Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia terus mengalami sebuah proses yang tiada henti menuju perubahan demi
perubahan. Paradigma perubahan selalu diawali dan dipandu oleh ilmu pengetahuan yang
merupakan ranah kognitif manusia. Bersumber pada ranah perubahan kognitif selanjutnya
menuju tahap perubahan nilai (afeksi) dan pada titik tertentu membentuk sebuah skill
(performance) pada diri manusia dalam bentuk perilaku sikap sosial dalam kebudayaannya.
Maka pergeseran paradigma kognitif dalam hal ini ilmu pengetahuan secara simultan akan
melahirkan pergeseran yang signifikan pada ranah-ranah yang lain. Disinilah secara kasat
mata pergeseran kehidupan manusia terus mengalami gelombang yang tiada pernah berhenti,
laksana gelombang peradaban yang terus bergerak nampak tiada bertepi.

Gelombang peradaban yang abadi tersebut dibingkai oleh hasrat manusia yang terus
bersemayan dalam diri. Manusia senantiasa merasa tidak puas dan tidak dapat bertahan
dengan perkembangan pengetahuan pada periode-periode sebelumnya. Secara teologis,
pengetahuan animisme, bergeser menuju dinamisme dari dinamisme menuju ke politeisme,
dan politeisme menuju konsep monoteisme. Menyangkut paradigma ilmu pengetahuan, dari
teosentris, ke empirisme, dari empiris ke rasionalisme, dari rasionalisme ke positivisme, dari
positivisme ke materialisme, dari materialisme ke idealisme dan pada tataran tertentu
intuisionisme juga mendapat posisinya sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Berbagai
simbol telah diciptakan manusia untuk dilekatkan mewakili bahasa manusia dalam menyebut
pergeseran paradigma pemikiran dan pengetahuan manusia dari waktu ke waktu.

Kerangka pikir atas pergeseran pengetahuan manusia mengacu pada sebuah freame
besar yakni masa kuno/klasik, masa pertengahan, masa modern dan postmodern. Secara
siginifikan masa klasik dan pertengahan di barat, wacana pikir dan rasionalisme manusia,
belum mendapatkan porsi yang signifikan. Pada masa modern rasio manusia seolah-olah
sebuah kendaraan yang sangat daksyat mengantarkan manusia pada sebuah kehidupan yang
seolah-olah nyaman dan penuh kemapanan. Dengan perkembangan teknologi yang terstruktur
sedemikian rupa. Disinilah modernisme dicirikan dengan gerakan rasionalisme yang begitu
gencar. Rasionalisme telah menggiring manusia pada sebuah masa pencerahan yang disebut
dengan mainstream pemikiran modernisme dan fakta sosialnya disebut modernitas. Setelah
berjalan sekian dekade kemapanan dan kenyamanan paham modernisme mendapat kritik dan

1
pergeseran paradigma. Pergeseran pemikiran modernisme itu mendapat kritik yang cukup
signifikan yang merupakan mainstream gerakan postmodernisme dengan segala lingkup dan
permasalahannya. Oleh karena itu, Postmodern merupakan salah satu isu yang seolah tidak
pernah padam di dunia pemikiran filsafat. Hingga saat ini pun banyak yang memperdebatkan
tentang pengertian maupun batas dari zaman postmodern itu sendiri. Apa yang menjadi
pembeda antara modern dan postmodern? Apakah ketika zaman postmodern berjalan, zaman
modern lenyap? Serta banyak pertanyaan lain yang muncul terkait postmodern.

Perjalanan sejarah umat manusia telah memasuki apa yang disebut zaman
Postmodern. Namun demikian nampaknya belum ada kesepakatan tentang konsep
Postmodern tersebut. Dalam kajian Postmodernisme mengisyaratkan pada dua hal. Pertama,
Postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern. Dalam hal ini
modernisme dipandang telah mengalami proses akhir yang akan digantikan dengan zaman
berikutnya, yaitu postmodern. Kedua, Postmodern dianggap sebagai gerakan intelektual
(intellectual movmen) yang mencoba menggugat, bahkan mendekonstruksi pemikiran
sebelumnya yang berkembang dalam bingkai paradigma pemikiran modern dengan pilar
utamanya kekuatan rasionalitas manusia, hal ini ingin digugat karena telah menjebak manusia
kepada absolutisme dan cenderung represif.

Menurut Bambang Sugiharto, terdapat tiga konsepsi tentang postmodern yang dapat
digolongkan sebagai berikut. Pertama, pemikiran yang hendak merevisi kemodernan dan
cenderung kembali ke pra-modern. Corak pemikiran yang mistiko-mitis dan semboyan khas
pemikiran ini adalah holisme. Kedua, pemikiran yang erat pada dunia sastra dan banyak pada
persoalan linguistik. Kata kunci yang populer adalah dekonstruksi, yaitu Kecenderungan
untuk mengatasi gambaran-gambaran dunia modern melalui gagasan anti gambaran dunia
sama sekali. Semangat membongkar segala unsur yang penting dalam sebuah gambaran
dunia, seperti diri, tuhan, tujuan, dunia nyata dan lain-lain. Tokoh yang berperan dalam teori-
teori tersebut adalah J. F. Lyotard, M. Foucauld, Jean Baudrillard, Jacques derrida. Ketiga,
pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme secara
total, namun dengan memperbaharui premis-premis modern disana-sini saja. Singkat kata,
kritik terhadap imanen terhadap modernisme dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi
negatifnya.

Sebagaimana diketahui bahwa modernisme yang sangat menganggungkan kekuatan


rasionalitas, mengusung pandangan hidup saintifik, sekularisme, rasionalisme, empirisme,

2
cara berfikir dikotomis, pragmatisme, penafian kebenaran metafisis meskipun telah
menghasilkan berbagai sains modern dan teknologi akan tetapi telah menyisakan problem
serius yakni membawa manusia pada absolutisme, alienasi serta cenderung represif. Oleh
karenanya Postmodern muncul sebagai gugatan atas woldview zaman modern yang bersifat
absolut dan represif ini. Postmodern membawa dan mewacanakan Plurisme, relativisme dan
penolakan terhadap kebenaran tunggal seperti yang terjadi di zaman modern.

Dalam sejarahnya, pemikiran Islam mengalami dinamika yang variatif, pasang surut,
benturaan dengan peradaban Barat yang selama ini menguasai peradaban dunia telah
membuat umat Islam melakukan rethinking (berfikir ulang) atas pemahaman agamanya.
Corak-corak pemikiran yang bersifat konservatif, tradisionalis mulai ditinggalkan pada masa
Postmodern. Kecenderungn-kecenderungan kritik terhadap kemapanan, moderisme dan
tradisionalisme semakin menggejala dalam era ini. Seiring benturan arus peradaban Barat,
muncullah kemudian nama-nama yang memiliki pemikiran bercorak dekonstruktif seperti
Muhammad Arkoun, Ashghar Ali Engineer juga Hassan Hanafi. Merekalah yang biasa
disebut-sebut berada pada garda depan dalam pemikiran Islam Postmodern. Oleh karena itu,
perlu diketahui bagaimana arah pemikiran Islam era Postmodernisme agar dapat diketahui
pula arah gerakan Islam dalam menghadapi era ini. Disinilah paper ini akan mencoba
memberikan paparan yang komprehensip berkaitan dengan Postmodernisme dan kritik ilmu
pengetahuan modern.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, maka permasalahan
dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah lahirnya aliran postmodernisme?
2. Apa yang dimaksud dengan postmodernisme?
3. Apa saja yang menjadi lingkup discourse dan dimensi postmodernisme?
4. Apa saja yang menyebabkan munculnya postmodernisme?
5. Apakah yang menjadi asas pemikiran postmodernisme?
6. Bagaimana agama dalam pandangan postmodernisme?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan dari
penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui sejarah lahirnya aliran postmodernisme

3
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan postmodernisme
3. Untuk mengetahui lingkup discourse dan dimensi postmodernisme
4. Untuk mengetahui apa saja yang menyebabkan munculnya postmodernisme
5. Unuk mengetahui asas pemikiran postmodernisme
6. Untuk mengetahui agama dalam pandangan postmodernisme

1.4 Manfaat Penulisan Makalah


Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
maka manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan mampu menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai
epistemologi postmodernisme
2. Diharapkan dapat memberi informasi bagi kita semua sehingga dapat memperkaya
bahan kajian tentang postmodernisme dan pandangan dalam agama islam.

1.5 Metode Pengumpulan Data


Metode yang kami gunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode kepustakaan,
yaitu dengan mencari literatur yang berhubungan dengan bahasan makalah kami.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Filsafat Postmodern

Istilah postmodern pertama kali dicetuskan oleh sekitar tahun 1870-an di beberapa
tempat, salah satunya adalah John Watknis Chapman yang mengemukakan adanya sebuah
gaya baru dalam lukisan yang disebut a Postmodern style of painting sebagai sebuah genre
luksisan setelah Impresionisme Prancis.
Dalam dunia journalisme J.M. Thompson pada tahun 1914 menyatakan bahwa
postmodernisme adalah sebuah perubahan tingkah laku masyarakat yang kian kritis yang
diubgkapkannya dalam media The Journal Hibbert
Selanjutnya pada tahun 1917 Rudolf Pannwitz menyatakana bahwa postmodernisme
adalah sebuah istilah yang menggambarkan budaya masyarakat yang filosofis,
mempertanyakan satu dan lain hal, bahkan lebih jauh lagi, tidak hanya mempertanyakan dan
mencari jawabannya, namun juga mengkritisinya. Sedangkan pencetus pemikiran
postmodernist, pertama kali adalah Arnold Toynbee pada tahun 1939.
Istilah ‘Postmodernisme’ konon pada mulanya muncul di bidang seni, kemudian
menjadi istilah yang cukup popular di dunia sastra-budaya sejak tahun 1950-an. Postmodern
pertama kali muncul di Prancis sekitar tahun 1970-an. Pada awalnya postmodern lahir
terhadap kritik arsitektur, dan harus kita akui kata postmodern itu sendiri muncul sebagai
bagian modernitas. Benih posmo pada awalnya tumbuh di lingkungan arsitektur. Charles
Jencks dengan bukunya “The Languange of Postmodern”. Architecture (1975) menyebut
postmodern sebagai upaya untuk mencari pluraisme gaya arsitektur setelah ratusan tahun
terkurung satu gaya sebagai sebuah gerakan baru dalam perkembangan arsitektur bangunan
sebagai bentuk ketidakpuasan akan arsitektur modern, yang dicetuskan dengan hadirnya
International Style yang menggembar-gemborkan frasa Less is More, dengan menghilangkan
ornamen dan menitikberatkan arsitektur pada segi fungsi, dan meminimalisir setiap bagian
yang dirasa kurang efisien dan tidak fungsional. Diantara ciri utama arsitektur modern adalah
gedung-gedung tinggi menjulang yang sangat teratur tanpa banyak variasi. Pada sore hari di
bulan Juli 1972, bangunan yang mana melambangkan kemodernisasian di ledakkan dengan
dinamit. Peristiwa peledakan ini menandai kematian modern dan menandakan kelahiran
postmodern.

5
Dalam bidang seni, post modernisme menghadirkan sebuah penyegaran karena
dihilangkannya batasan-batasn yang kaku dalam berkarya dan memberikan keleluasan bagi
seniman dalam skala yang amat besar, hingga tercetus frasa Anything Goes yang lekat
dengan perkembangan postmodern di bidang seni .keleluasan berkarya ini tidak terbatas
hanya pada media yang kemudian menghadirkan banyak media baru yang kadang
membingungkan karena pernah dianggap sebagi media yang tabu untuk digunakan sebagai
media berkarya seni. Dari seni arsitektur, istilah Postmodernisme dipakai juga untuk bidang
teori sastra, teori sosial, gaya hidup, filsafat, bahkan juga agama.
Pada akhirnya istilah post-modern dianggap sebagai sebuah zaman yang melahirkan
sebuah pemahaman filosofis yang merangkul semua aspek hidup masyarakat global, baik
dalam seni, musik, literatur, jurnalisme, manajemen, bisnis, dan aspek lainnya, yang
merespon keras cakupan luas imperialisme, universalisme, dan sekulerisme dari zaman
modern beserta pahamnya.
Ketika postmodern mulai memasuki ranah filsafat, post dalam modern tidak
dimaksudkan sebagai sebuah periode atau waktu tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang
hendak melampui segala hal modern. Postmodern ini merupakan sebuah kritik atas
modernitas yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahan. Nafas utama
dari postmodern adalah penolakan atas narasi – narasi besar yang muncul pada dunia modern
dengan ketunggalan gangguan terhadap akal budi dan mulai memberi tempat bagi narasi –
narasi kecil, lokal, tersebar dan beraneka ragam untuk bersuara dan menampakkan dirinya.
Gerakan postmodernisme merupakan gerakan transformasi kultural yang muncul untuk
merespon kegagalan kaum modernis untuk memenuhi janjinya.
Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan atau realita
adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak berkesinambungan satu sama lain.
Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh
relativisme. Kenyataan tidak lebih dari konstruk sosial, kebenaran disamakan dengan
kekuatan atau kekuasaan.
Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang
kehidupan termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan sosiologi. Postmodern
akhirnya menjadi kritik kebudayaan atas modernita. Apa yang dibanggakan oleh pikiran
modern sekarang dikutuk dan apa yang dulu dianggap rendah sekarang justru dihargai.

6
2.2 Pengetian Postmodernisme

Postmodernisme berasal dari kata post dan modern. “Post” atau” pasca” secara literal
mengandung arti sesudah. Awalan “post” pada istilah itu banyak menimbulkan perbedaan
arti. Lyotard mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala
pola kemodernan. David Griffin, mengartikannya sekadar koreksi atas aspek-aspek tertentu
saja dari kemodernan. Anthony Giddens, mengartikannya sebagai wajah arif kemodernan
yang telah sadar diri. Sementara Habermas, satu tahap dari proyek modernisme yang memang
belum selesai. Sementara menurut Tony Cliff, postmodernisme berarti suatu teori yang
menolak teori. Akhiran “isme” berarti aliran atau sistem pemikiran yang menunjuk pada
kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia, epistomologi, dan ideologi modern. Jadi istilah
Postmodernisme berarti era pasca modern berupa gugatan kepada modernisme.
Istilah postmodernisme pertama kali digunakan oleh Frederico de Onis pada tahun
1930-an untuk menyebut gerakan kritik di bidang sastra, khususnya sastra Prancis dan
Amerika Latin. Onis menyebut tahap modernisme awal antara tahun 1896-1905 dan tahap
postmodernisme antara tahun 1905 – 1914 yang ia sebut “periode intermezzo” atau
pertengahan, dan modernitas yang lebih tinggi kualitasnya – dalam tahap ultramodern antara
tahun 1914 – 1932. Kemudian pada 1947, sejarawan Arnold Toynbee memakai kata
postmodern dalam buku A Study of History. Bagi Toynbee, pengertian postmodern adalah
masa yang ditandai perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya
rasionalisme dan pencerahan. Pada tahun yang sama, Rudolf Panwitz menggunakan istilah
postmodern dalam bukunya Die Krisis de Eurpaischen Kultur. Dalam buku ini Panwitz
menyebut “manusia postmodern” sebagai manusia sehat, kuat, nasionalis, dan religius yang
muncul dari nihilisme Eropa. Dan postmodernisme adalah puncak modernisme.
Pada tahun 1957, Peter Drucker menulis subjudul Laporan tentang Dunia
Pascamodern dalam bukunya The Landmarks of Tomorrow. Drucker memperkenalkan istilah
postmodern untuk menyebut perkembangan baru dalam bidang ekonomi yang sudah
memasuki zaman pascaindustri/pascakapitalis, dan revolusi gelombang ketiga.
Tahun 1960-a, Irving Hole menulis Mass Society and Postmodern Fiction. Hole
menyebut sastra kontemporer/postmodern berbeda dengan sastra modern. Menurutnya, sastra
postmodern menunjukkan kemerosotan disebabkan lemahnya para pembaru dan kekuatan
penerobosnya. Baginya, sastra postmodern harus meninggalkan model modern-klasik, dan
orang bebas menangkap dan mengapresiasikan kualitas-kualitas khas dari sastra baru.
Kemudian sastra postmodernisme baru menunjukkan prestasinya yang penting yaitu saat

7
berhasil menjembatani perbedaan antara kebudayaan elite (high culture) dengan kebudayaan
massa (pop culture).
Daniel Bell mengartikan postmodernisme sebagai kian berkembangnya
kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, bersamaan dengan makin
terbebasnya daya-daya instingtual dan kian membubungnya kesenangan dan keinginan yang
akhirnya membawa logika modernisme ke kutub terjauhnya. Itu terjadi terutama melalui
intensifikasi ketegangan-ketegangan struktural masyarakat. Frederic Jameson mengartikan
postmodernisme adalah logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana
kebudayaan umumnya. Ia mengaitkan tahapan-tahapan modernisme dengan kapitalisme
monopoli, sedang postmodernisme dengan kapitalisme pasca perang dunia kedua.
Menurutnya, portmodernisme muncul berdasarkan dominasi teknologi reproduksi dalam
jaringan global kapitalisme multinasional kini.
Sedangkan Jean Baudrillard beranggapan bahwa jika modernisme ditandai oleh
eksplosi (komodifikasi, mekanisasi, teknologi, dan pasar), maka masyarakat postmodern
ditandai oleh implosi (ledakan ke dalam), yakni peleburan segala batas, wilayah dan
perbedaan antara budaya universal dan budaya partikular, penampilan dan kenyataan, dan
beberapa posisi biner lainnya. Kalau modernitas bisa disebut sebagai proses meningkatnya
diferensiasi bidang-bidang kehidupan beserta fragmentasi sosial dan alienasinya,
postmodernitas dapat ditafsirkan sebagai proses de-diferensiasi dan implosi peleburan segala
bidang.
Tahun 1970-an, di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan, postmodernisme
diperkenalkan oleh Jean Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge (1979). Lyotard mengartikan “postmodernisme” sebagai
ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar; penolakan filsafat metafisis, filsafat
sejarah, dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi – seperti Hegelianisme, Liberalisme,
Marxisme, dan isme-isme lainnya. Postmodernisme, sambil menolak pemikiran yang
totaliter, juga “menghaluskan kepekaan terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan
toleransi terhadap kenyataan yang tak terukur. Prinsipnya lalu bukanlah homologi para ahli,
melainkan paralogi para pencipta. Sejak buku ini terbit, perbedaan postmodernisme mencuat
hingga saat ini.
Lyotard membawa istilah “postmodernisme” ke dalam medan diskusi filsafat lebih
luas. Sejak saat itu segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik,
fondasionalisme maupun atas modernisme, diidentikkan dengan “postmodern”. Pandangan
Lyotard tersebut berarti bahwa dalam sebuah masyarakat postmodern, tidak akan muncul lagi

8
sebuah ide tunggal yang menjadi pemersatu semua ide dan menjadi tolak ukur dari
kebenaran. Dapat dikatakan bahwa masyarakat postmodern akan muncul dengan ide-ide yang
beragam. Jika masyarakat modern memiliki ciri khas homogen, maka masyarakat postmodern
akan memunculkan sebuah ciri khas yang heterogen. Oleh sebab itu, istilah
‘postmodernisme” di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan memang ambigu; ia menjadi
sekadar istilah yang memayungi hampir segala bentuk kritik atas meodernisme, meskipun
satu sama lain berbeda. Dengan demikian, istilah postmodernisme dipahami sebagai “segala
bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya”.

