Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Budaya politik adalah fenomena dalam masyarakat yang memiliki pengaruh
terhadap struktur dan sistem politik (Sastroatmodjo, 1995 : 35). Sedangkan menurut Walter
A. Rosenbaum (1975 : 4) ; The Definition of political culture refers to the collective
orientation of people toward the basic elements in their political system. Terkait dengan
budaya politik sebagai fenomena dalam masyarakat, maka budaya politik tidak dapat
dipisahkan dari perilaku politik yang merupakan proses interaksi politik antara berbagai
elemen. Seperti masyarakat dengan pemerintah, sesama masyarakat atau pemerintah
dengan kelompok kepentingan dan sebagainya (Sastroatmodjo, 1995 : 2).
Studi mengenai budaya dan perilaku politik ini merupakan studi yang penting
bagi upaya mengenali dan memahami karakter politik dari sebuah masyarakat. Pada
negara yang tengah berada dalam fase demokratisasi, pemahaman yang menyeluruh
terhadap karakter budaya dan perilaku politik masyarakatnya merupakan kemutlakan.
Pemahaman yang menyeluruh tersebut terkait dengan pembangunan pondasi sistem politik
yang baik. Pada konteks inilah studi budaya dan perilaku politik menemukan urgensinya.
Mochtar Mas’oed dalam catatan editor sebagai pengantar tulisan Gabriel A.
Almond (Mas’oed dan MacAndrews 1987:33)1 bahkan menuliskan bahwa kebudayaan
politik merupakan kunci untuk memahami setiap sistem politik. Tapi, perhatian terhadap
kajian budaya politik di Indonesia relatif kecil dan studi yang dilakukan oleh ilmuwan
politik Indonesia masih belum optimal.2
Mengenai studi perilaku politik telah sangat banyak dilakukan penelitian
terutama mengenai partisipasi politik, tapi penelitian yang secara spesifik mengkaji
perilaku politik masyarakat marjinal (terpinggirkan) relatif masih kecil. Penelusuran
pustaka yang penulis lakukan mencatat publikasi ilmiah mengenai perilaku politik
masyarakat marjinal tidak terlalu banyak. Ada sebuah publikasi yang dilakukan J.Hardimin
dengan bukunya Demokrasi Indonesia dan Dinamika Politik Arus Bawah (2001), buku ini

1
Mas’Oed, Mohtar dan Colin Mac Andrews. 1990. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
2
ibid

1
mengulas perilaku politik masyarakat marjinal di beberapa daerah di sekitar Pantai Utara
Jawa (Pantura) serta sebuah publikasi hasil penelitian yang ditulis tim Yayasan Akatiga
Tasikmalaya mengenai perilaku politik masyarakat Mikung (2001). Kondisi masih
minimnya studi budaya politik dan perilaku politik terutama budaya dan perilaku politik
masyarakat marjinal, membuat perlu untuk melakukan kajian dalam bidang tersebut.
Berbicara mengenai budaya dan perilaku politik di Indonesia sebagai salah satu negara
berkembang yang berada dalam proses transisi demokrasi, tentu akan mengingatkan kita
pada tulisan Gabriel Almond dan Sidney Verba. 3 Almond dan Verba melukiskan kondisi
negara yang berada pada fase transisi demokrasi akan mengalami sebuah kondisi politik
dimana akan saling berhadapan nilai-nilai tradisional yang melekat kental dalam elite
maupun masyarakat umum dengan nilai-nilai baru yang datang seiring perkembangan
pengetahuan dan teknologi. Dalam ranah politik hal ini juga berpengaruh dalam proses
pembentukan karakter politik nasional. Budaya dan perilaku politik di Indonesia
merupakan hasil persinggungan antara banyak faktor termasuk di dalamnya nilai
tradisional-lokal dan juga nilai sosial ekonomi lainnya. 4 Kondisi sistem politik terkini
Indonesia juga ikut dipengaruhi oleh hal-hal tersebut.
Melihat kondisi kehidupan politik di Indonesia terutama dalam aspek budaya politik
bila merujuk pada studi yang dilakukan Almond dan Verba, digambarkan bahwa terjadi
interaksi antara nilai-nilai dan institusi tradisional dengan nilai-nilai demokrasi baru.
Institusi tradisional dalam skala yang sangat kecil terutama di beberapa daerah Jawa
(Yogyakarta dan Surakarta) masih ikut memberi kontribusi dalam kancah politik lokal dan
ikut menentukan karakter budaya politik setempat. Meskipun institusi lokal relatif kecil,
namun nilai-nilai tradisional yang muncul di Indonesia pada era kerajaan-kerajaan ikut
memberi warna hingga saat ini. Feodalisme merupakan salah satu warisan nilai yang
muncul sampai saat ini, pada titik tertentu nilai tradisional ini sangat mempengaruhi
budaya politik di Indonesia. Maka, dalam konteks kajian budaya politik di Indonesia
terdapat keunikan-keunikan yang menambah daya tarik kajian.
Pada tingkat politik kenegaraan, kehadiran nilai-nilai tradisional dalam segala bentuk-
bentuk telah menjadi penghambat bagi demokratisasi. Almond dan Verba menuliskan
bahwa paling tidak ada dua faktor yang menghambat demokratisasi di negara-negara

3
Almond, Gabriel A. dan Sidney Verba. 1984. Budaya Politik Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara.
(terjemahan Sahat Simamora). Jakarta: Bina Aksara.

