BATAK
ADELBERD S SIMAMORA
DAFTAR ISI
No Budaya Halaman
1
2 Mangupa-upa Na Malua
3 Pamasu-masuan
Marsibuha Buhai
Tintin Marangkup
Pemberian Ulos Oleh Pihak Perempuan
Mangunjungi Ulaon
4
5 Monding
meninggal ketika masih dalam kandungan (mate di bortian)
Upacara adat ditujukan kepasa bayi yang mati (mate poso-poso
mati saat anak-anak (mate dakdanak)
mati saat remaja (mate bulung)
mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol)
- Pamasu-masuan
Suhut kedua pihak yang punya hajatan
Parboru orang tua pengenten perempuan (Bona ni haushuton)
Paranak orang tua pengenten Pria (Suhut Bolon)
Suhut yang menjadi tuan rumah dimana acara adat
Suhut Bolahan amak
diselenggrakan
Suhut suhut yang datang
naniambangan
Hula-hula saudara laki-laki dari isteri masing-masing suhut
Dongan Tubu : semua saudara laki masing-masing suhut
Boru semua yang isterinya semarga dengan marga kedua suhut
arti harafiah “teman sekampung” semua yang tinggal dalam
Dongan sahuta
huta/kampung komunitas (daerah tertentu) yang sama
paradaton/solupnya
sahabat yang diundang bukan berdasarkan garis persaudaraan
Ale-ale
(kekerabatan atau silsilah)
Uduran rombongan masing-masing suhut, maupun rombongan masing-
masing hula-hulanya
Protokol (PR) atau Juru Bicara (JB) masing-masing suhut, juru
Raja Parhata (RP)
bicara yang ditetapkan masing-masng pihak
Tanda Makanan Adat , bagian-bagian tubuh hewan yang
Namargoar dipotong yang menandakan makanan adat itu adalah dari satu
hewan (lembu/kerbau) yang utuh, yang nantinya dibagikan.
Jambar Namargoar yang dibagikan kepada yang berhak, sebagai
legitimasi dan fungsi keberadaannya dalan acara adat itu.
Takaran beras dari bambu yang dipakai sebagai analogi
paradaton, yang bermakna dihuta imana acara adat batak
Solup diadakan solup/paradaton dari huta itulah yang
dipakai sebagai rujukan, atau disebut dengan hukum tradisi
“sidapot solup do na ro
1. Marsibuha Buhai
Pagi hari sebelum dimulainya pemberkatan/pesta adat, acara dimulai dengan
penjemputan mempelai wanita di rumah disertai dengan makan pagi bersama dan
berdoa untuk kelangsungan pesta pernikahan, biasanya disini ada penyerahan bunga
oleh mempelai pria dan pemasangan bunga oleh mempelai wanita dilanjutkan dengan
penyerahan Tudu-tudu Ni Sipanganon dan Menyerahkan dengke lalu makan bersama,
selanjutmya berangkat menuju gereja untuk pemberkatan
2. Fgf
3. Ghgh
4. Dfdf
5. dd
A. Tintin Marangkup
Pesta perkawinan orang Batak Toba, kedua belah pihak pengantin selalu
memberikan sejumlah uang terhadap “tulang” (paman) mempelai laki-laki yang disebut
tintin marangkup. Istilah tintin marangkup berasal dari kata “tarintin marangkup” yang
digunakan sebagai tanda pada anak ternak yang telah dipilih agar kelak menjadi
miliknya. Setelah anak ternak yang dipilih telah dapat dipisah dari induknya, pada saat
itulah diberikan uang atau apa pun sesuai kesepakatan, dan itu dinamai “tobus tarintin”.
Dalam adat masyarakat Batak Toba, laki-laki yang akan menikah selalu lebih
dulu “manulang tulang” untuk memohon doa restu agar dia kelak serasi dan bahagia
dengan calon isteri serta mendapat keturunan putera dan puteri. Pada saat manulangi
inilah orang tua si laki-laki menyerahkan sejumlah uang sebagai tobus tarintin, sebab
anak laki-lakinya tidak berniat mempersunting puteri tulangnya.
“Pada zaman dulu pemuda atau anak gadis yang marpariban harus saling
permisi bila salah satu dari mereka lebih dulu menikah, dan itulah penyebab uang yang
diserahkan dinamai tobus tarintin.
Sebagai wujud doa restu, maka saat itu sang tulang mangulosi berenya yang
disebut “ulos panghopol”. Seterusnya bila suatu saat berenya (keponakan) itu menikah
dengan perempuan dari marga lain, maka tulang tidak wajib lagi mangulosi sebab itu
dianggap “manumpahi” (membantu) pihak pengantin perempuan.
Ada falsafah bagi orang Batak Toba, yaitu “dangha do dupang amak do rere, ama
do tulang, anak do bere.” Seandainya orangtua dari berenya tidak mampu menikahkan
berenya, maka tulangnya berkewajiban menikahkan atau setidaknya membantu
pembiayaan pernikahan berenya. Dan itulah sebabnya bila berenya menikah, seluruh
tulang membawa beras di dalam tandok untuk meringankan beban orang tua berenya,
bukan “si pir ni tondi” seperti anggapan zaman sekarang.
Apabila seseorang tidak atau belum manulangi tulang, maka sang tulang enggan
menghadiri pernikahan dan tidak akan “martogi”, sebab itu dianggap tidak menghargai
atau menghormatinya. Namun setelah orang Batak telah banyak merantau, mulailah
ditinggalkan kebiasaan manulangi tulang sebelum menikah dengan alasan waktu yang
kurang mendukung.
