Anda di halaman 1dari 8

Nama: Farah Diena H.

| NIM: 0210510111 | Mata Kuliah: Filsafat Kebudayaan |


Tugas: Makalah Pengganti UTS|

Sebuah Padangan Atas The Idea of Power In Javanese Culture karya


Benedict Anderson

Selayang Pandang

Benedict Richard OGorman Anderson lahir pada 26 Agustus 1936 di Kunming,


Cina. Pada tahun 1941 keluarganya pindah ke kota California, di mana Ben mengnyam
pendidikan pertamanya. Pada tahun 1975 ia mendapatkan gelar B. A. (Bachelor of Arts)
untuk literatur klasik dari Cambridge University, Inggris. Di sana, tumbuh
ketertarikannya yang mendalam pada politik negara-negara Asia dan setelahnya masuk ke
program studi tentang Indonesia dari Cornell University. Sembari bekerja paruh waktu
sebagai asisten pengajar di Departemen Politik, Ben Anderson mengejar gelar Ph. D.-nya
di bawah asuhan para ahli seperti George Kahin dan Claire Holt. Sebagai bagian dari
penelitian doktoralnya, Ben Anderson berangkat pergi ke Jakarta, Indonesia pada 1961.
Setelah peristiwa kudeta dan pembantaian yang terjadi pada tahun 1965, Ben Anderson
menerbitkan tiga karya tulis, satu di antaranya merupakan sebuah outline dari peristiwa
kudeta tersebut. Studi tersebut, sebagaimana yang diargumentasikan oleh Ben Anderson
bahwa pihak angkatan bersenjata yang tak puas lah, ketimbang para komunis, yang
bertanggungjawab atas kudeta tersebut dan mempertanyakan legitimasi dari militer
pemerintahan, yang akhirnya dikenal sebagai Makalah Cornell tahun 1966, dan yang
menyebabkan Ben Anderson dilarang kembali ke Indonesia sampai waktu yang tak
ditentukan.

Setelah pengasingannya, Ben menghabiskan beberapa tahun di Tailan, dan sejak


itu ia mengajar di Cornell University. Belum lama ini ia bertugas sebagai direktur dari
Modern Indonesia Program dan yang kini adalah bagian dari Aaron L. Binenkorb
Professor Emeritus of International Studies di Cornell University.

[1]
Salah satu karya dari Ben Anderson yang dianggap sebagai sebuah karya yang
mempunyai pengaruh luas adalah sebuah tulisan yang berjudul The Idea of Power In
Javanese Culture. Karya tulisnya yang satu ini juga dianggap kontroversial. Karya
tersebut merupakan puncak dari upayanya dalam menunjukkan bahwa kultur Jawa
tradisional memang pernah mempunyai sebuah teori politik yang menawarkan suatu
penjelasan yang sistematis dan logis atas perilaku politik yang cukup independen
dipandang dari perspektif sains politik modern dan yang dalam banyak sekali hal secara
fundamental bertentangan1. Kunci-kunci penting dari pengertian orang-orang Jawa akan
makna kekuasaan, dalam tiap-tiap kasusnya dikontraskan dengan pengertian Barat
modern tentang hal yang sama, di mana si sana terdapat konkrit, homogen, konstan
dalam kuantitas total, dan tanpa adanya kemelekatan implikasi moral. 2 Salah satu bentuk
aplikasinya adalah model pemimpin yang kharismatik menurut Webber, sangat dominan
di fase-fase pasca-reformasi atau pasca-kemerdekaan, yang dimngerti oleh para
pengikutnya sebagai sosok yang mempunyai kuasa, masing-masing dalam pengertian
kultural.3

Tanda-Tanda Kekuasaan

Dalam tradisi Jawa kekuasaan adalah sesuatu yang konkrit, ada di luar dari diri
seorang individu dan ada secara mandiri. Ia adalah semacam daya yang permanen di alam
semesta. Semua jenis kekuasaan adalah sama. Kekuatan dari satu orang pemimpin sama
dengan yang dimiliki oleh pemimpin lainnya. Ada semacam jumlah yang ditentukan akan
sebuah kekuasaan di jagad raya. Ketika ada seseorang yang mendapat jumlah kekuasaan
yang lebih, maka seorang lainnya berarti kehilangan daya tersebut dalam jumlah yang
sama. Masalah kekuasaan bukan perihal sah atau tidak sah. Tidak ada cara yang baik
atau buruk dalam meraih kekuasaan.

