Di bawah ancient regime alias pemerintahan lama, tingkah laku macam itu bisa
mengundang bahaya. Karena ucapan-ucapannya yang mengandung politik dia
ditahan “diamankan” di penjara Bastille. Hampir setahun penuh dia meringkuk
di situ. Tetapi dia tidak sebodoh pemerintah yang menjebloskannya. Dia
bukannya bengong-bengong seperti orang bego, tetapi disibukkannya dirinya
dengan menulis sajak-sajak kepahlawanan Henriade yang kemudian dapat
penghormatan tinggi. Tahun 1718, tak lama sesudah Voltaire menghirup udara
bebas, drama Oedipe-nya diprodusir di Paris dan merebut sukses besar.
Di umur dua puluh empat tahun Voltaire sudah jadi orang termasyhur, dan dalam
sisa enam puluh tahun hidupnya dia betul-betul jadi jagonya kesusasteraan
Perancis. Selain terkenal sebagai penyair dan penulis drama ia juga sebagai
penulis esai, penulis cerita pendek, ahli sejarah, dan filosof. Dia betul-betul juru
bicaranya pemikiran bebas liberal sejak tahun 1725 pada Era Pencerahan.
Voltaire punya kepintaran ganda yang langka: pintar dalam hubungan uang dan
pintar dalam hubungan ucapan. Tak heran jika setingkat demi setingkat dia
menjadi seorang yang hidup bebas dengan kantong penuh uang.
Tetapi tahun 1726 dia dapat kesulitan. Voltaire sudah menempatkan dirinya
selaku orang yang cerdas dan brilian dalam adu pendapat, bukan saja menurut
ukuran jamannya tetapi mungkin untuk ukuran sepanjang jaman. Tetapi, dia
kurang rendah hati yang oleh kalangan aristokrat Perancis dianggap suatu
persyaratan yang mesti dipunyai oleh seorang kebanyakan seperti dia. Hal ini
menyebabkan pertentangan antara Voltaire dengan kaum aristokrat, khususnya
Chevalier de Rohan yang dikalahkan oleh kecerdasan Voltaire dalam adu kata.
Selang beberapa lama, Chevalier mengupah tukang-tukang pukul mempermak
Voltaire dan menjebloskannya lagi kedalam penjara Bastille. Voltaire dibebaskan
dari situ dengan syarat dia mesti meninggalkan Perancis. Karena itu dia
berkeputusan menyeberang ke Inggris dan tinggal di sana selama dua setengah
tahun. Tinggalnya dia di Inggris rupanya merupakan titik balik dalam kehidupan
Voltaire. Dia belajar bercakap dan menulis dalam bahasa Inggris dan karenanya
menjadi terbiasa dengan karya-karya besar orang Inggris masyhur seperti John
Locke, Francis Bacon, Isaac Newton dan William Shakespeare. Dia juga
berkenalan secara pribadi dengan sebagian besar cerdik cendikiawan Inggris
masa itu. Voltaire amat terkesan dengan Shakespeare dan ilmu pengetahuan
Inggris serta empirisme, faham yang berpegang pada perlunya ada percobaan
secara praktek dan bukannya berpegang pada teori. Tetapi, dari semuanya itu
yang paling mengesankannya adalah sistem politik Inggris. Demokrasi Inggris
dan kebebasan pribadi memberi kesan yang amat berlawanan dengan apa yang
Voltaire saksikan di Perancis.
Karya filsafat
Voltaire Essai sur les mœurs et l’esprit des bangsa adalah sebuah karya
monumental yang telah mengubah wajah historiografi Barat. Unik untuk waktu,
itu mencakup di 196 bab sejarah Eropa, Afrika, Amerika dan Asia untuk menutupi
segala usia, semua benua dan semua agama dalam konsep keseluruhan dari
sebuah ‘sejarah universal’. Pendekatan Voltaire terhadap penulisan sejarah ini
radikal dan inovatif: daripada membaca perbuatan raja dan pemimpin agama,
tujuannya adalah untuk menceritakan kisah tentang kemajuan manusia,
khususnya kemajuan akal manusia.
Karya sejarah
Voltaire merupakan salah satu dari dua tokoh filsuf pencerahan Perancis yang
paling terkenal dan berpengaruh. Mereka menyebut dirinya sendiri filsuf
pencerahan (enlightenment), tetapi mereka keduanya tidak memiliki kesabaran
berurusan dengan metafisika dan epistemologi. Mereka membatasi perhatiannya
pada masalah yang kurang abstrak dan lebih praktis, seperti politik dan
pendidikan. Akibatnya, mereka mempunyai pengaruh yang besar terhadap zaman
mereka yang serba kacau (Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, 2003).
Voltaire mengagumi pencerahan di Inggris, khususnya filsafat politik Locke. Ia
membawa keduanya kembali ke Perancis maupun gereja Katholik. Ia
mengungkapkan ide-idenya dalam esai-esai polemik komentar politik, kritik, dan
kisah-kisah tentang perubahan yang imajinatif. Voltaire membela akal budi dan
otonomi individu dan sangat senang dalam menggembosi balon-balon omong
kosong metafisika dan teologi zamannya. Ia juga menggerakkan tuntutan-tuntutan
perubahan para kelas menengah (bourgeois) yang akan memulai tahap revolusi
Perancis (Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, 2003).
Adalah sangat wajar bilamana Voltaire tak pernah percaya bahwa gelar-gelar
keningratan Perancis dengan sendirinya menjamin kelebihan-kelebihan mutu, dan
pada dasarnya tiap orang sebenarnya mafhum bahwa apa yang disebut “hak-hak
suci Raja” itu sebenarnya omong kosong belaka. Dan kendati Voltaire sendiri jauh
dari potongan seorang demokrat modern (dia condong menyetujui suatu bentuk
kerajaan yang kuat tetapi mengalami pembaharuan-pembaharuan), dorongan
pokok gagasannya jelas menentang setiap kekuasaan yang diperoleh berdasarkan
garis keturunan.
Voltaire bukanlah seorang ahli ilmu pengetahuan, tetapi dia menaruh minat besar
terhadap ilmu dan pendukung gigih sikap pandangan empiris dari John Locke dan
Francis Bacon. Dia juga seorang ahli sejarah yang serius dan berkemampuan.
Salah satu karyanya yang terpenting ialah buku yang menyangkut sejarah dunia
Essay on the Manners and Spirit of Nations. Buku ini berbeda dengan umumnya
uraian sejarah yang pernah ada sebelumnya dalam dua segi: Pertama,
Voltaire mengakui bahwa Eropa hanyalah merupakan bagian kecil dari dunia
secara keseluruhan, karena itu dia menitikberatkan sebagian dari pengamatannya
pada sejarah Asia. Kedua, Voltaire menganggap bahwa sejarah kebudayaan
adalah –pada umumnya– jauh lebih penting daripada sejarah politik. Bukunya
dengan sendirinya lebih berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dan
perkembangan seni ketimbang soal raja-raja dengan segala rupa peperangannya.