2.2.1 Lingkup Discourse dan Dimensi Postmodernisme

Fenomena postmodern mencakup banyak dimensi dari masyakat kontemporer.


Postmodern adalah suasana intelektual yang bersifat Ide atau ”isme” postmodernisme. Para
ahli saling berdebat untuk mencari aspek-aspek apa saja yang termasuk dalam
postmodernisme. Tetapi mereka telah mencapai kesepakatan pada satu butir: fenomena ini
menandai berakhirnya sebuah cara pandang universalisme ilmu pengetahuan modern.
Postmodem menolak penjelasan yang harmonis, universal, dan konsisten yang merupakan
bagian identitas dasar yang membuat kokoh dan tegaknya modernisme. Kaum postmodernis
mengkritik dan menggantikan semua itu dengan sikap menghargai kepada perbedaan dan
penghormatan kepada yang khusus (partikular dan lokal). Lalu membuang yang universal.
Postmodernisme menolak penekanan kepada penemuan ilmiah melalui metode sains. Metode
ilmiah ini merupakan fondasi intelektual dari modernisme untuk menciptakan dunia yang
seolah-olah lebih baik pada masa-masa awal masa pencerahan. Metode ilmiah telah
mengantarkan modernisme dalam bentuk praktisnya berbagai teknologi.

Dari paparan ini dimaksudkan bahwa ciri dari postmodern adalah melingkupi hal-hal
secara konseptual ide yang meliputi: Pertama Ide yang menghendaki penghargaan besar
terhadap alam ini sebagai kritik atas gerakan modernisme yang mengeksploitasi alam. Kedua
Ide yang menekankan pentingnya bahasa (Hermeneutik, Filologi) dalam kehidupan manusia
dengan segala konsep dan analisanya yang kompleks, ini sebagai antitesa atas kondisi
modernisme atas kuasa tafsir oleh mesin birokrasi ilmu pengetahuan. Ketiga, Ide besar untuk
mengurangi kekaguman terhadap ilmu pengetahuan, kapitaslisme, dan teknologi yang
muncul dari perkembangan modernisme. Dengan alasan bahwa semua itu telah melahirkan
konstruksi manusia sebagai obyek yang mati dalam realitas kehidupannya. Sehingga

9
menjauhkan manusia dari humanismenya itu sendiri. Keempat, ide pentingnya inklusivitas
dalam menerima tantangan agama lain atas agama dominant sehingga terbuka munculnya
ruang dialogis. Ini muncul sebagai akibat menjamurnya dan tumbuh kembangnya realitas
modernis yang menempatkan ideologi sebagai alat pembenar masing-masing. Kelima sikap
yang cenderung permisive dan menerima terhadap ideologi dan juga agama lain dengan
berbagai penafsiran. Keenam,secara kasuistik munculnya ide pergeseran dominasi kulit putih
di dunia barat. Keenam, merupakan ide-ide cemerlang yang menjadi daya dorong
kebangkitan golongan tertindas, seperti golongan ras, gender, kelas minoritas secara sosial
yang tersisihkan. Ketujuh Ide tentang tumbuhnya kesadaran akan pentingnya interdependensi
secara radikal dari semua pihak dengan cara yang dapat dan memungkinkan terpikirkan oleh
manusia secara menyeluruh.

Ciri yang cukup dominan dari postmodern yang telah disebutkan diatas adalah
mengacu pada ide besar untuk mengurangi kekaguman dan memberikan kritik terhadap ilmu
pengetahuan, dan teknologi, ini berarti menunjukan adanya pergeseran yang siginifikan atas
era modernitas menuju era postmodernisme. Realitas yang cukup jelas bagi gerakan
postmodernisme adalah sikapnya dalam memahami fenomena modern yang bernama
"pengetahuan", khususnya yang menyangkut pengetahuan sosial. Ia memperkarakan tentang
"Apa itu pengetahuan yang benar" secara genealogis dan arkeologis. Artinya, dengan
melacak bagaimana pengetahuan itu telah beroperasi dan mengembangkan diri selama ini.
Kategori-kategori konseptual dengan segala macamnya misalnya tentang "kegilaan",
"seksualitas", "manusia", ”gender” dan sebagainya yang biasanya dianggap "natural" itu
sebetulnya adalah situs-situs produksi pengetahuan. Hal ini membawa implikasi tumbuhnya
gerak mekanisme-mekanisme terselubung sebagai aparatus kekuasaan. Yakni kekuasaan
untuk "mendefinisikan" siapa kita, untuk menjelaskan posisi dan kedudukan kita, untuk
menggambarkan kita dan mereka, untuk mendeskripsikan yang superior dan inferior dan lain-
lain. Ilmu-ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan adalah agen-agen kekuasaan yang demikian itu.
Meski kekuasaan itu tidak selalu negatif-repressif melainkan juga kadang positif-produktif
(menciptakan kemampuan dan peluang baru). Akan tetapi secara umum kuasa ilmu
pengetahuan telah memaksa kita memahami kemodernan bukan lagi sebagai pembebasan.
Modernitas atas kuasa ilmu pengetahuan ternyata sebagai proses kian intensif dan
ekstensifnya pengawasan (surveillance), lewat "penormalan", regulasi dan disiplin untuk
masing-masing posisi.

10
Untuk itulah kehidupan dunia harus diselamatkan dari proses kolonialisasi ilmu
pengetahuan. Postmodernisme dengan gerakan postkolonialismenya menggempur habis-
habisan jerat kuasa pengetahun yang bersembunyi atas nama bendera modernisme. Disinilah
bisa kita temukan watak menonjol dari era postmodernisme mengandung kecenderungan
diantaranya; mengangkat konsep pluralisme, mengacu nilai yang bersifat A Historis,
penekanan pada konsepsi empiris dalam arti konsep fenomenologi dialektis, dan penekanan
pada nilai individualitas diri manusia sebagai sang otonom sehingga postmodernisme
menolak nilai-nilai absolutisme, universalitas, dan homogenitas. Watak utama
postmodernisme tersimpul dalam konsep kritik ideologi besar atas ilmu pengetahuan yang
disebut dengan dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida . Konsep dekonstruksi Derrida ini
merupakan penyempurnaan dari ide destruksi yang dipelopori oleh Heidegger. Meski
diantara derrida ada sejumlah persamaan dan perbedaannya dalam memandang realitas
sebagai sebuah inspirasi pemikiran manusia.

2.2.2 Postmodern dan paham yang lahir karenanya (postmodernism)

Post modernisme secara harafiah dapat diartikan sebagai sebuah masa setelah masa
modern, pun dapat diartikan sebagai sebuah zaman yang melahirkan manusia dengan
pemikiran yang boleh jadi melawan konsepsi-kosepsi yang dipegang oleh modernisme itu
sendiri. Post modernisme menjanjikan sebuah pemahaman akan sebuah dunia baru dengan
gejala pemikiran manusia akan perkembangan dunia yang semakin cair dan luwes. Meskipun
banyak pemikiran post-modernis melawan pakem-pakem yang dipegang oleh modernis, post
modern itu senidiri pun menolaknya. Post modernis mengaku hanya mengkritisi dan mencoba
merevisi kesalahan kesalahan modernisme.

Post-modern adalah sebuah ekspansi besar-besaran oleh skeptisisme yang ‘melanda’


masyarakat global terhadap aspek-aspek hidup secara mendasar, hal ni menyangkut banyak
aspek, seperti hukum, budaya, seni, arsitektur, musik, desain, jurnalisme, dll. Skeptitisme
yang cukup melekat pada pemikiran masyarakat paska modern melahirkan sebuah budaya
kritis dan mempertanyakan banyak hal. Cenderung membuar masyarakat berhati –hati dalam
bertindak. Menolak sikap pasrah akan aturan aturan dan menuntut akan kebebasan yang
sebebas-bebasnya yang kemudian mengacu pada digalakannya liberalisme dan kapitalisme.

Postmodernisme menghalalkan berkembangnya pemikiran manusia pada apapun


dalam skala tertentnu sampai ekstrem, bakan melampaui batas norma, nilai, agama, etika, dan
hukum. Masyarakat paska modern menuntut pertanggung jawaban akan tindakan yang

11
dilakukan manusia. Pemikiran yang tanpa cela, penuh riset, dan tak terbantahkan dalam
melatarbelakangi sebuah perlakuan akan sesuatu pada akirnya akan membuat manusia
menghalalkan semua tindakan yang dilakukan. Post modern adalah sebuah zaman ketika
manusia mencapai sebuah kemerdekaan dalam berfikir dan mengkritisi tanpa batas, menadai
dunia yang kian terbuka dengan manusianya yang kian cair dalam betindak dan berfikir.
Sebuah penilaian dan justifikasi pada sesuatu menjadi amat sangat tidak relevan, mengacu
pada dibolehkannya setiap pemikiran manusia terhadap hal yang dinilainya dengan catatan
pemikiran tersebut dilatarbelakangi oleh sesuatu yang kuat secara mendasar dan mampu
membenarkan. Meskipun potmodern menawarkan sebuah revolusi besar-besaran akan
kebebasan berfikir, post modern pun merupakan titik tolak kembali diangkatnya humaniora
(hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan, hal yang menjadikan manusia manusia)
ditengah gejolak robotisasi manusia yang dipicu oleh kekakuan yang dicetuskan modernisme
yang secara hakiki mengalienisasi manusia. Dilihat dari dikembalikannya manusia pada
unsur pembentuk dan sifatnya, lahirlah sebuah pemikiran bahwa manusia adalah mahluk
yang berfikir, dan dibatasinya ruang berfikir manusia (dengan adanya aturan, regularisasi, dll)
adalah seseuatu yang dapat menghilangkan sifat manusia yang paling mendasar itu sendiri.
Melahirkan kebebasan berfikir yang telah saya singgung sebelumnya.

2.3 Konteks Sosial yang Melahirkan: “Penyimpangan” Modernisme

Munculnya pasca-modernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu sendiri.


Kata modernisme mengandung makna serbamaju, gemerlap, dan progresif. Pengertian ini
tidak berlebihan, karena modernisme berkaitan dengan bentuk-bentuk kebudayaan yang
ditandai dengan rasionalisme, positivisme, empirisme, industri, dan kecanggihan teknologi.
Dengan ciri-ciri tersebut, modernisme menyuguhkan suatu keadaan yang selalu berubah dan
tidak pasti. Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa perubahan ke dunia
yang lebih mapan di mana urusan materi atau kebutuhan jasmani akan terpenuhi, tidak akan
ada lagi kelaparan atau kekurangan material, itulah janjinya. Teknologi akan membawa kita
ke kehidupan yang serbamudah, cepat, dan lebih baik. John Naisbit dalam bukunya High
Tech High Touch mengatakan, teknologi tak henti-hentinya menawarkan penyelesaian kilat.
Teknologi berikrar akan membuat kehidupan menjadi lebih baik, membuat kita lebih pintar,
meningkatkan kinerja kita, dan membuat kita bahagia.

Rasionalitas – hasil pencerahan akal budi – akan membantu kita menghadapi mitos-
mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat manusia tak

12
berdaya dalam menghadapi dunia ini. Barker menjelaskan bahwa akal dapat
mendemistifikasi dan menyingkap dunia, mengalahkan agama, mitos, dan takhayul. Dalam
filsafat dan wacana teoritis mengenai modernitas, “akal” dinobatkan sebagai sumber
kemajuan dalam pengetahuan dan masyarakat. Disini tugas flsafat pencerahan adalah
berupaya untuk mencari kebenaran universal, yakni prinsip-prinsip pengetahuan yang
berlaku pada waktu, tempat, dan budaya manapun. Peran pemikiran pencerahan bagi
kemajuan hidup manusia adalah mendorong perkembangan ilmu-ilmu, pendidikan universal,
kebebasan politik dan keadilan. Salah satu ciri paling khas dari zaman modern adalah ide-ide
besar atau biasa disebut dengan grand narratives yang benar-benar menjadi ide pemersatu
banyak golongan demi mendapatkan sebuah tujuan bersama yang ingin dicapai. Jadi
modernisme adalah proses gerakan perubahan individu dan cara hidup yang bersifat
tradisional atau yang bersifat lama menuju cara hidup yang baru atau yang manju dan
bersifat kompleks dan pada arah kemajuan. Adanya modernisasi ini melahirkan modernisasi
ekonomi dan modernisasi sosial.

Namun demikian, modernisme mempunyai sisi gelap yang menyebabkan kehidupan


manusia kehilangan disorientasi. Para pemikir, seperti Max Horkheimer, Adorno, dan Herbert
Marcuse – yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt, mengkritik bahwa pencerahan bukannya
melahirkan kemajuan, tetapi justru memunculkan penindasan dan dominasi. Akal mengarah
bukan pada pemenuhan kebutuhan material atau pencerahan filosofis, melainkan pada kontrol
dan perusahaan. Teori kritis ingin membebaskan manusia dari pemanipulasaian para teknorat
modern.

“Sisi gelap” modernisme, menurut Anthony Giddens dalam The Consequences of


Modernity (1990), menimbulkan berkembang biaknya petaka bagi umat manusia. Pertama,
penggunaan kekerasan dalam menyelesaika sengketa. Kedua, penindasan oleh yang kuat atas
yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian parah. Keempat, kerusakan lingkungan
hidup yang kian mengkhawatirkan. Produk akhir yang menimbulkan petaka tersebut,
terutama dipicu oleh: Pertama, kapitalisme liberal yang mensyaratkan kompetisi tiada akhir
akan pertarungan pasar. Kedua, industrialisme yang mensyaratkan inovasi tiada henti uantuk
memenangkan persaingan pasar bebas. Ketiga, lemahnya kekuatan negara di dalam
mengemban tugas minimalnya untuk menciptakan tertib sosial yang aman, rukun, damai, dan
adil.

13
Pada taraf praktis, terdapat konsekuensi buruk modernisme, antara lain: Pertama,
pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek,
spiritual-material, manusia-dunia, dan sebagainya, telah mengakibatkn objektivitas alam
secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Hal ini telah mengakibatkan krisis
ekologi. Kedua, pandangan modern yang bersifat objektivitas dan positivis, akhirnya
menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagai mesin. Akibat
pandangan ini, pola hubungan masyarakat menjai tidak manusiawi. Ketiga, modernisme
memandang ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi.
Nilai-nilai moral dan religius pun kehilangan wibawanya. Akibatnya, timbullah disorientasi,
yang menyebabkan meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental, dan disorientasi
hidup. Keempat, materialisme, yakni orientasi hidup untuk memiliki dan menguasai hal-hal
material. Aturan main utama adalah survival of the fittest, atau dalam skala yang besar:
persaingan pasar bebas. Kelima, militerisme. Kekuasaan yang menekan denga ancaman
kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Maka peperangan dengan
persenjataan canggih dan nuklir sering dijadikan jalan pintas untuk menyelesaikan konflik
antarmanusia dan antarbangsa. Akibat peperangan dan kekerasan ini, korban manusia sejak
tahun 1990 mencapai lebih dari 120 orang meninggal dunia. Keenam, bangkitnya kembali
Tribalisme, atau mentalitas yang menggunggulkan suku atau kelompok sendiri. Munculnya
fundamentalisme agama adalah contoh dari fenomena ini.

Krisis sains modern yang menimbulkan petaka kehidupan manusia, menyadarkan


ilmuwan untuk merevisi asumsi-asumsi yang mendasari bangunan sains modern. Thomas
Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1962), mengatakan bahwa pada
masa tertentu ilmu normal (normal science) mendominasi aktivitas ilmiah. Tetapi seiring
dengan perkembangan dan perubahan, ilmu normal tidak dapat lagi menjelaskan
perkembangan yang terjadi. Inilah yang kemudian melahirkan krisis ilmu pengetahuan. Krisis
ini menjadi cikal-bakal terjadinya revolusi ilmiah. Menurut Kuhn, revolusi ilmiah itu
pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara pandang terhadap dunia dan contoh-
contoh prestasi atau praktik ilmiah konkret. Krisis metode ilmiah dan lahirnya revolusi, dapat
digambarkan tahap-tahapny sebagai berikut:

Tahap I : paradigma ilmiah membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu
normal (normal science). Di sini ilmuwan menjabarkan dan mengembangkan paradigma
sebagai metode ilmiah. Selama menjalankan aktivitas ini, para ilmuwan menjumpai berbagai
fenomena yang tidak dapat dijelaskan dengan paradigma yang digunakan, yang dinamakan

14
anomali atau krisis. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya
ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.

Tahap II : menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan para ilmuwan terhadap


paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari
jalur ilmu normal.

Tahap III : para ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sembari
memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa
memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dan
paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.

