Anda di halaman 1dari 21

TEMA 13

Postmodernisme

A. Pengertian posmodernisme
Postmodern bila diartikan secara harfiah, kata-katanya terdiri atas “Post” yang
artinya masa sesudah dan “Modern” yang artinya era Modern, maka Postmodern adalah
masa sesudah era Modern (era diatas tahun 1960-an).1
Ada juga yang berpendapat bahwa Modernisme secara etimologi berasal dari kata
“modern”. Muncul dari kata “modernus” (latin) yang artinya sekarang. Menurut Hassan
Hanafi, tulang punggung modernisme ialah rasionalisme, kebebasan demokrasi,
pencerahan, dan humanisme.2
Modernisme merupakan suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian manusia,
berdasarkan logika yang bersumber dari daya nalar pemikiran. Sikap dan cara berfikir
yang disesuaikan dengan tuntuan zaman. Mencapai kebenaran pengetahuan dalam
kehidupan peradaban modern, sehingga mempengaruhi tingkat intelektualitas paling
tinggi.
Modernisme didasarkan pada penggunaan akal dan pikiran yang logis untuk
memperoleh pengetahuan. Rasio manusia dianggap mampu menyelami kenyataan
faktual menemukan hukum-hukum maupun dasar-dasar esensial dan universal dari
kenyataan, yang bermuara pada postmodernisme.
Pada awalnya, kata postmodern tidak muncul dalam filsafat ataupun sosiologi.
Dalam arsitektur dan sastra. Arsitektur dan sastra postmodern merupakan
pengembangan dari gaya arsitektur dan sastra modern yang totaliter, mekanis dan
kurang humanis. Postmodernisme merupakan reaksi terhadap kemajuan zaman dan
teknologi, muncul sebagai bentuk penolakan terhadap pemikiran logis (modern).
Berdasarkan asau usul kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris yang
artinya faham (isme), yang berkembang setelah (post) modern. Istilah ini muncul pertama

1
Mushlihin, Penjelajahan Postmodernisme, https://www.referensimakalah.com/2011/08/penjelajahan-
postmodernisme_9888.html diakses 18-01-2021
2
Sisi Rosida, Modernisme dan Postmodernisme,
https://analisadaily.com/berita/arsip/2016/6/5/241612/modernisme-dan-postmodernisme/ diakses 18-01-2021
kali pada bidang seni oleh Federico de Onis tahun 1930. Kemudian pada bidang Sejarah
oleh Toyn Bee tahun 1947. Setelah itu berkembang dalam bidang-bidang lain seperti
sastra, filsafat, arsitekur, studi literatur, dan ilmu sosial.
Postmodernisme merupakan suatu kondisi atau keadaan. Menitik beratkan
perhatiannya pada perubahan dalam bidang se-ni, ekonomi, politik, dan kultural (Giddens
1990; Jenkins, 1995: 6). Suatu kondisi masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi.
Melainkan reproduksi informasi dimana sektor jasa media, menjadi faktor yang paling
menentukan.
Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan
oleh emosi dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah
konstruk sosial. Kebenaran disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri
muncul dari kelompok.3
Teori postmodern atau postmodernism (Felluga, 2007) merupakan sebuah gerakan
intelektual yang lahir sebagai respon terhadap beberapa tema yang dikemukakan oleh
kaum modern atau modernis yang diartikulasikan pertama kali selama masa Pencerahan.
Era postmodernisme sendiri hanya dibatasi pada akhir abad 20. Beberapa ahli terkadang
menyebutkan bahwa era postmodernisme dimulai setelah Perang Dunia II berakhir
karena adanya kekecewaan eksistensial akibat terjadinya Holocaust.4
Selain itu, kelahiran postmodernisme ditempatkan di tahun 1960an ketika
modernism tidak lagi produktif. Postmodernisme tidak mewujudkan dirinya sendiri
hanya terbatas pada filsafat seperti ontologi, epistemologi, dan aksiologi atau teoretis
melainkan postmodernisme adalah sebuah konsep yang jauh lebih komprehensif yang
melingkupi seni, asitektur, dan kritik. 5

3
Ibid.
4
Holocaust adalah penyiksaan dan pembantaian terhadap sekitar enam juta orang Yahudi oleh rezim Nazi dan
kolaboratornya secara sistematis, birokratis dan disponsori oleh negara. “Holocaust” berasal dari kata dalam
bahasa Yunani yang artinya “berkorban dengan api.” Nazi, yang naik ke tampuk kekuasaan di Jerman pada bulan
Januari 1933, meyakini bahwa bangsa Jerman adalah “ras unggul” dan bahwa bangsa Yahudi, yang dipandang
sebagai ras “rendah,” adalah makhluk asing yang mengancam apa yang dinamakan dengan masyarakat rasial
Jerman. https://encyclopedia.ushmm.org/content/id/article/holocaust-abridged-article diakses 18-01-2021
5
Ambar, Teori Postmodern – Pengertian – Kritik, https://pakarkomunikasi.com/teori-postmodern,
diakses 18-01-2021
Para ahli teori sepakat bahwa terdapat dua pengertian postmodernisme yaitu
pertama, postmodernisme sebagai reaksi terhadap estetika modernisme pada paruh
pertama abad 20 dalam arsitektur, seni, dan sastra. Dan kedua, postmodernisme sebagai
reaksi terhadap tradisi modernitas yang telah berlangsung lama selama Abad
Pertengahan. Makna kedua seringkali disebut juga dengan postmodernity atau
postmodernitas karena mengacu pada banyaknya aspek historis dan sosial
postmodernisme.6
Jika kita mencari istilah postmodernisme melalui internet, maka akan ditemukan
berbagai bidang ilmu pengeteahuan yang menggunakan istilah postmodern itu seperti
postmodern art, postmodern anthropology, postmodern architecture, postmodern
archeology, postmodern dance, postmodern film, postmodern feminism, postmodern
literature, postmodern philosophy, postmodern political science, postmodern psychology,
postmodern legal theory, postmodern criminology, postmodern theatre, postmodern school
dan lain-lain. Berbagai istilah yang digunakan dalam bidang ilmiah ini membuktikan
bahwa penggunaan postmodern bukan hanya menjadi pembahasan di bidang filsafat,
akan tetapi telah merembes dan mempengaruhi hampir semua bidang ilmu pengetahuan
(terutama ilmu sosial budaya).7
Munculnya postmodernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu sendiri.
Kata modernisme mengandung makna serba maju, gemerlap, dan progresif. Modernisme
selalu menjanjikan pada kita untuk membawa pada perubahan ke dunia yang lebih mapan
di mana semua kebutuhan akan dapat terpenuhi. Rasionalitas akan membantu kita
menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang
membuat manusia tak berdaya dalam menghadapi dunia ini (Maksum, 2014: 309).
Namun demikian, modernisme memiliki sisi gelap yang menyebabkan kehidupan
manusia kehilangan disorientasi. Apa yang dikatakan oleh Max Horkheimer, Ardono, dan
Herbert Marcuse bahwa pencerahan tersebut melahirkan sebuah penindasan dan
dominasi disamping juga melahirkan kemajuan.

