Anda di halaman 1dari 12

PROFIL ANGGOTA DAN PENUGASAN

/No PROFIL SINGKAT TUGAS

1. Bella Nadinda Sari  Sebagai ketua kelompok


(15/382226/FI/04081)  Mengkoordinasikan semua anggota
dalam hal pembagian tugas
Kelahiran Kediri, 20 Agustus 1998  Membatasi waktu pengumpulan, dan
Tinggal di Kuningan H12, Catur Tunggal, merekapitulasi tugas masing-masing
Depok, Sleman, Yogyakarta anggota.
“Hasil tidak akan mengkhianati usaha”  Meresume Feminisme

2. Ima Hikmatul Hasnah  Meresume Subaltern dan membuat


(15/379382/FI/04053) slide presentasi
 Membuat naskah refleksi
Kelahiran Majalengka, 9 September 1996  Membantu pengiriman file tugas
Tinggal di UGM Bulaksumur Residence  Mencetak naskah buku dalam bentuk
“Hidupku Bahagia” hard copy.

3. Muhammad Ravi  Meresume


(15/382256/FI/04111)  Membahas bagian Poskolonial
 Meminjamkan laptop untuk download
Kelahiran Payakumbuh, 12 Januari 1996 gambar-gambar presentasi
Tinggal di Jakal KM 5 CT II/07 Sleman,  Bersama-sama membantu pembuatan
Yogyakarta naskah refleksi kelompok terhadap
“Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, buku yang telah diresume.
jangan pernah melakukan apa yang orang
lain inginkan untuk kamu lakukan”

4. Royandi Anderson  Meresume


(15/379384/FI/04055)  Membahas bagian Marxisme
 Mengeprint tugas yang telah selesai
Kelahiran Jakarta, 7 Mei 1997 dikerjakan.
Tinggal di Jakal KM 5 gang Pangkur no. 5  Bersama-sama membantu pembuatan
“Hargailah seseorang bila ingin dihargai.” naskah refleksi kelompok terhadap
buku yang telah diresume.

5. Bhima Dwika Atmadja  Meresume


(15/377477/FI/04019)  Membahas bagian Dekonstruksi
 Membantu mencari bahan atau
Kelahiran Mojokerto, 17 Januari 1997 sumber lain di internet
Tinggal di Gang Kamboja ctx 24 A, Sleman,  Bersama-sama membantu pembuatan
Yogyakarta naskah refleksi kelompok terhadap
“Memperbaiki yang rusak” buku yang telah diresume

1
BIOGRAFI TOKOH

Tokoh yang akan dibahas adalah Gayatri Chakravorty Spivak. Ia lahir di

Callcuta, 24 Februari 1942. Ia merupakan generasi intelektual pertama India

pascakemerdekaan. Gayatri Spivak menempuh pendidikannya di Rabindra Bharati

University, kemudian Lulus dari Presidency College di Universitas Calcuta tahun 1959,

menduduki ranking teatas dalam bahasa inggris. Ia kemudian ke Amerika Serikat belajar di

Universitas Cornell sampai mendapat gelar MA dan PhDnya di bidang sastra inggris. Gayatri

sempat menikah dengan orang Amerika, Talbot Spivak, namun kemudian bercerai, tetapi

namanya sampai sekarang tetap dipakainya. Penghargaan yang pernah ia terima adalah

Padma Bhushan, Beasiswa Guggenheim untuk Kemanusiaan Amerika Serikat dan Kanada.

Gayatri tidak pernah menyebut identitas agamanya, ia tidak menjalankan ritual Hindu,

meskipun terlahir sebagai Hindu. Ia menyatakan sebagai orang Hindu ketika kelompok Hindu

fundamentalis di India, bagian kecil mayoritas Hindu yang moderat, ia menyatakan dirinya

Hindu supaya orang luar tidak salah tentang Hindu.

Dalam buku “A Critique of Postcolonial Reason Toward a History of the Vanishing

Present” terdapat beberapa gagasan dan pandangan Gayatri Chakravorty Spivak yang

mencakup : Poskolonial, Subaltern, Feminisme, Marxisme dan Dekonstruksi.