2.3.1 Kritik Postmodernisme atas Ideologi Ilmu Modern

Postmodernisme merupakan suatu fenomena yang menggejala dalam kancah ide dan
pemikiran. Kelahiran postmodernisme merupakan akumulasi konkret atas kritik modernisme
yang dirasakan kurang memenuhi tuntutan inteletual dalam menyelesaikan problem-problem
sosial dan kemanusian. Di tengah pemikiran dan ide postmodernisme yang carut marut,
minimal dapat dikemukakan sejumlah kritik ideologis yang diajukan oleh pemikir
postmodernis atas gerakan modernisme,yang mencakup hal-hal sebagai berikut :

Pertama, penafian atas ke-universal-an suatu pemikiran (totalism). Para penganut


postmodernisme beranggapan, tidak ada realita yang bernama rasio universal. Yang ada
adalah relativitas dari eksistensi plural. Oleh karenanya, perlu dirubah dengan cara berpikir
dari “totalizing” menuju “pluralistic and open democracy” dalam segala aspek kehidupan.
Dari sini dapat diketahui, betapa postmodernisme sangat bertumpu pada pemikiran
individualisme sehingga dari situlah muncul relativisme dalam pemikiran seorang
postmodernis. Ini jelas sangat berbeda dengan konsep metode ilmiah dan gejala ilmu
pengetahuan modern yang menitikberatkan pada konseptualisasi dan universalisasi teori.
Misalnya kita mengenal konsep induksi, deduksi, silogisme dan lain sebagainya yang
menjadi acuan pokok untuk menemukan ide universal akan sebuah pengetahuan modern.
Disinilah postmodernisme berpendapat semuanya itu hatus ditinggalkan dan ditinjau ulang.

Kedua, penekanan adanya pergolakan pada identitas personal maupun sosial secara
terus-menerus yang tiada henti. Hal itu sebagai solusi dari konsep yang permanen dan mapan
yang merupakan hasil dari kerja panjang modernisme. Postmodernis memberikan kritik
bahwa hanya melalui proses berpikirlah yang dapat membedakan manusia dengan makhluk

15
lain. Jika pemikiran manusia selalu terjadi perubahan, maka perubahan tadi secara otomatis
akan dapat menjadi penggerak untuk perubahan dalam disiplin lain. Postmodernisme
menolak segala bentuk konsep fundamental —bersifat universal—yang bernilai sakralitas
seolah menempati posisi sebagai tumpuan atas konsep-konsep lain. Manusia postmodernis
diharuskan selalu kritis dalam menghadapi semua permasalahan, termasuk dalam mengkritisi
prinsip-prinsip dasar – dasar pengetahuan modern yang dianggap baku dan mapan.

Ketiga, semua jenis ideologi harus dikritisi dan ditolak. Selayaknya dalam konsep
berideologi, ruang lingkup dan gerak manusia akan selalu dibatasi dengan mata rantai
keyakinan prinsip yang permanen. Sedang setiap prinsip permanen dengan tegas ditolak oleh
kalangan postmodernis. Oleh karenanya, manusia postmodernis tidak boleh terikat pada
ideologi permanen apapun, termasuk ideologi agama sekalipun.

Keempat, setiap eksistensi obyektif dan permanen harus diingkari. Atas dasar
pemikiran relativisme, manusia postmodernis ingin membuktikan tidak adanya tolok ukur
sejati dalam penentuan obyektifitas dan hakekat kebenaran,kebenaran agama sekaligus. Ini
tentu sangat berbeda dengan paradigma modernisme pada ilmu pengetahuan modern yang
sangat menekakan obyektifitas dalam prosesdur ilmiah untuk mendapatkan kebenaran.
Ungkapan Nietzsche (1844-1900), “God is Dead”. Atau ungkapan lain seperti “The Christian
God has ceased to be believable”, terus merebak dan semakin digemari oleh banyak kalangan
di banyak negara Barat, sebagai bukti atas usaha propaganda mereka yang mengusung tema
konsep nihilisme dalam filsafat posmodernisme.

Kelima, semua jenis epistemologi harus dibongkar. Kritik tajam secara terbuka
merupakan asas pemikiran filsafat postmodernisme. Pemikiran ataupun setiap postulat—yang
bersifat prinsip—yang berkaitan dengan keuniversalan, kausalitas, kepastian dam sejenisnya
akan diingkari. Berbeda halnya pada zaman Modernis, semua itu dapat diterima oleh manusia
modernis. Ini mengandung arti bahwa rencana postmodernisme adalah dalam rangka
mengevaluasi kembali segala pemikiran yang pernah diterima pada masa modernisme,
dengan cara mengkritisi dan menguji ulang. Meskipun pada prakteknya sulit sekali untuk
menemukan kerangka epistemologi yang jelas dari gaya pemikiran posmodernisme itu
sendiri.

Keenam, postmodernisme memiliki ide besar melakukan pengingkaran penggunaan


metode permanen dan paten dalam menilai fakta dan realitas serta ilmu pengetahuan. Jika
dilihat secara spintas, postmodernist cenderung menerapkan metodologi berpikir “asal

16
comot” dengan mainstream pemikiran yang kurang jelas dan tidak beraturan.
Postmodernisme seolah tampak menghalalkan segala cara sehingga cenderung bebas nilai.
Namun ini perlu disadari bahwa hakekatnya Postmodernisme ingin membuka berbagai
penafsiran baru atas kekakuan yang diciptakan oleh paham modern. Era postmodernisme
adalah era pemikiran dengan pola penggabungan dari berbagai jenis pondasi pemikiran
filosofis. Posmodernist tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk pondasi
pemikiran filsafat. Hal ini dilakukan untuk menentang kaum tradisional yang tidak memiliki
pemikiran maju karena mengacu pada satu asas pemikiran saja. Postmodernisme mengakui
bahwa apa yang ada sekarang ini adalah apa yang disebut dengan post philosophy, puncak
perbedaan dengan filsafat modernis. Dengan jenis filsafat inilah, mereka ingin meyakinkan
kaum intelektual bahwa dengan berpegangan prinsip tersebut dapat meraih berbagai hal yang
menjadi impian dalam kehidupan era kontemporer.

Demikian inilah poin-poin penting kritik ideologis ilmu pengetahuan modern yang
digencarkan oleh kaum posmodernisme. Dari paparan tersebut tema besar yang diusung oleh
kaum posmodernisme adalah kerangka dekonstruktif (perombakan total) atas kuasa ilmu
pengetahuan modern yang berbasis rasionalisme, obyektivitas, strukturalis, sistematisasi,
totalisasi, universalisasi dan mengenyampingkan nilai – nilai lain yang justru cukup
siginifikan mempengaruhi realitas. Hal –hal lain inilah yang dipikirkan oleh postmodernisme
sehingga menjadi isu sentral dalam merumuskan kerangka konseptual ide dan pemikirannya.

2.4 Asas Pemikiran Postmodernisme

Berbagai paham dan aliran pemikiran lain di Barat selalu bertumpu dan berakhir pada
empat pola pemikiran yakni epistemologi materialisme, humanisme, liberalisme dan
sekularisme. Tidak terkecuali dengan postmodernisme, ini diikarenakan manusia Barat
berpikir atas dasar epistemologi materialis sehingga berakhir pada anggapan bahwa manusia
adalah simbol kesempurnaan. Dikarenakan manusia adalah eksistensi sempurna, maka ia
dianggap tolok ukur dan kutub semua eksistensi. Dari sinilah muncul pemikiran Humanisme.
Ungkapan “aku berpikir, maka aku ada” adalah perwujudan dari pemikiran di atas. Karena
manusia memiliki rasio, maka ia bisa menjadi poros alam. Jadi rasiolah yang menjadi pusat
kesempurnaan manusia.
Selain itu, manusia juga memiliki kebebasan berkehendak yang tidak boleh dihalangi,
demi kemajuan manusia. Maka berdasarkan rasio dan kebebasan inilah muncul pemikiran

17
liberalisme yang berarti meminimal secara optimal batas gerak manusia. Pembatas gerak
manusia dapat terwujud dalam berbagai bentuk; adat istiadat, kebiasaan maupun norma
agama. Dari situ dimunculkan Sekularisme yang berarti pembatasan dan meminimilir campur
tangan agama pada kehidupan manusia.
Walaupun muncul berbagai persepsi yang berbeda-beda tentang postmodernisme,
namun ada satu kesamaan di antara semua persepsi diatas yakni asas-asas pemikiran
postmodernisme. Selain bertumpu pada empat hal di atas, aliran ini juga bertumpu pada enam
hal dibawah ini, yang mana antara satu dengan yang lain terdapat kaitan yang amat erat,
sebagai berikut:

a. Penolakan atas keuniversalan suatu pemikiran. Para penganut postmodernisme


beranggapan, tidak ada realita yang bernama rasio universal. Yang ada adalah
relativitas dari eksistensi plural. Oleh karenanya, mereka berusaha merubah cara
berpikir dari “totalizing” menuju “pluralistic and open democracy” dalam segala
aspek kehidupan, termasuk berkaitan dengan agama. Dari sini dapat diketahui, betapa
postmodernisme sangat bertumpu pada pemikiran individualisme sehingga dari
situlah muncul relativisme dalam pemikiran seorang postmodernis.
b. Penekanan akan terjadinya pergolakan pada identitas personal maupun sosial secara
terus-menerus, sebagai ganti dari permanen yang amat mereka tentang. Manusia
postmodernis beranggapan, hanya melalui proses berpikir yang dapat membedakan
manusia dengan makhluk lain. Oleh karena itu, jika pemikiran manusia selalu terjadi
perubahan, maka perubahan tadi secara otomatis akan dapat menjadi penggerak untuk
perubahan dalam disiplin lain. Dari sini jelas sekali bahwa postmodernisme menolak
segala bentuk konsep fundamental bersifat universal yang memiliki nilai sakralitas
dan yang menjadi tumpuan konsep-konsep lainnya. Manusia postmodernis diharuskan
selalu kritis dalam menghadapi semua permasalahan, termasuk dalam mengkritisi
prinsip-prinsip dasar agama.
c. Pengingkaran atas semua jenis ideologi. Selayaknya dalam konsep berideologi, ruang
lingkup dan gerak manusia akan selalu dibatasi dengan mata rantai keyakinan prinsip
yang permanen. Sedang setiap prinsip permanen dengan tegas ditolak oleh kalangan
postmodernis. Oleh karenanya, manusia postmodernis tidak boleh terikat pada
ideologi permanen apapun, termasuk ideologi agama.
d. Pengingkaran atas setiap eksistensi obyektif dan permanen. Atas dasar pemikiran
relativisme yang mereka yakini, manusia postmodernis berusaha meyakinkan bahwa

18
tidak ada tolok ukur sejati dalam penentuan obyektifitas dan hakekat kebenaran.
Tuhan yang dianggap sakral oleh manusia agamis pun diingkari kaum postmodernis.
Ungkapan Nietzsche “God is Dead” atau ungkapan lain seperti “The Christian God
has ceased to be believable”, terus merebak dan semakin digemari oleh banyak
kalangan di banyak negara Barat, sebagai bukti atas usaha propaganda mereka. Ingat,
ungkapan mereka tidak hanya berkaitan dengan agama Kristen, namun akan mereka
generalisasi kesemua agama termasuk Islam.
e. Kritik tajam atas semua jenis epistemologi. Kritik tajam secara terbuka merupakan
asas pemikiran filsafat postmodernisme. Pemikiran ataupun setiap asumsi yang
bersifat prinsip yang berkaitan dengan keuniversalan, sebab akibat, kepastian dam
sejenisnya akan diingkari. Berbeda halnya pada zaman Modernis, semua itu dapat
diterima oleh manusia modernis. Tentu, hal itu bukan berarti bahwa semua pemikiran
yang dulu terdapat pada masa modernisme ditolak mentah-mentah oleh
postmodernisme. Rencana postmodernisme pada kasus tersebut adalah dalam rangka
mengevaluasi kembali segala pemikiran yang pernah diterima pada masa
modernisme, dengan cara mengkritisi dan menguji ulang. Henry Girao, seorang
interpretator postmodernisme mengatakan, “Tugas filsafat adalah untuk meminimilir
kedekatan jarak antara modernisme dan postmodernisme, terutama dalam bidang
tujuan maupun target pendidikan dan pengajaran”.
f. Pengingkaran akan penggunaan metode permanen dan paten dalam menilai maupun
berargumen. Dengan kata lain, para manusia postmodernis cenderung menggunakan
metodologi berpikir “asal comot” tanpa dasar standar logika yang jelas. Konsep
berfilsafat dalam era postmodernisme adalah hasil penggabungan dari berbagai jenis
pondasi pemikiran. Mereka tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk
pondasi pemikiran filsafat tertentu. Hal ini mereka lakukan demi menentang kaum
tradisional yang selama ini mereka anggap tidak memiliki pemikiran maju karena
mengacu pada satu asas pemikiran saja. Padahal tanpa mereka sadari, pengadopsian
berbagai pondasi pemikiran sangat rawan dalam kesalahan berpikir. Berapa banyak
paradok terjadi antara pemikiran filsafat satu dengan yang lain. Itulah yang sekarang
ini dihadapi oleh para pendukung postmodernisme, paradoksi pemikiran. Untuk
menutupi rasa malunya, para pendukung postmodernisme seperti Rorty, menganggap
bahwa apa yang mereka dapati sekarang ini adalah apa yang disebut dengan post
philosophy, puncak perbedaan dengan filsafat modernis. Dengan jenis filsafat inilah,
mereka ingin meyakinkan masyarakat Barat bahwa dengan berpegangan dengan

19
konsep dan ideologi tersebut mereka akan dapat meraih berbagai hal yang menjadi
impian dalam kehidupannya. Namun, mereka tetap tidak dapat lari dan bersembunyi
dari segala bentuk paradoksi pemikiran yang selalu menghantui dan menghadangnya.

2.5 Ciri-ciri Pemikiran Postmodernisme

Peristilahan yang disandang Postmodern menimbulkan perdebatan luar biasa diantara


para filsuf, meskipun demikian postmodern merupakan gerakan kultural yang berupaya
merefleksikan gambaran dunia secara kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas
metafisika pada umumnya, yang mempunyai ciri pluralistik, dekonstrukstif dan relativistik.

Firman Allah dalam Surat Al-Qashaah:17

َ‫يرا ِل ْل ُم ْج ِر ِمين‬ َ َ‫ي فَلَ ْن أ َ ُكون‬


ً ‫ظ ِه‬ َ ‫ب ِب َما أ َ ْن َع ْم‬
َّ َ‫ت َعل‬ ِ ِّ ‫قَا َل َر‬
77. dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Berdasarkan hal tersebut dalam upaya pemetaan wilayah Postmodernisme, menurut


Amin Abdullah ada tiga fenomena dasar yang menjadi tulang punggung arus pemikiran
postmodernisme yang ia istilahkan dengan ciri-ciri struktur fundamental pemikiran
Postmodernisme, yaitu:

1. Dekonstruktifisme
Hampir semua bangunan atau konstruksi dasar keilmuan yang telah mapan
dalam era modern, baik dalam bidang sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah,
bahkan juga dalam ilmu-ilmu kealaman yang selama ini dianggap baku yang biasa
disebut dengan grand theory ternyata dipertanyakan ulang oleh alur pemikiran
Postmodernisme. Hal itu terjadi karena grand theory tersebut dianggap terlalu
skematis dan terlalu menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya serta dianggap
menutup munculnya teori-teori lain yang barangkali jauh lebih dapat membantu
memahami realitas dan pemecahan masalah. Jadi klaim adanya teori-teori yang baku,
standar, yang tidak dapat diganggu gugat, itulah yang ditentang oleh para pemikir
Postmodernisme.

20
Para protagonis pemikiran Postmodernisme tidak meyakini validitas
“konstruksi” bangunan keilmuan yang ”baku”, yang “standar” yang telah disusun oleh
genarasi modernis. Standar itu dilihatnya terlalu kaku dan terlalu skematis sehingga
tidak cocok untuk melihat realitas yang jauh lebih rumit. Dalam teori sosiologi
modern, para ilmuan cenderung untuk melihat gejala keagamaan sebagai wilayah
pengalaman yang amat sangat bersifat individu. Pengalaman keagamaan itu tidak
terkait dan harus dipisahkan dari kenyataan yang hidup dalam realitas social yang ada.
Era Postmodernisme ingin melihat suatu fenomena sosial, fenomena
keberagamaan, realitas fisika apa adanya, tanpa harus terkurung oleh anggapan dasar
atau teori baku dan standar yang diciptakan pada masa modernisme. Maka konstruksi
bangunan atau bangunan keilmuan yang telah dibangun susah payah oleh generasi
modernisme ingin diubah, diperbaiki, dan disempurnakan oleh para pemikir
postmodernis. Dalam istilah Amin Abdullah dikenal dengan “deconstructionism”
yakni upaya mempertanyakan ulang teori-teori yang sudah mapan yang telah
dibangun oleh pola pikir modernisme, untuk kemudian dicari dan disusun teori yang
lebih relevan dalam memahami kenyataan masyarakat, realitas keberagamaan, dan
realitas alam yang berkembang saat ini.
2. Relativisme
Thomas S. Kuhn adalah salah seorang pemikir yang men-dobrak keyakinan
para ilmuan yang bersifat positivistik. Pemikiran positivism memang lebih menggaris
bawahi validitas hukum-hukum alam dan sosial yang bersifat universal yang dibangun
oleh rasio.
Manivestasi pemikiran Postmodernisme dalam hal realitas budaya (nilai-nilai,
kepercayaan agama, tradisi, budaya dan lainnya) tergambar dalam teori-teori yang
dikembangkan oleh disiplin antropologi. Dalam pandangan antropologi, tidak ada
budaya yang sama dan sebangun antara satu dengan yang lain. Seperti budaya
Amerika jelas berbeda dengan budaya Indonesia. Maka nilai-nilai budaya jelas sangat
beraneka ragam sesuai dengan latar belakang sejarah, geografis, demografis dan lain
sebagainya. Dari sinilah nampak, bahwa nilai-nilai budaya bersifat relatif, dalam arti
antara satu budaya dengan budaya yang lain tidak dapat disamakan seperti hitungan
matematis. Dan hal ini sesuai dengan alur pemikiran postmdernisme yaitu bahwa
wilayah budaya, bahasa, cara berpikir dan agama sangat ditentukan oleh tata nilai dan
adat kebiasaan masing-masing.