6
Ibid.
7
Akhyar Yusuf Lubis, Postmodernisme; Teori dan Metode (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014) hal. 2
Modernisme, menurut Anthony Giddens, menimbulkan berkembangbiaknya petaka
bagi umat manusia. Pertama, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa.
Kedua, penindasan oleh yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian
parah. Keempat, kerusakan lingkungan hidup yang kian menghawatirkan (Maksum,
2014: 311).8
Jean-Francois Lyotard adalah orang yang memperkenalkan postmodernisme dalam
bidang filsafat dan ilmu pengetahuan di tahun 1970-an dalam bukunya yang berjudul “The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge”. Dia mengartikan postmodernisme sebagai
segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun
atas modernisme (Maksum, 2014: 305-306).
Menurut beberapa para ahli yang lainnya, seperti Louis Leahy,postmodernisme
adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern (Leahy, 1985:
271). Menurut Emanuel,postmodernisme adalah keseluruhan usaha yang bermaksud
merevisi kembali paradigma modern (Emanuel, 2006: 93). Sedangkan menurut Ghazali
dan Effendi, postmodernisme mengoreksi modernisme yang tidak terkendali yang telah
muncul sebelumnya (Ghazali & Effendi,2009: 161).
Maka dapat disimpulkan bahwa postmodernisme merupakan suatu ide baru yang
menolak atau pun yang termasuk dari pengembangan suatu ide yang telah ada tentang
teori pemikiran masa sebelumnya yaitu paham modernisme yang mencoba untuk
memberikan kritikan-kritikan terhadap modernisme yang dianggap telah gagal dan
bertanggung jawab terhadap kehancuran martabat manusia; ia merupakan pergeseran
ilmu pengetahuan dari ide-ide modern menuju pada suatu ide yang baru yang dibawa oleh
postmodernisme itu sendiri.9

B. Ciri-ciri posmodernisme
Untuk melengkapi gambaran tentang kondisi masyarakat postmodern itu berikut
dikemukakan beberapa cirinya:

8
Ibid.
9
Johan Setiawan, Pemikiran Postmodernisme Dan Pandangannya Terhadap Ilmu Pengetahuan, Jurnal Filsafat,
ISSN: 0853-1870 (p); 2528-6811(e) Vol. 28, No. 1 (Februari 2018), p. 25-46, doi: 10.22146/jf.33296.
https://media.neliti.com diakses 18-01-2021
1. Globalisasi: bangsa-bangsa dan wilayah semakin terhubung satu sama lain sehingga
mengaburkan perbedaan antara wilayah maju (dunia pertama) dengan bangsa dan
wilayah terbelakang (dunia ketiga).
2. Lokalitas: kecenderungan global berdampak langsung pada lingkungan local, sehingga
memungkinkan kita untuk memahami dinamika global dengan mempelajari
manifestasi local.
3. “Akhir dari sejarah”: postmodernitas adalah keterputusan (diskontinuitas) sejarah
yang halus.
4. “Kematian individu”: konsep borjuis tentang subjektivitas tunggal dan tetap dibedakan
dengan dunia luar tidak dianggap masuk akal lagi oleh pemkir postmodernisme.
5. “mode informasi”: cara produksi, dalam terminology marxis, kini tidak lagi relevan.
6. Era “simulasi” dan “hiperreality”: jean baudrilliard (1983) menyatakan bahwa apa yang
disebut dengan realitas sekarang tidaklah stabil dan tidak dapat dilacak dengan konsep
ilmiah tradisional (maksudnya positivism).
7. Perbedaan dan penundaan dalam bahasa: bahasa menurut Jacques derrida tidak lagi
berada dalam hubungan representasional pasti atas “realitas”.
8. Polivokalitas: segala hal atau objek dapat dikemukakan dengan perspektif atau
paradigm yang berbeda, yang kedudukannya satu sama lain memiliki kesejajaran.
9. Kematian analisis oposisi biner: model berpikir yang didasarkan atas analisis polaritas
(oposisi biner): laki-laki versus perempuan, benar versus salah, negara maju versus
negara terbelakang, model berpikir ini dianggap tidak lagi relevan karena munculnya
keanekaragaman/pluralitas posisi subjek atau manusia.
10. Lahirnya gerakan social baru: akhir-akhir ini bermunculan berbagai gerakan akar
rumput yang mendorong berbagai perubahan sosila progresif seperti gerakan
perempuan, gerakan anti kolonialisme, gerakan lingkungan hidup, dan lain-lain.10
Pendapat lain menyebutkan bahwa Ciri khas yang terjadi dalam
postmodernisme, antara lain adalah sebagai berikut;
a. Menitiberatkan dalam padangan sosial dan hubungan dalam masyarakat, bukan
dalam pandangan ekonomi

