lalu, tapi juga mitos
subjek yang tidak pernah benar-benar ada, hanya mistifikasi, kata Jameson, yang
tersisa adalah pastiche. Pastiche dari pastiche, tiruan gaya yang telah mati. Kita
telah kehilangan kemampuan memposisikan ini secara historis. Postmodernisme
memiliki konsep waktu yang khas. Jameson, menjelaskan apa yang ia maksudkan
dengan menggunakan teori schizofrena lacan. Schizofrenik adalah pengalaman
penanda material yang terpisah, terisolir, dan gagal membentuk rangkaian yang
koheren (Hidayat, 2008: 227).

14
BAB IV :

Implikasi Pemikiran Postmdernisme

Postmodernisme tetap menjadi trending wacana yang banyak


diperbincangkan oleh para ilmuan sosial-budaya saat ini. Saya menganggap
bahwa aliran pemikiran (paradigma) postmodernisme ini sebagai sebuah “cerita”
yang belum selesai karena; pertama, aliran pemikiran ini masih dalam perdebatan
dan diskusi yang luar biasa di kalangan para cendikiawan sosial-budaya.
Meclenna (dalam McRobbie, 2011: 4) mengatakan bahwa “Dunia akan makin
rusak oleh penindasan, kebodohan dan kurang gizi… karena intelektual-
intelektual penting mengganti keseriusan dengan jalinan permainan bahasa yang
berkelap-kelip”. Ini adalah salah satu bentuk sindiran yang dilontarkannya dalam
menanggapi wacana postmodernisme, dan ini menunjukkan bahwa pemikiran ini
masih dalam perdebatan. Kedua, dalam sub-bab ini, saya juga berusaha melihat
postmodernisme dari dua sisi yang berlawanan, dalam pengertian di samping
menyajikan pemikiran postmodernisme secara teoritis, saya juga akan melihatnya
dalam kaca mata kritis terhadap teori-teori dan aplikasi yang terdapat dalam
pemikiran ini. Sebagaimana tujuan utama dari tulisan ini untuk menganalisa dan
memunculkan pemikiran kritis terhadap pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam
paradigma postmodernisme ini.

a) Dunia Ekonomi dan Postmodernisme

Menurut Nugroho, dalam sejarah disiplin ilmu ekonomi, aliran neo-klasik


termasuk dalam aliran ortodoks yang juga dipandang sebagai aliran modernisme,

15
sementara postmodernisme dalam dunia ekonomi disamakan dengan aliran
ekonomi heterodoks. Ada beberapa aliran yang digolongkan dalam aliran
heterodoks (postmodernisme) dalam dunia ekonomi, yaitu: Aliran Kelembagaan
(Institusional), Aliran Sejarah (historis), Aliran Empirimentalis. Kehadiran
postmodernisme sebagai kritik terhadap grand theory dalam kaitannya dengan
dunia ekonomi, semisal Kapitalisme, sebenarnya juga tidak menjadi solusi cerdas
dalam masalah ekonomi. Ada beberapa kritik yang dilontarkan oleh Rosenau
(dalam Nugroho, 2006: 181) terhadap paradigma postmodernisme terkait dengan
dunia ekonomi, yaitu;
1. Postmodernisme yang hadir sebagai resisten terhadap pemikiran
modernisme sebenarnya tidak menawarkan jalan keluar yang lebih cerdas.
Bahkan menurut Rosenau, aliran pemikiran sosialisme atau marxisme
lebih menawarkan jalan keluar nyata terhadap masalah sosial-ekonomi
yang dihadapi oleh masyarakat.

2. Postmodernisme sangat sulit saat dijadikan pertimbangan untuk membuat


sebuah kebijakan. Sebagaimana dijelaskan bahwa salah satu ciri pemikiran
postmodernisme adalah menolak adanya generalisasi, padahal untuk
menciptakan sebuah kebijakan diperlukan suatu generalisasi, dalam artian
mustahil sang pembuat kebijakan mampu memenuhi keinginan setiap
individu yang terlibat dalam kebijakan itu nantinya.

