Anda di halaman 1dari 14

Aulia Rahmita

Muhammad Husaini Aditya N


Naufal Nur Imani R
Rizka Nurlatifah

FILSAFAT POSTMODERNISME

A. Pengertian Postmodernisme

Awalan “post” pada istilah itu bsnyak menimbulkan perbedaan arti. Lyotard
mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola
kemodernan. David Griffin, mengartikan sekadar koreksi atas aspek tertentu saja dari
kemodernan. Anthony Giddens, mengartikannya sebagai wajah arif kemodernan yang
telah sadar diri. Sementara Habermas, satu tahap dari proyek modernisme yang
memang belum selesai. Menurut Tony Cliff, postmodernisme berarti suatu teori yang
menolak teori. Akhiran “isme” berarti aliran atau sistem pemikiran yang menunjuk
pada kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia, epistemologi, dan ideologi modern.
Istilah postmodernisme kali pertama digunakan oleh Frederico de Onis pada
1930-an untuk menyebut gerekan kritik di bidang sastra, khususnya sastra Prancis dan
Amerika Latin. Onis menyebut tahap modernisme awal antara tahun 1896-1905 dan
tahap postmodernisme antara tahun 1905-1914 yang ia sebut “ periode intermezzo”
atau pertengahan, dan modernitas yang lebih tinggi kualitasnya dalam tahap
ultramodern antara tahun 1914-1932. Kemudian pada tahun 1947, sejarawan Arnorld
Toynbee memakai kata postmodern dalam buku A Study of History. Bagi Toynbee,
pengertian postmodern adalah masa yang ditandai perang. Gejolak sosial, revolusi yang
menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan pencerahan. Pada tahun yang sama,
Rudolf Panwitz menggunakan istilah postmodern dalam bukunya Die krisis de
Europaischen Kultur. Dalam buku ini Panwitz menyebut “ manusia modern” sebagai
manusia sehat, kuat, nasionalis, dan religius yang muncul dari nihilisme Eropa. Dan
Postmodernisme adalah puncak modernisme.
Pada tahun 1975, Peter Drucker menulis subjudul Laporan tentang Dunia
Postmodern dalam bukunya The Landmarks of tomorrow. Ducker memperkenalkan
istilah postmodern untuk menyebut perkembangan baru dalam bidang ekonomi yang
sudah memasuki zaman pancaindustri/pascakapitalis, dan revolusi gelombang ketiga.
Pada tahun 1960-an, Irving hole menulis Mass Society and Postmodern Fiction.
Hole menyebut sastra kontemporer/postmodern berbeda dengan sastra modern.
Menurutnya, sastra postmodern menunjukkan kemerosotan disebabkan lemahnya para
pembaru dan kekuatan penerobosnya. Baginya, sastra postmodern harus meniggalkan
model modern-klasik, dan orang bebas menangkap dan mengekspresikan kualits-
kualitas khas dari sastra baru. Kemudian sastra postmodernisme baru menunjukkan
prestasinya yang penting yaitu saat berhasil menjembatani antara kebudayaan elite
(high culture) dengan kebudayaan masa (pop culture).
Daniel Bell mengartikan postmodern sebagai kian berkembangnya
kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, bersamaan dengan
makin tersebarnya daya-daya instingtualdan kian membumbungnya kesenangan dan
keinginan yang akhirnya membawa logika modernisme ke kutub terjauhnya. Itu terjadi
terutama melalui intensifikasi keterangan-keterangan struktural masyarakat. Frederic
Jameson mengartikan postmodernisme adalah logika kultural yang membawa
transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya. Ia mengartikan tahapan-tahapan
modernisme dengan kapitalisme monopoli, sedang postmodernisme dengan
kapitalisme pasca perang dunia kedua. Menurutnya, postmoderinsme muncul
berdasarkan dominisasi teknologi reproduksi dalam jaringan global kaptalisme
multinasional kini.
Sedangkan Jean Baudrillard beranggapan bahwa jika modernisme ditandai oleh
ekplosi (komodifikasi, mekanisasi, teknologi, dan pasar), maka masyarakat
postmodernisme ditandai oleh implosi (ledakan ke dalam), yakni peleburan segala
batas, wilayah dan perbedaaan antara budaya universal dan budaya partikular,
penampilan dan kenyataan, dan beberapa posisi biner lainnya. Kalau modernitas bisa
disebut sebagai proses meningkatnya difernisasi bidang-bidang kehidupan besserta
fragmentasi dan alienisasinya, postmodernitas dapat ditafsirkan sebagai proses
diferenisasi dam implosi peleburan segala bidang.
Tahun 1970-an di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan, postmodernisme
diperkenalkan oleh Jean Francois Lyotard dalam bukunya The Posrmodern Condition:
A Report on Knowledge (1979). Lyotard mengartikan “postmodernisme” sebagai “
ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar, penilakan filsafat metafisis,
filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi- seperti Hegelianisme.
Liberalisme, Marxisme, dan isme-isme lainnya. Postmodernisme, sambil menolak
pikiran yang totaliter, juga “ menghaluskan kepekaan terhadap perbedaan dan
memperkuat kemampuan toleransi terhadap kenyataan yang tak terukur. Sejak buku ini
terbir, perdebatan postmodernisme mencuat hingga saaat ini.
Pemikiran Lyotard berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita,
khususnya tentanh cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebutnya “narasai besar”
seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi, kaum proletar, dan sebagainya. Metanarasi
itu, menurutnya telah mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi besar
sebelumnya seperti religi, negara-kebangsaan, keunggulan Barat, dan sebagainya, yang
sulit dipercaya. Dengan kata lain, dalam abad ilmiah ini narasi-narasi besar menjadi
tidak mungkin, khususnya narasi tentang peranan dan kesahihann ilmu itu sendiri.
Maka nihilisme, anarkisme, dan pluralisme “permainan bahasa” pun merajalela. Yang
perlu ditunjukkan sekarang adalah kepekaan baru terhadap perbedaan-perbedaan dan
keberanian melawan segala bentuk totaliterisme.
Dengan pandangan macam itulah, Lyotard membawa istilah “postmedrnisme”
ke dalam medan diskusi filsafat lebih luas. Sejak saat itu segala kritik atas pengetahuan
universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme,
diindentikkan dengan “postmodern”. Oleh sebab itu, istilah “postmodernisme” di
bidang filsafat dan ilmu pengetahuan ambigu, ia menjadi sekadar istilah yang
memayungi hampir segala bentuk kritik atas modernisme, meskipun satu sama lain
berbeda. Dengan demikian, istilah postmodenisme dipahami sebagai “ segala bentuk
refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umunya.