21
Dari sinilah nampak jelas, bahwa para pemikir Postmodernisme menganggap
bahwa segala sesuatu itu sifatnya relative dan tidak boleh absolut, karna harus
mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada. Namun konsepsi relativisme ini
ditentang oleh Seyyed Hoessein Nasr, seorang pemikir kontempor. Baginya tidak ada
relativisme yang absolut lantaran hal itu akan menghilangkan normativitas ajaran
agama. Tetapi juga tidak ada pengertian absolut yang benar-benar absolut, selagi
nilai-nilai yang absolute itu dikurung oleh historisitas kemanusian itu sendiri.
3. Pluralisme
Akumulasi dari ciri pemikiran Postmodernisme yaitu pluralisme. Era
pluralism sebenarnya sudah diketahui oleh banyak bangsa sejak dahulu kala, namun
gambaran era pluralisme saat itu belum dipahami sepeti era sekarang. Hasil teknologi
modern dalam bidang transportasi dan komunikasi menjadikan era pluralisme budaya
dan agama telah semakin dihayati dan dipahami oleh banyak orang dimanapun
mereka berada. Adanya pluralitas budaya, agama, keluarga, ras, ekonomi, social,
suku, pendidikan, ilmu pengetahuan, militer, bangsa, negara, dan politik merupakan
sebuah realitas. Dan berkaitan dengan paradigma tunggal seperti yang dikedepankan
oleh pendekatan kebudayaan barat modernis, develop, mentalis, baik dalam segi
keilmuan, maupun lainnya telah dipertanyakan keabsahannya oleh pemangku budaya-
budaya di luar budaya modern. Maka dalam konteks keindonesiaan khususnya, dari
ketiga ciri pemikiran Postmodernisme, nampaknya fenomena pluralisme lebih dapat
diresapi oleh sebagian besar masyarakat.

Adapun inti pokok alur pemikiran Postmodernisme adalah menentang segala hal yang
berbau kemutlakan, baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan
persoalan yang sederhana dan skematis, serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari
berbagai aneka ragam sumber.

2.6 Filsuf Awal Postmodernisme

Awal mula tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme sebenarnya


dapat dilacak pada filsafatnya Sore Kierkegaard (1813-1855), yang menentng rekonstruksi-
rekonstruksi rasional dan masul akal yang menentukan keabsahan-keabsahan ilmu. Kriteria
kebenaran yang berlaku bagi dunia modern adalah rasional dn objektif. Kierkergaard justru
berpendapat sebaliknya bahwa kebenaran itu bersifat subjektif, “truth is subjectivity”.

22
Pendapat tentang “kebeneran subjektif” ini menekan pentingnya pengalaman dan relativitas,
yang dialami oleh individu-individu.
Sementara itu, Horkheimer dan Adorno dalam buku Dialectic of Englightment (1979),
menegaskan bahwa “rasionalitas pencerahan adalah logika dominasi dan penindasan”.
Disinyalir bahwa di dalam rasionalitas – melalui sains – yang membawa misi untuk
menguasai alam, terkandung hasrat untuk mengendalikan dan menguasai umat manusia lain.
Horkheimer dan Adorno mengungkapkan dilema rasionalitas dengan pertanyaan seperti:
“Akal pencerahan telah mengubah rasionalitas menjadi irasionalitas dan penipuan karena ia
memberangus cara-cara berpikir yang lain dan mengaku sebagai satu-satunya dasar
kebenaran. Bukan efek pencerahan yang diragukan, tetapi juga klaim terhadap kebenaran
bersifat universal pun ditolak. Misalnya, Nietszsche tidak ragu-ragu dengan tegas
menyatakan bahwa keyakinan terhadap adanya pengetahuan murni tidak dapat diterima
karena akal dan kebenaran tak lebih dari sesuatu yang cocok bagi suatu ras dan spesies
tertentu.
Disini Nietszsche (1844-1900) jelas menolak pengetahuan yang mengandung
kebenaran yang berlaku bagi siapa saja, dimana saja, dan kapan saja, karena pengetahuan itu
bukan persoalan penemuan sejati, melainkan perkara konstruksi interpretasi-interpretasi
tentang dunia yang dianggap benar. Kebenaran juga bukan merupakan sekumpulan fakta
karena yang mungkin dilakukan hanyalah interpretasi dan “dunia bisa diinterpretasikan
dalam cara-cara tak terbatasnya jumlahnya”.
Keraguan Nietszsche untuk mengakui universalitas pengetahuan dapat kita telusuri ke
masa sebelumnya sampai pada kaum skeptis. Kaum skeptis, misalnya kaum sophis, memang
menolak adanya pengetahuan universal. Lewat tulisan-tulisannya, Nietszsche menaruh
perhatian besar terhadap kebudayaan modernitas. Pandangan Nietszsche terhadap
kebudayaan modern bersifat reduksionis. Modern atau modernitas dipandang sebagai musuh
bagi kehidupan dan insting-insting semenjak zaman renaissance dan selanjutnya, yang
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan seperti pencerahan, romantisisme, demokrasi,
utilitarianisme, ilmu pengetahuan, dan sosialisme. Kekuatan-kekuatan tersebut merupakan
suatu domestikasi kekuasaan dalam suatu kebudayaan yang kian universalitik. Dampaknya
adalah berupa suatu kebudayaan yang kehilangan keyakinan akan kemampuannya sendiri
untuk mencipta dan menilai, suatu kebudayaan nihilisme Eropa di pengujung abad ini.
Pembahasan Nietszsche yang paling tajam terhadap nihilisme modern terdapat dalam
catatan-catatannya yang sebagian diungkapkan dalam buku The Will to Power (Kehendak
untuk Berkuasa, 1901). Menurut Nietszsche, nihilisme adalah kondisi dimana “nilai-nilai

23
tertinggi mendevaluasi dirinya sendiri”. Singkatnya nihilisme tak lain adalah “kondisi
postmodern”, yakni berakhirnya segala metanarasi. Nietszsche berpandangan tidak ada
kebenaran absolut lagi. Manusia harus bebas dari segala makna absolut yang menjamin
dirinya dan dunianya. Manusia sendiri harus menciptakan dunia dan memberinya nilai, yakni
nilai yang tidak mengandung kebenaran mutlak atau tata dunia moral.
Edmund Husserl (1859-1938), juga dipandang sebagai tokoh penting perintis
postmodernisme. Dalam karyanya The Idea of Phenomenology, Husserl mencoba mengatasi
persoalan “subjek-objek” dengan cara membongkar secara efektif paham tentang “subjek
epistemologis” dan “dunia objektif”. Sejak itu, persoalan epistemologi dan juga tentang
“ilmu” dan keilmiahan” terus-menerus dipertanyakan.
Disamping Kierkegaard, Nietszsche, dan Husserls, Martin Heidegger (1889 – 1976)
juga dipandang sebagai perintis postmodernisme. Heidegger sangat kritis terhadap filsafat
modern tentang manusia. Manusia bukanlah segumpal substansi berpikir yang sadar diri,
atau makhluk yang kerjanya memikirkan dan merumuskan hal-ihwal; tetapi manusia adah
dasein, ia “ada dalam dunia”. Hubungan manusia dengan kenyataan tidak semata-mata
hubungan intelektual, subjek memahami objek. Kontribusi pokok pemikiran Heidegger bagi
Postmodernisme adalah langkah awalnya membongkar tradisi filsafat Barat yang pada
dasrnya berpuncak pada filsafat modern. Universalime, representasionalisme, dualisme, dan
dialektika adalah pilar-pilar filsafat modern yang dirobohkan Heidegger. Robohnya pilar-
pilar itu membuka pintu bagi lahirnya “pemikiran lain” yang terlupakan dari pemikiran
modern.
Fokus filsafat Heidegger terletak pada dua tema. Pertama, Heidegger memperlihatkan
suatu anti-Carteianisme, yakni penolakan dualisme pikiran-tubuh, dan pembedaan antara
subjek dan objek. Kedua, filsafat Heidegger sebagai besar adalah pencarian terhadap
autentisitas, atau apa yang mungkin lebih tepat dilukiskan sebagai “kepunyaan sendiri”, yang
dapat dimengerti dengan penjelasan tertentu, sebagai keutuhan. Pencarian terhadap
autentisitas ini akan membawa kita ke dalam persoalan-persoalan abadi tentang hakikat diri
dan arti kehidupan.
Kritik-kritik postmodernisme di atas secara umum dapat dipahami sebagai gerakan
untuk menuntut agar narasi-narasi universal atau metanaratif memberi jalan pada lokalitas.
Setiap pengetahuan memiliki ruang kompetensinya sendiri. Penolakan terhadap klaim
totalitarianisme, menghadirkan pencerahan dalam pemikiran postmodernisme, seperti
munculnya konsepsi heterogenitas, perbedaan, budaya lokal, etnis, ras, the others, kelompok
tertindas dan terpinggirkan, dan lain-lain.

24
2.7 Teoretisi Postmodernisme
1. Francouis Lyotard (10 Agustus 1924 – 21 April 1998)

Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A report on


Knowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap
mengenai postmodernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas. Lyotard
memandang postmodernisme muncul sebelum dan setelah modernisme, dan merupakan
sisi yang berlawanan dengan modernisme. Bukunya yang pertama adalah sebuah
pengenalan pada fenomenologi, dan fenomenologi tetap memilki pengaruh kuat pada
karya-karya Lyotard. Ia menerima dan mengembangkan ide fenomenologis bahwa Cogito
Cartesian, Aku yang reflektif (the reflextive I) adalah subjek khas yang terwujud dalam
“situasi” yang temporal. Pengetahuan dan kebenaran bersifat manusiawi, dan diperoleh
dari dunia pengalaman hidup yang tidak pernah dipahami sepenuhnya.

 Pengertian Postmodernisme menurut Lyotard


Menurut Jean Francois Lyotard, bahwa awalan post pada postmodern, merupakan
elaborasi keyakinan modern, sebagai upaya untuk memutuskan hubungan dengan tradisi
modern dengan cara memunculkan cara-cara kehidupan dan pemikiran yang baru sama
sekali. Pemutusan dengan masalalu (jama modern) merupakan jalan untuk melupakan dan
merepresi masalalu. Dalam pandangan modernisme, ilmu pengetahuan berkembang
sebagai pemenuhan keinginan untuk keluar dari mitos-mitos yang digunakan masyarakat
primitif menjelaskan fenomena alam, dan modernitas adalah proyek intelektual yang
mencari kesatuan berdasarkan fondasi sebagai jalan menuju kemajuan.
 Runtuhnya Narasi Besar
Pemikiran Lyotard menjelaskan tentang posisi pengetahuan, khususnya tentang cara
ilmu dilegitimasikan melalui, yang disebutnya “narasi besar” seperti kebebasan,
kemajuan, emansipasi kaum ploretar, dan sebagainya. Narasi-narasi besar itu,
menurutnya, kini telah mengalami nasib yang sama dengan narasi besar sebelumnya
seperti religi, negara-kebangsaan, dan kepercayaan terhadap keunggulan Barat, yang kini
menjadi sulit untuk dipercaya. Dengan kata lain, dalam abad ilmiah ini narasi besar
menjadi tidak mungkin, khususnya narasi tentang peranan dan kesahihan ilmu itu sendiri.
Maka nihilisme, anarkisme, dan pluralisme “permainan bahasa” pun merajalela. Bagi
Lyotard hal tersebut bukan masalah, sebab di sisi lain hal ini menunjukkan kepekaan baru
terhadap perbedaan-perbedaan dan keberanian melawan segala bentuk totaliterisme.

25
Bagi Lyotard dengan postmodernisme-nya menganggap bahwa untuk mengaktifkan
ilmu pengetahuan adalah dengan menghidupkan perbedaan-perbedaan, keputusan-
keputusan, dan keterbukaan pada tafsiran-tafsiran baru. Ia tidak percaya bahwa ilmu
pengetahuan dapat diwadahi oleh suatu badan pemersatu yang berupa sistem stabil. Sebab
menurutnya, ilmu pengetahuan itu tumbuh sebagai sistem yang organik, dalam arti tidak
homogen apalagi tertutup pada eksperimentasi dan permainan berbagai kemungkinan
wacana. Dari perspektif Lyotard ini, secara jelas kita dapat memahami bahwa
postmodernisme adalah usaha penolakan dan bentuk ketidakpercayaan terhadap segala
“Narasi Besar” filsafat modern; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala
bentuk pemikiran yang mentotalisasi.
Secara demikian, Postmodernisme, sambil menolak pemikiran yang totaliter, juga
mengimplikasikan dan menganjurkan kepekaan kita terhadap perbedaan dan memperkuat
toleransi terhadap kenyataan yang tak terukur. Postmodernisme dengan demikian lahir
untuk menolak anggapan-anggapan modernisme yang membawa keyakinan bahwa
filsafat melalui rasio sebagai sarananya mampu merumuskan hal-hal yang dapat berlaku
secara universal. Postmodernisme menolak cara pandang tunggal atau paradigma tunggal
dan sebaliknya menyatakan bahwa terdapat banyak paradigma atau perspektif dalam
melihat realitas dunia. Pandangan ilmu yang obyektif universal harus digantikan oleh
hermeneutika tentang realitas.
 Permainan Bahasa (Language Game)
Dalam buku The Postmodern Condition, ia memperlihatkan bagaimana identifikasi
pengetahuan bersama representasi, karakteristik masyarakat modern, mereduksi ragam
dari tindakan yang kita tampilkan dalam bahasa menjadi denotasi. Bahasa kemudian
menjadai serangkaian pernyataan yang dapat diperlakukan sebagai benda, sebagai
komoditas dalam masyarakat kapitalis. Bagi Lyotard, pengetahuan rasional tidak bisa lagi
dijadikan sebagai dasar bagi kritik, juga tidak memiliki emansipasi sebagaimana
dijanjikan oleh para pemikir abad pertengahan. Pengetahuan adalah narasi teror Barat,
sejauh yang dituju adalah membungkam cerita-cerita lain dengan menyajikan dirinya
sebagai satu-satunya penjelasan yang benar dan absah.
Lyotard meyakini bahwa tidak ada kesatuan dan inti sari bahasa. Baginya bahasa
adalah “agonistic” yakni suatu ruang atau tempat perselisihan dan konflik yang tidak
pernah bisa diselesaikan. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak dapat dibandingkan. Tidak
ada permainan lain, bahasa lain, dan prase lain yang dapat mendamaikan perbedaan-
perbedaan tersebut. Ide tentang keadilan bagi Lyotard berasal dari kesadaran bahwa
26
perbedaan-perbedaan tersebut tidak bisa dan seyogyianya tidak diselesaikan karena
perbedaan-perbedaan tersebut secara fundamental tidak bisa didamaikan.[24] Paling
tidak, menurut Lyotard, ada tiga jenis permainan bahasa yang lazim dimainkan, yaitu:
- The denotative game
Fokus permainan bahasa ini adalah pada apa yang benar atau salah. Ini adalah suatu
permainan ilmiah yang sederhana, dimana fakta-fakta sajalah yang diperhitungkan.
Perhatikan bahwa makna denotatif adalah sederhana dan dengan satu makna,
sedangkan arti konotatif rumit, mendalam dan individual.
- The prescriptive game
Fokus permainan bahasa ini adalah pada baik dan buruk, adil dan tidak adil. Ini
berarti penggunaan nilai-nilai, yang lebih sosial daripada fakta-fakta denotatif.
- The technical game
Mana fokusnya adalah pada apa yang efisien atau tidak efisien. Ini lebih faktual,
meskipun nilai dapat dimasukkan.
Bagi Lyotard, postmodernisme itu sepertinya intensifikasi dinamisme, upaya tak
henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terus-
menerus. Kenyataannya, postmodernisme menjadi wadah pertemuan berbagai perspektif
teoretis yang berbeda-beda: “Ilmu pengetahuan postmodern bukanlah semata-mata
menjadi alat penguasa; ilmu pengetahuan postmodern memperluas kepekaan kita terhadap
pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk memperkuat
kemampuan kita untuk bertoleransi atas pendirian yang tak mau dibanding-bandingkan”.

2. Michel Foucault (15 Oktober 1926 – 25 Juni 1984)


a) Discourse, Power, and Knowledge
Bagi Foucault, setiap era sejarah memiliki pandangan, deskripsi, klasifikasi, dan
pemahaman tentang dunia secara khas, berbeda dengan era sejarah yang lain. Dengan
kata lain, era historis yang berbeda tentunya memiliki perbedaan episteme untuk setiap
periodenya. Pandangan diskontinuitasnya ini merupakan salah satu aspek dari
gugatannya terhadap tema-tema modern seperti asal-muasal, tujuan akhir, kontinuitas,
totalitas, dan subjek yang utuh.
Ada beberapa asumsi pemikiran pencerahan “klasik” yang ditolak oleh Foucault,
yaitu:
1) Pengetahuan itu tidak bersifat metafisis, transendental atau universal, tetapi khas
untuk setiap waktu dan tempat.

