Tinjauan Kritis Politik Indonesia Tahun 1966 – Era
Kontemporer Oleh: Miftahul Habib Fachrurozi MILITERISME DAN EKSKLUSI TERHADAP (GERAKAN) PEREMPUAN PADA MASA ORDE BARU (1966 – 1998) Negara dan Militer Pada Masa Orde Baru • Secara resmi Orde Baru menganut sistem “Demokrasi Pancasila” yang didasarkan pada jati diri bangsa Indonesia • Pada masa Orde Baru, Negara dianggap sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dan menempatkan misi integralistik Negara di atas kedaulatan rakyat (Elson, 2009: 413-414) • Akan tetapi, menurut David Jenkins Soeharto justru mempraktikkan model “Negara Pretorian” pada masa Orde Baru (Jenkins, 2010: 23) • Negara Pretorian -> Penguasaan militer terhadap segala aspek kehidupan masyarakat yang kerapkali dibarengi dengan sikap represif Eksklusi Terhadap (Gerakan) Perempuan • Posisi militer sebagai aktor politik sentral di Indonesia mengindikasikan watak maskulin dari sistem politik Indonesia • Politik yang maskulin ini menghadirkan konsekuensi logis: peminggiran peran perempuan dalam ruang publik termasuk dalam ranah politik • Gerakan politik perempuan sangat dibatasi, bahkan rawan mendapat label sebagai bagian dari “Gerwani”-yang diggambarkan sangat biadab, sehingga peran perempuan hanya terbatas dalam kerja domestik atau bidang sosial (non-politik) semata (McGregor, 2008; Wieringa, 2010) DEMOKRASI VERSUS OLIGARKI DI ERA PASCA ORDE BARU (1998 – Sekarang) Oligarki di Alam Demokrasi • Oligarki (menurut Jeff Winters): aktor-aktor yang memerintah dan mengontrol sumber daya material secara masif yang dapat digunakan untuk mempertahankan atau memperluas kekayaan pribadi dan posisi sosial mereka yang eksklusif” (Tapsell, 2019: 14) • Oligarki dicirikan pada sentralisasi ekonomi dan politik, kontras dengan demokrasi yang mensyaratkan desentralisasi politik dan ekonomi • Namun dalam konteks Indonesia, Oligarki dapat hidup dan berkembang di alam Demokrasi • Hal ini terjadi karena para orang super kaya ini mau terlibat dalam proses demokrasi (bergabung dengan partai dan ikut Pemilu) serta membagi sumber kekayaannya dengan sesamanya untuk mempertahankan kekayaan serta kekuasaan (Winters, 2013: 6) Kemunculan Oligarki di Indonesia • Oligarki juga dapat diartikan sebagai politik mempertahankan kekayaan yang dilakukan oleh segelintir orang super kaya • Oligarki di Indonesia muncul sejak era Orde Baru dengan Suharto menjadi Oligarki dengan karakter sultanistik yang membagikan kekayaan pada anak serta kroni-kroninya dan menjadikannya bagian dari elit Oligarki (Winters, 2013: 8) • Memasuki era reformasi, para elit Oligarki ini tetap berkuasa karena mereka memiliki uang, penguasaan terhadap media, akses terhadap partai politik, di samping lemahnya supremasi hukum, dan disorganisasi masyarakat sipil di Indonesia pasca 1998 (Winters, 2013: 8; Fukuoka & Djani, 2016: 206) Apakah Oligarki Mengancam Demokrasi? • Secara umum, ada tiga bentuk ancaman Oligarki bagi demokrasi di Indonesia • Pertama: Penguasaan atas media yang mempengaruhi opini publik -> Konvergensi kepemilikan media massa mempengaruhi polarisasi masyarakat (Tapsell, 2019) • Kedua: Intervensi dalam proses elektoral -> Para oligarki menjadi penyokong dana paslon dalam proses elektoral untuk memuluskan kepentingannya -> contoh: dalam Pilkada DKI 2012 (Winters, 2013) dan Pilpres 2014 (Fukuoka & Djani, 2016) • Ketiga: konflik kepentingan dalam penyusunan kebijakan publik dan produk legislasi baik di tingkat pusat maupun daerah (lihat film Sexy Killers dan Kesetrum Listrik Negara) REFERENSI 1. Elson, R.E. (2009). The Idea of Indonesia. Jakarta: Serambi. 2. Fukuoka, Yuki & Djani, Luky. (2016). “Revisiting the rise of Jokowi: The triumph of reformasi or an oligarchic adaptation of post-clientelist initiatives?”. South East Asia Research. Vol. 24 (2). Hlm. 204-221. 3. Jenkins, David. (2010). Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983. Jakarta: Komunitas Bambu. 4. McGregor, Katharine E. (2008). Ketika Sejarah Berseragam. Yogyakarta: Syarikat. 5. Tapsell, Ross. (2019). Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki Warga dan Revolusi Digital. Jakarta: Marjin Kiri. 6. Wieringa, Saskia E. (2010). Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual Di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI. Yogyakarta: Galang Press. 7. Winters, Jeffrey A. (2013). “Oligarchy and Democracy in Indonesia”. Indonesia. no. 96. Hlm. 11-33.