3. Postmodernisme melayangkan kritik terhadap modernism dengan


mengatakan bahwa konsep modernisme sesuatu yang irrasional. Padahal
postmodernisme seringkali menawarkan solusi yang sebenarnya juga
irrasional, seperti dalam kasus pengambilan kebijakan di atas.

b) Kebenaran Absolut dan Dunia Agama: Sebuah Paradoks

Ciri pemikiran postmodernisme yang lain adalah menganggap nilai


kebenaran itu relative, dalam pengertian tidak ada kebenaran mutlak atau tidak
ada kebenaran absolut. Dalam hal ini, hal yang perlu kita lihat secara kritis adalah

16
ketika teori “tidak ada kebenaran absolute” digeneralkan dan berlaku dalam
semua aspek sosial, termasuk aspek agama. Pada masa modern, manusia
mengingkari agama karena pengaruh rasionalitas karena dianggap telah gagal
melanjutkan proyek pencerahannya, sementara pada masa postmodern ini manusia
mengingkari agama dengan irrasionalitas.

Saat ini, dimana pemikiran postmodernisme diagung-agungkan, di saat


yang bersamaan pula, banyak muncul aliran-aliran (isme) yang bisa juga dianggap
sebagai “agama” baru yang merupakan hasil sinkretisme dan pluralisme.
Bagaimana dengan kebenaran yang disampaikan agama, jika memang semua
agama itu benar atau semua agama itu salah, lantas kenapa harus ada banyak
agama di dunia? Dan jika tidak ada kebenaran absolute, lantas bagaimana
mungkin kaum postmodernis ini mengkritik pemikiran lainnya sementara tidak
ada tolak ukur yang pasti yang menjadi landasan berpikir? Ini merupakan sebuah
paradoks, dan jika terlalu dipaksakan, malah yang muncul kemudian adalah
paham “nihilisme”. Menurut penulis, jika memang tidak berlaku kebenaran
absolut, maka manusia bisa menjelma menggantikan “Tuhan” yang bisa
menentukan kebenaran. Dan bukankah ketika penganut postmodernisme ini
mengatakan “tidak ada kebenaran absolute” juga merupakan sebuah kebenaran
absolut?

c) Konsumerisme, Gaya Hidup dan Sosial-Budaya

Salah satu hal yang paling menonjol dari pemikiran postmodernisme


adalah menolak meta-narasi. Salah satu konsep metanarasi adalah materialisme.
Namun menjadi paradoks disini ketika masyarakat mengeluarkan kritik tajam
terhadap materialisme, tetapi di saat yang sama pula, pola hidup konsumerisme
semakin menguat dan mengakar. Katakanlah, pola konsumtif ini bagian daripada
ciptaan kapitalis demi keuntungan ekonomi yang berlipat, namun timbul
pertanyaan selanjutnya, bagaimana pihak kapitalis mengkampanyekan atau
menggiring masyarakat untuk pola hidup konsumtif? Jawabannya salah satunya,

17
media sangat berperan disini. Lantas, hadirnya media massa secara massif
bukanlah indikator dari bangkitnya dunia informasi? Dan sebagaimana yang telah
dijelaskan di awal, salah satu ciri postmodernisme ditandai dengan terbukanya
dunia informasi secara luas.

Ketika keberadaan media massa begitu berkuasa, secara tidak sadar


masyarakat terjerumus ke dalam pola dan gaya hidup yang ditawarkan media.
Gaya hidup sangat berkaitan erat dengan pembentukan identitas (cultural identity)
dan perbedaan (cultural difference) karena gaya hidup dibangun sebagai cara
untuk memperlihatkan identitas dan sebagai pembeda (Piliang, 2011: 237). Dalam
hal ini, masing-masing komunitas masyarakat menjalankan gaya hidup yang
berbeda dengan tujuan agar terlihat berbeda dengan komunitas yang lain dan
menjadi pertanda akan eksistensi komunitasnya. Dalam memenuhi hasrat inilah,
terkadang masyarakat tidak sadar terjerumus ke dalam pola hidup konsumtif yang
luar biasa.
Salah satu ciri penting lain dari pemikiran postmodrnisme adalah kritik terhadap
nalar modern yang menjunjung tinggi kesatuan atau homologi, sementara
postmodernisme lebih kepada menampilkan heterologi. Sejauh yang saya pahami,
dalam hal ini kaum postmodernisme menganggap tidak penting hal-hal yang
besifat penyatuan dan integrasi, namun lebih kepada merayakan setiap perbedaan
dan biarlah setiap perbedaan tu mengalir dengan sendirinya tanpa harus disatukan.
Disatu sisi, saya setuju dengan merayakan perbedaan, tanpa perlu dipaksa untuk
“menyatu” dalam sebuah kesatuan, namun disisi lain, jika kita terlalu bebas dalam
merayakan perbedaan, maka dikhawatirkan secara tidak sadar kebebasan yang
kita agungkan akan bertabrakan dengan kebebasan yang dimiliki orang lain.