27
2) Tidak ada pengetahuan menyeluruh yang mampu menangkap karakter “objektif”
dunia, tetapi pengetahuan itu selalu mengambil perspektif.
3) Pengetahuan tidak dilihat sebagai cara pemahaman yang netral dan murni, tetapi
selalu terikat dengan rezim-rezim kekuasaan.
4) Pengetahuan sebagai wacana tidak muncul sebagai evolusi sejarah yang konstan,
melainkan bersifat diskontinu.
Namun demikian, Foucault menentang gagasan bahwa ada perpisahan yang jelas,
pasti dan final antara pemikiran pencerahan dan pasca-pencerahan, atau antara modern
dan pasca-modern. Bila dalam paradigma modern, kesadaran dan objektivitas adalah dua
unsur yang membentuk subjek rasional-otonom, bagi Foucault konsep diri manusia
sebenarnya hanyalah produk bentukan diskursus, praktik-praktik, institusi, hukum
ataupun sistem-sistem administrasi belaka, yang anonim dan impersonal namun sangat
kuat mengontrol. Bahkan, lebih dalam lagi, Foucault sepertinya ingin membongkar
keterkaitan yang biasanya dianggap niscaya antara kesadaran, refleksi-diri dan
kebebasan. Skeptisisme epistemologis yang ekstrem telah membuat Foucault
menyejajarkan pengetahuan dan subjektivitas dengan kekuasaan, dan karenanya
menganggap segala bentuk kemajuan/pencerahan.
Salah satu hal yang paling inspiratif bagi postmodernisme adalah sikapnya dalam
memahami fenomena modern yang bernama “pengetahuan” itu, terutama pengetahuan
sosial. Ia memerkarakan tentang “apa itu pengetahuan” secara genealogis dan arkeologis,
artinya dengan melacak bagaimana pengetahuan itu telah beroperasi dan
mengembangkan diri selama ini. Kategori-kategori konseptual macam “kegilaan”,
“seksualitas”, “manusia” dan sebagainya dianggap sebagai “natural” itu sebetulnya
adalah situs-situs produksi pengetahuan, yang membawa mekanisme-mekanisme dan
aparatur kekuasaan, kekuasaan untuk “mendefinisikan” siapa kita. Ilmu-ilmu sosial dan
ilmu kemanusiaan adalah agen-agen kekuasaan itu. Kendati kekuasaan itu tidak selalu
negatif-represif melainkan juga positif-produktif (menciptakan kemampuan dan peluang
baru).
Kekuasaan bukanlah soal intensi individu, rezim ataupun kelas sosial tertentu, bukan
pula soal relasi produksi dan eksploitasi, melainkan jaringan relasi yang anonim dan
terbuka. Kekuasaan adalah soal praktik-praktik konkret yang lantas menciptakan realitas
dan pola-pola perilaku, memproduksi wilayah objek-objek pengetahuan dan ritual-ritual
kebenaran yang khas. Praktik-praktik itu menciptakan norma-norma yang lalu

28
direproduksi dan dilegitimasi. Kekuasaan mewujudkan diri dalam pengetahuan, tetapi
pengetahuan pun lantas melahirkan kekuasaan.
Jasa lain dari Foucault bagi postmodernisme adalah menampilkan otherness secara
lebih konkret dan grafis, dengan analisis-analisisnya atas pihak-pihak yang dalam
modernitas biasanya dianggap tidak normal dan tidak lazim. Dengan begitu akan
membukakan wilayah-wilayah wacana baru.
b) Arkeologi Foucault
Dalam Madnee and Civilization (1961) Foucault mengawali gagasannya tentang
“arkeologi kebisuan penderita kegilaan” di dalam suatu dunia. Menurut Foucault, “posisi
liminal” penderitaan kegilaan di abad pertengahan terlihat dari disingkirkannya mereka
secara sosial ke dalam “bahtera untuk orang-orang sinting”. Embarkasi penderita kegilaan
tersebut berarti tersisihnya ia dari kota, mendesaknya ke wilayah perbatasan, atau lebih
tepatnya, dari rasio menuju kegilaan. Pada konteks ini, zaman renaissance memainkan
peranan penting dalam menyiapkan dasar bagi pengalaman kegilaan zaman klasik dengan
cara berangsur-angsur menggabungkan kegilaan dalam rasio dengan tujuan untuk
mengendalikannya.
Humanisme renaissance berperan membebaskan suatu penderita kegilaan sekaligus
mengontrolnya dengan cara memasukkan kegilaan ke dalam “semesta diskursus”, namun
demikian, hanya dalam periode klasiklah penderita kegilaan direduksi menjadi kebisuan
dengan jalan mengungkungnya dalam rumah-rumah sakit.
Dalam karya Birth of thr Clinic (1963), Foucault menjalankan suatu “arkeologi
tatapan medis”. Masalah yang membangkitkan minatnya di sini adalah pergeseran
konsepsi ilmu kedokteran, dari yang berfokus pada kesehatan dan yang masih
menyediakan ruang bagi pasien untuk menjadi doktre bagi dirinya sendiri menuju
konsepsi ilmu kedokteran yang berfokus pada normalitas di mana tubuh pasien menjadi
subjek tatapan yang berdaulat dari sang dokter, di dalam tatanan klinis rumah sakit
modern. Dalam kedua bukunya tersebut Foucault mempersoalkan terbentuknya domain
baru rasionalitas, serta domain perbatasan yang diacu oleh kedua ilmu kegilaan dan
kematian.
Dalam The Order of Things: An Archaeology of The Human Sciences (1966) terdapat
tiga domain perbatasan baru yang menarik minat Foucault, yaitu kehidupan, kerja dan
bahasa. Foucault berangkat dari gagasan episteme atau “bidang epistemologis” yang
mengatur syarat-syarat bagi pengetahuan yang mungkin. Menurut Foucault, terdapat tiga
episteme berbeda-beda yang saling mendukung: masa renaissance, periode klasik, dan

29
abad ke-19. Hal yang memisahkan periode klasik dengan abad ke-19 adalah bahwa yang
terdahulu masih mempertahankan hubungan yang tak terbatas, sedangkan masa
berikutnya meneguhkan perbatasan analitis. Dalam konteks ini manusia menjadi “suatu
dwi empiriko-transendental yang ganjil” karena manusia merupakan sasaran ilmu
pengetahuan sekaligus syarat bagi segala ilmu pengetahuan yang mungkin. Foucault
memaparkan, tergusurnya manusia itu bukanlah sesuatu yang perlu diratapi karena hal
tersebut justru akan memungkinkan terciptanya ruang baru bagi pemikiran.
Dalam Archaeology of Knowledge (1969), Foucault berusaha menjelaskan
pengandaian metodologis yang melatari karya-karya awalnnya. Pendekatan adalah
dengan menekankan otonomi diskursus atau formasi-formasi diskursus beserta kaidah-
kaidah atau regularitas yang menopangnya. Pendekatan ini mengesampingkan persoalan
tentang genesis diskursus dan hanya memusatkan perhatian pada soal kaidah-kaidah
formasi tersebut.
Foucault dalam karyanya mengenai kegilaan menyingkapkan adanya perubahan
diskursus mengenai kegilaan pada abad pertengahan dengan abad ke-20. Dengan
mempelajari arsip dan dokumen sejarah pada abad pertengahan, ia menyimpulkan bahwa
pada masa itu orang gila tidak dianggap berbahaya namun dianggap memiliki
kebijaksanaan batiniah sedangkan pada abad ke-20 orang gila diperlakukan sebagai
orang sakit yang membutuhkan perawatan agar dapat pulih.
c) Genealogy of Knowledge
Gagasan tentang genealogi muncul demi melengkapi analisis tentang aspek diskursus
yang mirip sistem dengan suatu analisis tentang bagaimana aspek itu terbentuk.
Genealogi lantas menggantikan arkeologi namun decentring radikal yang hakiki dalam
pemikirannya tidak ditinggalkan. Tugas genealogi kekuasaan sesungguhnya adalah
menganalisis silsilah pengetahuan.
Foucault menggunakan gagasan Nietzschean tentang kemunculan (emergence) untuk
menunjukkan bahwa mode-mode pengetahuan memiliki pertalian erat dengan meluapnya
pelbagai kekuatan (force). Dengan demikian, Foucault sampai pada gagasan tentang
pasangan keuasaan-pengetahuan (power-knowledge) merupakan suatu pasangan yang
secara dramatis mengekspreksikan terikatnya diskursus secara erat pada relasi antara
kekuatan dan kekuasaan, maupun mengekspreksikan kapasitas produktif kekuasaan untuk
menciptakan diskursus.
Dalam studi Dicipline and Punishment (1975), Foucault memetakan munculnya
“masyarakat disipliner” sebagai akibat dari masyarakat yang didominasi oleh “tontonan

30
panggung eksekusi” (Spectacle of the Scaffold). Terdapat dua bentuk masyarakat yang
berbeda, yang didominasi oleh dua bentuk kekuasaan yang amat berlainan. Konsep
kedaulatan yuridiko-politis dalam masyarakat pra-modern menyelenggarakan eksekusi
publik untuk memperbarui kedaulatan yang keropos. Sedangkan dalam modernitas,
adanya bentuk-bentuk baru “penghukuman yang digeneralisasikan” disebabkan adanya
bentuk baru kekuasaan yang merembes dan menjangkau setiap bagian tubuh sosial, yang
tergambarkan paling jelas dalam Panopticon Bentham. Pada level metodologis,
persoalannya adalah bahwa kita masih memandang kekuasaan lewat kerangka politico-
yuridis, dan sebagai konsekuensinya, kita tidak mampu memahami produktivitas
kekuasaan, kecuali sekadar mengonsepsikannya sebagai sesuatu yang negatif atau
terbatas. Kita tak bisa lagi berpikir tentang bentuk baru penormalan masyarakat dengan
memaknai konsep lama kekuasaan.
Selama periode inilah Foucault mulai memikirkan kembali peranan intelektual. Dalam
arti tertentu, anggapan lama tentang intelektual universal serupa dengan anggapan tentang
penguasa sejauh mereka sama-sama melontarkan klaim-klaim totalitas. Gagasan
mengenai intelektual spesifik merupakan tandingan bagi gagasan tentang kekuasaan yang
merembes. Intelektual spesifik menyusup ke dalam wilayah spesifik untuk menyokong
perjuangan melawan penerapan kekuasaan lokal.
d) Kilas Balik Filsafat Foucault
Foucault dalam karyanya Use of Pleasure (1984a) dan Care of The Self (1984b)
menjelaskan ada beberapa gerak kembali ke arkeologi, namun yang dibahas Foucault kali
ini adalah kelanjutan dari arkeologi problematisasi dan bukannya mengenai diskursus
lainnya. Foucault mengarahkan perhatian pada hubungan antara manusia dan dunia. Ia
menaruh minat pada cara “manusia memproblematisasikan siapa diri mereka, apa yang
mereka lakukan beserta dunia di mana mereka hidup”. Pengarahan arkeologi menuju
“problematisasi” lebih merupakan suatu peralihan hermeneutis dalam pemikirannya
mengenai kebudayaan. Perhatian kedua karya tersebut adalah pada problematisasi etis
dalam zaman kuno awal dan kuno akhir. Namun demikian, Foucault belum meninggalkan
dimensi genealogi sebab ia masih merasa perlu mengemukakan pada kita suatu genealogi
praktik-praktik diri.
Dalam dua buku itu Foucault kembali, meski dalam bentuk yang telah dimodifikasi,
pada jenis gaya analisis komplementer yang pernah dijanjikan dalam pidato inagurasinya.
Baik arkeologi maupun genealogi itu ia pakai sebagai sarana analisis atas aspek-aspek

31
doktrinal dan praktis dalam “estetika eksistensi” pada zaman kuno beserta
transformasinya di zaman kuno akhir.
Karya Foucault mengenai sejarah dapat menimbulkan salah paham dan kontroversi.
Perhatian sentralnya adalah pada masa kini serta proses rasionalisasi yang telah
mengarahkan ke masa kini kita. Itulah inti perhatiannya terhadap hubungan kita dengan
kegilaan, konstruksi tubuh dalam tatanan klinis kedokteran baru; lahirnya ilmu-ilmu
kemanusiaan di abad ke-19; kebanggaan kita semua pada penologi humanistik baru; dan
obsesi “kehendak manusia” modern akan “penguasaan seks”.

3. Jarques Derrida (15 Juli 1930 – 8 Oktober 2004)


Salah satu buah pikir Jarques Derrida yaitu mngenai dekonstruksi. Istilah tersebut
merupakan salah satu konsep kunci postmodernisme. Secara epistemologis, dekonstruksi
berarti “mengurai”, melepaskan, dan membuka. Dekonstruksi adalah sebuah metode
pembacaan teks secara interpretatif atau suatu hermeneutik dengan cara radikal. Berbeda
dengan hermeneutuk normal yang mencoba merekonstruksi kembali isi asli sebuah
makna atau suatu jaringan makna, dekonstruksi justru meninggalkan usaha rehabilitasi
seperti itu. Alih-aih menampilkan kehadiran makna asli sebuah teks, dekonstruksi justru
mengandaikan ketidakhadiran makna primordial (Ursinn) seperti itu.
Heidegger dalam Sein und Zeit paragraf 6 berbicara tentang sebuah destruksi
metafisika, yaitu tentang sebuah interpretasi yang dilakukan untuk mengatasi metafisika
Barat sebagai suatu keseluruhan. Sebagaimana dalam analisisnya tentang waktu,
Heidegger menganggap metafisika sebagai suatu pemikiran tentang Ada sebagai
“Anwesenheit” (Kehadiran), yaitu sebagai sesuatu yang memahami Gegenwart (masa
kini atau kehadiran) dengan mengingat modus waktu tertentu. Hal itu bersangkutan
dengan pemikiran yang biasa disebut “interpretasi”, yaitu Ver-gegenwart-igen
(menghadirkan dalam masa kini) makna suatu teks sebagaimana dimaksudkan oleh
penulisnya.
Heidegger ingin melampaui interpretasi makna Ada seperti itu dengan mencoba
memikirkan sesuatu yang Ada di luar tradisi metafisika Barat. Dengan cara itu ia
mempersiapkan penyelesaian suatu era yang disebut “metafisika”. Derrida meneruskan
upaya ini, namun disposisinya berbeda: ia tidak menerima perspektif Heidegger yang
mengangkat dirinya berada di luar tradisi dan juga tidak menerima hermeneutik yang
“lazim” yang memandang tradisi sebagai tolok ukur. Posisi Derrida terletak di pinggiran:
Dekonstruksi bergerak pada batas-batas di antara kedua perspektif tersebut.

32
Bagi dekonstruksi, tugas interpretasi bukanlah rekonstruksi makna suatu tradisi.
Sebuah teks bukanlah sebuah artefact tempat kita bisa mereproduksi situasi-situasi yang
terkait dengan waktu saat teks itu ditulis. Sebuah teks sama sekali otonom terhadap
proses-proses mental penulisnya, otonom terhadap reaksi mereka yang dituju oleh teks itu
dan otonom terhadap konteks penulisan teks itu. Hal ini juga berarti bahwa penulis teks
itu tidak bisa mengontrol makna teks yang ditulisnya sendiri. Penulis tidak dapat
menentukan makna teksnya, juga tidak bisa menghindarkan teks itu dari kesalahpahaman
karena makna teks itu tidak tergantung pada konteks pembacaan yang selalu berubah-
ubah.
Rehabilitasi isi makna yang orisisnil dari sebuah teks adalah mustahil tidak hanya
karena jarak waktu antara pengarang dan pembacanya menjadi kendala, melainkan juga
terutama karena pada dasarnya tidak ada makna orisinil sebagaimana dimaksud oleh
penulisnya. Tidak ada interpretasi yang bisa mendasarkan dirinya pada sebuah Ur-Text
(teks asli) yang menjadi tolok ukur karena Ur-Text segera hilang setelah seorang pembaca
pertama membaca teks itu. Jika Ur-Text yang menjadi acuan setiap interpretasi
reproduktif itu tidak lagi ada dan tidak dapat direkonstruksi, makna dari teks itu juga
tidak dapat diperoleh sepenuhnya. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa kita dapat
memperoleh makna teks itu di luar teks itu (atau di luar tradisi). Dalam berpikir dan
berbicara kita tetap berada dalam teks itu, namun teks tersebut dapat dibaca dalam
konteks yang berganti-ganti secara arbitrer. Dan kemungkinan untuk ditafsirkan sampai
tidak terhingga ini berarti juga bahwa makna teks itu telah ditangguhkan..
Derrida menjelaskan perlintasan batas iterpretasi in isecara tepat melalui sebuah
neologisme. Kata baru ini adalah “differance”. Dalam sebuah artikel “La Differance”,
Derida menerangkan bahwa differance mengandung kata kerja Prancis “differer” yang
berarti baik “menunda”, “menangguhkan”, maupun “berlainan”, “tidak identik”. Arti
yang berbeda-beda tersebut membentuk buah jaringan makna yang tertutup, melainkan
lebih cocok sebagai berkas. Jadi, differance secara semantis berarti “penundaan” atau
“penangguhan”. Dalam hubungannya dengan interpretasi kita dapat mengatakan bahwa
differance persisi melukiskan cara suatu makna menunjukkan dirinya di hadapan
pembaca. Kita biasanya menentukan sebuah makna dengan cara menetapkan perbedaan
logis dari konsep dan dengan cara mengembalikan sebuah makna kepada makna yang lai.
Dekonstruksi menunjukkan bahwa perbedaan dan antinomi konseptual pada akhirnya
tidak terkontaminasi, dan karenanya juga tidak dapat dipertahankan.

33
Penangguhan ini, differance, atau spasialisasi atau temporalisasi ini berarti bahwa
makna teks tidak bisa distabilkan. Teks tidak didekonstruksikan, melainkan
mendekonstruksi dirinya sendiri. Dengan kata lain, makna dari teks itu ditunda atau
ditangguhkan. Dengan pemahaman ini Derrida tidak ingin menyebarkan nihilisme.
Sebaliknya, pemikiran Derrida, dekonstruktivisme, selalu berupaya untuk menciptakan
kembali makna melalui differance. Untuk tujuan tersebut dekonstruktivisme tidak
bergerak di dalam aturan-aturan internal sebuah jaringan makna dan juga tidak di luar
tatanan makna ini. Melalui spesialisasi dan temporalisasi itu dekonstruktivisme
mengembara di daerah perbatasan dan secara ambivalen memasuki medan ketegangan
antara di dalam dan di luar tatanan makna tersebut. Dekonstruktivisme adalah sebuah cara
berpikir yang senantiasa menantang kita untuk menjawab pertanyaan, bagaimana kita bisa
membedakan sesuatu tanpa menilai dan tanpa memutuskan.

4. Richard Rorty (1931-2007)

Menurut Rorty, filsafat selama ini telah menuju ke banyak titik kebuntunan di bidang
epistemologi, metafisika, dan teori-teori moral. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian
ulang terhadap apa itu filsafat dan apabila kita menemukan arti dari filsafat maka kita
harus membuat makna baru dari filsafat. Menurut Rorty epistemologi didefinisikan
pencarian yang dirintis oleh Descartes untuk menemukan hal-hal yang istimewa dalam
wilayah kesadaran yang merupakan batu penjuru kebenaran. Maka dari itu, Rorty
berusaha membuktikan bahwa pencarian tersebut keliru karena mendasarkan pada asumsi
bahwa filsafat dapat mencerminkan alam (mirror of nature).
Dalam alam pikir modern, tugas pokok filsafat adalah mencari segala fondasi
pengetahuan (fundasionalisme) dan tugas pokok subjek adalah merepresentasikan
kenyataan objektif (representasionalisme). Rorty dengan anti-foundasionalismenya ingin
menghilangkan relasi “dunia objektif” dan “dunia subjektif” pengetahuan, dan
menggatinya dengan dunia yang mandiri menanti subjek yang akan membuat representasi
mental tentangnya.
Untuk menghilangkan epistemologi, Rorty memakai istilah Gadamer yaitu
“hermeneutik”, yang maksudnya “suatu ungkapan pengharapan bahwa ruang kultural
yang disisakan oleh kesudahan epistemologi tidak akan terisi”. Kekosongan itu adalah
ketiadaan fondasi atau kerangka permanen. Jika demikian, hermeneutik tidak
mengandaikan “rasionalitas atau fondasi bersama” yang akan mendasari konsensus, sebab

34
baginya setiap sumbangan bagi diskursus bersifat incommensurable (tak terbandingkan).
Tanpa fondasi tersebut, kita berharap adanya disensus yang kreatif.
Dengan alasan-alasan tersebut Rorty membela apa yang disebutnya ”edifying
philosophers”, yakni mereka tidak mencari fondasi akhir pengetahuan, melainkan
meneruskan “conversation of mankind”. Mereka tidak melakukan diskursus normal,
melainkan diskursus abnormal yang hasilnya menetang dari nonsense sampairevolusi
intelektual yang tak terduga. Epistemologi melakukan diskursus normal sebab
mengandaikan adanya konvensi-konvensi tetap, sedangkan hermeneutik melakukan
diskursus abnormal sebab menyingkirkan konversi-konversi tetap.
Dalam memberikan penajaman di bidang filsafat, Rorty berusaha untuk menyatukan
dan mengaplikasikan Dewey, Hegel, dan Darwin dalam sintesis pragmatis antara
historisisme dan naturalisme. Rorty menentang epistemologi sebagai sebuah disiplin
dalam filsafat. Menurut Rorty, epistemologi modern bukan hanya sebuah usaha untuk
melegitimasi klaim kita terhadap ilmu pengetahuan tentang alam benda-benda, namun
juga sebuah usaha untuk melegitimasi refleksi filosofis itu sendiri.