10
Akhyar Yusuf Lubis, Postmodernisme; Teori dan Metode (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014) hal. 4-6
b. Kelanjutan terhadap adanya istilah modernisme
c. Postmodernisme diaggap sebagai padangan dunia tanpa tatanan yang heterogen,
akhirnya ciri ini mengabtraksikan bahwa postmodernisme menolak padangan
terhadap pembagian masyarakat borjuis, dan prolenter.
Contoh Postmodernisme secara nyata dalam pandangan para ahli mengenai
postmodernisme, ialah munculnya istilah paradigma. Istilah dikemukakan sebagai
pengganti istilah dalam teori yang ada di antara masayrakat modernisasi. Istilah
paradigma ini terus menerus dikembangkan hingga memunculkan bahwa paraidgma
yang ada dalam ilmu pengetahuan di era postmodernisme memberikan gembaran
mengenai proses berfikir terhadap masalah-masalah yang dikaji dan keluar jauh dari
pandangan terhadap perekonomian. Oleh karena itulah pada postmodernisme jarang
dikenal dengan pandangan masyarakat kapitalis atau sosialis, pada postmodernisme
sejatinya memberikan penjelasan mengenai paradigma yang tidak menunjukan pada
proses perkoomian akan tetapi dalam proses budaya dan sosial.11
C. Perbedaan modern dan postmodern

Dalam hal perbedaan postmodern dan modern dibagi menjadi beberapa kondisi masyarakat
sebagai berikut:
No. Kondisi Masyarakat Modern Kondisi Masyarakat Postmodern
1. Fokus pada produksi dan peran produktif Fokus pada konsumsi
2. Produksi dan organisasi industri Produksi dan organisasi post-industri
Institusi memiliki akar yang jelas
3. Institusi mengambang (rizhomatik)
(foundationalism)
4. Struktur-struktur kelas dan persekutuan Hierarki yang kompleks
Gaya hidup dan pekerjaan yang stabil Peserta episodik, berpindah-pindah, lateral,
5.
serta karir berjenjang dan sampingan
Kebudayaan mozaik, subcultural, dan
6. Kebudayaan massa
multicultural

11
Dosen sosiologi, 7 Pengertian Postmodernisme. Ciri-Ciri, dan Contoh Lengkap, https://dosensosiologi.com/7-
pengertian-postmodernisme-ciri-ciri-dan-contoh-lengkap/ diakses 18-01-2021
Identitas bersifat situasional, beragam, dan
7. Identitas atau subjektifitas yang stabil
cair
Pengkotak-kotakan dan politik nasional Politik global yang berorientasi isu dan
8.
yang terorganisasi “pemimpi” (serba mungkin)
9. Fokus nasional Fokus lokal global

Sementara itu, di bidang sosiologi Zymunt Baumant membedakan ciri sosiologi modern dengan
sosiologi postmodern yakni sebagai berikut:
No. Ciri-Ciri Modern Ciri-Ciri Postmodern
1. Determinisme Ketidakpastian, kesempatan, kemungkinan
2. Universalisme, kesamaan ruang, waktu Particularisme, localisme, perbedaan
3. Kepercayaan pada kemampuan diri, Ketidakpastian, skeptisisme, ambiguitas
transparansi, realitas dapat diketahui
4. Kesetaraan, kejelasan, dan kepastian Ada ketidakteraturan (chaos), tentatif dan
tidak pasti (probabilitas)
5. Monisme, universalisme, institusional Pluralisme, keberagaman, institusional
(isme) (isme)
6. Ada hambatan, keterbatasan, pembatasan Kebebasan memilih, menyesuaikan gaya dan
mode

D. Para tokoh dan pemikirannya


Bagi para postmodernis, masalah bahasa menjadi pembahasan dan fokus
perhatian mereka karena bahasa sebagaimana dikemukakan Paul Ricoeur adalah “house
of being” atau “rumah ada”. Maksudnya, bahasa adalah jalan bagi kita untuk menjelaskan
dan memahami realitas dan tidak ada jalan lain.
1. Michael Foucault

Seperti teks lainnya, tulisan dan pemikiran Foucault merupakan jalinan dari berbagai
pemikiran, sehingga untuk memahami gagasannya tentang arkeologi dan genealogi
diperlukan penelusuran berbagai pemikiran yang membentuknya. Pemikiran Marx serta
semangat “dekonstruksi” Nietzache menjiwai hampir semua tulisan Foucault dan pemikir
post-strukturalis dan postmodernis lainnya.
Foucault melakukan penelusuran tentang bagaimana pandangan tentang subjek,
kegilaan dan seksualitas muncul dalam perkembangan sejarah dan budaya. Pada analisis
wacana Foucault (metode), penelitian tentang wacana berfokus pada tiga asumsi penting.
Pertama, ilmu pengetahuan yang mengkonstruksi subjek dan yang kemudian menjadi objek
penelitian Kedua, teknologi diri (tubuh) sebagai alat bagi individu untuk mengubah dirinya
sebagai subjek. Ketiga, sebagai praktik “pemisah” atau “pembeda” yang membedakan antara
wacana normal dengan tidak normal, antara penjahat dengan orang yang patuh hukum,
antara kawan dan lawan.
Melalui metode arkeologinya Foucault menunjukkan adanya seperangkat savoir
yaitu perubahan konseptual, praktik, prosedur, institusi, dan norma-norma keilmiahan yang
memungkinkan sebuah keilmiahan formal (connanaissance) baru muncul dan menggantikan
yang lama.

a. Menggabungkan Konsep Arkeologi dengan Genealogi


Arkeologi pada Foucault adalah kondisi historis, perkembangan konsep ilmiah, dan
perubahan institusi dalam rentang sejarah yang relatif panjang. Sedangkan genealogi
menjelaskan bagaiman hubungan jaringan dan proses diskursus (wacana) terjadi. Dalam
pandangan Foucault ia mengemukakan empat prinsip yang membedakan keduanya antara
lain:
1. Arkeologi lebih membahas tentang diskursus-diskursus itu sendiri sebagai praktik yang
menuruti aturan-aturan tertentu.
2. Tujuan arkeologi bukan lebih pada upaya untuk mendefinisikan atau menunjukkan
kekhasan satu diskursus.
3. Arkeologi lebih memperhatikan tipe atau aturan oeuvre-oeuvre (karya) individu dan
kelompok.
4. Arkeologi meneliti deskripsi sistematik sebuah objek diskursus.