d) Dunia Etika, Estetika dan Seni Arsitektur

Jika ditilik dari segi moralitas (etika), postmodernisme tidak lagi


melihatnya secara “general”. Maksudnya, jika sebelumnya persepsi mengenai
etika selalu dihubungkan dengan konsep komunal, dalam artian sesuatu dianggap

18
“etis”, ketika mayoritas masyarakat juga memiliki persepsi yang sama terhadap
sesuatu itu (menganggapnya etis), baik berupa seni, tindakan, maupun benda.
Sementara saat masa postmodernisme muncul, etika tidak lagi dinilai dalam
sesuatu penilaian yang “baku”, karena pemikiran postmodernisme berpendapat
bahwa perihal etika adalah masalah individual yang sifatnya pribadi dan tidak
terkait dengan orang lain. Nah, disini yang juga perlu dikaji dan dikritisi kembali.
Kita sadar bahwa manusia itu adalah makhluk komunal yang tidak mungkin bisa
hidup sendiri. Kebebasan yang keblablasan sangat mungkin untuk bersinggungan
dengan hak yang dimiliki oleh orang lain. Ketika perihal moralitas dikembalikan
ke masing-masing individu, sama artinya dengan mengatakan bahwa “hukum”
tidak lagi dibutuhkan di dunia ini karena masing-masing individu bisa mengatur
dirinya sendiri. Padahal, ketika hukum tidak ada, maka dunia akan menjadi lebih
bermasalah, karena itu moralitas bukanlah perihal individu, namun juga kewajiban
bersama untuk saling mengingatkan.

Aliran pemikiran postmodernisme dalam dunia arsitektur hadir sebagai


upaya penolakan terhadap gaya arsitektur pada zaman modern. Bahkan, aliran ini
dikenal luas sebagai aliran „Arsitektur Post-modern‟ yang awalnya dikonseosikan
oleh Charles Jenks pada tahun 1958 melalui bukunya yang terkenal The Failure
of Modern Architecture. Sebagaimana dijelaskan Jenks (dalam Pawitro) mengapa
gerakan arsitekstur postmodernisme hadir yaitu karena merasa bosan dengan
tampilan-tampilan bangunan bergaya modern yang cendrung sederhana dan
seragam, merasa bosan dengan tampilan bentuk bangunan yang terkungkung oleh
prinsip efisiensi dan efektivitas, menghilangnya identitas tempat atau lokasi
karena penekanan bangunan yang harus berbentuk kubisme dan geometric dan
juga akibat penetapan/pemilihan bentuk-bentuk yang rasional-goemetris tanpa
melihat pada aspek sejarah atau lokalitas. Kemudian prinsip-prinsip ini mulai
digugat oleh aliran arsitektur postmodernisme (Pawitro, 2010).

Jika merujuk pada dunia arsitektur postmodernisme, sepertinya tepat jika


bangunan bergaya arsitektur postmodernisme diterapkan untuk bangunan-

19
bangunan di kota besar, dimana penduduk yang semakin hari, semakin bertambah
(baik angka kelahiran, maupun urbanisasi) yang dengan sendirinya persediaan
lahan semakin terbatas untuk mendirikan rumah maupun bangunan lainnya.
Dengan menggunakan konsep bangunan postmodernisme, maka keberadaan
bangunan tidak lagi dalam sebuah aturan yang “kaku” (harus berbentuk geometric
atau kubisme), tapi bisa mengikuti bentuk dan luas lahan yang tersedia.
Disamping itu, Charles Moore (dalam Lash), seorang arsitektur postmodernis
pernah mengatakan terkait dengan bentuk bangunan bahwa:
“Ruang fisik dan bentuk bangunan seharusnya membantu memori umat manusia
dalam membangun kembali hubungan dengan waktudan tempat…sehingga kita
yang dalam kerumitan hidup ini terpisah dari wilayah tunggal dimana kita bisa
menemukan penyebabnya, dapat memiliki…melalui memori kita, melalui bentuk
bangunan, sesuatu sebagaimana yang disimpan oleh sumber-sumber tersebut”
(Lash, 2008: 109).