5. Jean Baudrillard (1929-2007)

Pada karya awal Baudrillard (1968, 1970) sangat dipengaruhi oleh perspektif Marxian
yang menitikberatkan pada masalah ekonomi. Bedanya, kalau Marxian lebih
memfokuskan pada produksi, Baudrillard memfokuskan dirinya pada masalah konsumsi.
Menurut Baudrillard objek konsumsi merupakan “sesuatu yang diorganisir oleh tatanan
produksi” atau “perluasan kekuatan produktif yang diorganisir”. Konsumsi bukanlah
tambahan kecil bagai putaran kapital, tetapi merupakan kekuatan produktf yang penting
bagi kapital itu sendiri.
Untuk mendukung masyarakat agar memanfaatkan hasil-hasil produksi, maka kaum
kapitalis menciptakan sistem komunikasi yang disebut dengan “kode”. Maksud dari kode
adalah sistem aturan-aturan untuk menggabungkan seperangkat terma yang stabil dalam
pesan. Melalui kode yang diciptakan, diharapkan masyarakat dapat memilih konsumsi
yang mereka inginkan, dan membedakan dari masyarakat sesuai dengan objek yang
dikonsumsi. Dengan mengonsumsi objek tertentu menandakan bahwa kita mendapatkan
informasi dan kita berbeda dengan orang lain yang mengonsumsi objek lain. Pada
akhirnya masyarakat akan hidup dengan ketidakbermaknaan. Baudrillard mengatakan
bahwa masyarakat nantinya akan kehilangan identitas, jati dirinya, dan karakter aslinya
karena hidup dalam permainan yang sewaktu-waktu bisa berganti cerita.

35
Baudrillard memfokuskan pada kritik dan analisis masyarakat kontemporer. Banyak
perhatian dicurahkan pada persoalan kode dan kontrolnya atas apa yang berlangsung di
tengah masyarakat. Dalam pandangan Baudrillard, kita telah memasuki fraktal baru yang
dicirikan ketidakbermaknaan dan perkembangbiakan yang terus menerus.
Secara umum, pemikiran Baudrillard memusatkan perhatian pada kultur, yang
dilihatnya mengalami revolusi besar-besaran dan merupakan bencana besar. Revolusi
kultural menyebabkan massa menjadi semakin pasif ketimbang semakin berontak seperti
yang diperkirakan pemikir Marxis. Dengan demikian, massa dilihat sebagai “lubang
hitam” yang menyerap semua makna, informasim, komunikasi, pesan, dan sebagainya,
menjadi tidak bermakna, massa menempuh jalan mereka sendiri, tak mengindahkan
upaya yang bertujuan memanipulasi mereka. Ketakacuhan, apatis, dan kelebaman
merupakan istilah yang tepat untuk melukiskan kejenuhan masa terhadap tanda media,
simulasi, dan hiperrealitas.

6. Fredric Jameson (1934)

Fredric Jameson lahir 14 April 1934 di Cleveland, Ohio. Fredric merupakan salah satu
kritikus literatur berhaluan Marxis paling terkemuka. Kini Fredric menjabat sebagai
Profesor of Comparative Literature di Duke University (Durham NC, USA), sekaligus
mengepalai the Center for Cultural Theory.
George Ritzer dalam Postmodern Social Theory, menempatkan Jameson ke dalam
pemikir Amerika yang berhaluan postmodern bersama dengan Daniel Bell, kaum feminis
(Sandra Harding, Judith Butler, Susan Bordo, dan lain-lain), dan teoritikus multikultural
seperti Cornel West. Jameson jelas mengadopsi posisi Marxis untuk mengembangkan
teori sosial budayanya. Namun, Jameson menolak mengikuti pola dan klaim yang
dikembangkan oleh para pengikut Marxis dari Prancis (seperti Lyotard, Baudrillard, dan
Foucault) yang percaya bahwa teori Marxis termasuk “narasi besar”. Sebaliknya Jameson
menggunakan pola berpikir Marxis untuk menjelaskan epos historis yang baru
(pascamodernisme), yang baginya bukan modification dari kapitalisme, melainkan
ekspansi darinya. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa periode historis yang ada
sekarang bukanlah keterputusan, melainkan kelanjutannya (continuity).

Teori : Logika Kultural Kapitalisme Akhir


Istilah “kapitalisme lanjut” (late capitalism) mulai digunakan di Eropa menjelang
akhir tahun 1930-an, yaitu ketika banyak ahli ekonomi percaya kapitalisme bergerak

36
mendekati ajalnya. Menurut ahli ekonomi berhaluan Marxist, Ernest Mandel, yang
mempopulerkan penggunaan istilah “late capitalism” ini dalam disertai dortoralnya 1972,
Late Stage Capitalism akan didominasi oleh machinations atau fluiditas dari modal
finansial. Dalam tradisi Marxis klasik, Mandel mencoba menegaskan hakikat dari epos
modern sebagai satu keutuhan, guna menunjukkan bagaimana kekuatan-kekuatan yang
sama telah mendorong pengumpulan laba setelah perang dunia terjadi pada akhirnya akan
berbalik arah secara dialektis, dan menjadi penyebab dari keruntuhannya.
Periode late capitalism yang dipakai Jameson dipinjam dari periodesasi yang dibuat
oleh Mandel, yang membagi perkembangan kapitalisme menjadi tiga fase, yaitu
kapitalisme pasar, monopoli (imprealisme), dan modal multinasional. Periode terakhir ini
(kapitalisme lanjut atau kapitalisme konsumer, atau modal multinasional) bukan hanya
konsisten dengan analisis Marx, tetapi bahkan diklaim sebagai fase kapitalisme yang
paling murni karena fase ini merupakan ekspansi luar biasa dari kapital ke wilayah-
wilayah yang belum dikomodifikasi.

7. Akbar S.Ahmed
Profesor Akbar S.Ahmed adalah ketua studi keislaman di Universitas Ibn Khaldun
dan professor di bidang hubungan – hubungan internasional di Universitas Amerika di
Washington D.C. Beliau dilahirkan di Allahabad, sebuah kota kecil di tepi sungai gangga
yang kemudian menjadi Dr. Ahmed ahli antropologi yang terkenal, penulis dan pembuat
film. Beliau terlibat aktif dalam dialog inter agama dan berupaya memberikan
pemahaman antara islam dan barat termasuk tiga penampilannya dalam program Oprah
dan suatu acara berita BBC yang berserial dikenal dengan “Living Islam” disiarkan
pertama kali pada tahun 1993. Dr. Ahmed pada mulanya berminat terhadap
kepemimpinan muslim dan benturan – benturan yang terjadi antar umat islam pada tahun
1980-an ketika beliau menjadi perwakilan Pakistan di Baluchistan. Studi tentang islam
global dan benturan – benturan pemikiran pada masyarakat kontemporer menjadi fokus
utama kegiatannya setelah itu. Bukunya yang mendapat penghargaan termasuk:
Discovering Islam, Making Sense Of Muslim History and Society, Postmodernisme and
Islam, Predicament and Promise, Islam Today, A Short Introduction To The Muslim
World And Jinnah Quartet.
Akbar S. Ahmed mencoba mendefenisikan postmodernisme dengan terlebih dahulu
memahami modernisme yang akan memungkinkan mengukur postmodernisme.
Modernisme diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia ditandai dengan percaya pada

37
sains, perencanaan, sekularisme dan kemajuan. Keinginan untuk simetri dan tertib,
keinginan akan keseimbangan dan otoritas, telah juga menjadi karakternya. Periode ini
ditandai oleh keyakinannya terhadap masa depan, sebuah keyakinan bahwa utopia bisa
dicapai. Gerakan menuju industrialisasi dan kepercayaan yang fisik, membentuk ideologi
yang menekankan materialisme sebagai pola hidup. Formulasi kontemporer
postmodernisme menurut Ahmed merupakan fase khusus menggantikan modernisme,
berakar pada dan diterangkan sejarah terakhir barat yang berada pada inti dominasi
peradaban global abad ini. Terhadap hal ini Ahmed mencoba mengidentifikasikan
beberapa ciri utama postmodernisme dengan menekankan watak sosiologisnya. Ciri – ciri
utamanya adalah sebagai berikut:
- Berusaha memahami era postmodernisme berarti mengasumsikan pertanyaan
tentang, hilangnya kepercayaan pada modernitas, semangat pluralisme, skeptisisme
terhadap ortodoksi tradisional, dan akhirnya penolakan terhadap pandangan bahwa
dunia adalah sebuah totalitas universal, pendekatan terhadap harapan akan solusi
akhir dan jawaban sempurna.
- Postmodernisme bersamaan dengan era media, dalam banyak cara yang bersifat
mendasar, media adalah dinamika sentral, ciri pendefenisi dari postmodernisme.
- Kaitan postmodernisme dengan revivalisme etno religius atau fundalisme perlu
ditelaah oleh ilmuan sosial dan politik.
- Walaupun apokaliptiknya klaim itu, kontinuitas dengan masa lalu tetap merupakan
ciri kuat postmodernisme.
- Karena sebagian penduduk menempati wilayah perkotaan, dan sebagian lebih besar
lagi masih dipengaruhi oleh ide – ide yang berkembang dari wilayah ini. Maka
metropolis menjadi sentral bagi postmodernisme.
- Terdapat elemen kelas dalam postmodernisme dan demokrasi adalah syarat mutlak
bagi perkembangannya.
- Postmodernisme memberikan peluang bahkan mendorong penjajaran wacana,
eklektisme berlebih – lebihan, percampuran berbagai citra.
- Ide tentang bahasa sederhana terkadang terlewatkan oleh posmodenis, meskipun
mereka mengklaim dapat menjangkaunya.

38
2.8 Kritik Terhadap Postmodernisme
Meskipun postmodernisme nampak menjanjikan dan tanpa cela, terdapat beberapa
celah yang bisa menjatuhkan paham ini. Salah satunya adalah kerancuan dan ketidakpastian
yang melekat pada paham ini sebagai konsekuensi dari melenturnya pemikiran manusia.
Beberapa pihak masih menyangkal bahwa postmodernisme, meski memberikan solusi
tengah, dinilai tidak konsisten dalam memperlakukan sesuatu. Bersikap apatis dan hanya
mengkritisi, kemudian lepas tangan dan merasa aman karena tidak ingin ikut campur
menyelesaikan masalah. Lebih jauh lagi, dikhawatirkan paham ini akan melahirkan medioker
yang hanya ikut-ikutan mengkritisi tanpa riset lebih dalam dan hipokrit yang hanya bisa
mengkritisi tanpa bertindak, atau bahkan tidak mengamini dengan perlakuan terhadap apa
yang telah dikritisi.
Selain itu, post modernisme dianggap tidak konsisten, meskipun post-modernisme
adalah sebuah idealisme akan menyikapi hegemoni pegrerakan dunia, post modernisme itu
sendiri dianggap berpegang pada sesauatu yang tidak ingin mengukuhkan pijaknnya.
Paradoks yang cukup membingungkan pihak-pihak yang mungkin memerlukan kejelasan
dalam bertindak. Seringkali sikap apatis dari postmodernis ditentang oleh para penganut
paham modern, karena meskipun modernisme ditentang dengan keras, tetap saja menyisakan
jejak atas konsepsinya mengani dunia. Tetap saja pasar bebas dan universalisme dijunjung
oleh dunia ini meski jelas-jelas ditentang.
Post modernisme pun menjadi amat sangat membingungkan. Amat abu-abu. Sangat
relatif dan tidak mengukuhkan diri. Berkesan selalu takut dalam menentukan pilihan dan
hanya akan mengkritisi, melahirkan manusia yang pandai mengkritisi namun ragu dalam
memnentukan sikap. Hanya akan mengadirkan banyak pengamat hebat, tapi ragu dalam
mengambil tindakan.
Habernas menyatakan ada kelemahan mendasar pemikiran kaum postmodernis
tentang “modernitas” yang dianggap historis. Para pemikir postmodernis seakan-akan
menghilangkan dimensi dan cakrawala historis yang memunculkan “postmodern” itu.
Habernas berpendapat bahwa apa yang disebut postmodern itu hanyalah lanjutan dari
modernitas yang belum selesai, karena itu pemikir postmodern tidak dapat menyatakan diri
melampaui modernitas itu.
Menurut Habernas, para pemikir postmodernis yang mewarisi pemikiran Nietszche
seperti : Heidegger, Derrida, Michel Foucault, dan Jean Baudrillard gagal mengatasi dilema
atau promblem kesadaran (rasionalitas) pencerahan yang mendasari modernitas itu. Hegel,
menurut Habernas, telah mengidealkan sebuah komunitas etis sebagai tujuan kehidupan

39
masyarakat, yakni perpaduan antara polis Yunani yang rasional dengan gereja awal yang
dijiwai kasih. Namun, kenyataannya dalam proses modernisasi berbagai macam bentuk
alienasi agama tidak berhasil dilenyapkan, karena rasionalitas birokrasi ternyata tidak
menghasilkan rekonsiliasi (komunitas etis), akan tetapi memunculkan alienasi baru yang
disebabkan sikap heteronomi masyarakat berhadapan dengan otonomi.
Para pemikir postmodernis yang disebut oleh Habernas sebagai pengikut Nietzsche,
memiliki dua strategi yang sebagai akibat ambiguitas pemikiran Nietzsche sendiri dalam
mengkritik modernitas. Pertama, kelompok yang berupaya untuk menyingkapkan kehendak
untuk berkuasa sebagaimana dilakukan Foucault. Sedangkan, kelompok kedua masuk melalui
kritik terhadap metafisika seperti yang dilakukan oleh Heidegger dan Derrida. Habernas
menolak untuk menyerah pada adanya kemungkinan pemahaman ilmiah atau rasional atas
dunia kehidupan serta kemungkinan rasionalisasi dunia tersebut.
Ben Agger menyatakan postmodernisme dan feminism sebagai Teori Kritis. Teori
kritis sendiri tidak tunggal, melainkan plural. Perbedaan antara teori kritis dan
postmodernisme adalah teori kritis lebih menganggap bahwa postmodernisme sebagai
kelanjutan dari modernitas (tradisi pencerahan) walaupun tetap dengan sikap kritis menerima
universalitas subjek dan rasio (reason), menerima hak dan otonomi sebagai fondasi
kehidupan manusia, serta menekankan konsensus, sedangkan postmodernisme lebih
menekankan perbedaan, partikularitas, dissensus, dan penolakan terhadap realitas,
epistemologi dan kebenaran objektif-universal. Terdapat karakteristik yang sama dan menjadi
cirri utama teori kritis dan postmodernisme, yaitu bahwa teori sosial harus memiliki peran
yang berarti bagi proses transformasi dunia dan meningkatkan kondisi kemanusiaan pada
arah yang lebih manusiawi.
Habernas adalah seorang fondasionalis (masih mempercayai rasionalitas modern),
sedangkan kaum postmodernitas adalah antifondasionalis (Giroux, Hendry A., 1992).
Habernas lebih mempertahankan rasionalitas universal yang didasarkan atas tindakan
komunikasi yang bebas, Habernas masih mengandaikan adanya narasitunggal dan perubahan
sosial global. Sedangkan teoretisi postmodernis menolak narasi tunggal dan mendasarkan
teorinya atas narasi-narasi kecil serta perjuangan manusia yang dikerangkai oleh perhatian
local mereka atas gender, etnis, bangsa dan agama.
Fredric Jameson menyatakan bahwa datangnya era postmodern membawa serta
pemusnahan telak distingsi-distingsi tempat bergantungnya teori kritis itu. Distingsi
kebudayaan tinggi dengan kebudayaan masaa (kebudayaan rakyat atau rendah) secara

40
tradisional memiliki vested interest dalam memelihara realisme kebudayaan tinggi
berhadapan dengan kebudayaan massa.
Bourdieu menantang egaliterianisme budaya dan menunjukkan bagaimana ada
hubungan yang mendalam antara kelanjutan ketidak setaraan ekonomi dan budaya. Menurut
Bourdieu, masing-masing lokasi kelas sosial memiliki habitusnya sendiri-sendiri yang
membawa anggotanya pada kecenderungan bentuk-bentuk khusus selera dan apresiasi khusus
objek budaya, sosial dan lainnya (Turner, 2002: 17)
Holub merumuskan beberapa kritik Habernas terhadap postmodernisme antara lain:
- Pemikir postmodernisme kurang tegas membedakan apakah mereka menciptakan
teori yang serius (ilmiah) atau mengarang sastra.
- Habernas merasa bahwa argument para postmodernis sarat dengan sentiment
normatif, namun sentiment mereka itu disembunyikan dari pembaca.
- Habernas mengkritik postmodernism sebagai perspektif yang gagal “membedakan
fenomena dan praktik yang terjadi pada masyarakat modern”.
- Pemikir postmodern dituduh mengabaikan praktik kehidupan dunia.

