Anda di halaman 1dari 5

REFLEKSI TEOLOGIS TERHADAP PELAKSANAAN IBADAH MINGGU DI RUMAH

DAN CARA BERIMAN ORANG PERCAYA MENGHADAPI BAHAYA PANDEMI COVID-19

IBADAH UMAT PERJANJIAN LAMA


 Periode Kain dan Habel, Ibadah di laksanakan di Mezbah. Pada periode ini Ibadah umat dilaksanakan dalam
rangka memperoleh kemurahan hati Allah dengan membakar persembahan diatas Mezbah. Ibadah yang
dilaksanakan di Mezbah di zaman Kain dan Habel tidak hanya memberikan informasi tentang tempat ibadahnya
melainkan juga kisah tentang ibadah yang diterima dan ditolak Tuhan. Dalam kitab Kejadian pasal 4 dicatat disana
bahwa persembahan Kain ditolak Allah dan persembahan Habel di terima Allah (ayat 3-5). Alasan Allah jelas
ibadah Kain tidak disertai pertobatan (ayat 6-7), sementara Habel persembahannya diterima Allah karena imannya
yang tulus kepada Allah (band. Ibrani 11:4).
 Periode Musa, Tempat Ibadah ada di Kemah Suci (Keluaran 25:1-9). Tuhan yang memerintahkan harus ada
Kemah Suci dari bahan yang indah (Keluaran 26). Namun demikian diperiode ini Mezbah masih juga dibuat
sebagai tempat pembakaran korban persembahan bagi Tuhan (Misalnya Keluaran 17: 15 ; 27:1-8, dll)
 Periode Raja-raja. Zaman Daud ada inisiasi untuk membangun Bait Allah. Tempat ibadah ini selesai diperiode
Salomo sebagai raja Israel. Di dalam Bait Allah itu ada Tabut Perjanjian dan Yerusalem menjadi pusat agama
umat Yahudi.
 Israel masuk diperiodisasi Pembuangan. Di masa ini tempat ibadah berubah ke Sinagoge- sinagoge (tempat
berkumpulnya umat). Umat dipembuangan Babel tidak dapat pulang ke negeri mereka sehingga pelaksanaan
ibadah bukan lagi di Bait Suci tetapi di Sinagoge. Dari sinilah awal ibadah Ziarah.

TEMPAT IBADAH UMAT PERJANJIAN BARU


 Sampai di masa ini, tempat ibadah Sinagoge masih dikenal. Namun di periode ini Bait Suci Yerusalem dihancurkan
oleh raja Agripa I sampai rata dengan tanah. Dalam situasi itu orang percaya lari dan beribadah di Katakombe
(gua-gua. Istlah Latinnya Catacumbas). Bahkan ketika Romawi dibawah pemerintahan Kaisar Nero (tahun 70
Masehi), Raja Decius (249 – 251 M) Kekristenan ada dibawah penganiayaan. Umat lari ke Katakombe dan sekian
lama mereka dalam persembunyian beribadah di gua-gua / katakombe.
 Masa Penginjilan Paulus.
- Kolose 4:15, dalam suratnya ini Paulus menyampaikan salam kudus kepada seluruh jemaat di Laodikia dan
khusus kepada Nimfa dan jemaat yang ada di rumahnya.
- Kisah Para Rasul 18:1-7, Waktu Paulus di Korintus ia singgah di rumah Akwila dan Priskila dan
memberitakan injil disana (ay. 2-3) lalu ketika orang Yahaudi memusuhinya ia pergi ke rumah Titius Yustus
(ay.7) di rumah itu Paulus terus mengabarkan Injil dan kepala rumah ibadat Yahudi menjadi percaya kepada
Kristus (ay. 8)
- Filemon 1:1-3, di terangkan bahwa rumah Filemon dijadikan tempat umat bersekutu. Dipersekutuan rumah ini
Paulus menasehati Filemon agar menerima Onesimus (bekas hamba Filemon) yang sudah percaya Kristus
untuk hidup saling mengasihi bersama Apfilia dan Arkhipus.
- I Korintus 16:19, Paulus menyampaikan salam kasih kepada jemaat yang bersekutu di rumah Akwila dan
Priskila

