Anda di halaman 1dari 18

1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Jessie Bernard
Kehidupan dan karya Jessie Bernard ditandai oleh kapasitas untuk tumbuh
dan berkembang luar biasa. Ia tak henti-hentinya memindahkan perhatian ke
kawasan intelektual yang baru bagi dirinya. Proses pergeseran ini dilukiskannya
dalam My Four Revolutions: An Autobiographical Account of the American
Sociological Association (1973). Dalam artikel ini dan dalam karyanya ini,
Bernard menyajikan revolusinya yang terakhir sebagai sebuah gerakan menuju
feminisme masa kini atau yang disebutnya Pencerahan Feminis (1967). Dengan
menurut partisipasi Bernard dalam pencerahan feminis, kita dapat melihat banyak
tentang partisipasi wanita dalam sosiologi Amerika abad 20.1
Jessie Ravitch, lahir pada 8 Juni 1903 di Minneapolis. Pertumbuhan
penting pertamanya terjadi ketika ia meninggalkan keluarga imigran Yahudinya
untuk belajar di Universitas Minnesota di usia 17 tahun. Di Universitas ini ia tak
hanya untuk pertama kali keluar dari lingkungan imigran namun yang lebih
penting lagi, ia mulai mengaitkan dirinya dengan upaya membangun sosiologi
sebagai profesi yang diakui penuh di dunia akademi Amerika. Ia menjadi murid
Sorokin yang kemudian mendirikan jurusan sosiologi di Harvard, dan belajar
dengan L.L Bernard yang menjadi tokoh penting yang mendirikan The American
Sociological Review. Jessie menjadi asisten Bernard selama 4 tahun yang
kemudian menikahinya tahun 1925. Studinya dengan Bernard memberinya
landasan pendekatan positivistik atau sosiologi sebagai ilmu yang meninggalkan
ciri-cirinya

di

seluruh

karyanya

yang

terakhir

dalam

kemampuannya

memindahkan riset kuantitatif menjadi riset kualitatif dan analisis kritis.2


1 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana,
2004), h. 424
2 Ibid.,

Jessie pindah bersama suaminya karena Bernard mendapatkan berbagai


jabatan akademis. Ia mendapat Ph.d dalam sosiologi di Universitas Washington di
St. Louis tahun 1935. Pertengahan tahun 1940 keluarga Bernard berada di
Universitas Negeri Pensylvania dan Jessie berada di pertengahan pertumbuhan
positivismenya.3
Jessie meninggalkan positivisme ketika menanggapi peristiwa Perang
dunia II. Kekejaman Nazi menghancurkan keyakinannya tentang kemampuan
ilmu untuk mengetahui dan menciptakan sebuah dunia yang adil. Kekejaman Nazi
ini juga membuatnya menguji kembali alasan kepindahannya ke AS selaku
keluarga Yahudi. Pengalaman ini meningkatkan kepekaannya terhadap keadaan
sosial seluruh pengetahuan walaupun secara pelan-pelan ia mampu beralih ke
posisi feminis ini.4
Bersamaan

dengan

perpecahannya

dengan

positivisme

ini,

pada

pertengahan 1940 Jessie mulai membangun posisi akademisnya sendiri di Penn


State. Suaminya meninggal 1951 namun Jessie tetap di Penn State hingga tahun
1960, mengajar, menulis dan mengasuh tiga orang anaknya. Selama dekade 1960an ia bolak balik antara Penn State dan Washington DC, dan akhirnya
meninggalkan dunia akademis untuk mencurahkan segenap perhatiannya pada
tugas riset dan menulis. Sejak pertengahan 1960-an ia menetap di Washington
DC, meski ia tetap mengajar sebagai professor di Penn State. Jadi selama dua
dekade sesudah PD II merupakan periode lain pertumbuhan dan hasil
perkembangan Jessie, pertama ia membangun identitas profesional untuk pertama
kalinya yang terlepas dari suaminya, dan kemudian terlepas dari kungkungan
konvensional dan mulai meningkatkan penolakan publik terhadap sosiologi
sebagai ilmu postif. 5
3 Ibid.,
4 Ibid.,
5 Ibid.,

