Anda di halaman 1dari 10

HISTORIOGRAFI KLASIK MASA YUNANI DAN ROMAWI

Oleh:

Ade Maman Suryaman

Di dalam penulisan sejarah, Historiografi memiliki kedudukan yang sangat penting. Hal
itu karena bagian paripurna dalam penelitian sejarah itu sendiri adalah Historiografi. Historiografi
atau penulisan sejarah merupakan kegiatan intelektual dan membutuhkan daya analisis yang tinggi
(Sjamsuddin, 2007). Menurut Sjamsuddin (2007: 156):

Ketika sejarawan memasuki tahap menulis, maka ia mengerahkan seluruh daya pikirannya,
bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang
terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena ia pada akhirnya harus
menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu
penulisan utuh yang disebut historiografi.
Pengertian Historiografi menurut Sjamsuddin di atas menunjukkan bahwa Historiografi adalah
tahap paripurna dalam penelitian sejarah. Tahap paripurna ini dikarenakan keterampilan –
keterampilan penulisan, upaya-upaya pikiran hingga penentuan sintesis atas hasil penelitian yang
dilakukan sehingga menghasilkan karya sejarah.

Karya sejarah yang dihasilkan sejarawan tersebut dapat dinikmati hingga kini, mulai dari
masa klasik hingga modern. Karya – karya sejarah klasik ini dipengaruhi oleh bingkai zamannya
(Zeit Geist) sehingga memiliki karakteristik tertentu. Karya – karya sejarah ini memiliki
karakteristik – karakteristik tertentu, sehingga menjadi ciri Historiografi suatu periode. Di dalam
Historiografi dunia, Sjamsuddin (2013) membagi pembabakan Historiografi Dunia menjadi
beberapa masa:

a. Historiografi Yunani dan Romawi


b. Historiografi Abad Pertengahan
c. Historiografi Islam
d. Historiografi Modern Abad XX
e. Historiografi Modern
f. Historiografi Post-Modern

Tentunya pembabakan Historiografi ini terus berkembang dan mengalami perubahan. Hal itu
dikarenakan karya – karya sejarah dengan genre, tema maupun pendekatan yang beragam.
Keberagaman ini pun yang menghasilkan tema – tema Historiografi yang berbeda dengan
karakteristik yang berbeda. Namun, dalam hal ini penulis akan menfokuskan diri pada
Historiografi masa Yunani dan Romawi.

2.1. Historiografi Yunani

Historiografi Yunani dimulai ketika penyair Homerus yang hidup kira-kira pada abad ke-
10 SM membuat epos dalam bentuk puisi yaitu Iliad dan Odyssey (Sjamsuddin, 2010). Pada
awalnya, Iliad yakni kisah perang mati-matian antara orang-orang Yunani dengan Troya karena
Paris putra Raja Troya melarikan Helen istri Raja Sparta. Kemudian Odyssey bercerita tentang
pengembaraan Odysseus setelah kota Troya jatuh.

Menurut O’Brien (2006: 7) tradisi penulisan sejarah dimulai sejak Herodotus (495-425
SM) yang menulis karya sejarahnya karena diperintah oleh Cicero. Sejarah Yunani ditulis oleh
Herodotus. Dia memiliki dua karya: pertama, perselisihan panjang antara Barat dan Timur, asal
mula dan berkembangnya Kekuasaan Persia, dan latar belakang sejarah tanah Yunani yang
berhubungan erat dengan Athena dan Sparta (Grant, 2003: 5). Kedua, adalah Perang Persia:
Pendudukan Yunani tahun 490 SM oleh Darius I, memuncak dan berakhir pada Perang Marathon
dan Invasi 10 tahun kemudian oleh Xerxes I, yang ditandai dengan Perang Thermopylae,
Artemisium, Salamis dan Plataea di tahun 479 SM.

