Anda di halaman 1dari 11

Perkawinan Suku Toraja

Perkawinan adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis.1[2]Dalam Islam


perkawinan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
bukan mahram.2[3]
Tentang perkawinan di Tana Toraja (siala atau sipada ine) mengandung banyak aturan
dan dalam melaksanakannya sangata bersahaja, yang dinamakan pertunangan sebenarnya
kurang dijumpai di negeri ini, karena perkawinan sedemikian itu biasanya timbul dari cinta
yang begitu saja, diperoleh dari kedua belah pihak.
Untuk mengadakan perkawinan perlu restu (izin) orang tua dahulu. Bila peraturan
tersebut dilanggar, maka si lelaki atau si perempuan itu diasingkan (tak diakui lagi sebagai
anak) oleh orang tuanya, tetapi tak lama kemudian tetap pula seperti biasa. Untuk
mengetahui apakah permintaan laki-laki itu dapat diterima baik, maka dimintanya orang
tuanya atau keluarga pergi ke orang tua perempuan itu menyampaikanmaksud tadi.
Bilamana permintaannya diterima baik, lalu keluarga laki-laki tersebut mengirim utusan
yaitu orang-orang yang dipercayainya dengan segala keperluan upacara adat seperti sirih
tersebut diterima baik, maka dilanjutkan dengan upacara perkawinan.
Pada waktu melamar ada disebut tentang ganti kerugian, dan ini ucapkan juga pada
waktu upacara peresmian perkawinan. Hal ini tergantung dari derajat orang yang kawin.
Pembayaran kerugian/hukum denda (kappa) dibayar pada waktu bercerai sebagai hokuman
bagi yang bersalah. Pembayaran tersebut dinilai dengan kerbau, seperti yang telah
diuraikan. Jadi mas kawin tidak ada kecuali bila seorang perempuan mau kawin dengan
seorang lelaki yang tidak disetujui oleh orang tua si perempuan. Dalam hal ini si lelaki harus
membayar mas kawin yang terdiri dari :
1.      Untuk perempuan golongan Puang 1-12 ekor kerbau.
2.      Untuk perempuan golongan Tumakaka 1-3 ekor kerbau.
3.      Untuk perempuan golongan hamba 1 ekor kerbau.
Adat dan upacara perkawinan di Tator adalah sangat sederhana jika dibandingkan
dengan upacara perkawinan di daerah Bugis, Makassar, dan Mandar. Upacara perkawinan

2
dapat berlangsung hanya beberapa hari, tetapi sebaliknya dengan upacara kematian di
Tator berlangsung lama dan menelan biaya yang besar. Adat dan upacara perkawinan di
Tana Toraja dapat bagi dalam tiga tingkatan, tingkatan ini tidak terikat dengan suatu
ketentuan tetapi hanyalah diatur menurut kemampuan dan keinginan dari pihak yang
mengadakan perkawinan atau orang tua dipihak yang mengadakan perkawinan.
Menurut sejarah perkawinan di Tana Toraja dengan dasar pemikiran menurut
pandangan hidup aluk Todolo, bahwa seseorang yang akan kawin baru mau memasuki
rumah tangga belum mempunyai apa-apa, makanya upacara perkawinannya sedapat
mungkin sederhana saja, tetapi setelah perkawinan sudah mendapat berkah dan sudah
mendapat anak, maka barulah mereka mengadakan pengucapan syukur dengan kurban
kerbau sesuai kemampuan.3[4]
Tingkat-tingkat perkawinan di Tana Toraja lasimnya dilakukan menurut kasta atau
tana dari kedua belah pihak yang dikawinkan itu tetapi pada dasarnya harus tunduk pada
dasar atau kedudukan sang perempuan umpamanya seorang laki-laki berasal dari Tana'
Bulaan dan kawin dengan perempuan asal Tana' Bassi, maka yang menjadi patokan dalam
perkawinan ini adalah Tana' dari pada perempuan dan nilai hukumnya adalah Tana' Bassi
dengan 6 (enam) ekor kerbau Sangpala.
Oleh sebab itu tingkatan upacara perkawinan adat Toraja ini ada, tetapi tingkatan
sangat sederhana saja pelaksanaannya yakni sebagai berikut :
1.    Perkawinan dengan cara sederhana yang dinamakan Bobo Bannang yaitu perkawinan
yang dilakukan pada malam harinya dengan tamu-tamu hanya dijamu dengan lauk-pauk
ikan-ikan saja, dan umumnya hanya pengantar laki-laki saja dua atau tiga orang yang juga
sebagai saksi dalam perkawinan itu. Ada kalanya dipotong pula satu dua ekor ayam untuk
jamuan dari pengantar laki-laki.
2.    Perkawinan yang menengah yang dinamakan Rampo Karoenartinya perkawinan dilakukan
pada sore harinya di rumah perempuan dengan mengadakan sedikit acara pantun-pantun
perkawinan setelah malam pada waktu hendak makan dari wakil-wakil kedua belah pihak
dihadapan saksi-saksi adat yang mendengar pula keputusan hukum dan ketentuan-
ketentuan perkawinan yang selalu berpangkal dari nilai hukum tana yang sudah dikatakan
diatas. Pada perkawinan Rampo Karoen ini dipotong seekor babi untuk menjadi lauk pauk