Ben Anderson berargumen bahwa perbedaan antara persepsi akan waktu di


masyarakat Barat dan masyarakat Jawa adalah, masyarakat Barat melihat waktu sebagai
1 Benedict Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Language and Power: Exploring Political
Cultures in Indonesia (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1990), hlm. 18.

2 Ibid., hlm. 23

3 Ibid., hlm. 74-76


[2]
sesuatu yang berjalan lurus dan terus maju, di mana masyarakat Jawa melihat waktu
sebagai sebuah lingkaran, pengulangan kekuasaan.

Kuasa dapat hilang karena takluk terhadap godaan duniawi. Itulah mengapa, para
pahlawan berlatih untuk menyerabut diri dan untuk tidak takluk pada emosi mereka.
Adalah cara yang pasti untuk kehilangan kekuasaan adalah jika seseorang menyerah pada
godaan hasrat atau perasaan tanpa dapat menahan diri.

Saat penyangkalan diri dilihat sebagai sebuah cara untuk dapat meraih kekuasaan,
ternyata terdapat banyak jalan pintas untuk meraihnya. Salah satu dari banyak cara
tersebut adalah dengan kepemilikan atas benda-benda yang dilihat sebagai benda-benda
yang memiliki kekuatan besar. Tradisi Jawa mengatakan bahwa seorang penguasa (ruler)
harus menjadikan dirinya sebagai pusat bagi orang-orang atau benda-benda yang
dipercaya memiliki kekuatan yang tak biasa. Karena dengan berada di tengah-tengah
mereka, sang penguasa dapat menyerap kekuatan yang dimiliki orang-orang atau benda-
benda terebut dan menambahkannya untuk memperkuat diri mereka sendiri.

Sebuah ciri yang paling dapat jelas terlihat dari seseorang yangmemiliki kekuatan
yang luar biasa adalah kemampuannya dalam mempersatukan banyak hal, maksudnya,
untuk mengkonsentrasikan kekuatan personalnya, untuk menyerap kekuatan dari luar,
dan untuk mengharmonisasi gejolak-gejolak dan benturan-benturan dalam dirinya, yang
dapat menjadi distraksi. Seorang penguasa yang berhasil haruslah mampu untuk
menyatukan yang lama dengan yang baru, yang liberal dan yang konservatif. Seseorang
dengan kuasa haruslah mengeluarkan tenaga sesedikit mungkin. Ia akan mengutarakan
perintah-perintahnya sebagai permintaan-permintaan, meskipun itu semua akan
dimengerti orang sebagai sebuah perintah. Gaya administrasi orang Jawa ditandai dengan
upaya pencitraan akan sesedikit mungkin tenaga yang dikeluarkan.

Adalah penting, pertama-tama, untuk dapat mengerti betul dan mencerna ide
tentang kekuasaan dalam khasanah kosmologi masyarakat Jawa dan ditingsinya dengan
konsep kekuasaan masyarakat Barat modern. Anderson menggambarkan konsep-konsep
tersebut sebagai hal yang kontradiktif, sebagaimana gambaran berikut:

Konsep Barat Modern Konsep Masyarakat Jawa


[3]
1. Kekuasaan ialah hal yang 1. Kekuasaan ialah hal yang
abstrak konkret
2. Sumber kekuatan adalah 2. Kekuatan adalah homogeny
heterogen
3. Akumulasi kekuatan tidak 3. Jumlah kekuasaan di alam
mempunyai batas yang melekat semesta adalah konstan
4. Kekuasaan adalah ambigu 4. Kekuasaan tidak
secara moral mempertanyakan keabsahan

Gagasan Kekuasaan Jawa

Berbeda dengan tradisi teori politik Barat, masalah pokok yang ditimbulkan
konsepsi mengenai kekuasaan ini bukan masalah bagaimana mengunakan kekuasaan,
melainkan bagaimana menghimpunnya, sebagian besar perpustakaan nasional lebih
berbicara bagaimana memusatkan dan mempertahankan kekuasaan, dari pada bagaimana
mengunakannya dengan wajar.