Selanjutnya, O’Brien (2006: 7), mengemukakan:

Fortunately, Herodotus had ignored such ‘Eurocentric’ concerns, and had ranged widely
beyond the Hellenic world to include Egypt, India, Babylonia, Arabia, Persia in his histories
in order, as he put it, to ‘preserve the memory of the past by placing on record the astonishing
achievements of both our own and of the Asiatic peoples’. Herodotus used oral testimony and
archaeological remains, as well as written sources. He made serious attempts to impose some
chronology and order on streams of events that had occurred on three continents over long
spans time.
Dari apa yang sudah dijelaskan oleh O’Brien di atas, Nampak jelas penulisan Herodotus:
a. Penulisan tidak bergaya Eropasentris, terutama dengan adanya deskripsi atas wilayah dan
Masyarakat Mesir, India, Babilonia, Arabia maupun Persia;
b. Penggunaan sumber berupa prasasti, observasi, maupun sejarah lisan.

Dapat kita simpulkan bahwa Herodotus telah melakukan pencarian dan pengumpulan sumber
(Heuristik) sebagaimana kaidah penelitian sejarah, sehingga Herodotus pun dijuluki ‘Bapak
Sejarah’ maupun Bapak Antropologi (Sjamsuddin, 2010) atas karyanya tentang Yunani dan Persia
karena melakukan tahap – tahap penelitian sejarah yang lebih ilmiah dibanding karya – karya
sejarah lainnya di masa klasik.

Berikutnya Thucydides (471-395 SM) adalah Putra Olorus, seorang warga Athena walau
namanya Thracian. dia adalah satu dari 10 Jenderal yang terpilih di tahun 424 SM. Dia diperintah
untuk memimpin wilayah Utara Aegea. Dia dianggap berkhianat kemudian diasingkan. Pada masa
pengasingannya dia pun menulis Sejarah Perang Peloponnesia. Karyanya ini menurut Grant (2003:
6) termasuk Sejarah sezaman karena ditulis tidak berjauhan dengan peristiwa tersebut berlangsung.

Karyanya tentang Perang Peloponnesia lebih tajam dalam fokus masalah, rentang waktu
yang sempit, berdasarkan fakta yang diverifikasi, ketentuan-ketentuan, daripada
penggambarannya dalam tujuan-tujuannya (O’Brien, 2006:7). Thucydides menggambarkan
intelektualitas orang-orang Yunani, termasuk di bidang sejarah. Dia menerapkan prinsip – prinsip
penelitian ilmu sejarah dalam karyanya.

Xenophon, lahir pada 428 SM, ayahnya adalah Gryllus, termasuk keluarga petinggi
Athena. Dia menulis Hellenica, sejarah Yunani dari 411 – 362 SM. Dia juga menulis Anabasis
tentang pengalamannya di masa sebelum dan sesudah Cunaxa. Karyanya Agesilaus adalah pionir
penulisan biografi, namun terlalu memuji. Karyanya yang lain: Cyropaedia – pendidikan Cyrus,
Konstitusi Lacedaemonia. Grant (2003: 9) mengatakan bahwa Xenophon masih dianggap sebagai
sejarawan biasa yang kemampuannya belum bisa disandingkan dengan Herodotus maupun
Thucydides.

Polybius (198 – 117 SM) adalah seorang Yunani yang memperkenalkan Sejarah kepada
orang Romawi. Dia setuju dengan pendapat Thucydides bahwa peristiwa yang sedang terjadi
ditulis di waktu yang hampir bersamaan. Dia juga memperkenalkan nilai – nilai praktis, rancangan
kepada rakyat apa yang harus/tidak harus dilakukan, untuk berperilaku. Tanpa tulisan dari
Polybius, kita tidak bisa mengetahui lebih mendalam lagi kehidupan Yunani pada abad ke-2 dan
3 Sebelum Masehi.

Baik Homerus, Herodotus, Thucydides, Xenophon maupun Polybius dalam karyanya


memiliki beberapa kesamaan. Kesamaan pertama, karya mereka adalah sejarah perang: tentang
kepahlawanan, yang memberi nilai edukatif, inspiratif kepada para pembaca. Kedua, karya sejarah
mereka ditulis dalam rentang waktu yang tidak berjauhan ketika peristiwa perang tersebut terjadi.
Penanaman nilai-nilai kepahlawanan, kebangsaan menjadi ciri utama penulisan sejarah masa
Klasik Yunani dan Romawi.