2
POSKOLONIAL
Secara etimologis, istilah poskolonialisme berasal dari bahasa Inggris,

“postcolonialism” yang di bentuk dari kata post + colonial + isme, yang secara harfiah

berarti faham mengenai teori yang lahir setelah kolonial. Poskolonial merupakan turunan kata

dari “kolonial”. Istilah colonia dalam bahasa Romawi berarti tanah pertanian atau

pemukiman. Oxford English Dictionary menjelaskan pengertian colony sebagai pemukiman

dalam sebuah negeri baru, sekolompok orang yang bermukim dalam sebuah lokasi baru

dengan membentu sebuah komunitas yang tunduk atau terhubung dengan Negara asal.

Anthony Appiah mengemukakan tentang adanya persamaan dan perbedaan

penggunaan istilah “pasca/pos” pada kedua istilah tersebut persamaannya adalah pasca/pos

sama-sama menaruh perhatian pada persoalan historiografi dan refleksifitas dalam politik

representasi kultural, walaupun artikulasi, interpretasi serta penyebaran keduanya memiliki

perbedaan. Secara definitif teori poscolonial lahir sesudah kebanyakan Negara-negara terjajah

memperoleh kemerdekaannya. Poskolonial selalu dihubungkan dengan proses konstruksi

budaya menuju budaya kulit putih. Kebudayaan kulit putih dipandang sebagai acuan

perkembangan bagi semua budaya, bahkan acuan ini tetap berlangsung walaupun sebuah

negara telah memperoleh kemerdekaannya, dimana sebuah pemerintahan yang baru yang

berasal dari masyarakat setempat memandang rakyatnya dengan cara pandang orang-orang

kolonial (penjajah/Barat) terhadap penduduknya yang non-kolonial., masyarakatnya tetap

dianggap sebagai penduduk yang terbelakang, miskin dan lain sebagainya. Hal ini

membuktikan bahwa pada masa kolonial, negara-negara penjajah memiliki dominasi yang

kuat atas wilayah-wilayah jajahannya. Poskolonialisme mengedepankan kajian terhadap efek

atau pengaruh kolonialisme terhadap kebudayaan atau masyarakat tertentu dengan cara

mencoba mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme. Dalam

pemikiran Gayatri Spivak, orang-orang terjajah itu adalah masyarakat “Dunia Ketiga”, dan

3
mereka bukanlah satu dan tidaklah seragam. Ada heterogenitas baik wilayah, manusia, dan

kulturnya. Ada resistensi (penentangan) tertentu dari Timur ke Barat. Poskolonial

menyediakan kerangka untuk mendestabilisasi bahwa ada asumsi tersembunyi yang melekat

dalam pemikiran barat yang selama ini mengklaim diri sebagai kebenaran tertinggi dan

universal. Tujuan dari Poskolonial adalah untuk melawan sisa-sisa dampak dari terjadinya

kolonialisme dalam pengetahuan termasuk pada sisi kultur. Gayatri berorientasi pada

terwujudnya tata hubungan dunia yang baru di masa depan. Teori yang berasumsi dan

mengeksplor perbedaan fundamental antara negara penjajah dan negara yang dijajah dalam

menyikapi arah perkembangan budayanya. Mengkaji karakter budaya yang lahir terutama

pada negara-negara pada dekade setelah penjajahan berakhir.

Poskolonial dapat pula dipandang sebagai ancangan teoritis untuk mendekonstruksi

pandangan kaum kolonialis Barat yang merendahkan Timur atau masyarakat jajahannya.

Teori-teori tersebut sengaja didesain sebagai sebuah rekayasa sosial-budaya demi

kepentingan dan kekuasaan mereka. Barat cenderung merendahkan cara berpikir Timur yang

dianggap tidak selaras dan sederajat dengan mereka. Epistemologi Barat menempatkan

dirinya sebagai subjek (self) sementara yang lain adalah subjek (the other). Sampai dengan

akhir abad ke-20 pun, saat penjajahan telah lama berakhir, alih-alih menyesal dengan

perbuatannya, pemikir kolonial masih tetap merendahkan timur.

Hasil dari bekerjanya kolonialisme selama lebih dari tiga abad sangat banyak dan

beragam. Melalui prespektif poskolonial lah semua dampak buruk tersebut diungkap.