2.9 Postmodernisme dan Kritik Pembangunan

Pemikiran-pemikiran postmodernisme dapat digunakan untuk menganalisis diskursus


terhadap tantangan pembangunan. Postmodernisme telah menyumbangkan perkembangan
teori kritik terhadap teori terhadap teori pembangunan dan modernisasi dari perspektif
yang sangat berbeda dengan teori-teori kritik sebelumnya. Menurut Foucault, sumbangan
postmodernisme terhadap kritik pembangunan merupakan suatu diskursus yang
menyiratkan penguasa Negara maju terhadap Negara terbelakang. Dari Foucalt kita tahu
bahwa diskursus pembangunan adalah alat untuk mendominasi.
Sumbangan terbesar postmodernisme terhadap teori dan perubahan sosial adalah
membuat teori itu lebih sensitif terhadap relasi kekuasaan dan dominasi menyadarkan kita
bagaimana relasi kekuasaan teranyam di setiap aspek kehidupan, dan ini bertentangan
dengan umumnya ilmu sosial yang beramsumsi ilmu itu netral, objektif dan tak berdosa.
Bagi Foucault, kekuasaan hanya terpusat pada Negara ataupun kelas merupakan
pengingkaran kenyataan, karena kekuasaan terdapat pada setiap aspek kehidupan serta
memberikan pengaruh besar tentang bagaimana aspek dan pusat lokasi kekuasaan, bentuk
perjuangan untuk membatasi dan bagaimana berbagi kekuasaan.

41
a) Kilas Balik Postmodernisme

Menurut Habernas, modernisme atau modernitas telah mulai dikembangkan oleh


Hegel (1770-1831). Para pemikir postmodernisme kontemporer tidak menganggap
penting soal timbulnya gerakan postmodernisme. Mereka yakin akan kekuatan gerakan
modernisme bahwa modernitas masih mampu membimbing kehidupan kontemporer
sampai jangka waktu yang tidak bisa ditentukan.
Sementara itu, postmodernisme yang dikatakan oleh Derrida dan Lyotard merupakan
antitesis dari modernisme. Hampir semua istilah yang diajukan oleh postmodernisme
adalah antonimasi termasuk modernisme. Karena istilah merupakan bagian dari bahasa,
dan bahasa merupakan pemikiran dan penerapan logika, maka modernisme menggunakan
pola pikir dikotomik dan logika binner, sementara postmodernisme menggunakan pola
pikir dan logika anti kemapanan.
Postmodernisme dapat dibagi dalam dua aliran besar, yakni postmodernisme
epistemologis dan postmodernisme empirik. Kelompok postmodernisme epistemologi
mempertanyakan gagasan dasar seperti “filsafat”, “rasionalitas”, dan “epistemologi”
modernisme digugat secara radikal. Sedangkan postmodernisme empiric lebih
diorientasikan pada hal-hal yang bersifat dampak nyata dari kemodernan, untuk
mengembangkan konsep-konsep seperti reorganisasi ruang dan waktu, masyarakat
berisiko, kapitalisme konsumen, dan postmodernisme etik.
Ulrich Beck menjelaskan risiko sebagai kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik
yang disebabkan oleh proses teknologi dan proses-proses lainnya. Risiko mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan sistem atau model, dan proses perubahan di dalam
sebuah masyarakat yang akan menentukan tingkat risiko yang akan dihadapi oleh
masyarakatnya.
Masyarakat berisiko residual telah menjadi masyarakat yang tidak bisa dijamin
asuransi (the redisual risk society has become an uninsured society). Jadi masyarakat
berisiko tidak mempercayai kemajuan dan masa depan, tapi berpengalaman dalam
kalkulasi jangka pendek atas bahaya. Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa matematika
kalkulus atau risiko menunjukkan model etika tanpa moralitas, etika matematis dalam era
teknologi.
Beck mendapat bergbagai macam kritikan. Pertama, karya Beck berhubungan dengan
tema-tema pasca-modernitas dan pasca-modern. Menurutnya masyarakat berisiko telah
membelah kontrak asuransi antara masa kini dan masa depan bisa diperbandingkan

42
dengan keraguan pasca-modern atas meta naratif kemajuan. Kedua, Beck menekankan
signifikansi sosiologi lingkungan dan ekologi.
Anthony Giddens membedakan risiko lingkungan pra-modern (tradisional) dan
modern yaitu risiko lingkungan kebudayaan tradisional didominasi oleh bahasa dunia
fisik, sementara risiko lingkungan modern distrukturisasi terutama oleh risiko yang
ditimbulkan manusia. Gidden berpendapat bahwa risiko bukan semata-mata tindakan
individu, ada risiko lingkungan yang secara kolektif memengaruhi massa individu yang
besar.
Perdebatan tentang masyarakat berisiko adalah usaha besar untuk memahami berbagai
gerakan sosial baru dan problem sosial yang timbul. Tapi, kepercayaan terhadap
kemampuan teknologi untuk menjamin masyarakat dari risiko fatal yang di akibatkan
teknologi membuat perdebatan tersebut tak dapat memutuskan lingkaran di mana
teknologi yang diterima dengan begitu saja mengarah ke risiko yang hanya dapat
dipecahkan oleh teknologi kritis.

b) Relevansi Postmodernisme Bagi Kehidupan Masa Kini

Pasca modernisme sudah bosan akan metanarasi dari era modern, karena metanarasi
bis mengarahkan pada marginalisasi cerita-cerita kecil baik dari kehidupan nyata kita
sehari-hari maupun dari tradisi, kepercayaaan masyarakat ataupun komunitas setempat.
Namun, jika kita hanya berpegang pada cerita-cerita lokal atau keyakinan setempat,
sangat sulit untuk mengambil keputusan dan yang terjadi adalah siapa yang kuat, itulah
yang menang. Dengan kata lain, akan mudah terjadi kesewenang-wenangan dan yang
menjadi korban sudah tentu masyarakat bawah atau kecil. Misalnya jika kita menengok
proses peradilan hukum di Indonesia yang sering orang kecil menjadi korban hanya
karena buta hukum dan hukum ditafsirkan sesuai keinginan pihak tertentu yang tentunya
mempunyai power.
Apabila pasca-modernisme menyangkal prinsip-prinsip (metanarasi), maka dengan
sendirinya akan muncul prinsip-prinsip baru (narasi kecil) karena menyangkal prinsip
berarti juga berprinsip dan itulah kontradiksinya, seperti pernah dialami oleh kaum
skeptisis ketika bahwa “semua keyakinan kita perlu diragukan”. Dekonstruksi perlu
dilakukan, namun tidak dilakukan untuk semua narasi besar. Narasi besar tetap
diperlukan, tetapi jika cerita besar cenderung menjadi ideologis maka harus diwaspadai,
karena tidak jarang ideologi-ideologi membawa kesengsaraan dan membelenggu

43
umatnya. Maka dari itu perlu adanya dekonstruksi cerita besar sehingga tidak
menyeleweng dari misinya yang sesungguhnya. Pada kenyataannya Pasca-modernisme
melakukan dekonstruksi untuk semua cerita besar.
Menurut Franz Magnis Suseno dekonstruksi adalah menganalisis dengan teliti, cerita
besar yang benar, cerita moralitas, cerita tentang harkat kemanusiaan, cerita bahwa
manusia dalam situasi apa pun tak pernah boleh dipakai semata-mata sebagai saran, cerita
hak-hak asasi manusia, justru akan bertahan.
Dengan adanya cerita besar jangan sampai berkembang menjadi ideologi dan
berlindung di balik teori-teori besar tetapi, dibalik itu semua berusaha menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. Postmodernisme tetap dapat
dikembangkan dan dipercaya asal tidak memutlakkan prinsipnya sendiri dengan
menghilangkan prinsip pihak lain. Selain itu, yang perlu dikembangkan dan ditegakkan
dari pascamodernisme adalah sifat menghargai manusia sebagai individu-individu dengan
segala keunikan dan keberagamannya. Pasca-modernisme memberikan hak untuk
menyuarakan pendapatnya dan terus menjalankan sifat emansipatorisnya. Jadi kita harus
memegang kedua-duanya, baik yang universar ataupun yang lokal. Menghargai cerita
besar yang memang memperjuangkan martabat manusia dan juga menghargai cerita-
cerita kecil sebagai tanda penghargaan terhadap manusia-manusia individu asal
memperkembangkan individu tersebut.

2.10Kondisi Agama di Era Postmodernisme

Salah satu fenomena yang menarik terjadi ditengah-tengah masyarakat kontemporer


adalah menguatnya wacana spiritual sebagai bentuk pencerahan jiwa atas segala macam deru
kehidupan manusia yang sarat dengan berbagai patologi kejiwaan. Lebih jauh lagi, muncul
pula radikalisasi atau fundamentalisasi agama ditengah-tengah masyarakat yang dimotori oleh
kelompok-kelompok tertentu dengan dalih bahwa hanya kembali kepada jalan tuhanlah
manusia dapat selamat dari berbagai cobaan yang menimpanya. Disamping sebagai bentuk
penolakan terhadap sekularisasi yang lekat digencarkan diantara seluk kehidupan manusia
saat ini.
Dr. Yasraf Amir dalam jurnalnya berjudul “Fenomena sufisme ditengah masyarakat
postmodern: sebuah tantangan bagi wacana spiritualitas” menyatakan menguatnya wacana
spiritualitas adalah karena disebabkan budaya posmodernisme sering dituduh sebagai budaya
yang sarat paradoks dan kontradiksi diri (self contradiction), yang dapat menggiring pada
paradoks sufisme itu sendiri. Di satu pihak, wacana sufisme dapat menjadi semacam penjaga

44
gawang kesucian jiwa di tengah masyarakat yang disarati gejolak pelepasan hasrat tak
berbatas (unlimited desire); di lain pihak, sufisme sendiri dikhawatirkan dapat terperangkap
dalam mekanisme mesin-mesin hasrat masyarakat posmodern, bila rayuannya tidak dapat
dibendung. Memperbincangkan sufisme dalam kancah masyarakat posmodern pada dasarnya
memperbincangkan dua arah perjalanan spiritual yang bertentangan satu sama lain. Perbedaan
arah spiritual tersebut, disebabkan perbedaan mendasar antara sufisme dan posmodernisme
dalam melihat peranan hasrat dalam masyarakat.
Hakikat sufisme adalah pengendalian hasrat, sebaliknya hakikat posmodernisme
adalah pembebasan hasrat (desiring liberation). Dari sini dapat kita lihat bahwa masyarakat
ditengah-tengah arus postmodern pada akhirnya kembali kepada kepercayaannya (beliefs)
yang dahulu dikatakan sebagai tahap yang paling primitif dari perkembangan pemikiran
manusia. Dalam hal ini banyak masyarakat yang kemudian berasumsi bahwa modernisasi
yang terjadi saat ini tidaklah dapat sepenuhnya memberikan jawaban atas segala problematika
hidup yang dihadapi manusia terlebih jika problematika yang dihadapin yaitu cenderung tidak
dapat dicarikan jawabanya secara ilmiah dan rasional. Maka dari itulah akhirnya banyak
masyarakat yang berbondong-bondong mencari alternatif lainnya, khususnya yang berkaitan
dengan ketenangan jiwanya dalam menghadapi realitakehidupan. Kebetulan, oleh sebagian
lainnya peluang ini dimanfaatkan dengan membuka, seperti, kelas-kelas sufisme yang tadi
diuraikan sedikit sebelumnya, majelis-majelis dzikir, dan kelompok-kelompok pengajian
bahkan perguruan-perguruan olah bathin yang,entah sengaja atau tidak, dibuat sedemikian
rupa dengan berbagai macam metode dan pemikiran yang beragam pula.
Namun lucunya, hingga saat ini justru fenomena tersebut memunculkan apa yang
dalam paradigma modernitas, disebut sebagai moneterisasi nilai-nilai, dalam hal ini nilai-nilai
spiritualitas. Karena biasanya, untuk masuk dalam kelompok-kelompok tersebut dianjurkan
untuk membayar program-program yang ditawarkan sebagai imbalan atas berhasilnya
program atau metode yang ditawarkan. Meskipun ada juga mungkin yang memberikannya
secara cuma-cuma. Disamping menguatnya wacana spiritualitas diatas, fenomena lain yang
terjadi adalah munculnya radikalisasi agama sebagai wujud dari perkembangan manusia
modern yang semakin sekuler. Kebebasan yang secara membabi buta di implementasikan
dalam kehidupan manusia, ternyata memiliki dampak yang terbilang negatif. Seperti
kemerosotan kualitas nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat serta berbagai
penyimpangan-penyimpangan di berbagai sektor pranata sosial lainnya. Terlebih proses
sekularisasi, yang memisahkan agama dari kehidupan sosial, dipandang oleh sebagian dapat
menciptakan manusia yang liar, beringas dan amoral.

45
Oleh karena itu, muncullah radikalisasi agama sebagai pandangan yang menekankan
pada ajaran ilahi yang terintegrasi ke dalam setiap kehidupan sosial manusia. Maksud dari
radikalisasi disini adalah, diterapkannya ajaran agama kedalam realita sosial demi mencapai
kehidupan yang lebih baik lagi. hanya saja penerapannya sesuai dengan versi penafsiran
ajaran masing-masing. Seperti contoh, muncul gerakan Jamaah Islamiyah di Indonesia yang
menilai hanya dengan mengimplementasikan syariat Islamlah Indonesia dapat lepas dari
segala bencana yang menimpanya. Lebih lanjut mereka berpendapat bahwa itu adalah wajib
hukumnya untuk diterapkan. Namun disisi lain ada pula kelompok macam Jaringan Islam
Liberal yang lebih plural dan multikultural dalam melihat segala relitas kehidupan. Mereka
berpandangan tidak perlulah untuk diterapkan syariat secara kaffah, yang jelas bagaimana
manusia dapat berkembang labih baik dari sebelumnya.
Disatu sisi juga, ada perbedaan pendekatan dalam mengimplementasikan ajaran
agama antar kelompok-kelompok tersebut. Seperti misalnya, Jamaah Islamiyah cenderung
menggunakan cara-cara yang keras dan kaku, seperti pengeboman yang pernah terjadi
belakangan ini. Tapi kelompok seperti Hizbu Tahrir Indonesia, cenderung melakukan
pendekatan dalam wacana, tukar pikiran dan propaganda pada lingkungan-lingkungan
akademis dan tertentu. Lalu ada pula Front Pembela Islam, yang ditengarai bermula dari
imigrasi orang-orang Hadramaut ke Indonesia dalam jumlah besar dan massif, terjadi
terutama sejak abad 19. Mereka membentuk enklave-enklave diberbagai kota di Indonesia dan
mendirikan kelompok-kelompok kegiatan keagamaan lalu lebih menekankan pada
memperbaiki aspek moral manusia yang semakin merosot. Kelompok ini juga dipersepsikan
sebagai “salafi radikal”.Lalu ada J.I.L, yang diketuai Ulil Abshor Abdolla, yang
menginterpretasikan agama secara lebih plural, tanpa menghalangi pandangan atau
kebudayaan lain yang meretas masuk ketengah-tengah kehidupan masyarakat. Kelompok-
kelompok ini, yang mengaku telah berdiri dalam kurun waktu yang relatif lama baru
mengunjukkan tajinya dewasa ini saja. padahal kalau kita kembali menilik pada sejarah
masuknya agama Islam ke ranah nusantara ini, yaitu melalui jalur perdagangan, asimilasi
kebudayaan dan amalgamasi (Perkawinan Campuran). Yang kesemuanya dilakukan dengan
lebih lunak, sukarela dan tanpa paksaan atau perampasan hak-hak masyarakat Indonesia saat
itu. ditengarai bahwa, itu karena Islam yang dibawa ke Indonesia lebih banyak berasal dari
India dan beberapa jazirah arab lainnya. Jadilah wajah Islam diindonesia yang tampak terbuka
terhadap pemikiran dan kebudayaan-kebudayaan asing diluarnya demi perkembangan
kehidupan manusia.

46
Berbeda dengan masuknya Islam di negara-negara afrika. Disana proses
penyebarannya melalui futh atau dapat diterjemahkan dengan memerdekakan suatu negara.
Dengan kata lain dengan cara angkat senjata. Maka dari itu, pada perkembangannya di
negara-negara afrika seperti Somalia cenderung radikal dan agak tertutup terhadap
kebudayaan asing yang ada. Masa orde baru gerakan-gerakan radikal yang muncul secara
intens belakangan ini sudah tentu ditekan sedalam-dalamnya agar tak muncul ketengah-tengah
masyarakat. Karena seperti yang tertuang dalam buku berjudul “HM. Soeharto : membangun
citra islam” karangan Miftah H. Yusufpati bahwa (alm) mantan presiden Soeharto memang
menginginkan citra Islam Indonesia yang santun, terbuka pada kemajuan, tidak menolak
sebuah perubahan namun juga tidak menerimanya begitu saja. Terakhir, postmodern yang
terjadi saat ini memiliki dualitas dampak nyata. Disatu sisi mampu melahirkan kemajuan sains
dan teknologi dengan segala pesonanya, namun disisi lain mesti dibayangi dengan
kedangkalan hati, amoralitas, kejumudan dan kungkungan-kungkungan rasionalitas yang
kompleks. Fenomena yang terjadi, seperti dalam hal spiritualisme, banyak sebagian dari
manusia yang menerima postmodern sebagai pembebas mesin hasrat manusia namun banyak
pula yang menolaknya dan kembali mencari keutuhan jiwanya kepada sang khalik yang maha
kuasa. Apalagi ditambah dengan segala macam krisis multidimensi yang terjadi ditengah-
tengah kita saat ini, ketika pikiran manusia telah terbentur pada realitas yang absurd maka
kembalilah mereka pada penyucian hati menjemba do’a kepada Ilahi.