2.2. Historiografi Romawi

Historiografi Romawi sangat dipengaruhi oleh historiografi Yunani, seperti yang telah
penulis singgung pada bagian sebelumnya. Polybius lah yang memperkenalkan sejarah kepada
orang Romawi. Dia menjadi guru dari anaknya Lucius Aemilius Paullus yang bernama Scipio
Africanus (Aemilianus) yang kelak juga menulis karya – karya sejarah Romawi.

Julius Caesar merupakan tokoh yang mempopulerkan penulisan sejarah Romawi. Dia
lahir pada 100 SM. Caesar menjadi Kepala Pendeta, atau yang dikenal dengan Pontifex Maximus.
Dia juga menjadi Gubernur Spanyol, dan anggota pertama Triumvirat. Perang Gallia merupakan
catatan perang yang dibuatnya mengenai serangan Romawi ke wilayah lainnya. Catatan perang
yang dibuatnya tidak hanya berisi kehebatan penaklukan Romawi ke wilayah lainnya, tetapi juga
berisi keragaman masyarakat Gallia pada masa itu. Kemudian Perang Sipil dibuatnya dalam tiga
jilid. Pertama dalam dua tahun yakni Konfrontasi dengan Pompeii, diperluas dengan Narasi-narasi
dari Perang dengan orang-orang Alexandria, Afrika dan Spanyol tahun 48 – 45 SM oleh ajudannya
Aulus Hirtius (Grant, 2003: 12).

Sallust (Gaius Sallustius Crispus) merupakan tokoh berikutnya. Karyanya adalah Perang
Katilinaria yang menceritakan konspirasi Catiline yang dibuka topengnya di tahun 63 SM, di sini
diterangkan tahapan-tahapan yang jelas dalam kemundurannya. Kemudian Perang Jugurthin
mengenai pertempuran melawan Raja Jugurtha dari Numidia (111 – 105 SM). Kisah ini
menggambarkan tantangan pertama yang dihadapi Marius dari Romawi terhadap supremasi
golongan Pemerintahan.
Tulisan – tulisan Sallust pada awalnya mencoba untuk lebih sesuai dengan kaidah – kaidah
penelitian sejarah, yang kurang akurasi dan Objektif. Menurut Grant (2003: 14) deskripsi –
deskripsi dalam karya – karyanya Nampak impresionis, namun professional dan kuat dalam
penafsiran.

Titus Livius atau Titus Livy (atau Livy saja) lahir di Patavium (Padua) di Cisalpine Gallia.
Karya-karyanya kurang lebih ada 140, berasal dari periode 753 – 243 SM dan 210 – 167 SM.
Namun, 107 buku karyanya telah hilang (Grant, 2003: 15). Livy menulis Perang Perang Punic II
(218 – 201 SM). Dalam karyanya dia menjelaskan bahwa karyanya murni mitologis karena
tulisannya memiliki karakteristik: interpretasi psikologis, dan penggambaran keputusasaan dan
konflik, seperti cahaya dari kilat – merupakan keahliannya. Namun karya – karyanya tetap saja
dianggap karya sejarah.

Narasi Livy, penggambaran masa lampau memberikan kita gambaran yang indah,
patriotisme berlebihan, deskripsi tentang sebuah bangsa melalui sejarahnya dengan segala
kejayaan, kebaikan dan perubahan-perubahan kondisinya. Dia adalah satu-satunya yang menulis
secara lengkap, berskala besar sejarah Romawi dari perkembangan hingga ekspansinya, selama
774 tahun dan dengan mengesankan menunjukkan bagaimana orang Romawi berpikir tentang
masa lampau yang disaksikan dan diciptakan perkembangan dari kekuatan mereka.

