Anda di halaman 1dari 3

REVIEW FILM MAX HAVELAAR

1. Ringkasan Isi:
Film Max Havelaar menceritakan tentang nasib penderitaan yang dialami rakyat
pribumi Indonesia pada masa kolonial Belanda sekitar abad ke-19. Di dalam film ini,
Max Havelaar merupakan seorang asisten residen yang mendapatkan tugas birokrasi
di daerah Lebak, Banten. Lebak merupakan daerah yang kaya dan subur, namun
ironis nya, masyarakat disana sangat miskin. Max Havelaar mengamati berbagai
situasi di daerah sana dan akhirnya dia menemukan fakta yang mengejutkan bahwa
kemiskinan yang terjadi di Lebak bukan lah disebabkan oleh penindasan yang
dilakukan bangsa Belanda saja, justru penderitaan yaang dialami rakyat pribumi
Lebak semakin menderita karena tindakan sewenang-wenang, ketidakadilan, korupsi
yang dilakukan oleh bupatinya sendiri. Bangsa sendiri justru ikut menindas bangsa
sendiri akibat dibutakan oleh harta dan kekuasaan.
Permasalahan di Lebak bukan hanya tentang kemiskinan dan ke sewenang-
wenangan bupati, ternyata disana juga memiliki kasus kejahatan bupati kepada asisten
residen sebelum digantikan oleh Max Havelaar yaitu Mr. Slotering, asisten residen ini
ternyata memiliki niat dan pemikiran yang sama dengan Max Havelaar yaitu ingin
membantu meringankan penderitaan yang dialami oleh rakyat Lebak akan
keserakahan yang dilakukan oleh bupati Lebak. Namun pada saat di adakan sebuah
jamuan makan malam yang diadakan di kediaman bupati Lebak, Mr. Slotering ini
diracun oleh seorang demang suruhan bupati Lebak, sehingga ketika Mr. Slotering
pulang ke rumah dia menghembuskan nafas terakhir, namun ketika diperiksa oleh
dokter, ia di vonis karena penyakit liver yang di deritanya.
Ketika Max Havelaar mengetahui kejanggalan kasus itu pun, akhirnya
berusaha keras untuk bisa mengungkap kasus ini serta meringankan penderitaan yang
dialami oleh rakyat Lebak. Namun sekuat apapun usaha Max Havelaar untuk
menangani kasus tersebut, dia tidak dapat menaklukan kekuasaan kolonial. Bupati
Lebak ternyata sudah bekerja sama dengan Gubernur Jenderal Belanda. Gubernur
Jenderal Belanda lebih memihak pada Bupati Lebak daripada Max Havelaar yang se
bangsa dan se tanah air, akibat di butakan oleh kekuasaan. Max kemudian di pecat
sebagai asisten residen dan tidak lagi mengabdi kepada pemerintah Hindia Belanda.

2. Analisis
- Komentar:
film Max Havelaar adalah film yang bagus, karena dengan menyimak film
tersebut kita dapat membuka cakrawala pengetahuan kita akan praktek
kolonialisme yang terjadi di hindia belanda pada saat itu, dengan berbagai
macam permasalahan yang di sampaikan melalui film ini. Walaupun tentu saja
terdapat unsur subjetivitas pada penyampaiannya akan tetapi setidaknya film
ini dapat memberikan gambaran kepada kita, tentang bagaimana penerapan
kolonialisme yang dilakukan oleh Belanda di hindia belanda serta
mengungkap pula mengenai penghianatan yang ternyata banyak dilakukan
oleh sesama bangsa pribumi dengan menindas bangsanya sendiri bukan
membantu atau meringankan beban penderitaan yang dialami malah
memperburuk keadaan. Dan hal ini polanya berulang pada masa sekarang.
Sehingga tidak mengherankan masih banyak perilaku pejabat-pejabat sekarang
yang sama buruk nya dengan pejabat-pejabat pada zaman kolonial. Sangat
miris.