Periode paling dramatis dari perkembangan Jessie adalah 1964 hingga


kini. Fakta ini penting baik dilihat dari sudut kualitas dan kuantitas produktivitas
Jessie maupun dari sudut apa yang ia katakan sendiri tentang pola karir kehidupan
wanita. Selama periode ini Jessie telah menerbitkan 12 buku dan sejumlah besar
artikel dan makalah yang membuktikan dirinya sebagai penerjemah utama
sosiologi gender. Gerakannya ke tangga kepemimpinan ini ditandai oleh pola
pertumbuhan dan perkembangan yang sama. Demikianlah, ia mengurangi peran
kepemimpinan tradisional seperti mundur dari jabatan presiden ASA untuk
memusatkan perhatian pada kegiatan riset, menulis dan meningkatkan keterlibatan
dalam gerakan wanita. Ia pun mengkaji ulang tulisan-tulisan awalnya tentang
keluarga dan gender, dan meningkatkan penafsiran feminisnya.
B. Perkembangan Suatu Teori Feminis
Dalam tahun 1960-an, tujuan-tujuan politik feminis terfokus pada
penentuan wanita agar sederajat dengan laki-laki. Setelah berabad-abad diabaikan,
disingkirkan, dan diremehkan oleh disiplin-disiplin patriarkis, wanita berusaha
masuk menjadi objek penyelidikan. Teori-teori tradisional kerap dimodifikasi oleh
kaum feminis untuk menerangkan penindasan wanita. Dengan memusatkan pada
pencatuman persamaan wanita ke dalam kerangka teoritis masa lalu itu,
kesamaan-kesamaan wanita dengan laki-laki ditekankan.6
Suatu perubahan politik feminis terjadi, ketika kaum feminis menunjukkan
teori-teori mereka untuk menerangkan otonomi wanita yakni, hak wanita untuk
politik, sosial, ekonomi, dan penentuan diri secara intelektual. Jane dan Helen
menguraikan lima hal yang membuat teori-teori tentang persamaan sebelumnya.
Pertama, wanita menjadi subjek dan juga objek ilmu pengetahuan. Dengan
menciptakan ilmu pengetahuan menjadi absah. Kedua, semua metode, prosedur,
anggapan, dan teknik teori-teori sebelumnya dipertanyakan. Ketiga, dengan
mempergunakan teori ekonomi, kaum feminis tidak cuma mengembangkan
perspektif-perspektif mengenai wanita dan isu-isunya,tetapi juga tentang sederet
6 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Sosiologi Wanita (Jakarta: PT. Asdi
Mahasatya, 2002), h. 20

topik yang luas, dengan memasukkan teori-teori lain. Keempat, teori-teori feminis
tidak hanya menegaskan alternative-alternatif, tetapi berkarya melalui teks-teks
patriarkis. Teori-teori itu tidak lagi Cuma menyalahkan atau menerima tulisantulisan yang disampaikan. Tulisan-tulisan yang ada tersebut kini dianalisis, diuji,
dan dipertanyakan. Pada akhirnya, teori feminis menekankan institusi-institusi
sosial dan tindakan sosial, dengan memberikan kerangka-kerangka alternative.
C. Kerangka-kerangka Feminisme
Pendekatan-pendekatan studi wanita yang dicakup oleh beberapa sosiolog
meliputi tradisi feminisme liberal, feminisme Marxis, feminisme radikal,
feminisme sosialis, dan untuk tingkat kurang luas, konsep-konsep yang lebih baru
mengenai feminisme kultural dan feminisme pasca structural. Teori-teori tersebut
mempunyai kesamaan dalam fokus mengenai penindasan terhadap wanita di
dalam masyarakat, namun teori-teori itu berbeda dalam definisi tentang penyebabpenyebab penindasan wanita itu, serta cara-cara pemecahan yang ditawarkannya
bagi perubahan sosial atau individual. 7
1. Feminisme Marxis
Kaum feminis marxis tradisional mencari asal penindasan terhadap wanita
dari permulaan pemikiran kekayaan pribadi. Penyebab penindasan wanita
dihubungkan dengan tipe organisasi sosial, khususnya tatanan perekonomian.
Sistem kelas yang berdasarkan pemilikan pribadi, secara inheren bersifat
menindas, dan kaum lelaki kulit putih mempunyai kedudukan-kedudukan
istimewa di dalamnya. Unsur kunci yang membedakan feminisme Marxis dari
teori-teori feminis lain terletak pada anggapannya, bahwa kapitalisme atau
penindasan kelas merupakan penindasan utama. Penindasan kelas khususnya
dikaitkan dengan cara kapitalisme menguasai wanita dalam kedudukankedudukan yang direndahkan. 8