B. Konteks Sosial yan Melahirkan “Penyimpangan” Modernisme


Kata modernisme mengandung makna serbamaju, gemerlap, dan progresif.
Pengertian ini tiak berlebihan, karena modernisme berkaitan dengan bentuk-bentuk
kebudayaan yang ditandai dengan rasionalisme, positivisme, empirisme, industri, dan
kecanggihan teknologi. Dengan ciri-cirnya tersebut, modernisme menyuguhkan suatu
keadaan yang selalu berubah dan tidak pasti. Modernisme selalu menjanjikan pada kita
untuk membawa perubahan ke dunia yang lebih mapan di mana urusan materi atau
kebutuhan jasmani akan terpenuhi, tidak akan ada lagi kelaparan atau kekurangan
material, itulah janjinya. Teknologi akan membawa kita ke kehidupan serbamudah,
cepat, dan lebih baik.
Rasionalitas hasil pencerahan akal budi akan membantu kita menghadapi mitos-
mitos dan keyakinan-keyakinan tradisonal yang tak berdasar, yang membuat manusia
tak berdaya dalam mengahadapi dunia ini. Barker menjelaskan bahwa akal dapat
mendemistifikasikan dan menyingkap dunia, mengalahkan agama, mitos, dan takhayul.
Dalam filsafat dan wacana teoretis mengenai modernitas, “akal” dinobatkan sebagai
sumber kemajuan dalam pengetahuan dan masyarakat. Di sini tugas filsafat pencerahan
adalah berupaya untuk mencari kebenaran universal, yakni prinsip-prinsip
pengetahuan yang berlaku pada waktu, tempat, dan budaya manapun. Peran pemikiran
pencerahan bagi kemajuan hidup manusia adalah mendorong perkembangan ilmu-ilmu,
pendidikan universal, kebebasan politik, dan keeadilan.
Namun demikian, modernisme mempunyai sisi gelap yang menyebabkan
kehidupan manusia kehilangan disorientasi. Para pemikir, seperti Max Horkheimer,
Adorno, dan Hebert Marcuse yang tergabung dalam Mazhab Farnkfurt, mengkritik
nahwa pencerahan bukannya melahirkan kemajuan, tetapi justru memunculkan
penindasan dan dominasi. Akal mengarah buka pada pemenuhan kebutuhan material
atau pencerahan filosofis, melainkan pada kontrol dan perusakan. Teori kritis ingin
membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern.
“sisi gelap” modernisme, menurut Anthony Giddens dalam The Consequences
of Modernity (1990), menimbulkan berkembangbiaknya petaka bagi umat manusia.
Pertama, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa. Kedua, penindasan
oleh yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian parah. Keempat,
kerusakan lingkungan hidup yang kian mengkhawatirkan. Produk akhir yang
menimbulkan petaka tersebut dipicu oleh:
Pertama, kapitalisme liberal yang menyaratkan kompetisi tiada akhir akan
pertarungan pasar. Kedua, industrialisme yang menyaratkan inovasi tiada henti untuk
memenangkan persaingan pasar bebas. Ketiga, lemahnya kekuatan negara di dalam
mengamban tugas minimalnya untuk menciptakan tertib sosial yang aman, rukun,
damai, dan adil.
Para taraf praktis, terdapat konsekuensi buruk modernisme, antara lain:
Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi
subjek dan objek, spiritual-material, manusia-dunia, dan sebagainya, telah
mengakibatkan objektivikasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-
mena. Hal ini telah mengakibatkan krisis ekologi. Kedua, pandangan modern yang
bersifat objektivitas dan positivis, akhirnya menjadikan manusia seolah objek juga, dan
masyarakat pun direkayasa bagai mesin. Ketiga, modernisme memandang ilmu-ilmu
positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Nilai-nilai moral-
religius pun kehilangan wibawanya. Akibatnya, timbullah disorientasi moral-religius,
yang menyebabkan meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental, dan