4
Lihat I hal 87-92

2
transisi demokrasi, satu diantaranya adalah masih dominannya nilai-nilai tradisional yang
anti demokrasi dalam sebuah masyarakat. Perilaku politik masyarakat Indonesia telah
mengalami perkembangan seiring perjalanan sejarah bangsa. Di era penjajahan, perilaku
politik bisa dikatakan dibatasi oleh kekuatan pemerintah yang menggunakan kekerasan,
ruang untuk melakukan aktivitas politik sama sekali tertutup, karena kondisi yang ada
adalah strong state (negara kuat) dan masyarakat lemah. Barulah pada periode politik etis
tingkat partisipasi politik mulai tumbuh, meski masih sangat terbatas pada kelompok yang
telah memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Selanjutnya perilaku politik rakyat
Indonesia menemui titik kebangkitan ketika diselenggarakan pemilihan umum multi partai
tahun 1955 di bawah orde lama.
Perjalanan selanjutnya kembali membawa rakyat Indonesia pada kondisi perilaku
politik pasif akibat kuatnya negara, kondisi ini terjadi ketika rezim orde lama mulai
menampakkan wajah otoriternya dengan mengangkat Sukarno sebagai presiden seumur
hidup. Pada masa orde barupun terjadi pembatasan aktivitas politik. Rakyat dikendalikan
secara penuh oleh negara. Instrumen ideologis (pancasila) dan instrumen bersenjata
(militer) dijadikan pengendali aktivitas politik warga negara. Barulah ketika terjadi
gerakan politik yang dimotori oleh rakyat (kelas menengah) dan mahasiswa pada tahun
1998 terjadi perubahan dalam perilaku politik warga negara.
Secara umum politik nasional telah mengalami pasang surut seiring perjalanan sejarah
politik Indonesia yang telah pula memberi pengaruh bagi konstruksi budaya politik dan
perilaku politik warga negara. Tetapi gejala-gejala umum tersebut merupakan gejala umum
yang terpantau pada permukaan saja. Karena masih banyak aktivitas politik yang
dilakukan oleh komunitas tertentu yang biasanya termarjinalkan (terpinggirkan) tidak
terekam oleh intelektual Indonesia. Hingga seolah budaya politik yang terbentuk dalam
masyarakat tersebut terlepas dari budaya politik Indonesia secara umum. Bagitu pula
dengan perilaku politik mereka yang luput dari rekaman sejarah politik Indonesia. Di
Indonesia proses marjinalisasi masyarakat tertentu telah berlangsung sejak masa
penjajahan hingga masa pemerintahan orde baru.
Anna Lowenhaupt Tsing menguraikan bahwa antara negara sebagai pemegang
kekuasaan mulai dari masa kolonial hingga orde baru dengan masyarakat lokal yang
marjinal terdapat kesenjangan yang luar biasa. 5 Masyarakat marjinal mendapat persepsi

5
Disadur penulis dari : Ngabiyanto, dkk. “Bunga Rampai Politik dan Hukum”. Semarang: Rumah Indonesia.(2006), hlm. 20-
33

3
negatif karena perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Terutama pemikiran yang
berbeda dari arus utama pemikiran negara. Negara dalam persepsi kebudayaan nasional
sering kali mempersepsikan orang-orang marjinal sebagai sisa-sisa dari masyarakat
primitif yang memiliki kecendrungan tidak beradab. Maka, pemerintah harus
mengintervensi proses sosial politik masyarakat tersebut. Marjinalisasi (peminggiran)
terhadap kelompok masyarakat tertentu juga terjadi karena faktor sejarah perlawanan
politik masyarakat tertentu. Hal ini terjadi dalam masyarakat Samin yang berkembang di
Blora, Pati, Bojenegoro dan Rembang. Samin Surosentiko pengembang ajaran Samin
merupakan tokoh lokal yang mengembangkan perlawanan tanpa kekerasan dengan
memunculkan karakter nggendeng6. Masih menurut Sastroatmodjo7 ada tiga unsur dalam
masyarakat Samin ;
a. Gerakan Samin serupa dengan organisasi proletariat kuno yang menentang sistem
feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung.
b. Gerakan samin memiliki sifat yang utopis, tanpa perlawanan fisik yang mencolok.
c. Gerakan Samin melakukan tantangan terhadap pemerintah yang diperlihatkan dengan
prinsip diam, tidak bersedia membayar pajak, dan tidak bersedia menyumbangkan
tenaga pada pemerintah.
Realitas sejarah gerakan perlawanan masyarakat Samin inilah pula yang membuat
mereka terkena stigma negatif sebagai masyarakat pembangkang. Hingga pemerintah orde
baru melalui pemerintah daerah berupaya memisahkan masyarakat Samin yang masih
tersisa terpisah dengan latar sejarah mereka. Pemerintah Kabupaten Blora pada tahun 1991
dengan resmi mengatakan bahwa orang Samin atau masyarakat Samin saat ini sudah tidak
ada. Di tengah berbagai upaya yang dilakukan pemerintah orde baru untuk memarjinalisasi
masyarakat Samin, namun Samin tetap ada dan memunculkan identitasnya dalam berbagai
bentuk, seperti ekonomi, politik dan yang paling menonjol adalah melalui seni lokal.
Masyarakat Samin merupakan masyarakat yang memiliki latar belakang sosial-politik-
budaya yang sangat khas. Kekhasan itu juga muncul dalam bentuk sejarah gerakan
perlawanan yang mereka lakukan. Maka seiring perjalanan sejarah Indonesia yang
bergerak ke arah kondisi modern termasuk di dalamnya modernisasi politik muncullah
beragam pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat Samin mempertahankan eksistensi
komunitas mereka. Terutama terkait dengan identitas politik perlawanan mereka, lalu

6
Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: Ikip Semarang Press.
7
ibid

4
bagaimana mereka bersikap terhadap berbagai rezim politik yang pernah berkuasa di
Indonesia. Serta sejauh mana perubahan struktur politik dan pola perilaku politik mereka
dari waktu ke waktu. Sketsa di atas dan pertanyaan-pertanyaan di atas telah menarik
perhatian penulis untuk mencoba melakukan kajian mendalam mengenai budaya dan
perilaku politik masyarakat Samin.

5
I.2 Rumusan Masalah

Kompleksitas faktor yang membentuk budaya politik dan perilaku politik tidak hanya
terjadi dalam masyarakat modern yang telah memiliki pranata sosial politik yang lengkap,
tetapi juga terjadi pada masyarakat tradisional. (Ramlan Surbakti, 1992 : 131-132). Proses
interaksi antar faktor-faktor tersebutlah yang perlu dikaji. Kajian antar faktor tersebut tentu
akan dapat memberikan gambaran mengenai pola budaya politik dan perilaku politik
dalam sebuah masyarakat.
Pola budaya politik dan juga proses perilaku politik masyarakat tradisional juga
merupakan faktor yang penting dalam pelembagaan demokrasi, khususnya di negara
berkembang (Dahl, 2001 : 109). Terkait dengan hal tersebut penting untuk mendapatkan
deskripsi empirik mengenai budaya dan perilaku politik masyarakat yang ada di Indonesia.
Karena Indonesia adalah negara berkembang yang tengah melakukan penguatan
demokrasi.
Dalam rangka memberikan gambaran yang menyeluruh dan utuh mengenai budaya
dan perilaku politik masyarakat samin, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut yang akan dijawab dalam penelitian ini.
1. Bagaimanakah tipe budaya politik dan perilaku politik yang terjadi dalam masyarakat
Samin ?
2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi budaya dan perilaku politik masyarakat
Samin ?