2.11Agama Dalam Pandangan Postmodernisme

Perubahan pemikiran keagamaan yang mencolok dari era sebelum modernisme


hingga postmodernisme nampak terjainya perubahan konsep Tuhan yang sangat drastis.
Munculnya postmodernisme tidak hanya ditandai oleh penghapusan metafisika obyektif
dengan sistem baru, tapi juga mengesampingkan doktrin keagamaan yang berdasarkan pada
metafisika. Pandangan para postmodernis tentang agama tercermin dari doktrin-doktrin
mereka tentang nilai. Doktrin yang dipergunakan para pemikir postmodernisme untuk
menggugat agama adalah konsep tentang nilai. Program postmodernisme adalah penghapusan
nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas. Hal ini
dilakukan dengan merduksi makna nilai yang dijunjung tinggi dan dinilai sebagai sesuatu
yang absolut oleh agama dan masyarakat.
Ini berarti bahwa segala sesuatu yang dihadapi dalam pengalaman di dunia tidak
kurang dan tidak lebih dari suatu penafsiran dan segala sesuatu di dunia ini selalu ditafsiri
sesuai dengan nilai-nilai subyektif dalam diri individu. Karena kecenderungan untuk selalu

47
menafsirkan itulah maka bagi kaum postmodernisme, dunia yang dapat diketahui hanyalah
dunia yang berbeda-beda atau dunia interpretasi. Ernest Gellner dalam bukunya Menolak
Posmodernisme: Antara Fundameltalisme Rasinalisme dan Fundamentalisme Religius
menyatakan bahwa atmosfir pemikiran postmodernisme dapat digambarkan melalui
pernyataan bahwa “segala sesuatu adalah teks, dan materi dasar teks itu yang berupa
masyarakat dan bahkan nyaris segala sesuatu difahami sebagai makna, dan makna itu harus
didekonstruksi; pernyataan tentang realitas obyektif harus dicurigai”. Formulasi Gellner
adalah tepat sebab dalam diskursus para pemikir postmodernisme dunia ini dianggap sebagai
makna. Bahkan segala sesuatu adalah makna dan makna adalah segala sesuatu, dan
hermeneutika adalah “nabinya”.
Dalam kondisi yang seperti ini, Gellner bahkan sampai pada kesimpulan bahwa
postmodernisme cenderung memihak kepada relativisme dan bahkan menunjukkan
peperangan terhadap ide kebenaran yang ekslusif, obyektif dan transenden. Sebab pikiran
postmodernisme berpegang pada pendapat bahwa kebenaran adalah sesuatu yang internal dan
subyektif sifatnya, sedangkan dunia ini bukan sebagai totalitas dari sesuatu, tapi sebagai
totalitas fakta.
Singkatnya, postmodernisme melebur nilai tertinggi, menyingkirkan Tuhan rujukan
segala bentuk nilai sebagai fondasinya. Nilai baru yang diperkenalkan postmodernisme
adalah nilai yang memiliki hubungan dengan nilai-nilai lain atau bahkan saling tukar
menukar, karena memilki status yang sama dalam wajah yang universal. Oleh sebab itu
bentuk segala macam nilai adalah nilai yang layak untuk saling tukar menukar antara satu
peradaban dengan peradaban lain. Jadi gambaran yang menonjol tentang agama dalam
pandangan postmodernisme adalah agama yang telah diputuskan dari status terdahulunya
sebagai sumber nilai dan kebenaran bagi manusia. Pendekatannya sekarang telah berubah
menjadi konsep akal yang dipisahkan dari konsep kepercayaan atau konsep Tuhan dan karena
itu Posmodernisme menjadi eteistik. Pendekatan ini akan menggoyang konsep kepercayaan,
keberagamaan, dan kebenaran yang selama ini dipegang oleh masyarakat beragama.

2.12Peran Agama Islam dalam Postmodern

Sebagian besar permasalahan sekarang adalah bahwa umat islam berada dalam
kehidupan modern yang serba mudah, serba bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik
dalam kehidupan umat islam selalu berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan
tetapi sangat menarik naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang
mendukung. Hubungan religiusitas dan modernisasi (industrialisasi) merupakan persoalan

48
rumit yang banyak menimbulkan kontroversi, khususnya di kalangan ilmuwan sosial. Suatu
ungkapan yang hampir menjadi stereotip dalam percakapan sehari-hari menggambarkan
seolah-olah agama merupakan hambatan terhadap proses modernisasi dan industrialisasi.
Dengan adanya hubungan yang dinamis antara agama dan modernitas, maka
diperlukan upaya untuk menyeimbangkan pemahaman orang terhadap agama dan modernitas.
Pemahaman orang terhadap agama akan melahirkan sikap keimananan dan ketaqwaan
(Imtaq), sedang penguasaan orang terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di era
modernisasi dan industrialisasi mutlak diperlukan. Dengan demikian sesungguhnya yang
diperlukan di era modern ini tidak lain adalah penguasaan terhadap Imtaq dan Iptek
sekaligus. Salah satu usaha untuk merealisasikan pemahaman Imtaq dan penguasaan Iptek
sekaligus adalah melalui jalur pendidikan. Dalam konteks inilah pendidikan sebagai sebuah
sistem harus didesain sedemikian rupa guna memproduk manusia yang seutuhnya. Yakni
manusia yang tidak hanya menguasai Iptek melainkan juga mampu memahami ajaran agama
sekaligus mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang sarat nilai-nilai ajaran agama Islam.
Pendidikan Islam secara bahasa berasal dari kosa kata Arab, yaitu Robba –Yurobbi, yang
mempunyai arti mendidik, merawat, melindungi, mengajari dan lain sebagainya.
Arti dari peran agama Islam dalam kehidupan secara luas diantaranya :

1. Agama sebagai motivator, agama di sini adalah sebagai penyemangat seseorang


maupun kelompok dalam mencapai cita-citanya di dalam seluruh aspek kehidupan.
2. Agama sebagai creator dan inovator, mendorong semangat untuk bekerja kreatif dan
produktif untuk membangun kehidupan dunia yang lebih baik dan kehidupan akhirat
yang lebih baik pula.
3. Agama sebagai integrator, di sini agama sebagai yang mengintegrasikan dan
menyerasikan segenap aktivitas manusia, baik sebagai orang-seorang maupun sebagai
anggota masyarakat.
4. Agama sebagai sublimator, masksudnya adalah agama sebagai mengadukan dan
mengkuduskan segala perbuatan manusia.
5. Agama sebagai sumber inspirasi budaya bangsa, khususnya Indonesia

49
2.13Dampak Postmodernisme Dalam Kehidupan Masyarakat

Dalam kehidupan bermasyarakat, rumus positif negatif tak hentinya-hentinya


mewarnai segala proses yang dialami makhluk Tuhan didalamnya. Tak ubahnya dalam
landasan postmodernisme ini, juga mendatangkan sisi positif dan negatif.

a) Dampak negatif

Dari sisi negatif, materialisme merupakan momok kehidupan yang mengalir dalam
kehidupan saat ini. Keyakinan yang telah tertanam dalam diri sejak kecil, sekarang telah
terkikis oleh permasalahan materi yang begitu mengagungkan harta dan jabatan. Bahkan,
harga untuk sebuha kebenaran yang dipaparkan oleh muballigh muballigh pun digantung
dengan harga selangit. Ini lah faktanya, bukan rahasia umum lagi ita telah dijajah oleh
penyakit materialistis yang wabahnya menjalar bagaikan sebuah doktrin di iklan-iklan
televisi.

Istilah ini hadir sebagai reaksi penolakan terhadap modernism yang dianggap telah gagal
dalam mewujudkan pembebasan demi kesejahteraan manusia. Hal ini dikarenakan,
modernism sangat menjunjung tinggi rasionalitas. Dimana rasio, logika dan standar
ilmiah menjadi tolak ukur kebenaran. Sedangkan kaum postmodern sangat menekankan
emosi. Kaum ini, menghargai perbedaan-perbedaan dengan menegakkan semangat
pluralisme. Akibatnya kemutlakan berubah menjadi kemajemukan universal sehingga
menimbulkan istilah pluralisme. Pergeseran ini membawa pada pemahaman tentang
kebenaran. Dimana tidak diakui kebenaran secara tunggal dan berlaku universal. Kaum
postmodern menekankan pluralisme dan relatifisme. Setiap kelompok memiliki
kebenarannya. Kepercayaan yang dianggap benar hanya dalam konteks komunitas yang
meyakininya. Slogannya, ,"Apa yang benar untuk kami, mungkin saja salah bagi anda,"
dan "Apa yang salah bagi kami, mungkin saja benar atau cocok dalam konteks anda.”

Postmodernisme menghalalkan berkembangnya pemikiran manusia pada apapun dalam


skala tertentu sampai eksterm, bahkan melampaui batas norma, nilai, agama, etika, dan
hukum. Masyarakat postmodern menuntut pertanggungjawaban akan tindakan yang
dilakukan manusia. Pemikiran yang tanpa cela, penuh riset, dan tak terbantahkan dalam
melatarbelakangi sebuah perlakuan akan sesuatu yang pada akhirnya akan membuat
manusia menghalalkan semua tindakan yang dilakukan.

50
Seperti liberalisme, dengan arti kebebasan. Yakni kebebasan dengan tidak adanya
penghalang atau pembatas, paksaan, halangan, beban atau kewajiban seseorang utnuk
memperoleh hak-hak asasinya yang luhur. Namun, konteks liberalisasi dalam islam
adalah para liberism menganggap bahwasanya aspek ketuhanan kembali kepada manusia,
segala sesuatu diatur oleh manusia, dari manusia, untuk manusia. Jika hal ini terus
berlanjut, maka konteks Illahi dalam kehidupan akan dihapuskan dalam kehidupan
bermasyarakat.

Lain liberalisme lain pula dengan paham pluralisme yang memiliki beragam-ragam
pemikiran yang tergabung dalam konteksnya masing-masing. Segala pemikiran yang
dikemukakan dari setiap elemen merka nanggap benar adanya tanpa pemahaman konteks
spesialnya, melainkan hanya pemahaman atas dasar tujuannya saja.

Dalam konteks agama ialah sebuah ajaran mengenai kesatuan transenden agama-agama.
Paham ini mengangankan rubuhnya sekat-sekat antar agama, di mana semua agama dapat
berdamai dan berjalan bersama menuju keselamatan dan kebenaran yang diinginkan
semua manusia. Paham ini mewartakan pandangan baru tentang kebenaran, bahwa
semua agama ialah jalan yang sama-sama sah dan sama pula benarnya menuju Tuhan
yang sama. Paham ini pun telah melahirkan suatu tatanan etika dan moralitas baru. Apa
yang disebut Islami, dianggap, tidak hanya terkandung dalam Al-Qur’an ataupun Hadith.
Ia juga menyebar dalam ajaran agama-agama lain. Nilai kebaikan dan ajaran sebuah
agama tak lagi dipandang sebagai memiliki hubungan yang ketat.

Secara etimologis, relativisme yang dalam bahasa Inggrisnya relativism, relative berasal
dari bahasa latin relativus (berhubungan dengan). Dalam penerapan epistemologisnya,
ajaran ini menyatakan bahwa semua kebenaran adalah relatif. Penggagas utama paham ini
adalah Protagoras, Pyrrho.

Sedangkan secara terminologis, makna relativisme doktrin bahwa ilmu pengetahuan,


kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan budaya, masyarakat maupun
konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak bersifat mutlak. Lebih lanjut ensiklopedi ini
menjelaskan bahwa dalam paham relativisme apa yang dikatakan benar atau salah; baik
atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relatif
tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial.[

51
Sebagai buah dari Pluralisme, Relativisme memiliki ciri hampir sama seperti paham
Pluralis, yakni menekankan universalitas segala sesuatu, termasuk ajaran agama. Tidak
ada kebenaran yang mutlak. Semua agama adalah benar menuju kepada yang paling
benar. Itulah idiologi kaum Pluralis. Tidak jauh berbeda dengan idiologi kaum
Pluralisme, kaum Relativis dengan paham Relativismenya pun mendalilkan dengan lebih
luas lagi bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini bersifat relatif, tidak tetap, dan
situsional, atau kebenaran tergantung di tempat dimana manusia berada.

b) Dampak Positif Postmodernisme


- Menstimulasi kedewasaan dalam hal berpikir, khususnya bagi orang-orang yang
selama ini menganut paham konservatisme fundamentalis, yang tentunya sangat sulit
untuk mengubah pendiriannya.
- Meningkatkan iman dan supranatural sehingga ilmu pengetahuan dan iman dapat
hidup berdampingan.
- Memungkinkan toleransi yang lebih besar antara keyakinan.
- Memungkinkan untuk kebebasan berpendapat dalam perspektif seseorang tentang
“kebenaran” yang relatif atau non-absolut.
- Memungkinkan keterbukaan lebih untuk spiritual dan kebenaran emosional, dan
epistemologi (teori pengetahuan) yang melampaui batasan sains, logika dan alasan.

2.14Iman dan Taqwa Sebagai Solusi Postmodernisme

Akidah Islam dalam al-Quran disebut iman. Iman bukan hanya berarti percaya
melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berbuat. Oleh karena itu
lapangan iman sangat luas. Akidah Islam atau iman mengikat seorang muslim, sehingga ia
terikat dengan aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu menjadi seorang muslim
berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam. Menjaga
mata, telinga, pikiran, hati dan perbuatan dari hal-hal yang dilarang agama, merupakan salah
satu bentuk wujud seorang muslim yang bertaqwa. Karena taqwa adalah sebaik–baik bekal
yang harus kita peroleh dalam mengarungi kehidupan dunia.

Bagaimanakah cara menumbuhkan iman dalam hati manusia sehingga bertaqwa?


Mendekatkan diri kepada Allah, menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya, serta
menjalankan sunnah Nabi Muhammad SAW. Insyallah iman akan bertambah sehingga

52
ketaqwaan juga meningkat. Jika manusia telah bertaqwa, maka ia akan merasakan
ketenangan dalam hidupnya di dunia dan akhirat.

Firman Allah dalam Surat Al-Fath : 4


َّ َ‫ض َو َكان‬
‫ّللاُ َع ِلي ًما‬ ِ ‫األر‬
ْ ‫ت َو‬ َّ ‫ب ْال ُمؤْ ِمنِينَ ِليَ ْزدَادُوا إِي َمانًا َم َع إِي َمانِ ِه ْم َو ِ َّّلِلِ ُجنُود ُ ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬ َّ ‫ه َُو الَّذِي أ َ ْنزَ َل ال‬
ِ ‫س ِكينَةَ فِي قُلُو‬
‫َح ِكي ًما‬
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). dan kepunyaan
Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Firman Allah dalam Surat Al-Hujurot 13


َّ ‫ّللاِ أَتْقَا ُك ْم إِ َّن‬
‫ّللاَ َع ِلي ٌم‬ َّ َ‫ارفُوا إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْند‬ ُ ‫اس ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ذَك ٍَر َوأ ُ ْنثَى َو َجعَ ْلنَا ُك ْم‬
َ َ‫شعُوبًا َوقَبَائِ َل ِلتَع‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬
ٌ ‫َخ ِب‬
‫ير‬
13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.

53
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara etimologis postmodern terdiri dari dua kata yaitu post dan modern. Kata post
yang berarti “later or after” dan modern. Sedangkan secara terminologis menurut Pauline
rosenau postmodern merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalanya
memenuhi janji-janjinya. Postmodern juga cendeung mengkritik segala sesuatu yang
diasosiasikan dengan modernitas, yaitu akumulasi pengalaman peradaban barat.
Postmodernisme pertamakali muncul di Prancis sekitar tahun 1970-an. Pada awalnya
postmodern lahir terhadap kritik arsitektur, dan harus kita akui kata postmodern itu
sendiri muncul sebagai bagian dari modernitas ketika postmodern mulai memasuki ranah
filsafat.
Postmodernisme bersifat relative. Kebenaran adalah relative, kenyataan (realita)
adalah relative, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain.
Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh
emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari konstuk
sosial, kebenaran disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan. Ciri ciri pemikiran post
modern:
1. Dekonstruktifisme
2. Relativisme
3. Pluralisme
Kemudian, perkembangan filsafat tidak berhenti pada zaman modern namun filsafat
berkembang hingga zaman post modern. Seperti yang kita ketahui bahwa agama
merupakan salah satu asas terpenting dalam diri setiap manusia. Apalagi di zaman
postmodern pada saat ini. Dimana setiap manusia memiliki hak untuk mengeluarkan
pemikirannya, sehingga sangat sulit ditemui kebenaran yang mutlak. Dan kebenaran yang
mutlaq akan didapat dengan asas agama dan ilmu pengetahuan yang melekat kuat dalam
jiwa manusia. Untuk itu, pengetahuan agama dan pendidikan menjadi bekal penting untuk
menyaring hal-hal baru yang dibawa oleh era postmodern. Sehingga manusia tidak mudah
terperosok dalam dampak negatif postmodern.

54
Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah 213
‫اختَلَفُوا فِي ِه َوما‬ ْ ‫اس فِي َما‬ ِ ِّ ‫َاب ِبا ْل َح‬
ِ ‫ق ِليَحْ ُك َم بَيْنَ ال َّن‬ َ ‫ش ِرينَ َو ُم ْنذ ِِرينَ َوأ َ ْنزَ َل َم َع ُه ُم ْال ِكت‬ ِّ ِ َ‫ّللاُ النَّ ِب ِيِّينَ ُمب‬ َّ ‫ث‬ ِ ‫اس أ ُ َّمةً َو‬
َ ‫احدَة ً فَبَ َع‬ ُ َّ‫َكانَ الن‬
ِ ِّ ‫اختَلَفُوا فِي ِه ِمنَ ْال َح‬
َّ ‫ق ِبإِذْنِ ِه َو‬
ُ‫ّللا‬ ْ ‫ّللاُ الَّذِينَ آ َمنُوا ِل َما‬ َّ ‫ف فِي ِه ِإال الَّذِينَ أُوتُوهُ ِم ْن َب ْع ِد َما َجا َءتْ ُه ُم ْال َب ِِّينَاتُ َب ْغيًا َب ْي َن ُه ْم فَ َهدَى‬ َ َ‫اختَل‬
ْ
‫ص َراطٍ ُم ْست َ ِق ٍيم‬ ِ ‫َي ْهدِي َم ْن َيشَا ُء ِإلَى‬

213. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran
tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu
memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

55
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quraanul Kariim (QS. Al-Baqarah 213) (QS. Al-Qashaah 17) (QS. Al-Hujuroot
13) (QS. Al-Faath 4)
Abdullah, Dr. M. Amin, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995.
Akbar S. Ahmed. 1996. Postmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan,
cet. IV, Bandung.
Al-Ghazali, Imam. 2017. Pembebas dari Kesesatan. Jakarta: Turos Pustaka
https://ardia ndwipamungkas.wordpress.com/2014/12/13/35/
https://www.academia.edu/3551473/Postmodernisme

http://www.kaliakbar.com/2014/12/paham-relativisme-pengertian-aliran-dan.html

https://punyanyavika.wordpress.com/2011/08/22/implementasi-iman-dan-taqwa-
dalam-kehidupan-modern/

http://islamrohmtanlilalamiin.blogspot.co.id/2016/10/implementasi-agama-dalam-
postmodern.html

Maksum, Ali. 2011. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Sugiharto, I. Bambang. 2011. Postmodernisme: Tantangan bagi
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Rachmat, Aceng. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana

56
57

Anda mungkin juga menyukai