disorientasi hiduo. Keempat, materalisme, yakni orientsi hidup untuk meliki dan
menguasai hal-hal material. Aturan main utama adalah survival of the fiftest, atau
dalam skala yang besar, persaingan pasar bebas. Kelima, milirerisme. Kekuasaan yang
menekan dengan ancaman kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengatur manusia.
Keenam, bangkitnya kembali Tribalisme, atau menatalitas yang mengunggulkan suku
atau kelompok sendiri. Setelah perang dingin selesai, kini agama menjadi kategori
indentitas penting yang meligitimasi konflik dan tindak kekerasan. Munculnya
fundamentalisme agama adalah contoh fenomena ini.
Krisis sains modern yang menimbulkan petaka kehidupan manusia,
menyadarkan ilmuwan untuk merevesi asumsi-asumsi yang mendasari bangunan sains
modern. Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolusion (1962),
mengatakan bahwa pada masa tertentu ilmu normal (normal science) mendominasi
aktivits ilmiah. Tetapi, seiring dengan perkambangan dan perubahan, ilmu normal tidak
dapat lagi menjelaskan perkembangan yang terjadi.
Krisis metode ilmiah dan lahirnya revolusi, dapat digambarkan tahap-tahapnya
sebagainya:
Tahap I: paradigma ilmiah membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah
dalam masa ilmu normal (normal science). Disini ilmuwan menjabarkan dan
mengemabangkan paradigma sebagai model ilmiah. Selama menjalankan aktivitas ini,
para ilmuwan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat dijelaskan denga
paradigma yang digunakan, yang dinamakan anomali atau krisis. Anomali adalah suatu
keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena)
dengan paradigma yang dipakai.
Tahap II: menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan para
ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para
ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap III: para ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah uang lama
sembari meluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa
memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan
dan paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi imiah.
C. Filsuf Awal Postmodernisme
Awal mula tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme
sebenarnya dapat dilacak pada filsafatnya Soren Kierkegaard(1813-1855), yang
menentang rekontruksi-rekontruksi rasional dan masuk akal yang menetukan
keabsahan keberanan ilmu. Kriteria kebenaran yang berlaku bagi dunia modern adalah
yang rasional dan objektif. Kierkegaard justru berpendapat sebaliknya, bahwa
kebenaran itu bersifat subjektif, “truth is subjectivity”. Pendapat tentang “kebenaran
subjektif” ini menekankan pentingnya pengalaman dan relativitas, yang dialami oleh
individu-individu.
Sementara itu, Horkheimer dan Adorno dalam buku Dialectic of Enlightment
(1979), menegaskan bahwa “rasionalitas pencerahan adalah logika dominasi dan
penindasan”. Disinyalir bahwa di dalam rasionalitas melalui sains yang membawa misi
untuk menguasai alam, terkandung hasrat untuk mengendalikan dan menguasai umat
manusia lain. Lewat penemuan-penemuan, misalnya mesin dan kompas, suatu negara
dapat menginvasi negara-negara lain, penemuan mesin uap dan revolusi industri telah
mengakibatkan penderitaan begitu banyak orang yang harus menjadi pekerja pabrik,
penemuan di bidang listrik, minyak bumi, dan telegraf, justru digunakan untuk
memperkuat kontrol dari pusat sekaligus melenyapkan inisiatif dari bawah dan msih
banyak lagi.
Horkheimer dan Adorno mengungkapkan dilema rasionalitas dengan
pernyataan seperti ini: ”Akal pencerahan telah mengubah rasinalitas menjadi