b. Penelitian Genealogi Foucault


1. Tentang power
Dalam buku Dicipline and Punish, Foucault mengemukakan konsep power yang
berbeda dengan power yang umunya diterima dan dipikirkan banyak orang.
Melalui The History of Sexuality (1978), Foucault memperluas diskusinya mengenai
power disiplin dari yang semula yang berfokus pada normalisasi individu produktif
kemudia gagasan ini berkembang menuju bio-power.
2. Tentang asal-usul dan sejarah
Bagi Foucault pencarian asal-usul itu bertujuan untuk menemukan hakikat pasti segala
sesuatu serta kemungkinan-kemungkinan paling murni serta identitas asli masalah
yang diteliti itu.
3. Tentang tubuh
Dalam dicipline and punish (1975/1979) Foucault mengemukakan tubuh terlibat
secara langsung dalam ranah politik, relasi kekuasaan memunculkan cengkraman
langsung terhadapnya, relasi kekuasaan menyemainya, melatihnya, menyiksanya,
menandainya, memaksanya melakukan melaksanakan berbagai tugas.
c. Wacana dan Kuasa Wacana
Bagi Foucault wacana adalah satu-satunya bagi kita untuk memahami realitas
(dunia). Karena wacana merupakan jalan bagi kita untuk mengetahui dan menjelaskan
realitas, maka wacana merupakan satu faktor penting yang membentuk kita (kuasa
wacana). Foucault mengemukakan lima tahapan dalam proses menganalisis ranah
peristiwa diskursif (wacana) sebagai berikut:
1. Memahami pernyataan menurut kejadian yang benar-benar khas.
2. Menentukan kondisi keberadaanya.
3. Menentukan batas-batasnya.
4. Mengkorelasikannya dengan pernyataan yang lain yang mungkin terkait dengannya.
5. Menunjukkan bentuk lain dari pernyataan yang dikemukakan.
Foucault mengemukakan ada empat domain dimana diskursus yang dianggap
membahayakan: Pertama politik (kekuasaan), Kedua hasrat (seksualitas), Ketiga
kegilaan, dan Keempat apa yang dianggap palsu atau benar.

2. Pierre Felix Bourdieu


Sosiologi kultural adalah upaya untuk mengkritisi dan mengatasi positivisme
ilmiah pada era Modern yang mendukung pendekatan spesialisasi yang ketat. Paradigma
positivisme dan spesialisasi menjadi ideal saat itu karena melihat kemajuan ilmu
pengetahuan alam dan teknologi yang menerapkan pendekatan itu. Spesialisasi adalah
penelitian yang objek kajiannya sangat sempit dan terbatas (atomistik) dengan metode
empiris yang ketat pula. Spesialisasi yang ketat itu didukung kuat oleh positivisme ilmiah
dan melawan kecenderungan filsafat Abad Pertengahan yang umum, abstrak, dan
ambisinya yang ingin melingkupi seluruh ilmu pengetahuan.
Salah seorang tokoh terkemuka sosiologi kultural itu adalah Pierre-Felix Bourdie.
Bourdieu disebut sebagai sosiolog, antropolog, etnolog, dan filsuf yang pemikirannya
memang dipengaruhi oleh banyak pemikir besar mulai dari Aristoteles, Thomas Aquinas,
Hegel, Marx, Durkheim, Max Weber, Picasso, Franz Fanon, Jean Paul Sartre, Husserl,
Ferdinad de Saussure dan Levi Strauss, Wittgenstein, Martin Heidegger, Michel Foucault
dan lain-lain. Bourdieu berhasil meramu pemikiran dari para pemikir itu menjadi satu
bentuk pemikiran baru, khususnya “metode strukturalisme-konstruktif”.
Bourdieu termasuk seorang filsuf yang pemikirannya sangat memengaruhi
pemikiran sosial-budaya dewasa ini. Pemikiran Bourdieu juga berpengaruh pada bidang
disiplin yang beragam seperti : sosiologi, kriminologi, sejarah dan hukum. Inti teori
sosiologi kultural Bourdieu adalah “teori tentang praktik manusia” yang memadukan teori
yang berpusat pada agen atau aktor (agent-centred) dengan penjelasan objektivis(me) yang
menekankan dimensi struktur dalam membentuk kehidupan sosial.

a. Riwayat dan Latar Belakang Pemikiran Bourdieu


Bourdieu lahir di Denguin (Hautes-Pyrenees) pada 1 Agustus 1930. Ayahnya
adalah seorang tukang pos, dengan demikian Bourdieu dibesarkan pada lingkungan
kelas menengah bawah. Meski demikian, ia berhasil memasuki Perguruan Tinggi Ecole
Normale Superieure, salah satu perguruan tinggi terkemuka di Perancis pada tahun
1951. Ia berhasil menerobos dan memasuki lembaga pendidikan bergengsi di Perancis
Lycee Louis-le-Griand di Paris kemudian melanjutkan belajar filsafat di Ecole Normale
Superieure. Disinilah ia bertemu dan berkenalan dengan pemikir besar Michel Foucault,
Jacques Derrida dan Emmanuel Le Roy Ladurie. Kuliah-kuliah filsafat ini ternyata
membentuk pemikirannya dan kemudian membawa namanya dikenal di dunia akademis
secara luas.
Setelah mendapatkan kedudukan akademis yang tinggi itu, Bourdieu semakin
memantapkan kedudukannya sebagai seorang intelektual yang berkaliber internasional
dengan terbitnya buku Homo Academicus (1984/1988), The State Nobility : Elite
Schools in the Field of Power (1989) dan lain lain. Karya Bourdieu ini merupakan “teori
tentang tindakan manusia” dalam berbagai bidang, namun ada satu tema yang
menghubungkan karya-karya ini yaitu kritik terhadap budaya dominasi, serta kritik
terhadap dominasi wacana politik neo-liberal pasca Perang Dingin.