7 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Ibid., h. 21


8 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Ibid., h. 24

Wanita ditekan karena adanya struktur ekonomi. Kaum feminis Marxis


beranggapan, bahwa hanya setelah penindasan ekonomi dipecahkan, penindasan
patriarkis bisa dihapuskan. Karena itu, agar masyarakat berubah, dituntut
perubahan sosial yang radikal dalam struktur ekonomi dan penghancuran
ketidaksamaan yang berdasarkan kelas. Fokusnya di sini adalah pada faktor-faktor
struktural mengenai penindasan sebagai lawan dari kesempatan-kesempatan
individual.9
Suatu contoh feminisme Marxis klasik ialah karya Friedrich Engels, The
Origin of Family, Private Property and The State (1884-1972), yang melukiskan
jalinan antara pengenalan pemilikan pribadi dan penindasan wanita di dalam suatu
kelas masyarakat. Ia menggambarkan keterkaitan antara penindasan patriarkis
terhadap wanita di dalam masyarakat, dan penindasan proletariat oleh borjuis.10
2. Feminisme Radikal
Di dalam beberapa persepektif feminisme radikal, digambarkan bahwa
wanita ditindas oleh sistem-sistem sosial patriarkis, yakni penindasan-penindasan
yang paling mendasar. Penindasan berganda seperti rasisme, eksploitasi
jasmaniah, heteroseksisme, dan kelas-isme, terjadi secara signifikan dalam
hubungannya dengan penindasan patriarkis. Agar wanita terbebas dari penindasan,
perlu mengubah masyarakat yang berstruktur patriarkis.11
Menurut

Jagger

dan

Rothanberg

para

teoritisi

feminis

radikal

menunjukkan sifat-sifat mendasar penindasan wanita lebih besar daripada bentukbentuk penindasan lain (ras, kelas) dalam berbagai hal:

Secara historis, wanita merupakan kelompok pertama yang ditindas.

9 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Ibid., h. 25


10 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Ibid.,
11 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Ibid., h. 27

Penindasan wanita ada di mana-mana, dalam semua masyarakat.


Penindasan wanita adalah bentuk penindasan yang paling sulit
dilenyapkan, dan tidak akan bisa dihilangkan melalui perubahan-

perubahan sosial lain, seperti penghapusan kelas masyarakat.


Penindasan wanita menyebabkan penderitaan yang paling berat bagi
korban-korbannya; meskipun penderitaan ini barangkali berlangsung

tanpa diketahui.
Penindasan wanita memberikan suatu model konseptual untuk
memahami semua bentuk penindasan lain.

Unsur pokok patriarkis di dalam analisis femisnis radikal, adalah kontrol


terhadap wanita melalui kekerasan. Carole Sheffield (1984) menegaskan bahwa
kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap wanita oleh laki-laki, menggambarkan
kebutuhan sistem patriarki untuk meniadakan kontrol wanita atas tubuh dan
kehidupan mereka sendiri, kekerasan ini terjadi dalam bentuk-bentuk serangan
seksual, pemukulan dan pelecehan seksual terhadap wanita oleh laki-laki.12
3. Feminisme Sosialis
Di kalangan feminisme sosialis, baik patriarki maupun kelas, dianggap
merupakan penindasan utama. Suatu bentuk penindasan tidaklah mencontoh
bentuk penindasan lain sebelumnya.13 Feminisme sosialis meliputi:
Pemusatan dan pengarahan kembali, oleh feminisme terhadap pendekatan
historis Marxianuntuk memahami struktur penindasan wanita, terutama
dalam kaitannya dengan struktur jenis kelamin, keluarga, dan hierarki
pembagian kerja seksual. (Eisenstein, 1979)
Umpamanya, pengenalan terhadap kekayaan pribadi, berhubungan dengan
penindasan kelas (kontrol terhadap kekayaan dan sumber-sumber produksi oleh
kaum borjuis), dan juga penindasan terhadap wanita (hukum-hukum patriarkis
yang mengakui kontrol laki-laki atas kekayaan wanita melalui perkawinan).14

