IDENTITAS BUKU
Judul : Sejarah dan Teori Sosial
Penulis : Peter Burke
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor; Jakarta
Tahun terbit : 2011
Jumlah halaman : xvi + 304 : 21 cm
Judul asli : Histoty and Social Theory
Rangkuman Buku
A. Teoritisi dan Sejarawan
Pembahasan di bab pertama ini, kita disuguhkan mengenai pertentangan teori
adanya konflik antara sejarawan dengan sosiologiwan tentang penggunaan teori sosial
seperti ‘dialog si tuli’.1 Walaupun memiliki obyek yang sama dalam penelitiannya,
tetapi dalam penggunaan teori yang berbeda tentu akan memunculkan perspektif yang
berbeda dan bila terjadi konflik hebat dalam metode, itu hanya akan menyebabkan
terpecahnya profesi sosial ke dalam dua kubu yakni ‘pro-sejarahwan’ dan ‘pro-
teoritisi’.2 Namun untuk mengetahui perbedaan suatu teori hendaknya kita tidak
hanya sekedar mengetahui permukaan tentang suatu teori, melainkan perlu juga
mengenali mekanisme dan struktur dari teori tersebut. Dalam kehidupan yang tidak
jelasnya garis-garis pembatas disiplin dan terbukanya arah intelektual menjadi era
yang mengasyikan tetapi cendrung juga akan menimbulkan perpecahan akibat
terjadinya perdebatan oleh para ahli teoritisi dengan sejarahwan yang sejatinya
mereka saling membutuhkan antara teoritisi dengan sejarahwan.
3
Tertulis pada halaman 31.
4
Tertulis pada halaman 40-41.
5
Tertulis pada halaman 45.
I Putu Adi Saputra, S861608009
C. Konsep-Konsep Pokok
Pada bab ini akan membahas peralatan konseptual ciptaan teoritisi sosial yang
telah atau mungkin sudah digunakan oleh para sejarawan, sebagian dari konsep-kosep
tersebut seperti; feodalisme, kapitalisme, kelas, mobilitas sosial dan yang lainnya.
Namun sejarawan sering menuduh bahwa bahasa atau tulisan teoritisi sosial cuma
berisi ‘jargon’ yang susah untuk dimengerti.8 Akan tetapi dalam penggunaan makna
konsep tersebut seyogyanya tidaklah menggantikan, melainkan melengkapi model-
model rakyat itu dengan yang modern dalam memahami peristiwa dan memiliki cara
pandang yang lebih global.
Burke mengenai pembahasan ini juga menawarkan semacam pengantar
peristilahan atau kata kiasan yang cocok digunakan untuk sebagian dari kegagalan
yang paling umum dalam analisis sejarah. Namun Herbert Spencer mencela, dengan
mengatakan bahwa sejarawan hanya tukang angkat batu dari seorang sosiologiwan
untuk membuat bangunan. Tentu hal ini menjadi pertanyaan atas argumennya
tersebut, karena dalam sisi yang lainnya sejarawan memang punya sesuatu untuk
6
Tertulis pada halaman 52.
7
Tertulis pada halaman 55.
8
Tertulis pada halaman 63.
I Putu Adi Saputra, S861608009
ditawarkan sebagai imbalannya.9 Burke juga mengatakan banyak yang bisa didapat
oleh sejarawan dengan memakai konsep ‘peranan’ secara lebih luas, lebih tepat dan
lebih sistematik, sehingga mendorong sejarawan untuk lebih bersungguh-sungguh
menkaji bentuk-bentuk prilaku yang telah umum.10
Dalam buku ini tentang seks dan gender , Burke juga menjelaskan pembagian
antara dua peranan sosial bahwa tidak hanya laki-laki, namun juga perlu juga
memasukkan peranan wanita dalam penulisan sejarah. Pada sudut pandang yang
berdeda, ternyata feminisme telah ikut menyumbang secara tidak langsung penulisan
sejarah generasi masa lampau. Sama seperti ‘sejarah dari kalangan bawah’, sejarah
perempuan memberikan perspektif baru tentang masa lampau, yang sampai sekarang
ini konsekuensinya belum dipikirkan secara mendalam.11 Dengan gerakan perempuan
dan munculnya teori-teori yang terkait itu menjadikan suatu pijakan baik sejarawan
perempuan atau laki-laki untuk lebih kritis mempertanyakan tentang masa lalu.
Proses kontruksi gender secara sosial atau kulutral juga merupakan objek kajian
kesejarahan. Begitu juga dengan pnedekatan terhadap seks, berkat adanya
konseptualisasi ulang yang berani oleh Michael Foucault yang menyatakan bahwa
homoseksualitas dan tentunya seksualitas adalah temuan modern.
Keluarga dan kekerabatan, contoh yang paling jelas mengenai lembaga yang
terdiri dari sekumpulan peranan yang saling tergantung dan saling melengkapi.
Sejarah keluarga adalah salah satu bidang kajian kesejarahan yang tumbuh dengan
cepat. Pendekatan rumah tangga ini tepat dan relative mudah untuk
didokumentasikan, tetapi pendekatan ini memang ada bahayanya yaitu yang pertama
perbedaan antara rumah tangga yang dilukiskan sebagai keluarga majemuk, keluarga
besar, atau keluarga ringkas; yang kedua terhadap pendekatan yang menggunakan
anggota dan komposisi rumah tangga sebagai indeks struktur keluarga menghadapkan
kita kembali kepada masalah data keras dan data lunak.12 Yang terpenting dari semua
9
Tertulis pada halaman 65-66.
10
Tertulis pada halaman 68.
11
Tertulis pada halaman 73.
12
Tertulis pada halaman 77-79.
I Putu Adi Saputra, S861608009
itu, rumah tangga adalah sebuah ‘komunitas moral’, dalam arti keluarga merupakan
sebuah kelompok yang menjasi acuan identitas anggotanya dan sebagai wadah
keterlibatan emosional mereka. Keberagaman fungsi ini menimbulkan masalah, sebab
belum tentu fungsi-fungsi ekonomi, emosional, tempat tinggal, dan sebagainya itu
berjalan seiring. Karena itu, indeks yang didasarkan pada berdampingan tempat
tinggal (co-residence) mungkin tidak dapat memberikan informasi yang sangat kita
butuhkan untuk mengetahui struktur keluarga.
Keluarga digambarkan sebagai suatu ‘komunitas moral’pada bagian
sebelumnya. Konsep komunitas telah memainkan peranan penting dalam penulisan
sejarah pada beberapa tahun terakhir. Sebagaimana telah yang disebutkan oleh Le
Roy Lodurie dalam Montaillou (1975) yang memakai pendekatan sosiologi atau
antropologi seperti pada sejumlah studi terdahulu yang menekankan perbedaan
keagamaan dan politik di antara plaine dan bocage, dengan kata lain, antara daerah-
daerah yang bagus untuk ditanami dan daerah padang rumput berhutan di sebelah
barat daya prancis.13
Kajian-kajian terbaru mengenai ritual dan symbol mungkin membantu
sejarawan kota menjawab tantangan ini, seperti yang dilakukan oleh antropologiwan
Victor Turner yang mengembangkan gagasan Durkheim tentang acara-acara ‘pesta
buih kreatif’ bagi pembaharuan sosial, menciptakan istilah ‘communitas’ untuk
menyebutkan solidaritas sosial yang spontan dan tidak terstruktur. Istilah lain yang
dihasilkan oleh ritual-ritual ini adalah ‘identitas’ kolektif, sebuah kondep yang
semakin dikenal dalam beberapa disiplin ilmu. Penbentukan identitas nasional
khususnya telah mendorong munculnya perwujudan identitas dengan karya baru
hebat berupa lagu kebangsaan, bendera Negara, dan upacara-upacara nasional. Cara
mendifinisikan identitas suatu kelompok dengan membandingkan dengan identitas
kelompok lain, misalnya laki-laki dengan perempuan, orang barat dengan orang timur
dsb.14 Kita juga tidak dapat mengasumsikan bahwa setiap kelompok dipersatukan
13
Tertulis pada halaman 81.
14
Tertulis pada halaman 83.
I Putu Adi Saputra, S861608009
oleh solidaritas: komunitas harus dibentuk dan dibangun ulang , tidak juga dapat
diasumsikan bahwa komunitas itu berperilaku seragam atau bebas dai konflik,
perjuangan kelas umpamanya
Kelas/stratifikasi sosial adalah pokok bahasan yang sering membuat
sejarawan tergoda untuk menggunakan istilah-istilah teknis seperti kasta, mobilitas
sosial dan sebagainya, tanpa menyadari persoalan-persoalan yang berhubungan
dengan istilah tersebut atau tanpa mengetahui perbedaan-perbedaan yang menurut
para teoritisi sosial tidak boleh diabaikan. Marx – kelas adalah suatu kelompok sosial
yang memiliki fungsi tertentu dalam proses produksi. Pemilik tanah, pemilik modal,
dan pekerja yang tidak memiliki apapun dua tangannya, tiga hal tersebut adalah tiga
kelas sosial besar yang sejajar dengan tiga faktor produksi dalam ilmu ekonomi
klasik, yakni tanah, tenaga kerja, modal. Perbedaan fungsi dari kelas-kelas ini
menimbulkan pertentangan kepentingan kepentingan yang memungkinkan
berbedanya pemikiran dan tindakan mereka.15 Penekanan pada aspek kesadaran perlu
dikembangkan lebih lanjut. Ini mengandung pengertian bahwa ‘kelas’ adalah sebuah
komunitas. Jadi, sejarah dalam perspektif ini merupakan cerita tentang pertentangan
kelas.
Weber - kelas didefinisikan sebagai kelompok atau orang yang peluang
hidupnya ditentukan oleh situasi pasar, dibedakan dari status atau kelompok status
yang nasibnya ditentukan oleh status atau kehormatan yang disandangnnya. Predikat
kelompok status ini biasanya melekat sejak lahir dan dikukuhkan secara resmi,
namun predikat tersebut tercemin dalam gaya hidup. Jika Marx tentang kelas adalah
dalam pengertian produksi, sedangkan Weber tentang estate (kelompok sosial) boleh
dikatakan terkait dengan konsumsi. Oleh karena itu, kedua model yang bersebrangan
ini sebaiknya dianggap saling melengkapi daripada saling bertentangan dalam
memandang masyarakat.
Seperti istilah ‘kelas’, mobilitas sosial adalah suatu istilah yang amat dikenal
oleh sejarawan, dan sejumlah monograf, konfrensi, dan edisi khusus jurnal telah
15
Tertulis pada halaman 86.
I Putu Adi Saputra, S861608009
diabdikan untuk tema yang satu ini. Ada dua masalah utama dalam mobilitas sosial –
perubahan laju mobilitas dan perubahan modus mobilitas. Salah satu contoh tentang
bahaya yang mengintai dibalik kajian mobilitas ini terdapat dalam studi tentang Cina
dimasa dinasti Ming dan Qing (1368-1911), yang menyatakan masyarakat Cina jauh
lebih bterbuka daripada masyarakat Eropa pada masa itu.16
Cara lain menaikkan status di awal Eropa modern adalah dengan meniru gaya
hidup kelompok yang status sosial lebih tinggi dan mengamalkan kosumsi yang
berlebihan. Para sejarawan sosial semakin banyak mengadopsi konsep konsumsi
berlebihan, yaitu sebuah konsep yang mewarnai sejumlah studi tentang kaum elite
abad ke-16 dan ke-17 di Inggris, Polandia, Italia dll. Kajian-kajian ini tidak sekedar
mengilustrasikan teori tersebut melainkan juga megelaborasikan secara lebih rinci
dengan melakukan sejumlah penyesuaian. Komsumsi berlebihan hanyalah strategi
suatu kelompok sosial untuk menunjukkan kelebihan dari orang lain. Aksi buang-
buang harta itu sebenarnya merupakan cara untuk mengubah modal ekonomis
menjadi modal politis, sosial, cultural, atau modal’simbolis’. Dengan kata lain, ia
lebih sebagai bentuk prilaku daripada sebuah strategi. Dalam hal ini, anggapan bahwa
konsumen cuma ingin memamerkan kekayaan dan status yang telah dikritik oleh
sosiologiwan inggris, Collin Campbell yang menyatakan bahwa alasan sesungguhnya
orang-orang membeli barang-barang mewah adalah untuk memperkuat citra diri
mereka menurut mereka sendiri.17
Patronase dapat didefinisikan sebagai sistem politik yang berlandaskan pada
hubungan pribadi antra pihak-pihak yang tidak setara, antra pemimpin (patron) dan
pengikutnya (klien). Masing pihak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan. Klien
menawarkan dukungan politik dan penghormatan kepada patron, yang ditampilkan
dalam berbagai bentuk simbolis (sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah, dan
16
Tertulis pada halaman 93-95.
17
Tertulis pada halaman 98-102.
I Putu Adi Saputra, S861608009
18
Tertulis pada halaman 106.
19
Tertulis pada halaman 112-113.
20
Tertulis pada halaman 125.
I Putu Adi Saputra, S861608009
24
Tertulis pada halaman 137-140.
25
Tertulis pada halaman 143
I Putu Adi Saputra, S861608009
untuk membacanya perlu kemampuan kritik literer merupakan sebuah tantanngan lain
bagi para sejarawan baru (new historiscists).26
Untuk membahas diskusi ini lebih mendalam, mungkin ada manfaatnya jika
diperkenalkan istilah ‘mitos’. Sejarawan sering memakai istilah ‘mitos’ untuk
merujuk kepada cerita yang tidak benar, yang membedakan cerita buatan atau
‘sejarah’. Malinowski - mitos adalah cerita yang mempunyai fungsi sosial, suatu
mitos katanya adalah suatu cerita tentang masa lampau yang berfungsi sebagai
‘piagam’ untuk masa kini. Definisi lain mitos ialah cerita yang berisi pesan moral.
Akan tetapi, akan lebih jelas jika mitos didefinisikan bukan dalam arti fungsinya
melainkan dalam arti perulangan bentuknya atau ‘rencana jahat’ (arti istilah mitos
dalam bahasa yunani). Dari kacamata sejarawan mungkin lebih melihat mitos sebagai
produk budaya yangb secara perlahan akan berubah dalam waktu yang lama.27
D. Masalah-Masalah Pokok
Pada bab ini ialah membahas tiga konflik intelektual, pertama pertentangan
ide tentang fungsi (struktur) di sisi lain dan ide tentang peranan manusia (aktor).
Kedua, keterangan antara pandangan yang melihat kebudayaan sebagai
‘suprastruktur’ dan yang melihat kebudayaan sebagai kekuatan aktif sejarah. Ketiga,
konflik antara pandangan bahwa sejarawan, sosiologiwan, antropologiwan, dan
menyajikan ‘fakta-fakta’ tentang masyarakat masa kini atau masa lampau dan
pendapat bahwa hasil karya meraka hanya sejenis fiksi. Tujuan dari pembahasan ini
ialah untuk mengangkat permasalahan dan mencari kemungkinan-kemungkinan,
bukan memberi tahu apa yang harus dilakukan. ‘Fungsi’, atau paling tidak dulunya
adalah konsep kunci dalam teori sosial. Fungsi melihat sebagai konsep yang aman
saja, yang artinya kira-kira kegunaan lembaga. Akan tetapi, apabila didefinisikan
dengan lebih tepat, ada sisi pentingg yang membuat konsep ini lebih menarik
sekaligus bahaya. Fungsi tiap-tiap bagian struktur, demikian kata definisi adalah
26
Tertulis pada halaman 148-150.
27
Tertulis pada halaman 152-154.
I Putu Adi Saputra, S861608009
28
Tertulis pada halaman 156.
29
Tertulis pada halaman 163.
I Putu Adi Saputra, S861608009
dilakukan oleh sejarawan yakni esai Francis Hartog tentang Herodotus mengenai
studi tentang karya sejarawan lain.30
Sampai saat ini, peran psikologi agak marjinal dalam pembahasan buku in.
Alasannya terlatak pada relasi antara psikologi dan sejarah. Pada dasa warsa 1950-an
di Amerikaberedar beredar istilah baru untuk menyebutkan suatu pendekatan yang
mengasyikan yakni psikosejarah (psichohistory) kajianya terhadap Luther Muda yang
dilakukan analis kejiawaan Erik Erikson menimbulkan perdebatan hangat.
Bagaimanapun, proses pendekatan itu tidak berjalan lama. Para antropologiwan
condong lebih suka menggunakan gagasan kebudayaan yang lebih bersifat fleksibel.
Teori psikologi bisa bermanfaat bagi para sejarawan paling tidak melalui tiga cara.
Pertama, sejarawan terbebas dari asumsi yang hanya berdasarkan akal sehat tentan
sifat manusi, asumsi-asumsi sebenaranya menjadi kuat karena tidak diakui, jika
bukan disadari, ketepatanya maknanya dengan asumsi fruedian. Kedua, teori
psikologiwan memberikan sumbangan terhadap proses kritik sumber, agar buku
harian dapat digunakan secara tepat sebagai sumber bukti sejarah. Sejarawan lisan
juga mulai memikirkan adanya unsur fantasi dalam keterang lisan yang mendasarkan
fantasi. Ketiga, adanya sumbangan para psikologiwan dalam perdebatan mengenai
hubungan antara individu dan masyarakat. Sebagai contoh, psikologiwan telah
memberi perhatian pada psikologi pengikut di samping psikologi pemimpin misal
kebutuhan figur seorang ayah.31
Pada abad ke-19, kebudayaan adalah sebuah konsep yang didenifinisikan
beragam. Umumnya istilah kebudayaan digunakan untuk senirupa, filsafat, ilmu
alam, dan music yang menunjukkan semakin besarnya kesadaran bahwa seni dan
ilmu pengetahuan dibentuk oleh lingkungan sosial. Istilah kebudayaan seemakin
meluas karena semakin meluasnya perhatian sejarawan, sosiologiwan, kritisi sastra,
30
Tertulis pada halaman 163-166.
31
Tertulis pada halaman 172.
I Putu Adi Saputra, S861608009
dan yang lain. Semakin luasnya makna kebudayaan, semakin meningkat pula
kecendrungan yang dianggap kebudayaan sebagai sesuatu yang aktif.32
32
Tertulis pada halaman 178.
33
Terulis pada halaman 195.
I Putu Adi Saputra, S861608009
Penutup
Secara umum, Pada buku karangan Peter Burke yang berjudul ”SEJARAH DAN
TEORI SOSIAL” ini cukup banyak menghadirkan diskusi yang sekiranya tajam untuk
diperhatikan dan nampak menjelaskan secara runut apa yang menjadi pembahasan.
Peter menjelaskan beberapa kajian teori dari para ahli atau mencoba memberikan
penawaran kepada pembaca mengetahui teori-teori dan apa kegunaan dari masing-
masing teori sehingga dapat menolong dalam memecahkan suatu permasalahan.
Tidak hanya itu, tetapi banyaknya tokoh teoritisi khususnya para sejarawan lewat
buku ini memberikan cara pandang baru terhadap sejarah, membuka cakrawala
pengetahuan dan menciptakan atmosfer pemikiran dengan wawasan dan apreasi
terhadap sejarah yang dapat disandingkan dengan disiplin ilmu dan bidang ilmu
lainnya.
Adapun kelemahan yang dimiliki buku ini, yakni dari segi bahasa yang
digunakan dalam penulisannya, karena buku ini merupakan buku terjemahan
sehingga agak sulit untuk memahami dari kalimat per kalimat. Tentunya hal tersebut
menjadikan pembaca agak lama untuk memahami buku ini.
34
Tertulis pada halaman 223-250.