b. Strukturalisme – Konstruktif
Penggunaan istilah “konstruktif” oleh Bourdieu sejalan dengan pandangan sosial
konstruktivisme atau postmodernisme yang mengakui peran subjek dan objek dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan secara tegas, Bourdieu menyatakan bahwa
jika ia harus merumuskan karyanya dalam dua kata, maka ia akan nyatakan
“strukturalisme konstruktif” atau “konstruktivisme strukturalis” (Bourdieu, 1990:147).
Adapun metode Bourdieu, yakni strukturalisme konstruktif ini dimaksudkan
agar mampu memahami fenomena sosial-budaya (antropologi, sosiologi, sejarah, ilmu
pendidikan dan lain lain) yang begitu kompleks dengan lebih utuh. Strukturalisme
konstruktif (generatif) yang dirancang Bourdieu tersebut adalah untuk memahami asal
usul strutur sosial maupun disposisi habitus para agen yang tinggal didalam struktur itu.
Ada hubungan yang saling memengaruhi antara subjektivitas dan objektivitas, antara
agen dan struktur. Menurut Bourdieu, dari kesalingketerkaitan antara habitus dan field
itulah praktik sosial dan individual muncul.

c. Sosiologi Kultural dan Refleksif


Dalam lingkungan ilmu sosial dan teori budaya (sosiologi-kultural), Bourdieu
dikenal sebagai salah seorang pakar metateori, dimana ia menghendaki
dikembangkannya sosiologi yang refleksif. Bourdieu mengemukakan bahwa sosiologi
seharusnya melakukan apa yang ia sebut dengan “meta-sosiologi” yang selalu
melakukan refleksi atas dirinya (sosiologi) sendiri. Bourdieu melakukan refleksi itu, dan
hasil/sumbangan pemikirannya yang terbesar adalah upayanya untuk mengembangkan
piranti metodologis dan konseptual untuk penelitian ilmu-ilmu sosial. Hasilnya, itulah
yang disebut dengan “sosiologi konstruktif”, yaitu satu sosiologi yang menurutnya harus
melibatkan pandangan-pandangan yang memberikan sumbangan bagi konstruksi dunia
sosial itu sendiri.
Richard Jenkis mengemukakan bahwa teori (pemikiran) Bourdieu banyak
menarik perhatian sejak tahun 1990-an karena alasan berikut :
1.) Pemikirannya memberikan konstribusi dalam perdebatan akademis tentang
hubungan dualistis antara struktur dan tindakan (agen).
2.) Teori yang ia kemukakan sebagai hasil penelitiannya tentang etnografi selama ia
tinggal di Afrika serta surveinya tentang masalah sosial.
3.) Keaktifannya melakukan penelitian sosial dan pemahamannya tentang masalah
perkembangan epistemologi, ia gabungkan dalam bentuk kesatuan dalam teorinya.

d. Medan, Pasar dan Kapital


Konsep medan (field) merupakan ruang atau “semesta sosial tertentu” yang
didefinisikan sebagai tempat para agen/aktor sosial saling bersaing. Scott Lash
mengemukakan bahwa konsep medan pada Bourdieu identik dengan “tatanan
kehidupan” pada Max Weber, atau dunia kehidupan dalam bidang ekonomi, estetika,
politis (lebensordnungen) dan lain lain. Misalnya medan dalam dunia seni terdiri dari
seniman, pembeli karya seni, para kritikus, kurator museum dan sebagainya.
Bourdieu mengemukakan istilah pasar dan modal (kapital) dan ia membedakan
beberapa jenis pasar dan jenis kapital (budaya, ekonomi, dan simbolik). Sebuah pasar
dapat dilihat sebagai sebuah ruang (medan) posisi-posisi terstruktur, dan ciri posisi
tersebut tergantung pada lokasi ruang dan tidak tergantung pada atribusi personal.

e. Habitus
Habitus adalah pembatinan nilai-nilai sosial-budaya yang beragam dan rasa
permainan (fell for the game) yang melahirkan berbagai macam bentuk gerakan yang
disesuaikan dengan permainan yang sedang dilakukan. Terlihat jelas disini pengaruh
konsep language game dari Wittgenstein II, dimana aturan dan nilai-nilai yang telah
terbatinkan akan membuat seseorang bertindak sesuai dengan aturan itu (pemain bola
kaki akan bermain sesuai dengan aturannya dan pemain olahraga lain, juga melakukan
permainan yang sesuai dengan aturan mereka masing-masing). Habitus adalah produk
dari pembatinan keniscayaan-keniscayaan objektif dari “aturan”, “model”, atau
“struktur” pada subjek (agen).
Bourdieu mengembangkan konsep habitus sebagai system pendisposisian dan
aktifitas budaya yang dipelajari dalam masyarakat yang membedakan orang-orang
menurut gaya hidupnya. Habitus adalah nilai-nilai yang dibatinkan melalui “ruang
sosial” dan dapat mencerminkan posisi seseorang dalam tataran sosial-ekonomi,
walaupun tidak secara mutlak.
Untuk lebih memperjelas pemahaman Bourdieu tentang habitus, ada dua hal
yang ditekankan. Pertama, habitus menjiwai tindakan kolektif actor-aktor yang
memiliki posisi yang sama dalam satu bidang, dan cenderung mengembangkan disposisi
yang serupa dan dengan demikian melakukan praktik yang serupa pula. Kedua, habitus
berperan dalam mempertahankan hierarki dan menganggap sesuatu sebagai hal yang
alami, absah dan tak terhindarkan.