12 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Ibid., h. 28


13 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Ibid., h. 29

Didalam feminisme sosialis cara-cara pemecahan masalah untuk


perubahan,

meliputi

perubahan-perubahan

sosial

radikal

instiusi-instiusi

masyarakat. Buku Juliet Mitchell, Womens Estate (1971), telah meletakan dasardasar untuk feminisme sosialis. Didalamnya ia menggambarkan politik-politik
penindasan sebagai suatu konsekuensi, baik dari penindasan patriarkat maupun
penindasan kelas. Ia memperkenalkan konsepsi-konsepsi inti feminis sosialis,
untuk menganalisis dimensi-dimensi penindasan, seperti produksi, reproduksi,
sosialisasi dan seksualitas.15
Heidi Hartmann (1981), feminis terkemuka lainnya di dalam kerangka
sosialis, menyatakan bahwa basis patriarki adalah pembagian kerja seksual, yang
benar-benar ada pada semua masyarakat. Basis material patriarki kontrol atas
buruh wanita membuat laki-laki bisa mengontrol akses wanita kepada sumbersumber produktif. Sebagai memelihara anak-anak, wanita memproduksi
hubungan-hubungan sosial matriarkat, termasuk hubungan antargenerasi kaum
lelaki atau perempuan melalui proses sosialisasi keluarga ini, kemitraan patriarki
dan kapitalisme diabsahkan. Kapitalisme menjalin kekuatan dengan patriarki
untuk mendominasi buruh wanita dan seksualitas, melalui penguatan dan
pengembangan ideologi yang merasionalisasikan penindasan wanita. Ada
kemungkinan bahwa feminisme sosialis itu tak kurang dari pertemuan aliran
aliran feminisme Marxis, feminisme radikal dan pemikiran psikoanalisis yang
lebih kuat.16
4. Feminisme Kultural
Feminisme kultural adalah pandangan bahwa feminitas merupakan bentuk
perilaku manusia yang paling diperlukan. Untuk menoleh pandangan ideal melalui
maskulinitas, dan cap-cap yang diberikan pada feminitas oleh dunia patriarkis,
14 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Ibid.,
15 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Ibid.,
16 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Ibid., h. 30

kaum feminis kultural mendefinisikan kembali feminis dalam suatu kerangka


positif.
Di dalam sosiologi, karya Jessie Bernard, The Female World (1981),
mendefinisikan eksistensi wanita sebagai suatu realitas terpisah dan unik, yang
memberikan (1) suatu sistem terintegrasi yang sangat penting bagi pertahanan
keluarga; (2) cinta dan atau tugas; dan (3) suatu loncatan budaya melalui
kesadaran yang nyata mengenai perilaku verbal atau nonverbal atau melalui
teknologi-teknologi tersendiri.17
Feminisme kultural gagal untuk lolos dari tradisi definisi-definisi dikotomi
mengenai jenis kelamin. Dengan hanya menetapkan definisi-definisi baru yang
berorientasi wanita, dan perbedaan hirarki mengenai jenis kelamin, tidaklah
menantang struktur-struktur kekuasaan yang tidak seimbang, yang mengontrol
penilaian-penilaian kultural terhadap maskulinitas dan feminitas, juga tidak
sampai ke dalam perhitungan sistematik mengenai pola-pola etnosentrisme, yang
mengubah budaya wanita dalam kelompok-kelompok subordinat.18
5. Feminisme Pascastrukturalis
Kaum feminis pascastruktural memfokuskan pada cara-cara pemecahan
masalah secara individual, seperti deskriminasi ekonomi. Tak ada jalan keluar dari
kewanitaan seseorang dan pembatasan-pembatasan yang telah dibuat oleh
masyarakat patriarkis bagi wanita. Apabila seorang wanita menginginkan untuk
berhenti menjadi jenis kelamin kedua, yakni sebagai orang lain, ia mesti
mengatasi kekuatan-kekuatan keadaan sekitarnya. De Beauvoir menganjurkan tiga
strategi, pertama, wanita meski bekerja, meskipun pekerjaan di dalam sistem
kapitalis bersifat eksploitatif dan menindas. Hanya melalui pekerjaan wanita akan
mampu mengontrol nasib mereka sendiri. Kedua, wanita perlu menjadi
intelektual;

sebab

aktivitas

intelektual

meliputi

17 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Ibid., h. 31


18 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Ibid.,

berpikir,

mencari

dan

mendefinisikan , sebagai lawan dari dipikirkan, dicarikan dan didefinisikan.


