KAJIAN PUSTAKA
A. Budaya Politik
pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati setiap individu
dengan kodisi objektiv daearah tersebut, sehingga menjadi acuan dari budaya atau
kebiasaan masyarakat tertentu sebagai alat praktek politik pada saat pesta demokrasi.
Teori tentang sistem politik yang diajukan oleh David Easton, yang kemudian
dikembangkan pula oleh Gabriel Almond, hal ini mewarnai kajian ilmu politik pada
dengan lainnya yang akan selalu terkait dengan pengetahuan, sikap, dan nilai seseorang
pemahaman serta kepercayaan dan keyakinan individu terhadap jalannya sistem politik
atau mengenai simbol-simbol yang dimiliki oleh sistem politiknya, seperti ibukota
negara, lambang negara, kepala negara, batas-batas negara, mata uang yang dipakai,
2) Orientasi afektif, yaitu menyangkut perasaan seorang warga negara terhadap sistem
politik dan peranannya yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik
itu.
3) Orientas evaluatif, yaitu menyangkut keputusan dan praduga tentang obyek-obyek politik
yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan
perasaan.
Perlu disadari bahwa dalam realitas kehidupan, ketiga komponen ini tidak terpilah-
pilah tetapi saling terkait atau sekurangkurangnya saling mempengaruhi. Semisal seorang
warga negara dalam melakukan penilaian terhadap seorang pemimpin, ia harus mempunyai
pengetahuan yang memadai tentang si pemimpin. Pengetahuan itu tentu saja sudah
orang tersebut tentang sesuatu simbol politik, misalnya, dapat pula membentuk atau
mewarnai perasaannya terhadap simbol politik itu. Boleh jadi, pengetahuan tentang suatu
simbol sering mempengaruhi perasaan seseorang terhadap sistem politik secara keseluruhan
budaya politiknya, Almond dan Verba membaginya dalam tiga tipe budaya politik, yakni
budaya politik parokial, budaya politik kaula atau subjek dan budaya politik partisipan.
Yang penting dari klasifikasi tersebut adalah kepada objek politik apa, aktor politik
individual yang berorientasi, bagaimana mereka mengorientasikan diri, dan apakah objek-
objek politik tersebut terlibat secara mendalam dalam pembuatan kebijaksanaan yang
bersifat ke atas atau dalam arus pelaksanaan kebijaksanaan yang bersifat ke bawah
(Almond dan Verba, 1984: 18). Hasilnya adalah klasifikasi tiga tipe ideal budaya politik,
sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif
rendah). Budaya politik parokial juga ditandai oleh tidak berkembangnya harapan
harapan akan perubahan yang akan datang dari sistem politik. Budaya politik parokial
yang kurang lebih bersifat murni merupakan fenomena umum yang biasa ditemukan
sangat minimal.
Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan
sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil dan sederhana, sehingga
satu dilakukan bersamaan dengan peranan yang lain seperti aktivitas dan peranan
pelaku politik dilakukan bersamaan dengan peranannya baik dalam bidang ekonomi,
sosial maupun keagamaan/spiritual. Selain itu, dalam budaya politik parokial juga
diinisiasikan oleh sistem politik. Masyarakat dengan budaya politik parokial tidak
mengharapkan apapun dari sistem politik (Almond dan Verba, 1984: 20).
Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah,
yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga
negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan
negaranya (Budi Winarno, 2008: 19). Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa
yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan
pemerintahan dan politik. Selain itu, mereka juga tidak mengharapkan apapun dari
sistem politik.
2) Budaya politik subjek/kaula (subject political culture)
dan intensitas orientasi mereka terhadap aspek masukan (input) dan partisipasinya
dalam aspek keluaran (output) masih sangat rendah. Subjek individual menyadari akan
tidak menyukainya, dan ia menilainya sebagai otoritas yang absah. Namun demikian,
posisinya sebagai subjek (kaula) mereka pandang sebagai posisi yang pasif. Diyakini
bahwa posisinya tidak akan menetukan apaapa terhadap perubahan politik (Almond
dan Verba, 1984: 21). Mereka beranggapan bahwa dirinya adalah subjek yang tidak
berdaya untuk mempengaruhi atau mengubah sistem. Dengan demikian secara umum
mereka menerima segala keputusan dan kebijaksanaan yang diambil oleh pejabat yang
keputusan/kebijakan pejabat adalah mutlak, tidak dapat diubah ubah, dikoreksi apalagi
ditentang.
melibatkan diri dalam politik atau memberikan suara dalam pemilihan. Dalam budaya
turut berpartisipasi dalam kegiatan politik. Budaya politik subjek muncul jika orientasi
afektif saja yang kuat (Budi Winarno, 2008: 18). Demokrasi sulit untuk berkembang
dalam masyarakat dengan budaya politik subjek/kaula, karena masing masing warga
negaranya tidak aktif. Selain itu, mereka juga memiliki kompetensi politik yang rendah
dan keberdayaan politik yang rendah. Sehingga, sangat sukar untuk mengharapkan
orientasi politik yang secara eksplisit ditujukan kepada sistem secara keseluruhan,
bahkan terhadap struktur, proses politik, dan administratif. Dengan perkataan lain,
perhatian dan intensitas terhadap masukan maupun keluaran dari sistem politik sangat
itnggi. Dalam budaya politik partisipasi dirinya atau orang lain dianggap sebagai
anggota aktif dalam kehidupan politik, ia memiliki kesadaran terhadap hak dan
politiknya. Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik partisipan tidak begitu
saja menerima keputusan politik (Almond dan Verba, 1984: 22). Hal ini karena
masyarakat telah sadar bahwa betapapun kecilnya mereka dalam sistem politik, mereka
melibatkan diri dalam kegiatan politik atau paling tidak dalam kegiatan pemberian
suara, dan memperoleh informasi yang cukup banyak tentang kehidupan politik.
Budaya poitik partisipan muncul jika orientasi kognitif, afektif, dan evaluatif
dikembangkan secara maksimal dan seimbang (Budi Winarno, 2008: 18). Dengan
budaya politik pastisipan, maka kerja sistem politik demokrasi dapat dikembangkan
karena pada budaya politik ini warga negara berperan sebagai individu yang aktif
dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya sikap saling percaya (trust) antar
warga negara. Oleh karena itu, dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan
B. DESA
1. Pengertian desa
Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa sansekerta, deca yang berarti
tanahair, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis, desa atau
smallerthan and town “. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
adat istiadat yang diakui dalam Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah
Kabupaten.
desa merupakan suatu hasil perwujudan geografis, sosial, politik, dan cultural yang
terdapat disuatu daerah serta memiliki hubungan timbal balik dengan daerah
Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa Pasal 1 ,7 Desa atauyang disebut dengan nama
setempat, berdasarkan asal-usul dan adatistiadat setempat yang diakui dan dihormati
Desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengaturdan
masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
Desa adalah Desa dan adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnyadisebut ,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atauhak tradisional yang diakui dan
Desa dan adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
Indonesia.
Kesatuan Republik Indonesia yang diakui otonominya dan Kepala melalui pemerintah
Tahun 2005 adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintahan dan Badan
berdasarkan asal-ususl dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Merupakan suatu kegiatan
(disingkat penyelenggara ), atau yang dikenal selama ini sebagai “Pemerintahan ”. Kepala
menyatakan bahwa desa adalah sekumpulan yang hidup bersama atau suatu wilayah,
setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormti dalam
2. Kepala Desa
Belanja Desa;
m. Mewakili desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum
dan
perangkat desa.
profesional, efektif, dan efesien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi,
dan nepotisme;
kepentingan di Desa;