f. Pasar Bahasa, Ruang Sosial dan Kapital


Bourdieu mengemukakan istilah “pasar bahasa” atau medan bahasa yang
terstruktur dalam cara tertentu. Sebuah pasar (medan) bahasa secara sinkronik dapat
dilihat sebagai ruang posisi yang terstruktur dan ciri posisi tersebut tergantung pada
lokasi ruang dan bukan pada atribusi personal.
Kalau ada beberapa jenis pasar, maka ada pula beberapa jenis capital seperti:
kapital ekonomi, kapital budaya, dan kapital simbolik. Satu jenis capital bisa berbaur
dengan capital lainnya, misalnya seseorang bisa memiliki capital ekonomi, intelektual,
budaya dan sosial secara bersamaan. Yang menjadi pertaruhan dan perebutan dengan
medan tertentu adalah struktur medan itu sendiri, yaitu distribusi capital yang
merupakan ciri spesifiknya.
Ruang sosial adalah ruang kelompok-kelompok status yang dicirikan oleh
berbagai gaya hidup yang berbeda. Perjuangan simbolik atas persepsi dunia sosial dapat
mengambil dua bentuk yang berbeda. Pada sisi objektif, orang dapat bertindak melalui
perpresentasian (individual atau kolektif) supaya dapat menunjukkan dan
mengendalikan berbagai pandangan tertentu mengenai realitas sedangkan pada sisi
subjektif, modal simbolik memungkinkan seseorang bertindak dengan cara mengubah
persepsi diri dan apresiasi tentang dunia sosial.

g. Ranah dan Doxa


Ide Bourdieu tentang ranah dikembangkannya ketika ia mencoba memahami
makna dari gagasan Weber tentang agen-agen religious : penyihir, nabi, pendeta. Ia
mengembangkan konsep ranah sebagai komunikasi personal atau konsep relasional, dan
diungkapkan dalam kemampuan berbicara, meskipun didasarkan pada hubungan
objektif. Ia acap merefleksikan posisinya dalam ranah intelektual serta asal-usul ide-
idenya sendiri. Doxa adalah struktur mapan sehingga tidak dipertanyakan lagi. Doxa
terbentuk dari semua klasifikasi yang menetapkan batasan-batasan dari kesadaran
(cognition) sekaligus menghasilkan kesalahan pengenalan atas kearbiteran yang
menjadi dasar sistem itu (Bourdieu, 1997:164; Herker, 1990:30).

h. Modal Sosial
Modal sosial menurut Bourdieu memberi manfaat langsung kepada anggota
jaringan, selain itu membantu menggantikan kekurangan sumber yang lain. Kelompok
sosial yang kuat dapat membatasi dan menggerogoti modal sosial mereka yang kurang
kuat. Mereka yang memiliki modal budaya dan modal finansial cenderung memiliki
modal sosial yang tinggi. Mereka cenderung melakukan koneksi dan jalinan erat dengan
orang lain. Modal sosial adalah martabat dan kehormatan yang bisa menjadi sesuatu
yang mendasar untuk menarik klien pada posisi sosial penting dan bisa menjadi alat
tukar misalnya dalam karir politik (Bourdieu, 1977: 503).
Modal sosial bagi Bourdieu merupakan bentuk superior dari kemunduran dan
kemajuan diri secara timbal balik. Hubungan antar kelompok, antar etnis, dan antar
Negara juga banyak ditentukan oleh modal sosial. Amerika, Inggris, Jerman memiliki
modal sosial yang lebih tinggi dari Negara yang terdapat di Amerika Latin, Afrika atau
di Asia.
i. Kekerasan Simbolik
Kekerasan simbolik menurut Bourdieu umumnya terjadi dalam proses sosialisasi
dalam penanaman nilai-nilai (ideologis) didalam kehidupan sehari-hari. Istilah
kekerasan simbolik ini ditemukan Bourdieu melalui penelitiannya terhadap masyarakat
Kabyle, khususnya tentang pemberian atau hadiah. Pada masyarakat Kabyle tidak
terdapat lembaga-lembaga yang dapat diobjektivikasi dalam membenarkan relasi
dominasi. Dalam masyarakat Kabyle model kekerasan yang mereka alami bukan dalam
bentuk kekerasan yang tampak, akan tetapi dalam bentuk “kekerasan simbolik” atau
“kekerasan lembut” yang tidak diakui sebagai kekerasan, karena didasarkan atas
percaya diri, loyalitas personal, kesediaan menerima, pemberian, utang budi,
pengakuan, kesalehan yang semuanya diterima sebagai penghormatan etis atau bentuk
kesalehan (Bourdieu, 1977: 192).
Kekerasan simbolik juga merupakan pemaksaan kesewenang-wenangan budaya
dimana kekerasan semacam itu implisit dalam hierarki bahasa dan cara penggunaan
bahasa. Setiap ucapan (pernyataan) menurut Bourdieu adalah hasil kompromi antara
“expressive interest” (keinginan ekspresif) atau apa yang harus dikatakan dan
penyensoran yang inheren dalam struktur pasar (dunia pendidikan) atau tempat ucapan
itu dikemukakan.

j. Simpulan
Bourdieu adalah seorang filsuf, sosiolog dan antropolog yang terkemuka. Ia
memiliki akar sosial-budaya daerah Al-Jazair dan dari kelas proletar (bawah) yang
berhasil ke Paris dan memasuki lingkungan elite pendidikan tinggi terkemuka di Paris.
Meskipun dengan perjuangan yang berat, ia berhasil naik kelas dengan memasuki
persaingan di medan akademis dan berhasil pula menjadi seorang ilmuwan avant-garde
yang sejajar dengan ilmuwan besar Prancis lainnya seperti Foucalt, Derrida, Lacan, dan
Barthes. Bourdieu menyatakan bahwa dirinya terpecah-belah, hal ini memang terlihat
dari pemikirannya yang juga terpecah antara berada pada arena proleta, mengkritik
kalangan ilmuwan Prancis, dan pemikirannya bergerak dari era Tradisional, Modern dan
Postmoodern.
Pemikiran Bourdieu dapat disebut sebagai metateori sosiologi yang oleh
Bourdieu disebut “sosioanalisis”. Metasosiologi atau sosioanalisis diperlukan agar
sosiolog dapat menghindarkan diri menjadi sasaran permainan kekuatan sosial dalam
melakukan studi sosiologi. Metodenya adalah metode yang mengakui peran objek dan
subjek dan peran agen dan struktur dalam kontruksi ilmu pengetahuan.