Page | 1
IBADAH DAN CARA BERIMAN DITENGAH ANCAMAN BAHAYA
 Penulis kitab Daniel memberikan informasi di pasal 6 bahwa raja Darius mengeluarkan surat perintah yang berisi
larangan dan hukuman bagi yang menyembah kuasa lain selain raja. Surat ini dikeluarkan atas desakan (atau
tepatnya) hasutan para petinggi istana yang membenci Daniel karena imannya kepada Allah (ayat 1-10). Pada
saat itu Daniel ada dalam ancaman bahaya. Di pasal 6 ayat 11, penulis kitab ini memberikan pesan iman bagi
pembaca tentang sikap dan cara beriman Daniel ditengah situasi bahaya mengancamnya, yaitu : pertama, “pergi
ke rumahnya”. Kata “pergi ke rumahnya “ mengandung maksud, “menghindar”, “menjaga jarak” dengan mereka
yang membawa malapetaka baginya. Daniel “mengisolasi dirinya di rumah” ia memilih untuk stay at home. Kedua,
“dia berlutut dan berdoa memuji Allahnya“ . Tuhan dilibatkan dalam situasi dan kondisi bahaya. Ia tidak
mengandalkan kekuatannya sendiri. Namun imannya tidak dipertontonkan kepada orang lain ia pergi ke rumahnya
dan masuk kamar. Di kamar ia bergumul. Di rumah ia beribadah (berlutut, berdoa dan memuji Allah). Sikap yang
“berada dalam rumah” juga pernah ditunjukan oleh orang Ibrani saat Tuhan menghadirkan tulah dengan kematian
seluruh anak sulung orang Mesir (Keluaran 12). Sedikit yang membedakannya adalah di teks Keluaran 12 umat
diperintahkan oleh Tuhan melalui abdinya Musa, berdiam di rumah dan menjaga kekudusan hidup selama 14 hari.
Makna yang tersirat disana adalah “ada perintah ada ketaatan”. Umat taat kepada perintah Tuhan sampai batas
waktu yang Tuhan berikan. Karena ketaatan itu, seluruh anak orang Ibrani selamat.
 Pencobaan di Padang Gurun (Matius 4:1-11 Markus 1:12-13 ; 4:1-13). Dari 3 paralel bacaan ini, kita mengambil
Matius 4:1-11. Perhatikan ayat 5-7, Iblis membawa Yesus ke bubungan Bait Allah, lalu mencobai Yesus dengan
menyuruh “menjatuhkan diri” dari atas bubungan Bait Allah ke bawah. Suruhan Iblis disertai dengan “argumentasi
yang sangat rohani”. Jika Engkau Anak Allah jatuhkanlah diriMu kebawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau,
Ia akan memerintahkan malaikat-malaikatNya dan mereka akan menatang Engkau diatas tangannya supaya
kakiMu tidak terantuk pada batu” (ay.6). Terhadap pencobaan itu, Yesus tidak menurut. tetapi memberi jawab
bahwa dalam firman pun tertulis “Jangan mencobai Tuhan Allahmu”. Ada dua cara beriman yang sangat berbeda
yang diperlihatkan diayat ini. Pertama, dari sisi Tuhan Yesus. Ia tidak menurut perintah Iblis untuk menjatuhkan
diri, bukan karena Yesus tidak percaya pada jaminan perlindungan BapaNya. Tetapi Yesus melihat kalau
perintah Iblis ini adalah cara dan tindakan mencobai Tuhan. Yesus percaya penuh pada perlindungan BapaNya
kalaupun Ia akan jatuh dari bubungan Bait Allah tetapi Yesus tidak kehilangan hikmatNya. Pesan teologis disini
adalah Yesus mengajar kita cara beriman dengan hikmat Allah. Kedua, Iblis mengutip bagian firman (perhatikan
kalimat “ada tertulis” di ayat 6) untuk “meyakinkan” Yesus tentang adanya perlindungan Tuhan lewat malaikat-
malaikat. Di sini Iblis mau menunjukkan kalau ia juga percaya pada firman (Jangan lupa kalau soal percaya, Iblis
(setan) juga percaya, baca: Yakobus 2:19a). Tetapi yang perlu kita pahami, cara Iblis percaya dalam teks Alkitab
ini adalah mencobai Tuhan dengan memperalat bagian firman

CATATAN REFLEKTIF
Sampai hari ini sebagai penghuni bumi ini, secara global kita sementara menghadapi ancaman bahaya
pandemi Covid-19. Data korban yang meninggal karena virus corona ini setiap hari terus meningkat. Langkah
penanganan terus dilakukan oleh Pemerintah, Organisasi keagamaan dan semua komponen masyarakat di belahan
dunia ini. Di Indonesia (termasuk di wilayah Nusa Utara) kita perlu memperhatikan himbauan Pemerintah, Maklumat
Kapolri, Seruan Pastoral MPH PGI dan Surat Penggembalaan BP Majelis Sinode GMIST, yang salah satu poin
penting disana adalah melakukan physical distancing (=menjaga jarak fisik)1. Salah satu langkah konkrit merespon

1
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi menganjurkan kita menggunakan frasa physical distancing bukan
social distancing. Menurut WHO penggunaan frasa ini perlu untuk menghindari kesalahpahaman masyarakat. Anjuran untuk
berada dirumah selama wabah corona bukan memutuskan kontak dengan teman dan keluarga bahkan terisolasi sesacara sosial ,
melainkan menjaga jarak fisik untuk memastikan virus penyakit ini tidak menyebar.