3
para tamu-tamu yang hadir dan pemerintah adat itu disamping ayam sesuai dengan
kemampuan dan banyaknya yang hadir.
3.    Perkawinan yang tinggi dengan acara yang dinamakan Rampo Allo yaitu perkawinan yang
diatur atau dilaksanakan pada waktu matahari masih kelihatan sampai malam dengan
mengurbankan 2 (dua) ekor babi dan ayam seadanya sebagai syarat tetapi boleh juga lebih
dari pada itu sesuai dengan kemampuan dari keluarganya.Perkawinan yang dikatakan
Rampo Allo itu memakan waktu agak lama tidak sama dengan cara perkawinan yang
disebutkan diatas, maka perkawinan demikian itu umumnya dilakukan oleh keluarga Tana'
Bulaan yang berkesanggupan tetapi kasta Tana' Bassi sangat jarang melakukannya apalagi
Tana' Karurung dan Tana' Kua-Kua.4[5]
Sebelum sampai kepada hari inti perkawinan jikalau cara Rampo Allo, harus
melaksanakan beberapa hal sebagai acara pendahuluan dalam perkawinan ini masing-
masing:
1.      Palingka Kada, artinya mengutus utusan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan
untuk berkenalan dan mencari tahu apakah ada ikatan perempuan itu, dan menyampaikan
akan ada hajat melamar
2.      Umbaa Pangngan artinya mengatur dan mengantar sirih pinang dengan mengirim utusan
laki-laki yang membawa sirih pinang tersebut yang dibungkus dalam satu tempat yang
dinamakan Solong (pelepah pinang), yang mula-mula diantao oleh tiga orang perempuan
yang langsung disampaikan pada ibu atau nenek dari sang perempuan. Cara mengantar sirih
pinang ini dilakukan 3 kali baru mendapat kepastiannya yang jalannya sebagai berikut:
1). Mengutus 4 (empat) orang dengan 3 (tiga) perempuan sebagai pernyataan lamaran.
2). Mengutus 8 (delapan) orang sebagai pernyataan pelamar datang menunggu jawaban
pinangan.
3). Mengutus 12 (dua belas) orang sebagai tanda bahwa  lamaran yang sudah diterima dan
utusan datang atas nama keluarga akan membicarakan waktu dan tanggal perkawinan, dan
pada waktu itu utusan sudah boleh datang di rumah pengantin perempuan.
3.      Urrampan Kapa artinya membicarakan tana perkawinan untuk  menentukan besarnya
hukuman yang akan dijatuhkan sesuai dengan tana keduanya jikalau ada yang merusak
rumah tangga dibelakang hari yang dinamakan kapa.