irasionalitas dan penipuan karena ia memmberangus cara-cara berpikir yang lain dan
mengaku sebagai satu-satunya dasar kebenaran. Bukan efek pencerahan yang
diragukan, tetapi juga klaim terhadap kebenaran yang bersifat universal pun ditolak.
Misalnya, Nietzche tidak ragu-ragu dengan tegas menyatakan bahwa keyakinan
terhadap adanya pengetahuan murni tidak dapat diterima karena akal dan kebenaran tak
lebih dari sesuatu yang cocok bagi suatu ras dan spesies tertentu.
Di sini Nietzche (1844-1990) jelas menolak pengetahuan yang mengandung
kebenaran yang berlaku bagi siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, karena
pengetahuan itu bukan persoalan penemuan sejati, melainkan perkara konstruksi
interrpretasi- interpretasi tentang dunia yang dianggap benar. Kebenaran juga bukan
merupakan sekumpulan fakta karena yang mungkin dilakukan hanyalah interpertasi dan
dunia bisa diinterpretasikan dalam cara-cara yang tak terbatas jumlahnya.
Keraguan Nietzche untuk mengakui universilitas pengetahuan dapat kita
telusuri kemasa sebelumnya sampai pada kaum skeptis. Kaum skeptis, misalnya kaum
shopis, memang menolak adanya pengetahuan universal. Bagi mereka, man is the
measure of all thing (manusia norma dari segala sesuatu). Baik dan jakaht, cantik dan
buruk tergantung pada kebutuhan, kondisi, kepribadian orang tersebut. Tidak ada
norma umum untuk menentukan itu. Intinya, secara radikal kaum skeptis menolak
adanya pengetahuan. Demikian juga dengan Nietzche yang menolak akal pencerahan
dan pengetahuan universal.
Lewat tulisan-tulisannya, Nietzche menaruh perhatian besar pada kebudayaan
modernitas. Pandangan Nietzche terhadap kebudayaan modern bersifat reduksionis.
Modern atau modernitas dipandangnya sebagai musuh bagi kehidupan dan insting-
insting semenjak zaman renaissance dan selanajutnya, yang dipengaruhi oleh kekuatan-
kekuatan seperti pencerahan, romantisisme, demokrasi, utilitarianisme, ilmu
pengetahuan, dan sosiolisme. Dampak kekuatan-kekuatan adalah berupa suatu
kebudayaan yang kehilangan keyakinan akan kemampuannya sendiri untuk mencipta
dan menilai, suatu kebudayaan nihilisme Eropa di pengunjung abad ini. Nietzche
melihat modernitas sebagai peningkatan kondisi dekadensi di mana tipe-tipe tinggi
dilevelkan oleh rasionalisme, liberalisme, demokrasi, dan sosialisme dan dimana
insting mengalami penurunan tajamm.
Pembahasan Nietzche yang paling tajam terhadap nihilisme modern terdapat
dalam catatan yang ada dalam buku The Will to Power (kehendak untuk
berkuasa,1901). Menurut Nietzche, nihilisme adalah kondisi diman “nilai-nilai tertinggi
mendevaluasi dirinya sendiri”. Sebagaimana dipaparkan Nietzche dalam Thus Spake
Zarahustara, dalam kaitannya dengan kebudayaan barat, pertama-tama, ini berarti
Tuhan telah mati. Singkatnya, nihilisme tak lain adalah “kondisi postmodern”, yang
berakhirnya segala metanarasi.
Dengan memproklamasikan “Tuhan telah mati”, Nietzche berpandangan tidak
ada kebenaran absolut lagi. Manusia harus bebas dari segala makna abdolut yang
menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendiri harus menciptakan dunia dan
memberinya nilai, yakni nilai yang tidak mengandung kebenaran mutlak atau tata dunia
moral.kalau suatu nilai atau kebenaran sudah mengarah menjadi absolut, manusia harus
meninggalkannya. Nietzche menigbaratkan, kalau sampan kita sudah aus dan tak dapat
lagi digunakan untuk berlayar, sampan itu harus dihancurkan dan diganti dengan
sampan yang baru. Menurut Nietzche, hanya dengan cara ini kita dapat bebas dan
terhindar dari mengabsolutkan sesuatu.