Dampak tersebut tidak hanya berbagai penderitaan fisik dan bathin sepanjang berlangsungnya

penjajahan namun sampai dengan saat ini setelah lebih dari setengah abad penjajahan

berakhir. Dampak-dampak tersebut hanya kelihatan setelah menggunakan kacamata teori

poskolonial. Gayatri Chakravorty Spivak melihat salah satu dampak yang menyedihkan dari

berjalannya kolonialisme adalah adanya konsep “subaltern”.

4
SUBALTERN
Pola relasi kekuasaan memunculkan kaum yang mendominasi dan kaum yang

didominasi. Hubungan antar kedua kaum dapat dilihat dari kuatnya pembangunan ideologi

yang dilancarkan oleh kaum yang mendominasi terhadap kaum yang didominasi. Suatu

ideologi dari kaum dominan mampu membentuk pandangan kaum minoritas yang

menekankan penerimaan secara damai, hal ini disebut sebagai hegemoni kaum dominan

terhadap kaum minoritas. Ekspresi kuasa ini tidak hanya ditunjukkan dalam ranah politik

formal pemerintahan untuk melanggengkan dominasinya tetapi juga ditunjukkan oleh setiap

interaksi sosial masyarakat. Setiap interaksi sosial memunculkan kaum minoritas dan kaum

dominan. Kaum-kaum minoritas ini muncul disaat kuatnya hegemoni kaum dominan

sehingga menimbulkan lemahnya akses terhadap ranah publik. Munculnya bahasan mengenai

kaum minoritas tidak terlepas dari berbagai gagasan dan teori yang membentuknya. Teori

poskolonial, identitas dan politik identitas, Marxisme, dan Feminisme adalah sebagian

gagasan yang mempengaruhi pola relasi kuasa yang mengukuhkan kaum dominan dan kaum

minoritas. Salah satu kajian mengenai kaum minoritas adalah subaltern.

Sebagai salah satu tokoh poskolonial, Gayatri Chakravorty Spivak menulis dalam

sebuah essai yang berjudul “Can the Subaltern Speak?”, Ia menyebutkan bahwa terdapat

suatu kekerasan epistemis yang menimpa subaltern India. Ia menegaskan bahwa dengan

memperoleh kembali identitas kultural kolektif ternyata membuat subaltern akan kembali ke

posisi subordinat dalam masyarakat. Istilah subaltern diadopsi dari pemikir Italia, Antonio

Gramsci yang menggunakan istilah itu bagi kelompok sosial subordinat, yakni kelompok-

kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni (kekuasaan) kelas-kelas yang

berkuasa.

Bagi Gayatri Spivak, subaltern merupakan kelompok marjinal (kecil) yang selalu

menjadi objek bagi kelas yang dominan dan berkuasa. Merekalah yang tidak pernah ditulis

5
namanya dalam sejarah. Pemikir kolonial menganggap bahwa mereka yang terpinggirkan itu

sebagai bentuk seragam, hanya dilabeli sebagai “masyarakat terjajah” atau “pribumi” tanpa

mau tau etnisnya, gender, pendidikan. Gayatri menjelaskan sejarawan India Ranajit Guha dari

kelompok kajian subaltern mengadopsi gagasan gramsci untuk mendorong penulisan kembali

sejarah India yang kemudian mendefinisikan subaltern sebagai “mereka yang bukan elite” .

Gagasan guha menggeser dikotomi “menindas-ditindas” karena penindasan juga dilakukan

oleh orang-orang di dalam kelompok.

Perihal essai yang ditulisnya, ia sama sekali tidak menduga bahwa tulisannya itu begitu

terkenal. Tulisan itu sebenarnya tentang adik dari nenek Gayatri Spivak. Adik neneknya yang

bernama Bhuvaneswari Bhaduri, berusia sekitar 16 sampai 17 tahun menggantung diri di

apartemen ayahnya yang sederhana di Calcutta Utara tahun 1926. Peristiwa bunuh diri itu

mengandung teka-teki. Hampir sepuluh tahun kemudian, baru diketahui bahwa Bhuvaneswari

adalah satu anggota kelompok yang terlibat dalam perjuangan bersenjata bagi kemerdekaan

India. Baru kemudian juga diketahui bahwa keputusan menggantung diri itu diambil karena

Bhuvaneswari tak mampu melakukan pembunuhan politik yang dipercayakan kelompok itu

kepadanya dan menyadari kebutuhan praktis bagi sebuah kepercayaan. Subaltern tidak bisa

bicara, sekaligus memberikan peringatan kepada gerakan intelektual poskolonial tentang

bahaya klaim mereka atas suara kelompok-kelompok subaltern. Klaim-klaim semacam itu

bersifat kolonial kerena menganggap kelompok-kelompok subaltern sebagai kelompok yang

“satu”.