Ketiga, wanita harus berusaha menjadi sosialis yang mentransformasikan
masyarakat, yang akan membantu menanggapi konflik-konflik subjek atau objek
dan diri sendiri atau orang lain. Kaum feminis pascastruktural menolak asumsiasumsi tradisional mengenai kebenaran dan realitas; dalam kenyataannnya mereka
menolak kemungkinan pendefinisian wanita secara keseluruhannya.19
6. Feminisme Kulit Hitam
Feminisme kulit hitam menggambarkan bahwa kalau gender adalah
sumber utama penindasan yang dialami perempuan berkulit putih kelas
menengah, maka perempuan kulit hitam secara khas ditindas oleh kelas dan ras
sekaligus. Ini berarti bahwa perteorian feminis berkulit putih kerapkali lupa tandatanda yang sangat penting dalam kehidupan perempuan berkulit hitam. Apa yang
menjadi sumber penindasan terhadap perempuan berkulit putih mungkin menjadi
pembahasan bagi perempuan berkulit hitam, kalau keluarga dapat menjadi
instrumen utama subordinasi bagi perempuan berkulit putih, maka keluarga justru
dapat menjadi perlindungan bagi perempuan berkulit hitam dari rasisme di dunia
luas sana. Perempuan berkulit putih sendiri kerapkali adalah rasio penindas, yang
sukar sekali disamakan dengan persaudaraan solidaritas perempuan. Ketika
perempuan kulit putih bicara tentang perlunya memperluas kesempatan kerja bagi
perempuan dilapangan pekerjaan untuk membebaskan mereka dari belenggu
domestisitas, biasanya mereka lupa akan jenis pekerjaan yang terpaksa dilakukan
oleh banyak perempuan kulit hitam, karena sebagian besar perempuan kulit hitam
adalah kelas pekerja. Sekali lagi, ketika perempuan kulit putih sibuk dengan hak
untuk memilih hak untuk melakukan aborsi, hal ini sukar sekali terjadi pada
perempuan kulit hitam dunia ketiga, yang hidup dalam masyarakat yang dicirikan
oleh terminasi dan sterilisasi paksa dan penggunaan obat seperti Depo-Provera.
Bagi mereka justru berjuang untuk mempertahankan fertilitas. Akhirnya,

19 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Ibid., h. 32

10

menonjolnya isu seksualitas dikalangan feminis kulit putih tidak relavan pada
banyak perempuan kulit hitam di dunia ketiga.20
7. Feminisme Liberal
Dalam tradisi feminisme-liberal, penyebab penindasan wanita dikenal
sebagai kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau
kelompok. Cara pemecahan untuk mengubahnya, yaitu menambah kesempatankesempatan bagi wanita, terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan
ekonomi. Landasan sosial bagi teori ini muncul selama revolusi Perancis dan
masa pencerahan di Eropa Barat. Perubahan-perubahan sosial besar-besaran
tersebut, menyediakan baik argumen-argumen politik maupun moral, untuk
gagasan-gagasan mengenai kemajuan, kontrak, sifat dasar, dan alasan yang
memutuskan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional. Asumsinya, apabila
wanita diberi akses yang sama untuk bersaing, mereka akan berhasil. Kaum
feminis liberal secara khusus mengabaikan suatu analisis yang sistematis
mengenai faktor-faktor stuktural, dan menganggap bahwa rintangan-rintangan
sosial dapat diatasi oleh usaha individual dan campur tangan pemerintah. Mereka
juga mengabaikan cara-cara, bagaimana diskriminasi sosial dan institusional bisa
mempengaruhi

pilihan-pilihan

individual,

sehingga

menciptakan

pola

ketidakadilan. 21
Tradisi feminis liberal dimulai sejak tahun 1792, ketika Mery
Wollstonecraft menerbitkan A Vindication of The Right of Women (1799). Masa itu
merupakan periode pemikir-pemikir liberal besar, dan perkembangan teori-teori
kontrak sosial. Filosof-filosof seperti Rosseau, pada waktu itu, menegaskan suatu
rasionalitas, bahwa laki-laki mempunyai kapasitas akal-budi untuk menguasai
seluruh kehidupan dunia tetapi wanita, berdasarkan sifat-sifatnya mesti dibatasi
pada pendidikan dan tugas-tugas rumah tangga. Marry Wollstonecraft , Aphra
20 PIP Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2010), h.135
21 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Op. Cit., h. 21