Page | 2
hal-hal penting diatas ini di GMIST (dan gereja-gereja lain) mengalihkan ibadah Minggu dari tempat yang lazim
digunakan untuk bersekutu yakni gedung gereja, ke rumah-rumah keluarga. Namun langkah ini melahirkan penafsiran
yang beragam, ada yang menerima dengan positif tetapi ada juga yang “menolak” disertai argumentasi yang juga
beragam. Sebagian dapat dikutip sebagai berikut : “Gereja bagaimana kalau ibadah minggu ditutup”. “Heran Ibadah
Minggu pake libur”. “Pendeta GMIST panako, tidak beriman”. “Masa le ibadah Minggu ditiadakan, setan pe kerja itu”
“aduh hati-hati Antikris so maso digereja” dan banyak lagi.
Hal yang harus perlu dijernihkan terpaut dengan argumentasi ini adalah bahwa Ibadah Minggu tidak ditutup,
tidak diliburkan, tidak ditiadakan. Ibadah atau Kebaktian Minggu tetap berjalan tetapi dialihkan lokasinya dari gedung
gereja ke rumah-rumah jemaat. Ibadah Minggu dilaksanakan disetiap keluarga. Pertanyaannya apakah itu salah ?
apakah itu gambaran bahwa kita tidak beriman ?
Menelusuri dan mempelajari realitas hidup beriman umat Allah dalam Alkitab baik tempat mereka beribadah
maupun cara mereka beriman kepada Tuhan, mengandung pesan-pesan rohani yang perlu kita renungkan :
Pertama, Soal tempat ibadah dalam Alkitab, mengalami beberapa “perubahan”. Dari Mezbah, Kemah Suci, dan Bait
Allah (istilah lain: Bait Suci) di Yerusalem. Ketika Bait Allah berdiri Ibadah Umat terpusat di Bait Allah dan Yerusalem
menjadi “kiblat” agama umat Yahudi. Namun ketika umat Allah dalam tekanan penderitaan di masa pembuangan di
Babelonia, umat tidak diizinkan pulang ke negerinya (baca: tidak beribadah di Bait Allah), dalam situasi itu ibadah
dilaksanakan di Sinagoge (penggunaan Sinogoge sebagai tempat ibadah berlaku sampai masa Perjanjian Baru).
Selain di Sinagoge, umat pernah beribadah di katakombe-katakombe. Perubahan tempat ibadah itu selalu ada dalam
latar belakang konteks yang berbeda disetiap periodenya. Salah satu konteks (dan ini yang dominan) adalah umat
Allah berada ditengah ancaman bahaya. Menariknya dalam situasi seperti itu, Alkitab PL dan PB menceritakan
bahwa selain tempat-tempat yang sudah disebutkan tadi, rumah pun menjadi tempat ibadah umat. Pengalaman iman
Daniel dalam uraian diatas (Daniel 6), menjadi salah satu rujukan kitab PL. Menghadapi ancaman raja Darius dan
petinggi kerajaan, Daniel justru stay at home dan beribadah di rumahnya. Dalam Alkitab PB, surat-surat Paulus
sangat banyak memberikan informasi tentang bagaimana rumah warga jemaat menjadi tempat ibadah (rumah Akwila
dan Priskila, rumah Nimfa, rumah Filemon, rumah Titus Yustus, dll). Pemberitaan Injil tidak selalu dilaksanakan di
‘rumah ibadat’ (kalau dalam konteks kita = gedung gereja) tetapi ada di rumah anggota jemaat. Ibadah dirumah yang
dilakukan zaman Paulus tak lepas dari konteks ‘bahaya’ yang mengancam Paulus dan Jemaat perdana. Mereka
dikejar dan akan dibunuh karena Injil. Sampai Paulus dalam penjara pun, rumah tetap menjadi tempat ibadah.
Singkatnya, bahwa dalam ”situasi tertentu” (bahaya) yang mengancam kehidupan orang banyak (jemaat), umat Allah
dalam kisah-kisah Alkitab beribadah di tempat yang dianggap aman. Kenyataan ini dapat kita bandingkan dengan
keberadaan saudara-saudara kita yang ada di wilayah konflik (SARA) dibeberapa daerah di negeri ini, Pendeta
dibunuh, warga jemaat dalam pelarian namun ibadah tetap jalan. Dimana ? di gedung gereja ? Bukan ! tetapi di
tempat-tempat persembunyian, di tenda-tenda darurat, dan juga di rumah masing-masing.
Kedua, Kita sekarang berada disituasi bahaya karena virus Corona. Berefleksi dari informasi Alkitab diatas, maka
dalam hal ibadah, sebagai orang percaya kita diajar untuk tidak mengkultuskan tempat. Iman kita tidak boleh
tergantung pada tempat. Di saat wabah mematikan ini mengancam kehidupan semua orang, kita tidak berdosa
beribadah dirumah. Mengalihkan lokasi ibadah dari gedung gereja ke rumah masing-masing keluarga bukan sikap
‘tidak beriman’ tetapi justru sebaliknya itu adalah penegasan dari cara beriman kita yang tidak menduakan Tuhan.
Iman kita tetap terpusat pada Allah dalam Kristus Yesus. Dialah perisai keselamatan kita. Dia gunung batu
perlindungan, tempat perteduhan yang kokoh dan dasyat. Bukan gedung, bukan tempat !
Ketiga, Ibadah Kain ditolak Tuhan karena ibadahnya tidak desertai dengan pertobatan. Ibadah Habel diterima karena
datang dengan hati yang tulus. Jadi hal beribadah kepada Tuhan bukan sekadar kewajiban agamawi. Beribadah
berarti mau menghampiri Dia dengan hati yang hancur. Sikap hati penuh pertobatan. Kita ingat pula bagaimana Amos