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budaya Politik


Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, dimana terdapat 312 suku
bangsa yang mendiami sejumlah pulau diseluruh Indonesia. Keragaman budaya dan suku
bangsa menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki sejumlah adat istiadat yang
beragam (multycultural), yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan sistem politik
negara. Pengaruh budaya politik terhadap perkembangan partai politik sangat luas
dampaknya, seperti yang terjadi dan dikemukakan Surbakti mengenai klasifikasi partai politik
merupakan implikasi dari budaya politik. Dimana perbedaan pandangan hidup politik
masyarakat menimbulkan dorongan untuk membentuk partai politik.
Masyarakat sebagai suatu kesatuan politik memiliki sejumlah budaya dalam
kehidupannya, terutama yang mengatur pola hidup bermasyarakat. Masyarakat dan partai
politik adalah kesatuan yang utuh yang memiliki cita-cita dalam membentuk dan mencapai
tujuannya. Salah satu aspek penting dalam sistem politik adalah dengan adanya budaya
politik (political culture) disamping partai politik sebagai lembaga politik yang terstruktur.
Pengertian budaya politik menurut Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu
Politik mengemukakan bahwa:
“Budaya politik adalah keseluruhan dari pandangan-pandangan politik, seperti
norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik dan pandangan hidup pada
umumnya. Budaya politik mengutamakan dimensi psykologis dari suatu sistem
politik, yaitu sikap-sikap, sistem-sistem kepercayaan, simbol-simbol yang dimiliki
oleh individu-individu dan beroperasi di dalam seluruh masyarakat, serta harapan-
harapannya”8.

Budaya politik dalam suatu masyarakat merupakan sebuah pandangan masyarakat


terhadap kondisi politik melalui aturan-aturan, norma-norma dan pandangan hidup lainnya.
Bentuk dari budaya politik dalam suatu masyarakat dipengaruhi oleh sejumlah situasi
sejarah dari perkembangan sistem politik itu sendiri. Seperti agama, adat istiadat, suku
bangsa, status sosial dan lainnya yang berkembang dimasyarakat dapat mempengaruhi
pandangan hidupnya terhadap perkembangan sistem politik. Pengaruh budaya politik
terhadap partai politik saling berhubungan dan keterkaitannya dengan latar belakang
pandangan politik partai, terutama dalam perjuangan politiknya.

8
Budiardjo, Miriam. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

7
Tinjauan teoritis mengenai budaya politik dan beragam aspek yang
membentuk budaya politik mutlak dilakukan dalam penelitian ini, dalam rangka
menyusun pondasi teoritis dalam penelitian. Lalu dalam tinjauan teoritis mengenai
budaya politik yang digunakan adalah pendekatan budaya politik yang ditawarkan
oleh Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. Mengapa pendakatan Almond dan
Verba yang dipilih dalam penelitian ini ? Ada beberapa alasan, antara lain ;
1. Pendekatan kebudayaan politik yang diajukan Almond dan Verba
memiliki tingkat kelengkapan unsur yang tinggi bila dibandingkan
dengan pendekatan lainnya, seperti yang diajukan Bernard Susser dalam
tulisannya The Behavioral Ideology: A Review and a Retrospect
(dalam Bernard Susser 1992 : 76-100)
2. Almond dan Verba telah menyusun uraian mengenai bagaimana interaksi
antara institusi tradisional serta nilai tradisional dengan nilai-nilai baru
yang dibawa oleh ilmu pengetahuan. Maka pendekatan ini sesuai bila
ingin diterapkan dalam penelitian budaya politik masyarakat tradisional
Indonesia.
3. Pendekatan yang dilakukan Almond dan Verba bersifat aplikatif dalam
penelitian, karena pendekatan budaya politik yang mereka kemukakan
telah diterapkan dalam penelitian ilmiah yang akurat di lima negara.
4. Di luar hal-hal di atas sebenarnya ada sebuah faktor yang sangat
menentukan mengapa penulis menggunakan pendekatan budaya politik
dari Almond dan Verba, yaitu dikarenakan referensi mengenai budaya
politik yang paling mudah ditemukan adalah referensi yang ditulis oleh
Almond dan Verba dibanding dengan referensi yang ditulis lainnya.
Kebudayaan politik bukan merupakan sebuah kebudayaan modern secara
mutlak, kebudayaan politik merupakan kombinasi antara kebudayaan modern
dengan tradisi (Almond dan Verba, 1990 : 6). Maka konsekuensi dari teori tersebut
adalah kajian budaya politik tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya yang
mentradisi dan melekat pada kelompok masyarakat tertentu.
Almond dan Verba mendefiniskan budaya politik suatu bangsa merupakan
distribusi pola orientasi khusus menuju tujuan politik di antara masyarakat bangsa
tersebut (1990 : 16). Selanjutnya Almond merumuskan pola orientasi politik,
rumusan ini didasarkan pada rumusan yang diajukan Talcott Parsons dan Edward
A. Shils. Berikut tiga orientasi politik tersebut;

8
1. Orientasi kognitif, pengetahuan tentang sistem politik dan kepercayaan
pada sistem politik, peranan dan segala kewajibannya, serta input dan
outputnya.
2. Orientasi afektif, perasaan terhadap sistem politik, peranannya dan
penampilannya.
3. Orientasi evaluatif, keputusan dan pendapat tentang obyek–obyek
politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan
kriteria dengan informasi dan perasaan.

2.2 Masyarakat Samin


Indonesia yang wilayahnya sangat luas, merupakan sebuah negara besar yang dihuni
oleh penduduk dalam jumlah yang besar pula, yakni lebih dari 260 juta jiwa. Penduduk di
wilayah tersebut terdiri atas sejumlah kelompok masyarakat yang tinggal menyebar di
berbagai pulau yang membentang dari ujung barat hingga ke ujung timur. Kelompok-
kelompok masyarakat tersebut memiliki latar belakang budaya yang berbeda satu sama
lainnya, dan perbedaan tersebut dapat memberikan gambaran jati diri yang khas bagi setiap
kelompok masyarakat yang memilikinya. Sudah tentu beragamnya kelompok masyarakat
berikut karakteristik budaya yang mereka miliki mewarnai kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Melihat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen, sudah tentu tidaklah
mudah untuk menciptakan kondisi yang selaras dengan tujuan pembangunan nasional. Ada
kemungkinan karena mereka dapat menerima pembaharuan atau modernisasi, baik yang
berasal dari program-program pembangunan maupun yang diperoleh melalui arus
informasi akibat desakan globalisasi yang terjadi pada saat ini. Namun tak bisa dipungkiri
pula kalau hingga kini pun masih tersisa sejumlah kelompok masyarakat yang tak perduli
dengan hal yang berbau modern. Kelompok masyarakat yang menggambarkan kondisi
tersebut adalah masyarakat Samin (sedulur sikep) yang hidup dalam sebuah lingkungan
adat yang sangat dipatuhinya. Mereka hidup dalam kelompok yang memisahkan diri secara
formal dari tatanan budaya pada umumnya.
Mengenai permasalahan budaya politik yang ada di Indonesia telah ada beberapa
peneliti yang meneliti penelitian budaya politik Indonesia. Menurut Albert Widjaja
(1988:24), Suryani (2008:3) budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang
terdiri dari ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal dan
diakui sebagian besar masyarakat.9 Budaya politik tersebut memberi rasional untuk
9
Disadur penulis dari jurnal ilmiah Sumarno, “Integralistik” Semarang: rumah Indonesia (2005), hlm. 20-22