4
4.      Dinasuan / dipandanni langngan artinya perkawinan sudah berjalan dan sudah memakan
makanan pada rumah masing-masing keduanya berganti-ganti dan telah mengadakan
pengiriman makanan dalam dua buah bakul dan dipikul dengan penggali, dan bakul ini
dinamakan Bakku Barasang. Pada kesempatan ini wakil dari laki-laki yang dinamakan  To
Umbongsoran Kapa hadir bersama-sama dengan wakil dari perempuan yang dinamakan To
Untimangan Kapa. Kedua belah pihak berganti-ganti mengucapkan syair dan pantun
perkawinan dan mengungkap pula bagaimana mulianya perkawinan atau Rampanan Kapa'
pada mulanya dihadapi oleh Puang Matua (Sang Pencipta) di atas langit serta mengungkap
pula bagaimana perkawinan raja-raja dahulu kala yang harus menjadi contoh kepada
manusia-manusia yang berasal dari kasta bangsawan/Tana' Bulaan.
5.      Sesudah tiga hari, maka tiba pada hari acara makan balasan di rumah laki-laki untuk
mengakhiri perkawinan dan melaksanakan yang dikatakan Umpasule Barasang yaitu bakul
berisi makanan yang telah dibawa oleh wakil perempuan ke rumah laki-laki, kini
dikembalikan ke rumah perempuan dan inilah yang dikatakan Umpasule Barasang. Bakku
Barasang ini berisi makanan yaitu nasi dan daging babi serta beberapa bentuk kiasan (anak
babi, kerbau, ayam, dll) yang dibuat dari tepung beras namanya Kampodang, yang setibanya
di rumah perempuan akan dimakan pula bersama, dan sesudah makan bersama, keluarga-
keluarga pihak laki-laki kembali dan laki-laki tinggallah terus di rumah perempuan/orang tua
perempuan.
Dalam perkawinan di Tana Toraja sudah dikatakan bahwa tidak ada kurban
persembahan dan kurban sajian, karena babi yang dipotong oleh keluarganya itu hanya
semata-mata menjadi lauk-pauk bagi seluruh orang yang hadir pada perkawinan itu serta
diberikan kepada pelaksana upacara perkawinan seperti anggota dewan adat, wakil
keluarga, serta saksi-saksi lainnya, yang pada waktu acara makan disusunlah PingganAdat
namanya Dulang yang berisi nasi dan daging babi yang disusun atau disediakan menurut
tingkat kasta yang kawin, yang pada waktu melihatnya terus diketahui bahwa orang yang
kawin ini berasal dari kasta Tana' Bulaanataukah Tana' Bassi dan dibawah ini susunan
dulang dari Tana' Bulaanyaitu Rampanan Kapa' Rampo Allosebagai berikut:
1)      Dua Dulang untuk pengantar kedua belah pihak atau wakil dari kedua mempelai.
2)      Dua Dulang untuk orang yang membawa kayu bakar dan orang yang datang membawa
sirih pinang.
3)      Dua Dulang untuk wakil orang tua kedua belah pihak.
4)      Dua Dulang dari ketua adat sebagai saksi dan mensahkan Rampanan Kapa' (perkawinan).
5)      Satu Dulang untuk tempat makan bersama kedua mempelai dan pada saat makan
bersama mempelai perempuan menyuapi mempelai laki-laki dan sebaliknya, kemudian
seluruh hadirin makan bersama dari masing-masing dulang tersebut.
Penyusunan dulang seperti di atas adalah untuk perkawinan dari kasta Tana' Bulaan
dengan susunan 9 (sembilan) dulang.
Dengan adanya perkawinan semacam ini, maka sering pula terjadi pelanggaran-
pelanggaran dalam hubungan baik sebelum kawin atau pun sesudah kawin sampai terjadi
perceraian, maka diantara suami isteri itu salah satunya yang membuat pelanggaran
mendapat hukuman menurut hukum perkawinan yang sudah tertentu yang didasarkan pada
nilai hukum Tana; dan hukuman yang dijatuhkan itu dinamakan kapa, yang jumlah kapa itu
sama dengan nilai Tana dari yang akan dibayar dan bukan berdasar pada nilai hukum Tana
yang bersalah.
Penentuan hukuman dengan nilai hukum Tana adalah dilakukan oleh dewan adat yang
diumumkan dalam satu sidang atau musyawarah adat dimana hadir kedua suami isteri serta