11

Behn, dan penulis-penulis lain pada masa itu menekankan bahwa wanita juga
memiliki kapasitas akal budi, karena itu mesti mempunyai hak-hak yang sama
dengan laki-laki.22
Ungkapan utama teori ketidaksetaraan gender adalah feminisme liberal,
yang berargumen bahwa wanita dapat mengklaim kesetaraan dengan pria
berdasarkan suatu kecakapan manusia yang hakiki untuk menjadi agensi moral
yang bernalar, bahwa ketidaksetaraan gender adalah hasil dari pemolaan
berdasarkan seksi pembagian kerja, dan bahwa kesetaraan gender dapat dihasilkan
dengan mengubah pembagian kerja melalui pemolaan kembali lembaga-lembaga
kunci: hukum, kerja, keluarga, pendidikan, dan media.23
Secara historis unsur pertama di dalam argumen feminisme liberal adalah
klaim untuk kesetaraan gender. Klaim itu pertama, diungkapkan dengan jelas
secara politis di dalam Deklarasi Sentimen-sentimen yang dibuat garis besarnya di
Seneca Falls, New York, 1848 dengan maksudnya yang jelas untuk
menyepadankan dan memperluas Deklarasi itu dibuka dengan baris revisionis
kami memandang kebenaran-kebenaran ini sudah jelas dengan sendirinya, bahwa
semua pria dan wanita diciptakan sama, mengubah daftar keluhan untuk
berfokus pada keadaan wanita, dan menyimpulkan dengan suatu seruan kepada
wanita agar melakukan apapun yang diperlukan untuk mendapat hak-hak yang
setara dengan pria. Didalam argumen-argumennya, Deklarasi Sentimen membuat
pergerakan wanita menuntut wacana intelektual Pencerahan, revolusi Amerika dan
Prancis, dan gerakan penghapusan perbudakan. Deklarasi itu mengklaim hak-hak
untuk wanita yang sesuai dengan semua umat manusia di bawah hukum alam,
berdasarkan kapasitas manusia untuk penalaran dan agensi moral, menegaskan
bahwa hukum-hukum yang menyangkal hak wanita untuk kebahagiaan
bertentangan dengan aturan-aturan agung alam dan tidak mempunyai otoritas:
22 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Ibid., h. 22
23 George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 794

12

dan menyerukan perubahan di bidang hukum dan adat kebiasaan yang


mengizinkan wanita menerima tempat mereka yang setara di masyarakat.
Penyangkalan hak-hak tersebut oleh pemerintah yang dilembagakan oleh pria
melanggar hukum alam dan merupakan pelaksanaan tiranis praktik-praktik
seksisme yang sangat banyak. Hakikat radikal dokumen fondasional itu ialah
bahwa ia mengkonseptualisasi wanita bukan di dalam konteks rumah dan
keluarga, tetapi sebagai seorang individu otonom dengan hak-hak yang ada di
dalam orangnya sendiri. Dengan demikian, feminisme liberal bersandar kepada
kepercayaan bahwa: (1) semua manusia mempunyai ciri-ciri esensial tertentukemampuan untuk bernalar, agensi moral, dan aktualisasi diri (2) pelaksanaan
kemampuan-kemampuan itu dapat diamankan melalui pengakuan hukum atas
hak-hak universal (3) ketidaksamaan-ketidaksamaan diantara pria dan wanita
yang diberikan oleh jenis kelamin adalah konstruksi-konstruksi sosial yang tidak
mempunyai landasan di dalam alam dan (4) perubahan sosial untuk kesetaraan
dapat dihasilkan oleh suatu seruan terorganisir kepada publik yang dapat berpikir
dan dengan memanfaatkan negara. 24
Feminisme liberal kontemporer telah diperluas untuk mencakup feminisme global
yang berhadapan dengan rasisme di masyarakat-masyarakat Atlantik Utara dan
karya-karya untuk hak-hak manusiawi wanita disetiap tempat, dan wacana
tersebut terus mengungkapkan banyak pernyataan fondasionalnya di dalam
dokumen-dokumen seperti Organisasi Nasional untuk Pernyataan Maksud wanita
dan Deklarasi Beijing.25
Feminisme liberal melihat bahwa gender sebagai suatu sistem stratifikasi yang
menghasilkan pembagian kerja bergender, suatu pengorganisasian masyarakat ke
dalam lingkup publik dan privat dan suatu dimensi kultural dari ideologi seksis.
Pembagian seksual kerja di dalam masyarakat modern membagi produksi baik
dari segi gender maupun lingkungan yang dilandasi sebagai publik dan privat.
24 George Ritzer, Ibid., h. 795
25 George Ritzer, Ibid., h. 796

13

Wanita diberi tanggung jawab terutama untuk lingkungan privat. Pria diberi akses
yang istimewa kepada lingkungan publik (yang dilihat oleh para feminis liberal
sebagai fokus dari imbalan-imbalan sebenarnya kehidupan sosial, uang,
kekuasaan, status, kebebasan, kesempatan-kesempatan untuk pertumbuhan dan
kepercayaan pada diri). Fakta bahwa wanita mempunyai akses yang mereka
butuhkan untuk lingkungan publik, tentu saja, adalah suatu kemenangan yang
dicapai gerakan wanita dan gerakan feminisme liberal, sebagaimana fakta bahwa
wanita merasa dapat mengajukan beberapa tuntutan kepada pria untuk membantu
di dalam pekerjaan di lingkungan privat. Kedua lingkungan itu senantiasa
berinteraksi di dalam kehidupan wanita (lebih banyak dibanding pria), dan kedua
lingkungan itu masih dibentuk oleh ideologi patriarkis dan seksisme, yang juga
masih meresap di dalam media massa kontemporer.26
Disatu sisi, wanita menemukan pengalaman mereka di dalam lingkungan publik
pendidikan, kerja, politik, dan ruang publik masih dibatasi oleh praktik-praktik
deskriminasi, marginalisasi, dan pelecahan. Di sisi lain, di dalam lingkungan
privat, mereka mendapati diri di dalam suatu ikatan waktu sewaktu mereka
kembali ke rumah dan anak yang ditanamkan oleh ideologi mengenai pelaksanaan
intensi tugas ibu . Tekanan-tekanan pada wanita