9
menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Albert Widjaja menyamakan budaya
politik dengan konsep ideologi yang dapat berarti sikap mental, pandangan hidup, dan
struktur pemikiran.
Studi budaya politik di Indonesia pernah dilakukan oleh para ilmuwan dari barat
diantaranya yaitu Herbert Feith dan Clifford Geetz. Budaya politik suatu masyarakat akan
ditentukan oleh unsur-unsur yang ada dalam masyarakat tersebut. Herbert Feith,
mengemukakan bahwa Indonesia memiliki dua budaya politik yang dominan, yaitu
aristokrasi jawa dan wiraswasta jawa. Sedangkan menurut Clifford Geetz, dalam
masyarakat jawa terdapat tiga subkebudayaan yaitu santri, abangan, priyayi. Sementara itu,
Hildred Greetz, mengelompokan masyarakat kepada tiga subkebudayaan yang disebut
sosiocultural types menjadi petani pedalaman Jawa dan Bali, Masyarakat Islam Pantai, dan
Masyarakat pegunungan10.
Perkembangan pada subbudaya politik, menurut Nazarudin dalam Suryani.
dipengaruhi oleh dua faktor dominan, yakni adat istiadat dan sistem kepercayaan (agama).
Adat dan agama memainkan peranan yang besar dalam proses penyerapan dan
pembentukan pandangan masyarakat tentang kekuasaan atau simbol-simbol yang ada
disekitarnya. Adat dan agama telah mempengaruhi atau memberi bentuk pola sikap atau
pandangan individual anggota masyarakat mengenai peranan yang mungkin dimainkannya
dalam sistem politik.
Konsekuensi dari kebijakan otonomi daerah ini dirasakan langsung oleh seluruh
daerah yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Kabupaten Pati yang
merupakan salah satu daerah yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Dari sisi historis,
Masyarakat Samin (Sedulur Sikep) adalah komunitas yang berasal dari ketokohan dan
pemikiran atau ajaran pemimpin masyarakat yang bernama Samin Surosentiko yang lahir
pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren Randublatung Kabupaten
Blora. Dia Merupakan Putera dari Raden Surowijoyo. Samin Surosentiko bernama Priyayi
Raden Kohar sementara nama yang merakyat dari Dia adalah Samin (Purwasito,
2003:16)11.
Kata Samin sendiri berarti sami-sami amin (Purwasito, 2003:16). Ajaran saminisme
bermula dari sebuah kegelisahan R. Surowijoyo yang tidak tahan terhadap perilaku
pemerintah Kolonial Belanda sebagai penjajah. R. Surowijoyo kemudian melakukan
sebuah gerakan moral sehingga merubah namanya menjadi Samin (Sami-sami Amin =

10
ibid
11
Titi, Mumfangati. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa Tengah. Yogyakarta:
Jarahnitra

10
sama rata, sama sejahtera, sama mufakat). Sebuah pemberian nama yang bernafaskan
wong cilik, serta berjuluk Samin Sepuh.
Orang memandang samin dengan penilaian yang berbeda-beda, ada yang menilai baik
dan ada yang salah dalam mempersepsikannya. Mulai dari anggapannya bahwa gerakan
masyarakat Samin sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan Kolonial Belanda
hingga saat ini, sampai anggapan bahwa masyarakat Samin adalah kumpulan orang-orang
tak beragama, aneh dan terbelakang. Samin oleh sebagian besar orang memang lebih
sering memandang dengan kacamata buram atau pandangan yang negatif. Mereka identik
dengan segolongan masyarakat yang tidak kooperatif, tidak mau membayar pajak, suka
membangkang dan suka menentang. Saminisme sebenarnya merupakan sebuah paham dan
sejarah perlawanan terhadap kekuasaan Kolonial Belanda yang telah di ubah menjadi
deskripsi kebudayaan.
Perlawanan terhadap Belanda dengan cara halus inilah yang kadang dipakai oleh
Masyarakat Samin yaitu dengan menyebut mereka dengan menyebut dirinya Sedulur
Sikep, ini menepis anggapan buruk sebutan Samin yang mempunyai arti buruk di kalangan
orang yang belum mengetahui artinya, sedangkan arti Sedulur sikep sendiri adalah Secara
harfiah, istilah sedulur atau wong sikep bermakna “saudara atau orang bertabiat baik serta
jujur.” Ungkapan itu mengacu pada paguyuban penganut ajaran Samin (Titi Mumfangati,
2004:10).
Kekhasan budaya masyarakat Samin (sedulur sikep) yang unik dikenal santun dan
religi sangat menarik kita kaji ketika kita kaitkan dengan kondisi sosial politik yang terjadi
sekarang ini. Dimana proses demokratisasi yang sedang berjalan di negara ini sudah
berjalan cukup lama terlebih setelah terjadinya reformasi pada tahun 1998. Dimana
setelahnya reformasi terjadi di negeri ini, mengakibatkan terjadinya perubahan yang cukup
mendasar bagi perundang-undangan bangsa Indonesia. Terutama perubahan Undang-
Undang mengenai pemerintahan daerah. Sehingga masyarakat yang ada diakar rumput
terlibat secara langsung didalam menentukan pemimpin yang akan memimpin negara ini
maupun pimpinan daerah secara khususnya.
Ajaran hidup yang unik dari masyarakat Samin yang ditanamkan bagi generasi
penerusnya merupakan doktrin dari orang tua (terutama bapak) sejak lahir dengan bekal
teladan baik (uswatun khasanah) untuk keluarga dan masyarakatnya. Adapun ajaran hidup
masyarakat samin dukuh mbombong desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati
meliputi: Kudu weruh te’e dhewe, lugu, lan mligi.12