Edmund husserl (1859-1938), juga dipandang sebagai tokoh penting perintis
potmodernisme. Dalam karyanya The Idea Of Phenomenology, Husserl mencoba
mengatasi persoalan “subjek-subjek” dengan cara membongkar secara efektif paham
tentang “subjek epistemologis” dan “dunia objektif”. Sejak itu, persoalan epistimologi
dan juga tentang “ilmu” dan “keilmiahan” terus-menerus dipertanyakan. Dalam
pencarian ini,, Husserl menemukan fondasi absolut penegatahuan yang murni, yakni
dalam subjektivitas transendental. Subjektivitas Transendental, menurut Husserl,
terletak pada Lebenswelt, yakni aliran kehidupan langsung sebelum terefleksikan,
lapisan dasar yang kemudian memunculkan tematisasi dan teoretisasi ilmiah. Dengan
demikian, yang disebut dengan “dunia objektif” sebetulnya hanyalah penafsiran
tertentu saja atas dunia pengalaman hidup sehari-hari(lebenswelt) yang mengatasi dan
mendahului kategori-kategori objektivistik maupun subjektivistik.
Gagasan Husserl tentang “dunia-hidup” tadi menggerogoti klaim-klaim ilmu
dan keimiahan yang seolah tak tergoyahkan. Metode ilmiah yang dirancang sebagai
hasil dari rasionalitas proyek pencerahan (The Enlightenment Project) yang
dibanggakan dan diharapkan dapat mengatasi persoalan manusia dan menghantarkan
ke kehidupan yang diidam-idamkan, terus dilucuti satu per satu sehingga keterbatasan-
keterbatasan metode ilmiah berhasil ditemukan. Penerus-penerus Husserl berhasil
menemukan lebih dari yang terpikirkan olehnya.
Disamping Kierkegaard, Nietzche, dan Husserl, Martin Heidegger (1889)-
(1976) juga dipandang sebagai perintis postmodernisme. Heidegger sangat kritis
terhadap filsafat modern tentang manusia. Manusia bukanlah segumpal substansi
berpikir yang sadar diri, atau makhluk yang kerjanya memikirkan dan merumuskan hal-
ihwal, tetapi manusia adalan dasein “ia dalam dunia”. Hubungan manusia dengan
kenyataan semata-mata hubungan intelektual subjek memahami objek.
Konstribusi pokok pemikiran Heidegger bagi postmodernisme adalah langkah
awalnya membongkar tradisi filsafat Barat pada dasarnya berpuncak pada filsafat
modern. Universalisme, representasionalisme, dualisme, dan dialektika adalah pilar-
pilar filsafat modern yang dirobohkan Heidegger. Robohnya pilar-pilar itu membuka
pintu hati bagi lahirnya “pemikiran lain” yang terlupakan dari pemikiran modern.
Pengetahuan, moral, sejarah, dan politik tidak lagi tunggal. Lokalitas mendapatkan
penghargaan tersendiri. Kalaupun ingin mendapatkan patokan universal, jalan yang
dilalui harus melalui konsensus. Pengetahuan bukan lagi soal pendasaran melahirkan
percakapan.
Fokus fisafat Heidegger terletak pada dua tema. Pertama, Heidegger
memperlihatkan suatu anti-Cartesianisme, yakni penolakan dualisme pikiran, tubuh,
dan pembedaan antara subjek dan objek. Kedua, filsafat Hedgger sebagian besar adalah
pencarian terhadap autensitas, atau apa yang mungkin lebih tepat dilukiskan sebagai
“kepunyaan sendiri”, yang dapat dimengerti dengan penjelasan tertentu, sebagai
keutuhan. Pencarian terhadap autensitas ini akan membawa kita ke dalam persoalan-
persoalan abadi tentang hakikat diri dan arti kehidupan.
Kritik-kritik postmodernisme di atas secara umum dapat dipahami sebagai
gerakan untuk menuntut agar narasi-narasi universal atau metanaratif memberi jalan
pada lokalitas. Setiap pengetahuan memiliki ruang kompertensinya sendiri. Penolakan
terhadap klaim totalitarianisme, menghadirkan pencerahan dalam pemikiran
postmodernisme, seperti munculnya konsepsi heterogenitas, perbedaan, budaya lokal,
etnis, ras, the others, kelompok tertindas dan terpinggirkan, dan lain-lain.