Livy menulis sebuah alur atraktif yang memperkaya Sallust mengenai kekasaran yang
menyokong Pemerintahan Lunak Cicero. Kisah – kisah dalam karyanya cenderung fleksibel dan
terstruktur.

Josephus (Lahir 37 – 38 SM) seorang sejarawan Yahudi dan pada masa Romawi dia
menulis Sejarah Perang Bangsa Yahudi. Meskipun muncul bias dan ketidakakuratan dalam
pengumpulan sumber, Dia menunjukkan kehebatan dalam konstruksi kisah – kisah dalam
karyanya yang dibuat jelas, penuh ketegangan, fanatisme agama, bersifat brutal dan horror yang
mana mencirikan bagian-bagian peristiwanya. Sebagai contoh dia mendeskripsikan pengepungan
dan pembunuhan missal di Masada yang tak terlupakan.

Dia pun menulis ‘Bangsa Yahudi di Zaman Purbakala’. Meskipun pengetahuannya tentang
agama sendiri pun tidak begitu dalam dan dalam kronologi waktunya kurang akurat. Pekerjaannya
dalam karyanya ini menurut orang Kristen melihat laporannya yang panjang mengenai kehancuran
Yerusalem dalam Perang Bangsa Yahudi sebagai pemenuhan Ramalan Kitab Perjanjian Baru.

Plutarch adalah penulis karya sejarah berikutnya masa Romawi. Dia menulis Kebencian
terhadap Herodotus dan Inkuiri Bangsa Romawi dan Yunani. Dia adalah seorang Yunani namun
diterima sebagai Bangsa Romawi dan memiliki kekuasaan dominan di sana. Michel de Montaigne
(dalam Grant, 2003: 18) mengatakan “I cannot easily do with Plutarch. He is so universal and so
full that, on every occasion, however extraordinary your subject, he is at hand to your need”.
Plutarch dengan karya dan pemikirannya yang universal dalam sejarah membuat khasanah baru
Historiografi masa Romawi lebih beragam. Dia jarang membongkar dasar orisinil, dia
menggunakan tradisi dengan mahir, dengan santai dia mengesankan kepribadiannya, dan
menyajikan banyak informasi dan ide-ide lainnya.

Tacitus atau Publius Cornelius Tacitus. Dia menulis Germania – tentang rakyat di
negerinya, dan di tahun yang sama, Agricola ditulisnya untuk memuji Bapak mertuanya. Setelah
Dia menulis buku ‘Dialog para Orator (Dialog on Orators)’, dia menulis Histories. Buku buku
tersebut menguraikan sejarah Romawi dari 68 -96, bagian awalnya saja yang masih ada. Annals
mengenai periode awal pada tahun 14 M adalah yang paling luas.

Dalam penulisan karya sejarahnya – walaupun jauh dari berimbang, Tacitus adalah orang
yang percaya dalam harga diri tinggi dan kebangsawanan. Dia adalah seorang penulis yang mahir.
Meskipun menggunakan standar modern, frekuensi, gaya penulisan yang tajam, samar, stakato,
menyindir, mengejutkan, dan gaya menegangkan dari seorang Tacitus terlihat rumit, walaupun
berharga dengan terlepas dengan pendirian dan tuduhan. Thomas Jefferson (dalam Grant, 2003:
20) menyebutkan bahwa Tacitus adalah penulis kisah sejarah tanpa pengecualian tunggal.

Suetonius dengan nama lengkap Gaius Suetonius Tranquillus menulis ‘Kehidupan


Orang – orang Terkenal’ (Grant, 2003: 20). Dia menulis kisah tersebut dari tahun 98 – 117 M.
Buku ini merupakan penggambaran berani dari tokoh – tokoh kesusasteraan Romawi. Kemudian
di menulis ‘Kehidupan para Caesar’ (Grant, 2003: 20). Buku ini berisi tentang kehidupan 12
Caesar, dari Julius Caesar hingga Domitian. Dia mengadopsi teknik selingan dengan ilustrasi
material dari karakteristik pemimpin dari subjek biografinya dalam keragaman laporan narasinya.
Metode ini mungkin baginya untuk melukiskan deskripsi tentang suatu peristiwa, dan dimasukkan
ke dalam laporan maupun hasil penelitiannya berupa karya sejarah. Dia pun terkadang
memberikan detail dalam karyanya – pun hal yang dianggap tidak penting diulas dalam rangka
untuk memuaskan rasa penasaran para pembaca mengenai kehidupan dari karakter-karakter dan
rakyat biasa yang dia angkat.