- Setuju/Tidak
menurut saya setuju, dapat dikatakan alurnya hampir sama dengan realita yang
ada sebab didalam literatur mengenai douwes dekker juga menjelaskan hal yang
sama dengan apa yang ada di film max havelaar walaupun di dalam film tentu
masih ada bumbu bumbu nuansa filmnya seperti adengan romantis, dan hal hal
yang dibuat buat lainnya akan tetapi secara keseluruhan tujuan filmnya sama dan
saya setuju. Dan alur yang terdapat pada film tersebut sesuai dengan keadaan
rakyat pribumi ketika praktik eksploitasi lewat sistem tanam paksa serta
kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda yang menindas bumiputra diterapkan di
Hindia Belanda, serta mengisahkan kekejaman tanam paksa yang menyebabkan
ribuan pribumi kelaparan, miskin dan menderita.

- Perbandingan

Hardiningtyas, P.R. (2014). ORIENTAL: BUDAYA INDIS DALAM


TETRALOGI PULAU BURU KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
(Oriental: Indis Culture in the Study of Buru Tetralogy by Pramoedya Ananta
Toer). Sawerigading, 20 (2), 183-193.

Perbandingan film Max Havelaar dengan jurnal yang di tulis Puji Retno
Hardiningtyas yang berjudul ORIENTAL: BUDAYA INDIS DALAM
TETRALOGI PULAU BURU KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
(Oriental: Indis Culture in the Study of Buru Tetralogy by Pramoedya Ananta
Toer).

Didalam jurnal ini mendeskripsikan wacana orientalisme pembauran budaya


Timur dan Barat serta representasi Pribumi dan Kolonial sebagai konsekuensi
hubungan antara terjajah dan penjajah. Jurnal ini menuliskan bahwa Tetralogi
Pulau Buru merupakan contoh roman yang menunjukkan persepsi poskolonial
tentang hubungan pribumi dan kolonial, budaya pribumi dan kolonial, dan
identitas kultural. Roman ini memberi gambaran yang menarik tentang interaksi
antara budaya Barat dan Timur (Pribumi) dengan perkembangan historis
kebudayaan Indonesia pada masa pengaruh Barat. Lebih khusus interaksi seorang
priayi pribumi dengan orang Belanda, yang notabene penjajah di Hindia Belanda.
Meskipun roman ini tergolong dalam wacana resistansi dan abrogasi, tetapi
memberikan gambaran yang tepat tentang ekspresi kekuasaan, politik kolonial,
kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan kesenian di Hindia Belanda.
Keterpurukan masyarakat sebenarnya diarahkan, baik oleh kondisi kultural
Indonesia maupun hadirnya golongan masyarakat di Indonesia, dengan gambaran
waktu tahun 1898—1918. Sama hal nya dengan film Max Havelaar yang
mengangkat persoalan tentang hubungan pribumi dan kolonial, budaya pribumi
dan kolonial. Dalam jurnal ini pun menggambarkan bagimana tokoh yang
terdapat pada novel “Tetralogi Pulau Buru” yang bernama Minke memiliki
kesamaan dengan tokoh Max Havelaar pada film Max Havelaar yaitu memiliki
karakter yang sama, yakni antikolonialisme. Terutama di dalam melakukan kritik
terhadap sistem kolonial yang menindas, dan memotret peristiwa faktual yang
terjadi pada masanya. Perjuangan Minke dan Havelaar mewakili perjuangan demi
menegakkan humanisme. Humanisme yang ideologis. Keduanya menggugat
feodalisme dan kolonialisme. Keduanya melawan Dengan caranya
masingmasing, mereka mengajak manusia untuk menghargai kemanusiaan di
mana pun tempatnya. Yang membedakannya yaitu tokoh Minke adalah sebagai
priayi dan terpelajar dari bangsa yang terjajah oleh budayanya dan peradaban
Eropa. Di satu sisi, Minke dipandang sebagai musuh kolonial sekaligus media
kolonial. Konflik Minke berada pada persimpangan antara jati diri sebagai
manusia Jawa dan berambisi yang berorientasi pengetahuan Barat. Sedangkan
tokoh Max Havelaar merupakan pegawai pemerintah kolonial Belanda di Hindia
Belanda (sebagai asisten residen) yang sikapnya agak berseberangan dengan
pemerintah kolonial Belanda dan di pandang sebagai pembela masyarakat
pribumi.

Anda mungkin juga menyukai