D. Teoretisi Postmodernisme
1. Francouis Lyotard
Dilahirkan di Versailles 10 Agustus 1924, dan meninggal diparis pada tahun
21 April 1998. Bukunya yang pertama adalah sebuah introduksi pada fenomenologi,
dan fenomenologi tetap memiliki pengaruh kuat pada karya-karya Lyotard. Ia
menerima dan mengembangkan ide fenomenologis bahwa Cogito Cartesian, Aku yang
reflektif (the reflextive I) adalah subjek khas yang terwujud dalam sebuah “situasi” yang
temporal. Pengetahuan dan kebenaran bersifat manusiawi, dan diperoleh dari dunia
pengalaman hidup yang tidak pernah dipahami sepenuhnya.
Dalam buku The Postmodern Condition, ia memperlihatkan bagaimana
identifikasi pengetahuan bersama representasi, karakter masyarakat modern, mereduksi
ragam dari tindakan yang kita tampilkan dalam bahasa menjadi denotasi. Bahasa
kemudian menjadi serangkaian pertanyaan yang dapat diperlakukan sebagai benda,
sebagai komoditas dalam masyarakat kapital. Bagi Lyotard, pengetahuan rasional tidak
bisa lagi dijadikan sebagai dasar bagi kritik, jga tidak memiliki emansipasi sebagaimana
dijanjikan oleh para pemikir abad petengahan. Pengetahuan adalah narasi teror Barat,
sejauh yang dituju adalah membungkam cerita-cerita lain dengan menyajikan dirinya
sebagai satu-satunya penjelasan yang benar dan absah.
Pemikiran Lyotard menjelaskan posisi pengetahuan, khususnya tentang cara
ilmu dilegitimasikan melalui, yang disebut “narasi besar” seperti kebebasan, kemajuan,
emansipasi kaum ploretar, dan sebagainya. Narasi-narasi besar itu, menurutnya kini
telah menjadi sulit untuk dipercaya, khususnya narasi tentang peranan dan kesahihan
ilmu itu sendiri. Maka nihilisme, anarkisme, dan pluralisme “permainan bahasa” pun
merajalela. Ini baginya tidak jadi soal, sebab disisi lain hal ini menunjukkan kepekaan
baru terhadap perbedaan-perbedaan dan keberanian melawan segala bentuk terorisme,
yang memang perlu. Meskipun demikian, dipihak lain, definisi tiba-tiba menjadi
ambigu sebab pada bagian lain secara mengherankan “postmodernisme” diterjemahkan
sebagai tahap “pra-modern”:
“... Suatu karya bisa menjadi modern bila pertama-pertama ia modern.
Postmodernisme yang dimengerti secara demikian bukanlah modernisme pada tahap
akhirnya melainkan pada taraf kelahirannya, dan keadaan semacam ini adalah sesuatu
yang konstan.”
Bagi Lyotard, postmodernisme itu sepertinya intensifikasi dinamisme, upaya
tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan
terus menerus. Lyotard mengatakan “Marilah kita perangi totalitas... marilah kita
hidupkan perbedaan”. Kenyataannya, postmodernisme menjadi wadah pertemuan
berbagai perspektif teoretis yang berbeda-beda: “Ilmu pengetahuan postmodernisme
bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa; ilmu pengetahuan postmodernisme
memperluas kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat
kemampuan kita untuk bertoleransi atas pendirian yang tak mau dibandingkan”.