Suetonius amat mahir dalam narasi, menghindari gaya dan kepandaian berbicara.
Kontribusi utamanya kepada penulisan biografi (dan juga historiografi) adalah hal baru dan secara
relative ke tingkatan lanjutan terhadap kesamaan ketidakberpihakan yang dia kelola untuk
ditegakkan, memperkenalkan ke dalam informasi cara impresionistik dan kering yang
merefleksikan hal baik dan buruk pada orang – orang yang dipertimbangkan.

Ammianus Marcellinus menulis Sejarah Romawi mulai dari jangka waktu Nerva tahun
96 M dan meninggalnya Kaisar Timur Valens pada perang Adrianopel (Edirne) melawan Visigoth
pada 378. Kisah ini menggambarkan ‘sesuatu yang mempesona’, sebuah pemikiran original dalam
sejarah setelah berabad – abad dari omong kosong belaka. Dia menyajikan taksiran yang halus dan
menyajikan komprehensi yang tajam.

Para tokoh – tokoh Romawi kuno dengan karya sejarahnya memiliki karakteristik dan pola
yang umum. Seperti Yunani, Historiografi Romawi diwarnai dengan kisah – kisah kepahlawanan
maupun moral sehingga memberikan inspirasi, edukasi maupun nilai – nilai kehidupan bagi para
pembacanya. Karya – karya para tokoh mengulas kisah peperangan yang terjadi di zamannya.
Namun, ada upaya – upaya penulisan kembali kisah – kisah sejarah dengan menggunakan sumber
terbaru, tafsiran baru, maupun sistematika penelitian sejarah yang lebih ilmiah walau dalam
penulisannya diwarnai dengan legenda maupun mitos. Titus Livy dan Tacitus menjadi sejarawan
besar dalam masa ini. Karya – karya mereka tentang Romawi dengan teknik – teknik ilmiah
penelitian sejarah yang mencoba untuk objektif dalam karyanya.

2.3. Kelemahan Historiografi Klasik

Menurut Sjamsuddin (2010), ada beberapa kelemahan dalam penulisan Historiografi


Klasik masa Yunani dan Romawi. Kelemahan – kelemahan di sini bukanlah menjadi hal yang
buruk, namun menurut penulis lebih mencirikan penulisan sejarah di masa itu dengan tetap
menggunakan fakta – fakta sejarah yang sudah ada. Kelemahan – kelemahan tersebut menurut
Sjamsuddin antara lain:
 Meskipun menggunakan teknik – teknik penelitian sejarah yang ilmiah, namun dalam
penulisannya tetap dipengaruhi oleh lingkungan budaya para penulis kisah sejarah itu
sendiri. Pengaruh Dewa – dewa, mitos, legenda senantiasa hadir dalam tiap bagian – entah
sedikit ataupun banyak dalam karya – karya mereka;
 Para penulis sejarah masa Yunani dan Romawi hanya menulis sejarah politik – kisah –
kisah suksesi kepemimpinan, pendudukan, Perang. Selain itu, penulisan sejarah pada
umumnya ditulis mengenai kisah – kisah yang terjadi pada masanya;
 Sejarah yang ditulis bertujuan untuk menjadi contoh dan memberikan ajaran moral dari
contoh – contoh kehidupan. Namun terkadang penulisannya terkesan berlebih – lebihan
karena tujuannya untuk ajaran moral;
 Karya – karya sejarah pada masa ini cenderung retoris dan bombastis karena tujuan
penulisannya itu sendiri yakni mengajarkan filsafat moral dengan contoh. Contohnya
Thucydides menyelipkan orasi – orasi imajiner.