keluarga kedua belah pihak.
Pelanggaran di dalam hubungan adat perkawinan di Tana Toraja antara lain:
1.    Songkan Dapo , artinya bercerai/pemutusan perkawinan yaitu yang bersalah dapat
dihukum dengan hukuman Kapa dengan membayar kepada yang tidak bersalah sebesar nilai
Hukum Tana yang telah disepakati pada saat dilakukan perkawinan dahulu.
2.    Bolloan Pato, artinya pemutusan pertunangan yang sudah disahkan oleh adat yang
dinamakan To Sikampa(to=orang;sikampa=saling menunggui) dan setelah menunggu
saatnya duduk bersanding makan dari Dulang (Rampanan Kapa' ), maka yang sengaja
memutuskan pertunangan itu tanpa dasar harus membayar kapa kepada yang tidak
bersalah sesuai dengan nilai hukum tana nya, kecuali jikalau terdapat pertimbangan lain
dari pada dewan adat.
3.    Unnampa daun talinganna, artinya orang yang tertangkap basah, maka laki-laki itu harus
membayar kapa kepada orang  tua perempuan jikalau tak dapat dikawinkan terus seperti
karena halangan kastanya tidak  sama atau dilarang oleh adat, dan demikian pula
perempuan harus mendapat hukuman tertentu pula jika kastanya lebih tinggi dari laki-laki.
4.    Unnesse Randan Dali, artinya laki-laki membuat persinahan dengan perempuan yang lebih
tinggi tana nya, maka laki-laki itu dihukum dengan membayar kapa sesuai dengan nilai
hukum tana dari perempuan.
5.    Unteka Palanduan atau Unteka Bua Layuk yaitu perempuan kasta tingkat tinggi kawin
dengan laki-laki kasta tingkat rendahan. Keduanya ada hukumnnya seperti hukuman
Dirampanan atau Diali.
6.    Urromok Bubun Dirangkang, artinya bersinah dengan perempuan janda yang baru
meninggal suaminya dan belum selesai diupacarakan pemakaman suaminya, maka laki-laki
itu harus membayar kapa dengan nilai hukum tana perempuan karena tak dapat dkawinkan
sebelum upacara pemakaman dari suami perempuan itu, kecuali menunggu sampai upacara
pemakaman dari suami perempuan itu selesai tetapi sebelum kawin harus mengadakan
upacara mengaku-aku lebih dahulu dan kapa yang dibayar itu diterima oleh keluarga dari
suami perempuan janda itu.
2.    Adat Perkawinan di Toraja.
Perkawinan yang dinamai rampanan kapa di Tana Toraja merupakan suatu adat yang
paling dimuliakan masyarakat Toraja karena dianggap sebagian dari terbentuknya atau
tersusunannya kebudayaan seperti pula pada suku-suku bangsa lainnya di Indonesia.
Jikalau kita memperhatikan proses dan pelaksanaan perkawinan yang dinamakan
rampanan kapa itu di Tana Toraja yang dilakukan menurut adat Toraja, maka tampak
perbedaan antara proses perkawinan di daerah lain karena yang dilakukan atau yang
menghadapi serta yang mensyahkan perkawinan di Tana Toraja bukanlah penghulu agama
tetapi dilakukan oleh pemerintah adat dinamakan ada. Namun sebenarnya perkawinan itu
di asuh atau diatur olah aturan-aturan yang bersumber dari ajaran aluk todolo yang
dinamakan aluk rampanan kapa.
Rapanan kapa adalah upacara perkawinan secara adat di Tanah Toraja yang
dilaksanakan oleh orang-orang tua tempo dulu, dengan memenuhi persyaratan anatara lain
yaitu : pihak laki-laki wajib menyerahkan maskawin berupa keleke dan pangan. Dalam suatu
perkawinan di Tana Toraja tidak diadakan kurban persembahan dan sajian persembahan
seperti dalam menyelamati peristiwa-peristiwa lain umpamanya pembangunan rumah,
menyelamati keadaan tanaman dan hewan ternak dan kelahiran manusia. 
Perkawinan di Tana Toraja adalah semata-mata adanya persetujuan kemudian
persetujuan itu disyahkan dengan suatu perjanjian dihadapan pemerintah adat dan seluruh
keluarga yang telah terdapat aturan dan hukum-hukum yang dibacakan dalam perjanjian
sebagai sangsi dan perjanjian perkawinan.

