1. Letak Geografis
Taniwel, terletak di arah utara Kabupaten Seram Bagian Barat. Jarak Negeri
Lisabata ke Kota Kabupaten sekitar 150 Km. Waktu tempuh dari Negeri Lisabata
dengan ketinggian antar 0 s/d 700 m di atas permukaan laut, sehingga tergolong
dataran rendah. Suhu di daerah ini cukup bervariasi antara 25 Derajat saat paling
dingin dan 3 derajat saat paling panas. Jenis tanah yang ada di wilayah sebagian
besar adalah tanah Top Soil. Sifat tanah ini hitam yang kaya kandungan
tanaman. Iklim Negeri Lisabata termasuk dalam daerah dengan tife iklim sedang
dengan perbandingan antara bulan basah dengan bulan kering hampir sama. Nilai
Q antara 60% - 100%. Nilai Q adalah perbandingan antara banyaknya bulan basah
Berdasarkan data yang peroleh dari lokasi penelitian maka dapat diketahui
jumlah usiah produktif berjumlah 565 jiwa lebih besar dibandingkan dengan usia
anak-anak dan lansia yang berjumlah 969 jiwa. Kenyataan ini menunjukan bahwa
usia produktif yang tersedia biasa mengisi berbagai lapangan kerja diberbagai
sector usaha.
1 Laki-Laki 781
2 Perempuan 753
jumlah 1534
berupa nelayan, petani, pengusaha, buruh bangunan, pegawai negeri dan ABRI.
1 Petani 425
2 Nelayan 10
3 Pengusaha 20
4 Buruh bangunan 25
5 Pedagang 35
Jumlah 560
adalah petani, karena dengan berbagai macam hasil hutan mulai dari hasil kelapa,
coklat dan cengke yang merupakan hasil yang paling baik demi memenuhi
hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, tanah yang merupakan
warisan dari para leluhur terdahulu, selain karena jumlahnya yang terbatas dan
tidak bertambah, namun orang yang membutuhkan tanah terus bertambah. Hal
inilah yang menjadikan tanah mempunyai nilai ekonomis sehingga orang berebut
3. Hubungan Kekerabatan
mengelompokan tiap orang ke dalam kelompok sosial, peran kategori dan silsilah.
Hal ini sangat berkaitan erat dengan silsilah dan asal-usul pembetukan Negeri
Negeri Lisabata terbentuk, berawal dari empat mata rumah adat yang
biasanya di sebut dalam bahasa adat masyarakat Lisabata yaitu ( SOA ). Soa-soa
ini terbentu dari beberapa marga yang merupakan anak adat asli dari Negeri
Lisabata tersebut.
1. Soa Pulu
secara turun temurun dan tergabung dari Marga-Marga yakni Marga Pulu
Soa Kanawai ini merupakan Soa yang cenderung kepada marga lohy
yang dalam bahasa adatnya di sebut sebagai Makahity yang artiya siap
tersebut adalah Soa Kanawai. Dan Soa Kanawai ini terbentuk secara turun
temurun antara lain adalah marga Lohy dan marga lohy cenderung
3. Soa Rumarai
Soa Rumarai ini terbentuk dari marga Assel secara turun temurun yang
dalam gelarnya sebagai Tukang besar yang dalam bahasa adat disebut
4. Soa Kaisuku
Sedangkan Soa kaisuku ini terbentu secara turun temurun dari marga
yang pertama kali datang sebelum Negeri Lisabata terbentuk adalah marga Pulu
sebagai marga yang pertama kali datang, Kemudian menjadi tuan tanah dan
membentuk Soa sekaligus marga membuka hutan untuk bermukim dan bercocok
tanam. Tanah yang digunakan baik untuk tempat tinggal maupun yang bercocok
dalam suatu kesatuan Soa dan terbentuk empat Soa di Negeri Lisabata maka empat
Soa tersebut secara bersama-sama kemudian disebut sebagai tanah Budel atau
tanah bersama.