Maka pada saat pesta pernikahan, kedua belah pihak mempelai secara bersama-
sama datang menemui tulang untuk menyerahkan penghormatan yang kita kenal
dengan tintin marangkup, disertai ungkapan “hot do jabu i, hot margulang- gulang, boru
ni ise pe nahuoli i, hot do i boru ni Tulang.”
“Maka sampai saat ini keturunan dari berenya tetap dianggap sebagai boru,
bukan bere atau ibebere, dan itu dapat dibuktikan dengan kata ‘boru natua-tua dan
boru naposo’, bukan ‘bere natua-tua atau bere naposo.’ Tapi sekarang sering kita
melihat walau dalam perkawinan antar-keluarga atau namarpariban, pihak ‘haha anggi
tulang’ menuntut tintin marangkup padahal mereka telah menerima sinamot ni boru.
B. Makna Tintin Marangkup
Tintin marangkup adalah pemberian dari Hasuhuton Parboru kepada Tulang
dari Hasuhuton paranak. Tintin Dalam etnik Batak Toba pemberian Tintin marangkup
berfungsi untuk Parsituak Natonggi dari pada tulang dari Hasuhuton Paranak.
Dalam arti tintin marangkup mempunyai arti penting dalam upacara pernikahan
batak toba karena berperan sebagai bentuk penghormatan kepada pihak tulang dari
paranak. Hal ini juga menegaskan bahwa siapa pun wanita batak dengan label boru
apapun, namun ketika menikah dengan seorang pria batak maka boru dari wanita
tersebut adalah otomatis menjadi boru dari marga tulang si pria tersebut, dengan kata
lain menjadi boru ni tulang.
Sebelum kedua belah pihak bertemu dan melaksanakan ritual tintin marangkup,
terlebih dahulu ada pemanggilan dari pihak hasuhuton terhadap pihak tulang paranak
sebagai sijalo tintin marangkup. Setelah kedua belah pihak telah bertemu dan saling
berhadapan terjadilah sebuah percakapan semacam perkenalan marga dan maksud
tujuan dari kedua belah pihak. Berikut gambaran percakapan dari kedua belah pihak
sampai akhirnya terjadi penerimaan tintin marangkup kepada tulang paranak…
Di hamu marga ……(paranak) dohot ………(parboru), nuaeng ro hamu mandapothon
hami marga Hutajulu, pasahat tintin marangkup, marbonsir mai ala naung mangalap
boru bere nami, ima boru …….. Bangko ni adat do tutu i, di hita halak batak, laho
pasangaphon tulang. Alana mulai sadarion diparadaton tu bere nami on, si sada boru
ma hita. Tudos songon hatani natua-tua namandok, Hot pe jabu i, tong doi margulang-
gulang; sian dia pe bere i mangalap boru, tong doi boru ni tulang. Dangka ni hau dulang,
Bahen panjomuran ni rere, Sai hot do i boru ni tulang, Boru ni ise pe di alap bere
Alani di hamu marga ………. marampara ma hita tutu mulai tingkion, molo hami
dijolo ba mangihut ma hamu sian pudi, laos songoni do, molo hamu dijolo ba mangihut
ma hami sian pudi.
Alai hudok pe songoni, goar nama manisia (jolma yang tidak sempurna), sai
adongdo keterbatasan, alani disada tingki memungkinkan do adong permasalahan di
hamu nadua, akibat ego masing-masing gabe mangkorhon parbadaan, jala ndang
menutup kemungkinan berlanjut tu naso masisisean na berkepanjangan. Pangidoanku
tu ho boru, sotung pintor mangalu-alu ho tu marga ……….(parboru), parjolo ma ho ro tu
hami marga Hutajulu naung gabe amang mu nuaeng. Alana nunga sian namet-met
hutanda hami bere nami on, namarlapatan nunga lebih besar peluang laho mangalului
penyelesaian taringot tu persoalan na ro tu hamu na dua.
Setelah kedua belah pihak saling menyapa (masitabean) pemberian tintin
marangkup dilakukan dimana sang ibu memegang sebuah piring. Didalam nya
diletakkan parbue na pir. Diatas parbue na pir itu diletakkan sejumlah uang (jumlahnya
sangat tergantung pada kerelaan hulahula.
Pihak tulang dari paranak pun berhak menerima pemberian dari pihak
hasuhuton sebagai si jalo tintin marangkup dalam acara adat tersebut.
Dalam Adat Batak tradisi lama atau religi lama, ulos merupakan sarana penting
bagi hula-hula, untuk menyatakan atau menyalurkan sahala atau berkatnya kepada
borunya, disamping ikan, beras dan kata-kata berkat. Pada waktu pembuatannya ulos
dianggap sudah mempunyai “kuasa”. Karena itu, pemberian ulos, baik yang memberi
maupun yang menerimanya tidak sembarang orang , harus mempunyai alur tertentu,
antara lain adalah dari Hula-hula kepada borunya, orang tua kepada anank-anaknya.
Dengan pemahaman iman yang dianut sekarang, ulos tidak mempunyai nilai magis lagi
sehingga ia sebagai simbol dalam pelaksaan acara adat. Ujung dari ulos selalu banyak
rambunya sehingga disebut “ulos siganjang/sigodang rambu”(Rambu, benang di ujung
ulos yang dibiarkan terurai).