Menurut tradisi ortodoks mengunakan kekuasaan mengunakan praktek yoga atau


bertapa di gua-gua, walaupun praktek-praktek yoga berbeda-beda bentuknya digunakan
diberbagai daerah di Jawa, termasuk bersemedi, puasa, tidak melakukan hubungan
seksual, pemurnian ritual yang mengunakan sesajian terdapat satu dasar pokok yang
mendasarinya.

Analogi ini amat tepat karena pelukisan klasik dalam kebudayaan Jawa bertapa
dengan amat keras memang mempunyai kemampuan untuk menimbulkan panas fisik.
Sebagaimana orang yang mampu membuat keris dengan indah melalui kekuatan yang
terpusat pada ibu jarinya.

Arti kejiwaan dalam bertapa bukan berarti bentuk penyiksaan diri dengan tujuan-
tujuan etis, melainkan hanya semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan, bertapa
dalam konsep Jawa merupakan cara untuk mencapai titik keseimbangan kosmos,
membesarkan diri berarti mengurangi diri sendiri.

[4]
Di samping pandangan ortodok tentang jalan kekuasaan di Jawa terdapat tradisi
lain yang heteodoks. Dalam sejarah contoh terbaik dalam tradisi adalah raja Singosari
yang terakhir dan raja Kertanegara. Menurut tradisi Bhairavis ini kekuasaan dicari
melalui mabuk-mabukkan, pesta seks dan pembunuhan ritual.

Menurut tradisi Jawa lama penguasa harus mengumpulkan disekelilingnya benda


atau orang pun yang mengandung kekuasaan. Seperti kraton sampai sekarang setiap
tahunnya ada pencucian kris, kraton yang tidak saja mengkoleksi benda-benda pusaka
seperti tombak, alat-alat suci yang lainnya tetapi juga diisi oleh berbagai macam manusia
yang luar biasa seperti Bulai, pelawak orang kerdil dan ahli nujum yang tinggal secara
bersama dengan kraton, maka akan muncul sebuah kekuasaan yang dihisap melalui
benda-benda dan orang-orang tadi yang kemudian diserap dan ditambahkan kepada
kekuasaan penguasa. Kalau kemudian benda ini hilang maka ini diangap berkurangnya
kekuasaan raja dan sering diangap sebagai datang pertanda akan hancurnya dinasti yang
sedang berkuasa.

Tradisi ini masih tetap kita rasakan rohnya pada elit-elit atau pejabat dari Jawa
dan juga merupakan rahasia lagi bagi para pengamat situasi di zaman Soekarno. Tetapi
barangkali dari segi politik yang penting adalah seseorang yang dianggap punya benda
atau orang-orang seperti itu dalam penguasaanya, walaupun mereka tidak mempunyai
atau mempergunakan dengan sunguh-sunguh.

Walaupun dalam dunia seni gabungan laki-laki dan wanita merupakan lambang
kekuasaan, namun dalam dunia politik karena alasan yang jelas, sinkretisme yang
dinamis dalam pemikiran Jawa menyatakan dirinya dalam bentuk-bentuk lain. Pernyataan
yang menarik mengenai ini seperti apa yang dinamakan dengan politik Nasakom dari
bekas Presiden Soekarno.