Hukum adat merupakan suatu hukum yang tidak tertulis. Hukum adat
berasal dari suatu kebiasaan masyarakat setempat yang di lakukan secara terus
Meskipun didalam Pasal 3 UUPA terdapat istilah Hak ulayat dan hak-hak
yang serupa dengan itu,, namun pada dasarnya keberadaan UUPA tidak secara
yang dikemukan oleh Van Vollenhoven bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat
adalah beschikingstrecht, menggambarkan hubungan antara masyarakat hukum
adalah sebidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat
hukum adat tertentu. Adapun, masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang
yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
Bertitik tolak dari dua system hukum menurut cara pandang yang
konvensional, yaitu system hukum adat dan system hukum nasional. Hal ini
disebabkan oleh karena dua lembaga hukum masyarakat (persekutuan) hukum adat
system hukum nasional. Kedua lembaga ini berkaitan dengan hukum pertanahan
yang sejak tahun 1960 telah diundangkan dalam undang-undang Pokok Agraria
(UUPA) yang merupakan prosduk hukum nasional, dan oleh karena itu termasuk
Fungsi hukum adat sebagai sumber utama dalam membangun hukum tanah
hukum tanah nasional berdasarkan atas hukum adat. Konsep yang mendasar
2
Suriyaman Mustari Pide, 2014. Hukum Adat Dahulu, kini dan akan datang, (Kencana,
Jakarta: hlm.75
hukum tanah nasional adalah konsepsinya hukum adat, yaitu konsepsi yang
individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung
unsur kebersamaan.
Kalau dalam hukum adat tanah ulayat merupakan tanah bersama para
wagra masyarakat hukum adat yang bersangkutan, dalam rangka hukum tanah
nasional semua tanah dalam wilayah Negara kita adalah tanah bersama rakyat
Indonesia, yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Unsur religious dari
konsepsi ini ditunjukkan oleh pernyataan, bahwa Bumi, air, ruang angkasa
- Norma hukum adat yang sudah di jelaskan menurut ketentuan Pasal 5, 56,
pemerintah secara umum terjadi karena pandangan yang berbeda mengenai konsep
hak atas tanah. Perbedaan pandangan tersebut bukanlah hal baru karena telah
Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria ( LN. 1960-104, TLN. 2043 ) atau lebih
hukum tanah pada zaman Hindia Belanda, hukum tanah di Indonesia bersifat
dualisme.
Setelah berlakunya UUPA, sifat dualism hukum tanah itu diganti dengan
unifikasi hukum tanah, artinya memberlakukan satu macam hukum tanah, yaitu
hukum tanah nasional. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan UUPA, yaitu
3
Dewi Silastri, 2015 Pengantar Hukum Adat,(Pustaka Setia, Bandung ), hlm.100-101
hukum pertanahan. Kesatuan hukum tanah artinya memberlakukan satu macam
hukum tanah (unifikasi hukum) untuk semua tanah yang ada di wilayah Indonesia.
sebagai dasar dalam pembuatan hukum tanah nasional. Bahwa hukm adat di pakai
sebagai dasar Hukum Tanah Nasional adalah sesuai dengan kepribadian bangsa
Masyarakat Negeri Lisabata mengenal tanah Budel ini sejak dahulu kala
kuasai oleh setiap marga dan dapat di lestarikan secara turun temurun. Tanah budel
Berbicara mengenai tanah adat tidak dapat dipisahkan dengan sejarah tanah
adatnya juga tidak bisa dilepaskan dengan masyarakat hukum adat selaku pemilik
dari tanah adat tersebut. Dalam hal Status Kepemilikan Tanah Budel Di Negeri
terjadinya perbedaan pendapat dalam hal penguasaan dan pembagian atas tanah
tersebut. Perbedaan pendat ini berasal dari dua kalangan yakni kalangan muda dan
4
Boedi Harsono, 1994. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan,
Jakarta, hlm. 171.
kalangan tua. Kalangan muda yang di maksud adalah kalangan yang mulai
berumur dari dua puluhan sampai pada umur tiga puluhan mereka berpendapat
sistem , pola, struktur dan tata cara manusia menetukan sikapnya terhadap tanah
maka perluh dibagi-bagikan sehingga tidak lagi menimbulkan konflik dalam hal
penguasaan tanah tersebut. Sementara dalam pendapat dari kalangan tua bahwa
tanah budel ini tidak perlu di bagikan karena mengingat jangan sampai hilangnya
tanah adat, karena jika dibagi-bagikan maka tidak lagi ada tanah adat yang di
warisi secara turun temurun, namun telah berubah menjadi tanah hak milik secara
hukum. Hal ini sangat berdampak negatif bagi setiap tanah Budel yang ada di
masyarakat Lisabata sangat penting. Hal ini seperti yang terjadi pada tanah-tanah
kehidupan bercocok tanam, maka dari itu, pemanfaatan tanah di pergunakan sebaik
mungkin sehingga hasil tanah yang digunakan dapat berguna bagi kelangsungan
demi tercapainya masyarakat adil dan makmur, sehingga jauh darih masalah
pertanahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat Negeri Lisabata
Bagian Barat. Sehingga masyarakat Lisabata akan sadar dan dapat mengerti dan