Wacana tentang oposisi biner yang tidak setara menjadi landasan berpikir dari teori

poskolonialisme dimana penekanan struktural yang diambil adalah antara negara kolonialis

dan negara jajahannya. Poskolonialisme melihat bahwa negara yang merdeka selama ini

sebenarnya belum merdeka secara pikiran dan budaya karena hegemoni atas ilmu

pengetahuan yang masih belum bisa dihilangkan dari pemikiran negara-negara baru merdeka

6
ini tadi. Pemikiran Barat sejatinya masih mempengaruhi perilaku negara dan berbagai hal

lainnya yang membuat Timur atau negara baru merdeka tetap berada pada posisi inferior

bahkan ketergantungan karena pemikiran-pemikiran Barat yang membuatnya tetap

terkolonialisasi secara ide. Poskolonialisme menawarkan ide untuk menyadarkan negara-

negara berkembang akan kemerdekaan dirinya untuk berpikir dan bertindak berdasarkan

lingkungan dan kebudayaan natural yang selama ini tidak bisa mereka ekspresikan sebagai

akibat dari adanya hegemoni pemikiran Barat.

Pada masa kolonialisme juga terdapat istilah The Man yang merujuk pada golongan

Eropa yang berasal dari ras kaukasoid dimana mereka, bangsa Eropa percaya bahwa mereka

diciptakan dengan begitu unik dan merupakan gambaran terbaik dari manusia dan diberkati

dengan berbagai talenta dan kekuasaan, sehingga mereka memiliki hak khusus untuk

melakukan ekspansi dan kolonialisasi terhadap bangsa lain yang mereka anggap sebagai The

Native. The Native sendiri adalah bangsa lain yang bukan merupakan ras kaukasoid yang

termasuk dalam negara-negara yang terbelakang dan terjajah.

Di berbagai tempat di dunia, selalu ada manusia yang tidak punya suara dan tidak dapat

berbicara. Sedihnya hal itu selalu berhubungan dengan situasi saat ini. Selalu ada orang-orang

yang dibungkam, itu sebabnya Gayatri mengatakan jangan menjadi mayoritas bungkam tak

bersuara. Subalternasi selalu terjadi ketika yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin

miskin. Harus memikirkan yang paling dasar dan berbuat sesuatu agar mereka tidak selalu

menjadi subaltern. “Tak ada orang tertindas yang bisa bicara. Apalagi, perempuan, ia akan

begitu saja dilupakan,” ucap Gayatri. Perempuan juga termasuk kaum yang terpinggirkan, ia

mengatakan bahkan dalam masyarakat yang “normal” perempuan bisa masuk subaltern, yaitu

dalam masyarakat patriarkhi. Untuk itulah Gayatri Chakravorty Spivak terkenal juga sebagai

tokoh Feminisme.

7
FEMINISME
Feminis berasal dari kata “Femme” (woman), berarti perempuan (tunggal) yang

berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial

(Ratna, 2004:184). Feminis merupakan gerakan yang dilakukan oleh kaum wanita untuk

menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh

kebudayaan yang dominan, baik dalam tataran politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial

lainnya.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa Gayatri Spivak menganggap perempuan sebagai

salah satu subaltern yang terkurung dan tidak dapat berbicara, bahkan pada keadaan seperti

yang terjadi saat ini, khususnya yang terjadi pada masyarakat patriarkhi. Pemikiran Spivak

berangkat dari pengamatan tentang bagaimana perempuan-perempuan selatan terpinggirkan

dan tidak bisa bersuara. Perempuan, petani desa, kaum terpinggirkan lainnya yang disebut

Spivak sebagai subaltern. Spivak menganggap bahwa suara dari perempuan dimarjinalkan