Argument yang disampaikan Moore di atas sesuai dengan ciri


postmodernisme yang ditulis Lash, dimana ia mengatakan bahwa postmodernisme
mencoba membangun kembali dimensi historis. Dengan mendirikan bangunan
yang bercirikan postmodernisme, artinya sama dengan “mengajarkan” sejarah
kepada generasi sesudah kita sehingga mereka bisa mengetahui beragam
kebudayaan dan menikmati sejarah. Akan tetapi, Lash sendiri juga menyangsikan
terhadap arsitektur postmodernisme karena membuat manusia semakin
individualistic dan kota menjadi sesuatu yang terisolasi (Lash, 2008: 119).

20
KESIMPULAN

Jean-Fracois Lyotard adalah orang yang memperkenalkan postmodernisme


dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan di tahun 1970-an dalam bukunya
yang berjudul “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge”. Dia
mengartikan postmodernisme sebagai segala kritik atas pengetahuan universal,
atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme. Menurut Louis,
postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ideide zaman
modern. Gejala postmodernisme yang merambah ke berbagai bidang kehidupan
tersebut yang didalamnya termasuk ilmu pengetahuan merupakan suatu reaksi
terhadap gerakan modernisme yang dinilainya mengalami kegagalan. Modernisme
yang berkembang dengan ditandai oleh rasionalisme, materialisme, dan
kapitalisme yang didukung oleh sains dan teknologi mengakibatkan timbulnya
disorientasi moral keagamaan (religius) terutama runtuhnya martabat manusia.

Tokoh-tokoh Postmodernisme antara lain Jean-Francois Lyotard, Michael


Foucault, Jacques Derrida, Jean Baudrillard, dan Fedrick Jameson. Ciri-ciri
pemikiran postmodernisme antara lain Dekonstruktifisme, Relativisme, dan
Pluralisme. Teori sosial dalam Postmodernime terdapat beberapa aliran yaitu :
Postmodern Moderat, Postmodern Ekstrem, dan Posisi Teoritis. Pandangan
postmodernisme tehadap ilmu pengetahuan bahwa mereka tidak mengakui akan
adanya rasionalitas universal, objektif dalam pengetahuan. Yang ada hanyalah
relativitas dari eksistensi plural atau subjektivitas. Maka dengan demikian perlu

21
dirubah dari berfikir totalizing menjadi pluralistic and open democracy dalam
semua sendi kehidupan.

Relevansi postmodernisme saat ini karena mereka bersikap saling


menghargai manusia sebagai individu-individu dengan segala keunikan yang ada
pada dirinya dan keberagamanya yang meliputi kelemahan dan kelebihan adalah
suatu nilai lebih dan unik, hal itu merupakan pembeda dengan yang lainnya.
Bukan kita untuk mempermasalahkan keberagaman itu tetapi bagaimana hal itu
menjadi suatu kegembiraan dan kekhasan terhadap apa yang dimiliki.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ilham, Iromi. 2018, PARADIGMA POSTMODERNISME; SOLUSI


UNTUK KEHIDUPAN SOSIAL. Jurnal Sosiologi USK No. 1 Vol. 12.

Hidayat, A Rahman. 2006 IMPLIKASI POSTMODERNISME


DALAM PENDIDIKAN. No. 1 Vol. 1.Tadris.

Mas’udi. 2014 POSMODERNISME DAN POLEMIK KEBERAGAMAAN


MASYARAKAT MODERN; Antitesis Posmodernisme atas Dinamika
Kehidupan Modernisme. No. 2 Vol. 1 Fikrah.

Setiawan, Johan; Sudrajat, Ajat. 2018 PEMIKIRAN POSTMODERNISME DAN


PANDANGANNYA TERHADAP ILMU PENGETAHUAN. Jurnal Filsafat No 1
Vol. 28.

23

Anda mungkin juga menyukai