seperti itu bekerja secara

interaktif di dalam cara-cara yang kompleks dan salah satu ciri dari teori feminis
kontemporer ialah usaha-usahanya untuk memahami interaksi-interaksi itu.
Kemampuan wanita untuk bersaing di bidang karier dan profesi dirintangi oleh
tuntutan-tuntutan lingkungan privat. Lingkungan publik norma pekerja ideal
yang mengasumsikan jadwal kehidupan yang tersedia bagi laki-laki yang tipikal
memperhebat tekanan kepada komitmen-komitmen rumah dengan menyusutkan
sumber-sumber daya waktu dan energi wanita yang pada gilirannya menambah
tuntutan pada mereka untuk melakukan manajemen krisis dirumah. Hubungan
seksisme wanita dengan kegiatan-kegiatan lingkungan yang privat yakni
pengasuhan, manajemen emosi dan pemeliharaan rutin berarti bahwa wanita
diharapkan melakukan pekerjaan tambahan itu di dalam lingkungan publik, yang
26 George Ritzer, Ibid., h. 797

14

sering terbawa ke dalam pekerjaan-pekerjaan bergaji rendah ketika keahliankeahlian wanita yang demikian dipasarkan. Pemolaan seksi pekerjaan dan
rumah itu menempatkan ibu tunggal pada resiko ekonomi yang sangat berbahaya
dan merupakan salah satu faktor di dalam feminisme pemiskinan yang
meningkat.27

D. Teori Feminisme Jessie Bernard


Dalam studi Jessie Bernard The Future of Marriage (1972/1982), Jessie
menganalisis perkawinan sebagai hal yang sekaligus merupakan sistem budaya
dari kepercayaan-kepercayaan dan ideal-ideal, susunan institusional peran-peran
dan norma-norma, dan suatu kompleks pengalaman-pengalaman interaksional
bagi wanita dan pria individual. Secara kultural, perkawinan diidealkan sebagai
takdir dan sumber pemenuhan bagi wanita, suatu anugerah campuran
domestisitas, tanggung jawab, dan paksaan bagi pria, dan untuk masyarakat
Amerika secara keseluruhan suatu asosiasi di antara suami dan istri yang pada
dasarnya egaliter. Secara kelembagaan, perkawinan memperkuat peran suami
dengan otoritas dan kebebasan tentu saja, kewajiban untuk bergerak melampaui
latar domestik, perkawinan mempertautkan ide otoritas jantan dengan
ketangguhan seksual dan kekuasaan jantan, dan hal itu memerintahkan agar istri
selalu mengalah, bergantung, mengosongkan diri, dan pada dasarnya berpusat
pada kegiatan-kegiatan dan tuntutan-tuntutan rumah tangga domestik yang
terisolasi. Lalu secara eksperiensial ada dua perkawinan di dalam setiap
perkawinan institusional: perkawinan pria, yaitu sang suami percaya dia dikekang
dan dibebani, sambil mengalami apa yang didiktekan norma-norma otoritas,
independensi, dan hak untuk mendapat layanan domestik, emosional, dan seksual
yang diberikan oleh istri; dan perkawinan wanita, yaitu istri mengukuhkan
kepercayaan kultural akan pemenuhan, sambil mengalami secara normatif
diperintah untuk tidak berdaya dan ketergantungan, kewajiban untuk memberikan
27 George Ritzer, Ibid., h. 798