(Morton, 2008 :194). Spivak pernah mengemukakan bahwa gerakan feminisme di Barat

bukan cuma gerakan ekonomi politik, melainkan juga sebuah proyek konstitusi subjek

(subject-constitution). Seperti konstruk identitas monolitik “Perempuan Dunia Ketiga” yang

dianggap lemah, powerless, dieksploitasi, dan tidak berdaya. Salah satu bentuk konstitusi

subjek yang selalu diangkat adalah bahwa “Perempuan Dunia Ketiga” adalah korban “budaya

patriarki Dunia Ketiga” yang salah satu bentuknya adalah tradisi adat dan agama, sehingga

membutuhkan uluran tangan “Laki-laki dan Perempuan Dunia Pertama” yang dianggap

mandiri dan bebas untuk mengangkat dan memberdayakannya dari kubangan penindasan.

Ungkapan terkenal Spivak untuk mengejek konstruk kolonial tersebut adalah “white

men saving brown women from brown men”. Bukan sekedar persoalan “subjek orang kulit

putih menyelamatkan perempuan kulit coklat” tapi justru soal reproduksi dan duplikasi

asumsi-asumsi dan nilai-nilai imperialis ketika para feminis Barat mempromosikan

8
individualisme dan proyek feminisme sebagai sesuatu yang penting dan baik. Seperti halnya

dulu Karl Marx membenarkan kolonialisme sebagai tahap awal mengeluarkan masyarakat-

masyarakat kolonial dari kubangan “pra-sejarah” menuju terang benderang sejarah melalui

pintu imperialisme.

Spivak mendapatkan ide tentang masalah “subaltern” perempuan dari pemahamannya

tentang pemikiran-pemikiran para filsuf kontemporer seperti Jaques Derrida. Dalam kasus

perempuan persoalan semakin kompleks. Seseorang yang miskin, berkulit hitam dan

perempuan pula mempunyai tiga beban sekaligus. Pada permasalahan Dunia Ketiga,

teoretikus poskolonial melihat bahwa cara berpikir dikotomik yang kental

mendiskriminasikan wacana dan budaya lokal. Pendiskriminasian ini dipicu lewat kondisi-

kondisi imperialis. Dalam wacana feminis Dunia Ketiga terdapat “kolonialisasi ganda”

adanya kontras antara ketidakmatangan politik dunia ketiga dengan ethos progresif

feminisme Barat. Jadi, representasi perempuan Dunia Ketiga tampil sebagai yang bodoh,

miskin, tidak terdidik, terikat tradisi, terdomestikasi, orientasi keluarga tradisional, dan

korban. Sedangkan representasi perempuan Barat tampil sebagai pintar, mapan, terdidik,

punya pilihan bebas dan modern (Mohanty dalam Leela Gandhi, 1998 :200). Pengetahuan

tentang Dunia Ketiga menjadi objek pengetahuan Dunia pertama, seperti yang

dipermasalahkan oleh Gayatri Spivak terhadap tulisan Julia Kristeva, “Perempuan Cina”

yang menggambarkan perempuan-perempuan Cina yang berdiam diri di Huxian Square,

sebuah teks yang ditulis di Perancis pada tahun 1970. Spivak menganggap tulisan Kristeva

hanyalah tulisan elaborasi sendiri tentang perempuan Cina yang dilihat sebagai other (yang

lain).

9
MARXISME
Gayatri Spivak termasuk tokoh yang menganut dan terpengaruh pemikiran Marx, salah

satu pandangannya yang serupa adalah bahwa kehadiran kelompok eksternal menjadi penting

sebagai usaha untuk mendorong terjadinya perubahan atau gerakan sosial bagi subaltern.

Dalam pandangannya melalui pendekatan Marxis kelompok yang tertekan ini juga terjadi

karena adanya dominasi Struktural dalam pembagian sistem kerja Internasional, karena akan

menciptakan sebuah dominasi sebuah kelas superior terhadap terhadap kelas inferior tersebut

akan sulit dalam berbicara. Gayatri Spivak mengambil contoh masyarakat yang dijajah

tentunya akan tidak bisa menyuarakan pendapatnya karena ada perlakuan oleh pihak kolonial

yang membendung suara dan eksistensi masyarakat tersebut.