12
ibid

11
Kudu Weruh Te’e dhewe: harus memahami kepemilikannya sendiri maksudnya untuk
membedakan antara milik pribadi dengan milik orang lain sehingga ketika memanfaatkan
suatu barang atau lainnya harus berdasarkan kepemilikannya pribadi dan jika
menggunakan (meminjam) milik orang lain harus seijinnya.
Lugu; dapat di beri makna konsisten maksudnya jika mengadakan perjanjian hanya
dua pilihan (jawaban) antara iya dan tidak, hal ini dengan harapan tidak menimbulkan
kekecewaan pihak lain jika jawaban dengan realitas kontradiktif. Mligi; dapat diberi
tafsiran konsekuan atau bertanggung jawab dengan prinsip hidup yang telah di peganginya
sekaligus meninggalkan pantangan hidup.
Tidak mendidik melalui pendidikan formal merupakan langkah yang dianggap tidak
lazim dalam pandangan masyarakat diluar warga Samin, ditengah kondisi era yang seperti
sekarang ini tidak mendidik anak melalui lembaga formal. Harapan yang tersirat dengan
pola ini adalah adanya kekhawatiran jika mendidik anak dengan pendidikan formal, anak
akan memperoleh ijazah yang dapat dipergunakan sebagai syarat menjadi tenaga kerja di
luar pertanian bahkan menjadi tenaga kerja dengan meninggalkan komunitasnya.
Tidak diperbolehkan berpakaian secara umum; misalnya celana panjang dan berpeci;
hal ini lebih bertendensi pada semangat primordialisme kelompok, mereka memiliki
pakaian “khas” berupa suwal (celana yang panjangnya dibawah lutut), udeng (iket kepala),
dan bebhet (sarung). Warna khas sebagai pakaian kebesarannya adalah hitam dan jika
bertani menggunakan pakaian seperti bercaping, berkaos, atau berpakaian seperti lazimnya
masyarakat nonsamin ketika ke lading, selanjutnya adalah menemukan barang (petil-
jumput), merupakan prinsip yang dipegangi dengan adanya larangan menemukan barang
dan Pantangan akhir adalah mencuri (bedhok-colong), apalagi mencuri, menemukanpun
merupakan pantangan. Sehingga watak hidup ideal masyarakat jawa dalam analisis
Darmanto Jatman (2000:22-35) adalah arif, jujur, mawas diri, ikhlas, eling, satriyo, sikap
hormat, rukun, rasa, aku, dan ramah, dari sebelas watak itu pun dimiliki warga Samin.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Budaya Politik Masyarakat Samin
Berbicara masalah budaya politik tentunya tidak akan terlepas dari tinjauan perilaku
dan pertisipasinya terhadap fenomena-fenomena politik yang berkembang baik dalam

12
sekala lokal maupun nasional. Maka demi mengetahui budaya politik yang berkembang
pada masyarakat Samin (Sedulur Sikep).
Disamping memperhatikan mengenai persepsi para informan terhadap kebudayaan
yang ada di masyarakat Samin (Sedulur Sikep), peneliti juga menanyakan hal-hal
mengenai persepsi para informan terhadap perkembangan perpolitikan yang berkembang
di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Dari penjelasan yang disampaikan oleh informan kepada peneliti dapat kita lihat
persepsi masyarakat Samin mengenai perpolitikan yang berkembang di Indonesia adalah
berbagai persepsi yang mereka kemukakan. Dari hasil wawancara yang sempat dilakukan
menegaskan bahwa mereka mengakui akan perkembangan perpolitikan yang berlangsung
di negara Indonesia ini sudah cukup maju. Menurut mereka perkembangan perpolitikan
bangsa ini sudah cukup maju hal itu terlihat dari perkembangan demokrasi yang dijalankan
oleh bangsa ini sehingga dalam proses pemilihan pimpinan negara bahkan sampai
tingkatan daerah langsung dipilih oleh rakyat.
Selain itu mereka juga berpendapat bahwa kemajuan perpolitikan Negara Indonesia ini
sudah sekian berubah dari apa yang mereka tahu sebelumnya. Namun meskipun demikian
mereka beranggapan bahwa kemajuan yang ada kurang begitu terasa terhadap perubahan
yang mereka inginkan.
Perilaku politik merupakan produk sosial sehingga untuk memahaminya diperlukan
dukungan konsep dari beberapa disiplin ilmu. Di dalam memahami perilaku politik tidak
hanya menggunakan konsep politik saja, tetapi juga didukung konsep ilmu-ilmu sosial
lainnya. Hal itu menunjukan bahwa ilmu politik tidak merupakan disiplin ilmu yang berdiri
sendiri tetapi memiliki hubungan erat dengan disiplin ilmu yang lainnya. Sehingga sebagai
manifestasi sikap politik, perilaku politik tidak dapat dipisahkan dari budaya politik yang
oleh Almond dan Verba diartikan sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara
terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya. (Sudijono.1995: 36).

13
Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik
masyarakat, pertama-tama perlu dipahami dalam konteks latar belakang historis.
Sikap dan perilaku politik. Faktor yang memberikan pengaruh dalam perilaku
politik masyarakat selanjutnya adalah kondisi geografis. Faktor geo-politik
memiliki implikasi dalam perilaku politik masyarakat sekaligus mempengaruhinya.
Indonesia yang merupakan wilayah dengan letak geografisnya yang potensial dapat
merupakan pertimbangan strategis bagi dunia internasional untuk mengadakan
kerja sama dan hubungan dalam berbagai kepentingan. Faktor lain yang memiliki
pengaruh dalam perilaku politik masyarakat adalah budaya politik.13
Perilaku politik masyarakat selain dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, juga
dipengaruhi oleh agama dan keyakinan. Agama telah memberikan nilai-nilai etika
dan moral politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku
politiknya. Keyakinan dan agama apapun merupakan pedoman dan acuan yang
penuh dengan norma-norma dan kaidah-kaidah yang dapat mendorong dan
mengarahkan perilaku politik sesuai dengan agama dan keyakinannya.14
Berdasarkan dari uraian diatas mengenai konsep-konsep dalam memperhatikan
perilaku politik masyarakat, Selain perilaku politik, didalam mengkaji budaya
politik masyarakat Samin (Sedulur Sikep), peneliti juga memperhatikan tingkat
partisipasi politik masyarakat tersebut. Didalam mempelajari tingkat partisipasi
politik masyarakat Samin (Sedulur Sikep), peneliti menggunakan konsep Weimer
yang dikutip oleh Sudiijono Sastroatmodjo (1995: 81)15 sebagai berikut:
1. Adanya modernisasi.
2. Terjadinya perubahan struktur-struktur kelas sosial.
3. Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa.
4. Adanya konflik pemimpin-pemimpin politik.
5. Keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan Sosial, Ekonomi,
dan Kebudayaan.