2. Michel Foucault (1926-1984)


a) Discourse, Power, and Knowledge
Pemikiran Nietzsche berimbas pada pemikiran Foucault. Foucault memang tidak
sengaja tegas menolak keuniversalan pengetahuan, tetapi dari pandangannya
tentang “wacana yang bersifat dikontinu” tampaklah penolakan itu. Bagi Foucault,
setiap era sejarah memiliki pandangan, deskripsi, klasifikasi, dan pemahaman
tentang dunia secara khas, berbeda dengan era sejarah lain.
Berikut ini beberapa asumsi pemikiran pencarahan klasik yang ditolak
oleh Foucault.
1) Pengetahuan itu tidak bersifat metafisis, transendental atau universal, tetapi
khas untuk setiap waktu dan tempat.
2) Tidak ada pengetahuan menyeluruh yang mampu menangkap karakter objektif
dunia, tetapi pengetahuan itu selalu mengambil perspektif.
3) Pengetahuan tidak dilihat secaran pemahaman yang netral dan murni, tetapi
selalu terikat dengan rezim-rezim kekuasaan.
4) Pengetahuan seagai wacana tidak muncul sebagai evolusi sejarah yang
konstan, melainkan bersifat diskontinu.

Namun demikian, Foucault menentang gagasan bahwa ada perpisahan


yang jelas, pasti dan final antara pemikiran pencerahan dan pasca-pencerahan, atau
antara modern dan pasca-modern. Bagi Foucault konsep diri manusia sebenarnya
hanyalah produk benturan diskursus, praktik-praktik, institusi, hukum, ataupun
sistem-sistem administrasi belaka, yang anonim dan interpersonal namun sangat
kuat mengontrol (Madness and Civilization; The Order of Things dan The
Archeology of Knowledge). Skeptisisme epistemologis yang ekstrem telah
membuat Foucault menyejajarkan pengetahuan dan subjektivitas dengan
kekuasaan, dan karenanya menganggap segala bentuk kemajuan/pencerahan entah
bidang psikiatri, perilaku seksual maupun pembaruan hukum sebagai tanda-tanda
kian meningkatnya bentuk kontrol atas kesadaran dan perilaku individu. Bukan
oleh agen atau rezim tertentu, melainkan oleh jaringan relasi-relasi semiotis,
diskursif dan administratif, yang sebetulnya anonim-interpersonal tadi.

Salah satu hal yang paling inspiratif bagi postmodernisme adalah sikapnya
dalam memahami fenomena modern yang bernama “pengetahuan” itu, terutama
pengetahuan sosial. Ia memerkarakan tentang “apa itu pengetahuan” secara
genealogis dan arkaelogi; artinya dengan melacak bagaimana pengetahuan itu telah
beroperasi dan mengembangkan diri selama ini.

Hal menarik yang membuat Foucault sering dimanfaatkan oleh para juru
bicara “postmo” adalah pengertiannya yang spesifik tentang “kekuasaan”.
Baginya, kekuasaan bukanlah soal intensi individu, rezim, bukan pula soal relasi
produksi dan eksploitasi, melainkan jaringan relasi otonomi yang terbuka.
Kekuasaan adalah soal praktik-praktik konkert yang lantas menciptakan realitas
dan pola-pola perilaku, memproduksi wilayah objek-objek pengetahuan dan ritual-
ritual kebenaran yang khas. Praktik-praktik itu menciptakan norma-norma.
Kekuasaan mewujudkan diri dalam pengetahuan, tetapi pengetahuan pun lantas
melahirkan kekuasaan.

Dengan begitu, terlihat pula bahwa bagi Foucault perjalanan sejarah pun
kehilangan unsur teleologis. Sejarah adalah permainan dominasi dan resistensi tanf
bergeser-geser, grouping dan regrouping. Maka, istilah-istilah macam
kesederajatan, kebebasan, keadilan, dan sebagainya hanyalah alat-alat bagi
permainan relasi kekuasaan. Dalam kerangka macam ini sejarah sebagai proses
sinambung ke arah emansipasi bagi Foucault adalah semacam fantasi saja.

Foucault menguatkan kecenderungan pluralisme pemaknaan sejarah di


kalangan postmodernis. Bagi kaum postmodernis strukturalis “makna” memang
bukan merupakan sesuatu yang mengandung keniscayaan. Korespondensi antara
sistem semiotik/diskursif dengan realitas bukanlah satu banding satu. Ia selalu
membawa banyak kemungkinan dan mudah berubah.

Akhirnya perlu disebut bahwa jasa lain Foucault bagi postmodernisme


adalah: ia menampilkan Otherness secara lebih konkret dan grafis, dengan analisis-
analisisnya atas pihak-pihak yang dianggap tidak normal dan tidak lazim, yakni
kaum homoseksual, orang gila, tubuh, rumah sakit, dsb.