3. Anthony Gidden

Anthony Giddens termasuk ilmuwan yang menyatakan bahwa pandangan paradigma


positivisme sudah tidak memadai lagi dalam memahami dan menyelesaikan masalah sosial-
budaya kita sekarang ini. Asumsi teori-teori sosial klasik, mulai dari teori Marx, Durkheim
sampai teori sosial yang berkembang sampai tahun 1960-an sudah tidak memadai untuk
meneliti masalah sosial. Ilmu pengetahuan sosial yang didasarkan atas pandangan
naturalisme (paradigma positivism) menghasilkan teori yang esensialis dan reduksionis
dianggap tidak tepat lagi berhadapan dengan fenomena sosial-budaya yang telah berubah
dan terus berubah dengan cepat.
Tulisan ini akan membahas tentang pemikiran Anthony Giddens, khususnya tentang
teori strukturasi (theory of structuration) yang disebutnya sebagai langkah rekontruksi
(daripada sintesis), walaupun pada kenyataanya sintesis teori sangat kuat dalam proyek
teoritisnya itu. Ia mengkritik teori sosiologi interpretatif dan fenomenologi dengan berbagai
varian metodenya. Alasannya adalah paradigm ini terlalu menekankan kebebasan aktor dan
menolak dominasi struktur serta mengkritik sosiologi fungsional. Ia merumuskan ketiga
teori itu dengan mensintesiskan (rekonseptualisasi) struktur, tindakan (aktor), dan sistem itu
menjadi pendekatan teoritis baru.

a. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pemikiran Giddens


Anthony Giddens lahir pada 18 Januari 1938 di London. Ia kuliah di Universitas
Hull (B.A.) dan di London School of Economics (M.A.) dan Universitas Cambridge
(Ph.D). Pada tahun 1961 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Leicester. Karya
pertamanya ialah tentang kasus bunuh diri. Pada tahun 1969 ia pindah menjadi dosen
sosiologi ke Universitas Cambridge dan menjadi anggota King’s College. Bukunya
yang berjudul The Class Culture of Advanced Society (1975) yang membahas ihwal
percampuran kultul memperoleh penghargaan internasional. Sejak itu, nama Giddens
semakin dikenal sebagai seorang teoritikus sosial Inggris yang terkenal di dunia. Karya
karyanya yang terbit sesudahnya semakin menunjukkan jalan pikirannya dan salah satu
pemikirannya yang terpenting adalah tentang metode strukturasi.
Giddens juga menyatakan teori-teori sosial masa klasik sampai tahun 1960-an
sudah tidak memadai dan kurang relevan untuk menjelaskan dan memahami masa kini.
Menurutnya, teori-teori sosial modern terlalu dikuasai oleh positivisme ilmiah dan
interpretasi yang naturalis (menyamakan fenomena sosial-budaya dengan alam). Teori
sosial modern terlalu menyederhanakan kehidupan sosial-budaya dengan mereduksi
fenomena sosial-budaya sebagai fakta objektif dan melihat fenomena sosial-budaya
sebagai fenomena yang mekanis.

b. Modernitas Tinggi sebagai Juggernaut


Dalam buku Beyond Left and Right (1994) Giddens menganalisis apa yang ia
sebut dengan “Modernitas Akhir” atau “Modernitas Tinggi” sebagai pandangan radikal
tentang globalisasi. Giddens melihat globalisasi utamanya bukan sebagai
kesalingtergantungan ekonomi global, akan tetapi kesalingtergantungan komunitas-
komunitas lokal dengan proses global kemodernan. Bentuk teknologi modern seperti
telekomunikasi, satelit, atau mikrokumputer memungkinkan modernitas menjadi sadar
diri atau melakukan “social reflexivity”. Refleksivitas sosial ini memungkinkan
masyarakat melakukan evaluasi atas aspek-aspek yang paling intim dalam
kehidupannya sejalan dengan perubahan sosial yang cepat.
Giddens tidak begitu suka menggunakan istilah postmodern karena jika istilah
itu diterima secara konsekuen misalnya tidak diterima adanya pengetahuan yang
sistematis, maka akan berkonsekuensi pada “penolakan aktivitas intelektual sama
sekali”. Ia memang mengakui bahwa kehidupan (budaya) sekarang sangat modern
sehingga disebutnya dengan “modernitas tinggi”. Modernitas itu ditandai oleh :
teratasinya kelangkaan, semakin meningkatnya demokrasi, demiliterisasi dan upaya
untuk memanusiakan teknologi.
Giddens (dan Bourdieu) termasuk tokoh yang mebahas masalah agen-struktur,
akan tetapi bukan dalam bentuk dualitas, melainkan dialektis. Giddens (dan Bourdieu)
cenderung menempatkan aktor (agen) sebagai individu. Jika dibandingkan dengan
Bourdieu, agen pada Giddens lebih memiliki kebebasan dan kekuatan karena agen
adalah pelaksana tindakan yang relative bebas dalam memilih tindakannya, karea dia
diangkat atau diatas strutur.

c. Sekuritas Ontologi dan Revleksifitas


Setiap masyarakat, baik pramodern, modern dan modernitas radikal, selalu saja
memiliki kesadaran akan perlunya keteraturan sosial dan ingin merasa aman dan mantap
di tempat ia hidup. Struktur menurut Giddens tidak hanya menghambat dan menentukan
bentuk tertentu tingkah laku, akan tetapi juga memberi kemampuan bagi perilaku;
artinya struktur memberikan pembatasan dan kesempatan sekaligus. Ada keinginan
terbentuknya lembaga instistusi yang kuat yang menjadi wahana bagi perwujudan
keberadaan diri dan identitasnya. Giddens menyebut kondisi eksistensial ini dengan
“sekuritas ontology”, sekuritas ontology dapat diwujudkan melalui perkawinan,
kehidupan keluarga, kehidupan di tempat kerja, dalam komunitas, semua ini
memerlukan kenyamanan dan stabilitas.
Kita secara rutin harus beradaptasi dengan kesadaran kita tentang apa yang
tengah terjadi, membentuk self (identitas) agar kita senantiasa dapat memahami dan
mengantisipasi berbagai hal yang mungkin terjadi. Proses inilah yang disebut Giddens
dengan “revleksifitas”. Dengan demikian, kehidupan pada modernitas tinggi atau
radikal adalah proyek refleksivitas yang tiada akhir.