Adat Pengangkatan Anak dan Pembagian Warisan


           Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan hukum dalam rangka hukum adat
keturunan, bilamana seorang anak diangkat atau didudukan dan diterima dalam suatu
posisi, baik secara biologis maupun status sosial, yang semula tidak ada padanya. Seseorang
yang diangkat anak mempunyai hak-hak  dalam rangka hukum waris, yaitu menerima hak-
hak dan kewajiban sebagai ahli waris baik materil seperti: sawah, kebun, rumah dan benda-
benda lain, maupun immaterial seperti: gelar adat, kedudukan adat dan martabat
keturunan.
           Pengangkatan yang dilakukan oleh Toparengnge’ (pemuka adat)  terhadap anak
Kaunan bertujuan untuk memberikan hak sah kepada kaum hamba ini agar tidak diambil
oleh orang lain sebagai hambanya. Selain itu, dengan adanya pengangkatan seperti ini akan
membuat anak Kaunan lebih rajin dalam mengabdi kepada Toparengnge’ sebagai tuannya
dan sekaligus sebagai orang tua angkatnya serta dapat mengerjakan atau mengelolah
sawah, kebun dan menggembalakan ternak dari Toparengnge’. Selain itu, Adanya
perlindungan yang diberikan oleh Toparengnge’ kepada anak kaunan dan keluarganya
terhadap masyarakat yang akan menjadikannya sebagai hamba lagi merupakan faktor lain
yang menjadi alasan pengangkatan ini.
           Anak kaunan mendapat warisan yang dibagi yaitu warisan yang dikhususkan atau
diistimewakan dan diberikan pada saat pewaris masih dalam  keadaan  hidup. Harta yang
diberikan berupa sawah dan tanah untuk tempat membangun  rumah. Dikatakan khusus
atau istimewa karena walaupun  ia telah menerima warisan pada saat orang tua angkatnya
masih hidup, anak kaunan juga masih bisa mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya
telah meninggal, tentu saja setelah anak ini melakukan pengorbanan berupa pemotongan
kerbau atau babi pada saat upacara kematian Toparengnge’ atau orang tua angkatnya.
Bagian warisannya tersebut diberikan atau tidak diberikan tergantung pada kesepakatan
anak kandung Toparengnge’.
           Meski anak Kaunan telah di angkat oleh Toparengenge tetap saja ia tidak boleh
melakukan upacara adat seperti yang dilakukan oleh Toparengenge karena mereka tetaplah
sebagai keturunan Kaunan atau budak. Contohnya saja saat melakukan upacara kematian
untuk keluarga kandungnya mereka tidak boleh memotong kerbau karena pemotongan
kerbau hanya di tujukan kepada keluarga bangsawan saja atau Toparengenge meski mereka
telah di angkat menjadi anak angkat. Meski anak keturunan Kaunan memiliki banyak uang
untuk membeli kerbau  tetap saja pemotongan kerbau dilarang untuk mereka karena akan
menyalahi aturan adat yang telah berlaku apa bila mereka melakukan itu. Contoh lain
apabila upacara rambu solo anak angkat dari keturunan kaunan ini akan memakai pakaian
terkhusus, sarung yang berbeda dari keturunan Toparengenge karena mereka tetaplah
keturunan Kaunan. Anak angkat ini juga hanya bisa duduk di tempat yang lebih rendah dari
alang (lumbung) tempat yang di duduki oleh Toparengenge, bisa juga mereka duduk
dibelakang alang yang di duduki oleh Toparengenge. Jenis warna sarung yang di gunakan
Toparengenge adalah berwarna putih sedangkan karunan berwarna kuning. Sebagai anak
angkat, anak keturunan Karunan bertugas untuk mengangkat babi ke atas lumbung. Sebagai
seorang anak mereka harus mengabdi kepada orangtua mereka meski hanya sebagai orang
tua angkat.
           Seorang anak kaunan yang di angkat bisa saja tidak mendapat warisan dari
toparengene karena beberapa factor yang menyebabkannya, yaitu:
·      Kedekatan, walaupun anak kaunan telah diangkat oleng toparengenge akan tetapi tidak
memiliki kedekatan dengan keluarga toparengenge maka kemungkinan ia tidak akan
mendapatkan apa-apa.
·      Pengabdian, tidak terlepas dari status social anak kaunan sebagai golongan budak, maka
anak  tersebut harus mengabdi hanya kepada tuannya dan keluarga tuannya. Apabila ia
tidak melakukan hal tersebut atau melakukan pengabdian kepada maka ia tidak akan
diberikan warisan apa-apa.
·      Pengorbanan, salah satu factor yang membuat anak kaunan tidak mendapat warisan adalah
ketika toparengenge meninggal dan tidak melakukan pengorbanan berupa pemotongan
kerbau atau babi kecuali ada persetujuan dari anak kandung toparengenge tersebut baru ia
dapat warisan.

Kebudayaan Bendawi dan kegiatan Perekonomian.