Page | 3
berteriak mengkritik cara beribadah umat Israel yang hanya formalistik. Amos menyerukan pertobatan secara sosial,
karena ibadah mereka dibenci Tuhan (Amos 5:21). Dengan wabah Corona yang mengancam kita saat ini, bisa kita
jadikan evaluasi diri terhadap kebiasaan beribadah kita. Benarkah kita datang beribadah di gereja dengan sikap hati
yang penuh pertobatan ? Banyak yang menjadi “galau” ketika ibadah Minggu dialihkan ke rumah masing-masing,
dengan berbagai argumentasi bahwa seolah-olah kita tidak lagi beriman dan tidak takut Tuhan. Padahal sebelum
pelaksanaan ibadah Minggu dialihkan di rumah, banyak orang percaya yang masa bodoh dan enggan ke gereja. Ada
yang rajin ke gereja tetapi perhatikan apa yang sering dilakukan: asyk dengan handphone saat khotbah disampaikan,
tidur saat doa syafaat, merokok diluar dan hal lain yang tidak menjaga kekudusan ibadah. Rajin menjalankan ritual
agamawi, tetapi hubungan antar sesama diwarnai dengan irih hati dan kebencian (istilah orang Sangihe: Sedu kiri
kanan), tak pernah dibenahi. Motivasi ke gereja bukan menghampiri Tuhan dengan sikap hati yang bertobat tetapi
tidak lebih (maaf) menunjukan gaya busana, rambut ala artis sinetron, sepatu baru dan lain sebagainya. Tak terkecuali
kita sebagai pelayan, motivasi melayani hanya karena “ada sesuatu” yang dicari dari pelayanannya. Uang dan
popularitas sering menjadi godaan dalam panggilan pelayanan. Dari semua realitas ini harusnya kita semua ada
dalam perenungan ini. Hal yang substansial bukan dimana kita beribadah tetapi seperti apa motivasi dan suasana
hati kita dalam menjumpai Tuhan. Hal seperti ini pernah disampaikan Tuhan Yesus dalam Injil Yohanes 4:21 :
“Percayalah kepadaKu…kamu akan menyembah Aku bukan di gunung ini, bukan juga di Yerusalem ” (Yerusalem
pusat agama, disitu Bait Suci berdiri). Yesus tidak mempersoalkan tempat, tetapi perhatikan kalimat Tuhan Yesus
diayat 23 “tetapi,…penyembah benar menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran. Sebab Bapa menghendaki
penyembah-penyembah yang demikian”. Sangat jelas yang dikehendaki Tuhan adalah motivasi, sikap hati dan
komitmen iman kepadaNya. Letak ibadah yang benar bukan pada tempat tetapi kekudusan hati.
Keempat, Kita perlu memahami bahwa yang disebut gereja (Yunani : eklesia) adalah orang yang dipanggil keluar dari
kegelapan menuju terang. Maka pemahaman gereja tidak kita batasi pada gedungnya, gereja bukan sebatas
lembaganya tetapi gereja adalah orang-orangnya. Saya dan saudara. Kita semua yang dipanggil dari kegelapan dosa
ke dalam terang Tuhan (I Petrus 2:9-10). Ingat nasehat Paulus dalam I Korintus 3:16 :” Tidak tahukah kamu bahwa
kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu ? ” Jadi pahami bahwa gereja bukan gedung tempat
kita beribadah. Gereja adalah kita, didalam kita berdiam Roh Allah. Dimana pun kita beribadah jika kita beribadah
dengan sikap hati penuh pertobatan disitu Allah berdiam dengan kita.
Kelima, Kita diajar untuk tidak menyepelekan fungsi rumah yang dijadikan tempat kita beribadah. Di rumah seisi
keluarga kita berkumpul. Tetapi kita perlu jujur bahwa gaya hidup modern telah mengubah gaya hidup semua orang
termasuk keluarga-keluarga Kristen. Kita terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Orang tua sibuk mengejar
karier/mencari nafkah (dengan berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan) meninggalkan anak dan keluarga.
Anak-anak kehilangan perhatian dan lebih banyak menghabiskan waktunya di perkumpulan gank motor dan
komunitas lain yang semakin menjauhkan mereka dari cinta kasih dan perhatian orang tua. Bahkan mungkin setiap
ibadah Minggu di gereja tidak semua anggota keluarga beribadah bersama. Di situasi seperti sekarang ini, kita diajak
untuk siuman dari gemerlapnya dunia modern yang cenderung individualistik. Situasi ini menyadarkan kita tentang
apa arti sebuah keluarga. Teolog Katolik Romo Mangunwijaya dalam bukunya “Gereja Diaspora” (yang sangat
terkenal itu) menegaskan bahwa keluarga adalah Ecclesiola (gereja mini). Menurut Romo, Menghadapi arus
modernisasi, keluarga adalah titik simpul membangun reksa Pastoral. Di dalam keluargalah pertama kali kita saling
memberi dan berbagi cinta kasih. Saling menasehati dan bertumbuh pada kehidupan beriman yang benar dan kuat
(band. Ulangan 6 : 4 – 9). Karena itu peliharalah hidup beribadah dalam keluarga sebab keluarga adalah “gereja
mini”. Keluarga adalah unit persekutuan kecil. Karena itu benarlah himbauan Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom,
M.Th bahwa beribadah dirumah tidak mengurangi nilai sebuah persekutuan.