Penutup

[5]
Berangkat dari observasi Ben Anderson, penulis memusatkan makalah ini pada
dua hal, yakni: (1) perjalanan memperoleh kekuasaan, dan (2) Penguasa dan Yang
Dikuasai. Dengan sengaja penulis mengambil poin-poin tersebut dengan tujuan untuk
menyoroti mereka dari perspektif Webberian tentang kharisma. Perjalanan meraih
kekuasaan ditempuh dengan cara paratek-praktek aesketik. Konsepsi akan konsentrasi
berkorelasi erat dengan gagasan kesucian yang berbeda dengan kenajisan, difusi, dan
disintegrasi. Oleh karena itu, pemimpin yang ideal adalah orang yang kekuatan
kosmiknya dapat menyerap semua elemen yang bertentangan di alam semesta dan
mengumpulkan mereka ke dalam karakternya. Disintegrasi sosial sebenarnya merupakan
tanda bahwa ia tidak mampu mengkonsentrasikan karisma tersebut dalam dirinya.

Sebagai pelaksanaan kekuasaan, masyarakat Jawa membangun pembagian peran


sosial antara penguasa dan yang dikuasai, antara patron dan klien, dan antara priyayi dan
petani. Pembagian sosial memiliki fungsi untuk menata kehidupan sosial, sementara tetap
menekankan pada peran utama kelas penguasa. Ben Anderson mencatat:
the economic base of the priyayi ruling class was not independent
landownership but the system of appanage benefices.

Sistem ini menyiratkan bahwa masyarakat dijalankan melalui birokratisasi


dikotomi elit-massa. Selain itu, kesejahteraan masyarakat (massa) dianggap sebagai
tergantung pada pusat (elit) kemampuan untuk memusatkan kekuasaan.

Melalui lensa yang berbeda, yaitu, perspektif sejarah sosial, Kartodirdjo


menjelaskan bahwa di Banten gagasan kekuasaan telah bergeser secara signifikan karena
interaksi budaya lokal dan unsur-unsur budaya asing, yaitu kebudayaan Arab. Hal ini
penting untuk menganggap bahwa ibadah haji adalah sumber sosial dari revitalisasi
kehidupan keagamaan terutama didorong oleh orang-orang yang menetap di Mekah
untuk beberapa kali.

[6]
Mereka memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam
berbagai macam kegiatan keagamaan yang umumnya dikenal sebagai Djawah tersebut.
Ulama yang dilatih secara Mekah atau terinspirasi akan Mekah atau jamaah haji, baik
secara pribadi atau melalui murid-murid mereka, menghasut dan memimpin gerakan
kebangkitan di berbagai daerah di Indonesia (konon hanya di Jawa). Selanjutnya,
Kartodirdjo mengatakan bahwa yang paling berpengaruh di antara Djawah itu para guru
dan siswa yang, dari Mekah, bisa mengendalikan umat beragama di tanah air mereka.
Membaca Anderson dan Kartodirdjo, sebagai refleksi penulis dalam bingkai
pemikiran Weberian, gagasan kekuasaan dalam kosmologi Jawa tradisional secara
bertahap membentuk model yang kepemimpinan baru yang dialektis. Di satu sisi,
pemimpin karismatik tetap perlu berlatih menjadi individu yang aesketik untuk
memusatkan kekuasaan di dalam kepribadiannya.

Dengan demikian ia memungkinkan untuk menyerap elemen bertentangan di


alam semesta. Ini adalah karakteristik mencolok dibutuhkan dalam bidang
kepemimpinan. Di sisi lain, mengkonsentrasikan kekuasaan ini juga ditantang oleh
pengaruh eksternal yang mengancam kekuatan untuk dapat berdisintegrasi. Namun
demikian, dengan tantangan daya eksternal, maka kekuasaan menemukan langkah-
langkah untuk sampai ke tahap baru, yaitu tahap rasionalisasi, di mana karisma harus
diterapkan untuk mempertahankan integrasi.

[7]
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict R. OG, James T. Siegel, Claire Holt, (2007), Culture and Politics in
Indonesia, Singapura: Equinox Publishing.
Anderson, Benedict, (1990), Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia,
New York: Cornell University Press.
Kartodirdjo, Sartono, (1996), The Peasants Revolt of Banten in 1888: Its Condition, Course,
and Sequel. A Case Study of Social Movements in Indonesia, Martinus Nijhoff.

[8]

Anda mungkin juga menyukai