1.    Rumah dan Pemukiman.
Rumah adat tradisional suku toraja di sebut Tongkonan. Tongkonan adalah sebuah
rumah besar dengan atap berbentuk pelana menyerupai tanduk kerbau yang mengarah ke
depan. Bentuk rumah ini berbeda dengan rumah Minangkabau di Sumatera Barat yang
memiliki atap berbentuk pelana dan ujungnya yang memanjang. Atap Tongkonan terbuat
dari daun kelapa sedangkan sisi rumah dihiasi ukiran. Pada bagian depan biasanya terdapat
sejumlah tanduk kerbau.
2.    Pakaian Adat.
Baju adat Kandoreyaitu baju adat Toraja yang berhiaskan Manik-manik yang menjadi
penghias dada, gelang, ikat kepala dan ikat pinggang. Ada dua warna baju para pagar ayu,
yaitu Merah dan Putih, kemudian di belakang mereka berjalan-lah pasangan pengantin
dengan diiringi oleh Payung Kebesaran, selanjutnya menyusullah para keluarga dari keluarga
kedua mempelai. Kedua mempelai itu berjalan menuju kursi pelaminan yang telah
disediakan.
Ukiran-ukiran yang jadi Simbol kepercayaan hidup bagi masyarakat Tana Toraja yg
terukir di Banua Tongkonan (Rumah Adat Tana Toraja) dan Lumbung Padi  yaitu:
1.      Pa Bare Allo (terletak paling diatas berbentuk Bulan dan Matahari).
PaBare Allo adalah perlambang dari suatu Tatanan aturan tingkah laku seperti bulan dan
matahari yang sudah tetap ada terbit dan terbenam matahari dipakai sebagai acuan waktu.
2.      Pa Londong ( ukiran Ayam Jantan yg bertengger diatas Pa Bare Allo).
Pa Londong adalah perlambang dari Keadilan karena salah satu dari sembilan cara memutus
permasalahan atau sengketa adalah dengan mengadu ayam apabila pemimpin dalam
kelompok sulit memutuskan pihak mana yg benar atau salah.
3.      Pa Tedong (ukiran berbentuk Kepala Kerbau). Pa Tedong adalah Perlambang kesejahteraan
karena kerbau merupakan hewan yang punyai nilai ekonomi terutama utk corak tertentu.
Sebenarnya ada ukiran ke 4 yg berada paling bawah berbentuk garis2 vertikal dan
horisontal namun kadang tidak terlalu diperhatikan, ini sebenarnya ukiran yg pertama
dikenal dan dianggap yg tertua (ada cerita tersendiri untuk ini) yang merupakan perlambang
hubungan horisontal dengan sesama manusia dan vertikal dengan Tuhan.
Toraja juga mengenal 4 warna dasar yang selalu ada di Tongkonan:
1). Kuning perlambang kebesaran seperti matahari (akbar).
2). Merah Perlambang darah atau kehidupan.
3). Putih perlambang kesucian.
4). Hitam perlambang Kedukaan.

Mata Pencaharian.
1.      Jenis mata pencaharian.
Secara umum ada dua jenis yang menjadi mata pencaharian masyarakat Toraja yaitu :
1). Bertani
Masyarakat Toraja banyak yang memiliki sawah sehingga sebagian besar penduduk
Toraja bermata pencaharian sebagai petani. Dalam rumah tangga bagi orang suku toraja
suami dan isteri sama-sama mencari nafkah, seperti dalam pertanian kalau suami
mencangkul disawah adalah kewajiban isteri menanaminya.
2).Tenun
Budaya tenun di Toraja telah menjadi warisan secara turun temurun, dengan tetap
mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang kegiatan menenun. Sehingga, diharapkan
tenun Toraja takkan hilang ditelan jaman.
Selain itu, karena tenun telah menjadi salah satu sumber mata pencaharian yang
berbasis budaya, maka  aktivitas tersebut sangat membantu melestarikan budaya itu
sendiri.
2.      Peralatan Hidup / Teknologi.
Pada masyarakat Toraja terdapat bermacam-macam teknologi yang digunakan seperti :
1). Alat Dapur
a.       Laka sebagai alat belanga
b.      Pesangle yaitu sendok nasi dari kayu
c.       Karakayu yaitu alat pembagi nasi
d.      Dulang yaitu cangkir dari tempurung
e.       Sona yaitu piring anyaman
2). Alat Perang / Senjata Kuno
a.    Doke atau tombak untuk alat perang dan berburu
b.    Penai yaitu parang
c.    Bolulong yaitu perisai
d.   Sumpi atau sumpit
3). Alat Perhiasan
a.    Beke ikat kepala
b.    Manikkota kalung
c.    Komba gelang tangan
d.   Sissin Lebu cincin besar.

Sumber : http://buzz-mizzle.blogspot.com/2013/12/budaya-tanah-toraja-pernikahan-
agama.html

Anda mungkin juga menyukai