13
Narwoko, Dwi J. 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

14
Rahardjo, Djoko Mudji dan Rahayu Yuke Sri. 2002. Urang Kanekes di Banten Kidul. Jakarta: Proyek pemanfaatan
Kebudayaan Direktorat Tradisi dan Kepercayaa Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata.

15
Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: Ikip Semarang Press.

14
Dari faktor-faktor itulah kita bisa melihat tingkat parisipasi politik masyarakat
Samin yang berkembang sampai saat ini. Maka didalam menentukan jenis
partisipasi politik masyarakat Samin, peneliti menggunakan teori yang
diungkapkan oleh Milbrath dan Goel yang dikutif oleh Sudiijono Sastroatmodjo
(1995:74 -75) bahwa partisipasi politik terbagi dalam beberapa kategori yang
diantaranya sebagai berikut :
1. Apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik.
2. Spektator, yaitu yang berada pada kategori pasif yang setidak-tidaknya
pernah ikut dalam pemilu.
3. Gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam prosses
politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan
kontak tatap muka, aktivis partai, dan pekerja kampanye, serta aktivis
masyarakat.
4. Pengkritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak
konvensional seperti mengadakan demonstrasi, memberikan ancaman,
mogok kerja dan sebagainya.
Maka berdasarkan hasil penelitian bahwa masyarakat Samin (Sedulur Sikep)
mengenai bentuk partisipasi politik yang berkembang pada mereka adalah
partisipasi politik spectator. Hal itu terlihat dari hasil penelitian peneliti terhadap
warga masyarakat Samin (Sedulur Sikep) dan ternyata setelah digali lebih
mendalam, sebagian besar dari warga bahkan bisa dikatakan seluruh warga disana
mangikuti proses politik yang berkembang saat ini termasuk dalam pemilihan
umum. Namun meskipun mereka mengikuti proses pemilihan umum, mereka tetap
berpendapat bahwa yang mereka lakukan bukan untuk mendukung atau tidak
mendukung pihak manapun, dalam artian mereka bisa dimasukan pada partisipasi
politik pasif seperti diungkapkan oleh Milbrath dan Goel yang dikutif oleh
Sudijono Sastroatmodjo (1995:74-75).
Dengan demikian perilaku politik dan partisipasi politik masyarakat kita bisa
menentukan jenis budaya politik yang ada dalam masyarakat tersebut. Demikian
pula budaya politik apa yang ada dan berkembang pada masyarakat Samin (Sedulur
Sikep). Berdasarkan teori yang berkembang mengenai budaya politik terutama
yang dikemukakan oleh Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai

15
suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka
ragam bagianya,
Budaya politik yang ada pada masyarakat Samin (Sedulur Sikep) termasuk
kedalam kebudayaan politik subjek parokial (The Parochial Subject Cultur). Tipe
budaya politik seperti ini merupakan campuran dari budaya politik parokial dengan
budaya politik subjek. Dimana orientasi dalam tipe ini lebih bersifat afektif dan
normatif daripada kognitif. Hal itu dibuktikan dengan masih kentalnya nuansa-
nuansa tradisionalisme yang disertai dengan tradisi-tradisi leluhur yang melekat
kuat pada diri warga masyarakat Samin (Sedulur Sikep).16
Budaya politik seperti ini terjadi karena didalamnya terdapat individu-individu
yang aktif dalam politik, tetapi banyak pula yang mengambil peranan subjek yang
lebih aktif. Dengan demikian hal itu berarti bahwa warga yang aktif melestarikan
ikatan-ikatan tradisional dan nonpolitik, dan peranan politiknya yang lebih penting
sebagai seorang subjek. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa orientasi warga
masyarakat Samin (Sedulur Sikep) menggusur orientasi subjek dan parokial

3.2 Pengaruh Kebudayaan yang Diwariskan Oleh Leluhur Masyarakat Samin


(Sedulur Sikep) Terhadap Budaya Politik Saat Ini
Membicarakan mengenai pengaruh dari kebudayaan yang berkembang
terhadap budaya politik masyarakat Samin (Sedulur Sikep) dapat kita pelajari dari
keseharian warga masyarakat Samin (Sedulur Sikep) serta pandangan mereka
terhadap fenomena politik yang terjadi di negara ini. Mereka berpandangan bahwa
perjalanan kebudayaan ini adalah sebuah anugrah yang diwariskan oleh leluhur
mereka secara turun-temurun.
Masyarakat Samin (Sedulur Sikep) yang ada di Kabupaten Pati, kita dapat
mengetahui bahwa unsur-unsur kebudayaan (sistem pengetahuan) yang dimiliki
suatu komunitas masyarakat kecil akan berbeda bila dibandingkan dengan
komunitas masyarakat yang lebih besar. Hal itu disebabkan karena kebudayaan
dipandang sebagai sesuatu yang bersifat dinamis, bukan sesuatu yang bersifat kaku
atau statis. Demikian pula pengertian tentang kebudayaan, bukan lagi sebagai
sekumpulan barang seni atau benda-benda, tapi kebudayaan akan selalu dikaitkan
dengan gerak hidup manusia dalam kegiatannya, seperti membuat peralatan hidup,
16
Titi, Mumfangati. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa Tengah.
Yogyakarta: Jarahnitra