Page | 4
Keenam, Disaat kita menghadapi ancaman yang membahayakan diri kita, ada 2 (dua) cara beriman yang
diterangkan dalam teks Matius 4:5-7. Pertama dengan cara Yesus, yakni beriman dengan hikmat Allah. Ajaran
Tuhan Yesus ini mengingatkan kita bagaimana Allah mengingatkan Israel melaui Musa, tentang cara mengasihi
(=beriman) kepadaNya, yaitu : Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan
segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu (Matius 22:37). Yang kedua, percaya menurut cara Iblis,
yakni suka dan senang mengutip ayat firman. Ayat Alkitab diperalat untuk mempengaruhi orang lain. Menurut Tuhan
Yesus ini adalah cara beriman yang mencobai Tuhan. Karena itu menghadapi bahaya virus Corona, Jangan
menerapkan gaya beriman yang suka “mengobral” ayat Alkitab. Jangan sembarang cabut ayat Alkitab terlepas dari
konteksnya. Jangan peralat ayat Alkitab. Karena hal itu sama dengan ‘mencobai Tuhan’ dan itu tidak dikehendaki
Kristus. Mencobai Tuhan adalah pekerjaan Iblis. Itu tipu daya Iblis. Berimanlah dengan mengikuti cara Yesus yakni
Beriman dengan hikmat Allah.
Kuatlah bergumul dalam doa jangan andalkan kekuatan kita, tetapi libatkan Tuhan dalam segala hal.
Mintalah kepada Tuhan agar kita terlindungi dari wabah corona. Katakan dengan segenap hatimu, dengan segenap
jiwamu, dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu bahwa Yesus ajaib. Yesus dasyat. Dialah
perisai keselamatan kita, Gunung batu perlindungan yang kokoh tempat perteduhan yang aman.
Mawu pungụ Kawasạ mĕnahimata satia. Mil᷊umbako i kite kẹ̆bị tatapĕ madal᷊indung su kokọ ụ kawasaNE

Salam Kudus dalam penghayatan Minggu Sengsara V dari tanah Maobungang,


Pdt. R. E. Antara, S.Th

Page | 5

Anda mungkin juga menyukai