2.4 Sumber Sejarah masa Klasik

Di masa klasik Yunani dan Romawi, penggunaan sumber sejarah terutama sumber tertulis
sangat jarang digunakan. Menurut Grant (2003: 31) sumber sejarah (tertulis) di masa kuno tidak
digunakan, hal itu terjadi karena, pertama dokumen dan arsip yang berupa milik pribadi dan umum
tidak memiliki informasi yang cukup dan tidak memiliki makna. Kedua para sejarawan Yunani
dan Romawi tidak mempedulikan mengenai sumber tertulis dan jarang mengutip maupun
menafsirkannya.

2.4.1 Tradisi Lisan

Masyarakat kuno lebih menggunakan tradisi lisan daripada sumber tertulis. Hal ini
didukung dengan sedikit hak penulisan yang sedikit orang boleh lakukan dan tidak cakap. Para
sejarawan dengan bangganya telah mendengar ‘dari mulut kuda’, dan sering menunjukkan tipu
muslihat. Thucydides sadar betul untuk memperoleh informasi lisan yang akurat dan kesulitan
mendapatkannya. Di masanya, dia menggunakan apa yang sekarang disebut dengan Sejarah lisan.
Dia menekankan betapa pentingnya berhati – hati dalam menginterogasi para saksi peristiwa, yang
memperlihatkan perbedaan antara satu dengan lainnya (Grant, 2003: 38).
2.4.2 Rumor

Pada awalnya untuk bagian ini penulis ingin mengganti judulnya sesuai padanan bahasa
Indonesia yakni desas – desus. Namun, penulis menilai Rumor lebih menarik untuk tidak diubah
ke dalam padanan bahasa Indonesia saja.

Rumor memainkan peranan penting dalam penulisan kisah – kisah sejarah masa Yunani
dan Romawi. Para sejarawan Yunani dan Romawi menandai kemungkinan atau kesalahan
kemungkinan. Namun rumor bertahan dan berperan penting dalam sejarah dan historiografi.
Sallust menyajikan bagian – bagian rusak dari rumor yang tak terbukti, dan pada pelaksanaannya
seperti Tacitus tetap mempertahankan dan sangat disayangkan masih ditulis. Sebenarnya, Tacitus
menolak beberapa rumor dan pada satu kesempatan menampilkan skeptisme terhadap mereka
(terutama jika mereka tidak terkenal dan bukan berasal dari kalangan aristocrat) (Grant, 2003: 38).
Keinginannya menggunakan rumor menghambat sejarah yang akurat, dan tidak tertolong dengan
kisah – kisahnya yang dia tahu bisa menjadi kesalahan.

Bagian terakhir adalah apa yang Tacitus sebut dengan ‘Eksplanasi Alternatif’. Dalam
Annals disebutkan rumor mengakibatkan kontradiksi – kontradiksi yang muncul antara fakta dan
kesan, yang sering muncul pada hakekatnya tak dapat dibedakan, meskipun ini berbahaya terhadap
kenyataan pada gambaran yang disajikan kepada kita.
DAFTAR PUSTAKA

Grant, M. (2003). Greek and Roman Historians: Information and Misinformation. New York:
Routledge.

O’Brien, P. (2006). Historiographical Traditions and Modern Imperatives for the restoration of
global history. [Online]. Tersedia:
http://enseignement.typepad.fr/printemps08/files/obrien_historiographical_traditions.pdf .
[diunduh di Bekasi, 26 September 2013].

Pocock, J.G.A. (Tanpa Tahun). Western Historiography and The Problem of Western History.
[Online]. Tersedia : http : // www. unaoc. org/ repository/
9334Western%20Historiography%20and%20Problem%20of%20Western%20History%20-
%20JGA%20Pocock.doc .pdf. [diunduh di Bekasi, 26 September 2013].

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak

Anda mungkin juga menyukai