16
norma-norma, sistem pengetahuan, sistem jaringan sosial, kehidupan ekonomi,
sistem religi atau kepercayaan, adat istiadat, serta seperangkat aturan yang masih
didukung oleh masyarakat tersebut.17
Ketentuan-ketentuan adat seperti pamali, tabu atau lebih dikenal lagi dengan
sebutan pantangan dan sebagainya hanya berlaku bagi orang-orang di lingkungan
masyarakat adat sendiri. Bentuk-bentuk penyeimbang lainnya dapat dilihat dari
nilai-nilai yang terdapat dalam ungkapan sehari-hari sebagai pedoman hidupnya
khususnya untuk masyarakat Samin (Sedulur Sikep), seperti yang tertuang dalam
tiga kata: amanat, wasiat, dan akibat.
Kelestarian budaya masyarakat Samin dapat diukur dari potret kesahajaan
hidup dalam menghadapi gelombang modernisasi. Mereka hidup dalam
kesederhanaan, akan tetapi di balik kesederhanaan itu tercermin kebebasan dan
kearifan yang sangat dalam. Sistem pengetahuan tradisionalnya adalah gambaran
kekayaan batin mereka, dan itu merupakan barometer betapa tinggi budaya mereka,
sehingga merupakan panutan bagi masyarakatnya.
Sejalan dengan kehidupan dewasa ini, sebagian dari masyarakat adat mampu
berintegrasi dengan situasi dan kondisi masyarakat di luar. Dalam kehidupan
sehari-hari, dewasa ini sudah mulai menerima bentuk-bentuk perubahan. Bentuk
perubahannya tidak mendasar ke dalam bentuk tradisi, misalnya dengan kehadiran
TV.
Budaya politik yang terdapat dalam masyarakat Samin merupakan sistem nilai
dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat terutama Samin (Sedulur
Sikep) Dukuh Mbombong Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati.
Budaya politik merupakan refleksi terhadap orientasi, sikap dan perilaku
masyarakat dalam merespons setiap objek dan proses politik yang telah, sedang
dan akan terjadi.
Pada dasarnya masyarakat Samin (Sedulur Sikep) dukuh Mbombong Desa
Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati memiliki kecenderungan kearah tipe
budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant political culture), yang
mengarah pada budaya politik ini adalah masyarakat Samin asli yang di luar dukuh
mbombong desa Baturejo Kecamatan Sukolilo yang masih mempertahankan adat.
Masyarakat Samin (Sedulur Sikep) asli dalam hal kognitifnya sudah lebih maju

17
Ibid lihat hal 23-25

17
yakni didalam segi pendidikan yang mereka peroleh sudah ada namun belum
begitu paham dalam berpartisipasi untuk hal kenegaraan mereka telah lakukan
seperti yang sudah dijabarkan dalam hasil penelitian masyarakat Samin asli telah
melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara yang baik dan patuh pada aturan
hukum negara Indonesia yakni contohnya melaksanakan pemilukada ulang Bupati
Pati. (dalam Almond dan Verba, 1990: 27), ada tiga tipe budaya politik yaitu:
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
c. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)

Dengan demikian budaya politik masyarakat Samin desa Baturejo kecamatan


Sukolilo kabupaten Pati terdapat 2 bentuk budaya politik, yaitu:
1. Budaya Politik parokial-partisipan (The parochial-participant political
culture)
Mengenai budaya politik parokial merupakan tipe budaya politik yang
paling rendah, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan
loyalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka
tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik,
pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan
masalah-masalah politik.
Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak
memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik.
Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul,
ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik.
Dalam hal kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti
bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap
sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan
memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki
keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik
dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan
diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik
pemerintahan yang tidak fair.

18
Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh
suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan
warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi
politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy
atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik
yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu
untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan
dalam politik.

2. Budaya Politik Subyek-Parokial (The parochial-subject political culture)


Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya politik
partisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang
sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik,
tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif.
Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling
rendah, mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam
sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang
membicarakan masalah-masalah politik.
Hal ini dapat dipahami dari berbagai hal pertama, dilihat dari tingkat
pendidikan, masyarakat tidak memiliki tingkat pendidikan yang cukup untuk
dapat dan mampu memberikan aksi dan reaksi terhadap sistem politik. terdapat
dua bentuk budaya politik karena masyarakat Samin memiliki dua komunitas
masyarakat yakni komunitas masyarakat Samin asli yang tinggal didukuh
Mbombong dan masyarakat Samin diluar dukuh Mbombong.
Melihat kesederhanaan kehidupan masyarakat Samin, serta ketat dan
kuatnya pelaksanaan hukum adat, taatnya dan teguhnya keyakinan mereka
terhadap agama Adam kepercayaannya serta karakteristik tanah adat yang
tidak boleh di ubah, ditambah menutup diri dari pengaruh buruk budaya
modern, kemudian membayangkan apa mungkin masyarakat Samin
berpartisipasi dalam hubungan hidup bermasyarakat, dan bernegara.
Bagi masyarakat Samin politik secara umum tidak memahami dan tidak
pernah belajar politik, tetapi yang kami rasakan adalah bahwa kalau
masyarakat adat tidak ikut berpolitik atau menghindari politik akan rugi dan

19
sebaliknya bila masyarakat Samin berpolitik juga akan sangat rugi.
Pertimbangannya masyakat Samin akan dijadikan tempat rebutan/persaingan
oleh para partai politik sehingga kemandiriannya atau kesatuan akan terpecah
dan situasi begitu mereka pandang antara rugi dan ragu. Dalam sejarahnya
tidak bisa berpihak pada satu partai atau golongan atau pihak manapun..

20
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan terhadap hasil penelitian yang telah dilaksanakan
pada masyarakat Samin (Sedulur Sikep) di dukuh Mbombong desa Baturejo
Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah, bahwa komunitas
masyarakat petani asli jawa ini mempunyai budaya adiluhung yang dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Budaya masyarakat Samin (Sedulur Sikep) merupakan suatu budaya unik , Budaya
adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Kebudayaan adalah hasil
dari cipta, karsa dan rasa tersebut karena dalam budaya masyarakat Samin ini
terjadi proses pendidikan dari orang tua kepada anak yang berlangsung secara
terus-menerus dan turun-temurun tanpa melalui dunia sekolah. Menyekolahkan
anak di lembaga sekolah merupakan suatu larangan dalam ajaran yang diyakini
oleh masyarakat Samin (Sedulur Sikep). Hal ini disebabkan karena persepsi
masyarakat Samin (Sedulur Sikep) mengenai lembaga sekolah. Menurut mereka,
pada zaman dulu sekolah merupakan suatu lembaga yang di buat dan didirikan
oleh Belanda.
2. Budaya politik masyarakat Samin (Sedulur Sikep) adalah budaya politik yang
masuk pada kategori kebudayaan subjek parokial (The Parochial Subject Cultur).
Tipe budaya politik seperti ini merupakan campuran dari budaya politik parokial
dengan budaya politik subjek. Dimana orientasi dalam tipe ini lebih bersifat
afektif dan normatif daripada kognitif. Hal itu didapat dari hasil penelitian
mengenai perilaku politik masyarakat Samin (Sedulur Sikep) yang kental dengan
pengaruh historis yang diturunkan secara turun-temurun dan dikawal dengan
norma-norma agama yang kuat. Selain perilaku politik juga memperhatikan
tingkat partisipasi politik masyarakat Samin (Sedulur Sikep), Sehingga dari kedua
kajian tersebut kita bisa melihat bentuk budaya politik yang berkembang di
masyarakat Samin (Sedulur Sikep) tersebut.
3. Mengenai pengaruh kebudayaan terhadap budaya politik masyarakat Samin
(Sedulur Sikep) dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan asli yang dipegang
warga masyarakat Samin (Sedulur Sikep) sangat berpengaruh terhadap budaya
politik yang berkembang pada masyarakat tersebut. Hal itu terlihat dari pola

21
pandang mereka terhadap proses politik yang berkembang di negara ini disikapi
dengan biasa-biasa saja. Hal itu menunjukan pengaruh kebudayaan lebih kuat
dari pada pengaruh kemajuan politik yang berkembang di Indonesia.