15

pelayanan domestik, emosional, dan seksual, dan berangsur-angsur lenyaplah


diri wanita muda independen yang dulu dimilikinya sebelum menikah.28
Hasil dari semua hal tersebut ditemukan di dalam data yang mengukur
stres manusia. Wanita yang menikah, apapun klaim-klaim mereka pada
pemenuhan, dan pria tidak menikah, apapun klaim-klaim mereka pada kebabasan,
menduduki peringkat yang tinggi pada semua indikator stres, termasuk debaran
jantung, kepeningan, sakit kepala, pingsan, mimpi buruk, insomnia, dan ketakutan
terhadap kemacetan saraf. Wanita tidak menikah, apapun pengertian mereka atas
stigma sosial dan pria menikah, mempunyai peringkat yang rendah dalam semua
indikator stres. Jadi, perkawinan baik bagi pria dan buruk untuk wanita dan tidak
akan mempunyai dampak tidak setara seperti itu hanya bila pasangan merasa
cukup bebas dari paksaan-paksaan institusional yang ada untuk merundingkan
jenis perkawinan yang terbaik yang cocok dengan kebutuhan individual dan
personal mereka. Berbagai studi baru-baru ini menganjurkan bahwa analisis Jessie
masih berlaku untuk sebagian besar perkawinan. Tetapi berkat usaha yang gigih,
sejumlah pasangan sedang mencapai cita-cita feminis liberal akan perkawinan
yang egaliter.29
E. Karya-Karya Jessie Bernard
Karya besarnya antara lain American Family Behavior (1942), Marriage
and Family among Negroes (1956), Romarriage: A Study of Marriage (1957),
Academic Women (1964), The Sex game: Communication between the Sexes
(1968), Women and the Public Interest: An Essay on Policy and Protest (1971),
The Future of Motherhood (1974), Women, Wifes, Mothers: Values and Options
(1975), The Female World (198d),The Future of Marriage (1982), dan The
Female World From a global Perspective (1987).30
28 George Ritzer, Ibid.,
29George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Loc. Cit., h. 425
30 Ibid.,

16

Karya diatas ditandai oleh empat kualitas esensial: kemampuannya


mengemukakan data tingkat makro sebagai penunjang untuk mencapai
kesimpulan tentang interaksi mikro dan pengalaman subjektif, ia makin mengakui
pentingnya peran pengalaman subjektif dalam pembentukan struktur sosial makro,
ia makin menekankan pada konteks sosial pengetahuan dan kebutuhan metodologi
dalam meneliti kehidupan kelompok yang tak kelihatan itu di dalam dan dari
kehidupan mereka sendiri, tidak semata-mata hanya dengan membandingkannya
dengan tipe patriarkis mereka, ia beralih dari kerangka keinginannya tentang
kehidupan wanita dalam konteks tradisional sosiologi keluarga melalui bingkai
yang memusatkan perhatian pada wanita dalam sosiologi gender ke kerangka
sosiologi feminis dan kritis. Selama karirnya Jessie telah mengumpulkan sejumlah
tanda penghargaan dan penghargaan tertinggi yang diterimanya adalah hadiah
yang ditunjukan untuk menandai orang yang telah menyumbang secara
intelektual, professional dan kemanusiaan terhadap dunia kerja sama dan
feminisme.

17

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Jessie Ravitch, lahir pada 8 Juni 19d3 di Minneapolis. Pertumbuhan
penting pertamanya terjadi ketika ia meninggalkan keluarga imigran
Yahudinya untuk belajar di Universitas Minnesota di usia 17 tahun. Ia
menjadi murid Sorokin yang kemudian mendirikan jurusan sosiologi
di Harvard, dan belajar dengan L.L Bernard yang menjadi tokoh
penting yang mendirikan The American Sociological Review.
2. Dalam tahun 1960-an, tujuan-tujuan politik feminis terfokus pada
penentuan wanita agar sederajat dengan laki-laki. Suatu perubahan
politik feminis terjadi, ketika kaum feminis menunjukkan teori-teori
mereka untuk menerangkan otonomi wanita yakni, hak wanita untuk
politik, sosial, ekonomi, dan penentuan diri secara intelektual.
3. Kerangka-kerangka feminisme diantaranya yaitu Feminisme Marxis,
radikal, sosialis, Kultural, Pascastrukturalis, Kulit Hitam serta
Feminisme Liberal
4. Dalam studi Jessie Bernard The Future of Marriage (1972/1982),
Jessie menganalisis perkawinan sebagai hal yang sekaligus merupakan
sistem budaya dari kepercayaan-kepercayaan dan ideal-ideal, susunan
institusional peran-peran dan norma-norma, dan suatu kompleks

18

pengalaman-pengalaman

interaksional

bagi

wanita

dan

pria

individual.
5. Karya besar Jessie Bernard antara lain Marriage and Family among
Negroes (1956), The Female World (198d), The Future of Marriage
(1982), dan The Female World From a global Perspective (1987)
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini tentunya banyak kekurangannya, oleh
karena itu Penulis berharap agar pembaca dapat menggali lebih jauh lagi
mengenai materi Jessie Bernard.

Anda mungkin juga menyukai