d. Integrasi Agen – Struktur


Teori strukturasi Giddens bertujuan untuk mengatasi dualitas “agen-struktur”
itu, dengan menyatakan adanya hubungan dialektik antara agen dengan struktur.
Giddens memberikan pengertian struktur yang agak khas sebagai kumpulan aturan dan
sumber yang diorganisasi secara berulang-ulang. Definisi Giddens tentang system
sebagai praktik sosial yang dilakukan secara berulang ulang. Definisi Giddens tentang
system sebagai praktik sosial yang dilakukan secara berulang ulang secara umum
diterima oleh sebagian besar sosiolog. Bagi Giddens istilah struktur mengacu pada
perangkat aturan dan sumber daya yang bergerak yang digunakan oleh agen untuk
bertindak.

e. Sintetis Teoritis
Upaya Giddens untuk mengintegrasikan analisis makro-mikro atau agen-
struktural mulai ia lakukan pada tahun 1980-an dan semakin menguat sejak tahun 1990-
an. Pada tahun 1990-an sintesis teoritis Giddens mulai menonjol. Lewis mengemukakan
bahwa perkembangan ini memiliki dampak positif bagi sosiologi.
Giddens dalam tulisan akhirnya memasukkan dimesnsi ruang-waktu kedalam
teori strukturasi. Struktur sosial tidak hanya terstruktur melalui aturan-aturan dan
sumber-sumber, akan tetapi digolongkan oleh ruang dan waktu. Jadi, Giddens
memasukkan konsep ruang-waktu yang menurutnya terdapat dalam seluruh eksistensi
sosial. Ruang-waktu adalah kerangka kerja atau sebagai batas analisis sosial yang di
dalamnya kehidupan sosial mengambil tempatnya. Interaksi selalu terjadi dalam ruang-
waktu tertentu, setting tertentu dan pelaku tertentu.

f. Pendekatan dan Hubungan Dialektis


Teori yang mengatasi posisi yang oposisional antara struktur dengan agen diatasi
dengan melihat bagaimana struktur-agen itu berkaitan dan saling berintegerasi satu sama
lain. Pendekatan ini disebut juga dengan pendekatan dialektis, dimana agen dan struktur
saling memengaruhi satu dengan yang lain. Teori yang masuk pada pendekatan dialektis
inilah yang dilakukan Giddens.
Argumen dasar Giddens adalah struktur dan agensi bukankah entitas yang
terpisah, akan tetapi keduanya saling tergantung dan berkaitan secara internal.
Mengikuti pemikiran strukturalis, Giddens menyatakan bahwa struktur-struktur
memang membatasi apa yang dilakukan individu dan kelompok, namun berbeda dengan
strukturalis, Giddens kemudian menyatakan bahwa “aturan dan sumber daya”
memungkinkan aksi/tindakan tertentu. Misalnya aturan yang diputuskan oleh
Mahkamah Hukum Eropa, membatasi warga Negara Uni Eropa, akan tetapi aturan itu
juga bisa membantu dan memudahkan bagi warganya.
g. Kritikan Terhadap Teori Strukturasi Giddens
Giddens dikritik oleh beberapa ahli teori sosial-politik seperti Taylor (1993),
Archer (1996) maupun Layder (1997). Mereka mengkritik pandangan Giddens yang
menyatakan bahwa struktur-agensi saling berkaitan dengan satu hal yang sama. Upaya
pemaduan ini oleh Archer disebut sebagai “central conflation” (peleburan sentral),
keduanya dilebur paksa sehingga perbedaan antara keduanya menjadi tidak berarti.
Peleburan paksa ini berdampak pada kesulitan untuk meneliti bagaimana sesungguhnya
dialektika struktur dengan agensi.
Kritik yang paling sistematis terhadap pemikiran Giddens muncul dari Ian Craib
(1992). Kritiknya antara lain : pertama, pemikiran Giddens kurang “mendalam secara
ontologis” karena perhatannya pada praktik-praktik sosial. Kedua, upaya Giddens
mensintesiskan teori tidak mempertautkan dengan baik kompleksitas dunia sosial.
Untuk mengatasi kompleksitas, ia merumuskan satu teori sintetis tunggal. Akibatnya,
sintesis itu terlalu dipaksakan. Ketiga, Giddens kurang memiliki dasar yang cukup untuk
analisis kritik terhadap masyarakat modern, karena ia tidak memberi dasar untuk
bekerja. Keempat, teorinya yang eklektis itu membuat potongan-potongan dan pecahan
teoretis yang tidak dipersatukan dengan baik. Akibatnya, sulit (bahkan mustahil) untuk
memahami secara tepat apa yang dimaksudkan Giddens.

h. Simpulan
Teori strukturasi Anthony Giddens adalah sebagai upaya untuk menggabungkan
agen(si) dan struktur yang sebelumnya dianggap sebagai oposisi biner. Untuk sintesis
teoritisnya Giddens dipengaruhi dan mengambil manfaat dari banyak pemikiran yang
ada dalam teori sosial seperti : Marxisme, strukturalisme, fungsionalisme,
hermeneutika, dan fenemenologi. Hasilnya adalah "teori strukturasi” sebagai hasil
elektrik dari teori-teori itu. Fokus teori strukturasi adalah pada praktik-praktik sosial dan
teori yang melihat agensi dan struktur sebagai dua hal yang dialektis atau dua sisi dari
satu mata uang yang sama.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Akhyar Yusuf Lubis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2014

Anda mungkin juga menyukai