22
4.2 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan terhadap hasil penelitian yang telah
dilaksanakan pada masyarakat Samin (Sedulur Sikep) di dukuh Mbombong desa
Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah, bahwa
komunitas masyarakat petani asli jawa ini mempunyai budaya adiluhung yang
dapat penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:
1. Harus ada kesadaran bahwasanya Local Genius adalah bagian dari fakta
dalam kehidupan berpolitik berbangsa dan bernegara. Kearifan lokal harus
dipandang sebagai referensi yang otentik karena secara historis dapat kita
pahami bahwa nilai nilai yang mengakar dan diyakini oleh masyarakat
tersebut telah membentuk identitas sosio kultural dan seharusnya diterima
sebagai khasanah referensi dalam kehidupan berpolitik berbangsa dan
bernegara. Secara empiris dapat diketahui kecenderungan budaya politik
masyarakat Samin adalah Subyek-Parokial dengan tipe perilaku politik yang
dikerahkan. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan bagi lahirnya
demokratisasi karena demokrasi membutuhkan budaya politik partisipasi
dengan perilaku politik aktif berdasar kesadaran diri (self motion). Maka
berdasar hasil penelitian menunjukkan ada peluang untuk lahirnya budaya
politik partisipan dan perilaku perilaku politik dengan kesadaran diri.
Peluang tersebut dapat dioptimalkan dengan mengangkat kepercayaan diri
mereka hingga merasa tidak teralienasi dari masyarakat umum dengan
mengubah pandangan negatif terhadap masyarakat Samin. Cara selanjutnya
adalah dengan meningkatkan pemahaman mereka mengenai partisipasi
politik hingga keterbatasan ekonomi tidak membuat mereka enggan
berpartisipasi berinteraksi dengan sistem politik. Yang ketiga adalah dengan
memberikan pengakuan pada identitas kultural Kesaminan mereka tidak
justru berusaha memisahkan mereka dari identitas kulturalnya.
2. Indoktrinasi terhadap politik kebudayaan yang bersifat massif yang berupaya
menghilangkan identitas Kesaminan yang berimplikasi memarjinalkan
masyarakat pengikut Samin secara ekonomi, sosial dan politik justru akan
membangkitkan resistensi mereka terhadap program-program dari negara
(pemerintah). Hal yang justru harus dilakukan adalah memelihara nilai-nilai
patriotik dan nilai positif lainnya dari ajaran Samin hingga mereka merasa

23
bangga sebagai komunitas Samin dan mau berpartisipasi dalam sistem
politik. Pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah daerah yang terdapat
komunitas Samindiharapkan tidak berupaya memisahkan masyarakat Samin
dan identitas budayanya. Serta merubah cara pandang yang selama ini
menganggap pengikut saminisme sebagai orang yang primitif dan
pembangkang menjadi cara pandang yang lebih arifdan lebih persuasif.

24
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alfian. 1991. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Almond, Gabriel A. dan Sidney Verba. 1984. Budaya Politik Tingkah Laku
Politik dan Demokrasi di Lima Negara. (terjemahan Sahat Simamora). Jakarta: Bina
Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Arrianie, Lely. 2010. Komunikasi Politik, Politisi dan Pencitraan di Panggung
Politik. Jakarta:
Widya Padjadjaran.
Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Budiardjo, Miriam. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. Budiningsih, Asri, C. 2004. Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik
Siswa dan
Budayanya. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Faturahman, Deden dan Wawan Subari. 2002. Pengantar Ilmu Politik. Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang.
Gaffar, Afan. 2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Joko Tri Prasetya.1998. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta:PT Rineka Cipta
Kantaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar.
Bandung:
Sinar Baru.
Kavanagh, Dennis. 1982. Kebudayaan Politik (terjemahan Laila Honoum Hisyam).
Jakarta:
Bina Aksara.
Koencoroningrat.2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan
Maran, Raga Rafael. 2007. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta.
Mas’Oed, Mohtar dan Colin Mac Andrews. 1990. Perbandingan Sistem Politik.
Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Mawardi. 2007.. IAD. ISD. IBD. Bandung : Pustaka Setia
Milles, Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: PT Rineka Cipta Indonesia
Press
Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhajir. 2000. Metodologi penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Karasin
Narwoko, Dwi J. 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
P. J. Bouman. 1976. Sosiologi : pengertian-pengertian dan masalah-
masalah.Jogyakarta:
Yayasan Kanisius
Rahardjo, Djoko Mudji dan Rahayu Yuke Sri. 2002. Urang Kanekes di Banten Kidul.
Jakarta: Proyek pemanfaatan Kebudayaan Direktorat Tradisi dan Kepercayaan
Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Badan Pengembangan
Kebudayaan dan Pariwisata.

25
Rush, Michael dan Phillip Althoff. 1993. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta:
Grafindo Persada.
Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: Ikip Semarang Press.
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Soeryabrata, 1996.
Sumarno. 1989. Dimensi-dimensi Komunikasi Politik. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Suryani, Elis. 2008. Kamus Bahasa dan seni Budaya Sunda Buhun. Bandung:
Dzulmar IAZ Print.
Sztompka, Piӧtr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Titi, Mumfangati. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin
kabupaten Blora Jawa Tengah. Yogyakarta: Jarahnitra

Jurnal Ilmiah
Ngabiyanto, dkk. “Bunga Rampai Politik dan Hukum”. Semarang: Rumah Indonesia.
(2006), hlm. 20-33
Sumarno, “Integralistik” Semarang: rumah Indonesia (2005), hlm. 20-22

Tesis, Paper
Sofy Nurhayati, Skripsi

Lain-lain
Hartiningsih, Maria. (2012. 5.4). Sedulur Sikep Merawat Bumi. Kompas.Fokus. 1

26

Anda mungkin juga menyukai