DEKONSTRUKSI
Menurut Gayatri Spivak dekonstruksi adalah upaya pembongkaran pemikiran,

pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan dan upaya untuk memperlihatkan adanya

ketidak koherensian dan ketidak ajegan. ( Sulistyo Iriyanto, Perempuan dan Hukum : 43)

Metode dekonstruksi ini ia gunakan untuk meruntuhkan kekuasaan wacana pusat dan

membuka ruang bagi tuntutan masyarakat marginal. Baginya dekonstruksi bukanlah sebuah

praktik pembongkaran kesalahan belaka, melainkan upaya untuk memeriksa bagaimana

kebenaran-kebenaran itu diproduksi dalam dan melalui formasi-formasi sosial dan politik.

Gayatri Spivak berupaya melakukan dekonstruksi terhadap struktur-struktur yang menindas

tersebut sehingga pihak yang tadinya tertindas dapat bersuara. Dengan teori dekonstruksi ini

Gayatri Chakravorty Spivak menjadi salah satu tokoh terkenal poskolonial, dengan

pandangan Marxis dan pejuang Feminisme.

10
REFLEKSI DARI ANGGOTA KELOMPOK
Dengan mendapatkan tugas ini, pertama-tama kami tersadar bahwa kemampuan

membaca teks berbahasa Inggris itu sangat diperlukan untuk mengkaji dan membaca

literatur-literatur filsafat. Karena dengan mendapat tugas untuk meresume buku “A Critique

of Postcolonial Reason Toward a History of the Vanishing Present”, kami mendapatkan

kesulitan untuk memahami dan mendapatkan apa inti dari buku tersebut. Akhirnya dari bab

preface kami mendapatkan inti dari bab Philosophy yaitu tentang Poskolonial, Subaltern,

Feminisme, Marxisme dan Dekonstruksi. Kami mencoba cari lain dengan mengenali lebih

dalam dulu siapakah itu Gayatri Chakravorty Spivak dan apa saja peran dan eksistensinya

sebagai salah satu tokoh filsuf modern dari India.

Setelah mendapatkan berbagai sumber barulah kami mengerti bahwa Gayatri Spivak

ini adalah tokoh yang memperjuangkan kaum-kaum lemah yang sebenarnya punya tempat

dan hak untuk didengar dan dianggap. Menurut kami Gayatri Spivak ini tokoh filsuf India

yang cukup pas dan relevan dengan zaman-zaman sekarang ini. Karena tidak bisa dipungkiri

bahwa masih ada sisa-sisa dampak dari zaman kolonial yang menyiksa, mengekang dan

meng-understimate orang-orang Jajahannya atau orang Timur, Gayatri menyebutnya sebagai

subaltern. Selain itu juga soal Feminismenya, kami juga melihat bagaimana usaha Gayatri

untuk menaikkan derajat dan posisi wanita dalam perannya di masyarakat dan hal ini juga

relevansinya sangat nyata dalam perkembangan menuju kemanusiaan yang lebih baik.

Maka dengan menyusun makalah sederhana ini semoga dapat bermanfaat bagi

pembaca dan bagi kami, untuk mengkaji lebih banyak dan mendalam persoalan persoalan

filsafat di Abad modern, sekaligus melihat lagi kepada filsuf-filsuf modern yang sekarang

masih berkiprah serta memahami setiap konsepnya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Spivak, Gayatri. 1999. A Critique of Postcolonial Reason Toward a History of the Vanishing
Present, Harvard University Press, England.
Said, Edward W. Orientalisme. 2010. Orientalisme. Pustaka Belajar

Hartiningsih, Maria & Ninuk Mardiana Pambudy. 2009. Membaca Gayatri Chakravorty
Spivak. Diunduh dari http://kunci.or.id/articles/membaca-gayatri-chakravorty-spivak/.
Morton, Stephen. 2008. Gayatri Spivak :Etika, Subaltern, dan Kritik Penalaran Poskolonial.
Pararaton, Yogyakarta.
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London:Verso.
Hobsbawm, Eric and Terence Ranger (editors). 2004. The Invention of Tradition.
Cambridge: Cambridge University Press.
Sutrisno, Mudji. 2004. Hermeneutia Pascakolonial. Kanisius, Yogyakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai