Anda di halaman 1dari 15

I Putu Adi Saputra, S861608009

IDENTITAS BUKU
Judul : Sejarah dan Teori Sosial
Penulis : Peter Burke
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor; Jakarta
Tahun terbit : 2011
Jumlah halaman : xvi + 304 : 21 cm
Judul asli : Histoty and Social Theory

Rangkuman Buku
A. Teoritisi dan Sejarawan
Pembahasan di bab pertama ini, kita disuguhkan mengenai pertentangan teori
adanya konflik antara sejarawan dengan sosiologiwan tentang penggunaan teori sosial
seperti ‘dialog si tuli’.1 Walaupun memiliki obyek yang sama dalam penelitiannya,
tetapi dalam penggunaan teori yang berbeda tentu akan memunculkan perspektif yang
berbeda dan bila terjadi konflik hebat dalam metode, itu hanya akan menyebabkan
terpecahnya profesi sosial ke dalam dua kubu yakni ‘pro-sejarahwan’ dan ‘pro-
teoritisi’.2 Namun untuk mengetahui perbedaan suatu teori hendaknya kita tidak
hanya sekedar mengetahui permukaan tentang suatu teori, melainkan perlu juga
mengenali mekanisme dan struktur dari teori tersebut. Dalam kehidupan yang tidak
jelasnya garis-garis pembatas disiplin dan terbukanya arah intelektual menjadi era
yang mengasyikan tetapi cendrung juga akan menimbulkan perpecahan akibat
terjadinya perdebatan oleh para ahli teoritisi dengan sejarahwan yang sejatinya
mereka saling membutuhkan antara teoritisi dengan sejarahwan.

B. Model dan Metode


Pada teori sosial, suatu pandangan sosiologi komparatif oleh Durkheim yang
menekankan pada keselarasan dan eksperimen tak langsung. Dalam pandangan ini,
Durkeim mencoba memberikan penawaran dengan membandingkan secara struktur
1
Tertulis pada halaman 13.
2
Tertulis pada halaman 17.
I Putu Adi Saputra, S861608009

dan mendasar pada masyarakat.3 Namun dari perspektif sejarahwan pandangan


komparasi ini cendrung ditolak karena dalam sejarah mengamati hal-hal yang khusus,
unik dan tidak bisa di ulang.
Durkheim dan Karl Marx juga memberikan dua model yang bertolak belakan
mengenai masyarakat, yakni; - model ‘konsensual’ oleh Durkhim yang menekankan
pada ikatan, solidaritas dan kepaduan sosial dan – model ‘konfliktual’ oleh Marx
yang lebih menekankan pada kontradiksi dan konflik sosisal, akan tetapi sejarawan
tidak punya urusan dengan model tersebut karena tugas dari sejarahwan tidak
membedah peristiwa secara umum.4 Penolakan dengan penggunaan model tersebut
disebabkan oleh kecurigaan sejarahwan karena penggunaan model akan membuat
mereka tidak memperhatikan perubahan-perubahan dari waktu ke waktu.
Pada karya tulis Webber yang berjudul ‘puritanisme’ mendapatkan kritikan
karena mengabaikan perubahan, seolah-olah sejak zaman Jean Calvin pada abad 16
ini sama saja sejak zaman Benjamin Franklin di abad ke – 18. 5 Hal ini menunjukkan
kedilemaan seorang sejarahwan tentang penggunaan model yang membuat mereka
tidak memperatikan perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Akan
tetapi Burke menanggapi berbeda menegenai hal tersebut, merunutnya menggunakan
model tanpa mengakui penggunaannya atau tidak menyadari terkadang menyebabkan
kekeliruan pemikiriran dalam menafsirkan suatu permasalahan atau perubahan-
perubahan yang terjadi.
Pada penjelasannya ini menyinggung tentang metode kuantitatif yang masih
baru dan masih kontroversial dengan cara pandang metode kuantitatif yang meyakini
bahwa metode ini bisa digunakan untuk mengkaji prilaku dan sikap manusia. Metode
kuantitatif tidak lepas kadi kata ‘kontroversial’, di tahun 1950-an dan 1960-an
mendapat kritikan pendekatan-pendekata lain sebagai ‘sekedar impresionistik’ dan

3
Tertulis pada halaman 31.
4
Tertulis pada halaman 40-41.
5
Tertulis pada halaman 45.
I Putu Adi Saputra, S861608009

mengklaim bahwa sejarahwan tidak memnpunyai pilihan lain kecuali membuat


program komputer.
Pemikiran seperti ini keakan-akan mendogma sejarahwan yang tidak bisa
mendapatkan data selain menggunakan metode kuantitatif dan hal ini seiring telah
berubah dengan semakin terlihatnya keterbatasan-keterbatasan metode kuantitatif
karena sumber data tidak seakurat dan seobyektiktif yang diasumsikan dan kesulitan
untuk membedakan data keras (bisa diukur) dengan data lunak (tidak bisa diukur). 6
Walaupun banyak hal yang menentang penggunaan metode kuantitatif dalam kajian
prilaku dan sikap manusia, namun metode ini telah menjadi sebuah model yang
diminati para sosiologiwan dan sejarawan.7

C. Konsep-Konsep Pokok

Pada bab ini akan membahas peralatan konseptual ciptaan teoritisi sosial yang
telah atau mungkin sudah digunakan oleh para sejarawan, sebagian dari konsep-kosep
tersebut seperti; feodalisme, kapitalisme, kelas, mobilitas sosial dan yang lainnya.
Namun sejarawan sering menuduh bahwa bahasa atau tulisan teoritisi sosial cuma
berisi ‘jargon’ yang susah untuk dimengerti.8 Akan tetapi dalam penggunaan makna
konsep tersebut seyogyanya tidaklah menggantikan, melainkan melengkapi model-
model rakyat itu dengan yang modern dalam memahami peristiwa dan memiliki cara
pandang yang lebih global.
Burke mengenai pembahasan ini juga menawarkan semacam pengantar
peristilahan atau kata kiasan yang cocok digunakan untuk sebagian dari kegagalan
yang paling umum dalam analisis sejarah. Namun Herbert Spencer mencela, dengan
mengatakan bahwa sejarawan hanya tukang angkat batu dari seorang sosiologiwan
untuk membuat bangunan. Tentu hal ini menjadi pertanyaan atas argumennya
tersebut, karena dalam sisi yang lainnya sejarawan memang punya sesuatu untuk

6
Tertulis pada halaman 52.
7
Tertulis pada halaman 55.
8
Tertulis pada halaman 63.
I Putu Adi Saputra, S861608009

ditawarkan sebagai imbalannya.9 Burke juga mengatakan banyak yang bisa didapat
oleh sejarawan dengan memakai konsep ‘peranan’ secara lebih luas, lebih tepat dan
lebih sistematik, sehingga mendorong sejarawan untuk lebih bersungguh-sungguh
menkaji bentuk-bentuk prilaku yang telah umum.10
Dalam buku ini tentang seks dan gender , Burke juga menjelaskan pembagian
antara dua peranan sosial bahwa tidak hanya laki-laki, namun juga perlu juga
memasukkan peranan wanita dalam penulisan sejarah. Pada sudut pandang yang
berdeda, ternyata feminisme telah ikut menyumbang secara tidak langsung penulisan
sejarah generasi masa lampau. Sama seperti ‘sejarah dari kalangan bawah’, sejarah
perempuan memberikan perspektif baru tentang masa lampau, yang sampai sekarang
ini konsekuensinya belum dipikirkan secara mendalam.11 Dengan gerakan perempuan
dan munculnya teori-teori yang terkait itu menjadikan suatu pijakan baik sejarawan
perempuan atau laki-laki untuk lebih kritis mempertanyakan tentang masa lalu.
Proses kontruksi gender secara sosial atau kulutral juga merupakan objek kajian
kesejarahan. Begitu juga dengan pnedekatan terhadap seks, berkat adanya
konseptualisasi ulang yang berani oleh Michael Foucault yang menyatakan bahwa
homoseksualitas dan tentunya seksualitas adalah temuan modern.
Keluarga dan kekerabatan, contoh yang paling jelas mengenai lembaga yang
terdiri dari sekumpulan peranan yang saling tergantung dan saling melengkapi.
Sejarah keluarga adalah salah satu bidang kajian kesejarahan yang tumbuh dengan
cepat. Pendekatan rumah tangga ini tepat dan relative mudah untuk
didokumentasikan, tetapi pendekatan ini memang ada bahayanya yaitu yang pertama
perbedaan antara rumah tangga yang dilukiskan sebagai keluarga majemuk, keluarga
besar, atau keluarga ringkas; yang kedua terhadap pendekatan yang menggunakan
anggota dan komposisi rumah tangga sebagai indeks struktur keluarga menghadapkan
kita kembali kepada masalah data keras dan data lunak.12 Yang terpenting dari semua
9
Tertulis pada halaman 65-66.
10
Tertulis pada halaman 68.
11
Tertulis pada halaman 73.
12
Tertulis pada halaman 77-79.
I Putu Adi Saputra, S861608009

itu, rumah tangga adalah sebuah ‘komunitas moral’, dalam arti keluarga merupakan
sebuah kelompok yang menjasi acuan identitas anggotanya dan sebagai wadah
keterlibatan emosional mereka. Keberagaman fungsi ini menimbulkan masalah, sebab
belum tentu fungsi-fungsi ekonomi, emosional, tempat tinggal, dan sebagainya itu
berjalan seiring. Karena itu, indeks yang didasarkan pada berdampingan tempat
tinggal (co-residence) mungkin tidak dapat memberikan informasi yang sangat kita
butuhkan untuk mengetahui struktur keluarga.
Keluarga digambarkan sebagai suatu ‘komunitas moral’pada bagian
sebelumnya. Konsep komunitas telah memainkan peranan penting dalam penulisan
sejarah pada beberapa tahun terakhir. Sebagaimana telah yang disebutkan oleh Le
Roy Lodurie dalam Montaillou (1975) yang memakai pendekatan sosiologi atau
antropologi seperti pada sejumlah studi terdahulu yang menekankan perbedaan
keagamaan dan politik di antara plaine dan bocage, dengan kata lain, antara daerah-
daerah yang bagus untuk ditanami dan daerah padang rumput berhutan di sebelah
barat daya prancis.13
Kajian-kajian terbaru mengenai ritual dan symbol mungkin membantu
sejarawan kota menjawab tantangan ini, seperti yang dilakukan oleh antropologiwan
Victor Turner yang mengembangkan gagasan Durkheim tentang acara-acara ‘pesta
buih kreatif’ bagi pembaharuan sosial, menciptakan istilah ‘communitas’ untuk
menyebutkan solidaritas sosial yang spontan dan tidak terstruktur. Istilah lain yang
dihasilkan oleh ritual-ritual ini adalah ‘identitas’ kolektif, sebuah kondep yang
semakin dikenal dalam beberapa disiplin ilmu. Penbentukan identitas nasional
khususnya telah mendorong munculnya perwujudan identitas dengan karya baru
hebat berupa lagu kebangsaan, bendera Negara, dan upacara-upacara nasional. Cara
mendifinisikan identitas suatu kelompok dengan membandingkan dengan identitas
kelompok lain, misalnya laki-laki dengan perempuan, orang barat dengan orang timur
dsb.14 Kita juga tidak dapat mengasumsikan bahwa setiap kelompok dipersatukan

13
Tertulis pada halaman 81.
14
Tertulis pada halaman 83.
I Putu Adi Saputra, S861608009

oleh solidaritas: komunitas harus dibentuk dan dibangun ulang , tidak juga dapat
diasumsikan bahwa komunitas itu berperilaku seragam atau bebas dai konflik,
perjuangan kelas umpamanya
Kelas/stratifikasi sosial adalah pokok bahasan yang sering membuat
sejarawan tergoda untuk menggunakan istilah-istilah teknis seperti kasta, mobilitas
sosial dan sebagainya, tanpa menyadari persoalan-persoalan yang berhubungan
dengan istilah tersebut atau tanpa mengetahui perbedaan-perbedaan yang menurut
para teoritisi sosial tidak boleh diabaikan. Marx – kelas adalah suatu kelompok sosial
yang memiliki fungsi tertentu dalam proses produksi. Pemilik tanah, pemilik modal,
dan pekerja yang tidak memiliki apapun dua tangannya, tiga hal tersebut adalah tiga
kelas sosial besar yang sejajar dengan tiga faktor produksi dalam ilmu ekonomi
klasik, yakni tanah, tenaga kerja, modal. Perbedaan fungsi dari kelas-kelas ini
menimbulkan pertentangan kepentingan kepentingan yang memungkinkan
berbedanya pemikiran dan tindakan mereka.15 Penekanan pada aspek kesadaran perlu
dikembangkan lebih lanjut. Ini mengandung pengertian bahwa ‘kelas’ adalah sebuah
komunitas. Jadi, sejarah dalam perspektif ini merupakan cerita tentang pertentangan
kelas.
Weber - kelas didefinisikan sebagai kelompok atau orang yang peluang
hidupnya ditentukan oleh situasi pasar, dibedakan dari status atau kelompok status
yang nasibnya ditentukan oleh status atau kehormatan yang disandangnnya. Predikat
kelompok status ini biasanya melekat sejak lahir dan dikukuhkan secara resmi,
namun predikat tersebut tercemin dalam gaya hidup. Jika Marx tentang kelas adalah
dalam pengertian produksi, sedangkan Weber tentang estate (kelompok sosial) boleh
dikatakan terkait dengan konsumsi. Oleh karena itu, kedua model yang bersebrangan
ini sebaiknya dianggap saling melengkapi daripada saling bertentangan dalam
memandang masyarakat.
Seperti istilah ‘kelas’, mobilitas sosial adalah suatu istilah yang amat dikenal
oleh sejarawan, dan sejumlah monograf, konfrensi, dan edisi khusus jurnal telah
15
Tertulis pada halaman 86.
I Putu Adi Saputra, S861608009

diabdikan untuk tema yang satu ini. Ada dua masalah utama dalam mobilitas sosial –
perubahan laju mobilitas dan perubahan modus mobilitas. Salah satu contoh tentang
bahaya yang mengintai dibalik kajian mobilitas ini terdapat dalam studi tentang Cina
dimasa dinasti Ming dan Qing (1368-1911), yang menyatakan masyarakat Cina jauh
lebih bterbuka daripada masyarakat Eropa pada masa itu.16
Cara lain menaikkan status di awal Eropa modern adalah dengan meniru gaya
hidup kelompok yang status sosial lebih tinggi dan mengamalkan kosumsi yang
berlebihan. Para sejarawan sosial semakin banyak mengadopsi konsep konsumsi
berlebihan, yaitu sebuah konsep yang mewarnai sejumlah studi tentang kaum elite
abad ke-16 dan ke-17 di Inggris, Polandia, Italia dll. Kajian-kajian ini tidak sekedar
mengilustrasikan teori tersebut melainkan juga megelaborasikan secara lebih rinci
dengan melakukan sejumlah penyesuaian. Komsumsi berlebihan hanyalah strategi
suatu kelompok sosial untuk menunjukkan kelebihan dari orang lain. Aksi buang-
buang harta itu sebenarnya merupakan cara untuk mengubah modal ekonomis
menjadi modal politis, sosial, cultural, atau modal’simbolis’. Dengan kata lain, ia
lebih sebagai bentuk prilaku daripada sebuah strategi. Dalam hal ini, anggapan bahwa
konsumen cuma ingin memamerkan kekayaan dan status yang telah dikritik oleh
sosiologiwan inggris, Collin Campbell yang menyatakan bahwa alasan sesungguhnya
orang-orang membeli barang-barang mewah adalah untuk memperkuat citra diri
mereka menurut mereka sendiri.17
Patronase dapat didefinisikan sebagai sistem politik yang berlandaskan pada
hubungan pribadi antra pihak-pihak yang tidak setara, antra pemimpin (patron) dan
pengikutnya (klien). Masing pihak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan. Klien
menawarkan dukungan politik dan penghormatan kepada patron, yang ditampilkan
dalam berbagai bentuk simbolis (sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah, dan

16
Tertulis pada halaman 93-95.
17
Tertulis pada halaman 98-102.
I Putu Adi Saputra, S861608009

lain-lain). Disisi lain patron menawarkan kebaikan pekerjaan, dan perlindungan


kepada kliennya, begitulah cara mereka mengubah kekayaan menjadi kekuasaan.18
Pembahasan tentang patronase dan korupsi mengiring kita ke persoalan
kekuasaan. ‘Kekuasaan’ adalah istilah yang sangat dikenal dalam bahasa awam,
paling tidak di Barat, sehingga tak ada masalah dengan istilah ini. Namun pengertian
kekuasaan kebudayaan ini berbeda tentang kekuasaan di kebuyaan-kebuyaan seperti
Jawa yang memandang kekuasaan sebagai sebentuk kekuasaan kreatif yang dapat
diperebutkan oleh pihak-pihak yang bersaing. Apakah dipandang energy atau bukan,
kekuasaan adalah suatu konsep yang sering dijelmakan secara konkret. Mudah saja
mengaasumsiakan bahwa seseorang, suatu kelompok atau lembaga dalam masyarakat
tertentu memiliki kekuasaan sementara orang-orang lain tidak, misalnya raja kelas,
pengusaha, atau elite politik. Seperti yang pernah ditekankan oleh ilmuwan politik
yang bernama Harold Lasswell, dengan gayanya yang tajam menyatakan bahwa
‘siapa yang mendapat paling banyak dialah ‘elite’, lainnya adalah massa’.
Sejarawanpun sering berasumsi seperti ini.19
Daerah pinggiran adalah konsep yang relatif baru muncul sebagi akibat
adanya perdebatan di antara para ahli ekonomi, seperti Raul Presbich, Paul baran dan
Andre gunder Frank pada tahun 1950an dan 1960an. Pada F. J. Tunner, pendekatan
yang lebih positif dan kontruktif terhadap pinggiran mungkin dengan
menganalisisnya sebagai daerah yang menginginkan kebebasan dan kesetaraan.
Tampaknya alasan yang kuat untuk menganalisis hubungan antara pusat dan
pinggiran dalam hal budaya serta ekonomi dan politik.20
Salah satu persoalan yang timbul dari penggunaan kedua konsep ‘pusat’ dan
‘pinggiran merupakan suatu masalah relasi kedua konsep, apakah hubungannya
saling melengkapi atau berlawanan? Masalah yang sama juga muncul penggunaan
istilah ‘budaya elit’ dan ‘budaya populer’ dengan istilah ‘budaya dominan’ dan

18
Tertulis pada halaman 106.
19
Tertulis pada halaman 112-113.
20
Tertulis pada halaman 125.
I Putu Adi Saputra, S861608009

‘suborninat’, untuk menganalisis relasi keduanya dalam pengertian ‘kontrol sosial’


atau ‘hegemoni budaya’. Kontrol sosial adalah konsep tradisional sosiologi yang
menggambarkan tentang kekuasaan yang diterapkan masyarakat atas individu-
individu melalui hukum, pendidikan, agama dan lain-lain.21
Kadang-kadang, penentangan (resistensi) sehari-hari berubah menjadi
perlawanan terbuka atau semacam gerakan sosial lain. Istilah ini muncul pada tahun
1950-an di kalangan sosiologiwan Amerika yang salah satunya pertama kali memakai
istilah ini adalah Eric Hobsbawn dalam dbukunya yang berjudul Primitive Rebel
(Pemberontakan Primitif) suatu kajian tentang bentuk-bentuk Kuno Gerakan Sosial
abad ke-19 dan ke-20.22 Organisasi formal telah lama menjadi objek kajian para
sosiologiwan dan sejarawan. Telah banyak pula dilakukan penelitian tentang rakyat
banyak dan kerusuhan sejak ditemukannya sejarah berasal dari kalangan bawah.
Sebaliknya gerakan yang hanya berlangsung beberapa jam dan tidak terorganisir
secara permanen sedikit terabaikan oleh sejarawan, bisa jadi karena tidak memiliki
model yang sesuai. Gerakan-gerakan ini pada dasarnya berubah-ubah dan informal
sifatnya dan bercirikan komunitas.
Persoalan politik berupa dominasi dan pertentangan (resistensi) membawa
kita menoleh kembali ke aspek kebudayaan, persoalan etos, mentalitas atau ideologi.
Orang bisa saja mengklaim bahwa sejarah sosial tidak mungkin ditulis tanpa
mengenal tentang sejarah ide-ide, dengan catatan bahwa yang dimaksud oleh
pendapat ini adalah tentang sejarah ide masing orang, bukan sejarah ide pemikir
paling orisinil pada zamannya. Jika para sejarawan ingin setipa orang yang hidup di
suatu masyarakat tertentu, seabaiknya meraka mengenal betul konsep yang
berlawanan yakni mentalitas dan ideologi.23
Sejarah mentalitas pada dasarnya adalah pendekatan aliran Durkheim
terhadap ide-ide, kendati Durkheim sendiri lebih suka memakai istilah represensi
21
Tertulis pada halaman 126
22
Tertulis pada halam 132.
23
Tertulis pada halaman 136.
I Putu Adi Saputra, S861608009

kolektif. Pendekatan ini berbeda dengan sejarah intelektual konvesional, setidaknya


dalam tiga bentuk. Ada penekanan yang lebih kepada sikap kolektif keyimbang sikap
individual, kedua lebih kepada asumsi-asumsi tersirat dari pada teori-teori eksplisit,
yakni akal sehat atau apa yang dianggap sebagai akal sehat dalam kebudayaan
tertentu. Ketiga kepada struktur sisitem keyakinan, termasuk juag perhatian terhadap
kategori-kategori yang dipakai untik menafsirkan pengalaman serta metode
pembuktian dan persuasi. Sejarah mentalitas telah membuktikan diri sebagai sebuah
pendekatan yang sangat bermanfaat terhadap masa lalu dan dalam buku Bloch adalah
salah satu mahakarya yang menggunakan genre ini.24
Ideolgi adalah istilah yang memiliki banyak definisi, sebagian orang memakai
istilah ini dalam arti pejoratif (meremehkan) dan sebagian memperlakukan netral,
sabagai pandangan terhadap dunia. Perbedaan yang bagus antara kedua konsep
ideologi itu dikemukakan oleh yang Mannheim. Konsep pertama yang dinamakan
konsepsi total ideologin, mengisyaratkan adanya asosiasi antara keyakinan atau
pandangan terhadap dunia dan kelompok sosial. Konsep kedua adalah pandangan
yang menganggap bahwa ide-ide atau reprensetasi yang bisa digunakan untuk
mempertahankan tatanan sosial atau politik tertentu. Relasi atau pertentangan antara
mentalitas dengan idiologi mungkin memerlukan klarifikasi.25

Dell Hymes - etnografi komunikasi adalah memasukkan ‘saluran’ (dengan


kata lain media). Ahlli teori media yang bernama Marshall McLuhan membuat suatu
pernyataan propokatif bahwa ‘media itu sendiri adalah pesan’. Tetapi agak masuk
akal jika media komunikasi itu lisan, tulisan, atau gambar adalah bagian dari pesan,
walaupun beigitu klaim itu salah satu harus dipertimbangkan para sejarawan
menelaah sepenggal bukti. Meski kebangkitan sejarah lisan sudah ada sejak generasi
lampau, baru akhir-akhir ini saja para sejarawan memberi perhatian serius terhadap
tradisi lisan sebagai bentuk seni. Proposi bahwa sebuah dokumen adalah teks yang

24
Tertulis pada halaman 137-140.
25
Tertulis pada halaman 143
I Putu Adi Saputra, S861608009

untuk membacanya perlu kemampuan kritik literer merupakan sebuah tantanngan lain
bagi para sejarawan baru (new historiscists).26
Untuk membahas diskusi ini lebih mendalam, mungkin ada manfaatnya jika
diperkenalkan istilah ‘mitos’. Sejarawan sering memakai istilah ‘mitos’ untuk
merujuk kepada cerita yang tidak benar, yang membedakan cerita buatan atau
‘sejarah’. Malinowski - mitos adalah cerita yang mempunyai fungsi sosial, suatu
mitos katanya adalah suatu cerita tentang masa lampau yang berfungsi sebagai
‘piagam’ untuk masa kini. Definisi lain mitos ialah cerita yang berisi pesan moral.
Akan tetapi, akan lebih jelas jika mitos didefinisikan bukan dalam arti fungsinya
melainkan dalam arti perulangan bentuknya atau ‘rencana jahat’ (arti istilah mitos
dalam bahasa yunani). Dari kacamata sejarawan mungkin lebih melihat mitos sebagai
produk budaya yangb secara perlahan akan berubah dalam waktu yang lama.27

D. Masalah-Masalah Pokok
Pada bab ini ialah membahas tiga konflik intelektual, pertama pertentangan
ide tentang fungsi (struktur) di sisi lain dan ide tentang peranan manusia (aktor).
Kedua, keterangan antara pandangan yang melihat kebudayaan sebagai
‘suprastruktur’ dan yang melihat kebudayaan sebagai kekuatan aktif sejarah. Ketiga,
konflik antara pandangan bahwa sejarawan, sosiologiwan, antropologiwan, dan
menyajikan ‘fakta-fakta’ tentang masyarakat masa kini atau masa lampau dan
pendapat bahwa hasil karya meraka hanya sejenis fiksi. Tujuan dari pembahasan ini
ialah untuk mengangkat permasalahan dan mencari kemungkinan-kemungkinan,
bukan memberi tahu apa yang harus dilakukan. ‘Fungsi’, atau paling tidak dulunya
adalah konsep kunci dalam teori sosial. Fungsi melihat sebagai konsep yang aman
saja, yang artinya kira-kira kegunaan lembaga. Akan tetapi, apabila didefinisikan
dengan lebih tepat, ada sisi pentingg yang membuat konsep ini lebih menarik
sekaligus bahaya. Fungsi tiap-tiap bagian struktur, demikian kata definisi adalah

26
Tertulis pada halaman 148-150.
27
Tertulis pada halaman 152-154.
I Putu Adi Saputra, S861608009

memelihara keutuhan struktur. ‘Memelihara’ berarti menjaga ‘keseimbangan’


struktur (dalam analaogi tang terkenal, keseimbangan antara dunia alam, mulai dari
mekanika sampai biologi, dan dunia masyarakat). Yang membuat menarik sekaligus
berbahaya ialah bahwa teori tidak menggambarkan (deskriptif) tetapi juga
menjelaskan (eksplanatori). Keberadaan suatu adat kebiasaan atau pranata tertentu,
menurut para fungsionalis adalah kerena kontribusi bagi keseimbangan sosial.28
Kesimpulannya, konsep ‘fungsi’ adalah sebuah alat yang sama-sama
bermanfaat bagi para sejarawan dan teoritis, asalkan konsep itu tidak dipertumpul
dengan penggunaan yang hantam kromo. Konsep ini memang dapat membuat
terabaikannya perubahan sosial, konflik sosial, dan motif-motif individu, namun hal
itu dapat dihindari. Tidak perlu mengangap bahwa setiap pranata pada suatu
masyarakat tertentu harus memiliki fungsi positif, yang tanpa biaya (disfungsi).
Tidak perlu pula beranggapan bahwa pranata tertentu harus ada agar fungsi tertentu
dapat berjalan, karana pada masyarakat atau periode yang berbed, pranata-pranata
yang berbeda dapat saja berperan sebagai ekuivalen, analog, atau alternatif-alternatif
fungsional.29
Analisis funsional memberi perhatian pada ‘struktur’, bukan orang. Dalam
pelaksanaanya berbagai pendekatan terhadap masyarakat menggunakan konsepsi
struktu yang tidak sama ada tiga perbedaan. Pertama pendekatan Marxian, di mana
termilogi arsitektur yakni dasar dan suprastruktur adalah intinya, dan dasar atau
infrastruktur itu di pahami menurut konteks ekonomi. Kedua pendekatan struktural
fungsionalis, di mana konsep struktur secara lebih umum digunakan untuk merujuk
pada suatu kopleks pranata keluarga, negara, sistem hukum, dan lain. Ketiga disebut
pendekatan ‘strukturalis’ mulai dari Claude Levi-Strauss, Ronald Barhes hingga
Michael Foucault. Salah satu analisis struktural paling mengesankan yang pernah

28
Tertulis pada halaman 156.
29
Tertulis pada halaman 163.
I Putu Adi Saputra, S861608009

dilakukan oleh sejarawan yakni esai Francis Hartog tentang Herodotus mengenai
studi tentang karya sejarawan lain.30
Sampai saat ini, peran psikologi agak marjinal dalam pembahasan buku in.
Alasannya terlatak pada relasi antara psikologi dan sejarah. Pada dasa warsa 1950-an
di Amerikaberedar beredar istilah baru untuk menyebutkan suatu pendekatan yang
mengasyikan yakni psikosejarah (psichohistory) kajianya terhadap Luther Muda yang
dilakukan analis kejiawaan Erik Erikson menimbulkan perdebatan hangat.
Bagaimanapun, proses pendekatan itu tidak berjalan lama. Para antropologiwan
condong lebih suka menggunakan gagasan kebudayaan yang lebih bersifat fleksibel.
Teori psikologi bisa bermanfaat bagi para sejarawan paling tidak melalui tiga cara.
Pertama, sejarawan terbebas dari asumsi yang hanya berdasarkan akal sehat tentan
sifat manusi, asumsi-asumsi sebenaranya menjadi kuat karena tidak diakui, jika
bukan disadari, ketepatanya maknanya dengan asumsi fruedian. Kedua, teori
psikologiwan memberikan sumbangan terhadap proses kritik sumber, agar buku
harian dapat digunakan secara tepat sebagai sumber bukti sejarah. Sejarawan lisan
juga mulai memikirkan adanya unsur fantasi dalam keterang lisan yang mendasarkan
fantasi. Ketiga, adanya sumbangan para psikologiwan dalam perdebatan mengenai
hubungan antara individu dan masyarakat. Sebagai contoh, psikologiwan telah
memberi perhatian pada psikologi pengikut di samping psikologi pemimpin misal
kebutuhan figur seorang ayah.31
Pada abad ke-19, kebudayaan adalah sebuah konsep yang didenifinisikan
beragam. Umumnya istilah kebudayaan digunakan untuk senirupa, filsafat, ilmu
alam, dan music yang menunjukkan semakin besarnya kesadaran bahwa seni dan
ilmu pengetahuan dibentuk oleh lingkungan sosial. Istilah kebudayaan seemakin
meluas karena semakin meluasnya perhatian sejarawan, sosiologiwan, kritisi sastra,

30
Tertulis pada halaman 163-166.
31
Tertulis pada halaman 172.
I Putu Adi Saputra, S861608009

dan yang lain. Semakin luasnya makna kebudayaan, semakin meningkat pula
kecendrungan yang dianggap kebudayaan sebagai sesuatu yang aktif.32

E. Teori Sosial dan Perubahan Sosial


Pada penjelasan-penjelasan sebelumnya telah mengupas banyak kasus,
pendekatan-pendekatan tertentu mulai dari fungsionalisme sampai strukturalisme
yang banyak mendapatkan kritikan tanpa memperhitungkan perubahan. Burke dalam
bab ini akan mendekati permasalahan dari dua arah yang berlawanan, pertama
melakukan deduksi dari umum ke khusus untuk megetahui sejauh mana model-model
perubahan tersebut cocok disandingkan dengan sejarah dan dalam segi yang
bagaimana perlu dibenahi.33 Konsepsi tentang perubahan sacara tidak langsung terkait
dengan konsepsi kontinuitas. Selama ini kontinuitas digambarkan hal yang negatif.
Contohnya kepedulian Elias terhadap peradaban makin jelas menyiratkan pentingnya
melatih anak sebagai bagian dari peradaban. Mengajari anak penting artinya bagi
terciptanya reproduksi kultural dan mungkin saran perubahn yang efektf, ini
merupakan gambaran yang lebih pasitif. Campur tangan dari luar ini tampak jelas
pada kasus-kasus yang dibahas Wachtel dan Sahlins. Akan tetapi, sebagaimana telah
kita lihat penjelasan mereka tentang perubahan di Peru dan Hawaii tidak hanya dari
perspektif eksternal saja, sebaliknya kedua penulis menekankan hubungan atau
kesesuain antara faktor dalam (endogen) dan faktor luar (eksogen), sama dengan teori
resepsi. Kita harap model-model sosial mendatang akan membahas juga faktor-faktor
yang menyebabkan sebagian masyarakat terbuka terhadap pengaruh luar, sedangkan
sebagian bertahan dari pengeruh tersebut. Hubungan antara kejadian dan struktur
telah disorot dalam teori sosial masa kini, terutama dalm bahasa Anthony Giddens
tentang struktursi. Fungsi-fungsi destruktif dan kreatif kejadian lebih ditekankan dala
sebuah kajian tentang petani pada mesa Revolusi Perancis, Le Roy Ladurie

32
Tertulis pada halaman 178.
33
Terulis pada halaman 195.
I Putu Adi Saputra, S861608009

menyebutkan kemungkinan terjadinya peristiwa hanya sebagai ‘katalis’ atau


‘matriks-peristiwa’. Mungkin boleh dikatakan bahwa cirri-ciri seorang sejarawan
yang baik ialah ia yang terbuka terhadap ide-ide baru dari manapun datangnya, dan
mampu mengadaptasikan untuk keperluan sendiri serta mampu pula menemukan cara
untuk menguji kesalahannya.34

Penutup
Secara umum, Pada buku karangan Peter Burke yang berjudul ”SEJARAH DAN
TEORI SOSIAL” ini cukup banyak menghadirkan diskusi yang sekiranya tajam untuk
diperhatikan dan nampak menjelaskan secara runut apa yang menjadi pembahasan.
Peter menjelaskan beberapa kajian teori dari para ahli atau mencoba memberikan
penawaran kepada pembaca mengetahui teori-teori dan apa kegunaan dari masing-
masing teori sehingga dapat menolong dalam memecahkan suatu permasalahan.
Tidak hanya itu, tetapi banyaknya tokoh teoritisi khususnya para sejarawan lewat
buku ini memberikan cara pandang baru terhadap sejarah, membuka cakrawala
pengetahuan dan menciptakan atmosfer pemikiran dengan wawasan dan apreasi
terhadap sejarah yang dapat disandingkan dengan disiplin ilmu dan bidang ilmu
lainnya.
Adapun kelemahan yang dimiliki buku ini, yakni dari segi bahasa yang
digunakan dalam penulisannya, karena buku ini merupakan buku terjemahan
sehingga agak sulit untuk memahami dari kalimat per kalimat. Tentunya hal tersebut
menjadikan pembaca agak lama untuk memahami buku ini.

34
Tertulis pada halaman 223-250.

Anda mungkin juga menyukai