b) Arkeolofi Foucault
Karya awal Foucault terutama berkaitan dengan kebudayaan modernitas. Karya
Fpucault bisa dilihat sebagai refleksi kritis atas perbedaan antara bentuk-bentuk
kebudayaan pra-modern dan modern.
Menurut Foucault “posisi liminal” penderitan kegilaan di abad
pertengahan terlihat dari disingkirkannya mereka secara sosial. Pada konteks ini,
zaman reinssance memainkan peranan penting dalam menyiapkan dasar bagi
pengalaman kegilaan zaman klasik dengan cara berangur-angsur menghubungkan
kegilaan dalam rasio dengan tujuan untuk mengontrolnya.
Dalam karya Foucault, istilah arkeologi kelihatan menonjol. Foucault
menjelaskan pengandaian metodologis yang melatari karya-karyanya.
Pendekatannya adalah dengan menekankan otonomi diskursus atau formasi-
formasi diskursif beserta kaidah-kaidah atau regularitas yang menopangnya.
Pendekatan ini mengesampingkan persoalan tentang genesis diskursus dan hanya
memusatkan perhatian pada soal kaidah-kaidah formasi tersebut.
c) Genealogy of Knowledge
Menurut Foucault, pembedaan Nietzsche antara asal usul (origin) dan
silsilah (descent) adalah pembedaan antara presentasi sejarah sebagai
terbentangnya suatu gagasan secara jelas dan sebagai fenomena yang murni
kebetulan. Dengan demikian Foucault sampai pada gagasan tentang pasangan
kekuasaan-pengetahuan (power-knowledge): suatu pasangan yang secara dramastis
mengekspresikan terikatnya diskursus secara erat pada relasi antara kekuatan dan
kekuasaan, namun mengekspresikan kapasitas produktif kekuasaan untuk
menciptakan diskursus.
Dalam periode ini Foucault mulai memikirkan kembali peranan
intelektual. Dalam arti tertentu, anggapan lama tentang intelektual universal serupa
dengan anggapan tentang penguasa, sejauh mereka sama-sama melontarkan klaim-
klaim totalitas. Sebagai lawan bagi penguasa, intelektual universal sebetulnya
beroperasi dalam wilayah yuridiko-politis yang serupa.
d) Kilas Balik Filsafat Foucault
Foucault dalam karnya Use of Pleasure dan Care of The Self menjelaskan ada
beberapa gerak kembali ke arkeologi, namun yang dibahas Foucault kali ini adalah
kelanjutan dari arkeologi problematisasi dan bukannya mengenai diskursus
lainnya.
Pengarahan arkeologi menuju “problematisasi” ini lebih merupakan suatu
pengalihan hermeneutis dalam pemikirannya mengenai kebudayaan. Dengan
demikian, perhatian dalam karyanya adalag pada problematisasi etis dalam zaman
kuno awal dan zaman kuno akhir.

3. Jacques Derrida (1930-2004 M)


Membahas filsuf satu ini pasti tidak lepas dari buah pikirannta tentang
dekonstruksi. Istilah ini merupakan salah satu konsep kunci postmodernisme. Secara
emitologis dekonstruksi berarti “mengurai, melepaskan, membuka”. Dekonstruksi
adalah sebuah metode pembacaan teks secara interpretatif atau, katakanlah, suatu
hermeneutik secara radikal.
Bagi dekonstruksi, sama sekali otonom terhadap proses-proses mental
penulisnya, otonom terhadap mereka yang reaksinya dituju oleh teks itu dan otonom
terhadap konteks penulisan teks itu. Dengan kata lain, makna teks itu tidak hadir,
melainkan menujukkan dirinya sebagai jejak.
Derrida juga menjelaskan mengenai kata differance yang secara semantis
berarti “penundaan” atau “penangguhan”. Kita dalam memahami bahwa differance
merupakan cara suatu makna menunjukkan dirinya pada pembaca. Pemikiran Derrida,
dekonstruksivisme selalu berupaya untuk menciptakan kembali makna melalui
differance. Dekonstruksivisme adalah sebuah cara berpikir yang senantiasa menantang
kita untuk menjawab pertanyaan, bagaimana kita bisa membedakan sesuatu tanpa
menilai dan tanpa memutuskan.

4. Richard Rorty (1931-2007)


Menurut Rorty apa yang kita sebut sebagai filsafat selama ini telah
menunjukkan banyak kebuntungan epistemologi, metafisika, bahkan teori-teori moral.
Oleh karena itu, menurutnya, perlu dilakukan penelitian ulang terhadap apa itu
berfilsafat, dan bila kita tidak menemukan apa yang kita cari dalam istilah berfilsafat,
mungkin kita perlu membuat arti berfilsafat secara baru.
Untuk memusnahkan istilah episteminologi, Rorty memakai istilah Gadamer
yaitu “Hermeutik”. Hermeneutik baginya bukan merupakan suatu disiplin, melainkan
“... suatu ungkapan pengharapan bahwa ruang kultural yang disisakan oleh kesudahan
episteminologi tidak akan terisi. Kekosongan itu adalah ketiadaan fondasi atau
kerangka permanen. Tanpa fondasi itu kita berharap adanya disensus yang kreatif.

Anda mungkin juga menyukai